31
10 BAB 2 LANDASAN TEORI Di dalam bab 2 ini akan dibahas lebih dalam mengenai beberapa konsep dan teori yang digunakan oleh penulis sebagai dasar pemikiran yang mendukung argumentasi serta landasan dan kerangka berpikir dalam menulis dan penyusunan tesis ini. Teori teori tersebut ditelaah dari berbagai sumber seperti pustaka, jurnal, kutipan dan sumber lainnya. 2.1 Bisnis Ritel Bisnis ritel di Indonesia, berkembang sangat pesat. Hal ini didukung oleh faktor, salah satunya adalah terbukanya peluang pasar, perkembangan dari usaha manufaktur yang memasok produk kepada pengusaha ritel, dan juga dorongan dari pemerintah yang mendukung perkembangan ekonomi yang salah satunya dengan menguatkan dari segi bisnis ritel. Ritel (Retail) sendiri berasal dari kata Perancis, yang memiliki arti “memotong kecil kecil” (Risch,1991). Menurut Levy dan Weitz (2004:6), Retailing adalah rangkaian aktivitas bisnis yang bertujuan untuk menambah nilai guna barang dan jasa yang dijual kepada konsumen yang ditujukan sebagai konsumsi pribadi atau rumah tangga. Menurut Kotler (2000:592), Retailing adalah penjualan secara eceran yang meliputi aktivitas penjualan barang dan atau pun jasa yang kepada konsumen dimana digunakan sebagai konsumsi pribadi. Secara garis besar, bisnis ritel adalah serangkaian aktivitas bisnis penjualan barang dan jasa secara eceran kepada

BAB 2 LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/bab2-cp-2016-0017.pdfDefinisi Brand menurut Susanto (2004:5), adalah pengait ingatan terhadap sesuatu

  • Upload
    lamdieu

  • View
    220

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB 2

LANDASAN TEORI

Di dalam bab 2 ini akan dibahas lebih dalam mengenai beberapa konsep dan

teori yang digunakan oleh penulis sebagai dasar pemikiran yang mendukung

argumentasi serta landasan dan kerangka berpikir dalam menulis dan penyusunan

tesis ini. Teori teori tersebut ditelaah dari berbagai sumber seperti pustaka, jurnal,

kutipan dan sumber lainnya.

2.1 Bisnis Ritel

Bisnis ritel di Indonesia, berkembang sangat pesat. Hal ini didukung oleh

faktor, salah satunya adalah terbukanya peluang pasar, perkembangan dari usaha

manufaktur yang memasok produk kepada pengusaha ritel, dan juga dorongan dari

pemerintah yang mendukung perkembangan ekonomi yang salah satunya dengan

menguatkan dari segi bisnis ritel.

Ritel (Retail) sendiri berasal dari kata Perancis, yang memiliki arti

“memotong kecil kecil” (Risch,1991). Menurut Levy dan Weitz (2004:6), Retailing

adalah rangkaian aktivitas bisnis yang bertujuan untuk menambah nilai guna barang

dan jasa yang dijual kepada konsumen yang ditujukan sebagai konsumsi pribadi atau

rumah tangga. Menurut Kotler (2000:592), Retailing adalah penjualan secara eceran

yang meliputi aktivitas penjualan barang dan atau pun jasa yang kepada konsumen

dimana digunakan sebagai konsumsi pribadi. Secara garis besar, bisnis ritel adalah

serangkaian aktivitas bisnis penjualan barang dan jasa secara eceran kepada

11

konsumen dimana tujuan akhirnya adalah konsumsi pribadi.

Bisnis ritel mencangkup pada kegiatan kegiatan seperti :

- Menyediakan produk yang diperlukan oleh konsumen akhir.

- Menjual dengan harga yang sesuai.

- Penyampaian dan distribusi kepada konsumen.

- Meyakinkan konsumen bahwa produk yang ditawarkan dapat memenuhi

kebutuhan konsumen.

2.2 Brand

Definisi Brand menurut Susanto (2004:5), adalah pengait ingatan terhadap

sesuatu yang mewakili citra tertentu dalam benak konsumen terhadap suatu barang.

Terdapat dua hal yang menjadi pencapaian dalam pemberian suatu merek. Pertama

adalah sebagai identitas dan kepribadian suatu produk melalui penamaan. Lebih

lanjut merek berperan sebagai ‘tools’ untuk mempertegas posisi dalam persaingan di

dalam pasar.

Menurut Kotler (2009:258), Brand merupakan nama, istilah, tanda, symbol,

rancangan, atau kombinasi dari semuanya yang dimaksudkan untuk

mengindentifikasi barang atau jasa atau kelompok penjual dan selanjutnya

membedakan dari produk / jasa pesaing.

Sedangkan menurut Godin (2009),

“Brand is the set of expectations, memories, stories and relationships that taken

together, account for a consumer‟s decision to choose one product or service over

another.”

12

Masih menurut Kotler (2003:418-19),brand memiliki 6 makna penting, yaitu:

Attributes

Dengan adanya brand maka konsumen dapat diberikan gambaran terhadap

atribut atau sifat dari brand itu sendiri.

Benefit

Setelah pendefinisian atribut / sifat, maka selanjutnya merek tersebut

ditransformasikan dalam bentuk dua manfaat, yaitu emosional dan fungsional.

Value

Dalam hal ini,brand dapat menambah nilai bagi produsen itu sendiri.

Culture

Dengan adanya brand, maka akan tercerminkan budaya tertentu.

Personality

Brand dalam hal ini mencerminkan kepribadian dari setiap penggunanya.

User

Brand dapat menggambarkan jenis pelanggan yang membeli atau

menggunakan produsen tersebut.

2.3 Brand Awareness

Definisi Brand Awareness menurut Aaker (2000), adalah kesanggupan calon

pelanggan dalam mengenal atau mengingat kembali bahwa suatu merek adalah

merupakan bagian dari satu produk. Dimana biasanya hal ini terkait pada aktivitas-

aktivitas promosi dan penciptaan kesan kepada konsumen akan suatu produk.

Sebagaimana dikuatkan oleh East (1997:29), brand awareness adalah suatu

13

pengakuan dan pengingatan dari sebuah merek dimana berperan pula sebagai

pembeda dengan merek lain. Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa Brand

Awareness adalah kesanggupan pelanggan dalam mengingat, mengenal dan

membedakan suatu merek dengan merek lain. Dalam menciptakan brand awareness

yang kuat dibutuhkan peran branding yang kuat akan suatu produk kepada konsumen.

Masih menurut Aaker, terdapat 4 tingkatan brand awareness:

Unaware of Brand (tidak menyadari merek)

Pada tingkatan paling rendah ini, pelanggan tidak menyadari akan keberadaan

suatu merek.

Brand Recognition (mengenal merek)

Pada tingkatan ini, pelanggan membutuhkan bantuan untuk mengenali suatu

merek. Seperti, memperlihatkan ciri ciri atau gambar tertentu.

Brand Recall (mengenal kembali merek)

Pada tingkatan ini, pelanggan tidak membutuhkan lagi bantuan untuk mengenali

suatu merek, dimana dengan disebutkan merek tersebut pelanggan sudah dapat

mengenali nya.

Top of Mind (puncak pikiran)

Pada tingkatan tertinggi ini, pelanggan tidak hanya membutuhkan bantuan untuk

mengenali suatu merek, akan tetapi jika ditanyakan dapat menjelaskan elemen

dari merek tersebut dan merupakan pertama terbayangkan dalam benak pelanggan

dalam kelas merek sejenis

14

Menambahkan menurut Aaker (2000), brand awareness akan menimbulkan

suatu value, yaitu:

Sumber pengembangan asosiasi

Dengan Brand Awareness yang tinggi, maka akan memudahkan pengembangan

asosiasi atau kesan suatu merek, seperti atribut atau manfaat produk.

Familiar akan produk

Rasa suka pelanggan dapat ditimbulkan oleh Brand Awareness, dimana pada

selanjutnya pelanggan akan akrab terhadap merek dan merekomendasikan kepada

orang lain.

Menimbulkan komitmen

Brand awareness pun dapat menimbulkan komitmen pelanggan dalam membeli suatu

produk. Dikarenakan dengan brand awareness yg didukung promosi yang kuat, dapat

memberikan kesan yang baik akan kekuatan suatu merek tersebut, dibandingkan

kompetitornya.

Selalu dipertimbangkan

Dengan brand awareness yang kuat, maka pelanggan pun akan selalu

mempertimbangkan produk tersebut sebelum membeli sesuatu dari kelas produk yang

sama.

2.4 Keunggulan Produk

Keunggulan produk baik pada barang maupun jasa merupakan salah

satu cara bagi suatu perusahaan dalam beradaptasi pada dinamika pasar,

teknologi maupun kompetisi dalam suatu industri (Dougherti dan Hardy, I

15

996:1120). Menurut Song dan Weiss (2001:65) keunggulan produk

merupakan persepsi atas nilai lebih melekat pada produk sebagai alat untuk

mencapai keunggulan kompetitif, dimana nilai lebih tersebut dapat dilihat

melalui kualitas produk yang bersifat teknis maupun non-teknis yang sesuai

dengan harapan serta kebutuhan konsumen. Sementara menurut Cooper dan

Kleinschmidt (2000:20) Keunggulan produk adalah nilai lebih yang dihasilkan

dari penanganan proses dan implementasi aktivitas produksi produk, yang

diukur keberhasilannya dengan telah memenuhi kriteria baik secara tehnik

maupun dari sisi pemasaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwasanya

keunggulan produk merupakan nilai lebih yang dimiliki oleh suatu produk

yang merupakan hasil dari aktifitas baik secara teknis maupun non-teknis

yang diusahakan guna memenuhi harapan serta kebutuhan konsumen. Dalam

mengukur keunggulan suatu produk menurut Cooper dan Kleinschmidt

(2000:20) bahwasanya digunakan beberapa indikator yakni melalui penilaian

atas kualitas produk yang melekat, inovasi produk dan harga jual yang

bersaing.

Menurut Hellofs dan Jacobson (1999:16) kualitas produk dapat

diartikan sebagai pertanda bahwa pelanggan akan lebih loyal, membeli lebih

banyak lagi, dan promosi gratis bagi perusahaan. Menurut Voss dan Voss

(2000:68) mencapai keunggulan produk dengan membangun kualitas produk,

merupakan langkah strategis yang harus ditempuh oleh perusahaan. Dimana

hal tersebut dapat menjadi nilai lebih yang sangat penting bagi konsumen

(Child dan McGrath,2001:1136). Kualitas produk dalam hal ini merupakan

16

kompetensi yang melekat pada sifat-sifat yang dimiliki oleh produk itu

sendiri, seperti halnya penggunaan bahan produksi, kecanggihan mesin

produksi, terkait isi dan kecakapan produk tersebut serta kekuatan nama yang

dimiliki oleh produk itu dibandingkan dengan pesaingnya. Oleh karena itu

kualitas produk merupakan alat kompetitif yang efektif dalam mencapai

keunggulan bersaing (Menon, 1997:187). Hal tersebut senada dengan

pendapat Olson (1995:48) bahwa untuk mencapai nilai lebih suatu produk,

maka yang harus dibenahi adalah koordinasi yang lebih efektif antara semua

pihak yang ada dalam suatu organisasi, seperti dengan mengelola sumberdaya

yang mendukung proses produksi produk. Kualitas juga berperan sebagai

pembeda bagi pelanggan terhadap antara produk perusahaan dengan produk

pesaing dalam suatu industri (Pitt,1996:2).

Masih menurut Cooper dan Kleinschmidt (2000:20), dalam mengukur

keunggulan produk yang kedua adalah dibutuhkan adanya inovasi pada

penangan produk tersebut. Hal tersebut terkait penanganan yang diberikan

pada produk tersebut. Dimana menurut Bruce, (1993) dalam Ferdinand

(2002:23) menggambarkan persaingan dalam sebuah sistem hubungan dimana

perusahaan hanya dapat bertahan hidup dan eksis, bila setiap perusahaan

mempunyai keunggulan unik dibandingkan dengan para pesaingnya. Hal ini

terkait sebagaimana studi yang dilakukan oleh Cowling dan Cubbin (1971);

Kwoka (1984) dalam Ferdinand (2000:25) strategi pemasaran dalam hal ini

memainkan peran yang sangat penting, dimana perhatian konsumen biasanya

tertuju. Menurut Han, dkk., (1998) dalam Wahyono (2002:31) bahwa strategi

17

pemasaran yang baik merupakan suatu bentuk komitmen perusahaan terhadap

kepuasan total pelanggan, yang bisa disebabkan inovasi yang berkelanjutan

untuk mencapai keunggulan produk. Hal tersebut diperkuat dengan. pendapat

Morgan dan Piercy (1998:191) bahwa pendekatan terhadap pelanggan melalui

inovasi produk merupakan respon perusahaan atas fungsi permintaan dan

keinginan pelanggan dan persepsi pelanggan yang mereka peroleh dari produk

yang ditawarkan oleh perusahaan.

Sedangkan indikator keunggulan produk yang ketiga menurut Cooper

dan Kleinschmidt (2000:20) harga jual yang bersaing. Hal ini menjadi sangat

penting dimana harga jual yang kompetitif merupakan suatu bentuk hasil

efektifitas yang telah dilakukan dalam rangkaian produksi yang telah dilalui

sehingga menjadikan biaya produksi yang juga efektif dan berdampak pada

penetapan harga jual yang kompetitif. Harga jual suatu produk mempunyai

daya tarik yang kuat terhadap daya beli pelanggan akan produk perusahaan

(Bronnenberrg dan Vanhonacker,1996:165).

Sehingga berdasarkan indikator keunggulan produk oleh Cooper dan

Kleinschmidt (2000:20) dapat disimpulkan bahwasanya keunggulan produk

yang didasarkan pada kualitas melekat pada nilai lebih produk itu sendiri

(kompetensi produk), inovasi produk diciptakan melalui dukungan dari

sumber daya lain diluar produk yang ada (kompetensi people) dan harga yang

kompetitif dipengaruhi oleh penentuan harga yang pantas pada suatu produk

(kompetensi harga).

18

2.5 Branding

Definisi branding menurut Business Dictionary (2014) adalah,

“The process involved in creating a unique name and image for a product in the

consumers' mind, mainly through advertising campaigns with a consistent theme.

Branding aims to establish a significant and differentiated presence in the market that

attracts and retains loyal customers.”

Sedangkan menurut Tom Duncan (2005:71),

“Branding is the process of creating a brand image that engages the hearts and

minds of customers, is what separates similar products from each other. “

Branding adalah salah satu langkah untuk membangun aset penting bagi

perusahaan, yaitu adalah suatu reputasi yang baik. Branding sendiri dapat

membangun ekspektasi terhadap produk atau jasa yang ditawarkan suatu perusahaan.

Tak pelak, Branding dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk

mempertahankan ekspektasi tersebut atau malah melebihinya, sehingga perusahaan

dapat menawarkan produk dan pelayanan yang lebih baik kepada pasar.

Branding memberikan berbagai keuntungan baik konsumen dan juga perusahaan.

Pengaruh Branding kepada konsumen, menurut Keller (2003:26) :

Mengurangi biaya „information search‟ karena branding telah memberikan

pengenalan mengenai produk dan citra merek tersebut

Memberikan informasi mengenai produsen dari produk tersebut

Memberi informasi tentang produk yang tentu diarahkan dalam pengambilan

keputusan pelanggan.

19

Sedangkan terhadap produsen, branding dapat berpengaruh pada:

Mempermudah produsen dalam penyampaian pesan

Memastikan kredibilitas produsen

Membantu dalam menghubungkan produsen dengan target pasar atau

pelanggan secara emosional

Membantu dalam memotivasi konsumen akan produk tersebut

Memastikan terbentuknya kesetiaan pelanggan

2.6 Marketing Mix

Menurut Kotler (2003:78),“Marketing mix as the set of controllable

marketing variables that the firm bleads to produce the response it wants in the target

market.”

Sedangkan menurut Swastha (1997:234), Marketing Mix adalah suatu

kombinasi dari variabel / kegiatan yang merupakan inti dalam pemasaran suatu

perusahaan.

Dan jika disimpulkan, maka Marketing Mix atau bauran pemasaran adalah

tiap usaha yang dilakukan manajemen suatu organisasi untuk mencapai target yang

ditentukan dan pada sasaran pasar yang dituju dengan mengkombinasikan variabel

dalam sistem pemasaran dalam perusahaan itu sendiri. Menyambung teori yang telah

dikemukan oleh Swastha tersebut, maka dapat dijabarkan pula Marketing Mix

menjadi variable yang lumrahnya disebut dengan 7P, namun dalam tesis ini, penulis

hanya menggunakan parameter kompetensi yang hanya dititikberatkan pada

20

pendekatan 6P, dimana penulis mengeleminasi Process , dimana kurang relevan

dalam penelitian ini, dimana Marketing Mix yang kami gunakan adalah :

Product

Produk adalah sesuatu yang ditawarkan pelaku pasar dalam tujuan agar

dimiliki, digunakan, dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan konsumen, dimana

berbentuk barang, jasa maupun bentuk lain. Strategi dapat diberlakukan dengan

merancang kebijakan mengenai keputusan akan produk yang ditawarkan mencangkup

fisik dari produk, merek, packaging dan bentuk servis.

Lebih jauh , strategi yang dapat dilakukan menurut Tjiptono(1999:109-32) adalah ;

- Product positioning : Dengan melakukan analisis marketing, terutama posisi

di dalam pasar sebelum melakukan bisnis

- Product re-positioning : Dengan melakukan review terhadap posisi saat ini

dan berujung kepada strategi positioning baru. Tujuan nya adalah untuk

memperbaiki situasi bisnis perusahaan dan memastikan kelangsungan produk.

- Product overlap : Dengan menciptakan persaingan terhadap suatu merek

tertentu milik perusahaan sendiri. Strategi ini dilakukan agar dapat menarik

lebih banyak pelanggan, memperbanyak kapasitas dan mengurangi biaya

- Product scope : Strategi yang berkaitan dengan perspektif bauran produk ini

dilakukan dengan contohnya adalah menganalisis jumlah lini produk dan item

yang ditawarkan.

- Product elimination : Melakukan pengurangan komposisi portofolio produk

yang dihasilkan perusahaan , dengan memangkas jumlah produk di dalam

suatu lini atau jumlah divisi.

21

- Product design : Strategi ini berkaitan dengan proses standarisasi produk,

dimana ada 3 pilihan strategi; standard, customized dan standard with

modification. Dan tujuan dari strategi ini adalah pertumbuhan pangsa pasar

dan laba.

- New product : Strategi ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan baru,

memperkuat reputasi perusahaan dan mempertahankan daya saing melalui

inovasi. Strategi produk baru ini meliputi produk orisinil , penyempurnaan

produk , modifikasi produk dan pengembangan melalui riset.

Price

Harga diartikan sebagai nilai dari suatu barang atau jasa yang diukur dengan

sejumlah uang dimana berdasarkan nilai tersebut seseorang / perusahaan bersedia

melepaskan barang / jasa yang dimiliki kepada pihak lain. (Nitisemito, 1991:55).

Harga merupakan satuan moneter atau ukuran lainnya (termasuk barang dan jasa)

yang ditukarkan agar memperoleh hak kepemilikan atau penggunaan suatu barang

atau jasa, Tjiptono (2001:151). Sedangkan metode penerapan strategi harga menurut

Ma’aruf (2005:135) terbagi menjadi 5 jenis:

1. Customary pricing, dimana menetapkan harga sesuai dengan harga yang

lumrah

2. Penetapan Odd Pricing / harga ganjil

3. Leader pricing, menetapkan harga lebih rendah dari harga pasar

4. Rabat Pricing, memberi potongan dalam kuantitas lebih

5. Price lining , menetapkan harga dalam berbagai tingkat yang berbeda

22

Harga dapat ditentukan oleh kebijakan dimana antara lain :

1. Uniform pricing, dimana kebijakan harga yang dikenakan penjual sama untuk

setiap unit nya.

2. Price discrimination, dimana penjual menetapkan harga yang berbeda dalam

jumlah unit yang berbeda pada produk sejenis / sama.

3. Complete price discrimination, dimana penjual menetapkan harga sangat

dekat dengan harga margin.

4. Direct segment discrimination, dimana penjual menetapkan harga yang

berbeda untuk tiap segmen.

5. Indirect segment discrimination, dimana penjual (yang tidak menyentuh

segmen secara langsung) memberikan opsi seperti penyesuaian kuantitas dan

besaran produk untuk meningkatkan margin.

Place

Pembauran yang selanjutnya dibahas berkaitan dengan saluran distribusi.

Menurut Kotler (2000:48), saluran distribusi merupakan perangkat yang melakukan

kegiatan / fungsi yang digunakan untuk menyalurkan produk dan pengubahan status

kepemilikan dari produsen kepada konsumen.

Dapat diartikan bahwa saluran distribusi suatu barang adalah seluruh kegiatan

dalam memindahkan kepemilikan produk yang melibakan pihak pihak yang berkaitan

seperti produsen, konsumen, agen. Masih menurut Kotler, syarat yang harus

dilakukan agar kegiatan distribusi berjalan dengan adalah dengan melakukan:

1. Penelitian, dengan mencari dan mengumpulkan informasi untuk perencanaan dan

dalam proses pertukaran.

23

2. Promosi, pengembangan dan penyebaran informasi yang persuasif mengenai

penawaran.

3. Penyelarasan, yaitu mempertemukan penawaran yang sesuai dengan permintaan

pembeli termasuk juga dengan pengolahan, penilaian dan pengemasan.

4. Negosiasi, yaitu usaha untuk mencapai persetujuan akhir.

5. Distribusi fisik, penyediaan sarana transportasi atau penyimpanan.

6. Pembiayaan, yaitu menyediakan dana untuk penyediaan permintaan dan juga

menutup biaya dalam saluran pemasaran.

7. Pengambilan resiko, yaitu memperkirakan resiko yang akan terjadi sehubungan

dengan pelaksanaan pelaksanaan saluran pemasaran tersebut.

Terdapat 3 tipe saluran distribusi:

- Distribusi insentif

Digunakan oleh produsen dengan menggunakan penyalur terutama pengecer

sebanyak banyaknya dalam mendekati konsumen.Diharapkan dengan

pendistribusian insentif dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan konsumen.

- Distribusi selektif

Produsen atau perusahaan menggunakan jasa sejumlah pedagang

besar/pengecer.Biasanya saluran distribusi ini digunakan untuk memasarkan

produk baru.

24

- Distribusi ekslusif

Digunakan oleh produsen/ perusahaan ketika hanya menggunakan satu

pedagang besar/pengecer dalam daerah tertentu. Diharapkan pengawasan

terhadap barang lebih mudah.

Promotion

Saladin & Oesman (2003:195) mendefinisikan promosi sebagai kegiatan

komunikasi informasi oleh penjual dan pembeli yang bertujuan merubah sikap dan

tingkah laku pembeli, dimana sebelumnya tidak mengenal menjadi mengenal produk,

menjadi pembeli & mengingat produk tersebut.Sedangkan menurut Tjiptono

(2001:221), promosi adalah suatu aktifitas pemasaran yang berusaha menyebarkan

informasi, membujuk & mengingatkan sasaran pasar atas produk yang ditawarkan

agar bersedia menerima, membeli & loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan

bersangkutan. Hingga dapat penulis simpulkan, bahwa promosi adalah media

komunikasi dan penyampaian pesan yang dilakukan oleh perusahaan maupun

perantara yang menyertai dengan tujuan memberi informasi tentang produk itu

sendiri, dimana informasi tersebut bersifat memberitahu, membujuk dan menanamkan

ingatan kepada konsumen.

Lalu demi mendukung kegiatan promosi yang optimal, maka diperlukan

bauran promosi dimana merupakan jenis kegiatan yang mampu mendorong

kesuksesan kegiatan promosi suatu perusahaan, dimana menurut Kotler (2003:564)

terbagi sebagai berikut:

25

- Periklanan (Advertising)

Adalah bentuk promosi non personal yang menggunakan berbagai media

dimana bermaksud untuk merangsang pembelian oleh konsumen.

- Promosi penjualan (Sales promotion)

Adalah variasi insentif jangka pendek dimana bertujuan untuk merangsang

timbulnya pembelian

- Penjualan personal (Personal selling)

Adalah kegiatan presentasi dengan lisan dan personal demi merangsang

pembelian oleh konsumen

- Publisitas (Publicity)

Adalah kegiatan memperbaiki, melindungi dan mempertahankan

kelangsungan dan citra produk

- Pemasaran langsung (Direct marketing)

Adalah kegiatan pemasaran secara langsung kepada konsumen secara

perseorangan.

Physical Evidence

Menurut Zeithaml (2006:27), Physical evidence adalah suatu lingkungan

dimana pelayanan dan kegiatan aktivitas bisnis berlangsung dan komponen nyata

yang memfasilitasi kinerja dan komunikasi dari tiap layanan yang diberikan. Secara

singkat, Physical evidence adalah komponen nyata yang turut mempengaruhi

keputusan dari setiap konsumen untuk membeli dan menggunakan produk yang

ditawarkan oleh produsen.

26

Komponen- komponen yang dapat termasuk dalam Physical evidence :

- Lingkungan fisik, seperti bangunan, perlengkapan dan logo

- Atmosfer, seperti tata ruang, aroma dan tampilan visual.

People

Menurut Zeithaml dan Bitner (2006:26), definisi dari people adalah setiap

pelaku yang mempunyai peran dalam setiap penyajian jasa yang dapat mempengaruhi

persepsi dari para pembeli.

Lebih lanjut, beberapa elemen dari people itu sendiri adalah pegawai

perusahaan, pelanggan, dan pelanggan dalam lingkungan jasa. Lupiyoadi (2001:5),

mengkategorikan 4 peran atau pengaruh aspek people yang mempengaruhi

pelanggan, yaitu :

1. Contractor

Dimana komponen people disini melakukan interaksi langsung dengan

pelanggan/ konsumen dalam frekuensi yang cukup sehingga memungkinan

untuk mempengaruhi konsumen dalam proses pembelian.

2. Modifier

Merupakan komponen yang tidak memiliki keterlibatan secara langsung

dalam setiap aktivitasnya, dimana kontak dengan konsumen sedikit. Namun,

tetap memerlukan pelatihan dan pengembangan kerja intensif oleh manajemen

(contoh : operator telpon, resepsionis).

27

3. Influencer

Merupakan komponen yang tidak secara langsung melakukan kontak dengan

konsumen, namun memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pengambilan

keputusan konsumen untuk membeli produk. Influencer lebih memberikan

pengaruh dalam pengambilan keputusan, dimana dapat bersifat rasional

maupun emosional (contoh:R&D, staff produksi).

4. Isolated

Merupakan komponen yang juga secara tidak langsung melakukan kontak

dengan konsumen, namun memiliki peran penting dalam kinerja suatu

perusahaan, seperti penyediaan informasi intraorganisasi dan pendukung lain

(contoh: IT, administrasi, HR).

2.7 Customer Satisfaction

Menurut Kotler (2003:61) kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai perasaan

senang atau kekecewaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang

dirasakan dibandingkan dengan ekspektasi terhadap barang yang ia gunakan.

Customer Satisfaction bertindak sebagai “the number of customers, or

percentage of total customers, whose reported experience with a firm, its products, or

its services (ratings) exceeds specified satisfaction goals”

Halstead, Hartman & Schmidt (1994:114), berpendapat bahwa customer

statisfaction adalah

“A transaction-specific affective response resulting from the customer‟s comparison

of product performance to some prepurchase standard “

28

Sedangkan Pappu & Quester (2006:4-14) mengungkapkan customer

statisfaction adalah sebagai “an overall customer‟s positive evaluation of the

products and services purchase experiences and consumptions which, before

purchasing products and services, the customers might have certain expectation

about the outcomes of the product and service, therefore satisfaction is related with

customers‟ personal opinion and feeling whether after experienced the product, they

think that the product and services meet their expectations”.

Lebih lanjut, menurut Anderson (1994:112-20), “Customer‟s satisfaction

could give economic benefits for the company such as increasing the profitability and

return on investment since the satisfied customers will have higher possibility to

repurchase the product and retained to the products.

Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa Customer Satisfaction adalah

sebuah respon positif dari pelanggan terhadap ekspektasi dari produk atau jasa

dengan yang telah dirasakan dimana dapat berdampak dalam peningkatan penjualan

dikarenakan kesempatan pembelian berulang oleh pelanggan yang tinggi.

Menurut Kotler (2000:41) terdapat empat metode yang dapat dilakukan suatu

perusahaan untuk memperoleh data tingkat kepuasan pelanggan ;

1. Sistem keluhan dan saran

Dalam proses pengidentifikasian masalah ini,perusahaan mengumpulkan

informasi langsung dari konsumen dengan menyediakan kotak saran yang

sekiranya akan dikumpulkan dan menjadi masukan untuk lebih baik

2. Survei kepuasan konsumen

29

Proses pengidentifikasian masalah ini dilakukan dengan cara survei melalui

surat, telepon, maupun wawancara.

3. Ghost Shopping

Ghost Shopping dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan

perusahaan pesaing dan membandingkan dengan perusahaan bersangkutan.

Biasanya dilakukan dengan seolah-olah mempresentasikan diri sebagai calon

rekanan / saudara pesaing.

4. Analisis kehilangan konsumen

Ditahap ini, perusahaan yang bersangkutan menganalisis dan berusaha

memahami atas kehilangan pelanggan.

2.8 Brand Trust

Kepercayaan pelanggan terhadap suatu merek adalah salah satu komponen

yang penting demi kelangsungan bisnis suatu perusahaan. Menurut Lau &Lee

(1999:341-70) melalui jurnal mereka, Brand Trust atau kepercayaan terhadap suatu

merek menggambarkan suatu komponen yang penting dari penempatan internal atau

sikap yang diasosiasikan dengan loyalitas merek. Oleh karenanya, dapat disimpulkan

bahwa loyalitas pelanggan akan tercapai apabila trust terhadap pelanggan tercapai.

Menurut Dooney & Canyon (2001:108) kepercayaan pelanggan didefinisikan

sebagai:

“It involves a calculative process based on the ability of an object or parts (brand)

to continue to meet its obligation and on an estimation of the cost versus rewards of

straying in the relationship.”

30

Menurut Lau & Lee (1999:341-70), dalam membangun dan mengembangkan

kepercayaan tersebut, perusahaan diharuskan memahami 3 elemen utama yang sangat

penting dimana menjadi determinan yang nantinya akan dapat berkembang menjadi

Loyalty.

Gambar 2.1 Elemen Pengembangan Loyalitas Konsumen

Sumber : Lau & Lee (1999)

Brand Characteristic

Brand Characteristic dalam hal ini memainkan peran yang vital dalam

menentukan apakah pelanggan memutuskan percaya atau tidak ke suatu merek.

Berdasarkan pada penelitian kepercayaan interpersonal, individu-individu yang

dipercaya didasarkan pada reputation, predictability dan competence dari individu

tersebut.

Company characteristic

Hal ini diyakini dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan pelanggan pada

sebuah merek. Dan ini dilihat dari pengetahuan pelanggan terhadap produsen atau

perusahaan yang bersangkutan, dimana juga mempengaruhi penilaian pelanggan

terhadap merek perusahaan itu sendiri. Elemen yang berpengaruh adalah kepercayaan

31

pelanggan terhadap perusahaan, reputasi perusahaan, motif-motif dari perusahaan

yang dipersepsikan, dan integritas perusahaan yang dipersepsikan

Consumer-Brand Characteristics

Dalam hal ini didefinisikan sebagai hubungan tidak satu arah, dimana setiap

pihak saling mempengaruhi satu sama lain.Hingga setiap karakteristik tersebut dapat

mempengaruhi kepercayaan pelanggan terhadap merek. Elemen yang berpengaruh

mencangkup kesamaan (similarity) antara self-concept pelanggan dengan citra merek,

kesukaan pelanggan terhadap merek, pengalaman pelanggan, kepuasaan pelanggan,

serta dukungan dari rekan (peer support)

2.9 Brand Loyalty

Definisi brand loyalty menurut Mowen (1995:531),

“brand loyalty is defined as the degree to which a customer holds a positive attitude

toward a brand, has a commitment to it, and intends to continue purchasing it in the

future As such, brand loyalty is directly influenced by the customer satisfaction

dissatisfaction with the brand”.

Sedangkan menurut Assael (1998:45), loyalitas produk merupakan suatu hasil

pembelajaran konsumen kepada suatu entitas tertentu seperti merek, produk atau jasa

yang memuaskan kebutuhan dari konsumen.

Sehingga menurut penulis brand loyalty adalah suatu sikap positif pelanggan

terhadap suatu produk dimana diyakini produk tersebut dapat memuaskan kebutuhan

pelanggan sehingga terciptanya komitmen pelanggan untuk tetap membeli produk

tersebut.

32

Dan sebuah kerangka konseptual dikembangkan oleh Dick & Basu (1994:52),

dimana bertujuan agar dapat lebih memahami faktor-faktor yang mempengaruhi

hubungan sikap relatif-repeat patronage dan konsekuensinya.

Gambar 2.2 Kerangka repetisi dan sikap relativitas

Sumber : Dick & Basu (1994)

Sedangkan Aaker (1997:347-56) menguraikan tingkatan loyalitas yang dibagi

menjadi lima tingkatan, dan setiap tingkatan memiliki karakteristik berbeda, yaitu :

1. Switcher

Switcher merupakan tingkat loyalitas paling dasar, dimana pelanggan dalam

tingkat ini masih cenderung berganti ganti merek. Dan dengan berganti ganti

merek itulah, indikasi mereka sebagai pelanggan/ pembeli tidak loyal.Dan di

tingkat ini, merek tidak mempunyai peran yang vital dalam pengambilan

keputusan pembeli.

2. Habitual Buyer

Dalam tingkat ini, pembeli dikategorikan sebagai orang orang yang puas akan

merek produk yang telah mereka gunakan. Dalam tahap ini biasanya pembeli

melakukan aktivitas pembelian barang dengan didasari oleh kebiasaan mereka

terhadap suatu produk.

33

3. Satisfied buyer

Pada tingkat ini pembeli merasa puas bila mereka mengkonsumsi merek

tertentu, namun masih terdapat kemungkinan jika mereka memindahkan

pembeliannya ke merek lain dengan menanggung biaya peralihan (switching

cost) yang terkait dengan waktu, uang, atau resiko kinerja yang didapat dari

satu merek dengan merek lainnya. Oleh karenanya, untuk dapat menarik minat

para satisfied buyer maka perusahaan perlu melakukan langkah untuk

meminimalkan biaya peralihan yang harus ditanggung oleh pembeli tersebut

dengan menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai

kompensasinya (switching cost loyal).

4. Likes the brand

Pada tingkatan ini, disertai perasaan emosional akan suatu merek. Perasaan

emosional ini didasari oleh penyimbolan, pengalaman dari penggunaan

sebelumnya serta kualitas produk yang sudah teruji. Namun, terkadang

perasaan ini masih sulit diidentifikasi secara spesifik karena berhubungan juga

dengan selera dari pembeli.

5. Committed buyer

Di tingkatan ini, pembeli tergolong dalam pelanggan setia, dimana terdapat

rasa kebanggaan dan bahkan produk tersebut menjadi identitas dari pelanggan

tersebut.

Aktualisasi loyalitas pembeli dalam tingkatan ini juga dapat ditunjukkan oleh

tindakan seperti merekomendasi atau mempromosikan produk tersebut kepada

orang lain.

34

2.10 Buyer classification

Menurut Solomon (2002:6), perilaku konsumen adalah studi tentang proses

proses yang terjadi saat individu atau kelompok penyeleksi membeli, menggunakan

atau menghentikan pemakaian produk, jasa, ide atau pengalaman dalam pemenuhan

keinginan atau hasrat tertentu. Sedangkan menurut Schiffman (2000:154), perilaku

konsumen adalah perilaku yang ditunjukkan oleh konsumen dalam mencari, membeli,

mengevaluasi dan menghentikan pemakaian produk, jasa dan gagasan.

Proses pembelian konsumen dibagi menjadi 4 :

1. Complex buying power, dimana konsumen akan mengindentifikasi kebutuhan

/ permasalahan yang mereka hadapi dan rela menyediakan waktu dan tenaga

untuk mengambil keputusan sesuai dengan semakin tingginya nilai produk

tersebut.

2. Dissonance-Reducing buying power, dimana konsumen tidak memerlukan

pengambilan keputusan kembali, karena sudah puas dengan pembelian

sebelumnya.

3. Variety-Seeking buying behavior, dimana peran konsumen relatif lebih sedikit

namun masih ada proses pengambilan keputusan. Konsumen masih akan

berpindah pindah ke merk lain, dan biasanya terjadi pada saat pembelian

produk.

4. Habitual buying behavior, dimana pembelian produk terjadi bukan karena

kesetiaan konsumen, namun karena kebiasaan dari konsumen itu sendiri.

35

Table 2.1 Pemetaan Habitual Buyer

Sumber : Schiffman (2000)

2.11 Pengambilan Keputusan Pelanggan

Sebuah promosi yang efektif dibutuhkan faktor pendorong yang sekiranya

menjadi stimulus dalam kegiatan tersebut, dimana nantinya faktor tersebut mampu

mempengaruhi calon pelanggan dalam pengambilan keputusan. Faktor tersebut

adalah perilaku konsumen.

Definisi perilaku konsumen sendiri adalah suatu perilaku yang ditunjukkan

konsumen dalam usahanya dalam membeli, menggunakan, mengevaluasi dan

penggantian produk yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan (Schiffman,

2004:8). Lebih lanjut, Kotler (2006:129) menjelaskan faktor faktor perilaku

konsumen, yaitu :

Faktor Social

Group: Dimana dipengaruhi oleh grup grup kecil seperti

kelompok keagamaan, perkumpulan professional dan lainnya.

Keterlibatan yang tinggi Keterlibatan yang rendah

Perbedaan yang signifikan

antar Brand

Complex buying power Variety-Seeking buying

behavior

Perbedaan yang tdk

banyak antar Brand

Dissonace-Reducing

buying power

Habitual buying behavior

36

Family: Dimana dipengaruhi oleh keluarga yang

mempengaruhi keputusan. Seperti pengaruh suami, istri dan

anak terhadap pembelian sesuatu

Role and Status: Dimana seseorang memiliki kelompok dalam

keluarga maupun organisasi dan mempunyai status dan peran

penting, sehingga dapat berpengaruh terhadap kelompoknya

tersebut.

Faktor Cultural

Subculture: Dipengaruhi oleh kepentingan kelompok yang

berbagi berdasarkan persamaan pengalaman hidup dan

keadaan, seperti agama dan daerah asal.

Social Class: Dipengaruhi oleh pengelompokan berdasarkan

kesamaan nilai, minat dan perilaku, seperti pekerjaan dan

kekayaan.

Faktor Personal

Economic Situation : Dipengaruhi oleh status ekonomi

seseorang.

Lifestyle : Dipengaruhi oleh pola hidup dan aktivitas seseorang.

Personality: Dipengaruhi oleh karakteristik seseorang.

Age: Dipengaruhi oleh umur seseorang, dimana dengan

perbedaan umur, maka akan berbeda pula kebutuhan

seseorang.

Occupation: Dipengaruhi oleh pekerjaan seseorang.

37

Faktor Psychological

Motivation: Dipengaruhi oleh motivasi seseorang untuk

memiliki produk.

Perception: Dipengaruhi oleh persepsi seseorang yang berbeda

dalam menterjemahkan kebutuhan.

Learning: Dipengaruhi oleh suatu proses, dimana merupakan

hasil analisis, observasi, atau diskusi dalam penentuan

kebutuhan.

Beliefs: Dipengaruhi oleh kepercayaan seseorang terhadap

sesuatu hal.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Schiffman (2004:547), keputusan pembelian

adalah pemilihan dari dua atau lebih alternatif dalam pilihan pembelian. Bentuk

proses pengambilan keputusan tersebut, masih menurut Schiffman adalah sebagai

berikut:

Fully Planned Purchase : Dimana pembelian produk telah

direncanakan sebelumnya.

Partially Planned Purchase : Dimana pembelian produk telah

direncanakan, namun pembelian merek masih ditunda hingga kondisi

tertentu, seperti diskon.

Unplanned Puchase : Dimana terjadi tanpa perencanaan dan dilakukan

perencanaan saat itu juga di tempat berbelanja. Konsumen dibantu

oleh katalog dan juga display produk.

38

2.12 Organizational Behavior

Organisasi adalah suatu kumpulan manusia di dalam suatu wadah yang

memiliki suatu tujuan atau maksud yang sama dimana pada dasarnya mereka bekerja

secara sistematis dan juga rasional, terencana dengan baik dan terpimpin dan

dikendalikan dengan memanfaatkan segala sumber daya , sarana dan prasarana dan

lain nya untuk digunakan secara efisien demi mencapai tujuan.

Organizational behavior atau perilaku organisasi sendiri merupakan kajian

lebih lanjut dari organisasi. Menurut definisi dari Luthans (2005:20) organizational

behavior adalah pemahaman, prediksi serta pengelolaan perilaku setiap orang dalam

organisasi. Sedang kan menurut Investopedia melalui www.investopedia.com

mengutarakan bahwa,

“Organizational Behaviour is the study of the way people interact with groups.

Normally applied in an attempt to create more efficient business organizations.”

Sehingga dapat ditarik kesimpulan oleh penulis bahwa Organizational behavior atau

perilaku organisasi sebuah ilmu yang mempelajari interaksi manusia di dalam suatu

organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat efektivitasan organisasi.

Terdapat empat unsur perilaku organisasi menurut Walter (1982:8), yaitu :

Aspek psikologi dari tindakan manusia, dimana merupakan hasil studi

psikologi

Terdapat bagian lain yang telah diakui cukup relevan, dalam tiap usaha studi

terhadap tindakan manusia dalam organisasi tersebut

39

Sebagai suatu disiplin, perilaku organisasi menganggap bahwa individu setiap

dipengaruhi oleh pengaturan suatu organisasi dan siapa yang bertindak

sebagai pengawas dalam organisasi tersebut.

Perilaku organisasi lebih menekankan pada tuntutan dari pihak manajerial

untuk mencapai terpenuhi nya tujuan organisasi.

Lebih lanjut, Nimran (1996:11) mendefinisikan tujuan mempelajari perilaku

organisasi,yaitu:

Prediksi

Dimana dengan memprediksi perilaku dapat bermanfaat untuk membangun

aktifitas komunikasi yang lebih baik, efektif dan efisien, sehingga kemampuan

berpikir, bersikap dan bertindak di dalam organisasi pun semakin baik.

Pemaparan

Dimana mampu menjelaskan berbagai peristiwa dan bentuk nyata dari

organisasi tersebut.

Pengendalian

Dimana pada akhirnya dapat membantu pemimpin suatu organisasi dalam

mengendalikan individu dan kelompok dari organisasi demi tercapainya

tujuan.

40

Pada bab selanjutnya, penulis akan menerangkan lebih dalam mengenai

metodologi penulisan tesis ini, terkait metode yang digunakan, rangkaian data serta

pemetaan distribusi pengumpulan data lain yang diperoleh melalui penyebaran

kuesioner.