Upload
adi-dika
View
125
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak ditemukannya penyakit AIDS (Acquired Imuno Deficiency Syndrome) dan
virus penyebabnya HIV (Human Imunodeficiency Virus), muncul dampak yang
begitu luas di masyarakat. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian
besar menunjukkan perubahan karakter psikososial yaitu : hidup dalam stres,
depresi, merasa kurangnya dukungan sosial, dan perubahan perilaku. Penderita
HIV-AIDS menghadapi situasi hidup dimana mereka sering menghadapi sendiri
kondisinya tanpa dukungan dari teman dan keluarga yang memberi dampak
kecemasan, depresi, rasa bersalah dan pemikiran atau perilaku bunuh diri.
Kurangnya dukungan keluarga berdampak pada respons sosial (emosional) pasien
tersebut. Respons sosial (emosional) yang positif dapat mendukung proses
pengobatan sehingga progresivitas penyakit setidaknya dapat dihambat dan umur
harapan hidup pasien HIV/AIDS lebih panjang. Namun pengaruh dukungan
keluarga terhadap respons social – emosional pada pasien HIV dan AIDS masih
belum jelas.
Pada individu dengan HIV positif sistem imunitasnya akan mengalami
penurunan dan membutuhkan waktu beberapa tahun hingga ditemukannya gejala
tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS. Hal ini tergantung pada
kondisi fisik dan psikologisnya. Sejak dinyatakan terinfeksi HIV penderita
mengalami stres, dikarenakan tingginya tekanan psikososial yang mereka terima
baik dari keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu dukungan sosial terutama
dari keluarga penting artinya, dan sangat menentukan perkembangan penyakit
yang berdampak pada ketiga aspek dalam respons sosial (emosional) pasien HIV-
AIDS. Bila hal ini tidak segera diatasi maka dapat menurunkan kondisi kesehatan
pasien, mempercepat progresivitas penyakit hingga timbulnya kematian. Bagi
individu yang positif terinfeksi HIV, menjalani kehidupannya akan terasa sulit
karena dari segi fisik individu tersebut akan mengalami perubahan yang berkaitan
dengan perkembangan penyakitnya, tekanan emosional dan stres psikologis yang
dialami karena dikucilkan oleh keluarga dan teman karena takut tertular, serta
adanya stigma sosial dan diskriminasi di masyarakat. Hal ini berdampak pada
respons sosial (emosional) pasien, sebagai contoh adanya stigma sosial yang dapa
menyebabkan gangguan perilaku pada orang lain, termasuk menghindari kontak
fisik dan sosial. Mereka menjalani kehidupannya dalam kekhawatiran dan stress.
Tersedianya dukungan sosial itu sangat diperlukan sehubungan dengan
rasa keputusasaan dan depresi pasien. Dan diharapkan dengan adanya dukungan
dari keluarga stres berkurang dan respons sosial (emosional) pasien akan lebih
baik, dimana respons emosi, kecemasan dan interaksi sosialnya menjadi lebih
positif. Sehingga penanganan HIV/AIDS memerlukan perhatian yang
komprehensif, baik dari segi medis maupun psikososial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai sindroma
atau kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk
famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. HIV antibodi
positif (seropositif) tidak identik dengan AIDS, karena AIDS harus menunjukkan
adanya satu atau lebih gejala penyakit akibat defisiensi sistem imun seluler.1
2.2 Epidemiologi
Kasus HIV/AIDS di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1987 di Bali,
akan tetapi penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995. Hal ini
dapat dilihat pada tes penapisan darah donor yang positif HIV meningkat dari 3
per 100.000 kantong pada tahun 1994 menjadi 4 per 100.000 kantong pada tahun
1998, kemudian menjadi 16 per 100.000 kantong pada tahun 2000. Peningkatan 5
kali lebih tinggi dalam waktu 6 tahun, dimana pada tahun 2000 terjadi
peningkatan penyebaran epidemik secara nyata melalui pekerja seks seperti data
dari Tanjung Balai Karimun Riau menunjukan pada tahun 1995 hanya ditemukan
1% pekerja seks yang HIV positif, akan tetapi pada tahun 2000 angka itu
meningkat menjadi 8,38%. Di Merauke prevalensi HIV pada pekerja seks amat
tinggi yaitu 26,5% sedangkan di Jawa Barat 5,5% dan di DKI Jakarta 3,36%.
Sejak tahun 1999 terjadi fenomena baru penyebaran HIV/AIDS yaitu infeksi HIV
mulai terlihat pada para pengguna narkoba suntik (IDU/Injecting Drug User).
Penularan pada kelompok IDU terjadi secara cepat karena penggunaan jarum
suntik bersama,sebagai contoh pada tahun 1999 hanya 18% IDU yang dirawat di
RSKO Jakarta terinfeksi HIV, akan tetapi tahun 2000 angka tersebut meningkat
dengan cepat menjadi 40% dan pada tahun 2001 menjadi 48%.Hampir semua
propinsi di Indonesia telah melaporkan infeksi HIV, dan fakta baru pada tahun
2002 menunjukan bahwa penularan infeksi HIV telah meluas ke rumah tangga.
Dalam laporan Eksekutif Menkes RI tentang ancaman HIV/AIDS di Indonesia
(KPA Nasional 2002 ) dinyatakan bahwa pada tahun 2002 jumlah orang rawan
tertular HIV di Indonesia diperkirakan 13 juta sampai 20 juta orang dan jumlah
orang dengan HIV/AIDS diperkirakan antara 90.000-130.000 orang.2 Pada
dasarnya pemahaman tentang epidemik HIV/AIDS di Indonesia dapat diikuti
secara lebih mendalam melalui hasil pengamatan maupun surveilans HIV/AIDS
yang dilakukan pada kelompok penduduk dengan risiko tertular seperti pada
pekerja seks,pengguna IDU, narapidana, donor darah, ibu hamil dan sebagainya
dan kasus HIV/AIDS ibarat gunung es yang semakin hari meningkat.
2.3 Patogenesis
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus memiliki
afinitas terhadap molekul permkaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasi sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut mengakibatkan gangguan respon imun yang progresif.
Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut
Simian Immunodeficiency Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+
dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke
kelenjar getah bening regional. Pada model ini virus dideteksi pada kelenjar getah
bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah
infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang
mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat dan
dihubungkan secara sementara dengan pembentuan respon imun spesifik.
Koinsiden dengan menghilangnya viremia peningkatan sel limfosit CD8.
walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon imun limfosit CD8+
menyebabkan control optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada
dalam keadaan steady-state beberapa bulan setelah inveki. Kondisi ini bertahan
relative stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor
yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV dan perjalanan kekebalan tubuh pejamu
adalah heterogenitas kapasitas replikatif virus dan heterogenitas intrinsik pejamu.
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi,
namun secara umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah
menurun sampai level steady-state. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki
aktivitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat
mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan
melakukan adaptasi pada amplopnya, termasuk kemampuannya mengubah situs
glikosilasinya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah sehingga netralisasi
yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi.1
2.4 Klasifikasi
WHO mengklasifikasikan infeksi HIV pada orang dewasa menjadi beberapa
stadium, yaitu1,3
STADIUM GAMBARAN KLINIS SKALA AKTIFITAS
I 1.Asimtomatik
2.Limpadenopati generalisata
Asimtomatik aktifitas normal
II 1.BB menurun < 10%
2.Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti :
dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral rekuren, kheilitis angularis
3.Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir.
4.Infeksi saluran nafas bagian atas seperti sinusitis
bakterialis.
Simptomatik aktifitas normal.
III 1.BB menurun > 10%
2.Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
3.Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
4.Kandidiasis orofaringeal.
5.Oral hairy leukoplakia
6.TB paru dalam tahun terakhir.
7.Infeksi bacterial yang berat seperti pneumonia,
piomiositis.
Pada umumnya lemah, aktifitas
di tempat tidur kurang dari 50 %.
IV 1.HIV wasting syndrome seperti yang didefinikan oleh
CDC.
2.PCP(Pnemonia Pneumocytis Carinii)
3.Toksoplasmosis otak.
4.Diare kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan.
5.Kriptokokus ekstra pulmonal.
6.Retinitis virus sitomegalo.
Pada umumnya sangat lemah,
aktifitas ditempat tidur lebih dari
50%
7.Herper simpleks mukokutan > 1 bulan.
8.Leukoensefalopati multi fokal progresif .
9.Mikosis diseminata seperti histoplasmosis.
10.Kandidiasis di esophagus,trakea,
bronkus dan paru.
11.Mikobakteriosis atipikal diseminata.
12.Septisemia salmonelosis non tifoid.
13.Tuberkulosisdiluar paru.
14.Limfoma.
15.Sarkoma Kaposi
16.Ensefalopati HIV.
2.5 Gejala Klinis1,3
Gejala klinis pasien dengan HIV/AIDS sesuai dengan fase-fase infeksi sebagai
berikut
1. Periode jendela (4 minggu-6 bulan setelah infeksi)
Pada fase ini antibodi belum terdeteksi dan belum ada gejala klinis yang
tampak. Meskipun demikian, virus sudah dapat ditularkan pada fase ini.
2. Infeksi HIV primer akut (1-2 minggu)
Pada fase ini antibodi kemungkinan telah dapat terdeteksi dan terdapat gejala
klinis seperti flu dan virus HIV dapat ditularkan.
3. Infeksi asimptomatik (1-15 tahun)
Pada fase ini antibodi dapat dideteksi, namun tidak ada gejala klinis dan virus
tetap dapat menular pada fase ini.
4. Supresi imun simptomatik (sampai 3 tahun)
Antibodi dapat dideteksi dan virus dapat ditularkan. Gejala klinis yang timbul
dapat berupa demam, keringat malam hari, penurunan BB, diare, neuropati,
keletihan, ruam kulit, limpadenopati, perlambatan kognitif, dan lesi oral.
5. AIDS (bervariasi 1-5 tahun dari penentuan kondisi AIDS)
Anibodi dapat dideteksi dan infeksious. Gejalanya dapat berupa infeksi
oportunistik berat dan tumor-tumor pada setiap sistem tubuh, bahkan dapat
dijumpai manifestasi neurologis.
2.6. Cara Penularan
HIV terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh yang mengandung partikel virus,
yang ditularkan melalui cara:3
a. Hubungan sex dengan penderita HIV (+)
b. Tranfusi darah yang terkontaminasi
c. Penggunaan jarum suntik bersama pada IDU
d. Ibu hamil yang HIV (+) ke bayi yang dikandung
e. Memberi ASI dari ibu yang HIV (+) ke bayi.
2.7 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi dimana
pada pasien AIDS diterapkan universal precaution. Pemeriksaan fisik lengkap
harus dilakukan termasuk :1,3,4
Keadaan umum : kurus, sakit akut/kronis, lemah.
Pemeriksaan funduskop, terutama pada pasien dengan penyakit HIV lanjut
(mis. CD4 <100) sebagai skrining untuk retinitis CMV.
Pemeriksaan mulut untuk mencari kandidiasis, oral hairy leukoplakia,
penyakit gusi.
Kelenjar getah bening: limfadenopati generalisata, kelenjar yang asimetris
(kiri-kanan tidak sama) atau yang cepat membesar dapat menunjukkan
infeksi atau kanker yang mendasari.
Pemeriksaan kelamin dan dubur untuk mencari luka dalam atau luar
misalnya herpes atau kondilomata.
Pemeriksaan neurologis termasuk penilaian fungsi saraf perifer.
Pemeriksaan kulit untuk mencari lesi kulit terkait HIV yang bermakna,
termasuk dermatitis seborea, psoriasis, folikulitis, sarkoma Kaposi, kutil
umum, dan moluskum kontagiosum.
Palpasi abdomen untuk mencari organomegali.
Auskultasi : untuk mencari rhonci/wheezing, suara jantung, peristaltik
usus.
Perkusi untuk mendeteksi adanya gas, cairan atau massa dimana bunyi
dapat timpani (normal), pekak, redup.
2.8 Pemeriksaan Penunjang 3
Umumnya pemeriksaan laboratorium untuk HIV/AIDS dibagi atas 3 kelompok,
yaitu :
I. Pembuktian adanya antibodi dan antigen HIV
Teknik pemeriksaannya adalah :
1. Tes untuk menguji Ab HIV : ELISA, Western Blot, RIPA, dan IFA.
2. Tes untuk menguji antigen HIV, dapat dengan cara pembiakan virus,
antigen p24, dan PCR.
ELISA praktis dan umum dipakai karena memiliki sensitivitas tinggi. Untuk
menghindari adanya hasil ”positif palsu”, ELISA perlu dikonfirmasi oleh tes
Western Blot (WB) yang memiliki spesifisitas tinggi. Setiap tes positif dengan
ELISA I akan diulangi dengan ELISA II dari sampel yang sama, dan bila tes
kedua positif lalu akan dikonfirmasi dengan tes WB. Degan konfirmasi tes
WB ini, hasil tes dikatakan positif. Setiap tes yang dilakukan hendaknya
mendapatkan ”informed consent” dari yang bersangkutan dan dilakukan
konseling pra dan post test untuk mengurangi dampak psikologis yag timbul.
II. Tes yang menunjukkan adanya defisiensi imun
Dapat dilakukan dengan pemeriksaan Hb, jumlah leukosit, trombosis, jumlah
limfosit, dan sedían hapusan darah tepi atau sumsum tulang. Dapat dilakukan
penghitungan jumlah sel limfosit T limfosit B, sel limfosit CD4 dan CD8.
dikatakan gangguan sistem imán bila telah terjadi peurunan jumlah sel
limfosit, sel CD4, dan menurunnya rasio CD4/CD8.
III. Tes untuk infeksi oportunistik atau kanker
Dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis untuk kandidiasis, PCP, TB paru,
dsb. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti
laboratorium, rutin, serologis, USG, CT scan, bronkoskopi, pembiakan, dan
histopatologis.
2.9 Diagnosis
Seperti penyakit yang lain, diagnosis AIDS atau HIV ditegakkan melalui
manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang.
Pada masa jendela, bila beruntung kita mungkin mengenal manifestasi
syndrom retroviral akut. Pemeriksaan antibodi HIV pada masa ini masih negatif
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) atau
biakan virus.
Indikasi tes antibodi HIV adalah kecurigaan kemungkinan resiko
penularan seperti melakukan hubungan sex yang tidak aman, pecandu narkotika
suntikan, pasien penyakit menular sexual (PMS), pasien hemofilia, tusukan jarum
yang telah digunakan pada orang terinfeksi HIV, serta bayi yang lahir dari ibu
terinfeksi HIV. Tes ini dapat dilakukan pada masa tanpa gejala (asimptomatik).
Diagnosis infeksi HIV berdasarkan kemungkinan penularan dan
pemeriksaan antibodi HIV positif (telah dikonfirmasi dengan tes Western Blot).
Diagnosis AIDS didasarkan adanya penyakit infeksi oportunistik atau kanker
terkit yang telah ditetapkan dan antibodi HIIV positif. Pada revisi kriteria keadaan
yang berhbungan dengan AIDS tahun 1993, ditambahkan jumlah CD4 di bawah
200 sebagai salah satu kriteria sehingga meski belum ada infeksi oportunistik atau
kanker terkait, bila jumlah CD4 telah di bawah 200 digolongkan dalam AIDS.
Revisi kriteria menurut Centers for Disease Control (CDC) Amerika
Serikat tahun 1993 untuk keadaan yang berhubungan dengan HIV :4
- Kandidosis bronkus, trakea, paru
- Kandidosis esofagus
- Kanker serviks invasif
- Koksidioidomikosis diseminata atau ekstrapulmonal
- Kriptokokus ektrapulmonal
- Kriptosporidiosis intestinal kronik (>1 bulan)
- Infeksi sitomegalovirus (kecuali di hati, limpa, atau kelenjar getah bening)
- Rinitis sitomegalovirus dengan gangguan pengelihatan
- Ensefalopati yang terkait HIV
- Herpes simpleks, ulkus kronik (>1 bulan) atau bronkiti, pneumonia, atau
esofagitis
- Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmonal
- Isosporiasis intestinal kronik (>1 bulan)
- Sarkoma Kaposi
- Limfoma Burkitt
- Linfoma imunoblastik
- Linfoma primer pada otak
- Mycobacterium avium kompleks atai M. kansasii, diseminata atau
ekstrapulmonal
- Pneumonia Pneumocystis carinii
- Pneumonia rekurens
- Leukoensefalopati multifokal progresif
- Septikemia salmonela rekurens
- Encefalitis toksoplasma
- Wasting síndrome yang terkait HIV
Definisi Kasus untuk Surveilans
Seorang dewasa dianggap menderita AIDS bila menunjukkan tes HIV positif
dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang-kurangnya didapatkan 2
gejala mayor yang berkaitan dengan 1 gejala minor, dan gejala-gejala ini bukan
disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV,
atau ditemukan Sarkoma Kaposi atau pneumonia yang mengancam jiwa yang
berulang.
Gejala Mayor :
- Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
- Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
- Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
- Penurunan kesadaran dan gangguan neurologi
- Demensia/ensefalopati HIV
Gejala Minor :
- Batuk menetap lebih dari 1 bulan
- Dermatitis generalisata yang gatal
- Herpes zoster berulang
- Kandidosis orofaring
- Herpes simpleks kronis progresif
- Limfadenopati generalisata
- Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan
jumlah CD4, protein purified derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi
sitomegalovirus, serologi PMS, hepatitis, dan pap smear.
Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4, bila >500
maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka
diulang tiap 3-6 bulan, dan bila <200 diberikan profilaksis pneumonia
Pneumocystis carinii. Pemberian profilaksis INH tidak tergantung pada jumlah
CD4.
Bila tidak tersedia peralatan untuk pemeriksaan CD4 (mikroskop
fluoresensi atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 =
(1/3 x jumlah limfosit total)–8.
2.9 Pengobatan HIV/AIDS
Hingga saat ini HIV/AIDS belum dapat disembuhkan secara total, namun
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat anti retroviral)dapat
menghambat morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Manfaat ARV
dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan tubuh dan pulihnya kerentanan ODHA
terhadap infeksi oportunistik.
Secara umum penatalaksanaan ODHA terdiri dari beberapa jenis, yaitu
pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV),
pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyerai
infeksi HIV/AIDS, serta pengobatan suportif, yaitu makanan yang memiliki nilai
gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial,
agama, tidur yang cukup dan menjaga kebersihan.
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nukleoside reverse
transcriptase inhibitor, nucleotide reverse trascriptase inhibitor, nonnocleoside
reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama
karena ARV diberikan dalam jangka waktu yang lama. Obat ARV
direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang
termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau yang menunjukkan gejala yang
sangat berat tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga direkomendasikan
pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 – 350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk
memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350
sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai,
namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada limfosit
CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml.
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah
kombinasi dari 3 ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan
dengan keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat ARV lini
pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah Zidovudin
(ZDV)/lamivudin (3TC), dan niverapin (NVP).3