32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabaret Show adalah suatu bentuk seni pertunjukan yang beraspek utama musik, komedi, tari, drama, dan aspek pertunjukan lainnya. Seni pertunjukan ini dibawakan oleh penari cross gender di Yogyakarta. Para penari utama adalah laki-laki berpakaian feminin dan berperilaku seperti perempuan di atas panggung. Menurut bahasa Jerman, cabaret berasal dari kata „uberbrett‟ dan berubah menjadi cabaret atau kabaret yang berarti ruangan kecil. Dipaparkan oleh Alan Lareau bahwa: “Cabaret is a theatrical form it often makes use of satire, which critiques reality by contrasting it with a norm or ideal to usually humorous effect, but cabaret can be filled with any number of ideologies and is by no means an intrinsically left-wing form” . 1 Cabaret adalah sebuah bentuk teatrikal yang biasanya memuat unsur sindiran, mengkritisi realita yang kontras dalam sebuah norma atau ideal dengan bentuk humor, namun cabaret dapat diisi dengan banyak ideologi dan melalui ketidak bermaknaan sebuah bentuk sayap kiri secara instrinsik” Pada mulanya pertunjukan cabaret merupakan perwujudan dari aliran “dadaisme” yang menolak cara berfikir bahwa seni adalah sesuatu yang tinggi, mahal dan eksklusif. Pada peralihan 1 Alan Lareau, “The German Cabaret Movement During The Weimar Republic”, Theatre Journal. Vol.43, No. 4(Dec,. 1991), 471—470.

BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88124/potongan/S2-2015... · dalam sebuah norma atau ideal dengan bentuk humor, ... Pertunjukan ini menjadi pusat tujuan wisata

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cabaret Show adalah suatu bentuk seni pertunjukan yang

beraspek utama musik, komedi, tari, drama, dan aspek

pertunjukan lainnya. Seni pertunjukan ini dibawakan oleh penari

cross gender di Yogyakarta. Para penari utama adalah laki-laki

berpakaian feminin dan berperilaku seperti perempuan di atas

panggung. Menurut bahasa Jerman, cabaret berasal dari kata

„uberbrett‟ dan berubah menjadi cabaret atau kabaret yang berarti

ruangan kecil. Dipaparkan oleh Alan Lareau bahwa:

“Cabaret is a theatrical form it often makes use of satire, which critiques reality by contrasting it with a norm or ideal to usually humorous effect, but cabaret can be filled with any number of ideologies and is by no means an intrinsically left-wing form” . 1

“Cabaret adalah sebuah bentuk teatrikal yang biasanya memuat unsur sindiran, mengkritisi realita yang kontras

dalam sebuah norma atau ideal dengan bentuk humor, namun cabaret dapat diisi dengan banyak ideologi dan melalui ketidak bermaknaan sebuah bentuk sayap kiri

secara instrinsik”

Pada mulanya pertunjukan cabaret merupakan perwujudan

dari aliran “dadaisme” yang menolak cara berfikir bahwa seni

adalah sesuatu yang tinggi, mahal dan eksklusif. Pada peralihan

1 Alan Lareau, “The German Cabaret Movement During The Weimar

Republic”, Theatre Journal. Vol.43, No. 4(Dec,. 1991), 471—470.

2

abad ke 20, muncul tokoh penari waria asal Brazil terkenal

dengan nama Josephine Baker dan Madame Sata yang semakin

memopulerkan penari waria dalam pertunjukan cabaret.2 Pada

perkembangannya muncul Charlie Brown yang terkenal sebagai

penari waria dalam pertunjukan cabaret di Atlanta Amerika.

Cabaret merupakan medan pertemuan antara budaya tinggi

dan budaya populer dalam bentuk hiburan.3 Membicarakan

budaya populer maka mengingatkan pada perspektif kritis yang

digunakan Mondleski dengan memasukkan unsur santai dan

konsumsi di antara 6 kategori lainnya dalam budaya massa atau

populer.4 Budaya populer juga bisa dikatakan sebagai suatu

budaya yang tanpa disadari masyarakat telah menjadi suatu

kebiasaan. Budaya populer yang dimaksud dalam tulisan ini

adalah budaya yang diproduksi sebagai hasil kreativitas untuk

orang kebanyakan yaitu sebagai pangsa pasar sekelompok

konsumen. Budaya populer berarti juga budaya massa (mass

media) yang menjadi representasi masyarakat pendukungnya.

Pengaruh budaya populer pada saat ini semakin

menunjukkan efek yang cukup besar dalam masyarakat. Budaya

populer pada masa reformasi seolah keluar dari sarang dan

2 Me Iwan, htttp://id.m.wikipedia.org/wiki/cabaret. diakses pada 25

Maret 2015. 3 Alan Lareau, 1991, 471. 4 Dominic Strinatri, Populer Culture Pengantar Menuju Teori Budaya

Populer, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), 219.

3

menunjukkan diri dalam pelbagai lini. Kemunculan fenomena Inul

Daratista sebagai produk dari sejarah tertentu dan ketenaran

kelompok band Peterpan di Malaysia dan Timor Leste sebagai

sebuah „ikon utama‟ sebuah produk merupakan contoh konkret

pengaruh budaya populer telah merambah pada hubungan

antarnegara.5 Fenomena Inul dan grup Peterpan menunjukkan

bahwa bentuk seni yang dianggap sebelah mata oleh masyarakat

ternyata mampu menjadi magnet dan berbalik menjadi idola

masyarakat.

Kebangkitan produk budaya populer semakin dirasakan saat

memasuki era reformasi yang sangat berbeda ketika Orde Baru.

Terdapat sebuah kontradiksi yang sangat kuat antara

perkembangan seni pertunjukan pada masa Orde Baru dan

reformasi. Akan tetapi, masa Orde Baru tidak mempengaruhi

seluruh kebebasan ekspresi masyarakat Yogyakarta. Salah satu di

antaranya adalah penampilan para penari cross gender yang mulai

berkembang sejak tahun 1980-an. Kemunculan penari cross

gender dalam pertunjukan Sentir Lenga Patra adalah yang pertama

kali muncul di Yogyakarta dan dibentuk oleh Hamzah Hendro

Sutikno (HS). Senthir Lenga Patra merupakan cikal bakal

munculnya Cabaret Show di Yogyakarta.

5 Ariel Heryanto, “Budaya Pop dan Persaingan Identitas”, dalam Budaya

Populer di Indonesia Mencairnya Identitas Pasca Orde Baru, (Yogyakarta:

Jalasutera, 2012), 2—4.

4

Cross gender merupakan fenomena dimana seorang laki-laki

yang memerankan diri sebagai perempuan atau sebaliknya baik

dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam seni pertunjukan.6

Cross gender dalam tulisan ini disempitkan dalam arti laki-laki

yang bergaya seperti perempuan di atas panggung. Kemunculan

cross gender dalam seni pertunjukan di Indonesia telah ada sejak

zaman dahulu. Beberapa di antaranya yaitu silang gender dalam

drama tari Arja di Bali, cross gender dalam seni wayang orang

(penari putri memerankan tokoh Arjuna), cross gender dalam

pertunjukan Ludruk, dan cross gender dalam pementasan

Lengger. Terdapat pula pertunjukan cross gender di mancanegara

yaitu pertunjukan cabaret di Bangkok Thailand dengan nama

Calypso Cabaret hingga saat ini. Dalam pertunjukan tersebut para

penari cross gender menampilkan diri sebagai female impersonator

(peniru perempuan) dan menjadi salah satu tujuan wisata.

Menilik sejarah yang ada, fenomena cross gender telah ada di

Cina sejak beberapa abad terakhir. Salah satu pemain teater asal

Cina yang sangat terkenal sebagai penari cross gender adalah Mei

Lanfang. Ia kelahiran Beijing dan terkenal sebagai cross gender

hingga mancanegara. Berdasarkan sejarah pada abad ke 19 kaum

perempuan dikeluarkan dari teater dan terdapat labeling sebagai

pelacur bagi yang berani tampil di atas panggung. Baru pada

6 FX. Widaryanto, ”Cross gender: Antara Rekayasa Kultural dan Sosial”, dalam Menuju Representasi Dunia Dalam, (Bandung: Kelir, 2007), 13.

5

1930-an muncul aktris atau pemain teater perempuan Xue dan

Xin yang akhirnya mampu menduduki barisan depan deretan artis

perempuan ulung yang menanjak pada masa sebelum perang.7

Di Indonesia terdapat Didik Hadi Prayitno atau dikenal

dengan nama Didik Nini Thowok yang tersohor karena

kepiawaiannya memerankah tokoh sebagai perempuan.

Konsistensi dalam dunia female impersonator membawanya hingga

keliling dunia. Pada saat ini muncul sosok Rianto seorang penari

kelahiran Banyumas yang memiliki keunikan dalam membawakan

lengger Banyumasan dengan make-up dan kostum perempuan.

Tampilan tersebut menjadi ciri khas yang kental dan

mengantarnya sebagai salah satu penari ternama di Indonesia.

Didik Nini Thowok muncul sebagai female impersonator yang

membuka jalan para seniman atau pelaku cross gender Indonesia

untuk menunjukkan talenta dalam bidang seni. Kemunculan

Didik seperti medan magnet yang menarik logam yang berada di

sekitar. Fenomena cross gender berkembang di Yogyakarta

bersamaan dengan kamasyhuran Didik Nini Thowok.

Produk budaya yang berkembang di Yogyakarta begitu

lengkap dengan beragam karakteristik yang menyertai. Segala

macam bentuk keberagaman ekspresi budaya dapat masuk dan

7 RM. Soedarsono, “Didik Nini Thowok dan Perkembangan Seni

Pertunjukan Seni”, dalam Cross Gender, Setiyono Wahyudi dan Lono L (eds),

(Malang: Bayumedia, 2012), 22—23.

6

berkembang di Yogyakarta termasuk yang dilakukan oleh para

penari cross gender. Berbeda dengan kota-kota besar seperti

Jakarta, Surabaya, Semarang, dan lain-lain yang masih

membatasi sepak terjang para pelaku cross gender. Begitu pula

dengan kota Surakarta yang memiliki predikat kota budaya pun

ternyata tidak memberi ruang kebebasan bagi para cross gender

secara legal.

Salah satu bentuk pertunjukan cross gender yang ada di

Yogyakarta adalah Cabaret Show di Oyot Godhong lantai 3 Mirota

Batik di Malioboro. Pada tahun 1980-an pertunjukan ini bernama

Senthir Lenga Patra lalu berganti menjadi Glass & Dolls dan resmi

ditampilkan kembali dengan nama Cabaret Show pada tahun

2010. Cabaret adalah sebuah pertunjukan atau pementasan seni

hiburan yang berasal dari dunia Barat berupa musik, komedi,

sandiwara, dan tari-tarian.8 Oyot Godhong adalah nama sebuah

resto yang berada di lantai 3 pusat perbelanjaan Mirota Batik di

ujung jalan Malioboro Yogyakarta. Hamzah HS adalah pemilik toko

Mirota Batik sekaligus pendiri Cabaret Show. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Dian Safitri tentang pesantren

waria di Yogyakarta dipaparkan bahwa kegiatan para waria dapat

berjalan di bawah perlindungan Sri Sultan dan sikap toleransi

8 Ensiklopedia, Cabaret. http://en.m.wikipedia.org/wiki/cabaret, diunduh

tanggal 1Februari 2015.

7

masyarakat Yogyakarta.9 Kebijakan Sri Sultan dalam memberikan

hak hidup dan berkembang bagi seluruh masyarakat tentu

berpengaruh terhadap kemunculan pertunjukan Cabaret Show di

Yogyakarta.

Bentuk pertunjukan Cabaret Show adalah tari dan lip sync

lagu-lagu baik dari dalam dan luar negeri. Pertunjukan serupa

yang ada di kawasan Asia adalah pertunjukan Calypso Cabaret di

Bangkok. Pertunjukan ini menjadi pusat tujuan wisata turis yang

berkunjung ke Thailand. Cabaret di Bangkok ditampilkan pada

panggung yang luas dengan kursi penonton yang telah diatur

untuk seperti gedung teater. Akan tetapi, cabaret di Yogyakarta

berada di sebuah tempat makan dengan konsep panggung yang

minimalis serupa dengan konsep cabaret pada masa awal abad 20

di Eropa.

Pembahasan mengenai Cabaret Show mempunyai daya tarik

tersendiri bagi peneliti dilihat dari ekspresi estetis para penari

cross gender sebagai pelaku utamanya. Keberadaannya sebagai

seni pertunjukan cabaret yang hanya ada di Yogyakarta dari

seluruh wilayah di Indonesia menjadi salah satu hal yang menarik

untuk dikaji lebih dalam. Cabaret Show merupakan bentuk

9 Dian Maya Safitri, “Tolerence of Minorities and Cultural Letimacy: The

Case of Pesantren Khusus Waria Al Fattah Senin-Kamis di Yogyakarta”, Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Vol.15, No 2, (Nov, 2011), 154—167.

8

kebebasan seni sebagai produk budaya populer yang mampu

menarik budaya konsumerisme penontonnya.

Cabaret Show muncul di Yogyakarta dengan menyajikan

gerak effeminate (keperempuan-perempuanan) para penari cross

gender laki-laki di atas panggung. Selain para cross gender muncul

pula para penari pria dan wanita yang menjalankan peran mereka

sebagai penari latar. Beberapa adegan seperti teatrikal

berpasangan antara laki-laki dan perempuan diperankan oleh satu

penari pria sebagai laki-laki maskulin dan penari pria (cross

gender) sebagai perempuan.

Cabaret Show menampilkan suatu perpaduan antara

modernitas dan tradisi. Hal ini terlihat dari penyajiannya yang

mengkolaborasikan tari tradisi dan populer pada satu peristiwa

pertunjukan. Perpaduan ini merupakan cara Hamzah untuk

menampilkan identitasnya di atas panggung. Terlihat pula upaya

dari Cabaret Show untuk dapat diterima oleh penonton di antara

seni tradisi yang sudah berkembang sebelumnya di Yogyakarta.

Penari cross gender dalam Cabaret Show mengekspresikan

diri sebagai gender perempuan. Ekspresi ditampilkan secara

estetis melalui tubuh yang mereka sajikan. Pemaknaan atas tubuh

perempuan oleh para cross gender terealisasi dalam wujud gerak

yang berbeda. Penari mengolah tubuh dan mengaplikasikannya

dalam bentuk gerak yang diasosiasikan dengan gerak perempuan.

9

Tentu hal ini akan berbeda ketika peran ini dibawakan oleh penari

perempuan di panggung Cabaret Show.

Berbicara lebih jauh tentang kemunculan penari cross gender

dalam Cabaret Show, ditemukan sebuah wujud ekspresi estetis

dalam seni pertunjukan. Menilik istilah estetika dalam seni maka

akan berbicara mengenai rasa. Untuk memahami lebih jauh

mengenai estetika dalam seni tari, Lono Lastoro menawarkan

sebuah cara pandang estetika yang berbeda dalam fenomena

trance pada pertunjukan Jathilan. Hasilnya mengantarkan kita

pada pemahaman akan sensasi estetika dalam seni tari yang lebih

luas dari sekedar keindahan.10

Pertanyaan yang sama muncul dari Cabaret Show yang

menampilkan penari cross gender dengan segala tingkah lakunya

di atas panggung. Perihal estetis akan kembali pada masing-

masing individu dalam memaknainya. Estetis didefinisikan sebagai

sebuah bentuk (informasi gaya bahasa) utama dengan menuruti

keinginan yang utamanya untuk kesenangan. Seperti halnya tari

yang memiliki fungsi sosial dan psikologi, namun bagi masyarakat

Yamen tari hanya difungsikan untuk kesenangan saja.11 Persoalan

estetis juga memiliki bentuk tersendiri pada panampilan para

10 Lono Lastoro Simatupang, Pergelaran Sebuah Mozaik Penelitian Seni-

Budaya, (Yogyakarta: Jalasutera, 2013), 59. 11 Najwa Arda, “Dance: a Visual Marker of Qabili Identity in Highland

Yemen”, dalam Colors of Enchantment Theater, Dance, Music and Visual Arts of The Middle East, Sherifa Zuhur (ed), (Newyork: Cairo Press, 2001), 181.

10

penari cross gender dalam Cabaret Show hingga mampu menarik

penonton untuk datang. Estetis pada gerak bagi penari Cabaret

Show dipengaruhi dorongan yang kuat dalam mengekspresikan

diri mereka yang sesungguhnya.

Penampilan para penari cross gender dalam Cabaret Show

memunculkan banyak pertanyaan. Termasuk tentang relasi

ekspresi estetis yang dimunculkan dari keterlibatan para penari

cross gender. Terlebih lagi dengan konsep Cabaret Show yang

menjadi sebuah pertunjukan bertema parodi yang tidak memiliki

unsur cerita. Sebagai sebuah seni hiburan, Cabaret Show tersaji

dengan konsep berbeda dan bertujuan mengundang pesona para

penonton. Alfred Gell membicarakan perkara seni sebagai sebuah

teknik untuk menampilkan sebuah pesona.12 Respon yang terlihat

dari para penonton mampu menggambarkan sebuah keberhasilan

dalam mengolah teknik pesona.

Penataan panggung, teknik gerak hingga pemilihan konsep

diolah sedemikian rupa guna menarik penonton. Tujuan ini

selanjutnya tersampaikan melalui penyajian para cross gender.

Relasi yang muncul atas keterlibatan penari cross gender

memunculkan negosiasi dalam pertunjukan. Komersialisasi juga

12 Alfred Gell, “Technology of Enchantment and Enchantment of

Technology”, dalam The Art of Antrophology Essay and Diagrams, Eric Hirsch

(ed), (London: Athlone press, 2006), 163.

11

turut mengiringi penyajian Cabaret Show yang disesuaikan dengan

selera penonton.

Kajian tentang Cabaret Show sebagai salah satu produk

budaya populer menarik dilakukan untuk memperdalam

pemahaman tentang fenomena cross gender dalam seni

pertunjukan. Perumusan tentang ekspresi estetis penari cross

gender dalam pertunjukan juga mampu memberi pemahaman

tentang ekspresi estetis gender golongan ketiga (queer aesthetic)

dalam fenomena atau bidang lain.

B. Rumusan Masalah

Cabaret Show menampilkan karya dengan konsep imitative

atau tiruan terhadap artis-artis terkenal. Estetis bagi penari

Cabaret Show merupakan wujud ekspresi diri atas diri mereka

yang sesungguhnya. Ekspresi estetis yang ditampilkan beragam

sesuai dengan karakter masing-masing penari. Para penari cross

gender menampilkan suatu teknik dan sajian yang serupa atau

sangat jauh berbeda dari karakter penyanyi aslinya.

Terdapat technology of enchantment dalam konsep imitasi

yang diterapkan di atas panggung. Kebutuhan akan ekspresi diri

dan kesuksesan pertunjukan memunculkan negosiasi-negosiasi

dalam pementasan. Keterlibatan penari yang merupakan cross

gender juga turut memunculkan hal baru hingga mampu menarik

12

penonton. Berdasaran uraian di atas, maka permasalahan

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah ekspresi estetis para penari Cabaret Show di

Oyot Godhong Mirota Batik Yogyakarta?

2. Apa relasi cross gender terhadap ekspresi estetis yang mereka

tampilkan di atas panggung Cabaret Show?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini yang pertama, bertujuan untuk mengetahui

bentuk kebebasan berekspresi seni pertunjukan di Yogyakarta

sebagai salah satu seni genre baru. Kedua, untuk mengetahui

ekspresi estetis para penari Cabaret Show secara personal. Ketiga,

untuk mengetahui relasi ekspresi estetis yang ditimbulkan atas

peran para penari cross gender di atas panggung Cabaret Show.

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu

berkontribusi positif dalam kajian “performance studies” terkait

dengan fenomena kebebasan berekspresi seni pertunjukan

Indonesia di era reformasi. Hal ini menjadi sesuatu yang berbeda

dari kajian seni pada umumnya yang menilik tentang khasanah

seni dan budaya Indonesia yang adiluhung. Penelitian ini juga

diharapkan mampu menjembatani ruang pemisah antara seni

warisan dan seni populer yang berkembang bersama dalam satu

ruang dan waktu. Analisis yang dipaparkan dalam penelitian

13

Cabaret Show sebagai budaya populer ini diharapkan mampu

menjadi wacana dalam melihat masyarakat yang berkembang

pada masa tertentu. Hasil penelitian yang dipaparkan oleh peneliti

diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam memandang fenomena

seni lain yang berkembang untuk melihat kondisi masyarakat di

sekitarnya.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian

terkait dengan penari cross gender. Penulis membagi penelitian

dalam 3 kategori yaitu cross gender dalam seni pertunjukan, cross

gender dalam ritual, dan cross gender dalam konstruksi identitas.

Kategori pertama tentang fenomena cross gender dalam seni

pertunjukan terdapat dalam kumpulan hasil penelitian yang

disatukan dalam buku yang berjudul Cross Gender oleh Didik Nini

Thowok dan 11 penulis dari dalam dan luar negeri. Beberapa

diantaranya yaitu, pertama adalah pertunjukan cross gender yang

ditulis Junko Kasama yang berjudul Cross gender dalam Teater

Jepang Kabuki dan Takarazuka. Tulisan ini membahas tentang

peran perempuan yang dimainkan oleh pemain laki-laki yang

disebut “Onnagata”. Mereka dipandang jauh lebih feminin dan

indah daripada wanita sebenarnya. Penulis menyertakan foto-foto

14

para penari cross gender dalam pertunjukan teater Kabuki dan

Takarazuka yang masih bertahan hingga saat ini13.

Tulisan kedua oleh I Wayan Dibia yang berjudul Silang

Gender Dalam Dramatari Arja Di Bali. Tulisan ini membahas

tentang silang gender yang menyangkut para pelaku, penari atau

aktor (pragina) dramatari Arja di Bali. Di dalamnya dipaparkan

tentang faktor sosial dan kultural yang mendorong terjadinya

silang gender dalam kesenian tersebut.14 Beberapa artikel

selanjutnya dapat disimpulkan bahwa cross gender terdapat di

pelbagai pertunjukan berbagai negara, seperti cross gender dalam

seni pertunjukan cina, cross gender dalam kehidupan pewayangan

dan lain sebagainya. Konsep cross gender di berbagai negara

teraplikasikan dalam berbagai seni pertunjukan yang berkembang

di masing-masing wilayah.

Kategori kedua, cross gender dalam ritual ditulis oleh

Halilintar Lathief yang berjudul Manggiri: Ngebor Gaya Waria Sakti

Bugis. Di dalamnya memaparkan tentang tari Bissu yang terdiri

dari Sere Lalosu dan Manggiri. Para penari adalah para

transvestite yang dipercaya mampu menghantarkan mereka pada

13 Junko Kasama, “Cross Gender dalam Teater Jepang Kabuki dan

Takarazuka”, dalam Cross Gender, Setiyono Wahyudi dan Lono L (eds), 2012,

89—97. 14 I Wayan Dibia, “Silang Gender dalam Dramatari Arja di Bali”, dalam

Cross Gender, Setiyono Wahyudi dan Lono Lastoro (eds), 2012, 77—88.

15

Dewata melalui bahasa yang hanya dikuasai oleh para Bissu

sebagai bahasa yang turun dari surga.15

Tulisan kedua yaitu oleh FX. Widaryanto yang berjudul Cross

Gender: Antara Rekayasa Kultural dan Sosial. Dijelaskan bahwa

fenomena cross gender ada di sekitar kalangan keraton di

Yogyakarta yaitu dengan pelatihan untuk anak laki-laki muda

dalam membawakan tari Bedaya Putri guna melakukan ritual di

Keraton Yogyakarta, sementara di Surakarta terlihat dengan peran

wayang orang dengan tokoh Arjuna yang membawakan karakter

putra alus yang terkadang dimainkan oleh penari perempuan.

Sementara fenomena di kalangan rakyat wilayah sekitar keraton

Cirebon terlihat sudah terbiasa melakukan cross gender yang

terlihat dengan otoritas kepenarian secara individu para penari

cross gender tari topeng di Cirebon.16

Penelitian selanjutnya berkaitan dengan cross gender dan

ritual yang ditulis oleh James L peacock dalam Ritual,

Entertainment, and Modernization: A Javanese Case yang

membicarakan tentang tari Ludruk. Dalam pembahasannya juga

dipaparkan tentang para pelaku Ludruk yang merupakan

15 Halilintar Lathief, “Manggiri: Ngebor Gaya Waria Sakti Bugis”, dalam

Cross Gender, Setiyono Wahyudi dan Lono Lastoro (eds), 2012, 71—77. 16 FX. Widaryanto, 2007, 12—22.

16

transvestite.17 Pemeran perempuan dalam drama ludruk

dimainkan oleh para laki-laki. Pemaparan ini diperkuat dalam

tulisan Barbara Hatley yang berjudul Wayang and Luduk:

Polarities in Java yang menjelaskan tentang female impersonator

baik penyanyi maupun para penari ludruk.18

Kategori ketiga cross gender dalam konstruksi identitas ditulis

oleh Imam Fathoni yang berjudul Fenomena Drag Queen (Studi

Dramaturgis tentang pelaku drag queen di Restoran Oyot Godhong

Yogyakarta). Ia menggunakan teori dramaturgis Erving Goffman

yaitu front stage dan back stage untuk mengupas pembagian

peran draq queen dalam Cabaret Show di atas dan di luar

panggung.19

Kumpulan artikel terdapat dalam buku The Draq queen

Anthology: The absolutely Fabolous but Flawlessly Customary

World of Female Impersonator oleh Stevan P. Schacht dan Lisa

Underwood, yang kemudian memunculkan tesis bahwa draq queen

merupakan representasi simbolik yang diasosiasikan dengan

feminin (perempuan) dan bagaimana mereka dapat berubah dari

waktu ke waktu. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa gerak

17 James L Peacock, “Ritual, Entertainment, and Modernization: A

Javanese Case”, Comparative Studies in Society and History, Vol. 10, No. 3 (Apr.,

1968), 328—334. 18 Barbara Hatley, “Wayang and Luduk: Polarities in Java”, The Drama

Review: TDR, Vol. 15, No. 2, Theatre in Asia (Spring, 1971), 88—101. 19 Imam Fathoni, “Fenomena Drag Queen (Studi Dramaturgis tentang

pelaku drag queen di Restoran Oyot Godhong Yogyakarta)”, Jurnal Sosial dan Politik, Departemen Sosiologi FISIP, Universitas Airlangga, 2002.

17

effeminate para draq queen sebagai sebuah perlawanan terhadap

mitos hegemoni maskulinitas dalam dominasi sosial tubuh laki-

laki.20

Dari ketiga karegori di atas, penelitian ini cenderung pada

kategori pertama yaitu keterkaitan cross gender dalam seni

pertunjukan. Walaupun penulis sedikit menyinggung perihal

identitas, hal itu hanya untuk melengkapi data dalam

menganalisis bentuk ekspresi estetis penari cross gender di atas

panggung. Penulis menggunakan pendekatan dance studies untuk

mengkaji dance performance yang bersifat kekinian secara lebih

spesifik dan kaitannya dengan ilmu bidang lain yang dalam hal ini

adalah gender.

Dari beberapa contoh cross gender dalam seni pertunjukan

yang penulis temukan, penelitian ini fokus terhadap sejarah dan

pertunjukan secara umum. Dari sisi materi, tema yang diangkat

berkaitan dengan seni yang telah berkembang sejak lama di tiap

wilayah. Akan tetapi, tulisan ini berusaha untuk mewacakan

pembacaan atas dance performance teks kekinian dan kaitannya

dengan teknik pesona di atas panggung. Penelitian tentang

Cabaret Show pernah dilakukan dengan pembahasan terkait

pembagian peran penari atas front stage and back stage.

20 Stevan P. Schacht dan Lisa Underwood (ed), The Draq queen Anthology:

The absolutely Fabulous but Flawlessly Customary World of Female Impersonator,

London: Routledge, 2004, 1—18.

18

Pembahasan mengenai fenomena cross gender juga mengarah

pada seni tradisi dari beberapa negara yang sudah ada sejak

dahulu, Akan tetapi belum ditemukan di Indonesia dalam tari

sebagai produk budaya populer seperti Cabaret Show. Belum

ditemukan pula penelitian tentang pertunjukan cabaret di

Indonesia sehingga perlu dilakukan penelitian tentang

pertunjukan tersebut. Peneliti ingin mengungkap lebih jauh

tentang ekspresi estetis yang muncul dari keterlibatan para penari

cross gender dalam Cabaret Show.

E. Landasan Teori

Pembahasan mengenai bentuk pertunjukan Cabaret Show

dan relasi ekspresi estetis penari cross gender di atas panggung

membutuhkan teori sebagai wacana untuk membedah persoalan

tersebut. Teori yang akan diwacanakan dalam tulisan ini adalah

„koreografi‟ oleh Sumandiyo hadi dan „technology of enchantment

and enchantment of technology‟ oleh Alfred Gell.

1. Estetika seni pertunjukan dalam budaya populer

Pemaparan tentang teori koreografi oleh Sumandiyo Hadi dan

teknik pesona oleh Gell akan diawali dengan kaitan antara Cabaret

Show dengan budaya populer. Budaya populer merupakan sebuah

kekuatan dinamis, yang menghancurkan batasan kuno, tradisi,

selera dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya

19

populer atau budaya massa membaurkan dan mencampur

adukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut sebagai

budaya homogen.

Menurut Modleski terdapat sekumpulan oposisi yang

memberikan hak istimewa pada laki-laki dan kesenian dengan

mengorbankan perempuan dan budaya populer. Budaya seni

tinggi melingkupi unsur maskulinitas, produksi, kerja,

kecerdasan, sifat aktif, menulis, sedangkan budaya massa atau

populer melingkupi feminitas, konsumsi, santai, emosi, sifat pasif,

dan membaca.21

Budaya populer dihasilkan dalam kondisi-kondisi subordinat.

Praktik-praktik budaya populer dicirikan oleh kreativitas kaum

lemah dalam menggunakan sumber daya yang dihasilkan oleh

sistem yang tidak memberdayakan meskipun akhirnya menolak

untuk tunduk kepada kekuasaan tersebut.22 Cabaret Show

merupakan bentuk produk budaya populer masa kini. Dilihat dari

kategorisasi yang dibuat oleh Strinatri maupun ciri praktik budaya

populer oleh Fiske mengkategorikan Cabaret Show sebagai salah

satu produk seni dalam budaya populer masyarakat pada

masanya.

21 Dominic Strinatri, 2005, 15—219. 22 John Fiske, Memahami Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra, 2011,

51—53.

20

Cabaret Show adalah pertunjukan yang ditampilkan oleh

seorang penari yang berjenis kelamin laki-laki yang menggunakan

dan menggerakkan tubuh seperti perempuan di Yogyakarta.

Beberapa di antaranya adalah gay, transgender, dan juga

heteroseksual. Dalam buku Dance, Sex and Gender oleh Hanna,

bahwa keterlibatan para gay atau homoseksual dalam dunia tari

merupakan bentuk ekspresi estetis secara emosional dan erotis

sebagai pengalihan atas ketidakberpihakan sosial terhadap

keberadaan mereka.23 Pengungkapan ekspresi estetis ini diiringi

dengan penyuguhan gerak atau penampilan di atas panggung.

Penilaian estetis atas suatu pertunjukan berbeda antara satu

orang dengan yang lain. Pemahaman estetis tentang tari

dipengaruhi atas budaya yang membentuknya dan selanjutnya

menyatu dalam budaya sebagai sebuah pemahaman estetis.24

Konsep estetis kini tidak lagi diidentikkan dengan keindahan.

Perdebatan mengenai nilai estetis penampilan para penari cross

gender dalam Cabaret Show dipandang tidak sejalan dengan

konsep estetik yang mengusung keindahan sebagai barometernya.

Estetika dalam Cabaret Show merupakan bentuk estetika baru

dalam budaya popular.

23 Judith Lynne Hanna, Dance, Sex and Gender Sign of Identity Dominance,

Defiance and Desire, Chicago: The University of Chicago Press, 1998, 136. 24 Najwa Arda, 2001, 181.

21

2. Koreografi dan Technology of Enchantment dalam

panggung Cabaret Show

Penari cross gender dalam Cabaret Show merupakan laki-laki

yang menampilkan diri sebagai female impersonator di atas

panggung. Penari mengolah gerak dengan teknik tertentu guna

menarik perhatian penonton. Dalam kacamata tari, gerak

merupakan elemen estetis koreografi yang memiliki unsur ruang,

tenaga, dan waktu yang saling menyatu.25 Gerak yang ditampilkan

para penari cross gender di atas panggung merupakan hasil

sebuah proses teknik. Dipaparkan oleh Gell bahwa:

“We recognize works of art, as a category, because they are the outcome of technical process, the sorts of technical process in which artis are skilled”.26

Tubuh maskulin yang disandangkan pada laki-laki diubah

dalam bentuk feminin lengkap dengan kostum dan make-up

corrective. Tubuh perempuan dinilai sebagai tanda yang mampu

menghasilkan makna, konsep, dan tema tertentu seperti

seksualitas, kegairahan, kemolekan, keseksian, kecantikan, dan

keindahan.27 Potensi atas tanda yang terdapat pada tubuh

perempuan selanjutnya diaplikasikan oleh para penari cross

gender melalui sebuah teknik di luar perilaku sehari-hari.

25 Y. Sumandiyo Hadi, Koreografi Bentuk-Teknik-Isi, (Yogyakarta: Cipta

Media, 2014), 10. 26 Alfred Gell, 1992, 163. 27 Ardhie Raditya, Sosiologi Tubuh Membentang Teori di Ranah Aplikasi,

(Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), 200.

22

Menurut Sumandiyo Hadi, analisis teknik perlu diperhatikan oleh

penari ketika mengerjakan prinsip kebentukan dan konsep

kontinyuitas sehingga tampak dinamis.28 Teknik yang ditampilkan

oleh penari harus mencapai tataran „sangat baik‟ sehingga mampu

menarik perhatian penonton. Gell dalam pemaparannya

mengatakan bahwa:

“There seems every justification, therefore, for considering art object, initially as those objects which demonstrate a certain technically achieved level of excellence, „excellence being function, not of their characteristics simply as object, but of their characteristics made object, as produce of techniques”.29

Teknik yang ditampilkan para penari cross gender dalam

Cabaret Show menunjukkan sebuah upaya untuk menarik

perhatian penonton secara besar-besaran. Hal ini merupakan

sebuah teknologi yang dibangun dalam seni untuk memunculkan

sebuah enchantment (pesona) yang lebih jauh dari sekedar teknik

di atas panggung. Bagi Gell, teknologi mampu memunculkan

pesona dengan teknik yang menyimpan tingkat kesulitan bagi

penikmatnya. Kesulitan atau kerumitan merupakan poin dari

teknik yang memunculkan pesona. Ketika tingkat kesulitan

semakin tinggi maka membuat hal tersebut semakin mempesona.

Dalam Cabaret Show perlakuan terhadap gerak yang

melampaui tataran teknik mengarah pada hal yang bersifat

28 Y. Sumandiyo Hadi, 2014, 52. 29 Alfred Gell, 2006, 162.

23

hiperbola (dilebih-lebihkan) hingga memunculkan respon yang

tinggi dari para penikmatnya. Seperti yang ungkapan Alfred Gell

bahwa:

“The Power of art objects stems from the technical processes they objectively embody: the technology of enchantment is founded on the enchantment of technology. The enchantment of technology is the power that technical processes have of casting a spell over us so that we see the real world in an enchanted form. The enchantment which is immanent in all kinds of technical activity”.30

Cross gender dalam Cabaret Show membenturkan pelbagai

struktur yang ada dalam masyarakat. Perwujudannya dalam

bentuk female impersonator dengan teknik gerak di luar gerak

sehari-hari semakin menarik untuk diperbincangkan. Technology

of enchantment semakin dipertanyakan dan tentu menjadi

bertambah luas pemahamannya dalam Cabaret Show. Teknik

pesona para penari berkaitan erat terhadap produksi gerak

berdasarkan ilmu koreografi. Keduanya saling berkaitan hingga

menghasilkan sebuah pertunjukan yang menarik dengan kemasan

yang berbeda.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu metode

yang menggunakan data yang berupa uraian kalimat tertulis

ataupun lisan dari suatu objek yang bertujuan untuk

menggunakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan suatu

30 Alfred Gell, 2006, 163.

24

gejala.31 Pemaparan hasil analisis Cabaret Show berbentuk

deskriptif berupa uraian-uraian secara detail tentang bentuk

pertunjukan dan relasi penari cross gender terhadap ekspresi

estetis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dance studies untuk mengkaji dance performance yang bersifat

kekinian secara lebih spesifik sehingga menunjukkan perbedaan

dengan ilmu budaya pada umumnya.32 Dance studies sesuai

digunakan untuk mengkaji Cabaret Show di Yogyakarta sebagai

bentuk pertunjukan masa kini yang belum memiliki standar atau

acuan khusus dalam penampilannya.

Dance studies merupakan analisis sebuah tari yang lebih

luas lagi dari sebuah praktik sosial yaitu mengarah para

ketubuhan, identitas dan representasi.33 Penulis membatasi

penelitian ini pada aspek ketubuhan dalam pendekatan dance

studies. Ketubuhan yang dimaksud mengarah pada bagaimana

tubuh digunakan, ditampilkan, dan dimaknai oleh penari cross

gender. Human movemant dalam Cabaret Show tidak hanya

dipandang sebagai sebuah bentuk namun memiliki unsur lain

31 Maman Rahman, Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian Pendidikan,

(Semarang: Ikip Semarang Press, 1993), 108. 32 Alexandra C dan Janet O, The Dance Studies Reader, (Newyork:

Rortledge, 2010), 5. 33 Gay Morris, Dance studies/Cultural Studies, Dance Research Journal,

Vol. 41, No. 1, Dance, the Disciplines, and Interdisciplinarity (Summer, 2009),

pp. 82—100, 83.

25

yang berkenaan dengan sebuah praktik sosial bagi para pelaku

cross gender di dalamnya.

Melalui pendekatan ini, diupayakan untuk dapat melihat

pertunjukan Cabaret Show sebagai sebuah seni pertunjukan masa

kini yang di dalamnya terdapat unsur tari dan mampu

menganalisisnya dengan didukung teori gender sebagai

perspektifnya. Gender digunakan dalam membedah bagaimana

tubuh dimaknai oleh penari cross gender dalam pertunjukan

Cabaret Show di Yogyakarta. Melalui pengamatan ekspresi estetis

penari serta pemahaman terkait dengan pertunjukkan cabaret,

penulis fokus dalam membedah ruang gerak dalam pertunjukan

tersebut baik secara individual maupun komunal para penari di

atas penggung.

Melihat unsur yang terkandung dalam Cabaret Show, maka

metode kualitatif dan pendekatan dance studies sesuai digunakan

untuk menjawab permasalahan penelitian. Data yang didapatkan

selanjutnya akan dianalisis menggunakan model analisis Milles &

Hiberman hingga dapat ditarik kesimpulan dan proses akhir

adalah disajikan dalam bentuk data deskriptif.

1. Subjek penelitian

Subjek penelitian ini adalah para penari cross gender Cabaret

Show di Oyot Godhong Mirota Batik Malioboro Yogyakarta.

26

Beberapa penari merupakan informan yang memberikan informasi

terkait penampilan penari cross gender di panggung Cabaret Show,

mereka antara lain yaitu:

a. Mamuk Rohmadona, selaku penari dan koordinator

penari Cabaret Show.

b. Ikbal Ramadhani, selaku penari Cabaret Show.

c. Robbi Aji, selaku penari Cabaret Show.

d. Sharita, selaku penari Cabaret Show.

e. Janihari persada, selaku penari dan koreografer Cabaret

Show.

f. Ayii Santosa, selaku penari dan stage manager Cabaret

Show.

g. Bunda Ayu, selaku penari dan perias penari Cabaret

Show.

h. Andre Nurvili, selaku editor musik Cabaret Show.

2. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian

ini ada dua, yaitu lapangan dan pustaka. Pengumpulan data di

lapangan dilakukan dengan observasi, wawancara, dan

dokumentasi Cabaret Show. Observasi dilakukan hingga beberapa

kali untuk memahami struktur Cabaret Show baik dari bentuk

27

penyajian hingga alur yang dimainkan. Observasi di mulai dari

bulan Januari hingga Maret dengan mengamati secara langsung

pertunjukan pada hari Jumat dan Sabtu sesuai dengan jadwal

pementasan.

Selanjutnya wawancara dilakukan untuk mendapatkan data

yang lebih mendalam pada beberapa pihak terkait pendiri dan

pelaksana pertunjukan serta penampil dalam pertunjukan Cabaret

Show. Wawancara dilakukan dengan tidak terstruktur atau

wawancara mendalam. Hal ini dilakukan untuk dapat lebih dekat

dan mampu menyelami informan secara personal sehingga

informasi yang didapatkan dapat lebih banyak. Proses wawancara

dilakukan dengan narasumber yang dianggap memiliki kompetensi

dan relevan dengan objek penelitian, antara lain:

a. Hamzah Hendro Sutikno, selaku pendiri Cabaret Show,

wawancara seputar latar belakang pembentukan

pertunjukan Cabaret Show. Ia merupakan narasumber

utama terkait motivasi dan tujuan pembentukan Cabaret

Show di Yogyakarta.

b. Ratri Septiani, selaku manajer Oyot Godhong Cabaret Show,

wawancara seputar manajemen Cabaret Show. Sebagai

manajer, ia mengetahui secara detail pendapatan dan

pemasukan hingga perkembangan Cabaret Show dari waktu

ke waktu. Ia merupakan anak angkat dari Hamzah HS yang

28

bertanggungjawab penuh terhadap kelangsungan Cabaret

Show.

c. Mamuk Rohmadona, selaku koordinator penari cross gender

Cabaret Show, wawancara seputar perekrutan penari,

perkembangan Cabaret Show hingga motivasi keterlibatan

sebagai penari. Ia merupakan salah satu narasumber utama

yang memberikan banyak informasi. Hamzah HS selaku

pemilik, menyerahkan tanggungjawab perihal konten

maupun kemasan pertunjukan padanya.

d. Andrian Purwanto, selaku penari dan stage manager di

Cabaret Show, wawancara seputar pelaksanaan pertunjukan

dan alur pertunjukan yang dibuat. Ia juga merupakan orang

kepercayaan Hamzah HS. Ia mengiringi dan menemani

Mamuk Rohmadona dalam mengembangkan Cabaret Show

hingga saat ini.

e. Ayii Santosa. selaku penari dan stage manager di Cabaret

Show, wawancara seputar teknik yang dimainkan saat di

atas panggung dan lain sebagainya. Ia juga turut andil

dalam setiap perkembangan Cabaret Show. Kemampuannya

dalam teatrikal mampu menarik penonton dan semakin

dikembangkan dalam pertunjukan dari waktu ke waktu. Ia

bersama Andrian Purwanto mengatur teknis pertunjukan di

29

belakang panggung. Informasi yang didapatkan menambah

kelengkapan data dalam penelitian ini.

f. Darmawan Dadijono, selaku dosen ISI Yogyakarta,

wawancara seputar sepak terjang Cabaret Show dari masa

ke masa. Ia memiliki banyak informasi terkait pembentukan

Senthir Lenga Patra, Glass & Dolls, hingga Cabaret Show.

Informasi yang didapatkan dikaitkan dengan informasi dari

narasumber lain. Data yang menjadi lebih akurat karna

didapatkan dari berbagai sumber baik pemilik, pelaku atau

pihak lain di luar Cabaret Show.

Pengumpulan data dan studi pustaka dilakukan dengan

kajian dokumen, yaitu melalui buku-buku referensi, catatan-

catatan sejarah Oyot Godhong Mirota Batik dan dokumen-

dokumen lain yang berkaitan. Data-data dalam penelitian

sebelumnya seperti tesis dan disertasi atau artikel ilmiah terkait

objek penelitian juga digunakan untuk melengkapi data. Sumber

dari internet dan pelbagai media cetak juga menjadi bahan

rujukan dalam penelitian.

3. Metode analisis data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu

pada analisis Milles & Hiberman, yaitu proses analisis data yang

digunakan secara serempak mulai dari proses pengumpulan data,

mereduksi, mengklarifikasi, mendeskripsikan, menyimpulkan, dan

30

menganalisis serta menginterpretasikan semua informasi secara

selektif.34 Analisis data terkandung dalam tiga tahapan akhir

yaitu:

a. Reduksi Data

Reduksi data adalah proses penyederhanaan yang pada

umumnya dilakukan dengan mengklasifikasikan sesuai

hakikatnya sehingga masing-masing data dapat lebih mudah

untuk dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian.

b. Penyajian Data

Penyajian data adalah sekumpulan informasi yang

tersusun dan terstruktur berisi proses interpretasi,

pemberian makna, baik secara emik atau etik, baik terhadap

unsur-unsur maupun totalitas sehingga memberi kemudahan

dalam penarikan kesimpulan.

c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi

Penarikan kesimpulan merupakan usaha untuk

mengungkapkan hasil selama proses pelaksanaan penelitian,

yakni mengungkapkan keseluruhan hasil penelitian yang

telah mengalami serangkaian proses analisis dari data yang

didapatkan.

34 Milles & Hiberman, Analisis Data Kualitatif, Terjemahan Tjetjep

Rohendi Rohidi, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), 15—21.

31

Komponen Analisis Data: Model Interaktif oleh Milles & Hiberman.35

G. Sistematika Penulisan

Gambaran umum mengenai penelitian ini dipaparkan

dalam sistematika sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang

penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

BAB II Latar belakang Cabaret Show di Yogyakarta. Bab

ini berisi hasil penelitian kualitatif yang memaparkan secara

deskriptif tentang sejarah pertunjukan cabaret di Eropa hingga

kemunculannya di Yogyakarta dan perjalanan Cabaret Show

sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Informasi ini

didasarkan atas data-data yang telah didapatkan, baik dari

35 Milles & Hiberman, 1992, 20.

Penyajian

data

Reduksi data

Pengumpulan

data

Kesimpulan

/verifikasi

32

lapangan maupun kajian dokumen dan hasil wawancara

dengan pelbagai narasumber.

BAB III Teknik pesona penari cross gender dalam Cabaret

Show. Bab ini memaparkan secara detail tentang bentuk

pertunjukan Cabaret Show dilihat dengan kacamata

performance text. Teori koreografi digunakan untuk membedah

bentuk pertunjukan dan dikorelasikan dengan teknik pesona

yang dikemukakan Alfred Gell. Unsur gerak, penari hingga

koreorafi dipaparkan secara rinci dalam bab ini.

BAB IV Negosiasi pertunjukan penari cross gender. Bab

ini spesifik membahas tentang relasi yang dimunculkan atas

peran penari cross gender terhadap ekspresi estetis yang

ditampilkan di atas panggung. Relasi yang muncul dipengaruhi

atas technology of enchantment yang dibawakan oleh para

penari cross gender sehingga berpengaruh terhadap aspek lain

yang melingkupi Cabaret Show. Terdapat negosiasi-negosiasi

antara ekspresi penari, pertunjukan, dan selera penonton.

BAB V Penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran

berbentuk pernyataan singkat tentang hasil penelitian dan

saran dari penulis terkait manajemen pertunjukan dan

kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam

seni.