119
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik, sosial budaya, maupun keamanan. 1 Korupsi menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia, bahkan telah kronis. Korupsi di Negara ini bahkan telah merambah semua ini bagaikan gurita. Penyimpangan ini bukan saja merasuki lorong-lorong instansi yang tidak terbayangkan sebelumnya bahwa disana ada korupsi. 2 Secara etimologis atau menurut bahasa, “ korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus, dan bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa. Seperti Inggris : corruption, corrupt,; Prancis : corruption ; dan Belanda : corruptive atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi.” Arti kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. 3 1 Deni Styawati, 2008, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, Pustaka Timur, Yogyakarta, h. 1. 2 Achmad Zainuri , 2007, Akal Kultural Korupsi di Indonesia, Cahaya Baru Sawangan, Depok, h. 15. 3 Andi hamzah (I), 1991, Korupsi di Indoneisia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 7.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I edit 2.pdf1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang

  • Upload
    vantram

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai

momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui

atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan

banyak kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang

politik, sosial budaya, maupun keamanan.1

Korupsi menjadi salah satu masalah besar yang dihadapi Indonesia,

bahkan telah kronis. Korupsi di Negara ini bahkan telah merambah semua ini

bagaikan gurita. Penyimpangan ini bukan saja merasuki lorong-lorong instansi

yang tidak terbayangkan sebelumnya bahwa disana ada korupsi.2

Secara etimologis atau menurut bahasa, “ korupsi berasal dari bahasa

latin corruptio atau corruptus, dan bahasa latin yang lebih tua dipakai istilah

corrumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa

di Eropa. Seperti Inggris : corruption, corrupt,; Prancis : corruption ; dan

Belanda : corruptive atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa

Indonesia menjadi korupsi.” Arti kata itu ialah kebusukan, keburukan,

kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari

kesucian.3

1 Deni Styawati, 2008, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, Pustaka Timur, Yogyakarta, h. 1.

2 Achmad Zainuri , 2007, Akal Kultural Korupsi di Indonesia, Cahaya Baru Sawangan,

Depok, h. 15. 3 Andi hamzah (I), 1991, Korupsi di Indoneisia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, h. 7.

2

Selain itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Korupsi adalah ; 1.) Penyelewengan atau penggelapan (uang Negara

atau perusahaan dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 2.)

menyelewengkan, menggelapkan (uang dsb). Namun menurut Pasal 435

KUHP, korupsi berarti busuk, buruk , bejat dan dapat disogok, suka disuap,

pokoknya merupakan perbuatan yang buruk. Perbuatan korupsi dalam istilah

kriminologi digolongkan kedalam White Collar Crime. Berdasarkan

pengertian-pengertian tersebut, definisi korupsi dapat dipandang dari berbagai

aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan.4

Penegakan hukum yang dilakukan secara konvensional untuk

memberantas tindak pidana korupsi terbukti mengalami berbagai hambatan.

Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum yang luar biasa melalui

pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,

independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan dalam upaya tindak

pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif

profesional, serta berkesinambungan.

Perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kuantitas

maupun sisi kualitas dewasa ini dapat dikatakan bahwa korupsi di Indonesia

tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), akan tetapi sudah

merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).5 Mengingat

kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang dikategorikan sebagai

4 Suyatno, 2005, Korupsi,Kolusi, Dan Nepotisme. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.16.

5 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),

Semarang, h. 92.

3

kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) memerlukan upaya

pemberantasan dengan cara-cara yanh laur biasa (extra ordinary measure).

Disamping tindak pidana korupsi sering disebut extra ordinary crime,

sering kali tindak pidana korupsi ini diidentikkan dengan white collar crime

yaitu suatu perbuatan (tidak berbuat) dalam sekelompok kejahatan yang

spesifik yang bertentangan dengan hukum pidana yang dilakukan oleh pihak

professional, baik oleh individu, organisasi, atau sindikat kejahatan, ataupun

dilakukan oleh badan hukum.

Menurut Dony Kleden Rohaniwan, kejahatan kerah putih (white

collar crime) adalah istilah temuan Hazel Croal untuk menyebut berbagai

tindak kejahatan di lembaga pemerintahan yang terjadi, baik secara struktural

yang melibatkan sekelompok orang maupun secara individu. Hazel Croal

mendifinisikan kejahatan kerah putih sebagai penyalahgunaan jabatan yang

legitim sebagaimana ditetapkan oleh hukum. Umumnya, skandal kejahatan

kerah putih sulit dilacak karena dilakukan pejabat yang punya kuasa untuk

memproduksi hukum dan membuat berbagai keputusan vital. 6

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 Undang-Undang No.31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana

diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang

Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UU Tipikor, bahwa KPK dibentuk

dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 tahun semenjak Undang-Undang

6 Anggun Wahyuni, 2012, “Kejahatan Kerah Putih(white collar crime)”, available from :

URL : http://mynameisanggun-bukuhariananggun.blogspot.com/2012/01/kejahatan-kerah-putih-

white-collar-html, diakses 19 Agustus 2013.

4

tersebut mulai berlaku, yang kemudian diwujudkan dengan Undang-Undang

No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

yang selanjutnya disebut UU KPK dan dipertegas dalam pasal 2 yang

berbunyi:

“Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan

Korupsi.”

Hal ini sesuai dengan ketentuan TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme, artinya Undang-Undang tersebut menjadi dasar hukum yang

menjamin sahnya lembaga tersebut dan memuat tugas serta tanggung jawab

dari KPK.

KPK merupakan lembaga baru dalam konstitusional Indonesia yang

eksistensinya masih bersifat relatif dikalangan warga masyarakat maupun

Lembaga Negara yang sudah ada sebelumnya. Walaupun KPK bukan

merupakan sebuah lembaga penegak hukum inti dalam Sisitem Peradilan

Pidana Terpadu di Indonesia, tetapi tugas dan wewenang yang dimiliki dan

tanggung jawab yang harus diemban adalah merupakan bagian dari penegakan

hukum di Indonesia, khususnya penanganan terhadap pemeriksaan tindak

pidana korupsi. KPK mempunyai tugas, kewenangan, dan kewajiban dalam

hal penanganan tindak pidana korupsi telah diatur sedemikian rupa dalam UU

KPK, ini artinya bahwa dalam penegakan hukum pidana khususnya tindak

pidana korupsi, KPK dapat diartikan sebagai lembaga penegak hukum khusus

5

sehingga upaya-upaya yang hendak dicapai dalam hal pemberantasan tindak

pidana korupsi di Indonesia dapat lebih maksimal. Selain itu dibentuknya

KPK juga dilatarbelakangi alasan karena lembaga pemerintah yang menangani

tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efisien dan efektif dalam

memberantas tindak pidana korupsi.7

KPK adalah suatu komisi organik, yaitu komisi yang lahir dari

Undang-Undang yakni selanjutnya disebut UU KPK. Pengertian KPK yang

termaktub dalam Pasal 3 UU KPK berbunyi :

“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari

pengaruh kekuasaan manapun.”

Dilihat dari pembentukan dan kewenangannya, KPK mempunyai

tugas-tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU KPK.8 Kewenangan KPK

yang tertuang dalam Pasal 6 UU KPK, bertugas untuk melakukan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Dalam ketentuan KUHAP, yaitu dalam Pasal 1 angka (2) menyebutkan

yang dimaksud dengan :

“Penyidikan adalah serangkain tindakan dalam penyidikan dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya. “

7Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik

dan Masalahnya, P.T. Alumni, Bandung, h. 23. 8 Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,

Jakarta,h. 188.

6

Banyak anggota masyarakat ataupun kelompok masyarakat yang masih

belum memahami dan mengetahui tentang tugas dan wewenang serta

kewajiban dan independensi KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi,

sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa dalam melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi masih bersikap tebang pilih.

Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang No.31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut

selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan

melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan

organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta

keanggotaan diatur Undang-Undang.

Adapun wewenang KPK telah diatur dalam Bab II UU KPK yakni

pada Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal

14. KPK memiliki multi kewenangan, antara lain kewenangan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan sesuai Pasal 6 UU KPK. Selain itu juga KPK

memiliki berwenang melakukan penyidikan tanpa memerlukan izin khusus

sebagaimana lazim yang berlaku sesuai Pasal 46 UU KPK.

Salah satu kewenangan KPK yang tertuang dalam Pasal 8 adalah

wewenang penyidikan dan penuntutan. Hal tersebut dimuat dalam Pasal 8

ayat (2) yang menyebutkan bahwa Komisi pemeberantasan Korupsi

berwenang juga mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap

7

pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau

kejaksaan. Pengaturan dalam Pasal 8 ayat (2) tersebut dibatasi oleh alasan

yang tertuang dalam pasal 9 UU KPK tersebut.

Namun dalam penulisan skripsi ini lebih mengkhususkan pembahasan

normatif terhadap alasan yang digunakan dalam mengambil alih penyidikan

dan penuntutan yang dilakukan KPK dalam Pasal 9, yang berbunyi :

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan

alasan:

a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti;

b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. Hambatan penangan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislative; atau

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam pengaturan Pasal 9 tersebut,KPK dapat mengambilalih

penyidikan dan penuntutan yang dilakukan kepolisian kasus tindap pidana

korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan apabila telah

memenuhi alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK diantaranya

laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak dilanjuti atau

proses penanganannya berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang

dapat dipertanggungjawabkan atau penanganannya ditujukan untuk

melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya atau karena

ada hambatan penangan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislative.

8

Dari wacana tersebut diatas dapat dilihat bahwa dengan kondisi

demikian, maka upaya mengambilalih merupakan salah satu alternatif

dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi dibandingkan kasus

kejahatan lainnya. Kewenangan KPK ini masuk dalam ranah hukum pidana

formil. Pada mulanya Kepolisian dan Kejaksaan Agung bersikap kontra

terhadap kewenangan yang diberikan kepada KPK dalam mengambilalih

kasus tindak pidana korupsi mengingat ketentuan ini akan dianggap sebagai

suatu eliminasi terhadap hukum positif yang telah menempatkan Kejaksaan

Agung dan Kepolisian sebagai instititusi atas penyidikan dan penuntutan

dalam tindak pidana korupsi. Namun sebaliknya, sebagian masyrakat

menganggap ide ini sebagai suatu yustifikasi terhadap pengakhiran

dikotomi antara Polisi dan Jaksa dalam menetukan Posisi sentral

penyidikan terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi.

Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan

atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan

seluruh berkas berkas perkara beserta alat bukti atau dokumen lain yang

diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung

sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.9

Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa ketentuan ini

bukan diartikan penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga

jika tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka

tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau tahanana

9 Ibid , h. 184

9

kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada

Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan tersangka di Rumah

Tahanan tersebut.

Selain itu pula dalam penjelasan pasal 12 huruf I bahwa permintaan

bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan

Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak

pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan kepada

Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan Tahanan

tersebut dalam Rumah Tahanan.

Penyerahan sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat (3) dilakukan dengan

membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas

dan kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut

beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengambilalihan penyidikan

dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi dengan alasan yang termaktub dalam pasal 9 UU

KPK.

Jika ditelaah secara lebih rinci bunyi Pasal 9 UU KPK tersebut telah

disebutkan bahwa pengambilalihan penyidikan yang dilakukan KPK dari

kepolisian atau kejaksaan diartikan sebagai penyerahan wewenang kepada

KPK. Namun dalam setiap muatan Pasal 9 tersebut tidak ada penjelasan yang

mengatakan KPK boleh melakukan pengambil alihan perkara yang terjadi

sebelum adanya UU KPK tersebut. Sedangkan jika kita lihat banyak perkara

10

yang belum bisa ditangani secara tuntas akibat ditindaklanjuti ataupun

terbengkalai selama masih ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan.

Oleh karena itu , diperlukan suatu penafsiran hukum yang bisa

menyelesaikan kekaburan norma yang terdapat dalam Pasal 9 tersebut.

Sehingga dalam kewenangan KPK yang terdapat pada Pasal tersebut dapat

dikatakan kabur dimata hukum.

Apabila dipandang dari sudut kewenangan ataupun fungsi-fungsi

kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945, akan tampak jelas bahwa organ-

organ yang menyandang fungsi dan kewenangan konstitusional dimaksud

sangat beraneka ragam.10

Namun KPK bukan terbentuk dari konstitusi

melainkan dari UU KPK yang dimotori oleh UU TIPIKOR sebagai alasan

dibentuknya Lembaga pemberantasan Korupsi. Selain itu, telah terdapat pula

sebuah payung hukum yang berbentuk Undang-Undang yang dengan jelas dan

gamblang memberikan kewenangan dan fungsi serta tanggung jawab dari

masing-masing instansi dalam peran sertanya memberantas tindak pidana

korupsi di Indonesia.

Terkait tentang luasnya kewenangan yang dimiliki KPK ada potensi

kekaburan norma dalam pemberian wewenang Lembaga tersebut. Penyebab

utama adanya kekaburan norma dalam kewenangan lembaga negara tersebut

adalah Undang-Undang KPK, termasuk UU Tipikor itu sendiri. Karena

Undang-Undanglah yang masih belum bisa memberikan penjelasan terkait

10

Jimly Assiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta,h.

271.

11

mengenai unsur-unsur yang telah dimuat dalam Undang-Undang sebagai

kewenangan lembaga Negara itu sendiri.

Berdasaran latar belakang tersebut, maka diberi sebuah judul yakni :

“PENGATURAN KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN

KORUPSI (KPK) DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DI INDONESIA”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat

beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas, yaitu :

1. Bagaimana kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal

9 Undang-Undang KPK?

2. Bagaimanakah peranan KPK sebagai Lembaga Negara dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia untuk masa yang akan datang?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Penelitian dan pembahasan yang akan dilaksanakan lebih mendalam

supaya tidak mengalami perluasan masalah maka diperlukan pembatasan

masalah untuk memudahkan dalam penulisan.

Pembatasan masalah berguna untuk menghasilkan penulisan skripsi

yang baik, maka ruang lingkup yang akan dibahas meliputi:

12

1. Membahas kekaburan norma terkait kewenangan KPK yang terdapat

dalam pasal 9 UU KPK dan pengaturan kewenangan pengambilaihan

kewenangan oleh KPK.

2. Membahas eksistensi kewenangan KPK sebagai Lembaga Negara yang

diberikan wewenang yang sangat besar.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Dalam sebuah karya ilmiah perlu adanya jaminan keaslian penelitian

guna menghindari plagiasi ataupun duplikasi dari hasil karya orang lain.

Skripsi ini merupakan karya tulis asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya. untuk memperlihatkan orisinalitas skripsi ini maka dapat

dilihat perbedannya dengan skripsi terdahulu yang sejenis, yaitu sebagai

berikut :

1. Judul skripsi : Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Penulis : I Gede Winartha Indra Bhawana

Tempat : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Tahun : 2011

Rumusan Masalah :

1) Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak diberi

kewenangan oleh pembentuk Undang-undang untuk menerbitkan Surat

13

Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Ketetapan

Penghentian Penuntutan (SKP2)?

2) Apa tindakan KPK yang diakukan, jika perkara tindak pidana korupsi

di tingkat penyidikan, oeh Komisi Pemberantasan Korupsi

tersangkanya tidak cukup bukti?

2. Judul skripsi : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam

sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

Penulis : Putu Eka Citra Erliana

Tempat : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Tahun : 2011

Rumusan Masalah :

1) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diatur dalam Undang-

Undang, apakah memiliki fungsi berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman?

2) Bagaimana eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai

lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?

3. Judul skripsi : Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) dalam Upaya Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Penulis : Diah Yustiasari

14

Tempat : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Tahun : 2007

Rumusan Masalah :

1) Bagaimanakah Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

dalam Upaya Menanggulangi Tindak Pidana Korupsi?

2) Bagaimanakah Upaya-Upaya yang dilakukan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dalam Penanggulangan tindak Pidana Korupsi?

1.5. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan penelitian ini, meliputi :

a. Tujuan Umum :

Adapun tujuan umum penulisan penelitian ini adalah :

1. Untuk memberikan penjelasan tentang kewenangan KPK perspektif

peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada sistem

ketatanegaraan Indonesia.

2. Untuk mengetahui sejauh mana eksistensi KPK sebagai lembaga ad hoc

di masa yang akan datang.

3. Sebagai sumbangan pikiran khususnya yang membutuhkan

pengetahuan lebih dalam pada bidang Hukum Ketatanegaraan,

khususnya Hukum Kelembagaan Negara.

b. Tujuan Khusus

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

15

1. Untuk mengetahui kewenangan KPK dalam penyidikan dan

penuntutan tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengidentifikasi

kekaburan norma dalam pasal 9 UU KPK.

2. Untuk mengetahui peranan KPK dalam menangani kasus tindak pidana

korupsi sebagai lembaga penyidik terkait kewenangannya dalam

peraturan Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku saat ini.

1.6 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang

kewenangan lembaga Negara khususnya KPK. Selain itu juga dapat

memberikan pemahaman tentang kewenangan KPK sebagai lembaga

penyelidik, penyidik, dan penuntutan tindak pidana korupsi sesuai dengan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat digunakan

sebagai pengembangan ilmu di bidang hukum tata negara khususnya

hukum kelembagaan negara dan dapat dijadikan refrensi bagi dosen dan

mahasiswa dalam perkuliahan.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberi

sumbangan pemikiran tentang perlunya keteraturan dalam membentuk

undang-undang, agar tidak terjadinya kekeburan norma ataupun konflik

16

norma dalam pemberian kewenangan bagi setiap Lembaga Negara

khususnya pengaturan kewenangan KPK itu sendiri. Selain itu diharapkan

pula dalam praktiknya dapat dijadikan acuan atau pedoman dalam

pemerintahan kedepannya dan pembuatan naskah akademik maupun

rancangan undang-undang. Selain itu, rakyat dan negara juga mendapat

jaminan bahwa tindak pidana korupsi dapat segera diberantas oleh KPK

dengan memperhatikan check and balences. Selain itu juga manfaat yang

dapat menegakkan prinsip negara hukum dalam konstitusi yang menjadi

prinsip utama negara tidak diabaikan.

1.7 Landasan Teoritis

Dalam bagian ini dideskripsikan konsep-konsep, asas-asas hukum dan

pendapat para sarjana yang berkaitan kewenangan KPK sebagai lembaga

penegak hukum. Selain itu dideskripsikan juga tentang peraturan Perundang-

undangan sebagai justifikasi yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Kegunaan dari tinjauan pustaka ini selain untuk memberikan

pembenaran akademis juga untuk melakukan klarifikasi-klarifikasi. Adapun

Teori-teori yang digunakan adalah sebagai berikut:

1.7.1 Teori Jenjang Norma Hukum

Teori jenjang norma hukum ini dikemukakan oleh Hans

Kelsen. Teori ini juga dikenal dengan sebutan Stufentheory. Teori ini

menyatakan bahwa norma-norma hukum berjenjang-jenjang dan

17

berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan peraturan, yaitu

bahwa suatu norma yang lebih tinggi, lalu norma yang lebih rendah

berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, lalu

norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi lagi, demikianlah seterusnya sampai pada norma

dasar. Norma dasar ini merupakan aturan yang terlebih dahulu

ditetapkan oleh masyarakat sebagai gantungan bagi norma-norma

yang ada di bawahnya.11

Salah satu ciri khas dari hukum yang satu menentukan cara

untuk membuat norma hukum lainnya hingga pada derajat tertentu

menentukan isi dari norma lainnya. Karena batas berlakunya suatu

norma hukum dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma

hukum lainnya. Hubungan antara norma hukum yang mengatur

pembentukan norma lain dengan norma yang dibentuk menurut cara

yang ditentukan oleh norma hukum lain: dapat digambarkan sebagai

hubungan antara super ordinant dan sub ordinant . norma yang

menetukan norma lainnya adalah norma yang lebih tinggi, lalu norma

yang dibentuk berdasarkan peraturan itu adalah norma yang lebih

rendah. Kesatuan norma ini, ditunjukkan oleh fakta bahwa

pembentukan norma yang lebih rendah, ditentuka oleh norma yang

lebih tinggi, yang pembentukanya juga ditentukan oleh norma dasar

11

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar Dan

Pembentukannya, cet. 1. Kanisius, Yogyakarta, h. 25.

18

tertinggi yang menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tata

hukum dalam suatu negara.12

1.7.2 Konsep Pembagian Kekuasaan

Dalam perkembangan sejarah, teori dan pemikiran tentang

pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara

berkembang sangat pesat. Variasi struktur dan fungsi organisasi dan

institusi kenegaraan itu berkembang dalam banyak ragam dan bentuk,

baik ditingkat pusat dan lokal. Gejala perkembangan seperti

ini,merupakan kenyataan yang tak terelakkan karena tuntutan keadaan

dan kebutuhan yang nyata, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan

budaya. 13

Teori pembagian kekuasaan mengajarkan bahwa dalam suatu

negara terdapat tiga jenis kekuasaan yang disebut Trias Politica.

Konsep tentang pembagian kekuasaan yang paling berpengaruh

adalah gagasan dari Montesquieu. Hal itu karena doktrin trias politica

yang dinisbatkan oleh Mostesquieu yang mengandaikan bahwa tiga

fungsi kekuasaan negara selalu harus tercermin di dalam tiga jenis

organ negara.

12

Hans Kelsen, 2007, Teori Umum Dan Negara : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif

Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Soemardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, h.

155. 13

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan Dan Konsiliasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

Jakarta, h.35.

19

Menurut Montesquieu di setiap negara selalu terdapat tiga

cabang kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam struktur

pemerintahan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan cabang

kekuasaan yudikatif yang berhubungan dengan pembentukan hukum

dan undang - undang negara, dan cabang kekuasaan eksekutif yang

berhubungan dengan penerapan hukum sipil. (in every government,

there are three sorts of powers: the legislative in respect to things

dependent on the law of nations; and the executive in regard to

matters that depend on civil law).14

Menurut Lee Cameron Mcdonald, yang dimaksudkan oleh

Montesquieu dengan perkataan “the executive in regard to matters

that depend on the civil law” itu tidak lain adalah the yudiciary.

Ketiga fungsi kekuasaan tersebut, yaitu legislative, executive atau

pemerintah dan yudiciary.15

Yang diidealkan oleh Baron de Montesquieu (1689-1785)

adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu harus dilembagakan

masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh

menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri

urusan masing-masing dalam arti yang mutlak.

Konsepsi trias politica yang diidealkan oleh Montesquieu ini

memang dikenal luas dengan pandangannya tentang konsep

pemisahan kekuasaan atau separation of powers. Misalnya oleh Lee

14

Lee Cameron Mcdonald, 1968, Western Political Theory, Part I, Pomona Collage,

1968, h. 377-379. 15

Jimly Asshiddiqie, op.cit.

20

Cameron Mcdonald dikatakan, “ in dozens of books and thousands of

lectures of examination papers the name Montesquieu mean one thing

separation of powers”.16

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga negara itu

dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif.

1.7.3 Teori Kewenangan

Wewenang dalam bahasa Inggris disebut authority atau dalam

bahasa Belanda bovedegheid. Arti singkat dari wewenang adalah

kekuasaan yang sah/ legitim. Menurut Philipus M. Hadjon, “

wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum

(rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan

dengan kekuasaan.”17

F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan HR berpendapat

“Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het

vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen

tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen”

(kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai

kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu

16

Charles Louis De Secondat, 1968, “Baron De La Brede Et De Montesquieu”, Pomona

Collage, h. 377-379. 17

Philipus M. Hadjon, 1997, ”Tentang Wewenang”, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII,

September – Desember, h.1

21

dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga

negara)18

Ferrazi mendefinisikan kewenangan sebagai hak untuk

menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi

pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan

pengawasan (supervisi) atau suatu urusan tertentu.19

Adapun unsur-unsur kewenangan dapat dibagi menjadi tiga,

yakni:

a. Pengaruh: ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk

mengendalikan perilaku subyek hukum.

b. Dasar hukum: bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk

dasar hukumnya, dan

c. Konformitas hukum: mengandung makna adanya standard

wewenang, yaitu standard umum (semua jenis wewenang) dan

standard khusus (untuk jenis wewenang tertentu)”.

Menurut Indroharto, mengemukakan tiga macam kewenangan

yang bersumber dalam peraturan perundang-undangan. Kewenangan

itu, meliputi:

1. Atribusi;

2. Delegasi; dan

3. Mandat.20

18

Ridwan HR, 2006,Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta , h. 100 19

Ganjong, 2007, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor: Ghalia

Indonesia, h. 93 20

Ridwan HR. 2008, Hukum Administrasi Negara, : Raja Grafindo Persada, Jakarta , h. 104.

22

Sedangkan menurut F.A,M. Stroink dan J.G. Steenbeek, seperti

dikutip oleh Ridwan HR, mengemukakan bahwa dua cara organ

pemerintah memperoleh kewenangan, yaitu:

1. Atribusi; dan

2. Delegasi.21

Kedua cara organ pemerintah dalam memperoleh kewenangan

itu, dijadikan dasar atau teori untuk menganalisis kewenangan dari

aparatur negara di dalam menjalankan kewenangannya.

Selain itu Philipus M. Hadjon membagi cara memperoleh

wewenang atas dua cara, yaitu:

1. Atribusi; dan

2. Delegasi dan kadang-kadang juga mandat.22

Pengertian atribusi merupakan wewenang untuk membuat

keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-Undang

dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal

untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Sehingga tampak jelas

bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ

pemerintah adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh

langsung dari peraturan perundang-undangan (utamanya UUD 1945).

Dengan kata lain, atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang

21

Ibid, h. 105. 22

Philipus M. Hadjon, 1998, “Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuurbevoegdheid), Pro

Justitia Tahun XVI Nomor I Januari 1998, h. 90.

23

sebelumnya kewenangan itu, tidak dimiliki oleh organ pemerintah

yang bersangkutan.

Sedangkan delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang

untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha

Negara) kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini

berarti adanya perpindahan tanggung jawab dan yang memberi

delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris).

Selain itu mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang

kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang

kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat Tata

Usaha Negara yang memberi mandat. Tanggungjawab tidak berpindah

ke mandataris, melainkan tanggungjawab tetap berada di tangan

pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama). Dengan

demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya

keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah tanggung jawab si

pemberi mandat.

Setiap wewenang itu dibatasi oleh isi/materi (materiae),

wilayah/ruang (locus), dan waktu (tempus). Cacat dalam aspek-aspek

tersebut menimbulkan cacat wewenang atau dalam artian bahwa di

luar-luar batas-batas itu suatu tindakan pemerintahan merupakan

tindakan tanpa wewenang (onbevoegdheid).

Suatu perbuatan hukum yang cacat hukum jika perbuatan

tersebut dilakukan tanpa wewenang/alas hak yang jelas (cacat

24

wewenang), dilakukan melalui prosedur yang tidak benar (cacat

prosedur), dan substansi perbuatan itu sendiri (cacat substansi). Cacat

wewenang mengakibatkan suatu perbuatan menjadi batal demi hukum

(van rechtswege nietig). Cacat prosedur hanya tidak akan

menyebabkan suatu perbuatan menjadi batal demi hukum, melainkan

hanya dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar). Cacat substansi

dapat berakibat pada batalnya suatu perbuatan hukum (nietig).

1.7.5 Penerapan Hukum

Konsep dan teori mengenai penerapan hukum dalam konteks

civil law system hakikatnya konsep dan teori mengenai penemuan

hukum atau Law finding oleh hakim. Dikemukakan oleh Peter

Mahmud Marzuki bahwa” The issue of law finding is a typical

continental European jurisprudence issue. This is not the case in

Anglo American legal system.”23

Dalam konteks demikian, menurut Achmad Ali , yuris Eropa

Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi

dengan metode kontruksi , yang dapat dilihat pada buku-buku

karangan Paul Scholten, Pitlo, ataupun Sudikno Mertokusumo.

Berdasarkan kelaziman, metode yang digunakan oleh hakim

untuk menemukan hukum, diantaranya : metode interpretasi atau

23

Peter Mahmud Marzuki (II) , 2004, The Juds Taskto find Law Under the Indonesian law,

fakultas Hukum Universitas Airlangga, h.85.

25

hermeuneutika, metode argumentasi, dan penemuan hukum bebas.

Metode interpretasi meliputi:

1. menurut bahasa atau gramatikal,

2. teleologis atau sosiologis,

3. sistematis atau logis,

4. historis,

5. perbandingan hukum (komparatif),

6. futuristis,

7. penegakan hukum wajib menurut hukum.

Dalam pelaksanaan penegakan hukum wajib mengikuti

ketentuan aturan hukum, penegakan hukum yang dilakukan tidak

menurut hukum dapat berakibat batal demi hukum atau null and void,

van rechtwege nieting.

Asas equality before the law yang artinya perlakuan hukum

yang sama bagi semua orang , dalam eksistensinya masih sangat jauh

dari norma yang ada. UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan

kehakiman, dalam Pasal 4 ayat (1) mengatakan bahwa “ Pengadilan

mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

Mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang,

karena alasan ras, suku, agama maupun latar belakang bukan hanya

berlaku dalam pengadilan saja tetapi maknanya juga dalam

pelaksanaan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang lain

26

untuk melaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan tidak

membeda-bedakan orang.

Peran penegak hukum harus dapat menjamin keseimbangan

antara rasa keadilan, kegunaan atau kemanfaatan, dan kepastian hukum

dalam pelaksanaan penegakan hukum untuk menemukan kepuasan

bagi mereka yang mendambakan keadilan.

1.8 Metode Penelitian

Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan disini adalah yuridis normatif.

Penelitian yang dikaji secara yuridis normatif adalah mengkaji

permasalahan yang timbul dengan berlandasakan aturan-aturan hukum,

teori-teori dan penerapan aturan hukum yang berlaku.24

b. Jenis Pendekatan

Dalam penulisan skripsi ini, dirasakan perlu untuk menggunakan

pendekatan masalah agar tercermin sebagai karya ilmiah. Pendekatan

masalah yang digunakan adalah pendekatan analisis konsep hukum

(analitical dan conseptual approach), Pendekatan Perundang-undangan

24

Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Raja Grafindo Persada Jakarta, h. 14.

27

(the statute approach) dan pendekatan fakta (the Fact Approach).

Pendekatan konseptual dilakukan dengan menelaah aturan-aturan hukum

yang ada dalam UU KPK maupun Peraturan Perundang-undangan terkait

dengan kewenangan lembaga negara tersebut.

Pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang menyangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

c. Bahan hukum

Dalam penulisan karya ilmiah ini diperlukan bahan hukum guna

menunjang penelitian yang akan dilaksanakan. karena penelitian ini

bersifat yuridis normatif, maka bahan hukum yang digunakan terdiri atas:

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan

mengikat.25

Jika ditinjau dari hukum nasional, maka bahan hukum primer

yang digunakan dalam skripsi ini adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;

3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

25

Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, h. 10.

28

5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

2. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat

hubungannya dengan bahan hukum primer.26

Contohnya: buku, artikel,

laporan penelitian dan berbagai karya tulis ilmiah lainnya.27

Bahan

hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berupa

buku-buku literatur, karya ilmiah/pendapat para sarjana dan artikel

yang berkaitan erat dengan pokok bahasan yang dibahas dalam

permasalahan.

3. Bahan hukum tersier, yaitu sumber bahan hukum berupa sumber

nonhukum yang menjelaskan bahan hukum primer maupun sekunder.

Bahan hukum tersier dalam penulisan ini terdiri atas kamus hukum,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan buku-buku pelajaran yang bersifat

non hukum.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk menunjang penelitian penulisan skripsi ini, maka teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode bola salju

(snow ball methode).

e. Teknis analisis

Penulisan skripsi ini pada dasarnya adalah bersifat mencari dasar-

dasar hukum dari ketentuan Pasal dalam peraturan Perundang-undangan

26

Ibid, h. 12. 27

Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h. 103.

29

yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu teknik

analisis terhadap bahan hukum yang digunakan adalah dengan

menggunakan teknik deskripsi dan interpretasi dalam bentuk sistematis

dan gramatikal, yaitu

dengan memperhatikan fenomena hukum yang ada di masyarakat,

seperti mendeskripsikan salah satu kasus tindak pidana korupsi BLBI yang

diambilaih oleh KPK karena penanganannya yang berlarut-larut dan lain-

lain seperti alasan yang ada dalam Pasal 9 UU KPK.

30

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(KPK) SEBAGAI LEMBAGA NEGARA DALAM KETATANEGARAAN

INDONESIA

2.1 Istilah dan Pengertian Lembaga Negara

Lembaga Negara bukanlah konsep yang secara terminologis memiliki

istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk menyebut

lembaga Negara digunakan istilah political institution, sedangkan dalam

terminology Bahasa Belanda terdapat istilah staat organen. Sementara itu,

bahasa Indonesia menggunakan lembaga Negara, badan Negara, atau organ

Negara.28

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),kata “lembaga ”

diartikan sebagai (1) asal mula (yang menjadi sesuatu) ; bakal (binatang,

manusia, dan tumbuhan); (2) bentuk (rupa, wujud) yang asli; (3) acuan; ikatan;

(tentang mata cincin dsb); (4) badan (organisasi) yang tujuannya melakukan

sesuatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (5) pola

prilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu

kerangka nilai yang relevan. Kamus tersebut juga memberi contoh frasa

menggunakan kata lembaga, yaitu lembaga pemerintahan yang diartikan

badan-badan pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Jika kata

pemerintahan diganti dengan kata Negara, diartikan badan-badan Negara di

28

Sri Soemantri, 2004, Eksistensi System Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD

1945, Makalah Proseeding diskusi Publik, komisi Revormasi hokum Nasional (KRHN), Jakarta

31

semua lingkungan pemerintahan Negara (khususnya di lingkungan eksekutif,

yudikatif, legislatife).

Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu Negara atau yang lazim

disebut sebagai lembaga Negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna

melaksanakan fungsi-fungsi Negara.29

Berdasarkan teori-teori klasik mengenai

Negara setidaknya terdapat beberapa fungsi Negara yang paling penting

seperti fungsi membuat kebijakan peraturan perundang-undangan (fungsi

legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau penyelenggaraan pemerintahan

(fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudikatif).

Lembaga Negara adalah organ Negara yang menjalankan fungsi

Negara untuk mewujudkan tujuan Negara.30

Lembaga Negara dapat dibedakan

berdasarkan:31

1. Fungsi yang dimilikinya,

2. Kedududkan, atau

3. Peraturan yang menjadi dasar pemebentukannya.

Menurut George Jellinek, lembaga Negara berdasarkan kedudukan

dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:32

1. Lembaga Negara langsung (unmittenbare organ), yaitu lembaga Negara

yang menentukan ada atau tidak adanya Negara.

29

Moh. Kusnardi dan Bintang Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media

Pratama, Jakarta. 30

H. Ahmad roestandi, SH, 2006, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab, Sekretariat

Jenderal dan kepaniteraan mahkamah Konstitusi, Jakarta, h. 53. 31

ibid, h. 107. 32

Ibid.

32

2. Lembaga Negara yang tidak langsung (mittenbare organ), yaitu lembaga

Negara yang bergantung pada lembaga negara yang langsung.

Selain itu penggolongan lain berdasarkan kedudukannya dibedakan

menjadi:

1. Lembaga Negara utama atau lembaga Negara primer (main state’s

organ/primary constitutional organ), yaitu lembaga Negara yang dibentuk

untuk menjalankan salah satu cabang kekuasaan Negara (legislative,

eksekutif, yudikatif).

2. Lembaga Negara penunjang atau lembaga Negara pendukung (auxiliary

organs), yaitu lembaga Negara yang dibentuk untuk memperkuat lembaga

Negara utama dalam menjalankan kekuasaannya.

Khusus di Indonesia , lembaga Negara berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang membentuknya dapat dibedakan menjadi33

:

1. Lembaga Negara yang dibentuk/disebut/atau diberi wewenang oleh UUD

NRI Tahun 1945.

2. Lembaga Negara yang dibentuk/disebut/atau diberi wewenang oleh

undang-undang, seperti KPK.

3. Lembaga Negara yang dibentuk/disebut/atau diberi wewenang oleh

Keputusan Presiden.

Sebagaimana dikutip oleh Alder, menurut Jennings terdapat beberapa

alasan yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara pembantu, alasan-

alasan tersebut yakni:34

33

Firmansyah Arifin et.Al, Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga

Negara. Konsorsium reformasi hokum Nasional (KRHN), Jakarta, h. 66.67.

33

1. The need to provide cultural or personal service supposedly free from the

risk of political interference.

2. The desirability of non-political regulation of markets.

3. The regulation of independent professions such as medicine and the law.

4. The provision of technical service

5. The creations of informal judicial machinery for setting disputes

Selain itu, menurut Alder berdasarkan kedudukan hukumnya lembaga

tersebut dapat dibagi kedalam 5 (lima) klasifikasi, yakni:35

1. Most are statutory and have separate legal identity. Their powers and

duties depend entirely on the particular statute.

2. Some are created by administrative actions.

3. Some are created by contract agreement within an organisation.

4. Some are entirely voluantary creations whose members have non special

legal status and who depend upon either consent or back government.

5. Some are ordinary companies in which the government has acquired

substantial shareholdings.

Dengan demikian KPK dapat dikatakan sebagai lembaga Negara

pembantu (auxiliary organs). Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga

Negara atau alat-alat kelengkapan Negara adalah selain untuk menjalankan

fungsi Negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual.

Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan

34

John Alder, Constitutions and Administrative Law, (London: The Macmillan Press

LTD, 1989), h. 225 35

Gerry Stoker, The Politic of Local Government, (London: The Mac. Millian Press,

1991), h. 63.

34

proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan

fungsi Negara atau istilah yang digunakan Sri Soemantri adalah actual

governmental process.36

Meskipun dalam prakteknya tipe lembaga-lembaga

Negara yang adopsi setiap Negara bisa berbeda, secara konsep lembaga-

lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga

membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi Negara

dan secara ideologis mewujudkan tujuan Negara jangka panjang.

2.2 Sejarah KPK

Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang

dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan.

Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui

pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen

serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak

pidana korupsi, yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif, efektif,

professional serta berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi

hukum, pemerintah telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam

usaha menerangi tindak pidana korupsi.

Gagasan pembentukan KPK sebenarnya diawali oleh TAP MPR No.

11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme (KKN). Menindaklanjuti amanat itu, DPR dan pemerintah

kemudian membuat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

36

Sri Soemantri, 2004, Eksistensi System Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD

1945, Makalah Proseeding diskusi Publik, komisi Revormasi hokum Nasional (KRHN), Jakarta.

35

Ketika pembahasan UU itulah, muncul gagasan dari beberapa orang Fraksi

PPP seperti Zein Badjeber, Ali Marwan Hanan dkk. Mereka mengusulkan

untuk menambah bab tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.”Yang saya

ingat usulan itu bukan ketikan komputer, tetapi manual,” kenang Ketua KPK

Taufiequrachman Ruki. Mereka ingin agar ini dijadikan bab tersendiri,

merupakan bagian dari RUU tersebut.

Tapi usulan itu ditolak Fraksi ABRI. “Argumentasinya, adalah tidak

logis menambah bab dalam RUU. Kalau penambahan satu pasal atau ayat

biasa. Kedua, dilihat dari usulannya, penambahan bab ini belum dikaji secara

yuridis maupun semantik,” tutur Ruki yang ketika itu adalah juru bicara Fraksi

ABRI. Menurut Ruki, untuk membangun sebuah lembaga atau komisi yang

diberikewenangan sebesar itu, tidak bisa dirancang dengan pemikiran sesaat.

Harus dilakukan pengkajian yang betul dengan segala aspeknya. Karena itu,

Fraksi ABRI terpaksa menolak penambahan satu bab ini. Tapi soal

pembentukan KPK,mereka setuju.Karena itu, kemudian disepakati amanat

pembentukan KPK akan dimuat dalam aturan peralihan UU No. 31 tahun

1999. Akhirnya, aturan peralihan UU No. 31 tahun 1999 mengamanatkan agar

paling lambat 2 tahun setelah UU itu disahkan, KPK sudah dibentuk.

Menurut kesaksian Zain Badjeber, konsep dari Fraksi PPP

menginginkan agar seluruh penanganan perkara korupsi dialihkan ke KPK,

namun fraksi lain tidak setuju. "Agar barang itu (KPK) cepat jadi, akhirnya

36

PPP mengalah, sehingga kepolisian dan kejaksaan juga berwenang menangani

korupsi", katanya.37

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri resmi dibentuk pada

Desember 2003 berdasarkan UU No.30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk

karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi

belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana

korupsi.

KPK adalah suatu komisi organik, yaitu komisi yang lahir dari

Undang-Undang yakni selanjutnya disebut UU KPK. Pengertian KPK yang

termaktub dalam Pasal 3 UU KPK berbunyi :

“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari

pengaruh kekuasaan manapun.”

Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU KPK, Komisi Pemberantasan

Korupsi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan wilayah

kerjanya meliputi seluruh wilayah Negara Indonesia dan Komisi

Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah Provinsi.

37 Pradirwan, 2014, “Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”, available from :

URL : http://www.pradirwan.tk/2014/07/sejarah-komisi-pemberantasan-korupsi-kpk.html, diakses

tahun 2014.

37

KPK dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil

guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi meningkatkan daya

guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan

tindak pidana korupsi;

3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak

pidana korupsi;

4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, sebagaimana diatur

dalam Pasal 5 UU KPK, KPK berasaskan pada:

a. kepastian hukum;

b. keterbukaan;

c. akuntabilitas;

d. kepentingan umum; dan

e. proporsionalitas.

38

Adapun visi dan misi KPK adalah sebagai berikut:

Visi

Mewujudkan Lembaga yang Mampu Mewujudkan Indonesia yang Bebas dari

Korupsi

Misi

Pendobrak dan Pendorong Indonesia yang Bebas dari Korupsi Menjadi

Pemimpin dan Penggerak Perubahan untuk Mewujudkan Indonesia yang

Bebas dari Korupsi

Regulasi KPK

Pengaturan mengenai dasar hokum dan kewenangan KPK sebagai

Lembaga Negara dapat dilihat pada beberapa peraturan Perundang-Undangan

berikut ini:38

Dasar hukum KPK

1. UU RI No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

2. Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi

Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

3. PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

38 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, 2015, “Komisi Pemberantasan

Korupsi Republik Indonesia”, available from : URL :

https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indonesia, diakses

tanggal 21 Mei 2015.

39

Undang-Undang

1. UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang

Bersih dan Bebas Dari KKN

2. UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

3. UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4. UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun

2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Peraturan Pemerintah

1. PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta

Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

2. PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Sampai dengan saat ini, tercatat ada 5 orang yang telah memimpin KPK.

Mereka adalah :39

No Nama Mulai

Jabatan

Akhir

Jabatan

1 Taufiequrachman Ruki 2003 2007

2 Antasari Azhar 2007 2009

3 Tumpak Hatorangan

Panggabean (Pelaksana

Tugas)

2009 2010

4 Busyro Muqoddas 2010 2011

5 Abraham Samad 2011 2015

39

Ibid.

40

2.3 Struktur KPK

Struktur organisasi KPK ditentukan sebagaimana diatur dalam Pasal

21 sampai dengan Pasal 28 UU KPK, sebagai berikut:40

Pasal 21

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3

terdiri atas

a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima)

Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;

b. Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota; dan

c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.

(2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a disusun sebagai berikut:

a. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap Anggota; dan

b. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas 4 (empat)

orang, masing-masing jika merangkap Anggota.

(3) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a adalah pejabat negara.

(4) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum.

40

Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,

Jakarta,h.197.

41

(5) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) bekerja secara kolektif.

(6) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a adalah penanggung jawab tertinggi Komisi Pemberantasan

Korupsi.

Pasal 22

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat Tim Penasihat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang diajukan oleh

panitia seleksi pemilihan.

(2) Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan calon dan melakukan

kegiatan mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan dan masukan

dari masyarakat.

(4) Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk mendapat tanggapan

sebelum ditunjuk dan diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi

berdasarkan calon yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan.

42

(5) Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia seleksi pemilihan

mengajukan 8 (delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada Komisi

Pemberantasan Korupsi untuk dipilih 4 (empat) orang anggota.

(6) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),

dan ayat (5) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal

panitia seleksi pemilihan dibentuk.

Pasal 23

Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan

kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pelaksanaan tugas

dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 24

(1) Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah

warga negara Indonesia yang karena kepakarannya diangkat oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi.

(2) Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah warga negara Indonesia yang karena

keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi

Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi

Pemberantasan Korupsi.

43

Pasal 25

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi:

a. menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan

tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

b. mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat,

Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi

Pemberantasan Korupsi;

c. menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.

(2) Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi Pemberantasan Korupsi

diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 26

(1) Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Ketua Komisi

Pemberantasan Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi

Pemberantasan Korupsi.

(2) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

membawahkan 4 (empat) bidang yang terdiri atas:

a. Bidang Pencegahan;

b. Bidang Penindakan;

c. Bidang Informasi dan Data; dan

d. Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.

44

(3) Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a

membawahkan:

a. Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan

Penyelenggara Negara;

b. Subbidang Gratifikasi;

c. Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan

d. Subbidang Penelitian dan Pengembangan.

(4) Bidang penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b

membawahkan:

a. Subbidang Penyelidikan;

b. Subbidang Penyidikan; dan

c. Subbidang Penuntutan.

(5) Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c

membawahkan:

a. Subbidang Pengolahan Informasi dan Data;

b. Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi

c. Subbidang Monitor.

(6) Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf d membawahkan:

a. Subbidang Pengawasan Internal;

b. Subbidang Pengaduan Masyarakat.

45

(7) Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan Subbidang

Penuntutan, masing-masing membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai

dengan kebutuhan subbidangnya.

(8) Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing Subbidang

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6),

dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan

Korupsi.

Pasal 27

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan

Korupsi dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang

Sekretaris Jenderal.

(2) Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia.

(3) Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal bertanggungjawab kepada

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

(4) Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat Jenderal ditetapkan lebih

lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pasal 28

Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain

dalam rangka pengembangan dan pembinaan organisasi Komisi Pemberantasan

Korupsi.

46

Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi No. PER-08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 Tentang

Organisasi dan Tata Kerja KPK.41

Adapun penjelasan mengenai keputusan

tersebut dapat dijelaskan melalui bagan berikut ini:

41

KPK, 2015, “Struktur KPK ”, available from : URL : http/www.kpk.go.id/id/tentang-

kpk/struktur-organisasi, diakses tahun 2015.

47

Berdasarkan bagan diatas dapat dijelaskan deputi masing-masing

bagian sebagai berikut:

a) Deputi Pencegahan

Deputi Bidang Pencegahan mempunyai tugas menyiapkan

rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Pencegahan

Tindak Pidana Korupsi.

Deputi Bidang Pencegahan menyelenggarakan fungsi:42

a. Perumusan kebijakan untuk sub bidang Pendaftaran dan

Penyelidikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP

LHKPN), Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta

Penelitian dan Pengembangan;

b. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendataan, pendaftaran dan

pemeriksaan LHKPN;

c. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penerimaan pelaporan dan

penanganan gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau

Penyelenggara Negara

d. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui pendidikan anti korupsi,

sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi dan kampanye

antikorupsi;

e. Pelaksanaan pencegahan korupsi melalui penelitian, pengkajian dan

pengembangan pemberantasan korupsi;

42

KPK, 2015, “Deputi Pencegahan ”, available from : URL

:http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pencegahan, diakses tahun 2015

48

f. Koordinasi dan supervisi pencegahan tindak pidana korupsi kepada

instansi terkait dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan

publik;

g. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di

lingkungan Deputi Bidang Pencegahan.

h. Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan

hubungan kerja pada sub bidang Pendaftaran dan Penyelidikan

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaran Negara (PP LHKPN),

Gratifikasi, Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat serta Penelitian

dan Pengembangan;

i. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan

bidangnya.

Deputi Bidang Pencegahan dipimpin oleh Deputi Bidang Pencegahan

dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan

KPK;

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Pencegahan

dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari

satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pencegahan

yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi Bidang Pencegahan.

Deputi Bidang Pencegahan membawahkan:43

1) Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan

Penyelenggara Negara (PP LHKPN);

43

Ibid.

49

2) Direktorat Gratifikasi;

3) Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat;

4) Direktorat Penelitian dan Pengembangan;

5) Sekretariat Deputi Bidang Pencegahan.

b) Deputi Penindakan

Deputi Bidang Penindakan mempunyai tugas menyiapkan rumusan

kebijakan dan melaksanakan kebijakan di Bidang Penindakan Tindak

Pidana Korupsi.

Deputi Bidang Penindakan menyelenggarakan fungsi :44

a. Perumusan kebijakan untuk sub bidang Penyelidikan, Penyidikan

dan Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara

TPK oleh penegak hukum lain;

b. Pelaksanaan penyelidikan dugaan TPK dan bekerjasama dalam

kegiatan penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

lain;

c. Pelaksanaan penyidikan perkara TPK dan bekerjasama dalam

kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum lain;

d. Pelaksanaan penuntutan, pengajuan upaya hukum, pelaksanaan

penetapan hakim & putusan pengadilan, pelaksanaan tindakan

hukum lainnya dalam penanganan perkara TPK sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

44

KPK, 2015, “Deputi Penindakan ”, available from : URL :

http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-penindakan, diakses tahun 2015

50

e. Pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap aparat

penegak hukum lain yang melaksanakan kegiatan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan perkara TPK;

f. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan, pembinaan sumberdaya dan

dukungan operasional di lingkungan Deputi Bidang Penindakan;

g. Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan

hubungan kerja pada bidang Penyelidikan, Penyidikan dan

Penuntutan serta Koordinasi dan Supervisi penanganan perkara TPK

oleh penegak hukum lain; dan

h. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan

bidangnya.

Deputi Bidang Penindakan dipimpin oleh Deputi Bidang Penindakan

dan bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan

KPK.

Deputi Bidang Penindakan membawahkan:45

1) Direktorat Penyelidikan;

2) Direktorat Penyidikan;

3) Direktorat Penuntutan;

4) Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi; dan

5) Sekretariat Deputi Bidang Penindakan.

45

Ibid.

51

c) Deputi Informasi dan Data

Deputi Bidang Informasi dan Data mempunyai tugas menyiapkan

rumusan kebijakan dan melaksanakan kebijakan pada Bidang Informasi

dan Data.

Deputi Bidang Informasi dan Data menyelenggarakan fungsi:46

a. Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengolahan Informasi dan

Data, Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi dan

Monitor;

b. Pemberian dukungan sistem, teknologi informasi dan komunikasi di

lingkungan KPK;

c. Pelaksanaan pembinaan jaringan kerja antar komisi dan instansi

dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK;

d. Pengumpulan dan analisis informasi untuk kepentingan

pemberantasan tindak pidana korupsi, kepentingan manajerial

maupun dalam rangka deteksi kemungkinan adanya indikasi tindak

pidana korupsi dan kerawanan korupsi serta potensi masalah

penyebab korupsi;

e. Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya di

lingkungan Deputi Bidang Informasi dan Data;

f. Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan

hubungan kerja pada bidang Pengolahan Informasi dan Data,

46

KPK, 2015, “Deputi Informasi dan Data ”, available from URL:

http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-informasi-dan-data, diakses tahun

2015

52

Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi dan Monitor;

dan

g. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan

bidangnya.

Deputi Bidang Informasi dan Data dipimpin oleh Deputi Informasi

dan Data serta bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada

Pimpinan KPK;

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang Informasi

dan Data dapat membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya

berasal dari satu Direktorat atau lintas Direktorat pada Deputi

Bidang Informasi dan Data yang ditetapkan dengan Keputusan

Deputi Bidang Informasi dan Data;

Deputi Bidang Informasi dan Data membawahkan:47

1) Direktorat Pengolahan Informasi dan Data;

2) Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi;

3) Direktorat Monitor; dan

4) Sekretariat Deputi Bidang Informasi dan Data;

d) Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat

Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan

Masyarakat mempunyai tugas menyiapkan kebijakan dan

47

Ibid.

53

melaksanakan kebijakan di bidang Pengawasan Internal dan

Pengaduan Masyarakat.

Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan

Masyarakat menyelenggarakan fungsi :48

a) Perumusan kebijakan pada sub bidang Pengawasan Internal dan

Pengaduan Masyarakat;

b) Pelaksanaan pengawasan internal terhadap pelaksanaan tugas dan

fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sesuai dengan

peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan

Pimpinan;

c) Penerimaan dan penanganan laporan / pengaduan dari masyarakat

tentang dugaan tindak pidana korupsi yang disampaikan kepada

KPK, baik secara langsung maupun tidak langsung;

d) Pelaksanaan kegiatan kesekretariatan dan pembinaan sumberdaya

di lingkungan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan

Masyarakat;

e) Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan

hubungan kerja pada bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan

Masyarakat; dan

f) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai

dengan bidangnya.

48

KPK, 2015, “Deputi Pengawasan internal dan Masyarakat ”, available from : URL :

http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/deputi-pengawasan-internal-dan-

masyarakat, diakses Tahun 2015.

54

Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan

Masyarakat dipimpin oleh Deputi Bidang Pengawasan Internal dan

Pengaduan Masyarakat dan bertanggungjawab atas pelaksanaan

tugasnya kepada Pimpinan KPK.

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Deputi Bidang

Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat dapat membentuk

Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu Direktorat

atau lintas Direktorat pada Deputi Bidang Pengawasan Internal dan

Pengaduan Masyarakat yang ditetapkan dengan Keputusan Deputi

Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.

Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat

membawahkan:49

1) Direktorat Pengawasan Internal;

2) Direktorat Pengaduan Masyarakat; dan

3) Sekretariat Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan

Masyarakat.

5. Sekretariat Jenderal

Sekretariat Jenderal mempunyai tugas menyiapkan kebijakan

dan pelaksanaan kebijakan administrasi, sumber daya, pelayanan

umum, keamanan dan kenyamanan, hubungan masyarakat dan

pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK

Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi:50

49

Ibid.

55

a) Perumusan kebijakan pada sub bidang administrasi, sumber daya,

pelayanan umum, keamanan dan kenyamanan, hubungan masyarakat

dan pembelaan hukum kepada segenap unit organisasi KPK;

b) Pelaksanaan perencanaan jangka menengah dan pendek, pembinaan

dan pengelolaan perbendaharaan, pengelolaan dana hibah/ donor serta

penyusunan laporan keuangan dan kinerja KPK;

c) Pelaksanaan pemberian dukungan logistik, urusan internal,

pengelolaan aset, pengadaan, pelelangan barang sitaan/ rampasan,

serta pengelolaan dan pengamanan gedung bagi pelaksanaan tugas

KPK;

d) Pelaksanaan pengelolaan sumber daya manusia melalui

pengorganisasian fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia

yang berbasis kompetensi dan kinerja;

e) Pelaksanaan perancangan peraturan, litigasi, pemberian pendapat dan

informasi hukum dan bantuan hukum;

f) Pelaksanaan pembinaan hubungan dengan masyarakat,

pengkomunikasian kebijakan dan hasil pelaksanaan pemberantasan

korupsi kepada masyarakat, penyelenggaraan keprotokoleran KPK

serta pembinaan ketatausahaan KPK;

g) Koordinasi, sinkronisasi, pemantauan, evaluasi dan pelaksanaan

hubungan kerja pada bidang Sekretariat Jenderal; dan

50

KPK, 2015, “Sekretariat Jendral ”, available from : URL

:http/www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/struktur-organisasi/secretariat-jendral, diakses tahun 2015

56

h) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Pimpinan sesuai dengan

bidangnya.

Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan

bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pimpinan KPK;

Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Sekretariat Jenderal dapat

membentuk Kelompok Kerja yang keanggotaannya berasal dari satu

Biro atau lintas Biro yang ditetapkan dengan Keputusan Sekretaris

Jenderal;

Sekretariat Jenderal membawahkan:51

1. Biro Perencanaan dan Keuangan;

2. Biro Umum;

3. Biro Sumber Daya Manusia;

4. Biro Hukum;

5. Biro Hubungan Masyarakat; dan

6. Sekretariat Pimpinan

3.3 Badan-Badan Lain Yang Berwenang Melakukan Penyelidikan,

Penyidikan, Dan Penuntutan dalam Peraturan Perundang-undangan

Indonesia

Telah banyak upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk

untuk mengedepankan hukum sebagai landasan dalam melakukan

51

Ibid.

57

pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi upaya tersebut belum terlihat

hasilnya dan belum memuaskan masyarakat dan hampir tidak menimbulkan

efek jera bagi pelaku kejahatan korupsi merajalela dan hampir merata di

seluruh sektor pembangunan.

Semakin menjalarnya praktek tindak pidana korupsi disebabkan karena

pada masa orde baru sejak tahun 1965 sampai dengan 1997, bahwa aparat

penegak hukum yang melaksanakan tugas memberantas kejahatan korupsi

oleh jaksa, sehingga pemberantasan kasus-kasus kejahatan korupsi tidak

optimal.”52

Dalam Peratuan Perundang-undangan yang ada, terdapat beberapa

institusi yang memiliki kewenangan dan kapasitas masing-masing dalam hal

pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun institusi tersebut dapat

digolongkan menjadi 3 (tiga) berdasarkan Undang-Undang, antara lain :

1. Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002)

2. Kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004)

3. Komisi Pemberantasan Korupsi (Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002)

Adapun komisi/ lembaga yang juga memiliki wewenang dalam halnya

melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yaitu “ Tim

Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) sesuai

dengan keputusan Presiden Republik Indonesia (Kepres) No. 11 Tahun 2005

tanggal 2 Mei 2005.” 53

52

Evi Hertanti, 2009, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23. 53

Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana Normatif Teoritis, Praktik dan

Permasalahannya, P.T Alumni , Bandung.

58

Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim

Tastipikor) dibentuk atas dasar pemenuhan janji kampanye terdahulu Susilo

Bambang Yudhoyono sebelum dirinya dilantik menjadi Presiden Republik

Indonesia.

Timtas Tipikor ini dipertanggungjawabkan langsung oleh Presiden.

Namun pembentukan timtas tipikor ini hanya membuat kinerja pemberantasan

tindak pidana korupsi semakin rumit. Itu sebabnya mengapa tak lama tim ini

dibubarkan sendiri oleh Presiden dan hanya berfokus untuk memperkuat dan

memberdayakan 3 institusi yang memang memiliki kewenangan dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi yakni kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

3.3.1 Kepolisian Negara Republik Indonesia

Polri melaksanakan penyidikan terhadap kejahatan korupsi sejak

KUHAP diundangkan pada tanggal 31 Desember 1981 dan adanya kerjasama

organisasi Polri dengan dibentuknya Direktorat Pidana Korupsi, baik ditingkat

pusat maupun kewilayahan. Walaupun polri telah diberikan kewenangan

untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana Korupsi berdasarkan KUHP

tetapi masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi, karena setiap

hasil pentidikan (berkas perkara) yang telah dibuat oleh penyidik polri oleh

kejaksaan selalu diambilalih untuk ditangani sendiri atau penuntut jaksa yang

sulit untuk dipenuhi

Berdasarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia selanjutnya disebut UU POLRI, dalam Pasal 14

huruf g ditegaskan “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas

59

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.

Dasar hukum yang digunakan kepolisian dalam wewenangnya

melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi antara lain:

1. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana Pasal 6

ayat (1) bahwa penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Dalam pasal 2 juga disebutkan bahwa penyidik melakukan penyidikan

terhadap tindak pidana, tidak ada istilah pidana umum maupun khusus.

Dengan demikian semau tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun

diluar KUHP penyidik berwenang untuk menanganinya.

2. Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang tindak pidana korupsi dalam

Pasal 3 menyebutkan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi

dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku, sekedar tidak

ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

3. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Pasal

26.

4. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-

undang No. 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi Pasal 26

berbunyi, penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan

berdasarkan ketentuan dalam KUHAP.

5. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik

Indonesia Pasal 14 huruf g menyatakan melakukan penyelidikan dan

60

penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara

pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

2.1.2 Kejaksaan Republik Indonesia

Pada Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa “jaksa adalah pejabat

fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak

sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan Undang-

Undang”.

Bertolak dari penjelasan tersebut kejaksaan Republik Indonesia ini

sebagai lembaga Negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan dari pihak

manapun baik pengaruh dari kekuasaan Pemerintah dan kekuasaan lainnya.

Kejaksaan sebagai salah satu penegak hukum dituntut lebih berperan

dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,

penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan

nepotisme (KKN).”54

Dalam Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa :

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk

bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

54

Op Cit, h. 34.

61

Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui

secara jelas semua pekerjaan yang harus dilakuakan penyidik dari permulaan

hingga terakhir yang seluruhnya harus dilakukan berdasarkan hukum. Dasar

hukum yang digunakan dalam wewenangnya melakukan penyelidikan dan

penyidikan dalam tindak pidana korupsi adalah:

a. Pasal 91 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa untuk

mengambil alih berita cara pemeriksaan.

b. Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan ,” dalam waktu dua tahun setelah

Undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara

diberlakukan ketentuan Undang-undang ini, dengan pengecualian untuk

sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut

pada Undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan

tidak berlaku lagi.”

c. Peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 58 tahun 2010 tentang

parubahan atas peraturan pemerintah nomor 27 tahun1983 tentang

pelaksanaan kitab Undang-undang hukum acara pidana.

d. Pasal 30 ayat (1) Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia menjelaskan di bidang pidana. Kejaksaan memiliki

tugas dan wewenang:

1. Melakukan penuntutan;

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap ;

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan bersyarat;

62

4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

Undang-Undang;

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan

pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang

dalam pelaksanaannya dikoodinasikan dengan penyidik.

2.4.3 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Landasan dibentuknya KPK adalah Undang-undang No. 30 Tahun

2002 yang mengatur banyak hal tentang KPK. Dengan diundangkannya

Undang-undang tersebut, telah ditambah banyak ketentuan dalam hal

penyelidikan,penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan yang

menangani kasus korupsi.

Dasar pertimbangan pemerintah menerbitkan UU KPK menurut

pendapat Anwari antara lain:

a. Bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sekarang

belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu

pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara

professional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah

merugikan keuangan Negara, perekonomian Negara, dan menghambat

Pembangunan Nasional.

63

b. Bahwa lembaga pemerintah yang menangani Tindak Pidana Korupsi

belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas Tindak

Pidana Korupsi. 55

Menurut Adami Chazawi, “Undang-undang tersebut pada dasarnya

bersifat menambah atau melengkapi hukum tindak pidana korupsi yang

telah ada dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang

No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan

Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara Negara yang

Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme”.56

Dibentuknya UU KPK digunakan juga sebagai pelengkap hukum

pidana korupsi yang telah ada dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999

jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang

penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme. Undang-undang ini juga digunakan sebagai landasan

dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi yang berwenang mengadili

dan memutuskan perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK

sendiri.

Selain itu juga UU KPK digunakan sebagai dasar dalam

memberantas Tindak Pidana Korupsi dengan metode penegakan hukum

secara luar biasa.

55

Anwari, 2012, Perang Melawan Korupsi Di Indonesia, Institute Pengkajian Masalah

Politik Dan Social Ekonomi, Jakarta, h.6. 56

Adami Chazawi, 2003, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,

BayuMedia Publishing, Jawa Timur, h. 448.

64

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah

meletakkan landasan yang kuat dalam usaha memerangi Tindak pidana

korupsi, yaitu melalui pembentukan badan khusus yang memiliki

kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam

upaya pemebrantasan tindak pidana korupsi. Usaha tersebut diantaranya

dengan memberikan kewenangan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan dalam tindak pidana korupsi.

Landasan yang digunakan KPK dalam melakukan wewenangnya

sebagai institusi adalah:

a. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi Pasal 34 sebagaimana diubah dengan Undang-undang

No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

berbunyi:

1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini

mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi;

2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas

dan wewenang melakukan koordinasi dan supervise, termasuk

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

3. Keanggotaan komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri

atas unsure pemerintah dan unsure masyarakat;

4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,

pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan

komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3)

diatur dengan Undang-Undang.

b. Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi Pasal 6 huruf c menyebutkan Komisi

pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

65

BAB III

KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM

MENGAMBIL ALIH KEWENANGAN PENYIDIKAN DAN

PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI

6.1 Pengambil alihan Kewenangan oleh KPK dalam Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002

Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar

keseluruh tubuh pemerintahan sehingga sejak tahun 1960-an langkah-langkah

pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai masa kini.57

Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus

yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari segi kualitas

yang dilakukan secara sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh

aspek kehidupan masyarakat. Tindak pidana korupsi yang meluas dan

sistematis juga merupakan pelanggaran terhada hak-hak sosial dan hak-hak

ekonomi masyarakat, dan karena itu maka tindak pidana korupsi tidak lagi

dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah telah menja58

di

kejahatan luar biasa.

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan

Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, dan

14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung pelaksanaan

57

Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek

Internasional, Mandar Maju, Jakarta, h. 1.

66

tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30

Tahun 2002.59

Salah satu kewenangan KPK yang terdapat dalam UU KPK

adalah mengambil alih wewenang Polisi dan Kejaksaan dalam melakukan

penyidikan dan penuntutan yang termakub dalam Pasal 8 UU KPK yang

berbunyi sebagai berikut ini:

(1) Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan

pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang

menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam

melaksanakan pelayanan publik.

(2) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih

penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang

sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan

(3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan

atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka

dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang

diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja,

terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan

Korupsi

(4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan

membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala

tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan

tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi

Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) tersebut dijelaskan bahwa kewenangan

KPK adalah mengambil alih penyidikan dan penututan yang sudah menjadi

kewenangan kepolisian dan kejaksaan. Dalam menjalankan tugasnya KPK

dapat melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi serta melakukan penyidikan

dan penuntutan. Maksud dari pasal tersebut bahwa KPK dapat melakukan

59

Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,

Jakarta,h.191.

67

pengambilalihan wewenang lembaga lain. Dalam menjalankan tugasnya

tersebut, maka KPK juga perlu diberikan batasan ataupun alasan yang jelas

untuk mengambil alih kewenangan Lembaga Negara lain. Sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 9 UU KPK yang berbunyi:

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

ditindaklanjuti;

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam ketentuan Pasal 9 tersebut dijelaskan bahwa KPK berhak

mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan jika ada laporan

masyarakat yang tidak ditindaklanjuti oleh Polisi ataupun Kejaksaan. Selain

itu dalam Pasal ini juga disebutkan bahwa proses penanganan korupsi yang

berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat

dipertanggungjawabkan diambil alih penanganannya oleh KPK dan

seterusnya.

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut jelas bahwa KPK berhak

melakukan penyidikan dan penuntutan dengan alasan yang diberikan oleh

UU KPK Pasal 9. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 9 tersebut

tentunya ada beberapa hambatan yang menyebabkan pengambil alihan

wewenang dari Kepolisian dan Kejaksaan ke KPK. Hal ini menunjukkan

68

bahwa ada masalah yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh Kepolisian

dan Kejaksaan sehingga kewenangan mereka diberikan kepada KPK. Oleh

karena itu peran KPK disini sangat dibutuhkan untuk menindaklanjuti

tindak pidana korupsi yang belum bisa ditangani oleh aparat penegak

hukum . Adapun beberapa pokok masalah yang penting terhambatnya

penanganan korupsi selama ini yang ditangani oleh Kejaksaan maupun

Kepolisian, adalah:

1. banyaknya laporan dari masyarakat tentang terjadinya tindak pidana

korupsi yang tidak direspon oleh institusi kejaksaan ataupun

kepilisian baik itu ditingkat pusat maupun daerah, hal ini diperburuk

dengan tindakan institusi kejaksaan atau kepolisian yang tidak

pernah memberikan penjelasan mengenai alasan menagapa laporan

korupsi tersebut tidak ditindak-lanjuti.

2. Hampir sebagaian besar permasalahan yang terjadi dalam

penanganan kasus korupsi berlarut-larut. Banyak ditemui

penanganan yang dilakukan hanya sebatas formalitas seperti

pemeriksaan saksi-saksi dan selanjutnya tidak jelas penanganannya.

3. Dihentikan penyidikan atau penuntutan oleh instansi kepolisian atau

kejaksaan, padahal kenyataanya, padahal perbuatan tersangka

tersebut telah merugikan uang Negara.

4. Hanya menjerat sebagian pelaku, kerap kali kasus penanganan

korupsi tidak menjerat pelaku utamanya, namun hanya meneyentuh

pada level pelaku lapangan saja.

69

5. Tidak dilakukan eksekusi meskipun sudah divonis bersalah oleh

pengadilan, hal ini disebabkan karena putusan bersalah tersebut

tidak diikuti dengan perintah hakim untuk segera memasukkan

terdaka ke dalam penjara

6. Adanya ancaman dan kriminalisasi dari orang tertentu dalam

pelapor kasus korupsi menerima ancaman berupa intimidasi dan

kekeasan terhadap pelaku korupsi.60

Sesuai dengan opini atas hambatan-hambatan yang dihadapi oleh

penegak hukum tersebut, maka KPK telah diberikan wewenang yang luas

oleh pemerintah berupa mengambil alih penyidikan atau penuntutan tindak

pidana korupsi yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan apabila

telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam Pasal 9 UU KPK.

Perkembangan korupsi sampai saat inipun sudah merupakan akibat

dari sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan

tidak terawasi secara baik karena landasan hukum yang digunakan juga

mengandung banyak kelemahan-kelemahan dalam implementasinya.61

Oleh

sebab itu diperlukan adanya kerjasama antar Lembaga Pemerintahan dalam

menangani kasus korupsi, salah satunya adalah pengambilalihan kewenangan

penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi yang diberikan kepada

KPK.

60

Wacana pengambilalihan kasus-kasus korupsi yang macet, tgl. 20 Juli 2006, www.

Legalitas.com. 61

Ibid, h.1

70

Pengambilalihan kewenangan penyidikan atau penuntutan tindak

pidana korupsi oleh KPK merupakan suatu tindakan dalam rangka untuk

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.

Karena penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang

dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai

hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa

melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,

indpenden, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi yang pelaksanaanya dilakukan secara optimal, intensif,

efektif, proporsional dan berkesinambungan.

Awal terbentuknya KPK sama halnya dengan awal terbentuknya

komisi pemberantasan korupsi yang ada di Hongkong yaitu ICAC merupakan

lembaga anti korupsi yang independen. Sama halnya dengan ICAC, KPK juga

diberikan wewenang yang sangat luas dan powerfull dalam melaksanakan

tugas untuk memberantas tindak pidana korupsi. Sehingga wewenang KPK

adalah menerapkan prinsip “keteladanan” yang mengedepankan transparansi,

akuntabilitas, dan akses masyarakat ke dalam kinerja KPK serta kepastian

hukum dan perlindungan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Prinsip ini

dikenal sebagai “Trigger Mechanism” atau pemicu kinerja baik terhadap

kepolisian maupun kejaksaan dalam penenganan tindak pidana korupsi.62

Sebagai konsekuensi logis dari pelakasanaan prnsip tersebut, maka

KPK diberikan wewenang mengambilalih (take over) penyelidikan,

62

Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek

Internasional, Mandar Maju, Jakarta, h. 33.

71

penyidikan dan penuntutan perkara tidak pidana korupsi yang sedang

ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut jika alasan yang ada dalam

ketentuan dalam Pasal 9 UU KPK sudah terpenuhi.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menjalankan tugas dan

wewenangnya Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:

1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang

menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan

keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenangnya.

2. Asas keterbukaan adalah asas yang membujka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak

diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan

fungsinya.

3. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan

dan hasil akhir kegatan KPK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara

sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

72

4. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan

umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.

5. Asas proporsional adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara

tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban KPK.

Selain itu juga, dengan diundangkannya Undang-undang No. 28 tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, asas-asas

umum pemerintahan yang baik di Indonesia diidentifikasikan pada Pasal 3

dapat dijadikan acuan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK

untuk mengmbilalih wewenang penyidikan. Adapun bunyi Pasal 3 UU No. 28

Tahun 2009 sebagai berikut:

Asas-asas Umum penyelenggaraan negara meliputi:

1. Asas Kepastian Hukum;

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara;

3. Asas Kepentingan Umum;

4. Asas Keterbukaan;

5. Asas Proporsionalitas;

6. Asas Profesionalitas, dan

7. Asas Akuntabilitas.

Berdasarkan asas-asas umum tersebut dapat dilihat dasar KPK dalam

mengambil alih wewenang penyidikan yang sebelumnya dilakukan Kepolisian

dan Kejaksaan, seperti asas kepastian hukum yang memprioritaskan

kepentingan Negara sesuai peraturan perundang-undangan, kepatutan dan

keadilan dalam setiap penyelenggara Negara.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengambilalihan

kewenangan penyidikan atau penuntutan tidak pidana korupsi oleh KPK bisa

dilihat dari latar belakang meningkatnya kasus korupsi yang terjadi di

73

Indonesia. Selain itu aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan

mengalami berbagai hambatan, diantaranya sulitnya aparat penegak hukum

untuk melakukan penangkapan tersangka korupsi karena kepolisian atau

kejaksaan memerlukan ijin pimpinan tersangka untuk melakukan

penangkapan. Yang lebih mengecewakan lagi kepolisian atau kejaksaan yang

menangani kasus korupsi dengan mudahnya bisa disuap untuk membebaskan

tersangka dari proses pemeriksaan karena kebanyakan yang melakuan korupsi

adalah orang yang memiliki kekuasaan, seperti hak eksekutif, legislatif dan

juga yudikatif.

KPK diberikan kewenangan untuk mengambilalih penyidikan atau

penuntutan kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan

adalah untuk mempercepat penangan kasus korupsi yang selama ini tertunda-

tunda atau berlarut-larut karena tidak ditindak lanjuti oleh kepolisian atau

kejaksaan, penanagan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi dan

juga karena adanya campur tangan pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Sehingga KPK diberikan kewenangan yang sangat luas karena dalam

melakukan penangkapan izin korupsi KPK tidak memerlukan izin khusus dari

pimpinan tersangka untuk melakukan penangkapan, hanya cukup

memberitahukan pimpinan tersangka untuk memberhentikan tersangka dari

jabatan.

6.2 Kerjasama KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian dalam memberantas

Tindak Pidana Korupsi

74

Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, KPK harus memiliki

kerjasama dengan Kepolisian ataupun Kejaksaan untuk menyelesaikan kasus

korupsi. Kerjasama tersebut dapat dilihat dari tugas KPK itu sendiri.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU KPK menjelaskan bahwa KPK memiliki

tugas sebagai berikut: 63

1. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan

Korupsi berwenang :

a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak

pidana korupsi;

b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak

pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi kepada instansi yang terkait;

d. Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang

berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana

korupsi.

2. Melakukan supervisi dalam bentuk penelitian atau penelaahan, serta gelar

perkara hasil penyidikan atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi

63

KPK, 2015, “Struktur KPK ”, available from URL: http/www.kpk.go.id/id/tentang-

kpk/struktur-organisasi, diakses tahun 2015.

75

yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan berdasarkan Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SDPD) yang dilaporkan kepada

KPK.

3. KPK dan kejaksaan meminta bantuan Kepolisian untuk melakaukan

penangkapan atau penuntutan perkara tindak pidana korupsi yang sedang

ditangani.

4. KPK bekerjasama dengan Kejaksaan sesuai dengan Keputusan Bersama

ketua KPK dan Jaksa Agung RI No. Kep-111212005, No. Kep-11212005

tentang kerjasama antara KPK dengan Kejaksaan RI dalam rangka

pemberantasan tindak pidana korupsi.

- Kerjasama ini meliputi :

a. Bantuan personil : dalam rangka peningkatan kemampuan personil,

KPK dapat meminta bantuan dalam bidang pendidikan dan

pelatihan dengan memanfaatkan lembaga pendidikan kejaksaan.

Bantuan ini dapat diberikan setelah ada permintaan tertulis, kecuali

jika dalam keadaan mendesak, permintaan dapat disampaikan secara

lisan atau selanjutnta disusul dengan permintaan secara tertulis.

b. Bantuan operasional:

1. Bantuan fasilitas: jika kejaksaan memerlukan bantuan fasilitas

dari KPK meliputi peralatan penyadapan dan perekaman, atau

fasilitas sejenis lainnya.

2. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

KPK meminta bantuan Jaksa Agung untuk mendistribusikan

76

formulir LHKPN di lingkungan Kejaksaan serta pemutakhiran

data bagi yang berkewajiban memuat LHKPN di lingkungan

kejaksaan.

3. Gratifikasi : KPK meminta bantuan Jaksa Agung untuk

mendistribusikan formulir gratifikasi di lingkungan Kejaksaan.

4. Perlingdungan saksi dan atau pelapor: kejaksaan membantu

KPK melindungi saksi dan atau pelapor terhadap adanya dugaan

tindak pidana korupsi yang meliputi jaminan keamanan dan

jaminan tidak disidik terhadap saksi atau pelapor yang sedang

dilindungi.

5. Pertukaran informasi: KPK dan kejaksaan dapat melakukan

pertukaran informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan

kewenangan masing-masing.

Dengan adanya kerjasama antar para penegak hukum yaitu antar

kejaksaan, kepolisian dan KPK diatas maka adapun tujuannya adalah sebagai

berikut:

1. Kejaksaan , kepolisian dan juga KPK dapat bekerjasama sehingga dapat saling

membantu meringankan tugas masing-masing sehingga kasus tindak pidana

korupsi yang sedang ditangani dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat.

2. Dapat menjalin solidaritas dan menumbuhkan rasa kekeluargaan antar sesame

penegak hukum

77

3. Antar penegak bisa saling mengawasi sehingga tidak ada lagi kasus tindak

pidana korupsi yang terjadi di dalam tubuh masing-masing penegak hukum

tersebut.

4. Dengan adanya kerjasama ini diharapkan tingkat kasus korupsi yang selama

ini terjadi di Indonesia dapat ditekan jumlahnya.64

Sehingga dalam proses pengambil alihan penyidikan atau penuntutan tindak

pidana korupsi yang dilakukan KPK diperlukan kerjasama kepolisian atau

kejaksaan. Agar proses pengambilalihan penyidikan atau penuntutan tindak

pidana korupsi tersebut berjalan dengan lancar. Dalam kerjasama dengan

kepolisian ataupun kejaksaan harus bersifat terbuka kepada KPK. Apabila KPK

meminta keterangan tentang penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi

yang sebelumnya ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan agar KPK dapat

mempercepat proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi untuk

dilimpahkan ke pengadilan.

3.3. Kekaburuan Norma Hukum yang Terdapat Dalam Pasal 9 UU KPK

KPK sebagai lembaga independen diberikan kewenangan yang sangat

luas, salah satu kewenangan tersebut adalah mengambialih kewenangan

penyidikan Kepolisian dan Kejaksaan. Namun dalam UU KPK juga telah

64

Ibid.

78

disebutkan mengenai ketentuan yang harus ada agar bisa mengambilalih

penyidikan dan penuntutan tersebut.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa alasan yang

digunakan KPK untuk bisa mengambilalih kewenangan Kepolisian dan

Kejaksaan adalah:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak

ditindaklanjuti;

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Permasalahan yang terdapat dalam bunyi Pasal 9 tersebut adalah tidak

adanya pengaturan yang jelas mengenai alasan yang disebutkan dalam

mengambil alih penyidikan maupun penuntutan yang sudah terjadi sebelum

KPK terbentuk maupun UU KPK ini diundangkan. Jika melihat pada masa-

masa sebelum dibentuknya KPK, banyak permasalahan korupsi maupun

penanganannya belum bisa dikatan berjalan secara maksimal dalam prosesnya.

Oleh karena itu perlu adanya kewenangan untuk mengambil alih dan

melakukan penyidikan korupsi yang terjadi sebelum dibentuknya KPK.

Permasalahan yang terdapat dalam Pasal tersebut, apakah KPK berhak

untuk mengambil alih kasus yang terjadi sebelum dibentuknya KPK. Oleh

karena itu diperlukan interpretasi hukum untuk menjelaskan Pasal 9 UU KPK,

79

sehingga dalam bunyi Pasal tersebut mengandung kekaburan norma yang

pengaturannya tidak dijelaskan lebih lanjut.

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini melalui

pendekatan Perundang-undangan (statute approach). Pendekatan Perundang-

undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani, yaitu : UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu untuk menjawab permasalahan yang ada dalam norma

hukum tersebut harus menggunakan interpretasi hukum atau disebut juga

penafsiran hukum . interpretasi atau penafansiran, merupakan metode

penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks

Undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan

dengan peristiwa tertentu. Teknik interpretasi adalah sarana atau alat untuk

mengetahui makna Undang-Undang. Interpretasi adalah metode penemuan

hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan

dalam peristiwanya.

Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa

teknik, yaitu secara:

1. gramatikal, yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti

perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak

80

pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam

kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang.65

2. Historis, yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah

terjadinya suatu undang-undang itu dibuat.

3. Sistematis, penafsiran ini memperhatikan susunan yang berhubungan

dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun

undang –undang lainnya.

4. Teleologis, yaitu Penafsiran secara sosiologis adalah suatu penafsiran yang

dilakukan dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-

undang di dalam masyarakat.

5. Perbandingan hukum , yaitu penafsiran dengan cara membandingkan

dengan faedah hukum di tempat lain.

6. Futuristis yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada Undang-

undang yang belum mempunyai kekeuatan hukum .

Berdasarakan penjelasan tersebut diatas teknik yang akan digunakan untuk

menjawab permasalahan tersebut adalah dengan teknik sistematis, yakni dengan

cara menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem

Perundang-Undangan. Selain itu juga digunakan teknik gramatikal, yaitu

penafsiran menurut bahasa sehari-hari yang ditemukan dalam kasus hukum seperti

pengambilalihan kewenangan penyidikan BLBI oleh KPK.

Dalam kasus BLBI hampir tidak ada alasan bagi KPK untuk menolak

pengambil alihan kasus tersebut. Kerugian negara dalam jumlah sangat besar,

65

C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1989), 67.

81

yang mencapai Rp. 138,4 triliun dari Rp. 144,5 triliun dari BLBI yang

dikucurkan; penyelewengan anggaran Rp. 84,4 triliun oleh 48 bank penerima;

beratnya beban APBN dari tahun ke tahun untuk melunasi utang BLBI;

kebangkrutan negara yang luar biasa; dan bahkan kebusukan di institusi kejaksaan

yang mulai terkuak setidaknya telah lebih dari cukup sebagai alasan sosial politik

agar KPK turun tangan.66

Harus diakui, banyak pro dan kontra terkait dengan kewenangan KPK

dalam pengambilalihan kasus BLBI ini, hingga saat ini masih terdapat perbedaan

pendapat tentang rentang waktu kewenangan KPK untuk menangani perkara. Jika

dilakukan beberapa analisa mengenai hal tersebut, setidaknya perdebatan hukum

tersebut terpolarisasi menjadi beberapa point sentral, yaitu : 67

1). KPK dinilai hanya berwenang menangani perkara yang terjadi setelah UU 30

Tahun 2002 tentang KPK terbentuk, atau sejak 27 Desember 2002. Perdebatan

ini hangat dibicarakan setelah Mahkamah Konstitusi memutus permohonan

Bram Mannopo. Saat itu didalilkan, KPK tidak berwenang menangani perkara

sebelum 27 Desember 2002, sehingga Pasal 68 UU No. 30 Tahun 2002

tentang KPK, menyatakan harus dibatalkan karena bersifat retroaktif atau

berlaku surut.

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan dan menyatakan Pasal 68 yang

berbicara tentang kewenangan KPK mengambil alih semua pekara sebelum

KPK terbentuk bersifat prospektif atau berlaku ke depan. Sehingga, pasal

66

Thontowi Jawahir, Prospek Pemberantasan Korupsi: Perimbangan Kewenangan KPK

dengan Institusi Penegak Hukum, available from : http://www.

journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/view/168/159, diakses tanggal 15 April 2009. 67

Ibid.

82

tersebut jelas tidak mengandung unsur berlaku surut dan tidak melanggar

konstitusi. Dalam bagian pertimbangan lebih ditegaskan, sifat prospektif

berarti KPK hanya melanjutkan penanganan perkara yang telah dimulai

sebelumnya oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Di titik ini, perdebatan tentang

berlaku surut atau tidaknya kewenangan KPK dapat dinilai tuntas. Dengan

penekanan, KPK punya kewenangan penuh melanjutkan penanganan perkara

korupsi yang ada sebelum KPK terbentuk. Ini yang sering disebut dengan

kewenangan pengambilalihan. Dengan demikian, poin pertama tentang

kewenangan KPK yang terbatas pada perkara yang terjadi setelah UU KPK

terbentuk telah dapat dibantah.

2). KPK boleh menangani perkara yang terjadi sebelum UU KPK terbentuk, tetapi

terbatas pada waktu sejak UU 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, yaitu sejak 16

Agustus 1999. Pendirian ini cenderung mendasarkan dalilnya pada Pasal 1

angka (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Disebutkan; “tindak Pidana

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 31

Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi”. Sehingga, kemudian dipahami, KPK yang dibentuk untuk

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti yang dicantumkan

pada konsideran “menimbang huruf (a)” hanya terbatas pada pengertian tindak

pidana korupsi yang diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

83

Jika dianalisa lebih lanjut, ada dua catatan hukum yang dapat diajukan

terhadap pandangan diatas. Pertama, telah terjadi pencampur-adukan antara aturan

yang berada di wilayah hukum materiil dengan aturan yang berada di wilayah

hukum formil. Bagian yang mengatur tentang definisi Tindak Pidana Korupsi

(Pasal 1 angka (1) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK) dalam posisinya sebagai

ketentuan yang menunjuk ketentuan lain (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) merupakan aturan

hukum materiil. Kedua, dalil tersebut memahami Pasal 1 angka (1) UU KPK yang

merujuk pada UU Tipikor secara terpotong-potong, alias tidak komprehensif.

Padahal, merupakan konsep hukum yang diterima umum, sebuah Undang-Undang

harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh.

Perhatikan Pasal 43A ayat (1) UU 20/2001 jo UU 31 Tahun 1999 (UU

Tipikor).Bagian yang terletak di Bab VI A, ketentuan Peralihan ini menyebutkan,

” Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU No. 31 Tahun 1999

diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UU No. 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tipikor, sehingga, dapat dikatakan UU Tipikor juga

menganut definisi “Tindak Pidana Korupsi” yang mengacu pada UU No. 3 Tahun

1971. Artinya, Pasal 1 angka (1) UU KPK mengantarkan pengertian Tipikor

seperti yang diatur pada UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20/2001 sekaligus UU No.

3 Tahun 1971.

Konsekuensi hukumnya, KPK mempunyai kewenangan penuh menangani

perkara yang berada pada yurisdiksi UU No. 3 Tahun 1971 sepanjang tidak

melewati masa daluarsa penuntutan.

84

Dengan kata lain, persoalan bukanlah pada apakah KPK berwenang atau

tidak berwenang menangani perkara sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999,

melainkan hanya soal kapan tindak pidana tersebut terjadi. Jika tindak pidana

terjadi sebelum UU 31/1999 diundangkan, maka dalam menangani perkara, KPK

menggunakan UU 3/1971 sebagai dasar hukum materiil penuntutan terhadap

terdakwa.

Dan, ketiga, KPK berwenang mengambil alih perkara sebelum UU KPK

dan UU Tipikor terbentuk, sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan

pidana. Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat (1), 68

UU KPK dan Pasal 1 No. UU 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum acara

Pidana/KUHAP). Pasal 8, 9, 68 UU KPK mengatur dua hal prinsipil, yaitu:

kewenangan supervisi KPK dan pengambilalihan “proses” penanganan perkara.

Berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor, kata “proses” mengacu pada frasa

“penyelidikan, penyidikan dan penuntutan”. Dan, definisi frasa tersebut dapat

dicari pada KUHAP, yang pada prinsipnya diartikan sebagai “serangkaian

tindakan”. Maka jelaslah kewenangan pengambil alihan KPK yang diatur pada

Pasal 68 UU KPK sesungguhnya adalah kewenangan untuk melakukan

serangkaian tindakan.

Artinya, sepanjang KPK melakukan tindakan (Penyelidikan, penyidikan,

dan penuntutan) berdasarkan UU KPK dan KUHAP, meskipun perkara terjadi

sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999, maka KPK tidak dapat dikatakan

melakukan sesuatu yang berlaku surut. Karena KPK hanya melakukan

“serangkaian tindakan” berdasarkan UU KPK yang telah ada sebelum

85

“serangkaian tindakan” KPK itu dilakukan. Dalam kasus BLBI yang terjadi

sebelum adanya UU No. 31 Tahun 1999, KPK tidak dapat dikatakan melakukan

sesuatu yang berlaku surut (retroaktif) jika KPK melakukan itu berdasarkan UU

KPK, kecuali jika KPK mendasarkan dakwaannya pada undang-undang (hukum

materiil) yang belum ada ketika perbuatan (tindak pidana BLBI) dilakukan.

Berdasarkan hal diatas, pembahasan pengambilalihan kasus BLBI oleh

KPK dapat merujuk kembali pada UU KPK. Pasal 9 UU KPK mengatur syarat

dapat dilakukannya pengambilalihan.

Dalam kasus BLBI, tertangkap-tangannya Ketua Tim Penyelidik berinisial

UTG dari Kejaksaan Agung Minggu sore (2 Maret 2008) menunjukan

terkandungnya unsur korupsi dalam penanganan BLBI. Dengan demikian unsur

Pasal 9 butir (d) UU KPK terpenuhi, “pengambilalihan dapat dilakukan jika dalam

penanganan kasus korupsi terdapat unsur korupsi”. Selain itu, penanganan BLBI

juga berlarut-larut dan tertunda-tunda tanpa dapat dipertanggungjawabkan seperti

disebutkan pada Pasal 9 butir (b). Dan, mengingat alasan yang diatur pada Pasal 9

bersifat alternatif yang ditunjukan dengan penggunaan kata “atau“, maka tidak

dibutuhkan pemenuhan semua unsur dari butir (a) sampai dengan (f) untuk

melakukan pengambilalihan kasus BLBI. Bahkan, terpenuhinya salah satu unsur

saja dari Pasal 9 telah dapat dijadikan dasar bagi KPK mengambil alih kasus

BLBI.

Dengan demikian berdasarkan analisis hukum terhadap tiga polarisasi

pendapat tentang pengambilalihan kasus BLBI oleh KPK ini, dapat dilihat secara

gamblang, bahwa KPK sudah memenuhi standar yuridis untuk mengambilalih

86

kasus BLBI. Satu masalah yang harus dipikirkan dalam prosesnya adalah,

bagaimana KPK bisa bekerjasama dengan lembaga penegak hukum yang lain,

seperti Kejaksaan dan Kepolisian untuk saling melengkapi kekurangan lembaga

masing-masing, sehingga kasus ini dapat diselesaikan dengan penuh keadilan.

Sebagaimana diketahui, salah satu penyebab diambil alihnya kasus BLBI ini dari

tangan Kejaksaan adalah karena lembaga Kejaksaan dikatakan tidak mampu

menangani kasus BLBI yang ditandai dengan tertangkapnya Jaksa Urip Tri

Gunawan yang telah tertangkap tangan menerima uang success fee dari Artalyta

sebesar 1,6 milyar yang ditandai dengan adanya pengumuman Kejaksaan Agung

yang menyatakan menghentikan penyelidikan kasus BLBI pada tanggal 29

Februari 2008.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KPK dapat melakukan

pengambilalhan kewenangan dari Kepolisian dan Kejaksaan cukup dengan

terpenuhinya salah satu unsur saja dari Pasal 9 maka telah dapat dijadikan dasar

bagi KPK mengambil alih kasus Korupsi.

87

BAB IV

PERANAN KPK SEBAGAI LEMBAGA PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

10.1 Istilah Peranan

Istilah peranan dapat ditemukan dari bahan hukum tersier, seperti

kamus hukum, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan buku-buku pelajaran

yang bersifat non hukum.

Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” tersebut

mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan

makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang

berkedudukan di masyarakat.

Lebih jelasnya kata “peran” atau “role” dalam kamus oxford dictionary

diartikan : Actor’s part; one’s task or function. Yang berarti aktor; tugas

seseorang atau fungsi.

Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka

seseorang yang diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan

menjalankan perannya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pekerjaan

tersebut. Karena itulah ada yang disebut dengan role expectation. Harapan

mengenai peran seseorang dalam posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari

si pemberi tugas dan harapan dari orang yang menerima manfaat dari

pekerjaan/posisi tersebut.

88

Teori peran adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan

psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan

oleh kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial (misalnya ibu, manajer,

guru). Setiap peran sosial adalah serangkaian hak, kewajiban, harapan, norma,

dan perilaku seseorang yang harus dihadapi dan dipenuhi. Model ini

didasarkan pada pengamatan bahwa orang-orang bertindak dengan cara yang

dapat diprediksikan, dan bahwa kelakuan seseorang bergantung pada

konteksnya, berdasarkan posisi sosial dan faktor-faktor lain. Teater adalah

metafora yang sering digunakan untuk mendeskripsikan teori peran.

Meski kata 'peran' sudah ada di berbagai bahasa Eropa selama

beberapa abad, sebagai suatu konsep sosiologis, istilah ini baru muncul sekitar

tahun 1920-an dan 1930-an. Istilah ini semakin menonjol dalam kajian

sosiologi melalui karya teoretis Mead, Moreno, dan Linton. Dua konsep

Mead, yaitu pikiran dan diri sendiri, adalah pendahulu teori peran.68

Dari beberapa pengertian dan penjelasan diatas istilah "peran" kerap

dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang. Atau "peran" dikaitkan

dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor dalam suatu drama.

Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa kata "peran", atau role dalam bahasa

Inggrisnya, memang diambil dari dramaturgy atau seni teater. Dalam seni

teater seorang actor diberi peran yang harus dimainkan sesuai dengan plot-

nya, dengan alur ceritanya, dengan lakonnya.

68

Hindin, Micelle J. ,2007, "role theory" in George Ritzer (ed.) The Blackwell

Encyclopedia of Sociology, Blackwell Publishing, p. 3959-3962

89

Dengan demkian peranan merupakan sebuah norma yang mengatur

tentang fungsi seseorang untuk melakukan suatu kewajibannya agar dapat

memenuhi harapan yang dapat dicapai secara optimal. Jika dikaitkan dengan

peranan sebuah lembaga Negara maka dapat diartikan bahwa peranan

merupakan sebuah norma yang mengatur sebuah lembaga Negara tertentu

untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga Negara agar dapat memenuhi

tujuan Negara dan mensejahterakan masyarakat.

4.2 Independensi KPK sebagai Lembaga Negara di Indonesia

KPK diklasifikasikan sebagai komisi Negara. Komisi Negara sering

disebut dalam beberapa istilah berbeda, misalnya di Amerika Serikat dikenal

dengan administrative agencies. Komisi Negara independen adalah organ

Negara (state organs) yang diidealkan independen dan karenanya berada diluar

cabang kekuasaan eksekutif, legistalif maupun yudikatif; namun justru

mempunyai fungsi “campur sari” ketiganya. Dalam bahasa Funk dan Seamons

komisi independen itu tidak jarang mempunyai kekuasaan “quasi legislative”,

“executive power” dan “quasy judicial”.69

Beberapa komisi Negara independen adalah juga organ konstitusi

(konstitusional organs), yang berarti eksistensi dan fungsinya diatur di dalam

konstitusi; sebutlah seperti yang ada di Afrika Selatan dan Thailand. Di Afrika

Selatan, Pasal 181 ayat 1 UUD-nya menyebutkan ada Human Right

Commission; Commission for the Promotion and Protection of the Right of

Cultural, Religious and Linguistic Communities; Commission for Gender

69

Rudini silaban, 2010, Keberadaan KPK Sebagai Lembaga Independen dan Komisi

Negara, www.Kompas.com, diakses tanggal 03 Juni 2010.

90

Aquality, dan Electoral Commission. Di Thailand, Pasal 5 konstitusinya

mengatur bahwa Negara wajib menyediakan anggaran bagi komisi Negara

independen seperti : Election Commission, Ombudsment, National Human

Right Commission, National Corruption Commission dan State Audit

Commission. 70

Namun, ini bukan berarti bahwa semua komisi Negara independen

pastilah diatur dalam konstitusi. Misalnya ada sekitar 15 negara di komisi

Negara independen di Amerika Serikat, antara lain : federal communicratin

commission, securities and exchange commission dan federal reserved board.

Komisi Negara independen berbeda dengan komisi Negara biasa (state

commission). Menurut Michael R. Ashimow, komisi negara biasa hanyalah

bagian dari eksekutif dan tidak mempunyai peran yang tidak terlalu penting.

Mengutip keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara

Humprey’s Executor Vs United States, Asimow berpendapat bahwa yang

dimaksud dengan independen berkait erat dengan pemberhentian anggota

komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam

Undang-Undang komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya

komisi Negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh Presiden ,

karena jelas tegas merupakan bagian dari eksekutif. Hampir serupa William F.

Fox Jr berargumen bahwa suatu komisi Negara adalah independen bila

dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam Undang-Undang komisi yang

bersangkutan. Atau, bila Presiden dibatasi untuk tidak secara bebas

70

Ibid.

91

memutuskan (discretionary decision) pemberhentian sang pimpinan komisi.

Selain masalah pemberhentian yang terbatas dari intervensi Presiden , Funk

dan Seamon menambahkan bahwa sifat independen juga tercermin dari: (1)

kepemimpinan yang kolektif, bukan suatu pimpinan, (2) kepemimpinan tidak

dikuasai/ mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan (3) masa jabatan

para pimpinan komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian

(staggered terms).

Berdasarkan ciri-ciri independen diatas berarti KPK termasuk komisi

independen. Misalnya, Presiden tidak punya hak diskresi untuk sewaktu-waktu

mengganti pimpinan KPK, kepemimpinannya, kolektif dilakukan oleh lima

komisioner.

Output dari reformasi telah membawa harapan baru dengan lahirnya

KPK. Lembaga KPK yang telah dibidangi melalui UU KPK secara fungsional

diharapkan dapat menjadi terhadap komitmen pemberantasan korupsi yang

selama ini merugikan Negara.

Namun dalam tataran pelaksanaan untuk mewujudkan komitmennya

ternyata tidak semudah membalik telapak tangan. Surat dengan keterbatasan

sebagai kedala sehingga harapan banyak pihak terhadap KPK dalam upaya

pemberantasan korupsi di Indonesia belum optimal dilaksanakan. Dalam

praktik, KPK menjalankan tugas dan wewenangnya tidak mampu menjangkau

semua lembaga Negara karena alasan normatif. KPK kesulitan melakukan

akses pemberantasan korupsi terhadap Lembaga Negara yang legitimasinya

merupakan ketentuan langsung amanat UUD NRI Tahun 1945. Sementara

92

keberadaan KPK secara kelembagaan lahir dari rahim Undang-Undang , bukan

UUD NRI Tahun 1945.

4.3 Peranan KPK dalam Memberantas Korupsi Pada Masa Kini dan Akan

Datang

Karakteristik korupsi di Indonesia teramat kompleks dan mengakar

sehingga diperlukan upaya pemberantasan korupsi secara sistematis, integratif,

dan fokus. Sesuai amanat Undang-Undang untuk mengatasi korupsi tersebut,

KPK mengambil peran sebagai pendorong pemberantasan korupsi dengan

melibatkan institusi penegak hukum lainnya serta lembaga pemerintah ditambah

lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya.

Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan

jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi

dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers,

menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut

masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi,

dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.71

Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, seorang alumni

Akademi Kepolisian (Akpol) 1971, dilantik menjadi Ketua KPK. Di bawah

kepemimpinan Taufiequrachman Ruki, KPK hendak memposisikan dirinya

71

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 9

93

sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya

jalannya sebuah "good and clean governance" (pemerintahan baik dan bersih) di

Republik Indonesia. Sebagai seorang mantan Anggota DPR RI dari tahun 1992

sampai 2001, Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari

berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.

Menurut Taufiequrachman Ruki, pemberantasan korupsi tidak hanya

mengenai bagaimana menangkap dan memidanakan pelaku tindak pidana

korupsi, tapi juga bagaimana mencegah tindak pidana korupsi agar tidak

terulang pada masa yang akan datang melalui pendidikan antikorupsi, kampanye

antikorupsi dan adanya contoh "island of integrity" (daerah contoh yang bebas

korupsi).

Pernyataan Taufiequrachman mengacu pada definisi korupsi yang

dinyatakan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

Menurutnya, tindakan preventif (pencegahan) dan represif (pengekangan) ini

dilakukan dengan "memposisikan KPK sebagai katalisator (trigger) bagi aparat

atau institusi lain agar tercipta good and clean governance dengan pilar utama

transparansi, partisipasi dan akuntabilitas".

Sampai saat ini KPK dinilai berhasil melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai berhasil

mempertahankan reputasinya sebagai lembaga pemberantasan korupsi dan

94

penegakan hukum. Banyak kasus-kasus korupsi berskala besar, sedang dan kecil

yang digarap KPK.72

Hal itu disampaikan Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), "Namun demikian, perlu dilakukan

upaya lebih sistematis, terencana, dan terukur dalam upaya KPK melakukan

tugas pencegahan korupsi".

Menurutnya, tugas pencegahan barangkali akan kurang mendapatkan

porsi pemberitaan media massa yang memadai. Pasalnya, tidak ada unsur

sensasional dan politisnya. "Karena tugas pencegahan sangat penting di masa

yang akan datang, maka harus lebih diprioritaskan lagi oleh pimpinan KPK,"

ujar Wakil Sekretaris Jenderal DPP PDIP ini.73

Dia juga berharap tunggakan kasus-kasus korupsi besar yang ditangani

KPK segera diselesaikan. "Harus dituntaskan sebelum masa jabatan Pimpinan

KPK saat ini berakhir pada 2015 nanti," tegasnya.

Dia menambahkan, peranan KPK tetap dibutuhkan demi melakukan

upaya pencegahan dan pemberantasan kasus-kasus korupsi besar di Indonesia.

Namun, lanjutnya, perlu dilakukan berbagai upaya untuk lebih mengefektifkan

tugas-tugas KPK. Dengan demikian, KPK dapat menghapuskan atau minimal

menurunkan tingkat korupsi di Indonesia.

Sejak perubahan ketiga UUD 1945, Negara Republik Indonesia

meneguhkan statusnya sebagai Negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

72

Carlos KY Paath 2014, “KPK Dinilai Berhasil Pertahankan Reputasi”, available from :

URL : http://www.beritasatu.com/nasional/236696-kpk-dinilai-berhasil-pertahankan-reputasi.html,

diakses tanggal 29 Desember 2014.

73 Ibid.

95

dengan tegas menyebutkan Negara Indonesia adalah Negara hukum. oleh karena

segala tata laku , dan tata kelola Negara dan pemerintahan didasarkan atas 12

prinsip-prinsip Negara hukum, diantaranya supremasi hukum dan legalitas.74

Ini berlaku tak terkecuali kepada KPK, keberadaan KPK dilandasi oleh

legalitas melalui UU KPK, dan KPK tidak impun (bebas dari hukum) terhadap

Peraturan Perundang-undangan lainnya. KPK juga terkait dengan prinsip

penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip pembagian kekuasaan

yang keduanya juga merupakan bagian dari prinsip Negara hukum.

Pasal 3 UU KPK memang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan

tugas dan wewenangnya lembaga ini bersifat independen dan bebas dari

kekuasaan manapun. Namun pengaturan ini harus ditafsirkan dalam suasana

atau cita Negara hukum, yang berarti sifat independen dan bebas dari kekuasaan

manapun yang dimaksud tidak bersifat mutlak, tetapi sesuai dengan koridor

hukum.

Fungsi KPK sebagai lembaga Negara yang khusus bertugas mencegah

dan memberantas tindak pidana korupsi, serta pimpinan KPK sendiri termasuk

pejabat Negara, secara kelembagaan memegang peran multifungsi seperti :

1. KPK dapat melakukan jaringan kerja (networking) dengan aparat penegak

hukum ;

2. KPK sebagai counterpartner sesame atau antar penegak hukum;

3. KPK sebagai trigger mechanism (pemicu dan pemberdaya yang telah ada);

74

Jimly Ass hiddiqie, 2004, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Simbur Cahaya

No. 25 Tahun IX Mei 2004 ISSN No. 14110-0614.

96

4. KPK sebagai superbody dalam pemberantasan tindak pidana korupsi;

5. KPK sebagai lembaga Negara.

Dari peran yang tampak seperti superiror tersebut bukan berarti KPK

dapat memonopoli dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia,

karena walaupun KPK diakui sebagai lembaga Negara, bukan berarti lembaga

ini sebagai aparat penegak hukum (seperti polisi, jaksa dan hakim) yang

memiliki wewenang yang tetap lebih luas selaku aparat penegak hukum yang

masuk dalam lingkup lingkaran sitem peradilan.

Benar bahwa ketiga kewenangan penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan, serta pelbagai upaya paksa diberikan kepada KPK. Namun

pemberian dilakukan due process of law; terikat pada aturan hukum baik itu UU

No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun UU tindak pidana

korupsi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38 dan 39 UU KPK.

Begitupun dengan kewenangan supervisi dan pengambilalihan kasus

yang ditangani kepolisian atau kejaksaan oleh KPK. Ini harus dilakukan sesuai

dengan koridor yang ditentukan dalam UU, dalam hal ini Pasal 9 UU KPK

pengambilalihan hanya dapat dilakukan jika memenuhi alasan yang ditentukan

sebagai berikut :

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;

b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan tindak pidana korupsi ditunjukan untuk melindungi pelaku

tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau

97

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Jika tidak dilakukan berdasarkan ketentuan tersebut, pejabat KPK

berpotensi dikenakan pidana penyalahgunaan kewenangan.

Selain sebagai lembaga yang bersifat independen, KPK juga memiliki

kewenangan yang lebih besar jika dibandingkan dengan lembaga penegakan

hukum lainnya, dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Istilah yang

lebih tepat untuk KPK adalah extraordinary body (lembaga luar biasa), karena

besarnya kewenangan yang dimiliki oleh KPK memang lebih dari kewenangan

yang dimiliki oleh institusi penegakan hukum lainnya, tentu dengan catatan

terbatas di bidang pemberantasan korupsi saja.

Keberadaan KPK sebagai lembaga extraordinary (luar biasa) bukan tanpa

sebab. Dia dilahirkan tidak nihil konteks. Setidaknya ada dua alasan yang bisa

dilihat dari konsideran maupun penjelasan UU KPK. Pertama, bahwa korupsi

dianggap sebagai exstraordinary crime (kejahatan luar biasa) yang merugikan

Negara, perekonomian Negara, dan menghambat pembangunan nasional

sehingga dibutuhkan pendekatan extraordinary (luar biasa) pula dalam

membasminya.

Kedua, bahwa KPK didirikan karena lembaga konvensional yang

menangani pemberantasan korupsi belum berfungsi secara efektif dan efesien,

ini tidak hanya merujuk pada kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga lembaga-

lembaga pemberantasan korupsi lainnya yang pernah didirikan sebelum KPK

98

berdiri seperti Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara. Tim

Gabungan pemberantasan Tindak Pidana korupsi dan lain-lain.

Berpijak pada dua alasan inilah KPK diberi kewenangan extraordinary

demi menjadikan pemberantasan korupsi lebih efektif dan efesien. Terbukti

sejak pendiriannya di tahun 2003 hingga kini, KPK menunjukkan performa

yang lebih baik dalam memberantas korupsi. Ini dapat terlihat pada peningkatan

signifikan indeks prestasi korupsi Indonesia.

Berdasarkan hasil catatan Transparacy Internasional Indonesia (TII)

Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia pada 2009 dan 2010 mendapat skor

2,8; pada 2011 dengan skor 3,0; pada 2012 dan 2013 dengan skor 3,2; serta

pada 2014 IPK-nya meningkat menjadi 3,4.75

"IPK tersebut terus mengalami peningkatan sejak 2009. Indonesia masih

dipandang sebagai negara yang rawan korupsi dibandingkan negara tetangga,

seperti Singapura, Brunei Darusalam, Malaysia, Thailand, dan Myanmar," ujar

Widyo dalam diskusi publik bertema 'Bersama Melawan Korupsi' di Gedung

Joeang, Menteng, Jakarta, Sabtu (18/4/2015).

Kemudian dari sejumlah perkara korupsi yang ditangani petugas

penegak hukum tersebut, pejabat daerah sebagai pelaku tindak pidana korupsi

sejak 2005 sampai dengan Agustus 2014 dapat digambarkan sebagai berikut.

1. Kepala Daerah sebanyak 331 orang yang melakukan korupsi;

2. Anggota DPRD sebanyak 3.169 orang yang melakukan korupsi; dan

75

Gunawan Wibisono , 2015,” Setiap Tahun Indeks Korupsi Indonesia Meningkat

”, http://news.okezone.com/read/2015/04/18/337/1136257/setiap-tahun-indeks-korupsi-indonesia-

meningkat, diakses tanggal 18 April 2015

99

3. Pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 1.211 orang yang melakukan korupsi.76

Indonesia juga berada di urutan ke-111 dari 180 negara, berada dalam

kelompok sama dengan Aljazair, Djibouti, Mesir, Mali, Kepulauan Solomon,

dan Togo.77

Publik juga melihat bagaimana KPK berkiprah membasmi korupsi yang

dilakukan oleh kepala-kepala Daerah, Bekas Menteri, Menteri, Duta Besar,

Mantan Polisi, bahkan besan Presiden sekalipun.

Gaung keberhasilan KPK semakin terdengar ketika banyak kasus korupsi

yang berhasil dilaporkan ke KPK. Selama tahun 2006 KPK telah menerima 774

Surat pemberitahuan Dimulainya penyelidikan (SPDP) perkara tindak pidana

korupsi dari kejaksaan dan kepolisian. Penanganan kasus atau perkaratindak

pidana korupsi selama tahun 2006, mulai dari tahap penyelidikan dan

penyidikan hingga penuntutan adalah sebagai berikut : penyelidikan ada 36

kasus, penyidikan ada 18 kasus, penuntutan pada pengadilan Tipikor ada 10

kasus dan beberapa perkara korupsi yang sudah mendapatkan putusan hukum

tetap (inkracht van Gewijsde) salah yang menarik publik salah satunya adalah

perkara yang berhubungan dengan perkara keterlihatan dalam tindak pidana

korupsi terdakwa mantan Gubernur NAD dan perkara dugaan korupsi yang

menyeret ketua KPU Nazarudin Samsudin.

76

Ibid. 77

Jimbon, 2009, “Indeks Korupsi Indonesia Rawan”, available from : URL:

http://nasional.kompas.com/read/2009/11/18/05303146/Indeks.Korupsi.Indonesia.Rawan , diakses

tanggal 18 November 2009 .

100

Kiprah KPK dalam pemberantasan korupsi semakin terlihat di tahun 2008

dengan keberhasilannya menyeret beberapa penguasa dan penjahat Negara yang

terlibat korupsi. Dan publik dikejutkan dengan skandal BLBI yang menyeret

nama-nama penjahat Negara, kemudian kasus terbaru penyalahgunaan hak alih

fungsi hutan yang menyeret beberapa nama, dan yang tak kalah menarik adalah

mulai terkuaknya korupsi dikalangan elit DPR. Media mulai ramai

menayangkan berbagai fakta dan hasil investigasi kepada khalayak atas

beberapa kasus korupsi yang menjalar dalam lini birokrasi. Keberhasilan KPK

dalam menguak berbagai kasus korupsi ini membuat eksistensi KPK semakin

diakui oleh masyarakat.

Melekatnya KPK di hati publik, tidak heran jika pasca pembebasan Bibit-

Chandra muncul opini yang mengidikasikan akan adanya pelemahan KPK.

Banyak kalangan meyakini bahwa eksistensi KPK akan selalu diotak atik oleh

mereka yang memiliki kepentingan egoisentrisme individualistic.

Bahkan, upaya pelemahan terhadap institusi ini sudah lama tercium.

Misalnya pengajuan uji material (judicial review) terhadap sejumlah Undang-

Undang dalam ranah pemberantasan korupsi, termasuk Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Tahun 2006, baik pendaftaran maupun penyelesaian, perkara pada

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terus mengalami peningkatan sebesar 56%

dibandingkan pada tahun 2005, sementara penyelesaian perkara, jumlah sisa

perkara pada akhir tahun 2006 juga tiga perkara lebih banyak dibandingkan di

101

awal tahun. Peningkatan yang terjadi dalam perkara pendaftaran perkara

merupakan cerminan dari meningkatnya kegiatan KPK dan penghargaan atas

integritas dan kerja keras dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini juga

mendukung dan memberikan arti bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam

upaya yang dilakukan oleh negara tercinta untuk memberantas korupsi di tingkat

pemerintahan.

Pada titik ini sampai pada kesimpulan awal bahwa meski di satu sisi bisa

dipandang sebagai lembaga yang eksistensinya selalu diotak-atik, tetapi di sisi

lain, KPK ternyata “kurang” berani melakukan gerakan taktis dalam penuntasan

kasus korupsi.

Bagaimanapun, kondisi pemberantasan korupsi di negeri ini masih jauh

dari berhasil. Terus-menerus mencatat perbuatan korup di pelbagai instansi

pemerintahan. Itulah sebabnya mengapa persepsi internasional tentang indeks

korupsi Indonesia masih sangat buruk. Seharusnya, ukuran ini menjadi

peringatan tentang beban yuridis yang masih harus dipikul KPK.

KPK harus merujuk pada istilah Frans H. Winarta (2009) dalam Koruptor

Melakukan perlawanan bahwa pemberantasan korupsi telah menjadi gerakan

global dan universal di seluruh dunia. Dunia pun menjadi desa kecil (small

village), terlebih setelah revolusi informasi. Kabar dari tempat terisolasi pun

dapat disebarluaskan ke seluruh dunia, termasuk kabar pemberantasan korupsi.78

78

Fathorrahman Hasbul.” Sinyal melemahnya KPK”. Harian Umum Duta Masyarakat. 7

januari 2010.

102

Di sinilah pentingnya menanamakan kembali etos pengabdian KPK

melalui pemberantasan korupsi demi perbaikan negara Indonesia. Sebagai

lembaga yang telah mendapatkan posisi terhormat di hati masyarakat, KPK

harus selalu memberikan kepercayaan dan integrasi solid dalam rangka

meringkus para maling negara yang tidak bertanggung jawab. Di sini,

menajamkan kesabaran dan meletakan etos memberantasan korupsi secara

holistik merupakan syarat mutlak.12

Sebagai negara yang mengakui adanya persamaan kedudukan di dalam

hukum dan pemerintahan serta persamaan hak antar warganegara untuk

mewujudkan keadilan sosial secara merata, eksistensi KPK di dalam

kelembagaan hukum merupakan sarana pendukung yang harusnya bisa

memperkokoh kedudukan hukum sebagai status tertinggi serta menegaskan

kewibawaan lembaga hukum dalam melaksanakan amanat konstitusi demi

terwujudnya law enforcement di Indonesia.

Selain itu, pelaksanaan penanganan pemberantasan korupsi harus lebih

ditingkatkan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu

UU No. 30 Tahun 2002 tanpa tebang pilih. Artinya, dalam memberantas korupsi

penanganan yang dilakukan tidak memilih perkara maupun pihak yang

melakukan korupsi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejak dibentuknya KPK dari

awal periode sampai sekarang, lembaga tersebut sudah membuktikan

keberhasilan yang signifikan dalam memberantas korupsi maupun

103

meminimalisir tindak pidana korupsi di tanah air. Dengan keberhasilan yang

dihasilkan oleh KPK dalam menjalankan fungsinya , maka alangkah baiknya

jika lembaga tersebut dipertahankan untuk masa yang akan datang guna

menstabilkan perekonomian Negara dan dapat memberikan kepuasan bagi

masyarakat luas agar tidak ada lagi kasus korupsi yang bermunculan.

Dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa

Undang-Undang sebagai Peraturan Perundang-undangan yang kedudukannya

di bawah UUD. Ketentuan demikian dapat dipahami dalam Undang-Undang

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 7 yang menyebutkan bahwa:

Jenis hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden ;

f. Peraturan Daerah Provinsi;

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan diatas dengan mengacu pada asas Lex Posteriori

Derogal Lex Inferiori, dapat dimengerti bahwa KPK yang lahir dari Undang-

Undang akan mengalami berbagai kendala dalam rangka memberantas korupsi

terhadap lembaga Negara yang lahir dari UUD. Persoalannya tidak lebih

menyangkut dalih kesetaraan kelembagaan.

Keberadaan KPK sebagai Lembaga Negara yang tidak diatur dalam

UUD berpengaruh dalam menjalankan fungsi yang dimiliki. Peran KPK dalam

merealisasikan tugas, kewajiban dan kewenangan yang dimiliki dalam

104

memberantas tindak pidana korupsi masih sagat terbatas. Hal ini dikarenakan

sempitnya ruang gerak KPK di dalam Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan UU KPK,dalam melakukan kegiatannya KPK

mendapatkan pengawasan dari Presiden , Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan

Pemeriksa Keuangan. Hal ini membuktikan bahwa peran KPK masih dibatasi

oleh ketiga lembaga tersebut. Dilain pihak kenyataan demikian akan

menimbulkan suatu masalah apabila yang menjadi sasaran dari pemberantasan

tindak pidana korupsi oleh KPK adalah salah satu dari lembaga tersebut.

Karena itulah, demi mendukung optimalisasi kinerja dan produktivitas KPK

maka tidak saja dibutuhkan pembenahan secara internal dalam tubuh KPK

namun juga perluasan ruang gerak KPK dalam Peraturan Perundang-undangan.

Perluasan ruang gerak KPK yang diatur dalam Perturan Perundang-

Undangan hendaknya tidak hanya pada aturan setingkat Undang-Undang saja.

Namun secara normatif lebih tepat jika diletakkan pada agenda amandemen

UUD. Hal ini untuk menjaga agar KPK mampu menjadi sebuah lembaga

dibidang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berkompeten dan

independen serta memiliki otoritas untuk mengakses suatu lembaga. Perluasan

ruang gerak KPK ke dalam UUD sangat memungkinkan. Mengacu pada asas

hukum “Lex Posterori Derogate Lex Inferiori” yaitu peraturan yang lebih

tinggi mengalahkan peraturan yang lebih rendah. Sehingga pada jangka

panjang, diharapakan nantinya menjadi sebuah lembaga Negara yang mampu

105

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi pada segala aspeknya. Tidak

hanya hilirnya saja yang tersentuh, tetapi juga hulu.79

KPK dibentuk sebagai upaya dan konsekuensi pemerintah terhadap

maraknya korupsi di Indonesia, sehingga dianggap perlu adanya suatu lembaga

Negara baru yang berwenang dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

yaitu dengan lahirnya UU KPK. Namun demikian , KPK dalam upaya

pemberantasan korupsi di Indonesia terkendala terhadap kedudukan KPK yang

dibentuk berdasarkan Undang-Undang , terlebih jika KPK menangani perkara

korupsi yang terjadi di dalam lembaga yang di atur dalam UUD.

Dengan pendekatan asas Lex Posterori Derogate Lex Inferiori,

sehingga tidak mudah bagi lembaga inferior mampu secara keseluruhan

mengawasi lembaga superior. Maksudnya KPK dalam menangani perkara

tersebut tidak akan mungkin secara maksimal untuk bisa menuntaskan

permasalahan korupsi di Indonesia jika hanya di atur dalam Undang-Undang .

Dalam realitas, bahwa yang dikatakan sebagai proses pemberantasan

korupsi tidak lain merupakan fenomena yang kental bernuansa politik yang

diskriminatif atau tebang pilih pelaku korupsi. 80

Contohnya jika ada dua sosok

yang sama-sama patut di diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana

korupsi, tetapi dalam realitasnya, salah satunya yang dekat dengan kekuasaan

tidak di proses. Sebaliknya sosok lain yang di tenggarai merupakan bagian dari

kelompok yang memiliki pandangan politik yang berbeda dari kekuasaan itulah

79

Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada Revormasi Ketatanegaraan.

Kompas, Jakarta, h.29. 80

Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan

Bidang Hukum, kencana, Jakarta, h. 198-199.

106

yang dijadikan sasaran penindakan. Namun semua itu akan berhenti tanpa

berkepastian jika pelaku merupakan oknum dalam lembaga Negara yang secara

konstitusional diatur langsung oleh UUD.

Namun ada fenomena baru di era reformasi ini, yaitu tindakan yang

lebih sadis dibandingkan tindakan yang hanya sekedar tebang pilih, yaitu

cruelty by order atau tebang pesanan. Sosok yang tidak bersalah, tetapi hanya

karena pesanan atau order dari petinggi hukum, akibat kebencian pribadi

terhadap sosok yang tidak bersalah, kemudian dicarikan, direkayasa, dan

dipaksakan untuk menjadi tersangka atau didakwa bersalah. Jadi ketika KPK

tidak mempunyai kesetaraan dengan lembaga Negara yang diawasi dalam

rangka pemberantasan korupsi, maka yang dikhawatirkan adalah hukum

dijadikan (lage abitur, instrumento criminis). 81

Maksudnya UU KPK hanya

sebagai suatu simbol terhadap pemberantasan korupsi, akan tetapi tidak ada

jiwa untuk memberantas tindak pidana korupsi terhadap penegak hukum.

Sehingga korupsi tumbuh semakin subur tanpa adanya penindakan yang

terpadu dan tekad kuat terhadap para pembuat Undang-Undang dan para

penegak hukumnya. Tidak berlebihan jika dikatakan keberadaan KPK sama

dengan ketidakberadaannya karena energy dan motivasi untuk memberantas

korupsi merupakan cermin inisiatif pihak lain yang diwarnai kepentingan

politik. KPK menjadi tidak substantive dan disorientasi. Disinilah letak

pentingnya melakukan reposisi hierarki KPK agar setara dengan lembaga

81

Ibid, h. 199.

107

Negara lainnya secara konstitusional yang juga diatur langsung oleh UUD

1945.

Sehingga dasar kedudukan dan dasar pembentukan KPK perlu

ditingkatkan ke dalam UUD. Hal ini mengingat amandemen ke-lima UUD 1945

terhadap upaya mengangkat kesetaraan DPR dan DPD, Calon Presiden

independen, dan hak asasi manusia mulai diwacanakan. Sehingga cukup

strategis gagasan untuk memposisikan KPK sebagai organ UUD 1945 menjadi

agenda yang serius untuk ditindaklanjuti sebagai komitmen reformasi.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pernanan KPK untuk masa

kini sangatlah penting dan dibutuhkan oleh masyarakat yang disebabkan oleh

maraknya tindakan Korupsi dikalangan pejabat Negara. Begitupun dengan masa

yang akan datang, tentunya Negara masih membutuhkan KPK sebagai wadah

dalam memeberantas korupsi di Negara kita. Bagaimana tidak, jika sekarang

saja pejabat masih sangat banyak diberitakan melakukan korupsi bagaimana

tidak mungkin jika KPK memiliki peran sentral dalam memberantas korupsi.

Terlebih lagi kinerja KPK sampai saat ini sudah sangat baik dalam melalakukan

kewengangannya sebagai lembaga Negara.

Namun adapun kendala-kendala yang masih menjadi kendala dalam

melakukan kewenangannya sebagai sebuah Lembaga, salah satunya terdapat isu

yang dapat dilihat di media masssa yang menyatakan bahwa kewenangan KPK

akan dikurangi oleh DPR untuk menjadikan KPK sebagai lembaga Pencegah

tindak pidana korupsi dan mengembalikan system peradilan pidana pada tatanan

konvensinal yang semula yakni Kepolisian dan kejaksaan.

108

Adapun peranan KPK untuk masa yang akan datang dapat ditinjau dari

beberapa faktor dalam memberantas korupsi di Indonesia dan melihat efektifitas

dari Undang-Undang yang mengatur tentang KPK.

Urgensi keberadaan KPK menjadi lebih penting jika dilihat dari segi

sosiologis pemberantasan korupsi. KPK dibutuhkan sebagai trigger mechanism

untuk mendorong lembaga-lembaga penegakan hukum yang selama ini belum

berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Jadi, membaca UU KPK harus diletakkan dalam konteks upaya luar

biasa memberantas korupsi bukan hanya melihat bunyi teks pasal per pasal UU

tersebut. UU KPK harus dibaca secara utuh sebagai suatu kesatuan semangat

pemberantasan korupsi.

Tentang KPK sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di

tanah air merupakan lembaga lembaga yang bukan berada di luar system

ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945 Pasal 24

ayat (3). Selain itu juga bahwa kedudukan organ lapis kedua dapat disebut

lembaga Negara saja, ada yang mendapat kewenangan dari UUD 1945,

misalnya adalah Komisi Yudisial, Tentara Negara Indonesia (TNI), dan

kepolisian; sedangkan lembaga yang sumber kewenangannya dari Undang-

Undang , misalnya Komnas HAM, Komisi Penyiaran Indonesia, KPK,dan

sebagainya. Kedudukan kedua jenis lembaga Negara tersebut meskipun

kedudukannya tidak lebih tinggi, tetapi jauh lebih kuat karena keberadaannya

disebutkan secara implisit dalam Undang-Undang , sehingga tidak dapat

109

ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-

Undang.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diharapkan upaya untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi dapat lebih efektif, karena

tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian

Negara dan menghambat pembangunan nasional.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat memberikan perlindungan

terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil

dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.82

Selain aspek sosiologis, secara yuridis eksistensi KPK adalah dalam

rangka menjalankan amanat UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.

Ketentuan Pasal 43 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi, menyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dibuat juga atas dasar Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakayat di Indonesia Nomor XI/MPR/1998/ untuk

82

Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,

Jakarta,h. 29.

110

menggantikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 untuk menjamin

kepastian hukum dan menghindari keragaman penafsiran hukum. 83

Adapun unsur filosofis pembentukan lembaga KPK ini yakni dilihat dari

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dibuat dalam rangka untuk

mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dibuat dalam rangka untuk

memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.84

Namun dalam menjalankan perannya untuk masa yang akan datang,

terdapat beberapa kewenangan KPK yang sifatnya masih memiliki kekurangan

yang membatasi ruang gerak KPK itu sendiri, sehingga perlu adanya

penambahan ataupun perombakan kewenagan dalam UU KPK itu sendiri guna

mempermudah KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Anggota Komisi III Martin Hutabarat mengatakan, beberapa tahun

terakhir KPK mulai menunjukkan taringnya dengan mengungkap sejumlah

kasus besar. Malahan, kasus yang melibatkan banyak sejumlah pejabat negara

dan anggota dewan. Namun, sebagai lembaga, KPK di mata Martin masih

belum optimal.85

Adanya rencana DPR melakukan revisi UU KPK memang ditentang

masyarakat. Ganjar berpendapat, usulan revisi yang diajukan DPR mengacu

83

Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II, Sinar Grafika,

Jakarta,h. 28. 84

Ibid. 85

RFQ , 2014, “Inilah Alasan Mengapa Kewenangan KPK Harus Diperkuat”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5405a3693b037/inilah-alasan-kewenangan-mengapa-

kpk-harus-diperkuat, diakses tanggal 02 September 2014 .

111

pada dua hal. Pertama penyadapan, dan kedua kewenangan penuntutan,

khususnya dalam bidang TPPU. Sejatinya KPK memang berhak melakukan

penyidikan terhadap TPPU. Meskipun UU TPPU tidak menyebut secara

gamblang, tetapi dalam praktiknya KPK telah melakukan penyidikan dalam

kasus TPPU.

Kewenangan penyidikan yang dimiliki KPK tak boleh dilepaskan.

Sebaliknya, legislatif jikalau menginginkan merevisi UU KPK, justru

kewenangan penyidikan mesti diperkuat. Menurutnya metode penyadapan

menjadi alat bantu dalam rangka KPK membuktikan tindak pidana korupsi

terhadap koruptor. “Jadi KPK ini harus diperkuat. Sampai sekarang saya yakin

KPK bergerak tidak atas dasar kepentingan politik. Tapi sangat mungkin atas

tekanan politik”.86

Salah satu calon pimpinan KPK Bambang Widjojanto angkat bicara.

Menurut dia, wacana pemberian kewenangan SP3 perlu mendapat perhatian

khusus dan kajian mendalam. Sebab, ketiadaan kewenangan SP3 di KPK seperti

saat ini memiliki kelebihan dan kekurangan.

Positifnya, lanjut Bambang, KPK dituntut untuk sangat berhati-hati

dalam menetapkan seorang tersangka. Harus ada bukti kuat yang mendasarinya.

"Tidak bisa lagi bermain-main untuk segera menyatakan seseorang itu sebagai

tersangka."

86

Ibid.

112

Sedangkan kelemahannya jika terjadi kesalahan manusia (human error)

di tubuh penegak hukum dalam menangani suatu perkara, berimplikasi buruk

bagi lembaga itu sendiri. Karena ia yakin, aparat hukum yang juga manusia tak

lepas dari kesalahan. Menurutnya, jika human error terjadi, audit kinerja di

suatu lembaga sangat diperlukan.87

Mudzakir dan Tama sependapat dengan Bambang. Kewenangan

penyidikan sekaligus penuntutan yang dipunyai KPK dianggap sudah pas. “Dari

sejak pertama kali dibentuk, gagasannya KPK adalah untuk menangani korupsi

sebagai kejahatan luar biasa, sehingga harus ada cara yang luar biasa juga,”.

Kalau proses penyidikan dan penuntutannya dipisah dan dikembalikan

kepada kepolisian atau kejaksaaan, jadinya akan kurang bagus. Selama ini

mungkin KPK kurang produktif karena menjadi kompetitor polisi atau jaksa

padahal KPK seharusnya menjadi koordinator dan supervisor dalam

pemberantasan korupsi”.88

Seperti diketahui, Pemerintah berencana untuk merevisi UU Tipikor.

Organisasi Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan pelemahan dalam

revisi tersebut, salah satunya pelaku kasus korupsi dibawah Rp25 juta

dilepaskan dalam jerat hukum.

Dalam pandangan Busryo, revisi pasal tersebut mencerminkan

perumusan revisi UU Tipikor tidak mempunyai visi pendidikan dan visi

87

Fathan Qorib/Kartini L Makmur, 2011, , “Plus-Minus KPK Tak Punya Kewenangan

SP3”, “URL: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ea6b2fddb4e9/plusminus-kpk-tak-

punya-kewenangan-sp3”, diakses tanggal 25 Oktober 2011.

88 Ibid.

113

pemberantasan korupsi secara utuh. Pasalnya, revisi itu membiarkan korupsi

dibawah Rp25 juta bukan sebagai tindakan korupsi.89

Bagi KPK, UU Tipikor yang ada sekarang sudah bagus dan tidak perlu

diubah. Namun jika ingin diubah, Busyro mengusulkan agar UU Tipikor

menambah ketentuan mengenai sanksi gratifikasi yang lebih tegas, perampasan

harta koruptor, dan hukuman badan bagi koruptor.

"Ketika hukuman kurungan dinilai tidak efektif, LP sudah dinilai tidak

memiliki fungsi semestinya maka Hukuman badan perlu dipertimbangkan," .

Salah satu bentuk hukuman badan misalnya dengan menyapu jalan

menggunakan baju khusus bertuliskan "Saya Koruptor". Hukuman ini

diharapkan bisa menimbulkan efek psikologis yang besar. "Karena sekarang ini

ada kecenderungan korupsi itu bangga, keluar penjara bangga, ini fenomena

menarik untuk Indonesia sehingga hukuman badan patut dipertimbangkan,"

jelasnya.90

Dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi, program legislasi

nasional juga semestinya mempertimbangkan skala prioritas dalam hal revisi

undang-undang. Bila dicermati, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi

sebagai hukum materil yang menjadi acuan pokok dalam pemberantasan

89 Syahid Latif, Iwan Kurniawan, 2011, KPK: Pasal UU Tipikor Harusnya Ditambah,

“URL: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/215137-kpk--pasal-uu-tipikor-harusnya-

ditambah”, diakses tanggal: 16 April 2011.

90

Ibid.

114

korupsi, masih mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut sangat

berdampak pada efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Kelemahan-

kelemahan undang-undang Tipikor sebagaimana disebutkan dalam sebuah

Naskah Akademis yang disusun oleh Koalisi Pemantau Peradilan antara lain:

adanya tumpang tindih pengaturan, adanya beberapa modus korupsi yang belum

diatur dalam UU Tipikor, dan belum diaturnya daluarsa tindak pidana korupsi.

Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian mendasari dibuatnya

sebuah Naskah Akademis Undang-Undang Tipikor oleh Koalisi Pemantau

Peradilan yang dikatakan sebagai sebuah usul inisiatif masyarakat untuk

mengawal perubahan UU Tipikor. Hal-hal mendasar yang diatur dalam

rancangan UU tersebut antara lain: 91

1) Pemberian sanksi pidana terhadap pejabat publik yang tidak melaporkan

harta kekayaannya.

2) Kriminalisasi illicit enrichment. Dalam RUU tersebut disebutkan bahwa

"Pejabat Publik yang memiliki peningkatan kekayaan yang tidak seimbang

dengan pendapatannya secara sah dipidana penjara paling singkat 2 th....

dst."

3) Dipertegas pengaturan mengenai pembalikan beban pembuktian

(pembuktian terbalik) dalam hal adanya dugaan suap dan illicit

enrichment.

91

Hasanuddin M M Talib, 2012, “UU Tipikor Yang Mesti Direvisi, UU KPK Belum

Perlu”, URL: http://www.kompasiana.com/hasanmtalib/uu-tipikor-yang-mesti-direvisi-uu-kpk-

belum-perlu_551806d3a333113107b663d6, diakses tanggal 26 September 2012.

115

Ketiga hal tersebut di atas yakni pelaporan harta kekayaan pejabat

publik, illicit enrichment, dan sistem pembuktian terbalik adalah "tiga

serangkai" yang tidak bisa dipisahkan untuk mengefektifkan pemberantasan

korupsi. Ketiganya lebih penting dan lebih perlu mendapat prioritas untuk

dijadikan materi muatan dalam suatu undang-undang. Jauh lebih penting dari

pada mempersoalkan revisi dari undang-undang KPK. Revisi Undang-Undang

KPK bisa berubah manjadi bola liar yang berujung pada pelemahan KPK

sedangkan revisi UU Tipikor dengan menambahkan pelaporan harta kekayaan,

illicit enrichment, dan pembuktian terbalik jelas akan berdampak positif pada

kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.92

Selain itu dalam hal kewenangan yang dimiliki KPK perlu dipertegas

lagi mengenai kewenangan supervisi dengan lembaga Negara lainnya yang telah

ada dalam UU KPK. Hal ini membantu KPK dalam melakukan kerjasama

dalam menangani kasus korupsi dilingkungan lembaga Negara yang ada.

Apabila melihat ketentuan kewenangan KPK dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002, maka dapat disimpulkan kelebihan kewenangan KPK

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kewenangan yang sangat luas dan terlihat lebih tinggi dan terlihat lebih

tinggi dibandingkan dengan Lembaga Negara lainnya yang dibentuk

berdasarkan konstitusi, seperti mengawasi Lembaga Tinggi Negara;

92

Ibid.

116

2. Kewenangan yang luar biasa seperti melakukan supervisi terhadap pejabat

ataupun lembaga Negara tertentu. Seperti melakukan pemblokiran rekening,

pembatalan transaksi keuangan, pemeriksaan rekening bank ataupun harta

kekayaan pejabat.

Sedangkan kekurangan KPK tersebut adalah dasar pembentukan KPK

yang masih berdasarkan UU saja mengakibatkan ancaman terhadap kewenangan

dan pembentukan KPK dapat dialihfungsikan, seperti pengurangan kewenangan

KPK dalam hal memberantas korupsi ataupun pembubaran KPK.

Jadi berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa

keberadaan maupun peran KPK dimasa yang akan datang masih sangat

diperlukan oleh Negara dan masyrakat untuk memberantas korupsi. Hat tersebut

dapat dilihat dari unsur yuridis yang fungsinya untuk menjamin kepastian

hukum; unsur sosiologis yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas

tindak pidana korupsi agar lebih efektif ; dan unsur filosofis yang memberi

perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat agar tercipta rasa

adil dalam masyarakat.

117

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tentang korupsi tersebut, maka dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Bahwa KPK dapat mengambil alih kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan

dalam hal penyidikan dan penyelidikan, baik itu sebelum UU KPK dan

UU Tipikor terbentuk sepanjang tidak melewati masa daluarsa penuntutan

. Poin ini berhubungan dengan pengaturan pasal Pasal 8, 9, 39 ayat (1), 68

UU KPK dan Pasal 1 No. UU 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang

Hukum acara Pidana/KUHAP).

2. Peranan KPK sebagai lembaga Negara adalah untuk mendorong lembaga-

lembaga penegakan hukum yang selama ini belum berfungsi secara

efektif, dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi dan

mewujudkan amanat UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001

yang menyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan

pemberantasan tindak pidana korupsi yang berfungsi secara efektif dan

efesien.

Jika dilihat dari perspektif norma yang mengatur tentang KPK ,

maka peran Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan

118

bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dengan melalui upaya

koordinasi dan supervisi dalam melakukan menjalankan fungsi sebagai

lembaga penegak hukum dapat mempererat keharmonisan antar lembaga

dan menghasilkan penanganan yang lebih baik.

5.2 SARAN

Adapun saran-saran yang dapat diajukan adalah:

1. Perlunya peningkatan dalam hal mengharmonisasikan hubungan antara

Kepolisian dan Kejaksaan untuk memberantas korupsi dengan cara

mengoptimalkan fungsi supervisi yang sudah ada dalam kewenangan KPK

agar terhindarnya masalah atau konflik antar lembaga Negara terse

2. Keberadaan KPK sebagai Lembaga Negara yang bersifat independen tetap

harus dipertahankan, sementara reformasi penegak hukum dapat

ditingkatkan.

119