31
BAB 7 KLASIFIKASI, DISTRIBUSI, REALISASI FONEM BAHASA INDONESIA A. KLARISIFIKASI FONEM BAHASA INDONESIA B. DISTRIBUSI FONEM BAHASA INDONESIA Dalam pemakaianya, fonem-fonem bahasa Indonesia menyebar ke posisi onset silaba, nuklus silaba, dan koda silaba. Posisi onset dan koda diduduki fonem konsonan, sedangkan posisi nuklus diduduki fonem vocal. Hanya saja, dalam praktiknya direalisasikan dalam berbagai variasi bunyi sebagai alofonya. Hal ini karena dipengaruhi oleh lingkunganya.

Bab 7 Fonologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Fonologi

Citation preview

Page 1: Bab 7 Fonologi

BAB 7 KLASIFIKASI, DISTRIBUSI, REALISASI FONEM BAHASA INDONESIA

A. KLARISIFIKASI FONEM BAHASA INDONESIA

B. DISTRIBUSI FONEM BAHASA INDONESIA

Dalam pemakaianya, fonem-fonem bahasa Indonesia menyebar ke posisi onset

silaba, nuklus silaba, dan koda silaba. Posisi onset dan koda diduduki fonem konsonan,

sedangkan posisi nuklus diduduki fonem vocal. Hanya saja, dalam praktiknya

direalisasikan dalam berbagai variasi bunyi sebagai alofonya. Hal ini karena dipengaruhi

oleh lingkunganya.

Berkaitan dengan ini, parera (1983: 38-40) tidak hanya berfokus pada lingkungan

silaba atau suku kata, tetapi juga pada lingkungan tutur, kata, morfem, dan unsure

suprasegmental. Penglihatan distribusi fonem yang demikian didasarkan pada

kesemestaan bahasa bias ditemukan model distribusi fonem semacam ini.

Page 2: Bab 7 Fonologi

Kemungkinan distribusi fonem tersebut terangkum seperti berikut.

1. Kemungkinan Distribusi Fonem Vokal

a. Dalam hubungan dengan tutur (t) Diagram:

(1) Inisial/awal Vt--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur t---------V------------

(3) Medial/tengah antartutur t----------Vt---------

(4) Final/akhir t----------------------k

b. Dalam hubungan dengan kata (k)

(1) Inisial/awal Vk--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur k---------V------------

(3) Medial/tengah antartutur k----------Vk---------

(4) Final/akhir k----------------------k

c. Dalam hubungan dengan morfem (m)

(1) Inisial/awal Vm--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur m---------V------------

(3) Medial/tengah antartutur m----------Vm---------

(4) Final/akhir m----------------------k

d. Dalam hubungan dengan silaba (s)

(1) Inisial/awal Vs--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur s---------V------------

(3) Medial/tengah antartutur s----------Vs---------

(4) Final/akhir s----------------------k

e. Dalam hubungan dengan fonem konsonan

(1) Mendahului fonem konsonan Vkonsonan

(2) Antara fonem konsonan konsonanVkonsonan

(3) Setelah fonem konsonan konsonanV

f. Dalam hubungan dengan ciri-ciri suprasegmental

(1) Ada tekanan Vtekanan

(2) Ada nada Vnada

(3) Ada durasi Vdurasi

(4) Ada sendi Vsendi

Page 3: Bab 7 Fonologi

2. Kemungkinan Distribusi Fonem Konsonan

a. Dalam hubungan dengan tutur (t)

(1) Inisial/awal Kt--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur t---------t------------

(3) Medial/tengah antartutur t----------Kt---------

(4) Vinal/akhir t----------------------K

b. Dalam hubungan dengan kata (k)

(1) Inisial/awal Kk--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur k---------K------------

(3) Medial/tengah antartutur k----------Kk---------

(4) Final/akhir k----------------------K

c. Dalam hubungan dengan morfem (m)

(1) Inisial/awal Km--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur m---------K------------

(3) Medial/tengah antartutur m----------Km---------

(4) Final/akhir m----------------------K

d. Dalam hubungan dengan silaba (s)

(1) Inisial/awal Ks--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur s---------K------------

(3) Final/akhir s----------------------K

e. Dalam hubungan dengan fonem vocal

(1) Mendahului konsonan Kvokal

(2) Antara konsonan vokalKvokal

(3) Setelah konsonan vokalK

3. Kemungkinan Distribusi Fonem Diftong

a. Dalam hubungan dengan tutur, kata, dan/atau morfrm (t/k/m)

(1) Inisial/awal Dt/k/m--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur t/k/m---------D------------

(3) Medial/tengah antartutur t/k/m -------Dt/k/m------

(4) Final/akhir t/k/m ----------------------D

Page 4: Bab 7 Fonologi

b. Dalam hubungan dengan silaba (s)

(1) Tidak silabis Dtaksilabis

(2) Vokal I silabis Dv1silabis

(3) Vokal II silabis Dv2silabis

c. Dalam hubungan dengan fonem konsonan

(1) Mendahului fonem konsonan Dkonsonan

(2) Antara fonem konsonan konsonanDkonsonan

(3) Setelah fonem konsonan konsonanD

4. Kemungkinan Distribusi Fonem Kluster

a. Dalam hubungan dengan tutur, kata, dan/atau morfrm (t/k/m)

(1) Inisial/awal Kt/k/m--------------------

(2) Medial/tengah dalam tutur t/k/m---------KL------------

(3) Medial/tengah antartutur t/k/m -------KLt/k/m------

(4) Final/akhir t/k/m ----------------------KL

b. Dalam hubungan dengan silaba (s)

(1) Tidak silabis KLtaksilabis

(2) Vokal I silabis KLk1silabis

(3) Vokal II silabis KLk2silabis

c. Dalam hubungan dengan fonem konsonan

(1) Mendahului fonem konsonan KLkonsonan

(2) Antara fonem konsonan konsonanKLkonsonan

(3) Setelah fonem konsonan konsonanKL

Page 5: Bab 7 Fonologi

C. REALISASI FONEM BAHASA INDONESIA

Page 6: Bab 7 Fonologi
Page 7: Bab 7 Fonologi
Page 8: Bab 7 Fonologi

D. FONEM GRAFEM BAHASA INDONESIA

Grafem atau sistem perlambangan bunyi – alih-alih disebut sistem ejaan – ini ada

dua macam, yaitu grafem yang mengikuti fonetis dan grafem yang mengikuti sistem

fonemis.

sistem penulisan bahasa Indonesia (yang dipakai selama ini) mengikuti ejaan fonemis,

walaupun tidak sepenuhnya, sebab, kalau benar-benar mengikuti ejaan fonemis,mestinya

satu fonem dilambangkan satu huruf. Kenyataanya tidak demikian. Ejaan Bahasa

Indonesia Yang Disempurnakan. Masih dijumpai minimal dua masalah terkait dengan

pelambangan fonem, yaitu (1) satu fonem dilambangkan dua huruf, dan (2) dua fonem

dilambangkan satu huruf.

1. Fonem /η/, /ñ/, /x/, dan /š/ masing-masing dilambangkan <ng>,<ny>, <kh>, dan <sy>.

Contoh :

/meηaηa/ <menganga>

/ñañi/ <nyanyi>

/šarat/ <syarat>

Page 9: Bab 7 Fonologi

2. Fonem /e/ dan /ə/ dilambangakan <e>

Contoh :

/sate/ <sate>

/bərat/ <berat>

Walapun demikian, EYD yang digunakan sekarang ini sudah berusaha untuk mengurangi

kelemahan ejaan sebelumnya. Ejaan van Ophuisen dan ejaan suwandi lebih banyak

kelemahanya.

Pada ejahan van ophuijsen:

1. Fonem /u/, /j/, /c/, /η/, /ñ/, /x/, dan /š/ dilambangkan dengan hurup: <oe>, <dj>, ,<ng>,

<nj>, <ch>, <ch>, dan <sj>.

Contoh :

/untuk/ <oentoe’>

/jəjak/ <djedja’>

/cacat/ <tjatjat>

/meηaηa/ <menganga>

/ñañi/ <nyanyi>

/maxluk/ <machlu’>

/šarat/ <sjarat>

2. Fonem /k/ dilambangkan <’>

Contoh :

/tidak/ <tida’>

3. Fonem /e/, /ə/, dilambangkan /e/.

Contoh:

/sate/ <sate>

/bərat/ <berat>

Pada ejaan Suwandi

1. Fonem /j/, /c/, /η/, /x/, dan /š/ dilambangkan <dj>, <tj> <ng>, <nj>, <ch>, dan <sj>

Contoh:

/jəjak/ <djedjak>

Page 10: Bab 7 Fonologi

/cacat/ <tjatjat>

/meηaηa/ <menganga>

/ñañi/ <nyanyi>

/maxluk/ <machluk>

/šarat/ <sjarat>

2. Fonem /e/, /ə/, dilambangkan /e/.

Contoh:

/sate/ <sate>

/bərat/ <berat>

3. Fonem /f/, /v/ /z/ belum diakui sebagai fonem bahasa Indonesia sehingga dalam

penerapanya disesuaikan ke lambang-lambang yang mirip yaitu <p> (untuk f dan v) dan

<j> (untuk /z/).

Page 11: Bab 7 Fonologi

BAB 8

CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA

A. NADA

Dalam penuturan bahasa Indonesia, tinggi rendahnya (nada) suara tdak fungsional atau

tidak memberikan makna. Oleh karena itu, dalam kaitanya dengan pembedaan makna, nada

dalam bahasa Indonesia tidak fonemis. Walaupun demikian, ketidakfonemisan ini tidak

berarti tidak ada dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya factor ketegangan

pita suara, arus udara, yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru, makin

tinggi pula nada bunyi tersebut. Begitu juga, posisi pita suara yang bergetar lebih cepat akan

menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi.

B. TEKANAN

Tekanan dalam tuturan bahasa Indonesia berfungsi membedakan maksud dalam tataran

kalimat (sintaksis), tetapi tidak membedakan tataran kata (leksis). Hanya kata-kata yang

dipentingkan yang mendapatkan tekanan (aksen).

Contoh pada kalimat Kemarin teman saya menyimpan uang di bank, misalnya bisa

diucapkan dengan enam kemungkinan variasi tekanan sebagai berikut.

1) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,

2) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,

3) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,

4) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,

5) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,

6) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,

Kalimat (1) mendapat tekanan pada kemarin, maksudnya adalah ‘teman saya menyimpan uang di

bank kemarin, bukan sekarang atu waktu lain’. Kalimat (2) mendapat tekanan pada teman,

maksudnya adalah ‘ yang kemarin menyimpan uang di bank adalah teman saya’. Kalimat (3)

mendapat tekanan pada saya. Maksudnya ‘ memang teman saya yang menyimpan uang di bank,

bukan teman kamu atau yang lain’. Kalimat (4) mendapat tekanan pada menyimpan, maksudnya

‘ kemarin memang teman saya menyimpan uang di bank, bukan menukar atau yang lainya’.

Kalimat (5) mendapat tekanan pada uang, maksudnya ‘ yang disimpan oleh teman saya di bank

Page 12: Bab 7 Fonologi

adalah uang bukan barang berharga yang lain’. Kalimat (6) mendapat tekanan pada di bank,

maksudnya, kemarin teman saya memang menyimpan uang di bank, bukan di tempat lainya’.

C. DURASI

Durasi atau panjang-pendeknya ucapan dalam bahasa Indonesia tidak fungsional dala

tataran kata, silaba pertama pada kata [jatuh] di ucapkan [ja:tuh] bermakna sama panjang.

Dalam tataran kalimat, ucapan panjangpada silaba terakhir bermaksud mencari perhatian

atau penyangatan, misalnya dalam kalimat berikut.

1. Awas, jatuh! diucapkan [awa:s / jatu:h]

2. Satu, dua, tiga!. diucapkan [satu: / dua: / tiga]

3. Dia sangat perhatian padaku. diucapkan [diya saηat pərhatiyan padaku]

D. JEDA

Jeda atau kesenyapan ini terjadi di antara dua bentuk linguistik, baik antarkalimat,

antarfrase, antarkata dan antarmorfem, antarsilaba maupun antarfonem. Jeda antar dua

bentuk kalimat lebih lama di banding dengan jeda antarkata begitu juga seterusnya.

Dalam bahasa Indonesia, jeda ini terasa lebih fungsional bila dibanding dengan

suprasegmental yang lain. Perhatikan perbedaan jeda pada kalimat berikut.

1). Anak / pejabat yang nakal itu telah dimajahijaukan.

2). Anak pejabat / yang nakal itu telah dimejahijaukan.

Dengan perbedaan jeda agak lama antara anak dan pejabat (kalimat 1 ) danantara

penjabat dan yang (kalimat 2)makna kalmat itu berbeda. Pada kalimat (2)

‘yang nakal adalah anak pejabat’.

(3) Ia membeli buku / sejarah baru

(4) Ia membeli buku sejarah / baru

Dengan perbedaan jeda yang agak lama antara buku dan sejarah baru (kalimat 3) dan

antara buku sejarah baru (kalimat 4), kedua frase tersebut berbeda maknanya. Pada frase

kalimat (4) ‘yang baru adalah bukunya.

E. INTONASI

Berbeda dengan nada, intonasi dalam bahasa Indonesia sangat berperan dalam perbedaan

maksud kalimat, bahkan, dengan dasar kajian pola-pola intonasi ini, kalimat bahasa

Indonesia dibedakan menjadikalimat berita (deklaratif), kalimat Tanya (introgratif). Dan

kalimat perintah (imperative)

Page 13: Bab 7 Fonologi

Perhatikan contoh kalimat berita berikut.

1. Rumah 1a Rumah,

2 31t#

2. Rumah mahal 2a Rumah mahal

2 33 / 2 31t#

3. Rumah sekarang mahal 3a Rumah Sekarang mahal

2 33/ 2 33 / 2 31t#

Perhatikan kalimat Tanya berikut

4. Rumah? 4a rumah?

2 31n#

5. Apa rumah sekarang mahal? 5a apakah rumah sekarang mahal?

2- 32/2 33/2 31t#

6. Rumah sekarang apa mahal ? 6a rumah sekarang apa mahal ?

2 32/2 32/2- 31n#

Kalimat perintah

7. Kamu ke sini! 7a kamu kesini!

2 33/3 31g#

8. Ke sini kamu! 8a ke sini kamu !

3 33/2 31g#

9. Kamu sekarang kesini! 9a kamu sekarang ke sini!

2 33/2 33/3 31g#

Page 14: Bab 7 Fonologi

BAB 9

PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA INDONESIA

A. Asimilasi

Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama

atau yang hampir sama. Perhatikan contoh di bawah ini.

1) Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi, setelah

mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan [stOp’] dengan [t]

juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’]

disesuaikan atau diasimilaskan artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga

sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang

mengasimilasikan disebut asimilasi progresif.

2) Kata bahasa Belanda zak ‘kantong’ diucapkan [zak’] dengan [k] velar tidak bersuara,

dan doek ‘kain’ diucapkan [duk’] dengan [d] apiko-dental bersuara. Ketika kedua kata

itu digabung, sehingga menjadi zakdoek ‘sapu tangan’, diucapkan [zagduk’]. Bunyi [k]

pada zak berubah menjadi [g] velar bersuara karena dipengaruhi oleh bunyi [d] yang

mengikutinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa [k] pada [zak’] disesuaikan

atau diasimilasikan artikulasi dengan bunyi [d] yang mengikutinya sehingga sama-sama

bersuara. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sebelum bunyi yang mengasimilasikan

disebut asimilasi regresif.

3) Kata bahasa Batak Toba holan ho ‘hanya kau’ diucapkan [holakko], suan hon diucapkan

[suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling disesuaikan atau

diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan [h] pada hon saling disesuaikan

atau diasimilasikan menjadi [t]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi

tersebut, yaitu [n] dan [h], [n] dan [h] saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling

mengasimilasikan sehingga menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi resiprokal.

Dilihat dari lingkup perubahannya, asimilasi pada contoh 1 tergolong asimilasi fonetis

karena perubahannya masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /t/.

Asimilasi pada contoh 2 juga tergolong asimilasi fonetis karena perubahan dari [k’] ke

[g’] dalam posisi koda masih tergolong alofon dari fonem yang sama. Sedangkan

asimilasi pada pada contoh 3 tergolong asimilasi fonemis karena perubahan dari [n] ke

Page 15: Bab 7 Fonologi

[k] dan [h] ke [k] (pada holan ho > [holakko]), serta perubahan dari [n] ke [t] dan [h] ke

[t] (pada suan hon > [su-atton]) sudah dalam lingkup antarfonem. Bunyi [n] merupakan

alofon dari fo-nem /n/, bunyi [k] merupakan alofon dari fonem /k/. Begitu juga, bunyi

[h] merupakan alofon dari fonem /h/, dan bunyi [t] merupakan alofon dari fonem /t/.

Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan

tendang. Bunyi nasal pada tentang diucapkan apiko-dental karena bunyi yang

mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-

alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar. Perubahan

bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang yang sama.

Asimilasi fonemis terlihat pada contoh berikut. Kalimat bahasa Belanda Ik eet vis ‘saya

makan ikan’, kata vis – yang biasa diucapkan [vis] – pada kalimat tersebut diucapkan

[fis] dengan frikatif labio-dental tidak bersuara karena dipengaruhi oleh kata eet [i:t’]

yang berakhir dengan bunyi stop apiko-alveolar tidak bersuara. Perubahan atau

penyesuaian dari [v] ke [f] merupakan lingkup dua fonem yang berbeda karena bunyi [v]

merupakan alofon dari fonem /v/, dan bu-nyi [f] meru[akan alofon dari fonem /f/.

B. Disimilasi

Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama

atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.

Perhatikan contoh berikut!

1. Kata bahasa Indonesia belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks ber [bər]

dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar

[bərajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau

didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan tersebut sudah

menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan

alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.

2.Secara diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sanskerta sajjana [sajjana].

Perubahan itu terjadi karena adanya bunyi [j] ganda. Bunyi [j] yang pertama diubah

menjadi bunyi [r]: [sajjana] > [sarjana]. Ka-rena perubahan itu sudah menembus batas

fonem, yaitu [j] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [r] merupakan alofon dari fonem /r/,

maka perubahan itu disebut disimilasi fonemis.

Page 16: Bab 7 Fonologi

3.Kata sayur-mayur [sayUr mayUr] adalah hasil proses morfologis peng-ulangan bentuk

dasar sayur [sayUr]. Setelah diulang, [s] pada bentuk dasar [sayUr] mengalami perubahan

menjadi [m] sehingga menjadi [sayUr mayUr]. Karena perubahan itu sudah menembus

batas fonem, yaitu [s] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [m] merupakan alofon dari

fonem /m/, maka perubahan itu juga disebut disimilasi fonemis.

C. Modifikasi Vokal

Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain

yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam peristiwa

asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan.

Perhatkan contoh berikut!

1.Kata balik diucapkan [balī?], vokal i diucapkan [ī] rendah. Tetapi ketika mendapatkan

sufiks –an, sehingga menjadi baikan, bunyi [ī] berubah menjadi [i] tinggi: [balikan].

Perubahan ini akibat bunyi yang mengikutinya. Pada kata balik, bunyi yang

mengikutinya adalah glotal stop atau hamzah [?], sedangkan pada kata balikan, bunyi

yang mengikutinya adalah dorso-velar [k]. Karena perubahan dari [ī] ke [I] masih dalam

lingkup alofon dari satu fonem, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis.

Sebagai cacatan, perubahan itu bisa juga karena perbedaan struktur silaba. Pada bunyi [ī],

ia sebagai nuklus silaba yang diikuti koda (lik pada ba-lik), sedangkan pada bunyi [i], ia

sebagai nuklus silaba yang tidak diikuti koda (li pada ba-li-kan).

2.Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto]. Sementara itu,

kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada

silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang

mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama

disesuaikan menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu

fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Pola pikir

ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu. (Coba jelaskan!)

Kalau diamati, perubahan vokal pada contoh 1 terjadi dari vokal rendah ke vokal yang

lebih tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke tinggi oleh para linguis

disebut umlaut. Ada juga yang menyebut metafoni. Sementara itu, perubahan vokal pada

contoh 2 terjadi karena pengaruh dari vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya.

Perubahan vokal jenis ini biasa disebut harmoni vokal atau keselarasan vokal.

Page 17: Bab 7 Fonologi

Selain kedua jenis perubahan vokal tersebut, ada juga perubahan vokal yang disebut

ablaut (Ada juga yang menyebut apofoni atau gradasi vokal). Perubahan vokal jenis ini

bukan karena pengaruh struktur silaba atau bunyi vokal yang lain pada silaba yang

mengikutinya, tetapi lebih terkait dengan unsur morfologis. Misalnya, perubahan vokal

kata bahasa Inggris dari sing [sīŋ] ‘menyanyi’ menjadi sang [sєŋ], sung [sαŋ]. Perubahan

vokal jenis ini juga bisa disebut modifikasi internal.

D. Netralisasi

Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untuk

menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan minimal

[baraŋ] ‘barang’– [paraŋ] ‘parang’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada

fonem /b/ dan /p/. Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa

batal – setidak-tidaknya bermasalah – karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya,

fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [səbap’],

yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’].

Me-ngapa terjadi demikian? Karena konsonan hambat-letup-bersuara [b] tidak mungkin

terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasilkan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu

[p’], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.

Kalau begitu, apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang sama?

Tidak! Sebab, dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat fonem /b/ dan /p/.

Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu diberlakukan. Kalau toh ingin menyatukan,

beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem, yang anggotanya adalah

fonem /b/ dan fonem /p/. Untuk mewakili kedua fonem tersebut, nama arkifonemnya

adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi distribusinya).

E. Zeroisasi

Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau

ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di

dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan tujuan

komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan

disepakati oleh komunitas penuturnya.

Page 18: Bab 7 Fonologi

Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada

untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan

beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia.

Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung.

Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga ‘bernilai sama’

dengan struktur lengkapnya. Misalnya:

- shall not disingkat shan’t

- will not disingkat won’t-

- is not disingkat isn’t

- are not disingkat aren’t

- it is atau it has disingkat it’s.

Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.

Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop,

dan sinkop.

1.Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal

kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi, peperment menjadi permen, upawasa menjadi puasa

2.Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir

kata. Misalnya: president menjadi presiden, pelangit menjadi pelangi, mpulaut menjadi

pulau

3.Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah

kata. Misalnya: baharu menjadi baru, dahulu menjadi dulu, utpatti menjadi upeti.

F.Metatesis

Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua

bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis

ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya: kerikil

menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadi bantras

Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya: lemari berasal dari bahasa

Page 19: Bab 7 Fonologi

Portugis almari, Rabu berasal dari bahasa Arab Arba. rebab berasal dari bahasa Arab

arbab.

G.Diftongisasi

Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal

atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal

rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenya-ringan sehingga tetap dalam satu

silaba.

Kata anggota [aŋgota] diucapkan [aŋgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa].

Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi tetap

dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi

penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut. Bahkan, dalam penulisannya

pun disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan sentausa. Contoh lain:

- teladan [təladan] menjadi tauladan [tauladan]=> vokal [ə] menjadi [au]

- topan [tOpan] menjadi taufan[taufan] => vokal [O] menjadi [au]

H. Monoftongisasi

Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi vokal atau

vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Peristiwa penunggalan

vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan

terhadap bunyi-bunyi diftong.

Kata ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte]. Perubahan ini terjadi

pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e]. Penulisannya pun disesuaikan

menjadi rame dan pete. Contoh lain:

- kalau [kalau] menjadi [kalo]

- danau [danau] menjadi [dano]

- satai [satai] menjadi [sate]

- damai [damai] menjadi [dame]

I.Anaptiksis

Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi

Page 20: Bab 7 Fonologi

vokal tertentu di antara dua konsoanan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa

ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi

vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. Misalnya:

- putra menjadi putera

- putri menjadi puteri

- bahtra menjadi bahtera

- srigala menjadi serigala

- sloka menjadi seloka

Akibat penambahan [ə] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silaba. Konsonan

pertama dari kluster yang disisipi bunyi [ə] menjadi silaba baru dengan puncak silaba

pada [ə]. Jadi, [tra] menjadi [tə+ra], [tri] menjadi [tə+ri], [sri] menjadi [sə+ri], dan [slo]

menjadi [sə+lo].

Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis, yaitu protesis, epentesis, dan

paragog.

1.Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata. Misalnya:

- mpu menjadi empu

- mas menjadi emas

- tik menjadi ketik

2.Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata.

Misalnya:

- kapak menjadi kampak

- sajak menjadi sanjak

- upama menjadi umpama

3.Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata. Misalnya:

- adi menjadi adik

- hulubala menjadi hulubalang

- ina menjadi inang

Bahan Pendalaman:

1.Pada asimilasi progresif, dari mana diketahui bahwa bunyi yang diasimilasi-kan terletak

sesudah bunyi yang mengasimilasikan? Berikan alasan yang jelas beserta contohnya!

Page 21: Bab 7 Fonologi

2.Peristiwa asimilasi bisa dilihat secara sinkronis dan diakronis. Apa maksudnya?

Berikan ilustrasi yang jelas!

3.Mengapa peristiwa labialisasi dan palatalisasi tidak dimasukkan dalam asimilasi ?

4.Berikan penjelasan tentang netralisasi atas fonem /g/ dan /k/ dalam bahasa Indonesia

disertai contoh!

5.Secara sinkronis, dari mana bisa diketahui bahwa suatu bunyi itu termasuk peristiwa

zeroisasi? Buktikan!

6.Peristiwa monoftongisasi dilatarbelakangi oleh sikap pemudahan ucapan atas bunyi-

bunyi diftong. Pada peristiwa diftongisasi, apa yang melatarbelakanginya? Jelaskan dan

berikan contoh!

7.Berikan komentar atas kasus-kasus berikut!

(a) auto mobil hanya disebut mobil

(b) bagai ini disebut begini

(c) al salam menjadi assalam

(d) mahardhika menjadi merdeka

(e) in-port menjadi impor