34
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak pascakrisis moneter tahun 1997 hingga saat ini, sektor usaha mikro kecil dan menegah (UMKM) telah menjadi salah satu pusat perhatian bagi para pembuat kebijakan dan kalangan akademisi. Ketika terjadi krisis peluang kerja menjadi masalah yang krusial bagi masyarakat dan di saat yang bersamaan sektor industri besar dan sektor pertanian sudah tidak banyak memberikan peluang kerja, maka muncul berbagai alternatif sebagai penyelamat ekonomi rakyat dan penyedia lapangan kerja bagi masyarakat, salah satunya ialah melalui pengembangan UMKM (Prasetyo, 2007). Thee dalam Kuncoro (2007: 364) mengemukakan bahwa pengembangan industri kecil adalah cara yang dinilai besar peranannya dalam pengembangan industri manufaktur. Pengembangan industri berskala kecil akan membantu mengatasi masalah pengangguran mengingat

bab I, II dan III

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: bab I, II dan III

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak pascakrisis moneter tahun 1997 hingga saat ini, sektor usaha mikro

kecil dan menegah (UMKM) telah menjadi salah satu pusat perhatian bagi para

pembuat kebijakan dan kalangan akademisi. Ketika terjadi krisis peluang kerja

menjadi masalah yang krusial bagi masyarakat dan di saat yang bersamaan sektor

industri besar dan sektor pertanian sudah tidak banyak memberikan peluang kerja,

maka muncul berbagai alternatif sebagai penyelamat ekonomi rakyat dan

penyedia lapangan kerja bagi masyarakat, salah satunya ialah melalui

pengembangan UMKM (Prasetyo, 2007).

Thee dalam Kuncoro (2007: 364) mengemukakan bahwa pengembangan

industri kecil adalah cara yang dinilai besar peranannya dalam pengembangan

industri manufaktur. Pengembangan industri berskala kecil akan membantu

mengatasi masalah pengangguran mengingat teknologi yang digunakan adalah

teknologi padat karya, sehingga bisa memperbesar lapangan kerja dan kesempatan

usaha, yang pada gilirannya mendorong pembangunan daerah dan kawasan

pedesaan.

Peran penting keberadaan UMKM di Indonesia semakin terasa dalam

proses pembangunan ekonomi nasional di Indonesia. Pada awalnya, keberadaan

UMKM dianggap sebagai sumber penting dalam penciptaan kesempatan kerja dan

motor penggerak utama pembangunan ekonomi daerah di pedesaan. Namun, pada

Page 2: bab I, II dan III

era globalisasi saat ini dan mendatang, peran keberadaan UMKM semakin penting

yakni sebagai salah satu sumber devisa ekspor non-migas Indonesia (Tambunan,

2002).

Basri (2002) mengungkapkan alasan mengapa UMKM tidak seterpuruk

usaha besar. Pertama, sebagian besar usaha kecil menghasilkan barang-barang

konsumsi, khususnya yang tidak tahan lama. Kelompok barang ini dicirikan oleh

permintaan terhadap perubahan pendapatan yang relatif rendah. Artinya,

seandainya terjadi penningkatan pendapatan masyarakat, permintaan atas

kelompok barang ini tidak akan meningkat banyak; sebaliknya jika pendapatan

masyarakat turun maka permintaan tidak akan banyak berkurang.

Kedua, mayorita susaha kecil lebih mengandalkan pada non-banking

financing dalam aspek pendanaan usaha. Hal ini terjadi karena akses usaha kecil

pada fasilitas perbankan sangat terbatas.

Ketiga, pada umumnya usaha kecil melakukan spesialisasi produksi yang

ketat, dalam artian hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja (kebalikan

dari konglomerasi). Modal yang terbatas menjadi salah satu faktor yang

melatarbelakanginya. Di pihak lain, mengingat struktur pasar yang mereka hadapi

mengarah pada persaingan sempurna, tingkat persaingan sangatlah ketat.

Akibatnya yang bangkrut atau keluar dari arena usaha relatif banyak, namun

pemain baru yang masuk pun cukupbanyak pula sehingga secara neto jumlah

pelaku tidak akan mengalami pengurangan yang berarti. Spesialisasi dan struktur

pasar persaingan sempurna inilah yang membuat usaha kecil cenderung lebih

fleksibel dalam memilih dan berganti jenis usaha, apalagi mengingat bahwa usaha

Page 3: bab I, II dan III

kecil tidak terlalu membutuhkan kecanggihan teknologi dan kualitas sumber daya

manusia yang tinggi.

Keempat, terbentuknya usaha-usaha kecil, terutama di sektor informal

sebagai akibat dari pemutusan hubungan kerja di sektor formal. Banyaknya unit

usaha baru di sektor informal ini pada akhirnya membuat tidak terjadinya

penurunan jumlah UMKM, bahkan sangat mungkin mengalami peningkatan.

Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi

usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal

Rp1 miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan

tempat usaha, paling banyak Rp200 juta. Kedua, menurut kategori Badan Pusat

Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah

tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu:

(1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan

pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; serta (4)

industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.

Di Kota Palembang sendiri terdapat berbagai macam jenis usaha mikro

kecil dan menegah. Hingga bulan Maret 2013, terdapat 9.747 unit UMKM yang

tercatat di Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Palembang. Salah

satu usaha atau industri yang ada di Kota Palembang adalah usaha pengolahan

aluminium. Usaha ini merupakan usaha memproduksi berbagai barang yang

bahan bakunya berasal dari aluminium dan memiliki banyak kegunaan, antara lain

sebagai bahan baku alat dapur, seperti panci, botol minuman ringan, tutup botol

Page 4: bab I, II dan III

susu, dan sebagainya. Aluminium juga bisa digunakan untuk melapisi lampu

mobil dan compact disk, kabel bertegangan tinggi, sebagai bingkai jendela, dan

badan pesawat terbang. Oleh karena itulah aluminium banyak digunakan di

industri penerbangan dan berperan penting pula di bidang transportasi maupun

konstruksi.

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti usaha

pengolahan aluminium di Kota Palembang sebagai topik penelitian dan memberi

judul “ANALISIS PERILAKU INDUSTRI PENGOLAHAN ALUMINIUM

DI KOTA PALEMBANG”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah

yang dapat dirumuskan yaitu:

Bagaimana perilaku industri pengolahan aluminium di Kota Palembang ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari

penelitian ini yaitu:

Mengetahui dan menganalisis perilaku industri pengolahan aluminium di

Kota Palembang.

Page 5: bab I, II dan III

1.4 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut:

1. Manfaat akademik, yaitu diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian di masa

mendatang pada bidang ilmu ekonomi umumnya dan bidang kajian

ekonomi industri khususnya.

2. Manfaat operasional, yaitu diharapkan dapat memberikan masukan

terhadap instansi terkait tentang bagaimana merumuskan kebijakan dalam

pengembangan sektor UMKM di Kota Palembang.

Page 6: bab I, II dan III

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Perilaku Industri

Menurut teori ekonomi industri, perilaku industri menganalisis tingkah

laku serta penerapan strategi yang digunakan oleh perusahaan dalam suatu

industri untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan pesaingnya. Perilaku

industri ini terlihat dalam penentuan harga, promosi, koordinasi kegiatan dalam

pasar dan juga dalam kebijakan produk. Perilaku industri terbagi menjadi tiga

jenis, antara lain perilaku dalam strategi harga, perilaku dalam strategi produk dan

perilaku dalam strategi promosi. Dalam perilaku industri dapat dijelaskan

mengenai harga dan jumlah produk yang ditetapkan oleh perusahaan, kolusi dan

persaingan yang terjadi antar perusahaan, diskriminasi harga, diferensiasi produk,

pengeluaran iklan dan promosi serta pengeluaran riset dan pengembangan

(Winsih, 2007: 18)

Perilaku perusahaan dalam suatu industri akan menarik untuk diamati

apabila perusahaan berada dalam suatu industri yang mempunyai struktur pasar

yang tidak sempurna. Struktur pasar persaingan sempurna menyebabkan

perusahaan tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan harga pasar (Martin

dalam , 2012).

Page 7: bab I, II dan III

2.1.1.1 Teori Strategi Harga

Laba maksimum merupakan tujuan jangka panjang. Pedoman untuk

menentukan harga berdasarkan ongkos rata-rata (average cost pricing), atau full

cost pricing dapat dihitung dengan formula yang dinyatakan oleh Hasibuan

sebagai berikut:

P = AVC + AFC + margin keuntungan

Variabel P merupakan harga jual yang ditentukan, AVC merupakan ongkos

variabel rata-rata dan AFC merupakan ongkos tetap rata-rata.

Penetapan harga merupakan suatu strategi kunci dalam berbagai

perusahaan karena dapat mempengaruhi kemampuan bersaing perusahaan dan

kemampuan perusahaan mempengaruhi konsumen.

2.1.1.1.1 Market Price

Menurut Pindyck dan Rubinfeld pasar persaingan sempurna merupakan suatu

pasar yang mempunyai banyak penjual dan pembeli sehingga tidak ada satupun

pembeli dan penjual yang mempunyai pengaruh kuat terhadap harga. Dalam pasar

persaingan sempurna biasanya berlaku satu harga yaitu harga pasar (market price).

Harga pasar atau market price adalah harga yang berlaku umum di pasar bersaing.

Dalam pasar persaingan tidak sempurna masing-masing perusahaan mungkin akan

membebankan harga yang berbeda untuk produk yang sama. Ini dapat saja terjadi

karena perusahaan yang satu berusaha merebut pelanggan dari para pesaingnya,

atau karena pelanggan mempunyai kesetiaan pada merek tertentuyang memberi

peluang kepada beberapa perusahaan untuk menetapkan harga yang lebih tinggi

Page 8: bab I, II dan III

daripada pesaingnya. Harga pasar dari kebanyakan barang akan naik turun

sepanjang waktu, dan banyak barang yang naik turunnya begitu cepat. Ini

khususnya terjadi pada barang-barang yang dijual di pasar bersaing (Pindyck dan

Rubinfeld, 2005: 9).

Dalam keadaan monopoli sangat sering terjadi penetapan harga sepihak.

Tingkat harga selalu lebih mahal. Hal ini terlihat dari koefisien elastisitas yang

semakin inelastis. Marshall sebenarnya telah pernah menyatakan bahwa bagi

individu perusahaan tingkat harga cenderung ditentukan oleh sisi penawaran,

bukan permintaan umum dalam pasar yang luas. Berkenaan dengan hal ini maka

perusahaan memonopoli dengan menentukan harga, bukan konsumen. Dengan

demikian, mereka mendapat laba yang tinggi (Hasibuan, 1994: 48).

2.1.1.1.2 Teori Kepemimpinan Harga

Di dalam industri yang berstruktur oligopoli sering terjadi beberapa

perusahaan besar yang dijadikan pedoman oleh perusahaan-perusahaan kecil

untuk bersaing di pasaran. Bila perusahaan besar menentukan harga jual pada

tingkat tertentu, maka hal itu secara diam-diam diikuti oleh pesaing-pesaing kecil

yang terdapat di dalam pasar. Perusahaan besar seolah-olah menjadi pemimpin

pasar (leader) dan perusahaan kecil menjadi pengikut (follower). Bentuk perilaku

pasar seperti ini disebut dengan istilah kepemimpinan harga pasar (price

leadership market).

Hasibuan (1993) membagi oligopoli kepemimpinan harga menjadi tiga

bagian, yaitu: Pertama, pemimpin pasar merupakan perusahaan yang memiliki

ongkos terendah. Harga pasar yang rendah ditentukan oleh perusahaan tersebut,

Page 9: bab I, II dan III

dan perusahaan-perusahaan lainnya yang berada di dalam pasar sebagai pengikut

harga mengikuti harga pasar yang berlaku dengan menurunkan sedikit keuntungan

yang dapat mereka peroleh. Keputusan yang mereka lakukan merupakan hal yang

terbaik bagi mereka daripada harus melakukan perang harga dengan perusahaan

yang lebih efisien dengan konsekuensi keluar dari pasar. Kedua, pemimpin pasar

merupakan perusahaan dominan. Perusahaan dominan dianggap mengetahui benar

keadaan ongkos marjinal perusahaan-perusahaan berskala kecil yang berada di

dalam pasar berdasarkan pengalaman masa lalunya sehingga sewaktu-waktu

perusahaan dominan dapat saja menggeser andil perusahaan-perusahaan berskala

kecil tersebut di dalam pasar. Perusahaan dominan menetukan harga pasar pada

tingkat yang dianggapnya aman, sedangkan perusahaan-perusahaan berskala kecil

sebagai pengikut mengikuti harga yang telah ditentukan oleh perusahaan

dominan. Ketiga, pemimpin pasar yang bersifat barometrik. Harga pemimpin

pasar barometrik ditandai oleh adanya pesaing-pesaing kecil di dalam pasar yang

senantiasa mengamati perilaku perusahaan-perusahaan besar yang dijadikan

barometer. Pimpinan pasar yang dijadikan barometer biasanya memiliki kinerja

pasar di masa lalu yang baik sehingga perusahaan tersebut dapat dijadikan contoh

oleh pesaing-pesaing kecil lainnya yang terdapat di dalam pasar.

Beberapa pertimbangan yang menjadikan perusahaan tersebut menjadi

barometer, yaitu: Pertama, jika terjadi persaingan yang kurang sehat di dalam

industri oligopoli. Kedua, dapat mengurangi kerja administrasi karena

perhitungan yang berulang-ulang. Ketiga, perusahaan yang menjadi barometer

Page 10: bab I, II dan III

menunjukkan prestasi yang bagus. Pimpinan harus benar-benar besar, dominan

dan memiliki ongkos produksi yang rendah.

2.1.1.1.3 Harga Batas

Joe S. Bain (1954) menyatakan dalam perusahaan industri yang mapan

setidaknya dapat menempuh cara berikut: Pertama, perusahaan menentukan harga

yang tinggi guna memaksimumkan keuntungan. Kedua, harga diatur sedemikian

rupa sampai kepada batas tingkat pencegahan calon pesaing untuk memasuki

pasar. Cara pertama memberikan peluang yang besar bagi calon pesaing guna

memasuki pasar karena adanya keuntungan akan mengundang calon pesaing guna

mengambil bagian di dalam pasar. Namun demikian, pada cara kedua dalam

proses memasuki pasar, entry bagi pendatang baru mejadi dirintangi. Perusahaan

yang mapan sengaja mengatur harga jualnya menjadi rendah agar tidak menarik

perhatian calon pesaing untuk memasuki pasar. Sebagai akibatnya perusahaan

yang mapan dapat terus dominan berada di dalam pasar (Teguh, 2010: 125).

Perilaku penentuan harga batas biasanya dilakukan oleh perusahaan-

perusahaan dominan yang terdapat di dalam pasar oligopoli guna

mempertahankan posisinya di dalam pasar. Dalam model statis, perusahaan

dominan menjaga harga jualnya rendah agar tidak menguntungkan bagi

perusahaan yang akan memasuki pasar atau melakukan ekspansi. Namun

demikian, pada kasus khusus bila luas pasar sangat kecil dan biaya untuk

memasuki pasar relatif tinggi maka keadaan ini menjadi tidak menguntungkan

bagi perusahaan pendatang baru guna memasuki pasar. Proses untuk memasuki

Page 11: bab I, II dan III

pasar menjadi terblokade, selanjutnya produsen yang mapan menjadi monopolis

alamiah (Teguh, 2010: 127).

2.1.1.1.4 Diskriminasi Harga

Perusahaan-perusahaan yang mempunyai kekuatan pasar berada dalam

posisi yang membuat iri karena perusahaan ini berpotensi untuk memperoleh laba

yang besar, namun mewujudkan potensi tersebut dapat saja sangat bergantung

pada strategi penetapan harga. Sekalipun perusahaan tersebut menentukan satu

harga atau harga tunggal kepada semua konsumennya di mana perusahaan

menetapkan harga yang sama pada semua konsumen, ia membutuhkan perkiraan

tentang elastisitas permintaan untuk keluarannya. Strategi-strategi yang lebih

rumit yang dapat melibatkan penetapan beberapa harga yang berbeda-beda

membutuhkan informasi yang bahkan lebih banyak lagi tentang permintaan

(Pindyck dan Rubinfeld, 1999).

Diskriminasi harga adalah mengenakan harga yang berbeda bagi

pelanggan yang berbeda. Diskriminasi harga mempunyai tiga bentuk yang disebut

dengan diskriminasi harga tingkat pertama, kedua dan ketiga.

1. Diskriminasi harga tingkat pertama

Diskriminasi harga tingkat pertama adalah suatu praktik

mengenakan harga yang berbeda kepada masing-masing pelanggan.

Dalam praktiknya diskriminasi harga sempurna tingkat pertama hampir

mustahil terjadi karena (1) Biasanya tidak praktis untuk mengenakan suatu

harga yang berbeda-beda kepada masing-masing pelanggan satu per satu,

kecuali apabila hanya sedikit pelanggan. (2) Biasanya suatu perusahaan

Page 12: bab I, II dan III

tersebut dapat menanyakan kepada masing-masing pelanggan seberapa

besar yang bersedia mereka bayarkan, barangkali ia tidak menerima

jawaban yang jujur.

2. Diskriminasi harga tingkat kedua

Diskriminasi harga tingkat kedua merupakan praktik mengenakan

harga yang berbeda-beda pada per unit untuk jumlah yang berbeda bagi

barang dan jasa.

3. Diskriminasi harga tingkat ketiga

Diskriminasi harga tingkat ketiga merupakan praktik membagi

konsumen menjadi dua kelompok atau lebih dengan kurva permintaan

yang terpisah dan mengenakan harga yang berbeda-beda untuk masing-

masing kelompok barang.

2.1.1.2 Teori Strategi Produk

2.1.1.2.1 Teori Produk Homogen

Produk homogen umumnya disebabkan tidak adanya preferensi oleh

konsumen terhadap produk di pasar persaingan sempurna. Konsumen tidak

menjadikan merek sebagai pertimbangan dalam keputusannya untuk membeli atau

tidaknya suatu produk. Dengan kata lain, produk yang satu dengan produk yang

lainnya dapat disubstitusi dengan sempurna. Konsumen tidak merasakan

perbedaan dalam mengkonsumsi barang tersebut (Kuncoro, 2007: 145).

Barang yang bersifat homogen artinya persis sama antara yang satu

dengan yang lain baik teknis maupun nonteknis. Jadi antara barang yang satu

Page 13: bab I, II dan III

dengan yang lain dapat saling menggantikan secara sempurna di dalam

penggunaannya. Dengan demikian konsumen tidak punya alasan sedikit pun

untuk lebih memilih barang yang satu terhadap barang yang lain (Sudarman,

2003).

2.1.1.2.2 Teori Diferensiasi Produk

Diferensiasi produk adalah setiap keistimewaan yang dimliki suatu produk

yang dapat menarik pembeli agar mau dan lebih suka membeli produk tertentu

dibandingkan produk yang dijual oleh penjual lain. Terdapat banyak produk yang

mirip namun berbeda, yang semuanya menyajikan pilihan-pilihan (Greer, 1999:

106). Bentuk keistimewaan tersebut antara lain: pertama, karakteristik produk

seperti desain, model, kualitas warna. Kedua, citra produk yang diciptakan iklan

dan ketiga, karakteristik penjual seperti lokasi, sikap penjual, kebijakan harga.

Diferensiasi produk menyebabkan perbedaan biaya produksi karena perbedaan

corak yang menyebabkan perbedaan penggunaan peralatan, bahan baku dan

keterampilan untuk memproduksi jenis produk tertentu. Diferensiasi produk juga

menyebabkan perbedaan harga karena adanya perbedaan biaya produksi.

2.1.1.3 Teori Strategi Pemasaran

Menurut Tull dan Kahle dalam Tjiptono (2006: 6) mendifinisikan strategi

pemasaran sebagai alat fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan

perusahaan dengan mengembangkan keunggulan bersaing yang berkesi-

nambungan melalui pasar yang dimasuki dan program pemasaran yang digunakan

untuk melayani pasar sasaran tersebut.

Page 14: bab I, II dan III

Elemen-Elemen Strategi Pemasaran

Menurut Corey (dalam Tjiptono, 2006: 6), strategi pemasaran terdiri atas

lima elemen yang sangat terkait, kelima elemen tersebut adalah:

1. Pemilihan pasar, yaitu memilih pasar yang akan dilayani. Keputusan ini

didasarkan pada faktor-faktor:

a. Persepsi terhadap fungsi produk dan pengelompokan teknologi yang

diproteksi dan didominasi

b. Keterbatasan sumber daya internal yang mendorong perlunya

pemusatan (fokus) yang lebih sempit

c. Pengalaman kumulatif yang didasarkan pada trial and error dalam

menanggapi peluang dan tantangan

d. Kemampuan khusus yang berasal dari akses terhadap sumber daya

langka atau pasar yang terproteksi

2. Perencanaan produk, meliputi produk spesifik yang dijual, pembentukan

lini produk, dan desain penawaran individual pada masing-masing lini.

Produk itu sendiri menawarkan manfaat total yang diperoleh pelanggan

dengan melakukan pembelian.

3. Penetapan harga, yaitu menentukan harga yang dapat mencerminkan nilai

kuantitatif dari produk kepada pelanggan.

4. Sistem distribusi, yaitu saluran perdagangan yang dilalui produk hingga

mencapai konsumen akhir yang membeli dan menggunakannya.

5. Komunikasi pemasaran (promosi), yang meliputi periklanan, personal

selling, promosi penjualan, direct marketing, dan public relations.

Page 15: bab I, II dan III

2.2 Penelitian Sebelumnya

Penelitian Ding dkk (2011) tentang SCP Paradigm Analysis and

Countermeasures of China’s Automobile Industry menyimpulkan bahwa tingkat

konsentrasi pasar industri otomotif China tidak cukup tinggi, jauh dari efek skala

ekonomi, dan hambatan masuk dan keluar yang sangat tinggi, serta tidak cukup

investasi dalam penelitian dan pengembangan dan diferensiasi produk yang

rendah membuat keuntungan industri berada pada tingkat yang rendah.

Penelitian Hadiati (2008) tentang Perilaku Wirausaha Industri Keramik

Berskala Kecil untuk Meningkatkan Daya Saing Produk di Malang

menyimpulkan bahwa faktor internal berpengaruh signifikan terhadap daya saing

industri keramik berskala kecil di Malang baik secara langsung maupun tidak

langsung melalui strategi. Faktor internal dibentuk oleh variabel-variabel

penelitian dan pengembangan, pemasaran, produksi, sumber daya manusia, dan

keuangan. Faktor eksternal berpengaruh signifikan terhadap daya saing industri

keramik berskala kecil di Malang, baik secara langsung maupun tidak langsung

melalui strategi. Faktor eksternal dibentuk oleh variabel-variabel pendatang baru,

pesaing yang ada, pembeli, pemasok, produk pengganti, dan makro ekonomi.

Strategi berpengaruh signifikan terhadap daya saing industri keramik berskala

kecil di Malang. Faktor strategi meliputi harga jual produk dari perusahaan yang

lebih rendah dari pesaing, produk perusahaan mempunyai keunikan yang tinggi,

perusahaan hanya sedikit menjual produknya kepada pasar umum, pemasaran

produk lebih diarahkan ke segmen pasar tertentu, perusahaan memiliki

Page 16: bab I, II dan III

manajemen khusus mengenai material dan produksi, dan perusahaan memiliki

kemampuan khusus dalam pemasaran dan penelitian serta pengembangan.

Penelitian Nurhasanah (2008) tentang Perumusan Strategi Pemasaran

Melalui Penentuan Prioritas Trapezoidal Fuzzy Number (Studi Kasus Industri

Minuman Tradisional) menyimpulkan bahwa strategi terpilih adalah menambah

pasar baru melalui pengembangan produk baru bernilai 72,72, bermitra dalam

investasi bernilai 71,50 dan menerobos pasar yang ada bernilai 70,93. Perumusan

strategi pemasaran strategi pertama adalah pengembangan variasi kemasan dan

variasi produk. Kedua, mencari informasi sebanyak mungkin untuk mengajak

kerjasama dalam investasi. Ketiga, tetap memperhatikan ketersediaan produk agar

pangsa pasar yang sudah dimiliki tidak direbut oleh pesaing lama maupun

pendatang baru di industri ini.

Penelitian Prasetyo (2007) tentang Perilaku Perajin dalam Meningkatkan

Kinerja Pasar menyimpulkan bahwa ada tiga aspek dalam pengukuran kinerja

pasar, yaitu kinerja produksi, kinerja pendapatan dan kinerja keuntungan. Pada

aspek kinerja produksi, faktor pemasaran memberikan pengaruh terbesar pertama

terhadap produksi dengan 35,87 persen. Sumbangan faktor produksi terbesar

kedua adalah faktor pendidikan dengan 16,45 persen. Selanjutnya sumbangan

faktor produksi urutan selanjutnya masing-masing diberikan oleh faktor modal

usaha 8,05 persen, faktor tenaga kerja 7,53 persen, dan faktor teknologi 4,28

persen. Sedangkan faktor dummy seperti variabel musim memberikan sumbangan

negatif terhadap produksi. Pada aspek kinerja pendapatan, faktor output

memberikan sumbangan terbesar pertama sebesar 69,79 persen. Sumbangan

Page 17: bab I, II dan III

terbesar kedua adalah faktor pemasaran yang memberikan 21,32 persen terhadap

pendapatan industri kecil kerajinan. Pada aspek kinerja keuntungan, faktor

pemasaran memberikan sumbangan terbesar pertama sebesar 58,65 persen.

Sumbangan terbesar kedua adalah tingkat pendapatan usaha sebesar 46,53 persen.

Penelitian Septia (2011) tentang Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja

Pasar pada Sentra Industri Bakpia Yogyakarta menyimpulkan bahwa struktur

pasar pada sentra industri bakpia di daerah Pathok Ngampilan Yogyakarta adalah

oligopoli. Di sisi lain perilaku pasar sentra industri bakpia terjadi

ketidakseimbangan harga dan hal ini membuat tingkat persaingan yang cukup

tinggi dan saluran distribusi berada pada level 0 dan level 1 yang menunjukkan

bahwa perilaku pasar kurang maksimal. Pada kinerja pasar yang ditunjukkan

dengan nilai PCM, bakpia 541 memiliki nilai PCM tertinggi yaitu 0,71, sedangkan

bakpia 78 memiliki nilai PCM terendah yaitu 0,32.

2.3 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini melihat tiga macam indikator dalam mengetahui perilaku

suatu industri, yaitu strategi harga, strategi produk dan strategi pemasaran.

. Strategi ProdukStrategi Harga Strategi Pemasaran

Perilaku Industri

Page 18: bab I, II dan III

Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga ukuran untuk

mengetahui perilaku industri, yaitu strategi harga, strategi produk dan strategi

pemasaran. Dalam hal menjalankan strategi harga, seorang produsen dapat

menjalankan strategi diskriminasi harga dengan menetapkan harga yang berbeda-

beda kepada konsumen berdasarkan tingkatannya. Dalam menjalankan strategi

produk, seorang produsen dapat mendesain produknya sedemikian rupa dengan

tujuan agar konsumen tertarik untuk membeli produk tersebut. Dalam

menjalankan strategi pemasaran, seorang produsen dapat menentukan biaya

pemasaran, bauran pemasaran dan alokasi pemasaran se efektif mungkin dengan

memperhitungkan keadaan lingkungan dan kondisi persaingan.

2.4 Hipotesis

Hipotesis yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah:

Pemilik industri pengolahan aluminium di Kota Palembang belum mampu

meningkatkan persaingan dalam penentuan tingkat harga dan jenis produk, serta

kemampuan teknik pemasaran yang tergolong masih rendah.

Page 19: bab I, II dan III

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai industri pengolahan

aluminium di Kota Palembang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode

survei. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Seberang Ulu I, Seberang Ulu II,

Ilir Barat I dan Ilir Timur II, dan Kalidoni. Pemilihan lokasi dilakukan secara

sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut adalah sentra

industri pengolahan aluminium di Kota Palembang. Penelitian ini membahas

perilaku dari industri pengolahan aluminium di Kota Palembang, yang dapat

dilihat dari strategi harga, strategi produk dan strategi pemasaran.

3.2 Teknik Pengambilan Sampel

Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik penentuan sampel nonprobabilitas, yaitu purposive sampling. Purposive

sampling adalah pengambilan sampel berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat

tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau

sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Jadi ciri-ciri

atau sifat-sifat yang spesifik yang ada atau dilihat dalam populasi dijadikan kunci

untuk pengambilan sampel.

Page 20: bab I, II dan III

7.2.1 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder

merupakan data yang diolah dan diterbitkan oleh suatu organisasi yaitu diperoleh

dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Palembang, serta data

yang diperoleh dari media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, internet,

dan tulisan-tulisan ilmiah yang dianggap relevan dan dapat mendukung penelitian

ini serta dapat dijadikan sumber penelitian ini.

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pemilik usaha

pengolahan aluminium di Kota Palembang. Ada dua cara yang dilakukan untuk

memperoleh data yang diperlukan, yaitu melalui:

1. Observasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

pengamatan langsung terhadap keberadaan usaha pengolahan aluminium

di Kota Palembang untuk mengetahui jumlah populasinya dan memahami

permasalahan secara mendalam.

2. Wawancara, yaitu penulis melakukan pendataan dengan bantuan kuesioner

yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan jenis pertanyaan disesuaikan

dengan data yang diperlukan.

3.3 Teknik Analisis

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif

deskriptif. Penelitian bertujuan untuk melihat aspek strategi harga, strategi

produk dan strategi pemasaran pada industri pengolahan aluminium di Kota

Palembang.

Page 21: bab I, II dan III

Teknik analisis kualitatif yaitu dengan menyajikan berbagai tabel dan

grafik yang diperlukan, dan analisis penjelasan yang sesuai dan relavan untuk

memecahkan permasalahan yang ada dan menghubungkannya dengan fenomena

ekonomi yang terjadi secara nyata.

3.4 Batasan Variabel

3.4.1 Definisi Konsepsional

1. Industri merupakan kumpulan dari perusahaan yang menghasilkan barang

sejenis atau yang mempunyai sifat saling mengganti yang sangat erat.

Industri juga merupakan kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai

tambah.

2. Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan

bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan

perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.

3. Industri Pengolahan Aluminium adalah usaha mengolah aluminium

sebagai bahan baku menjadi barang jadi yang bermanfaat bagi kehidupan

masyarakat banyak.

3.4.2 Definisi Operasional

1. Strategi harga adalah keputusan mengenai harga-harga  yang akan

ditetapkan untuk suatu jangka waktu tertentu.

Page 22: bab I, II dan III

2. Strategi produk adalah keputusan mengenai desain produk yang bertujuan

untuk mempengaruhi konsumen baik untuk jangka pendek maupun jangka

panjang.

3. Strategi pemasaran adalah alat fundamental yang direncanakan untuk

mencapai tujuan perusahaan dengan mengembangkan keunggulan

bersaing yang berkesinambungan melalui pasar yang dimasuki dan

program pemasaran yang digunakan untuk melayani pasar sasaran

tersebut.

Page 23: bab I, II dan III

DAFTAR PUSTAKA

Ding, Mengchun, dkk. 2011. “SCP Paradigm Analysis and Countermeasures of

China’s Automobile Industry”. Journal of Sustainable Development. Vol.4. No.2.

April. Hlm. 211-216.

Hadiati, Sri. 2008. “Perilaku Wirausaha Industri Keramik Berskala Kecil untuk

Meningkatkan Daya Saing Produk di Malang”. Jurnal Manajemen dan

Kewirausahaan. Vol.10. No.2. September. Hlm. 115-123.

Hasibuan, Nurimansjah. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan

Regulasi. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

H ttp://eprints.uny.ac.id/8708/3/bab%202%20-09410134003.pdf . Diakses pada

tanggal 12 September 2013.

Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia, Menuju Negara

Industri Baru 2030?. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Natalia, Tri Candra, dkk. 2011. “Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar

pada Sentra Industri Bakpia Yogyakarta”. Jurnal Industria. Vol.1. No.1. Hlm. 50-

56.

Nazir, Mohammad. 2011. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.

Nurhasanah, Nunung. 2006. “Perumusan Strategi Pemasaran Melalui Penentuan

Prioritas Trapezoidal Fuzzy Number (Studi Kasus Industri Minuman

Tradisional)”. Jurnal Teknik Industri. Vol.8. No.2. Desember. Hlm. 131-140.

Page 24: bab I, II dan III

Pindyck, Robert S dan Daniel L Rubinfeld. 2007. Mikroekonomi. Jakarta: PT

Indeks.

Prasetyo, P Eko. 2007. “Perilaku Pengrajin dalam Meningkatkan Kinerja Pasar”.

Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.8. No.2. Hlm. 163-176.

Teguh, Muhammad. 2010. Ekonomi Industri. Palembang: PT Raja Grafindo

Persada.