Upload
ledung
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penelitian ini berawal dari program tahunan yang diselenggarakan jurusan
Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tertarik dengan lokasi akhir
penelitian yang akan diadakan di Jerman, penulis memutuskan untuk mengikuti
seleksi, dan akhirnya pergi ke Jerman untuk penelitian di sana. Jerman bukan hanya
negara yang sangat maju, namun juga negara yang sangat dominan di bidang
ekonomi dan politik Eropa, dan juga sangat terbuka dengan para pendatang dari
negara lain di Eropa dan di luar Eropa. Hal ini menjadi daya tarik Jerman sebagai
sebuah lokasi penelitian.
Keterbukaan Jerman terhadap imigran menjadi hal yang sangat menarik
bagi saya. Siapa itu imigran? Di dalam Meriam-Webster (1996) imigran adalah
orang yang bermigrasi: pindah dari satu negara, tempat ke tempat yang lain. Tidak
hanya berpindah begitu saja, mereka adalah warga negara yang meninggalkan
negaranya tidak hanya secara hukum dan administratif tetapi juga secara kultural
(Olwig1 2003: 66). Mereka bermigrasi dengan berbagai alasan dan mencoba
peruntungannya di negeri barunya tersebut. Migrasi terjadi di seluruh dunia dengan
banyak motivasi yang melatarbelakangi mereka. Para migran juga datang dari
berbagai negara di dunia. Sebagian datang dari negara dunia ketiga menuju negara
1 “Global Places and Place Identities – Lessons from Caribbean Research”, dalam Globalisation: Studies in Anthropology. Thomas H. Eriksen. London: PLUTO PRESS.
2
maju untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan aman, dan sebagian lagi
datang dari negara maju ke negara dunia ketiga atau antara dua negara dengan level
yang sama karena alasan dan latar belakang yang berbeda. Tidak sedikit dari
mereka yang tidak memiliki bekal apapun, baik secara material, intelektual ataupun
kultural.
Seiring berjalannya waktu, angka migrasi meningkat tajam, khususnya pada
negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat
(Jerman, Belanda, dan negara lainnya). Hal ini didukung dengan perkembangan
teknologi komunikasi dan transportasi yang berkembang dengan pesat saat ini.
Dengan berkembangnya teknologi transportasi yang canggih dan murah, para
migran dengan mudah pergi keluar negeri. Selain perkembangan teknologi, konflik
juga menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya migrasi. Korban perang atau
konflik sipil di negara asal imigran, memaksa mereka untuk mencari tempat
mengungsi di negara yang mampu melindungi mereka, dan kemudian para imigran
menetap di sana.
Jerman merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah imigran yang
besar. Menurut Federal Statistical Office, pada tahun 2011 terdapat 958.000 orang
yang berimigrasi ke Jerman. Angka tersebut naik sekitar 120.000 orang atau 20%
dari data tahun 2010, meningkat jauh dari rekor angka tertinggi tahun 1996, yaitu
679.000 orang. Melihat ke belakang, hal ini terjadi setelah holokos perang dunia
kedua, yang menyebabkan empat juta orang mati di Jerman. Kekurangan tenaga
kerja menjadi sebuah masalah yang besar yang dihadapi oleh pemerintah Jerman.
Perekrutan tenaga kerja dari luar Jerman dilakukan untuk mengatasi masalah
3
tersebut. Lepas dari masalah ketenagakerjaan, arus migrasi terus meningkat ke
Jerman karena pertumbuhan penduduk yang terus menurun. Seperti dua sisi mata
uang, imigran memberikan dampak positif namun juga negatif. Kedatangan mereka
tidak serta-merta tanpa masalah. Di satu pihak, imigran di Jerman menjadi
penolong, sebab mereka meningkatkan neraca pertumbuhan populasi di Jerman.
Tetapi orang Jerman juga melihat imigrasi sebagai sumber konflik antara para
imigran dengan ‘native’ Jerman2. Perbedaan latar belakang, membuat para imigran
tidak sepenuhnya terintegrasi dengan masyarakat Jerman dan identitas asli mereka
tidak bisa lepas begitu saja. Kegagalan proses integrasi tersebut akhirnya membawa
masalah demi masalah di Jerman, seperti angka kriminalitas yang semakin tinggi
dari tahun ke tahun yang disebabkan banyak imigran yang masuk ke Jerman
(Albrecht, 1997: 31).
Di kota kecil bernama Freiburg yang berada di bagian selatan Jerman,
penulis melihat fenomena tersebut dengan sangat jelas. Saat memesan sesuatu di
beberapa tempat makan, atau berbelanja di toko-toko kebutuhan sehari-hari, yang
melayani sering kali adalah para imigran dan bukan Jerman. Hebatnya, mereka
dapat menggunakan bahasa Jerman, walaupun masih terbata-bata.
Keberhasilan para imigran menjalani kehidupan sehari-harinya di luar tanah
kelahirannya tentu memerlukan proses yang tidak singkat, karena seperti yang
disebutkan sebelumnya, bahwa imigran meninggalkan negaranya juga secara
kultural, yang artinya mereka menerima kultur yang baru, di wilayah yang baru.
Dari semua fenomena di atas pertanyaan adalah, siapa yang membantu mereka
2 Informasi ini diperoleh dari Emnid Bertelsmann Foundation
4
dalam proses tersebut? Integrationkurse atau integration course atau kursus
integrasi menjadi salah satu jawabannya. Lantas, mengapa kursus integrasi menjadi
salah satu jawabannya?
Menurut Immigration Policy in The Federal Republic of Germany, sejak
Juli 2006, para imigran wajib mengikuti kursus integrasi. Kursus ini diadakan
dalam rangka transparansi hukum integrasi yang dibuat oleh pemerintah Jerman.
Keterbukaan pemerintah Jerman terhadap para pendatang tentu dilandasi dengan
persyaratan hukum yang ketat, untuk menjamin kehidupan mereka di Jerman.
Kursus integrasi sendiri merupakan kursus yang diberikan kepada para imigran
untuk mengasah kemampuan komunikasi mereka. Di dalam kursus ini para imigran
diperkenalkan dan diajarkan bahasa Jerman, baik dalam berbicara, menulis,
membaca, maupun mendengarkan. Hasil dan sertifikasi dari kursus ini sangat
berguna bagi mereka dalam kehidupan selanjutnya di Jerman. Selain kursus bahasa,
para imigran juga diberikan pengetahuan umum tentang Jerman seperti bidang
politik, hukum, pemerintahan, sosial dan kultur.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kursus integrasi sudah
menjadi medium yang ideal bagi para imigran dalam proses integrasi mereka? Dari
pertanyaan tersebut, muncul keinginan penulis untuk menelaah lebih dalam tentang
kursus integrasi di Jerman.
2. Permasalahan
Pada skripsi ini, penulis hendak memaparkan tentang persepsi para migran
akan kehadiran kursus integrasi di keseharian mereka dan apa yang mereka
5
dapatkan dari kursus tersebut. Para imigran datang dari berbagai latar belakang
kewarganegaraan, bahasa, budaya, umur dan pekerjaan yang berbeda. Dari berbagai
literatur yang ada, imigran memiliki peran tersendiri bagi Eropa, khususnya Jerman.
Pemerintah Jerman menyadari pentingnya keberadaan imigran di negara mereka
dan mulai memfasilitasi kebutuhan para imigran dengan banyak kebijakan dan
salah satunya mengadakan kursus integrasi bagi para imigran demi kelancaran
komunikasi para imigran di Jerman dan juga peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang mereka miliki.
Terdapat tiga turunan pertanyaan menjelaskan tentang keberadaan kursus
integrasi dalam persepsi para imigran di Jerman, khususnya Freiburg:
1. Apa itu kursus integrasi?
2. Bagaimana persepsi imigran terhadap kursus integrasi?
3. Apa manfaat kursus integrasi dalam proses integrasi imigran?
3. Tinjauan Pustaka
Isu migrasi sudah banyak dikupas oleh tokoh antropologi maupun kajian
sosial lainnya, mulai dari migrasi yang dilakukan ratusan tahun yang lalu, abad
pertengahan, hingga migrasi yang terjadi di abad modern ini. Salah satu contohnya
adalah buku yang ditulis oleh Patrick Manning (2005). Manning dalam bukunya
Migration in World History menggambarkan perubahan dan pola-pola migrasi dari
masa ke masa. Kehidupan para imigran juga ia tuliskan dalam bukunya.
Sebagai acuan tentang beberapa jenis pengakomodasian imigran sebagai
minoritas, penulis memakai tulisan dari Thomas Hylland Eriksen (1998) dari
6
bukunya yang berjudul Small Places, Large Issues An Introduction to Social and
Cultural Anthropology. Lebih spesifik lagi penulis melihat tulisan dari Christian
Joppke (2007) dalam artikel yang berjudul Beyond National Models: Civic
Integration Policies for Immigrants in Western Europe. Dalam artikel ini dibahas
secara jelas bagaimana integrasi sipil berjalan di Eropa bagian barat, salah satunya
adalah Jerman. Berikutnya, penulis mengacu pada tulisan Joppke yang lain tentang
kursus integrasi yang ada di beberapa negara di Eropa, yang berjudul Do Obligatory
Civic, Integration Courses for Immigrants in Western Europe further Integration?
(2007).
4. Kerangka Pemikiran
Globalisasi menyebabkan masyarakat dunia bermigrasi dengan sangat
mudah, namun kemampuan berkomunikasi tetap dibutuhkan di manapun seseorang
berada. Saat komunikasi tidak berjalan, maka tahap-tahap berikutnya tidak dapat
berjalan dengan baik. Dalam penelitian ini, masalah utama imigran dalam proses
integrasi adalah komunikasi, di mana bahasa menjadi kunci utama. Pemerintah
Jerman cukup tanggap dalam menyelesaikan masalah ini dengan memfasilitasi
imigran dengan mengadakan kursus integrasi sebagai medium utama imigran untuk
berintegrasi. Lewat kursus bahasa, para imigran diharapkan dapat lebih lancar
berkomunikasi, namun kebijakan pemerintah tersebut memerlukan masukan balik
dari imigran sendiri. Dalam tulisan ini, kita akan melihat kursus integrasi dalam
sudut pandang atau persepsi dari imigran, dengan asumsi fasilitas yang diberikan
harus sesuai dengan kebutuhan para imigran.
Komunikasi merupakan salah satu hal yang penting bagi makhluk sosial.
7
Thomas M. Scheidel (1976) mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama
untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial
dengan orang di sekitar kita, dan untuk mempengaruhi orang lain untuk merasa,
berpikir atau berperilaku seperti yang kita inginkan. Namun menurut Scheidel
tujuan dasar kita berkomunikasi adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan
psikologis kita. Lebih dalam lagi Zimmerman (1977) merumuskan bahwa kita dapat
membagi tujuan komunikasi menjadi dua kategori besar. Pertama, kita
berkomunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas yang penting bagi kebutuhan kita-
-untuk memberi makan dan pakaian kepada diri sendiri, memuaskan rasa penasaran
kita akan lingkungan dan menikmati hidup. Kedua, kita berkomunikasi untuk
menciptakan dan memupuk hubungan dengan orang lain. Kemampuan
berkomunikasi dibutuhkan di manapun seseorang berada, karena komunikasi
berkaitan erat dengan bagaimana seseorang beradaptasi dengan lingkungannya,
khususnya lingkungan yang sama sekali baru bagi seseorang. Pengertian
komunikasi di atas mempertegas bahwa dalam pemenuhan kebutuhan pokok,
seperti makan, pakaian, pekerjaan memerlukan kemampuan berkomunikasi yang
baik.
Kemampuan berkomunikasi dibutuhkan terutama bagi kelompok
minoritas. Mengapa kelompok minoritas lebih memerlukannya daripada kaum
mayoritas? Minoritas didefinisikan sebagai satu kelompok yang secara politis tidak
dominan, dan berada sebagai satu kategori etnis (Eriksen, 1998). Sebagai kelompok
yang tidak dominan mereka (kelompok minoritas), memerlukan usaha yang lebih
untuk memenuhi atau memperjuangkan haknya. Sudah menjadi kebiasaan dan
8
mungkin keharusan jika kelompok minoritas harus menyesuaikan dirinya dengan
kelompok yang lebih dominan dengan menjadi bagian dari kelompok mayoritas
atau setidaknya menjalin komunikasi dengan kaum mayoritas yang memiliki posisi
politis lebih strategis demi tercapainya sebuah hubungan yang lebih harmonis. Para
imigran atau perantau adalah kaum minoritas yang khusus. Mereka berada di negeri
orang terkadang tanpa memiliki kewarganegaraan yang sah, dan hanya berdiam diri
di negeri yang didatanginya. Riset antropologis tentang migrasi dari negara-negara
miskin ke negara-negara kaya terutama terpusat pada tiga tema ini, yaitu segi-segi
diskriminasi dan diskualifikasi pada pihak penduduk negara tuan rumah; rupa-rupa
strategi untuk melestarikan identitas kelompok; serta relasi antara kebudayaan
imigran dan kebudayaan kaum mayoritas.
Dalam tataran negara, pemerintah atau negara itu sendiri berperan dalam
proses integrasi kelompok minoritas dengan kelompok mayoritas yang ada.
Mengapa integrasi? Pengakomodasian kelompok minoritas dalam sebuah negara
bisa terjadi dalam tiga model, segregasi, asimilasi dan integrasi (Eriksen, 1998).
Segregasi, ini berarti bahwa kelompok minoritas dipisahkan secara fisik dari
kelompok mayoritas, sering kali bersamaan dengan gagasan bahwa para anggota
kaum minoritas itu bermutu rendah. Berbeda dengan segregasi, asimilasi
menyebabkan menghilangnya kaum minoritas, yang sengaja dibaurkan dalam
kelompok mayoritas. Yang terakhir, integrasi; Integrasi merujuk pada partisipasi
dalam pranata-pranata bersama masyarakat, dibarengi pelestarian identitas
kelompok dan, sampai pada taraf tertentu, kekhasan budayanya. Saat mendengar
kata ‘integrasi’ maka kebanyakan orang akan mengacu pada banyak pihak yang
9
berjalan bersamaan. Tentu hal tersebut tidak salah; integrasi memang menampilkan
satu kompromi antara dua pilihan utama sebelumnya. Mengacu pada European
Unite (EU) ‘Common Basic Principles’ of Immigrant Integration Policy, pengertian
integrasi disederhanakan menjadi a dynamic, two way process of mutual
accommodation by all immigrants and residents of the Member States’. Terjalinnya
hubungan dua arah yang saling menguntungkan satu sama lain tidak begitu saja
terjadi. Campur tangan pemerintah menjadi tulang punggung proses integrasi di
teritorialnya, salah satunya dengan membuat kebijakan serta fasilitas sebagai
instrumen utama dalam mengatur jalannya proses integrasi. Disamping itu semua,
dengan lebih dalam lagi, Eriksen (1998) mengatakan bahwa integrasi merupakan
salah satu cara pengakomodasian hubungan antara kelompok mayoritas dengan
kelompok minoritas. Apa sebenarnya integrasi dalam studi tentang imigran,
khususnya tentang kursus integrasi di Jerman?
Integrasi sendiri merujuk pada partisipasi dalam pranata-pranata bersama
masyarakat, dibarengi dengan pelestarian identitas kelompok sampai pada taraf
tertentu (Eriksen, 1998: 482). Berbeda dengan dua cara akomodasi yang disebutkan
sebelumnya, integrasi meminta seluruh pihak berpartisipasi dalam membentuk
pranata bersama masyarakat, yang artinya tanpa terkecuali. Negara memiliki
kewajiban untuk menyama-ratakan hak dan kewajiban bagi para penduduknya,
tanpa memandang mereka mayoritas atau minoritas. Namun, keistimewaan dari
integrasi adalah latar belakang budaya setiap pihak dihargai sepenuhnya. Mereka
diberi ruang untuk menunjukkan identitas asli mereka dengan tidak memaksakan
mereka meninggalkannya dan menggantinya dengan yang baru.
10
Pengadaan kebijakan dan fasilitas tentunya harus bisa memenuhi kebutuhan
kelompok-kelompok yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung.
Persepsi dari masing-masing kelompok diperlukan untuk menilai apakah fasilitas
yang ada sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masing-masing kelompok,
terutama kelompok yang secara khusus ditangani dan difasilitasi. Persepsi menurut
Tim Ingold (2000), adalah how anything can be translated or ‘cross over’ from the
outside to the inside, from the macrocosm of the world to the microcosm of the
mind. Di sini berarti sudut pandang individu menjadi sangat penting, apakah sesuatu
bermanfaat bagi diri seseorang, atau malah merugikan.
5. Tujuan Penulisan Skripsi
Perkembangan imigrasi di dunia terus melaju dengan pesat dan globalisasi
membuat imigrasi menjadi lebih fenomenal. Tetapi seperti banyak fenomena
lainnya di dunia, imigrasi memiliki masalahnya sendiri, baik dari sisi pemerintah
dari sebuah negara (baik negara asal imigran atau negara tujuan imigran), orang-
orang lokal, dan yang paling penting adalah masalah yang dirasakan oleh para
imigran sendiri.
‘Migrants are often perceived as people who come from a qualitative
different place, and who are therefore radically different culturally, which marks
them as different’ (Olwig 2003: 66). Tanda yang disematkan pada imigran
terkadang membuat mereka sulit untuk masuk ke dalam komunitas lokal. Melihat
apa yang sebenarnya menjadi masalah mereka dapat menjadi satu kunci untuk
mengetahui apa yang harus dilakukan berikutnya atau setidaknya memitigasi
11
masalah mereka. Lewat penelitian, persepsi imigran terhadap kursus integrasi
sebagai sebuah medium untuk membantu proses integrasi.
Adapun tujuan khusus dari skripsi ini, tersedianya literatur tambahan bagi
program penelitian tandem antara Jurusan Antropologi UGM dengan Jurusan
Ethnologie Albert-Ludwig Universität.
6. Metode Penelitian
6.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di kota Freiburg im Breisgau, di Jerman Selatan.
Lokasi penelitian yang dipilih dari program tandem penelitian antara jurusan
Antropologi UGM dengan Ethnology Albert-Ludwig Universität, Freiburg. Tahun
2013 giliran mahasiswa Antropologi bertandang ke Freiburg setelah tahun 2012
lalu mahasiswa etnologi mengadakan penelitian di Yogyakarta. Kegiatan penelitian
ini berlangsung dari 3 Juni sampai dengan 30 Juni 2013.
6.2. Pengumpulan Data
6.2.1 Tandem Program
Pengumpulan data saya lakukan lewat tandem program. Rekan kerja saya
dalam tandem membantu saya dalam memahami bahasa informan yang tidak
semuanya dapat berbahasa Inggris. Tandem memiliki fungsi sebagai interpreter dan
peneliti utama. Penelitian tandem ini seperti yang diungkapkan oleh Heinz Göhring
dalam makalah yang ditulis oleh Sebnem Bahadir,
“Major emphasis is put on close contacts and exchanges with members
of the cultures concerned in multicultural working groups and during
12
longer stays in those cultures. In this context Göhring proposes and
applies in his teaching praxis the idea of Tandem-Lehre or ‘tandem-
learning,’ a type of training based on the principle of consciousness-
raising through ‘intercultural exchange’ that can only be realized in
inter-/multicultural group settings (1977:175)” (Bahadir, 2004: 809)
Sebelum penelitian ini dilakukan di kota Freiburg, tandem saya di
Yogyakarta adalah Alena Rohrbach dan Christie Afriani. Untuk penelitian di kota
Freiburg, jumlah tandem saya bertambah satu orang, yaitu Alena Rohrbarch,
Siobhan Kaltenbacher dan Lena Kebi. Siobhan dan Lena adalah mahasiswa
Ethnologie semester dua yang mengikuti program ini sebagai sarana pelatihan
metodologi penelitian dan Alena adalah mahasiswa program master di jurusan yang
sama. Kami saling melengkapi satu sama lain dalam melakukan penelitian. Mereka
memperkenalkan saya pada kota Freiburg, mencari informasi tentang tempat kursus
integrasi di sana, membuat jadwal wawancara dengan para informan, terlebih saat
menyepakati jadwal dengan institusi resmi seperti kursus integrasi yang harus
menggunakan surail dalam bahasa Jerman dan yang paling penting mereka
membantu saya sebagai interpreter saat melakukan wawancara dengan para
informan, sehingga saya dapat memahami isi apa yang dimaksud oleh informan
kami.
Ada dua kali workshop dalam penelitian ini. Workshop pertama dilakukan
pada minggu pertama. Dalam workshop ini kami mempresentasikan rencana
penelitian kami; apa dan bagaimana kami akan melakukan penelitian ini selama
satu bulan ke depan. Workshop kedua dilakukan di akhir penelitian kami. Dalam
workshop ini kami kembali mempresentasikan hasil penelitian kami selama satu
bulan dan bagaimana alur kerja sama kami saat penelitian berlangsung. Di sela-sela
13
penelitian, kami diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan para dosen, baik
dosen dari UGM maupun dosen dari Freiburg Universitat.
6.2.2 Menentukan Informan
Terdapat dua informan yang diwawancarai dalam penelitian ini, yaitu
informan kunci dan informan pendukung. Informan kunci adalah orang-orang yang
mempunyai kedudukan atau yang dianggap mengetahui persoalan yang dikaji
(Pelto dan Pelto, 1978: 73). Informan kunci dalam penelitian ini adalah para
imigran yang mengikuti Integration Course. Sedangkan informan pendukung
merupakan informan yang dipakai untuk menjawab latar belakang serta melengkapi
data dari informan kunci.
Penentuan informan menggunakan proses seleksi dengan kriteria tertentu.
Kriterianya adalah imigran yang mengikuti kursus integrasi dan guru kursus
integrasi. Di luar informan kunci, peneliti memilih beberapa informan, yaitu mereka
yang bekerja di kursus integrasi bagian administrasi. Hal ini sangat membantu
peneliti untuk mendapatkan informasi administratif di sebuah kursus integrasi.
Untuk menentukan informan kunci, langkah yang penulis ambil adalah
mencari tahu keberadaan kursus integrasi di kota Freiburg. Setelah menemukan
beberapa kursus integrasi, penulis mulai menghubungi staf yang ada di sana,
kemudian mewawancarai mereka sebagai dasar awal mengetahui aktivitas di
Integration Course. Dengan para staff pula penulis diberikan kontak beberapa
imigran untuk menjadi informan kunci. Di iOr Sprachschule, penulis dan rekan
kerja penulis ditawarkan untuk bergabung dalam salah satu kelas, dengan tujuan
14
membantu kami dalam mengobservasi kelas integrasi itu sendiri. Selain imigran
yang kontaknya diberikan oleh pihak kursus integrasi, penulis juga menghubungi
beberapa imigran Indonesia dari komunitas Indonesia yang ada di Freiburg.
6.2.3 Dokumentasi dan Data Sekunder
Data lapangan saja tentu tidak memadai untuk penulisan ini. Jarak waktu
dan dana menjadi kendala utama sehingga penulis membutuhkan literatur sebagai
pendukung. Pustaka yang digunakan dalam skripsi ini antara lain literatur yang
mengulas tentang kursus integrasi di Jerman, brosur dan artikel yang ada di laman
masing-masing tempat kursus integrasi dan dari laman imigrasi Jerman.
Dokumentasi penulis ambil melalui hasil observasi penulis dalam bentuk foto.
Selain itu peneliti juga mengambil beberapa foto dan data statistik dari laman dan
jurnal terkait.
6.2.4 Wawancara Mendalam dan Partisipasi Observasi
Wawancara mendalam merupakan alat yang paling penting dalam penelitian
ini. Lewat wawancara mendalam peneliti mampu melihat secara lebih dalam
perilaku dan keseharian informan. Informan merupakan mereka yang mengetahui
dengan baik bagaimana proses dalam komunitas berjalan. Wawancara bertujuan
untuk mengumpulkan keterangan, informasi dan pendapat tentang kehidupan
informan. Kegiatan ini merupakan pembantu utama metode observasi
(Koentjaraningrat, 1997: 129). Aktivitas yang tidak dapat dilihat atau dipahami
lewat observasi di lapangan dapat ditelusuri lewat wawancara mendalam.
15
Wawancara bertujuan untuk melihat pengalaman, sudut pandang dan sejarah
individu terhadap topik tertentu.
Wawancara mendalam dilakukan dengan informan yang sudah disebutkan
di subbab sebelumnya. Pendekatannya adalah penulis pergi ke beberapa tempat
kursus integrasi, dan meminta izin untuk mendapatkan kontak para peserta kursus.
Pertama penulis dipersilakan untuk ikut berpartisipasi dalam kelas, diperkenalkan
oleh guru, dan yang terakhir penulis mulai mengumpulkan kontak dari peserta
kursus. Dari situ penulis menghubungi mereka satu per satu untuk melakukan
wawancara lebih mendalam. Ada yang bersedia, ada juga yang tidak. Alasan
mereka yang tidak bersedia adalah masalah keterbatasan berbahasa, baik bahasa
Inggris maupun Jerman. Ada tujuh informan yang penulis libatkan dalam
wawancara mendalam ini. Wawancara mendalam penulis lakukan dengan membuat
janji sebelumnya, dan dilakukan di manapun yang informan mau, seperti di tempat
makan atau di kampus. Kami menyusun pertanyaan besar, yang akan kami
kembangkan saat wawancara berlangsung. Suasana wawancara kami bangun secara
informal, sehingga informan merasa nyaman untuk bercerita menjawab pertanyaan
kami. Wawancara diusahakan dalam bahasa Inggris, jika informan keberatan, maka
akan diadakan dengan bahasa Jerman.
Partisipasi observasi dilakukan di tempat kursus integrasi dengan cara ikut
serta dalam kelas. Para guru sangat senang kami berada di kelas, para imigran pun
terlihat antusias dengan keberadaan kami. Mereka (para imigran) bertanya banyak
hal kepada kami, begitu pun kami bertanya banyak hal dengan mereka. Tidak
segan-segan mereka memberitahukan keluh kesah tentang sulitnya pelajaran yang