18
BAB I PENDAHULUAN Sejak ditemukannya penyakit AIDS (Acquired Imuno Deficiency Syndrome) dan virus penyebabnya HIV (Human Imunodeficiency Virus), muncul dampak yang begitu luas di masyarakat. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial yaitu : hidup dalam stres, depresi, merasa kurangnya dukungan sosial, dan perubahan perilaku. Penderita HIV- AIDS menghadapi situasi hidup dimana mereka sering menghadapi sendiri kondisinya tanpa dukungan dari teman dan keluarga yang memberi dampak kecemasan, depresi, rasa bersalah dan pemikiran atau perilaku bunuh diri. Kurangnya dukungan keluarga berdampak pada respons sosial (emosional) pasien tersebut. Respons sosial (emosional) yang positif dapat mendukung proses pengobatan sehingga progresivitas penyakit setidaknya dapat dihambat dan umur harapan hidup pasien HIV/AIDS lebih panjang. Namun pengaruh dukungan keluarga terhadap respons social – emosional pada pasien HIV dan AIDS masih belum jelas. Pada individu dengan HIV positif sistem imunitasnya akan mengalami penurunan dan membutuhkan waktu beberapa tahun hingga ditemukannya gejala tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS. Hal ini tergantung pada kondisi fisik dan psikologisnya. Sejak

BAB I HIV

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I HIV

BAB I

PENDAHULUAN

Sejak ditemukannya penyakit AIDS (Acquired Imuno Deficiency Syndrome) dan

virus penyebabnya HIV (Human Imunodeficiency Virus), muncul dampak yang

begitu luas di masyarakat. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian

besar menunjukkan perubahan karakter psikososial yaitu : hidup dalam stres,

depresi, merasa kurangnya dukungan sosial, dan perubahan perilaku. Penderita

HIV-AIDS menghadapi situasi hidup dimana mereka sering menghadapi sendiri

kondisinya tanpa dukungan dari teman dan keluarga yang memberi dampak

kecemasan, depresi, rasa bersalah dan pemikiran atau perilaku bunuh diri.

Kurangnya dukungan keluarga berdampak pada respons sosial (emosional) pasien

tersebut. Respons sosial (emosional) yang positif dapat mendukung proses

pengobatan sehingga progresivitas penyakit setidaknya dapat dihambat dan umur

harapan hidup pasien HIV/AIDS lebih panjang. Namun pengaruh dukungan

keluarga terhadap respons social – emosional pada pasien HIV dan AIDS masih

belum jelas.

Pada individu dengan HIV positif sistem imunitasnya akan mengalami

penurunan dan membutuhkan waktu beberapa tahun hingga ditemukannya gejala

tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS. Hal ini tergantung pada

kondisi fisik dan psikologisnya. Sejak dinyatakan terinfeksi HIV penderita

mengalami stres, dikarenakan tingginya tekanan psikososial yang mereka terima

baik dari keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu dukungan sosial terutama

dari keluarga penting artinya, dan sangat menentukan perkembangan penyakit

yang berdampak pada ketiga aspek dalam respons sosial (emosional) pasien HIV-

AIDS. Bila hal ini tidak segera diatasi maka dapat menurunkan kondisi kesehatan

pasien, mempercepat progresivitas penyakit hingga timbulnya kematian. Bagi

individu yang positif terinfeksi HIV, menjalani kehidupannya akan terasa sulit

karena dari segi fisik individu tersebut akan mengalami perubahan yang berkaitan

dengan perkembangan penyakitnya, tekanan emosional dan stres psikologis yang

dialami karena dikucilkan oleh keluarga dan teman karena takut tertular, serta

adanya stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat. Hal ini berdampak pada

Page 2: BAB I HIV

respons sosial (emosional) pasien, sebagai contoh adanya stigma sosial yang dapa

menyebabkan gangguan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari kontak

fisik dan sosial. Mereka menjalani kehidupannya dalam kekhawatiran dan stress.

Tersedianya dukungan sosial itu sangat diperlukan sehubungan dengan

rasa keputusasaan dan depresi pasien. Dan diharapkan dengan adanya dukungan

dari keluarga stres berkurang dan respons sosial (emosional) pasien akan lebih

baik, dimana respons emosi, kecemasan dan interaksi sosialnya menjadi lebih

positif. Sehingga penanganan HIV/AIDS memerlukan perhatian yang

komprehensif, baik dari segi medis maupun psikososial.

Page 3: BAB I HIV

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai sindroma

atau kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan

tubuh akibat infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk

famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. HIV antibodi

positif (seropositif) tidak identik dengan AIDS, karena AIDS harus menunjukkan

adanya satu atau lebih gejala penyakit akibat defisiensi sistem imun seluler.1

2.2 Epidemiologi

Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987 di Bali,

akan tetapi penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995. Hal ini

dapat dilihat pada tes penapisan darah donor yang positif HIV meningkat dari 3

per 100.000 kantong pada tahun 1994 menjadi 4 per 100.000 kantong pada tahun

1998, kemudian menjadi 16 per 100.000 kantong pada tahun 2000. Peningkatan 5

kali lebih tinggi dalam waktu 6 tahun, dimana pada tahun 2000 terjadi

peningkatan penyebaran epidemik secara nyata melalui pekerja seks seperti data

dari Tanjung Balai Karimun Riau menunjukan pada tahun 1995 hanya ditemukan

1% pekerja seks yang HIV positif, akan tetapi pada tahun 2000 angka itu

meningkat menjadi 8,38%. Di Merauke prevalensi HIV pada pekerja seks amat

tinggi yaitu 26,5% sedangkan di Jawa Barat 5,5% dan di DKI Jakarta 3,36%.

Sejak tahun 1999 terjadi fenomena baru penyebaran HIV/AIDS yaitu infeksi HIV

mulai terlihat pada para pengguna narkoba suntik (IDU/Injecting Drug User).

Penularan pada kelompok IDU terjadi secara cepat karena penggunaan jarum

suntik bersama,sebagai contoh pada tahun 1999 hanya 18% IDU yang dirawat di

RSKO Jakarta terinfeksi HIV, akan tetapi tahun 2000 angka tersebut meningkat

dengan cepat menjadi 40% dan pada tahun 2001 menjadi 48%.Hampir semua

propinsi di Indonesia telah melaporkan infeksi HIV, dan fakta baru pada tahun

2002 menunjukan bahwa penularan infeksi HIV telah meluas ke rumah tangga.

Dalam laporan Eksekutif Menkes RI tentang ancaman HIV/AIDS di Indonesia

Page 4: BAB I HIV

(KPA Nasional 2002 ) dinyatakan bahwa pada tahun 2002 jumlah orang rawan

tertular HIV di Indonesia diperkirakan 13 juta sampai 20 juta orang dan jumlah

orang dengan HIV/AIDS diperkirakan antara 90.000-130.000 orang.2 Pada

dasarnya pemahaman tentang epidemik HIV/AIDS di Indonesia dapat diikuti

secara lebih mendalam melalui hasil pengamatan maupun surveilans HIV/AIDS

yang dilakukan pada kelompok penduduk dengan risiko tertular seperti pada

pekerja seks,pengguna IDU, narapidana, donor darah, ibu hamil dan sebagainya

dan kasus HIV/AIDS ibarat gunung es yang semakin hari meningkat.

2.3 Patogenesis

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus memiliki

afinitas terhadap molekul permkaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi

mengkoordinasi sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi

tersebut mengakibatkan gangguan respon imun yang progresif.

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut

Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+

dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke

kelenjar getah bening regional. Pada model ini virus dideteksi pada kelenjar getah

bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah

infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening

berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang

mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan

dihubungkan secara sementara dengan pembentuan respon imun spesifik.

Koinsiden dengan menghilangnya viremia peningkatan sel limfosit CD8.

walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon imun limfosit CD8+

menyebabkan control optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada

dalam keadaan steady-state beberapa bulan setelah inveki. Kondisi ini bertahan

relative stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor

yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV dan perjalanan kekebalan tubuh pejamu

adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.

Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi,

namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah

Page 5: BAB I HIV

menurun sampai level steady-state. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki

aktivitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat

mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan

melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs

glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi

yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.1

2.4 Klasifikasi

WHO mengklasifikasikan infeksi HIV pada orang dewasa menjadi beberapa

stadium, yaitu1,3

STADIUM GAMBARAN KLINIS SKALA AKTIFITAS

I 1.Asimtomatik

2.Limpadenopati generalisata

Asimtomatik aktifitas normal

II 1.BB menurun < 10%

2.Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti :

dermatitis seboroik, prurigo,

onikomikosis, ulkus oral rekuren, kheilitis angularis

3.Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir.

4.Infeksi saluran nafas bagian atas seperti sinusitis

bakterialis.

Simptomatik aktifitas normal.

III 1.BB menurun > 10%

2.Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.

3.Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.

4.Kandidiasis orofaringeal.

5.Oral hairy leukoplakia

6.TB paru dalam tahun terakhir.

7.Infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia,

piomiositis.

Pada umumnya lemah, aktifitas

di tempat tidur kurang dari 50 %.

IV 1.HIV wasting syndrome seperti yang didefinikan oleh

CDC.

2.PCP(Pnemonia Pneumocytis Carinii)

3.Toksoplasmosis otak.

4.Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan.

5.Kriptokokus ekstra pulmonal.

6.Retinitis virus sitomegalo.

Pada umumnya sangat lemah,

aktifitas ditempat tidur lebih dari

50%

Page 6: BAB I HIV

7.Herper simpleks mukokutan > 1 bulan.

8.Leukoensefalopati multi fokal progresif .

9.Mikosis diseminata seperti histoplasmosis.

10.Kandidiasis di esophagus,trakea,

bronkus dan paru.

11.Mikobakteriosis atipikal diseminata.

12.Septisemia salmonelosis non tifoid.

13.Tuberkulosisdiluar paru.

14.Limfoma.

15.Sarkoma Kaposi

16.Ensefalopati HIV.

2.5 Gejala Klinis1,3

Gejala klinis pasien dengan HIV/AIDS sesuai dengan fase-fase infeksi sebagai

berikut

1. Periode jendela (4 minggu-6 bulan setelah infeksi)

Pada fase ini antibodi belum terdeteksi dan belum ada gejala klinis yang

tampak. Meskipun demikian, virus sudah dapat ditularkan pada fase ini.

2. Infeksi HIV primer akut (1-2 minggu)

Pada fase ini antibodi kemungkinan telah dapat terdeteksi dan terdapat gejala

klinis seperti flu dan virus HIV dapat ditularkan.

3. Infeksi asimptomatik (1-15 tahun)

Pada fase ini antibodi dapat dideteksi, namun tidak ada gejala klinis dan virus

tetap dapat menular pada fase ini.

4. Supresi imun simptomatik (sampai 3 tahun)

Antibodi dapat dideteksi dan virus dapat ditularkan. Gejala klinis yang timbul

dapat berupa demam, keringat malam hari, penurunan BB, diare, neuropati,

keletihan, ruam kulit, limpadenopati, perlambatan kognitif, dan lesi oral.

5. AIDS (bervariasi 1-5 tahun dari penentuan kondisi AIDS)

Anibodi dapat dideteksi dan infeksious. Gejalanya dapat berupa infeksi

oportunistik berat dan tumor-tumor pada setiap sistem tubuh, bahkan dapat

dijumpai manifestasi neurologis.

2.6. Cara Penularan

Page 7: BAB I HIV

HIV terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh yang mengandung partikel virus,

yang ditularkan melalui cara:3

a. Hubungan sex dengan penderita HIV (+)

b. Tranfusi darah yang terkontaminasi

c. Penggunaan jarum suntik bersama pada IDU

d. Ibu hamil yang HIV (+) ke bayi yang dikandung

e. Memberi ASI dari ibu yang HIV (+) ke bayi.

2.7 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dimana

pada pasien AIDS diterapkan universal precaution. Pemeriksaan fisik lengkap

harus dilakukan termasuk :1,3,4

Keadaan umum : kurus, sakit akut/kronis, lemah.

Pemeriksaan funduskop, terutama pada pasien dengan penyakit HIV lanjut

(mis. CD4 <100) sebagai skrining untuk retinitis CMV.

Pemeriksaan mulut untuk mencari kandidiasis, oral hairy leukoplakia,

penyakit gusi.

Kelenjar getah bening: limfadenopati generalisata, kelenjar yang asimetris

(kiri-kanan tidak sama) atau yang cepat membesar dapat menunjukkan

infeksi atau kanker yang mendasari.

Pemeriksaan kelamin dan dubur untuk mencari luka dalam atau luar

misalnya herpes atau kondilomata.

Pemeriksaan neurologis termasuk penilaian fungsi saraf perifer.

Pemeriksaan kulit untuk mencari lesi kulit terkait HIV yang bermakna,

termasuk dermatitis seborea, psoriasis, folikulitis, sarkoma Kaposi, kutil

umum, dan moluskum kontagiosum.

Palpasi abdomen untuk mencari organomegali.

Auskultasi : untuk mencari rhonci/wheezing, suara jantung, peristaltik

usus.

Perkusi untuk mendeteksi adanya gas, cairan atau massa dimana bunyi

dapat timpani (normal), pekak, redup.

2.8 Pemeriksaan Penunjang 3

Page 8: BAB I HIV

Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibagi atas 3 kelompok,

yaitu :

I. Pembuktian adanya antibodi dan antigen HIV

Teknik pemeriksaannya adalah :

1. Tes untuk menguji Ab HIV : ELISA, Western Blot, RIPA, dan IFA.

2. Tes untuk menguji antigen HIV, dapat dengan cara pembiakan virus,

antigen p24, dan PCR.

ELISA praktis dan umum dipakai karena memiliki sensitivitas tinggi. Untuk

menghindari adanya hasil ”positif palsu”, ELISA perlu dikonfirmasi oleh tes

Western Blot (WB) yang memiliki spesifisitas tinggi. Setiap tes positif dengan

ELISA I akan diulangi dengan ELISA II dari sampel yang sama, dan bila tes

kedua positif lalu akan dikonfirmasi dengan tes WB. Degan konfirmasi tes

WB ini, hasil tes dikatakan positif. Setiap tes yang dilakukan hendaknya

mendapatkan ”informed consent” dari yang bersangkutan dan dilakukan

konseling pra dan post test untuk mengurangi dampak psikologis yag timbul.

II. Tes yang menunjukkan adanya defisiensi imun

Dapat dilakukan dengan pemeriksaan Hb, jumlah leukosit, trombosis, jumlah

limfosit, dan sedían hapusan darah tepi atau sumsum tulang. Dapat dilakukan

penghitungan jumlah sel limfosit T limfosit B, sel limfosit CD4 dan CD8.

dikatakan gangguan sistem imán bila telah terjadi peurunan jumlah sel

limfosit, sel CD4, dan menurunnya rasio CD4/CD8.

III. Tes untuk infeksi oportunistik atau kanker

Dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis untuk kandidiasis, PCP, TB paru,

dsb. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti

laboratorium, rutin, serologis, USG, CT scan, bronkoskopi, pembiakan, dan

histopatologis.

2.9 Diagnosis

Seperti penyakit yang lain, diagnosis AIDS atau HIV ditegakkan melalui

manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang.

Pada masa jendela, bila beruntung kita mungkin mengenal manifestasi

syndrom retroviral akut. Pemeriksaan antibodi HIV pada masa ini masih negatif

Page 9: BAB I HIV

sehingga perlu dilakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) atau

biakan virus.

Indikasi tes antibodi HIV adalah kecurigaan kemungkinan resiko

penularan seperti melakukan hubungan sex yang tidak aman, pecandu narkotika

suntikan, pasien penyakit menular sexual (PMS), pasien hemofilia, tusukan jarum

yang telah digunakan pada orang terinfeksi HIV, serta bayi yang lahir dari ibu

terinfeksi HIV. Tes ini dapat dilakukan pada masa tanpa gejala (asimptomatik).

Diagnosis infeksi HIV berdasarkan kemungkinan penularan dan

pemeriksaan antibodi HIV positif (telah dikonfirmasi dengan tes Western Blot).

Diagnosis AIDS didasarkan adanya penyakit infeksi oportunistik atau kanker

terkit yang telah ditetapkan dan antibodi HIIV positif. Pada revisi kriteria keadaan

yang berhbungan dengan AIDS tahun 1993, ditambahkan jumlah CD4 di bawah

200 sebagai salah satu kriteria sehingga meski belum ada infeksi oportunistik atau

kanker terkait, bila jumlah CD4 telah di bawah 200 digolongkan dalam AIDS.

Revisi kriteria menurut Centers for Disease Control (CDC) Amerika

Serikat tahun 1993 untuk keadaan yang berhubungan dengan HIV :4

- Kandidosis bronkus, trakea, paru

- Kandidosis esofagus

- Kanker serviks invasif

- Koksidioidomikosis diseminata atau ekstrapulmonal

- Kriptokokus ektrapulmonal

- Kriptosporidiosis intestinal kronik (>1 bulan)

- Infeksi sitomegalovirus (kecuali di hati, limpa, atau kelenjar getah bening)

- Rinitis sitomegalovirus dengan gangguan pengelihatan

- Ensefalopati yang terkait HIV

- Herpes simpleks, ulkus kronik (>1 bulan) atau bronkiti, pneumonia, atau

esofagitis

- Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmonal

- Isosporiasis intestinal kronik (>1 bulan)

- Sarkoma Kaposi

- Limfoma Burkitt

- Linfoma imunoblastik

Page 10: BAB I HIV

- Linfoma primer pada otak

- Mycobacterium avium kompleks atai M. kansasii, diseminata atau

ekstrapulmonal

- Pneumonia Pneumocystis carinii

- Pneumonia rekurens

- Leukoensefalopati multifokal progresif

- Septikemia salmonela rekurens

- Encefalitis toksoplasma

- Wasting síndrome yang terkait HIV

Definisi Kasus untuk Surveilans

Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif

dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan 2

gejala mayor yang berkaitan dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan

disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV,

atau ditemukan Sarkoma Kaposi atau pneumonia yang mengancam jiwa yang

berulang.

Gejala Mayor :

- Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

- Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan

- Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

- Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi

- Demensia/ensefalopati HIV

Gejala Minor :

- Batuk menetap lebih dari 1 bulan

- Dermatitis generalisata yang gatal

- Herpes zoster berulang

- Kandidosis orofaring

- Herpes simpleks kronis progresif

- Limfadenopati generalisata

- Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

Page 11: BAB I HIV

Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan

jumlah CD4, protein purified derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi

sitomegalovirus, serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.

Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4, bila >500

maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka

diulang tiap 3-6 bulan, dan bila <200 diberikan profilaksis pneumonia

Pneumocystis carinii. Pemberian profilaksis INH tidak tergantung pada jumlah

CD4.

Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan CD4 (mikroskop

fluoresensi atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 =

(1/3 x jumlah limfosit total)–8.

2.9 Pengobatan HIV/AIDS

Hingga saat ini HIV/AIDS belum dapat disembuhkan secara total, namun

pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral)dapat

menghambat morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Manfaat ARV

dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan tubuh dan pulihnya kerentanan ODHA

terhadap infeksi oportunistik.

Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu

pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV),

pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyerai

infeksi HIV/AIDS, serta pengobatan suportif, yaitu makanan yang memiliki nilai

gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial,

agama, tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.

Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nukleoside reverse

transcriptase inhibitor, nucleotide reverse trascriptase inhibitor, nonnocleoside

reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama

karena ARV diberikan dalam jangka waktu yang lama. Obat ARV

direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang

termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau yang menunjukkan gejala yang

sangat berat tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga direkomendasikan

Page 12: BAB I HIV

pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Pasien

asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 – 350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk

memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350

sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai,

namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada limfosit

CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.

Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah

kombinasi dari 3 ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan

dengan keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat ARV lini

pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah Zidovudin

(ZDV)/lamivudin (3TC), dan niverapin (NVP).3