Upload
ngothien
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cabaret Show adalah suatu bentuk seni pertunjukan yang
beraspek utama musik, komedi, tari, drama, dan aspek
pertunjukan lainnya. Seni pertunjukan ini dibawakan oleh penari
cross gender di Yogyakarta. Para penari utama adalah laki-laki
berpakaian feminin dan berperilaku seperti perempuan di atas
panggung. Menurut bahasa Jerman, cabaret berasal dari kata
„uberbrett‟ dan berubah menjadi cabaret atau kabaret yang berarti
ruangan kecil. Dipaparkan oleh Alan Lareau bahwa:
“Cabaret is a theatrical form it often makes use of satire, which critiques reality by contrasting it with a norm or ideal to usually humorous effect, but cabaret can be filled with any number of ideologies and is by no means an intrinsically left-wing form” . 1
“Cabaret adalah sebuah bentuk teatrikal yang biasanya memuat unsur sindiran, mengkritisi realita yang kontras
dalam sebuah norma atau ideal dengan bentuk humor, namun cabaret dapat diisi dengan banyak ideologi dan melalui ketidak bermaknaan sebuah bentuk sayap kiri
secara instrinsik”
Pada mulanya pertunjukan cabaret merupakan perwujudan
dari aliran “dadaisme” yang menolak cara berfikir bahwa seni
adalah sesuatu yang tinggi, mahal dan eksklusif. Pada peralihan
1 Alan Lareau, “The German Cabaret Movement During The Weimar
Republic”, Theatre Journal. Vol.43, No. 4(Dec,. 1991), 471—470.
2
abad ke 20, muncul tokoh penari waria asal Brazil terkenal
dengan nama Josephine Baker dan Madame Sata yang semakin
memopulerkan penari waria dalam pertunjukan cabaret.2 Pada
perkembangannya muncul Charlie Brown yang terkenal sebagai
penari waria dalam pertunjukan cabaret di Atlanta Amerika.
Cabaret merupakan medan pertemuan antara budaya tinggi
dan budaya populer dalam bentuk hiburan.3 Membicarakan
budaya populer maka mengingatkan pada perspektif kritis yang
digunakan Mondleski dengan memasukkan unsur santai dan
konsumsi di antara 6 kategori lainnya dalam budaya massa atau
populer.4 Budaya populer juga bisa dikatakan sebagai suatu
budaya yang tanpa disadari masyarakat telah menjadi suatu
kebiasaan. Budaya populer yang dimaksud dalam tulisan ini
adalah budaya yang diproduksi sebagai hasil kreativitas untuk
orang kebanyakan yaitu sebagai pangsa pasar sekelompok
konsumen. Budaya populer berarti juga budaya massa (mass
media) yang menjadi representasi masyarakat pendukungnya.
Pengaruh budaya populer pada saat ini semakin
menunjukkan efek yang cukup besar dalam masyarakat. Budaya
populer pada masa reformasi seolah keluar dari sarang dan
2 Me Iwan, htttp://id.m.wikipedia.org/wiki/cabaret. diakses pada 25
Maret 2015. 3 Alan Lareau, 1991, 471. 4 Dominic Strinatri, Populer Culture Pengantar Menuju Teori Budaya
Populer, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), 219.
3
menunjukkan diri dalam pelbagai lini. Kemunculan fenomena Inul
Daratista sebagai produk dari sejarah tertentu dan ketenaran
kelompok band Peterpan di Malaysia dan Timor Leste sebagai
sebuah „ikon utama‟ sebuah produk merupakan contoh konkret
pengaruh budaya populer telah merambah pada hubungan
antarnegara.5 Fenomena Inul dan grup Peterpan menunjukkan
bahwa bentuk seni yang dianggap sebelah mata oleh masyarakat
ternyata mampu menjadi magnet dan berbalik menjadi idola
masyarakat.
Kebangkitan produk budaya populer semakin dirasakan saat
memasuki era reformasi yang sangat berbeda ketika Orde Baru.
Terdapat sebuah kontradiksi yang sangat kuat antara
perkembangan seni pertunjukan pada masa Orde Baru dan
reformasi. Akan tetapi, masa Orde Baru tidak mempengaruhi
seluruh kebebasan ekspresi masyarakat Yogyakarta. Salah satu di
antaranya adalah penampilan para penari cross gender yang mulai
berkembang sejak tahun 1980-an. Kemunculan penari cross
gender dalam pertunjukan Sentir Lenga Patra adalah yang pertama
kali muncul di Yogyakarta dan dibentuk oleh Hamzah Hendro
Sutikno (HS). Senthir Lenga Patra merupakan cikal bakal
munculnya Cabaret Show di Yogyakarta.
5 Ariel Heryanto, “Budaya Pop dan Persaingan Identitas”, dalam Budaya
Populer di Indonesia Mencairnya Identitas Pasca Orde Baru, (Yogyakarta:
Jalasutera, 2012), 2—4.
4
Cross gender merupakan fenomena dimana seorang laki-laki
yang memerankan diri sebagai perempuan atau sebaliknya baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam seni pertunjukan.6
Cross gender dalam tulisan ini disempitkan dalam arti laki-laki
yang bergaya seperti perempuan di atas panggung. Kemunculan
cross gender dalam seni pertunjukan di Indonesia telah ada sejak
zaman dahulu. Beberapa di antaranya yaitu silang gender dalam
drama tari Arja di Bali, cross gender dalam seni wayang orang
(penari putri memerankan tokoh Arjuna), cross gender dalam
pertunjukan Ludruk, dan cross gender dalam pementasan
Lengger. Terdapat pula pertunjukan cross gender di mancanegara
yaitu pertunjukan cabaret di Bangkok Thailand dengan nama
Calypso Cabaret hingga saat ini. Dalam pertunjukan tersebut para
penari cross gender menampilkan diri sebagai female impersonator
(peniru perempuan) dan menjadi salah satu tujuan wisata.
Menilik sejarah yang ada, fenomena cross gender telah ada di
Cina sejak beberapa abad terakhir. Salah satu pemain teater asal
Cina yang sangat terkenal sebagai penari cross gender adalah Mei
Lanfang. Ia kelahiran Beijing dan terkenal sebagai cross gender
hingga mancanegara. Berdasarkan sejarah pada abad ke 19 kaum
perempuan dikeluarkan dari teater dan terdapat labeling sebagai
pelacur bagi yang berani tampil di atas panggung. Baru pada
6 FX. Widaryanto, ”Cross gender: Antara Rekayasa Kultural dan Sosial”, dalam Menuju Representasi Dunia Dalam, (Bandung: Kelir, 2007), 13.
5
1930-an muncul aktris atau pemain teater perempuan Xue dan
Xin yang akhirnya mampu menduduki barisan depan deretan artis
perempuan ulung yang menanjak pada masa sebelum perang.7
Di Indonesia terdapat Didik Hadi Prayitno atau dikenal
dengan nama Didik Nini Thowok yang tersohor karena
kepiawaiannya memerankah tokoh sebagai perempuan.
Konsistensi dalam dunia female impersonator membawanya hingga
keliling dunia. Pada saat ini muncul sosok Rianto seorang penari
kelahiran Banyumas yang memiliki keunikan dalam membawakan
lengger Banyumasan dengan make-up dan kostum perempuan.
Tampilan tersebut menjadi ciri khas yang kental dan
mengantarnya sebagai salah satu penari ternama di Indonesia.
Didik Nini Thowok muncul sebagai female impersonator yang
membuka jalan para seniman atau pelaku cross gender Indonesia
untuk menunjukkan talenta dalam bidang seni. Kemunculan
Didik seperti medan magnet yang menarik logam yang berada di
sekitar. Fenomena cross gender berkembang di Yogyakarta
bersamaan dengan kamasyhuran Didik Nini Thowok.
Produk budaya yang berkembang di Yogyakarta begitu
lengkap dengan beragam karakteristik yang menyertai. Segala
macam bentuk keberagaman ekspresi budaya dapat masuk dan
7 RM. Soedarsono, “Didik Nini Thowok dan Perkembangan Seni
Pertunjukan Seni”, dalam Cross Gender, Setiyono Wahyudi dan Lono L (eds),
(Malang: Bayumedia, 2012), 22—23.
6
berkembang di Yogyakarta termasuk yang dilakukan oleh para
penari cross gender. Berbeda dengan kota-kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, Semarang, dan lain-lain yang masih
membatasi sepak terjang para pelaku cross gender. Begitu pula
dengan kota Surakarta yang memiliki predikat kota budaya pun
ternyata tidak memberi ruang kebebasan bagi para cross gender
secara legal.
Salah satu bentuk pertunjukan cross gender yang ada di
Yogyakarta adalah Cabaret Show di Oyot Godhong lantai 3 Mirota
Batik di Malioboro. Pada tahun 1980-an pertunjukan ini bernama
Senthir Lenga Patra lalu berganti menjadi Glass & Dolls dan resmi
ditampilkan kembali dengan nama Cabaret Show pada tahun
2010. Cabaret adalah sebuah pertunjukan atau pementasan seni
hiburan yang berasal dari dunia Barat berupa musik, komedi,
sandiwara, dan tari-tarian.8 Oyot Godhong adalah nama sebuah
resto yang berada di lantai 3 pusat perbelanjaan Mirota Batik di
ujung jalan Malioboro Yogyakarta. Hamzah HS adalah pemilik toko
Mirota Batik sekaligus pendiri Cabaret Show. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Dian Safitri tentang pesantren
waria di Yogyakarta dipaparkan bahwa kegiatan para waria dapat
berjalan di bawah perlindungan Sri Sultan dan sikap toleransi
8 Ensiklopedia, Cabaret. http://en.m.wikipedia.org/wiki/cabaret, diunduh
tanggal 1Februari 2015.
7
masyarakat Yogyakarta.9 Kebijakan Sri Sultan dalam memberikan
hak hidup dan berkembang bagi seluruh masyarakat tentu
berpengaruh terhadap kemunculan pertunjukan Cabaret Show di
Yogyakarta.
Bentuk pertunjukan Cabaret Show adalah tari dan lip sync
lagu-lagu baik dari dalam dan luar negeri. Pertunjukan serupa
yang ada di kawasan Asia adalah pertunjukan Calypso Cabaret di
Bangkok. Pertunjukan ini menjadi pusat tujuan wisata turis yang
berkunjung ke Thailand. Cabaret di Bangkok ditampilkan pada
panggung yang luas dengan kursi penonton yang telah diatur
untuk seperti gedung teater. Akan tetapi, cabaret di Yogyakarta
berada di sebuah tempat makan dengan konsep panggung yang
minimalis serupa dengan konsep cabaret pada masa awal abad 20
di Eropa.
Pembahasan mengenai Cabaret Show mempunyai daya tarik
tersendiri bagi peneliti dilihat dari ekspresi estetis para penari
cross gender sebagai pelaku utamanya. Keberadaannya sebagai
seni pertunjukan cabaret yang hanya ada di Yogyakarta dari
seluruh wilayah di Indonesia menjadi salah satu hal yang menarik
untuk dikaji lebih dalam. Cabaret Show merupakan bentuk
9 Dian Maya Safitri, “Tolerence of Minorities and Cultural Letimacy: The
Case of Pesantren Khusus Waria Al Fattah Senin-Kamis di Yogyakarta”, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Vol.15, No 2, (Nov, 2011), 154—167.
8
kebebasan seni sebagai produk budaya populer yang mampu
menarik budaya konsumerisme penontonnya.
Cabaret Show muncul di Yogyakarta dengan menyajikan
gerak effeminate (keperempuan-perempuanan) para penari cross
gender laki-laki di atas panggung. Selain para cross gender muncul
pula para penari pria dan wanita yang menjalankan peran mereka
sebagai penari latar. Beberapa adegan seperti teatrikal
berpasangan antara laki-laki dan perempuan diperankan oleh satu
penari pria sebagai laki-laki maskulin dan penari pria (cross
gender) sebagai perempuan.
Cabaret Show menampilkan suatu perpaduan antara
modernitas dan tradisi. Hal ini terlihat dari penyajiannya yang
mengkolaborasikan tari tradisi dan populer pada satu peristiwa
pertunjukan. Perpaduan ini merupakan cara Hamzah untuk
menampilkan identitasnya di atas panggung. Terlihat pula upaya
dari Cabaret Show untuk dapat diterima oleh penonton di antara
seni tradisi yang sudah berkembang sebelumnya di Yogyakarta.
Penari cross gender dalam Cabaret Show mengekspresikan
diri sebagai gender perempuan. Ekspresi ditampilkan secara
estetis melalui tubuh yang mereka sajikan. Pemaknaan atas tubuh
perempuan oleh para cross gender terealisasi dalam wujud gerak
yang berbeda. Penari mengolah tubuh dan mengaplikasikannya
dalam bentuk gerak yang diasosiasikan dengan gerak perempuan.
9
Tentu hal ini akan berbeda ketika peran ini dibawakan oleh penari
perempuan di panggung Cabaret Show.
Berbicara lebih jauh tentang kemunculan penari cross gender
dalam Cabaret Show, ditemukan sebuah wujud ekspresi estetis
dalam seni pertunjukan. Menilik istilah estetika dalam seni maka
akan berbicara mengenai rasa. Untuk memahami lebih jauh
mengenai estetika dalam seni tari, Lono Lastoro menawarkan
sebuah cara pandang estetika yang berbeda dalam fenomena
trance pada pertunjukan Jathilan. Hasilnya mengantarkan kita
pada pemahaman akan sensasi estetika dalam seni tari yang lebih
luas dari sekedar keindahan.10
Pertanyaan yang sama muncul dari Cabaret Show yang
menampilkan penari cross gender dengan segala tingkah lakunya
di atas panggung. Perihal estetis akan kembali pada masing-
masing individu dalam memaknainya. Estetis didefinisikan sebagai
sebuah bentuk (informasi gaya bahasa) utama dengan menuruti
keinginan yang utamanya untuk kesenangan. Seperti halnya tari
yang memiliki fungsi sosial dan psikologi, namun bagi masyarakat
Yamen tari hanya difungsikan untuk kesenangan saja.11 Persoalan
estetis juga memiliki bentuk tersendiri pada panampilan para
10 Lono Lastoro Simatupang, Pergelaran Sebuah Mozaik Penelitian Seni-
Budaya, (Yogyakarta: Jalasutera, 2013), 59. 11 Najwa Arda, “Dance: a Visual Marker of Qabili Identity in Highland
Yemen”, dalam Colors of Enchantment Theater, Dance, Music and Visual Arts of The Middle East, Sherifa Zuhur (ed), (Newyork: Cairo Press, 2001), 181.
10
penari cross gender dalam Cabaret Show hingga mampu menarik
penonton untuk datang. Estetis pada gerak bagi penari Cabaret
Show dipengaruhi dorongan yang kuat dalam mengekspresikan
diri mereka yang sesungguhnya.
Penampilan para penari cross gender dalam Cabaret Show
memunculkan banyak pertanyaan. Termasuk tentang relasi
ekspresi estetis yang dimunculkan dari keterlibatan para penari
cross gender. Terlebih lagi dengan konsep Cabaret Show yang
menjadi sebuah pertunjukan bertema parodi yang tidak memiliki
unsur cerita. Sebagai sebuah seni hiburan, Cabaret Show tersaji
dengan konsep berbeda dan bertujuan mengundang pesona para
penonton. Alfred Gell membicarakan perkara seni sebagai sebuah
teknik untuk menampilkan sebuah pesona.12 Respon yang terlihat
dari para penonton mampu menggambarkan sebuah keberhasilan
dalam mengolah teknik pesona.
Penataan panggung, teknik gerak hingga pemilihan konsep
diolah sedemikian rupa guna menarik penonton. Tujuan ini
selanjutnya tersampaikan melalui penyajian para cross gender.
Relasi yang muncul atas keterlibatan penari cross gender
memunculkan negosiasi dalam pertunjukan. Komersialisasi juga
12 Alfred Gell, “Technology of Enchantment and Enchantment of
Technology”, dalam The Art of Antrophology Essay and Diagrams, Eric Hirsch
(ed), (London: Athlone press, 2006), 163.
11
turut mengiringi penyajian Cabaret Show yang disesuaikan dengan
selera penonton.
Kajian tentang Cabaret Show sebagai salah satu produk
budaya populer menarik dilakukan untuk memperdalam
pemahaman tentang fenomena cross gender dalam seni
pertunjukan. Perumusan tentang ekspresi estetis penari cross
gender dalam pertunjukan juga mampu memberi pemahaman
tentang ekspresi estetis gender golongan ketiga (queer aesthetic)
dalam fenomena atau bidang lain.
B. Rumusan Masalah
Cabaret Show menampilkan karya dengan konsep imitative
atau tiruan terhadap artis-artis terkenal. Estetis bagi penari
Cabaret Show merupakan wujud ekspresi diri atas diri mereka
yang sesungguhnya. Ekspresi estetis yang ditampilkan beragam
sesuai dengan karakter masing-masing penari. Para penari cross
gender menampilkan suatu teknik dan sajian yang serupa atau
sangat jauh berbeda dari karakter penyanyi aslinya.
Terdapat technology of enchantment dalam konsep imitasi
yang diterapkan di atas panggung. Kebutuhan akan ekspresi diri
dan kesuksesan pertunjukan memunculkan negosiasi-negosiasi
dalam pementasan. Keterlibatan penari yang merupakan cross
gender juga turut memunculkan hal baru hingga mampu menarik
12
penonton. Berdasaran uraian di atas, maka permasalahan
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah ekspresi estetis para penari Cabaret Show di
Oyot Godhong Mirota Batik Yogyakarta?
2. Apa relasi cross gender terhadap ekspresi estetis yang mereka
tampilkan di atas panggung Cabaret Show?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini yang pertama, bertujuan untuk mengetahui
bentuk kebebasan berekspresi seni pertunjukan di Yogyakarta
sebagai salah satu seni genre baru. Kedua, untuk mengetahui
ekspresi estetis para penari Cabaret Show secara personal. Ketiga,
untuk mengetahui relasi ekspresi estetis yang ditimbulkan atas
peran para penari cross gender di atas panggung Cabaret Show.
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu
berkontribusi positif dalam kajian “performance studies” terkait
dengan fenomena kebebasan berekspresi seni pertunjukan
Indonesia di era reformasi. Hal ini menjadi sesuatu yang berbeda
dari kajian seni pada umumnya yang menilik tentang khasanah
seni dan budaya Indonesia yang adiluhung. Penelitian ini juga
diharapkan mampu menjembatani ruang pemisah antara seni
warisan dan seni populer yang berkembang bersama dalam satu
ruang dan waktu. Analisis yang dipaparkan dalam penelitian
13
Cabaret Show sebagai budaya populer ini diharapkan mampu
menjadi wacana dalam melihat masyarakat yang berkembang
pada masa tertentu. Hasil penelitian yang dipaparkan oleh peneliti
diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam memandang fenomena
seni lain yang berkembang untuk melihat kondisi masyarakat di
sekitarnya.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian
terkait dengan penari cross gender. Penulis membagi penelitian
dalam 3 kategori yaitu cross gender dalam seni pertunjukan, cross
gender dalam ritual, dan cross gender dalam konstruksi identitas.
Kategori pertama tentang fenomena cross gender dalam seni
pertunjukan terdapat dalam kumpulan hasil penelitian yang
disatukan dalam buku yang berjudul Cross Gender oleh Didik Nini
Thowok dan 11 penulis dari dalam dan luar negeri. Beberapa
diantaranya yaitu, pertama adalah pertunjukan cross gender yang
ditulis Junko Kasama yang berjudul Cross gender dalam Teater
Jepang Kabuki dan Takarazuka. Tulisan ini membahas tentang
peran perempuan yang dimainkan oleh pemain laki-laki yang
disebut “Onnagata”. Mereka dipandang jauh lebih feminin dan
indah daripada wanita sebenarnya. Penulis menyertakan foto-foto
14
para penari cross gender dalam pertunjukan teater Kabuki dan
Takarazuka yang masih bertahan hingga saat ini13.
Tulisan kedua oleh I Wayan Dibia yang berjudul Silang
Gender Dalam Dramatari Arja Di Bali. Tulisan ini membahas
tentang silang gender yang menyangkut para pelaku, penari atau
aktor (pragina) dramatari Arja di Bali. Di dalamnya dipaparkan
tentang faktor sosial dan kultural yang mendorong terjadinya
silang gender dalam kesenian tersebut.14 Beberapa artikel
selanjutnya dapat disimpulkan bahwa cross gender terdapat di
pelbagai pertunjukan berbagai negara, seperti cross gender dalam
seni pertunjukan cina, cross gender dalam kehidupan pewayangan
dan lain sebagainya. Konsep cross gender di berbagai negara
teraplikasikan dalam berbagai seni pertunjukan yang berkembang
di masing-masing wilayah.
Kategori kedua, cross gender dalam ritual ditulis oleh
Halilintar Lathief yang berjudul Manggiri: Ngebor Gaya Waria Sakti
Bugis. Di dalamnya memaparkan tentang tari Bissu yang terdiri
dari Sere Lalosu dan Manggiri. Para penari adalah para
transvestite yang dipercaya mampu menghantarkan mereka pada
13 Junko Kasama, “Cross Gender dalam Teater Jepang Kabuki dan
Takarazuka”, dalam Cross Gender, Setiyono Wahyudi dan Lono L (eds), 2012,
89—97. 14 I Wayan Dibia, “Silang Gender dalam Dramatari Arja di Bali”, dalam
Cross Gender, Setiyono Wahyudi dan Lono Lastoro (eds), 2012, 77—88.
15
Dewata melalui bahasa yang hanya dikuasai oleh para Bissu
sebagai bahasa yang turun dari surga.15
Tulisan kedua yaitu oleh FX. Widaryanto yang berjudul Cross
Gender: Antara Rekayasa Kultural dan Sosial. Dijelaskan bahwa
fenomena cross gender ada di sekitar kalangan keraton di
Yogyakarta yaitu dengan pelatihan untuk anak laki-laki muda
dalam membawakan tari Bedaya Putri guna melakukan ritual di
Keraton Yogyakarta, sementara di Surakarta terlihat dengan peran
wayang orang dengan tokoh Arjuna yang membawakan karakter
putra alus yang terkadang dimainkan oleh penari perempuan.
Sementara fenomena di kalangan rakyat wilayah sekitar keraton
Cirebon terlihat sudah terbiasa melakukan cross gender yang
terlihat dengan otoritas kepenarian secara individu para penari
cross gender tari topeng di Cirebon.16
Penelitian selanjutnya berkaitan dengan cross gender dan
ritual yang ditulis oleh James L peacock dalam Ritual,
Entertainment, and Modernization: A Javanese Case yang
membicarakan tentang tari Ludruk. Dalam pembahasannya juga
dipaparkan tentang para pelaku Ludruk yang merupakan
15 Halilintar Lathief, “Manggiri: Ngebor Gaya Waria Sakti Bugis”, dalam
Cross Gender, Setiyono Wahyudi dan Lono Lastoro (eds), 2012, 71—77. 16 FX. Widaryanto, 2007, 12—22.
16
transvestite.17 Pemeran perempuan dalam drama ludruk
dimainkan oleh para laki-laki. Pemaparan ini diperkuat dalam
tulisan Barbara Hatley yang berjudul Wayang and Luduk:
Polarities in Java yang menjelaskan tentang female impersonator
baik penyanyi maupun para penari ludruk.18
Kategori ketiga cross gender dalam konstruksi identitas ditulis
oleh Imam Fathoni yang berjudul Fenomena Drag Queen (Studi
Dramaturgis tentang pelaku drag queen di Restoran Oyot Godhong
Yogyakarta). Ia menggunakan teori dramaturgis Erving Goffman
yaitu front stage dan back stage untuk mengupas pembagian
peran draq queen dalam Cabaret Show di atas dan di luar
panggung.19
Kumpulan artikel terdapat dalam buku The Draq queen
Anthology: The absolutely Fabolous but Flawlessly Customary
World of Female Impersonator oleh Stevan P. Schacht dan Lisa
Underwood, yang kemudian memunculkan tesis bahwa draq queen
merupakan representasi simbolik yang diasosiasikan dengan
feminin (perempuan) dan bagaimana mereka dapat berubah dari
waktu ke waktu. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa gerak
17 James L Peacock, “Ritual, Entertainment, and Modernization: A
Javanese Case”, Comparative Studies in Society and History, Vol. 10, No. 3 (Apr.,
1968), 328—334. 18 Barbara Hatley, “Wayang and Luduk: Polarities in Java”, The Drama
Review: TDR, Vol. 15, No. 2, Theatre in Asia (Spring, 1971), 88—101. 19 Imam Fathoni, “Fenomena Drag Queen (Studi Dramaturgis tentang
pelaku drag queen di Restoran Oyot Godhong Yogyakarta)”, Jurnal Sosial dan Politik, Departemen Sosiologi FISIP, Universitas Airlangga, 2002.
17
effeminate para draq queen sebagai sebuah perlawanan terhadap
mitos hegemoni maskulinitas dalam dominasi sosial tubuh laki-
laki.20
Dari ketiga karegori di atas, penelitian ini cenderung pada
kategori pertama yaitu keterkaitan cross gender dalam seni
pertunjukan. Walaupun penulis sedikit menyinggung perihal
identitas, hal itu hanya untuk melengkapi data dalam
menganalisis bentuk ekspresi estetis penari cross gender di atas
panggung. Penulis menggunakan pendekatan dance studies untuk
mengkaji dance performance yang bersifat kekinian secara lebih
spesifik dan kaitannya dengan ilmu bidang lain yang dalam hal ini
adalah gender.
Dari beberapa contoh cross gender dalam seni pertunjukan
yang penulis temukan, penelitian ini fokus terhadap sejarah dan
pertunjukan secara umum. Dari sisi materi, tema yang diangkat
berkaitan dengan seni yang telah berkembang sejak lama di tiap
wilayah. Akan tetapi, tulisan ini berusaha untuk mewacakan
pembacaan atas dance performance teks kekinian dan kaitannya
dengan teknik pesona di atas panggung. Penelitian tentang
Cabaret Show pernah dilakukan dengan pembahasan terkait
pembagian peran penari atas front stage and back stage.
20 Stevan P. Schacht dan Lisa Underwood (ed), The Draq queen Anthology:
The absolutely Fabulous but Flawlessly Customary World of Female Impersonator,
London: Routledge, 2004, 1—18.
18
Pembahasan mengenai fenomena cross gender juga mengarah
pada seni tradisi dari beberapa negara yang sudah ada sejak
dahulu, Akan tetapi belum ditemukan di Indonesia dalam tari
sebagai produk budaya populer seperti Cabaret Show. Belum
ditemukan pula penelitian tentang pertunjukan cabaret di
Indonesia sehingga perlu dilakukan penelitian tentang
pertunjukan tersebut. Peneliti ingin mengungkap lebih jauh
tentang ekspresi estetis yang muncul dari keterlibatan para penari
cross gender dalam Cabaret Show.
E. Landasan Teori
Pembahasan mengenai bentuk pertunjukan Cabaret Show
dan relasi ekspresi estetis penari cross gender di atas panggung
membutuhkan teori sebagai wacana untuk membedah persoalan
tersebut. Teori yang akan diwacanakan dalam tulisan ini adalah
„koreografi‟ oleh Sumandiyo hadi dan „technology of enchantment
and enchantment of technology‟ oleh Alfred Gell.
1. Estetika seni pertunjukan dalam budaya populer
Pemaparan tentang teori koreografi oleh Sumandiyo Hadi dan
teknik pesona oleh Gell akan diawali dengan kaitan antara Cabaret
Show dengan budaya populer. Budaya populer merupakan sebuah
kekuatan dinamis, yang menghancurkan batasan kuno, tradisi,
selera dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya
19
populer atau budaya massa membaurkan dan mencampur
adukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut sebagai
budaya homogen.
Menurut Modleski terdapat sekumpulan oposisi yang
memberikan hak istimewa pada laki-laki dan kesenian dengan
mengorbankan perempuan dan budaya populer. Budaya seni
tinggi melingkupi unsur maskulinitas, produksi, kerja,
kecerdasan, sifat aktif, menulis, sedangkan budaya massa atau
populer melingkupi feminitas, konsumsi, santai, emosi, sifat pasif,
dan membaca.21
Budaya populer dihasilkan dalam kondisi-kondisi subordinat.
Praktik-praktik budaya populer dicirikan oleh kreativitas kaum
lemah dalam menggunakan sumber daya yang dihasilkan oleh
sistem yang tidak memberdayakan meskipun akhirnya menolak
untuk tunduk kepada kekuasaan tersebut.22 Cabaret Show
merupakan bentuk produk budaya populer masa kini. Dilihat dari
kategorisasi yang dibuat oleh Strinatri maupun ciri praktik budaya
populer oleh Fiske mengkategorikan Cabaret Show sebagai salah
satu produk seni dalam budaya populer masyarakat pada
masanya.
21 Dominic Strinatri, 2005, 15—219. 22 John Fiske, Memahami Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra, 2011,
51—53.
20
Cabaret Show adalah pertunjukan yang ditampilkan oleh
seorang penari yang berjenis kelamin laki-laki yang menggunakan
dan menggerakkan tubuh seperti perempuan di Yogyakarta.
Beberapa di antaranya adalah gay, transgender, dan juga
heteroseksual. Dalam buku Dance, Sex and Gender oleh Hanna,
bahwa keterlibatan para gay atau homoseksual dalam dunia tari
merupakan bentuk ekspresi estetis secara emosional dan erotis
sebagai pengalihan atas ketidakberpihakan sosial terhadap
keberadaan mereka.23 Pengungkapan ekspresi estetis ini diiringi
dengan penyuguhan gerak atau penampilan di atas panggung.
Penilaian estetis atas suatu pertunjukan berbeda antara satu
orang dengan yang lain. Pemahaman estetis tentang tari
dipengaruhi atas budaya yang membentuknya dan selanjutnya
menyatu dalam budaya sebagai sebuah pemahaman estetis.24
Konsep estetis kini tidak lagi diidentikkan dengan keindahan.
Perdebatan mengenai nilai estetis penampilan para penari cross
gender dalam Cabaret Show dipandang tidak sejalan dengan
konsep estetik yang mengusung keindahan sebagai barometernya.
Estetika dalam Cabaret Show merupakan bentuk estetika baru
dalam budaya popular.
23 Judith Lynne Hanna, Dance, Sex and Gender Sign of Identity Dominance,
Defiance and Desire, Chicago: The University of Chicago Press, 1998, 136. 24 Najwa Arda, 2001, 181.
21
2. Koreografi dan Technology of Enchantment dalam
panggung Cabaret Show
Penari cross gender dalam Cabaret Show merupakan laki-laki
yang menampilkan diri sebagai female impersonator di atas
panggung. Penari mengolah gerak dengan teknik tertentu guna
menarik perhatian penonton. Dalam kacamata tari, gerak
merupakan elemen estetis koreografi yang memiliki unsur ruang,
tenaga, dan waktu yang saling menyatu.25 Gerak yang ditampilkan
para penari cross gender di atas panggung merupakan hasil
sebuah proses teknik. Dipaparkan oleh Gell bahwa:
“We recognize works of art, as a category, because they are the outcome of technical process, the sorts of technical process in which artis are skilled”.26
Tubuh maskulin yang disandangkan pada laki-laki diubah
dalam bentuk feminin lengkap dengan kostum dan make-up
corrective. Tubuh perempuan dinilai sebagai tanda yang mampu
menghasilkan makna, konsep, dan tema tertentu seperti
seksualitas, kegairahan, kemolekan, keseksian, kecantikan, dan
keindahan.27 Potensi atas tanda yang terdapat pada tubuh
perempuan selanjutnya diaplikasikan oleh para penari cross
gender melalui sebuah teknik di luar perilaku sehari-hari.
25 Y. Sumandiyo Hadi, Koreografi Bentuk-Teknik-Isi, (Yogyakarta: Cipta
Media, 2014), 10. 26 Alfred Gell, 1992, 163. 27 Ardhie Raditya, Sosiologi Tubuh Membentang Teori di Ranah Aplikasi,
(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), 200.
22
Menurut Sumandiyo Hadi, analisis teknik perlu diperhatikan oleh
penari ketika mengerjakan prinsip kebentukan dan konsep
kontinyuitas sehingga tampak dinamis.28 Teknik yang ditampilkan
oleh penari harus mencapai tataran „sangat baik‟ sehingga mampu
menarik perhatian penonton. Gell dalam pemaparannya
mengatakan bahwa:
“There seems every justification, therefore, for considering art object, initially as those objects which demonstrate a certain technically achieved level of excellence, „excellence being function, not of their characteristics simply as object, but of their characteristics made object, as produce of techniques”.29
Teknik yang ditampilkan para penari cross gender dalam
Cabaret Show menunjukkan sebuah upaya untuk menarik
perhatian penonton secara besar-besaran. Hal ini merupakan
sebuah teknologi yang dibangun dalam seni untuk memunculkan
sebuah enchantment (pesona) yang lebih jauh dari sekedar teknik
di atas panggung. Bagi Gell, teknologi mampu memunculkan
pesona dengan teknik yang menyimpan tingkat kesulitan bagi
penikmatnya. Kesulitan atau kerumitan merupakan poin dari
teknik yang memunculkan pesona. Ketika tingkat kesulitan
semakin tinggi maka membuat hal tersebut semakin mempesona.
Dalam Cabaret Show perlakuan terhadap gerak yang
melampaui tataran teknik mengarah pada hal yang bersifat
28 Y. Sumandiyo Hadi, 2014, 52. 29 Alfred Gell, 2006, 162.
23
hiperbola (dilebih-lebihkan) hingga memunculkan respon yang
tinggi dari para penikmatnya. Seperti yang ungkapan Alfred Gell
bahwa:
“The Power of art objects stems from the technical processes they objectively embody: the technology of enchantment is founded on the enchantment of technology. The enchantment of technology is the power that technical processes have of casting a spell over us so that we see the real world in an enchanted form. The enchantment which is immanent in all kinds of technical activity”.30
Cross gender dalam Cabaret Show membenturkan pelbagai
struktur yang ada dalam masyarakat. Perwujudannya dalam
bentuk female impersonator dengan teknik gerak di luar gerak
sehari-hari semakin menarik untuk diperbincangkan. Technology
of enchantment semakin dipertanyakan dan tentu menjadi
bertambah luas pemahamannya dalam Cabaret Show. Teknik
pesona para penari berkaitan erat terhadap produksi gerak
berdasarkan ilmu koreografi. Keduanya saling berkaitan hingga
menghasilkan sebuah pertunjukan yang menarik dengan kemasan
yang berbeda.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu metode
yang menggunakan data yang berupa uraian kalimat tertulis
ataupun lisan dari suatu objek yang bertujuan untuk
menggunakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan suatu
30 Alfred Gell, 2006, 163.
24
gejala.31 Pemaparan hasil analisis Cabaret Show berbentuk
deskriptif berupa uraian-uraian secara detail tentang bentuk
pertunjukan dan relasi penari cross gender terhadap ekspresi
estetis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dance studies untuk mengkaji dance performance yang bersifat
kekinian secara lebih spesifik sehingga menunjukkan perbedaan
dengan ilmu budaya pada umumnya.32 Dance studies sesuai
digunakan untuk mengkaji Cabaret Show di Yogyakarta sebagai
bentuk pertunjukan masa kini yang belum memiliki standar atau
acuan khusus dalam penampilannya.
Dance studies merupakan analisis sebuah tari yang lebih
luas lagi dari sebuah praktik sosial yaitu mengarah para
ketubuhan, identitas dan representasi.33 Penulis membatasi
penelitian ini pada aspek ketubuhan dalam pendekatan dance
studies. Ketubuhan yang dimaksud mengarah pada bagaimana
tubuh digunakan, ditampilkan, dan dimaknai oleh penari cross
gender. Human movemant dalam Cabaret Show tidak hanya
dipandang sebagai sebuah bentuk namun memiliki unsur lain
31 Maman Rahman, Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian Pendidikan,
(Semarang: Ikip Semarang Press, 1993), 108. 32 Alexandra C dan Janet O, The Dance Studies Reader, (Newyork:
Rortledge, 2010), 5. 33 Gay Morris, Dance studies/Cultural Studies, Dance Research Journal,
Vol. 41, No. 1, Dance, the Disciplines, and Interdisciplinarity (Summer, 2009),
pp. 82—100, 83.
25
yang berkenaan dengan sebuah praktik sosial bagi para pelaku
cross gender di dalamnya.
Melalui pendekatan ini, diupayakan untuk dapat melihat
pertunjukan Cabaret Show sebagai sebuah seni pertunjukan masa
kini yang di dalamnya terdapat unsur tari dan mampu
menganalisisnya dengan didukung teori gender sebagai
perspektifnya. Gender digunakan dalam membedah bagaimana
tubuh dimaknai oleh penari cross gender dalam pertunjukan
Cabaret Show di Yogyakarta. Melalui pengamatan ekspresi estetis
penari serta pemahaman terkait dengan pertunjukkan cabaret,
penulis fokus dalam membedah ruang gerak dalam pertunjukan
tersebut baik secara individual maupun komunal para penari di
atas penggung.
Melihat unsur yang terkandung dalam Cabaret Show, maka
metode kualitatif dan pendekatan dance studies sesuai digunakan
untuk menjawab permasalahan penelitian. Data yang didapatkan
selanjutnya akan dianalisis menggunakan model analisis Milles &
Hiberman hingga dapat ditarik kesimpulan dan proses akhir
adalah disajikan dalam bentuk data deskriptif.
1. Subjek penelitian
Subjek penelitian ini adalah para penari cross gender Cabaret
Show di Oyot Godhong Mirota Batik Malioboro Yogyakarta.
26
Beberapa penari merupakan informan yang memberikan informasi
terkait penampilan penari cross gender di panggung Cabaret Show,
mereka antara lain yaitu:
a. Mamuk Rohmadona, selaku penari dan koordinator
penari Cabaret Show.
b. Ikbal Ramadhani, selaku penari Cabaret Show.
c. Robbi Aji, selaku penari Cabaret Show.
d. Sharita, selaku penari Cabaret Show.
e. Janihari persada, selaku penari dan koreografer Cabaret
Show.
f. Ayii Santosa, selaku penari dan stage manager Cabaret
Show.
g. Bunda Ayu, selaku penari dan perias penari Cabaret
Show.
h. Andre Nurvili, selaku editor musik Cabaret Show.
2. Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini ada dua, yaitu lapangan dan pustaka. Pengumpulan data di
lapangan dilakukan dengan observasi, wawancara, dan
dokumentasi Cabaret Show. Observasi dilakukan hingga beberapa
kali untuk memahami struktur Cabaret Show baik dari bentuk
27
penyajian hingga alur yang dimainkan. Observasi di mulai dari
bulan Januari hingga Maret dengan mengamati secara langsung
pertunjukan pada hari Jumat dan Sabtu sesuai dengan jadwal
pementasan.
Selanjutnya wawancara dilakukan untuk mendapatkan data
yang lebih mendalam pada beberapa pihak terkait pendiri dan
pelaksana pertunjukan serta penampil dalam pertunjukan Cabaret
Show. Wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur atau
wawancara mendalam. Hal ini dilakukan untuk dapat lebih dekat
dan mampu menyelami informan secara personal sehingga
informasi yang didapatkan dapat lebih banyak. Proses wawancara
dilakukan dengan narasumber yang dianggap memiliki kompetensi
dan relevan dengan objek penelitian, antara lain:
a. Hamzah Hendro Sutikno, selaku pendiri Cabaret Show,
wawancara seputar latar belakang pembentukan
pertunjukan Cabaret Show. Ia merupakan narasumber
utama terkait motivasi dan tujuan pembentukan Cabaret
Show di Yogyakarta.
b. Ratri Septiani, selaku manajer Oyot Godhong Cabaret Show,
wawancara seputar manajemen Cabaret Show. Sebagai
manajer, ia mengetahui secara detail pendapatan dan
pemasukan hingga perkembangan Cabaret Show dari waktu
ke waktu. Ia merupakan anak angkat dari Hamzah HS yang
28
bertanggungjawab penuh terhadap kelangsungan Cabaret
Show.
c. Mamuk Rohmadona, selaku koordinator penari cross gender
Cabaret Show, wawancara seputar perekrutan penari,
perkembangan Cabaret Show hingga motivasi keterlibatan
sebagai penari. Ia merupakan salah satu narasumber utama
yang memberikan banyak informasi. Hamzah HS selaku
pemilik, menyerahkan tanggungjawab perihal konten
maupun kemasan pertunjukan padanya.
d. Andrian Purwanto, selaku penari dan stage manager di
Cabaret Show, wawancara seputar pelaksanaan pertunjukan
dan alur pertunjukan yang dibuat. Ia juga merupakan orang
kepercayaan Hamzah HS. Ia mengiringi dan menemani
Mamuk Rohmadona dalam mengembangkan Cabaret Show
hingga saat ini.
e. Ayii Santosa. selaku penari dan stage manager di Cabaret
Show, wawancara seputar teknik yang dimainkan saat di
atas panggung dan lain sebagainya. Ia juga turut andil
dalam setiap perkembangan Cabaret Show. Kemampuannya
dalam teatrikal mampu menarik penonton dan semakin
dikembangkan dalam pertunjukan dari waktu ke waktu. Ia
bersama Andrian Purwanto mengatur teknis pertunjukan di
29
belakang panggung. Informasi yang didapatkan menambah
kelengkapan data dalam penelitian ini.
f. Darmawan Dadijono, selaku dosen ISI Yogyakarta,
wawancara seputar sepak terjang Cabaret Show dari masa
ke masa. Ia memiliki banyak informasi terkait pembentukan
Senthir Lenga Patra, Glass & Dolls, hingga Cabaret Show.
Informasi yang didapatkan dikaitkan dengan informasi dari
narasumber lain. Data yang menjadi lebih akurat karna
didapatkan dari berbagai sumber baik pemilik, pelaku atau
pihak lain di luar Cabaret Show.
Pengumpulan data dan studi pustaka dilakukan dengan
kajian dokumen, yaitu melalui buku-buku referensi, catatan-
catatan sejarah Oyot Godhong Mirota Batik dan dokumen-
dokumen lain yang berkaitan. Data-data dalam penelitian
sebelumnya seperti tesis dan disertasi atau artikel ilmiah terkait
objek penelitian juga digunakan untuk melengkapi data. Sumber
dari internet dan pelbagai media cetak juga menjadi bahan
rujukan dalam penelitian.
3. Metode analisis data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu
pada analisis Milles & Hiberman, yaitu proses analisis data yang
digunakan secara serempak mulai dari proses pengumpulan data,
mereduksi, mengklarifikasi, mendeskripsikan, menyimpulkan, dan
30
menganalisis serta menginterpretasikan semua informasi secara
selektif.34 Analisis data terkandung dalam tiga tahapan akhir
yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses penyederhanaan yang pada
umumnya dilakukan dengan mengklasifikasikan sesuai
hakikatnya sehingga masing-masing data dapat lebih mudah
untuk dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.
b. Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang
tersusun dan terstruktur berisi proses interpretasi,
pemberian makna, baik secara emik atau etik, baik terhadap
unsur-unsur maupun totalitas sehingga memberi kemudahan
dalam penarikan kesimpulan.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Penarikan kesimpulan merupakan usaha untuk
mengungkapkan hasil selama proses pelaksanaan penelitian,
yakni mengungkapkan keseluruhan hasil penelitian yang
telah mengalami serangkaian proses analisis dari data yang
didapatkan.
34 Milles & Hiberman, Analisis Data Kualitatif, Terjemahan Tjetjep
Rohendi Rohidi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), 15—21.
31
Komponen Analisis Data: Model Interaktif oleh Milles & Hiberman.35
G. Sistematika Penulisan
Gambaran umum mengenai penelitian ini dipaparkan
dalam sistematika sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang
penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II Latar belakang Cabaret Show di Yogyakarta. Bab
ini berisi hasil penelitian kualitatif yang memaparkan secara
deskriptif tentang sejarah pertunjukan cabaret di Eropa hingga
kemunculannya di Yogyakarta dan perjalanan Cabaret Show
sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Informasi ini
didasarkan atas data-data yang telah didapatkan, baik dari
35 Milles & Hiberman, 1992, 20.
Penyajian
data
Reduksi data
Pengumpulan
data
Kesimpulan
/verifikasi
32
lapangan maupun kajian dokumen dan hasil wawancara
dengan pelbagai narasumber.
BAB III Teknik pesona penari cross gender dalam Cabaret
Show. Bab ini memaparkan secara detail tentang bentuk
pertunjukan Cabaret Show dilihat dengan kacamata
performance text. Teori koreografi digunakan untuk membedah
bentuk pertunjukan dan dikorelasikan dengan teknik pesona
yang dikemukakan Alfred Gell. Unsur gerak, penari hingga
koreorafi dipaparkan secara rinci dalam bab ini.
BAB IV Negosiasi pertunjukan penari cross gender. Bab
ini spesifik membahas tentang relasi yang dimunculkan atas
peran penari cross gender terhadap ekspresi estetis yang
ditampilkan di atas panggung. Relasi yang muncul dipengaruhi
atas technology of enchantment yang dibawakan oleh para
penari cross gender sehingga berpengaruh terhadap aspek lain
yang melingkupi Cabaret Show. Terdapat negosiasi-negosiasi
antara ekspresi penari, pertunjukan, dan selera penonton.
BAB V Penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran
berbentuk pernyataan singkat tentang hasil penelitian dan
saran dari penulis terkait manajemen pertunjukan dan
kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam
seni.