Upload
didi-saputra
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak pascakrisis moneter tahun 1997 hingga saat ini, sektor usaha mikro
kecil dan menegah (UMKM) telah menjadi salah satu pusat perhatian bagi para
pembuat kebijakan dan kalangan akademisi. Ketika terjadi krisis peluang kerja
menjadi masalah yang krusial bagi masyarakat dan di saat yang bersamaan sektor
industri besar dan sektor pertanian sudah tidak banyak memberikan peluang kerja,
maka muncul berbagai alternatif sebagai penyelamat ekonomi rakyat dan
penyedia lapangan kerja bagi masyarakat, salah satunya ialah melalui
pengembangan UMKM (Prasetyo, 2007).
Thee dalam Kuncoro (2007: 364) mengemukakan bahwa pengembangan
industri kecil adalah cara yang dinilai besar peranannya dalam pengembangan
industri manufaktur. Pengembangan industri berskala kecil akan membantu
mengatasi masalah pengangguran mengingat teknologi yang digunakan adalah
teknologi padat karya, sehingga bisa memperbesar lapangan kerja dan kesempatan
usaha, yang pada gilirannya mendorong pembangunan daerah dan kawasan
pedesaan.
Peran penting keberadaan UMKM di Indonesia semakin terasa dalam
proses pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan
UMKM dianggap sebagai sumber penting dalam penciptaan kesempatan kerja dan
motor penggerak utama pembangunan ekonomi daerah di pedesaan. Namun, pada
era globalisasi saat ini dan mendatang, peran keberadaan UMKM semakin penting
yakni sebagai salah satu sumber devisa ekspor non-migas Indonesia (Tambunan,
2002).
Basri (2002) mengungkapkan alasan mengapa UMKM tidak seterpuruk
usaha besar. Pertama, sebagian besar usaha kecil menghasilkan barang-barang
konsumsi, khususnya yang tidak tahan lama. Kelompok barang ini dicirikan oleh
permintaan terhadap perubahan pendapatan yang relatif rendah. Artinya,
seandainya terjadi penningkatan pendapatan masyarakat, permintaan atas
kelompok barang ini tidak akan meningkat banyak; sebaliknya jika pendapatan
masyarakat turun maka permintaan tidak akan banyak berkurang.
Kedua, mayorita susaha kecil lebih mengandalkan pada non-banking
financing dalam aspek pendanaan usaha. Hal ini terjadi karena akses usaha kecil
pada fasilitas perbankan sangat terbatas.
Ketiga, pada umumnya usaha kecil melakukan spesialisasi produksi yang
ketat, dalam artian hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja (kebalikan
dari konglomerasi). Modal yang terbatas menjadi salah satu faktor yang
melatarbelakanginya. Di pihak lain, mengingat struktur pasar yang mereka hadapi
mengarah pada persaingan sempurna, tingkat persaingan sangatlah ketat.
Akibatnya yang bangkrut atau keluar dari arena usaha relatif banyak, namun
pemain baru yang masuk pun cukupbanyak pula sehingga secara neto jumlah
pelaku tidak akan mengalami pengurangan yang berarti. Spesialisasi dan struktur
pasar persaingan sempurna inilah yang membuat usaha kecil cenderung lebih
fleksibel dalam memilih dan berganti jenis usaha, apalagi mengingat bahwa usaha
kecil tidak terlalu membutuhkan kecanggihan teknologi dan kualitas sumber daya
manusia yang tinggi.
Keempat, terbentuknya usaha-usaha kecil, terutama di sektor informal
sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja di sektor formal. Banyaknya unit
usaha baru di sektor informal ini pada akhirnya membuat tidak terjadinya
penurunan jumlah UMKM, bahkan sangat mungkin mengalami peningkatan.
Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi
usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal
Rp1 miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, paling banyak Rp200 juta. Kedua, menurut kategori Badan Pusat
Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah
tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu:
(1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan
pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; serta (4)
industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.
Di Kota Palembang sendiri terdapat berbagai macam jenis usaha mikro
kecil dan menegah. Hingga bulan Maret 2013, terdapat 9.747 unit UMKM yang
tercatat di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Palembang. Salah
satu usaha atau industri yang ada di Kota Palembang adalah usaha pengolahan
aluminium. Usaha ini merupakan usaha memproduksi berbagai barang yang
bahan bakunya berasal dari aluminium dan memiliki banyak kegunaan, antara lain
sebagai bahan baku alat dapur, seperti panci, botol minuman ringan, tutup botol
susu, dan sebagainya. Aluminium juga bisa digunakan untuk melapisi lampu
mobil dan compact disk, kabel bertegangan tinggi, sebagai bingkai jendela, dan
badan pesawat terbang. Oleh karena itulah aluminium banyak digunakan di
industri penerbangan dan berperan penting pula di bidang transportasi maupun
konstruksi.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti usaha
pengolahan aluminium di Kota Palembang sebagai topik penelitian dan memberi
judul “ANALISIS PERILAKU INDUSTRI PENGOLAHAN ALUMINIUM
DI KOTA PALEMBANG”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah
yang dapat dirumuskan yaitu:
Bagaimana perilaku industri pengolahan aluminium di Kota Palembang ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini yaitu:
Mengetahui dan menganalisis perilaku industri pengolahan aluminium di
Kota Palembang.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat akademik, yaitu diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian di masa
mendatang pada bidang ilmu ekonomi umumnya dan bidang kajian
ekonomi industri khususnya.
2. Manfaat operasional, yaitu diharapkan dapat memberikan masukan
terhadap instansi terkait tentang bagaimana merumuskan kebijakan dalam
pengembangan sektor UMKM di Kota Palembang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Perilaku Industri
Menurut teori ekonomi industri, perilaku industri menganalisis tingkah
laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh perusahaan dalam suatu
industri untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaingnya. Perilaku
industri ini terlihat dalam penentuan harga, promosi, koordinasi kegiatan dalam
pasar dan juga dalam kebijakan produk. Perilaku industri terbagi menjadi tiga
jenis, antara lain perilaku dalam strategi harga, perilaku dalam strategi produk dan
perilaku dalam strategi promosi. Dalam perilaku industri dapat dijelaskan
mengenai harga dan jumlah produk yang ditetapkan oleh perusahaan, kolusi dan
persaingan yang terjadi antar perusahaan, diskriminasi harga, diferensiasi produk,
pengeluaran iklan dan promosi serta pengeluaran riset dan pengembangan
(Winsih, 2007: 18)
Perilaku perusahaan dalam suatu industri akan menarik untuk diamati
apabila perusahaan berada dalam suatu industri yang mempunyai struktur pasar
yang tidak sempurna. Struktur pasar persaingan sempurna menyebabkan
perusahaan tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan harga pasar (Martin
dalam , 2012).
2.1.1.1 Teori Strategi Harga
Laba maksimum merupakan tujuan jangka panjang. Pedoman untuk
menentukan harga berdasarkan ongkos rata-rata (average cost pricing), atau full
cost pricing dapat dihitung dengan formula yang dinyatakan oleh Hasibuan
sebagai berikut:
P = AVC + AFC + margin keuntungan
Variabel P merupakan harga jual yang ditentukan, AVC merupakan ongkos
variabel rata-rata dan AFC merupakan ongkos tetap rata-rata.
Penetapan harga merupakan suatu strategi kunci dalam berbagai
perusahaan karena dapat mempengaruhi kemampuan bersaing perusahaan dan
kemampuan perusahaan mempengaruhi konsumen.
2.1.1.1.1 Market Price
Menurut Pindyck dan Rubinfeld pasar persaingan sempurna merupakan suatu
pasar yang mempunyai banyak penjual dan pembeli sehingga tidak ada satupun
pembeli dan penjual yang mempunyai pengaruh kuat terhadap harga. Dalam pasar
persaingan sempurna biasanya berlaku satu harga yaitu harga pasar (market price).
Harga pasar atau market price adalah harga yang berlaku umum di pasar bersaing.
Dalam pasar persaingan tidak sempurna masing-masing perusahaan mungkin akan
membebankan harga yang berbeda untuk produk yang sama. Ini dapat saja terjadi
karena perusahaan yang satu berusaha merebut pelanggan dari para pesaingnya,
atau karena pelanggan mempunyai kesetiaan pada merek tertentuyang memberi
peluang kepada beberapa perusahaan untuk menetapkan harga yang lebih tinggi
daripada pesaingnya. Harga pasar dari kebanyakan barang akan naik turun
sepanjang waktu, dan banyak barang yang naik turunnya begitu cepat. Ini
khususnya terjadi pada barang-barang yang dijual di pasar bersaing (Pindyck dan
Rubinfeld, 2005: 9).
Dalam keadaan monopoli sangat sering terjadi penetapan harga sepihak.
Tingkat harga selalu lebih mahal. Hal ini terlihat dari koefisien elastisitas yang
semakin inelastis. Marshall sebenarnya telah pernah menyatakan bahwa bagi
individu perusahaan tingkat harga cenderung ditentukan oleh sisi penawaran,
bukan permintaan umum dalam pasar yang luas. Berkenaan dengan hal ini maka
perusahaan memonopoli dengan menentukan harga, bukan konsumen. Dengan
demikian, mereka mendapat laba yang tinggi (Hasibuan, 1994: 48).
2.1.1.1.2 Teori Kepemimpinan Harga
Di dalam industri yang berstruktur oligopoli sering terjadi beberapa
perusahaan besar yang dijadikan pedoman oleh perusahaan-perusahaan kecil
untuk bersaing di pasaran. Bila perusahaan besar menentukan harga jual pada
tingkat tertentu, maka hal itu secara diam-diam diikuti oleh pesaing-pesaing kecil
yang terdapat di dalam pasar. Perusahaan besar seolah-olah menjadi pemimpin
pasar (leader) dan perusahaan kecil menjadi pengikut (follower). Bentuk perilaku
pasar seperti ini disebut dengan istilah kepemimpinan harga pasar (price
leadership market).
Hasibuan (1993) membagi oligopoli kepemimpinan harga menjadi tiga
bagian, yaitu: Pertama, pemimpin pasar merupakan perusahaan yang memiliki
ongkos terendah. Harga pasar yang rendah ditentukan oleh perusahaan tersebut,
dan perusahaan-perusahaan lainnya yang berada di dalam pasar sebagai pengikut
harga mengikuti harga pasar yang berlaku dengan menurunkan sedikit keuntungan
yang dapat mereka peroleh. Keputusan yang mereka lakukan merupakan hal yang
terbaik bagi mereka daripada harus melakukan perang harga dengan perusahaan
yang lebih efisien dengan konsekuensi keluar dari pasar. Kedua, pemimpin pasar
merupakan perusahaan dominan. Perusahaan dominan dianggap mengetahui benar
keadaan ongkos marjinal perusahaan-perusahaan berskala kecil yang berada di
dalam pasar berdasarkan pengalaman masa lalunya sehingga sewaktu-waktu
perusahaan dominan dapat saja menggeser andil perusahaan-perusahaan berskala
kecil tersebut di dalam pasar. Perusahaan dominan menetukan harga pasar pada
tingkat yang dianggapnya aman, sedangkan perusahaan-perusahaan berskala kecil
sebagai pengikut mengikuti harga yang telah ditentukan oleh perusahaan
dominan. Ketiga, pemimpin pasar yang bersifat barometrik. Harga pemimpin
pasar barometrik ditandai oleh adanya pesaing-pesaing kecil di dalam pasar yang
senantiasa mengamati perilaku perusahaan-perusahaan besar yang dijadikan
barometer. Pimpinan pasar yang dijadikan barometer biasanya memiliki kinerja
pasar di masa lalu yang baik sehingga perusahaan tersebut dapat dijadikan contoh
oleh pesaing-pesaing kecil lainnya yang terdapat di dalam pasar.
Beberapa pertimbangan yang menjadikan perusahaan tersebut menjadi
barometer, yaitu: Pertama, jika terjadi persaingan yang kurang sehat di dalam
industri oligopoli. Kedua, dapat mengurangi kerja administrasi karena
perhitungan yang berulang-ulang. Ketiga, perusahaan yang menjadi barometer
menunjukkan prestasi yang bagus. Pimpinan harus benar-benar besar, dominan
dan memiliki ongkos produksi yang rendah.
2.1.1.1.3 Harga Batas
Joe S. Bain (1954) menyatakan dalam perusahaan industri yang mapan
setidaknya dapat menempuh cara berikut: Pertama, perusahaan menentukan harga
yang tinggi guna memaksimumkan keuntungan. Kedua, harga diatur sedemikian
rupa sampai kepada batas tingkat pencegahan calon pesaing untuk memasuki
pasar. Cara pertama memberikan peluang yang besar bagi calon pesaing guna
memasuki pasar karena adanya keuntungan akan mengundang calon pesaing guna
mengambil bagian di dalam pasar. Namun demikian, pada cara kedua dalam
proses memasuki pasar, entry bagi pendatang baru mejadi dirintangi. Perusahaan
yang mapan sengaja mengatur harga jualnya menjadi rendah agar tidak menarik
perhatian calon pesaing untuk memasuki pasar. Sebagai akibatnya perusahaan
yang mapan dapat terus dominan berada di dalam pasar (Teguh, 2010: 125).
Perilaku penentuan harga batas biasanya dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan dominan yang terdapat di dalam pasar oligopoli guna
mempertahankan posisinya di dalam pasar. Dalam model statis, perusahaan
dominan menjaga harga jualnya rendah agar tidak menguntungkan bagi
perusahaan yang akan memasuki pasar atau melakukan ekspansi. Namun
demikian, pada kasus khusus bila luas pasar sangat kecil dan biaya untuk
memasuki pasar relatif tinggi maka keadaan ini menjadi tidak menguntungkan
bagi perusahaan pendatang baru guna memasuki pasar. Proses untuk memasuki
pasar menjadi terblokade, selanjutnya produsen yang mapan menjadi monopolis
alamiah (Teguh, 2010: 127).
2.1.1.1.4 Diskriminasi Harga
Perusahaan-perusahaan yang mempunyai kekuatan pasar berada dalam
posisi yang membuat iri karena perusahaan ini berpotensi untuk memperoleh laba
yang besar, namun mewujudkan potensi tersebut dapat saja sangat bergantung
pada strategi penetapan harga. Sekalipun perusahaan tersebut menentukan satu
harga atau harga tunggal kepada semua konsumennya di mana perusahaan
menetapkan harga yang sama pada semua konsumen, ia membutuhkan perkiraan
tentang elastisitas permintaan untuk keluarannya. Strategi-strategi yang lebih
rumit yang dapat melibatkan penetapan beberapa harga yang berbeda-beda
membutuhkan informasi yang bahkan lebih banyak lagi tentang permintaan
(Pindyck dan Rubinfeld, 1999).
Diskriminasi harga adalah mengenakan harga yang berbeda bagi
pelanggan yang berbeda. Diskriminasi harga mempunyai tiga bentuk yang disebut
dengan diskriminasi harga tingkat pertama, kedua dan ketiga.
1. Diskriminasi harga tingkat pertama
Diskriminasi harga tingkat pertama adalah suatu praktik
mengenakan harga yang berbeda kepada masing-masing pelanggan.
Dalam praktiknya diskriminasi harga sempurna tingkat pertama hampir
mustahil terjadi karena (1) Biasanya tidak praktis untuk mengenakan suatu
harga yang berbeda-beda kepada masing-masing pelanggan satu per satu,
kecuali apabila hanya sedikit pelanggan. (2) Biasanya suatu perusahaan
tersebut dapat menanyakan kepada masing-masing pelanggan seberapa
besar yang bersedia mereka bayarkan, barangkali ia tidak menerima
jawaban yang jujur.
2. Diskriminasi harga tingkat kedua
Diskriminasi harga tingkat kedua merupakan praktik mengenakan
harga yang berbeda-beda pada per unit untuk jumlah yang berbeda bagi
barang dan jasa.
3. Diskriminasi harga tingkat ketiga
Diskriminasi harga tingkat ketiga merupakan praktik membagi
konsumen menjadi dua kelompok atau lebih dengan kurva permintaan
yang terpisah dan mengenakan harga yang berbeda-beda untuk masing-
masing kelompok barang.
2.1.1.2 Teori Strategi Produk
2.1.1.2.1 Teori Produk Homogen
Produk homogen umumnya disebabkan tidak adanya preferensi oleh
konsumen terhadap produk di pasar persaingan sempurna. Konsumen tidak
menjadikan merek sebagai pertimbangan dalam keputusannya untuk membeli atau
tidaknya suatu produk. Dengan kata lain, produk yang satu dengan produk yang
lainnya dapat disubstitusi dengan sempurna. Konsumen tidak merasakan
perbedaan dalam mengkonsumsi barang tersebut (Kuncoro, 2007: 145).
Barang yang bersifat homogen artinya persis sama antara yang satu
dengan yang lain baik teknis maupun nonteknis. Jadi antara barang yang satu
dengan yang lain dapat saling menggantikan secara sempurna di dalam
penggunaannya. Dengan demikian konsumen tidak punya alasan sedikit pun
untuk lebih memilih barang yang satu terhadap barang yang lain (Sudarman,
2003).
2.1.1.2.2 Teori Diferensiasi Produk
Diferensiasi produk adalah setiap keistimewaan yang dimliki suatu produk
yang dapat menarik pembeli agar mau dan lebih suka membeli produk tertentu
dibandingkan produk yang dijual oleh penjual lain. Terdapat banyak produk yang
mirip namun berbeda, yang semuanya menyajikan pilihan-pilihan (Greer, 1999:
106). Bentuk keistimewaan tersebut antara lain: pertama, karakteristik produk
seperti desain, model, kualitas warna. Kedua, citra produk yang diciptakan iklan
dan ketiga, karakteristik penjual seperti lokasi, sikap penjual, kebijakan harga.
Diferensiasi produk menyebabkan perbedaan biaya produksi karena perbedaan
corak yang menyebabkan perbedaan penggunaan peralatan, bahan baku dan
keterampilan untuk memproduksi jenis produk tertentu. Diferensiasi produk juga
menyebabkan perbedaan harga karena adanya perbedaan biaya produksi.
2.1.1.3 Teori Strategi Pemasaran
Menurut Tull dan Kahle dalam Tjiptono (2006: 6) mendifinisikan strategi
pemasaran sebagai alat fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan
perusahaan dengan mengembangkan keunggulan bersaing yang berkesi-
nambungan melalui pasar yang dimasuki dan program pemasaran yang digunakan
untuk melayani pasar sasaran tersebut.
Elemen-Elemen Strategi Pemasaran
Menurut Corey (dalam Tjiptono, 2006: 6), strategi pemasaran terdiri atas
lima elemen yang sangat terkait, kelima elemen tersebut adalah:
1. Pemilihan pasar, yaitu memilih pasar yang akan dilayani. Keputusan ini
didasarkan pada faktor-faktor:
a. Persepsi terhadap fungsi produk dan pengelompokan teknologi yang
diproteksi dan didominasi
b. Keterbatasan sumber daya internal yang mendorong perlunya
pemusatan (fokus) yang lebih sempit
c. Pengalaman kumulatif yang didasarkan pada trial and error dalam
menanggapi peluang dan tantangan
d. Kemampuan khusus yang berasal dari akses terhadap sumber daya
langka atau pasar yang terproteksi
2. Perencanaan produk, meliputi produk spesifik yang dijual, pembentukan
lini produk, dan desain penawaran individual pada masing-masing lini.
Produk itu sendiri menawarkan manfaat total yang diperoleh pelanggan
dengan melakukan pembelian.
3. Penetapan harga, yaitu menentukan harga yang dapat mencerminkan nilai
kuantitatif dari produk kepada pelanggan.
4. Sistem distribusi, yaitu saluran perdagangan yang dilalui produk hingga
mencapai konsumen akhir yang membeli dan menggunakannya.
5. Komunikasi pemasaran (promosi), yang meliputi periklanan, personal
selling, promosi penjualan, direct marketing, dan public relations.
2.2 Penelitian Sebelumnya
Penelitian Ding dkk (2011) tentang SCP Paradigm Analysis and
Countermeasures of China’s Automobile Industry menyimpulkan bahwa tingkat
konsentrasi pasar industri otomotif China tidak cukup tinggi, jauh dari efek skala
ekonomi, dan hambatan masuk dan keluar yang sangat tinggi, serta tidak cukup
investasi dalam penelitian dan pengembangan dan diferensiasi produk yang
rendah membuat keuntungan industri berada pada tingkat yang rendah.
Penelitian Hadiati (2008) tentang Perilaku Wirausaha Industri Keramik
Berskala Kecil untuk Meningkatkan Daya Saing Produk di Malang
menyimpulkan bahwa faktor internal berpengaruh signifikan terhadap daya saing
industri keramik berskala kecil di Malang baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui strategi. Faktor internal dibentuk oleh variabel-variabel
penelitian dan pengembangan, pemasaran, produksi, sumber daya manusia, dan
keuangan. Faktor eksternal berpengaruh signifikan terhadap daya saing industri
keramik berskala kecil di Malang, baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui strategi. Faktor eksternal dibentuk oleh variabel-variabel pendatang baru,
pesaing yang ada, pembeli, pemasok, produk pengganti, dan makro ekonomi.
Strategi berpengaruh signifikan terhadap daya saing industri keramik berskala
kecil di Malang. Faktor strategi meliputi harga jual produk dari perusahaan yang
lebih rendah dari pesaing, produk perusahaan mempunyai keunikan yang tinggi,
perusahaan hanya sedikit menjual produknya kepada pasar umum, pemasaran
produk lebih diarahkan ke segmen pasar tertentu, perusahaan memiliki
manajemen khusus mengenai material dan produksi, dan perusahaan memiliki
kemampuan khusus dalam pemasaran dan penelitian serta pengembangan.
Penelitian Nurhasanah (2008) tentang Perumusan Strategi Pemasaran
Melalui Penentuan Prioritas Trapezoidal Fuzzy Number (Studi Kasus Industri
Minuman Tradisional) menyimpulkan bahwa strategi terpilih adalah menambah
pasar baru melalui pengembangan produk baru bernilai 72,72, bermitra dalam
investasi bernilai 71,50 dan menerobos pasar yang ada bernilai 70,93. Perumusan
strategi pemasaran strategi pertama adalah pengembangan variasi kemasan dan
variasi produk. Kedua, mencari informasi sebanyak mungkin untuk mengajak
kerjasama dalam investasi. Ketiga, tetap memperhatikan ketersediaan produk agar
pangsa pasar yang sudah dimiliki tidak direbut oleh pesaing lama maupun
pendatang baru di industri ini.
Penelitian Prasetyo (2007) tentang Perilaku Perajin dalam Meningkatkan
Kinerja Pasar menyimpulkan bahwa ada tiga aspek dalam pengukuran kinerja
pasar, yaitu kinerja produksi, kinerja pendapatan dan kinerja keuntungan. Pada
aspek kinerja produksi, faktor pemasaran memberikan pengaruh terbesar pertama
terhadap produksi dengan 35,87 persen. Sumbangan faktor produksi terbesar
kedua adalah faktor pendidikan dengan 16,45 persen. Selanjutnya sumbangan
faktor produksi urutan selanjutnya masing-masing diberikan oleh faktor modal
usaha 8,05 persen, faktor tenaga kerja 7,53 persen, dan faktor teknologi 4,28
persen. Sedangkan faktor dummy seperti variabel musim memberikan sumbangan
negatif terhadap produksi. Pada aspek kinerja pendapatan, faktor output
memberikan sumbangan terbesar pertama sebesar 69,79 persen. Sumbangan
terbesar kedua adalah faktor pemasaran yang memberikan 21,32 persen terhadap
pendapatan industri kecil kerajinan. Pada aspek kinerja keuntungan, faktor
pemasaran memberikan sumbangan terbesar pertama sebesar 58,65 persen.
Sumbangan terbesar kedua adalah tingkat pendapatan usaha sebesar 46,53 persen.
Penelitian Septia (2011) tentang Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja
Pasar pada Sentra Industri Bakpia Yogyakarta menyimpulkan bahwa struktur
pasar pada sentra industri bakpia di daerah Pathok Ngampilan Yogyakarta adalah
oligopoli. Di sisi lain perilaku pasar sentra industri bakpia terjadi
ketidakseimbangan harga dan hal ini membuat tingkat persaingan yang cukup
tinggi dan saluran distribusi berada pada level 0 dan level 1 yang menunjukkan
bahwa perilaku pasar kurang maksimal. Pada kinerja pasar yang ditunjukkan
dengan nilai PCM, bakpia 541 memiliki nilai PCM tertinggi yaitu 0,71, sedangkan
bakpia 78 memiliki nilai PCM terendah yaitu 0,32.
2.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini melihat tiga macam indikator dalam mengetahui perilaku
suatu industri, yaitu strategi harga, strategi produk dan strategi pemasaran.
. Strategi ProdukStrategi Harga Strategi Pemasaran
Perilaku Industri
Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga ukuran untuk
mengetahui perilaku industri, yaitu strategi harga, strategi produk dan strategi
pemasaran. Dalam hal menjalankan strategi harga, seorang produsen dapat
menjalankan strategi diskriminasi harga dengan menetapkan harga yang berbeda-
beda kepada konsumen berdasarkan tingkatannya. Dalam menjalankan strategi
produk, seorang produsen dapat mendesain produknya sedemikian rupa dengan
tujuan agar konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut. Dalam
menjalankan strategi pemasaran, seorang produsen dapat menentukan biaya
pemasaran, bauran pemasaran dan alokasi pemasaran se efektif mungkin dengan
memperhitungkan keadaan lingkungan dan kondisi persaingan.
2.4 Hipotesis
Hipotesis yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah:
Pemilik industri pengolahan aluminium di Kota Palembang belum mampu
meningkatkan persaingan dalam penentuan tingkat harga dan jenis produk, serta
kemampuan teknik pemasaran yang tergolong masih rendah.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai industri pengolahan
aluminium di Kota Palembang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
survei. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Seberang Ulu I, Seberang Ulu II,
Ilir Barat I dan Ilir Timur II, dan Kalidoni. Pemilihan lokasi dilakukan secara
sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut adalah sentra
industri pengolahan aluminium di Kota Palembang. Penelitian ini membahas
perilaku dari industri pengolahan aluminium di Kota Palembang, yang dapat
dilihat dari strategi harga, strategi produk dan strategi pemasaran.
3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik penentuan sampel nonprobabilitas, yaitu purposive sampling. Purposive
sampling adalah pengambilan sampel berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat
tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau
sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Jadi ciri-ciri
atau sifat-sifat yang spesifik yang ada atau dilihat dalam populasi dijadikan kunci
untuk pengambilan sampel.
7.2.1 Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder
merupakan data yang diolah dan diterbitkan oleh suatu organisasi yaitu diperoleh
dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, serta data
yang diperoleh dari media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, internet,
dan tulisan-tulisan ilmiah yang dianggap relevan dan dapat mendukung penelitian
ini serta dapat dijadikan sumber penelitian ini.
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pemilik usaha
pengolahan aluminium di Kota Palembang. Ada dua cara yang dilakukan untuk
memperoleh data yang diperlukan, yaitu melalui:
1. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
pengamatan langsung terhadap keberadaan usaha pengolahan aluminium
di Kota Palembang untuk mengetahui jumlah populasinya dan memahami
permasalahan secara mendalam.
2. Wawancara, yaitu penulis melakukan pendataan dengan bantuan kuesioner
yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan jenis pertanyaan disesuaikan
dengan data yang diperlukan.
3.3 Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif
deskriptif. Penelitian bertujuan untuk melihat aspek strategi harga, strategi
produk dan strategi pemasaran pada industri pengolahan aluminium di Kota
Palembang.
Teknik analisis kualitatif yaitu dengan menyajikan berbagai tabel dan
grafik yang diperlukan, dan analisis penjelasan yang sesuai dan relavan untuk
memecahkan permasalahan yang ada dan menghubungkannya dengan fenomena
ekonomi yang terjadi secara nyata.
3.4 Batasan Variabel
3.4.1 Definisi Konsepsional
1. Industri merupakan kumpulan dari perusahaan yang menghasilkan barang
sejenis atau yang mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat.
Industri juga merupakan kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai
tambah.
2. Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan
bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan
perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.
3. Industri Pengolahan Aluminium adalah usaha mengolah aluminium
sebagai bahan baku menjadi barang jadi yang bermanfaat bagi kehidupan
masyarakat banyak.
3.4.2 Definisi Operasional
1. Strategi harga adalah keputusan mengenai harga-harga yang akan
ditetapkan untuk suatu jangka waktu tertentu.
2. Strategi produk adalah keputusan mengenai desain produk yang bertujuan
untuk mempengaruhi konsumen baik untuk jangka pendek maupun jangka
panjang.
3. Strategi pemasaran adalah alat fundamental yang direncanakan untuk
mencapai tujuan perusahaan dengan mengembangkan keunggulan
bersaing yang berkesinambungan melalui pasar yang dimasuki dan
program pemasaran yang digunakan untuk melayani pasar sasaran
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ding, Mengchun, dkk. 2011. “SCP Paradigm Analysis and Countermeasures of
China’s Automobile Industry”. Journal of Sustainable Development. Vol.4. No.2.
April. Hlm. 211-216.
Hadiati, Sri. 2008. “Perilaku Wirausaha Industri Keramik Berskala Kecil untuk
Meningkatkan Daya Saing Produk di Malang”. Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan. Vol.10. No.2. September. Hlm. 115-123.
Hasibuan, Nurimansjah. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan
Regulasi. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
H ttp://eprints.uny.ac.id/8708/3/bab%202%20-09410134003.pdf . Diakses pada
tanggal 12 September 2013.
Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia, Menuju Negara
Industri Baru 2030?. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Natalia, Tri Candra, dkk. 2011. “Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar
pada Sentra Industri Bakpia Yogyakarta”. Jurnal Industria. Vol.1. No.1. Hlm. 50-
56.
Nazir, Mohammad. 2011. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
Nurhasanah, Nunung. 2006. “Perumusan Strategi Pemasaran Melalui Penentuan
Prioritas Trapezoidal Fuzzy Number (Studi Kasus Industri Minuman
Tradisional)”. Jurnal Teknik Industri. Vol.8. No.2. Desember. Hlm. 131-140.
Pindyck, Robert S dan Daniel L Rubinfeld. 2007. Mikroekonomi. Jakarta: PT
Indeks.
Prasetyo, P Eko. 2007. “Perilaku Pengrajin dalam Meningkatkan Kinerja Pasar”.
Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.8. No.2. Hlm. 163-176.
Teguh, Muhammad. 2010. Ekonomi Industri. Palembang: PT Raja Grafindo
Persada.