Upload
others
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Flight Information Region (FIR) merupakan wilayah udara yang
dikuasai atau dikelola oleh suatu negara dalam rangka mengatur lalu lintas
udara untuk mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan. Penguasaan
wilayah udara diatas Kepulauan Riau oleh otoritas penerbangan Singapura
menunjukan bahwa Singapura memiliki kepentingan mengenai teritorial
mengingat total luas wilayah Singapura hanya 791 Km. Tindakan Air Traffic
Control Singapura yang mengatur seluruh jenis penerbangan yang melintas di
wilayah tersebut, telah menunjukkan bahwa kekuasaan Singapura melampaui
wilayah kedaulatannya, padahal wilayah tersebut masuk dalam kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia mengingat hal tersebut sudah
berlangsung sejak tahun 1946.
Tindakan Air Traffic Control Singapura yang mengatur seluruh jenis
penerbangan yang melintas di wilayah tersebut, telah menunjukkan bahwa
kekuasaan Singapura melampaui wilayah kedaulatannya, padahal wilayah
tersebut masuk dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
mengingat hal tersebut sudah berlangsung sejak tahun 1946.
2
Gambar 1 Peta pengendalian wilayah udara di Kepulauan Riau & Natuna
Keputusan International Civil Aviation Organization (ICAO) pada
tahun 1946 untuk memberi kewenangan kepada Singapura yang saat itu masih
dalam kekuasaan Inggris, dikarenakan pada masa itu wilayah FIR yang
mencakupi Kepulauan Riau dan Natuna masih merupakan bagian laut bebas
dan belum masuk dalam wilayah Indonesia, maka Singapura sebagai negara
persemakmuran Inggris ditunjuk oleh ICAO untuk mengelola FIR di wilayah
tersebut. Disamping itu, Indonesia yang baru merdeka masih disibukkan
dengan kondisi dalam negerinya dan belum memiliki fasilitas dan sumber
daya manusia yang mampu mengelola wilayah udara tersebut.1 Namun saat
ini, jika mengacu pada aturan yang dihasilkan melalui Convention on
International Civil Aviation di Chicago pada tahun 1944, yakni “Setiap negara
memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara di atas
wilayahnya. Artinya, pesawat asing tidak diperbolehkan untuk melintasi
wilayah udara nasional suatu negara tanpa memperoleh izin dari negara yang
bersangkutan. Selain itu, terdapat juga perjanjian mengenai pendelegasian
1Chappy Hakim, Berdaulat Di Udara:Membangun Citra Penerbangan Nasional, (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2010), Hal.72
3
wilayah udara yang tertulis dalam Agreement between the Government of the
Republic Indonesia and the Government of the Republic Singapore on the
Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information
Region and the Jakarta Flight Informaton Region pada tahun 1995, pada
artikel tujuh2 menyebutkan bahwa perjanjian akan berakhir setelah lima tahun,
namun sampai saat ini Singapura masih menguasai wilayah udara tersebut.
Dalam aspek pertahanan dan keamanan, penguasaan FIR oleh Singapura
dapat dijadikan sebuah keuntungan terhadap pertahanan dan keamanan udara
Singapura, karena penguasaan tersebut memberikan kebebasan dan
keleluasaan Singapura hingga melampaui wilayah kedaulatannya. Penguasaan
ini juga dapat dijadikan sebagai strategi operasional, seperti kegiatan intelijen,
pemotretan udara sehingga menjadi keuntungan Singapura dalam bidang
militer. Sampai pada tahun 2015, Angkatan Udara Singapura masih kerap
melakukan latihan di ruang udara Indonesia, hal itu terkait dengan perjanjian
Military Training Area yang disepakati oleh pemerintah Indonesia dan
Singapura, pesawat tempur jenis F-5 dan F-16 milik Angkatan Udara
Singapura sering melakukan latihan tempur di wilayah tersebut3. Meskipun
perjanjian tersebut telah berakhir pada tahun 2001, namun kenyataannya
Angkatan Udara Singapura masih menggunakan wilayah tersebut dan
mengatur semua penerbangan yang melintas di wilayah tersebut, termasuk
penerbangan nasional Indonesia. Selain itu, dalam perjanjian tersebut,
Singapura juga diberikan hak untuk mengajak negara mana saja untuk latihan
2 Article 7, REVIEW: This Agreement will be reviewed at the end of five years and shall be
extended by mutual consent if both parties find it benefical to do so. 3 Elza Astari Retaduari, Detiknews 7 September 2015, “Singapura Pernah Protes Saat Pesawat
Tempur RI Terbang di Langit Kepri”, https://news.detik.com/berita/3011466/singapura-pernah-protes-
saat-pesawat-tempur-ri-terbang-di-langit-kepri (Diakses pada: 17 Januari 2018 Pukul 18.00)
4
bersama di wilayah Indonesia. Juga, tanpa kewajiban menanggung beban
kerusakan di laut dan di darat yang mencakup wilayah sejak Provinsi
Kepulauan Riau, Bangka Belitung, sampai ke Sumatera Selatan. Perjanjian
tersebut juga tidak mengatur jenis piranti perang (termasuk rudal) mana yang
boleh digunakan Singapura dan mana yang tidak boleh dalam latihan itu.4
Selanjutnya, aspek ekonomi dapat pula menjadi alasan mengapa
Singapura mempertahankan penguasaan FIR tersebut, karena memiliki
potensi yang besar dalam meningkatkan perekonomian nasional. Terdapat
kewajiban membayar penggunaan wilayah udara untuk navigasi udara sesuai
dengan jarak yang ditempuh oleh pesawat terbang. Pada prinsipnya, setiap
penggunaan fasilitas jasa penerbangan dan pelayanan jasa terkait bandar udara
dikenakan tarif yang berlaku pada masing-masing negara.5 Hal inilah yang
membuat Singapura ingin mengatur semua penerbangan yang melintas di
wilayah FIR dengan mengatasnamakan keselamatan penerbangan (sebenarnya
adalah bisnis penerbangan) di Changi Airport untuk kepentingan Singapura
sendiri.6 Seperti yang diketahui, Changi Airport merupakan bandara terbesar
di Asia Tenggara yang melayani hampir seluruh penerbangan internasional.
Wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna yang termasuk dalam penguasaan
Singapura, merupakan wilayah yang memiliki potensi ekonomi dan
seharusnya Indonesia berhak untuk menerapkan larangan melintas di daerah
tersebut, karena seperti yang tertulis pada sumber hukum nasional Indonesia,
bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara,
4 Yusron Ihza, Tragedi & Strategi Pertahanan Nasional, (Bandung:Mizan,2009), Hal.41 5 Amrizal Mansur, Flight Information Region (FIR):Implikasi penguasaan Air Traffic Control
Oleh Singapura di Kepulauan Riau, (Jurnal Universitas Pertahanan Indonesia, 2011), Hal. 65 6 Op.cit ,Chappy Hakim, Hal.72
5
Indonesia melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang
udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan
dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.7 Untuk itu,
sudah sejak lama pula Indonesia telah berupaya untuk mengambilalih Flight
Information Region yang selama ini dikuasai oleh Singapura.
Singapura memiliki potensi untuk menjadi negara terkuat di ASEAN
dengan aneka peralatan perang modern yang sedang disempurnakan.
Singapura menghabiskan sekitar enam persen GDP untuk anggaran
pertahanannya.8 Pada bulan April 2010, lima pesawat tempur (dari total 24
yang dipesan) F-15SG Eagle Combat resmi hadir di Paya Lebar Air Base
Singapura setelah melalui masa pengembangan dan pelatihan pilot selama 10
bulan di Mountain Base, Idaho AS. Pesawat tempur F-15SG merupakan
varian Eagle tercanggih.9 Untuk itu segala bentuk kegiatan militer Singapura
di wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna berpengaruh terhadap
peningkatan kapabilitas militer Singapura sehingga Indonesia menganggap
hal ini bukan hanya mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan namun juga
berpotensi menimbulkan ancaman yang bersifat tradisional maupun non-
tradisional.
Penguasaan FIR oleh Singapura ini telah mendorong Indonesia untuk
semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur yang
berkaitan dengan dunia penerbangan, karena dalam penggunaan ruang udara
dibutuhkan kemampuan dalam mengusai teknologi. Selanjutnya,
7 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 8 Op.cit, Hal.88 9 Evan A. Laksana, Analisis Lingkungan Strategis:Perkembangan Teknologi dan Industri
Pertahanan Kawasan, (Jurnal Analisis CSIS, Volume 39, No.2, Juni 2010), Hal.215.
6
pertumbuhan penumpang dan barang di sektor perhubungan udara di
Indonesia telah meningkat secara signifikan dalam 5-10 tahun terakhir
sebanyak 12-15% pertahunnya10 sehingga Indonesia berupaya untuk
mengelola wilayah udaranya dan bersaing dengan negara-negara lain, karena
dalam penguasaan FIR ini akan sangat menentukan kemajuan atau
kemunduran terhadap Air Power negara. Air Power bukan saja terdiri dari
kegiatan penerbangan, akan tetapi juga sejumlah kegiatan yang mendukung
seluruh kegiatan penerbangan, apakah sipil maupun militer, komersial, dalam
masa kini dan jumlah perkembangan di masa mendatang, di segala bidang,
langsung atau tidak langsung.11 Mengingat saat ini persaingan antar negara
telah membawa kepentingan negara berada di atas segalanya.
Letak geografis Singapura yang berada pada lokasi strategis yakni
menghubungkan dua benua dan dua samudera, membuat keberadaan
Singapura menjadi sangat strategis dalam banyak aspek hubungan antar
negara di dunia terutama di wilayah Pasifik. Wilayah udara Kepulauan Riau
dan Natuna yang luas dan sering digunakan untuk penerbangan internasional
menjadikan Singapura untuk terus mempertahankan penguasaan Flight
Information Region demi mencapai kepentingan nasional. Masalahnya adalah
bila Singapura diangggap tidak lagi memiliki hak untuk menguasai FIR, maka
wewenang pengaturan lalu lintas udara di atas kawasan wilayah tersebut akan
diserahkan kepada Negara lain. Dalam hal ini, beberapa negara seperti
10Chappy Hakim, 7 Desember 2012, “Mapping dan perspektif potensi dan realitas ancaman yang
berhadapan dengan kedaulatan Indonesia”, http://www.chappyhakim.com/2012/12/07/mapping-
dan-perspektif-potensi-dan-realitas-ancaman-yang-berhadapan-dengan-kedaulatan-indonesia/
(Diakses pada 27 Oktober 2015 Pukul 21.45 WIB) 11Priyatna Abdurrasyid ,(ed.) .Air Power Kekuatan Udara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000),
Hal.4
7
Thailand, dan Australia telah sejak lama mempersiapkan diri untuk dapat
tampil sebagai pemegang peran sentral dalam pengaturan lalu lintas udara di
kawasan ini.12
Permasalahan mengenai penguasaan Singapura terhadap FIR yang
berada di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna merupakan isu yang menarik
karena terdapat pertentangan antara sesama negara dalam kawasan yang letak
geografisnya berdekatan dan juga melibatkan peran organisasi internasional
(ICAO) sebagai lembaga yang berhak mengatur pembagian zona terbang di
seluruh dunia. Isu ini menjadi penting karena Indonesia menganggap telah
terjadi pelanggaran kedaulatan oleh Singapura atas penguasaan FIR di
wilayah Kepulauan Riau dan Natuna. Sudah sejak lama Indonesia
mengupayakan untuk mengambilalih penguasaan FIR di wilayah tersebut,
namun sampai saat ini Singapura tetap mempertahankan penguasaan FIR di
wilayah Kepulauan Riau dan Natuna.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan
masalah, “Bagaimana Kebijakan Singapura mempertahankan penguasaan Flight
Information Region di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna ?”
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan dari
penelitian, mengetahui dan memahami bagaimana Singapura
12 Op.cit.
8
mempertahankan penguasaan Flight Information Region di wilayah
Kepulaun Riau dan Natuna.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
1. Sebagai bahan informasi bagi pembaca mengenai bagaimana
Singapura mempertahankan penguasaan Flight Information
Region di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna.
2. Diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai
persoalan Flight Information Region Singapura di wilayah
Kepulauan Riau dan Natuna.
1.4 Penelitian Terdahulu
Untuk menganalisa dan menghindari kesamaan dengan peneliti lain dalam
menjawab pertanyaan yang sudah dipaparkan dalam rumusan masalah, penulis
berusaha memaparkan hasil dari beberapa penelitihan terdahulu yang memiliki
kesamaan baik dalam metode penelitian, kasus yang diteliti maupun pendekatan
konseptual. Adapun sumber acuan penelitian terdahulu, penulis menggunakan
beberapa penelitian.
Artikel berjudul “Flight Information Region (FIR): Implikasi penguasaan
Air Trafic Control oleh Singapura di Kepulauan Riau”.13 menjelaskan bahwa
penguasaan wilayah udara sejak tahun 1946 dan mengesahkan pendelegasian
ruang udara kepada Singapura pada tahun 1995 melalui perjanjian antara
13 Amrizal Mansur,”Flight Information Region (FIR):Implikasi penguasaan Air Traffic Control
Oleh Singapura di Kepulauan Riau”, (Jurnal Universitas Pertahanan Indonesia, Vol.1 No. 1,
Januari 2011)
9
Pemerintah Indonesia dan Singapura, menimbulkan implikasi yaitu, terjadinya
pelanggaran wilayah udara Indonesia, kelemahan dalam aspek pertahanan, dan
kerugian pada bidang ekonomi. Indonesia dapat mengambilalih alih FIR jika
dianggap telah mampu.
Selanjutnya, tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilalihan
Pelayanan Navigasi Penerbangan Pada Flight Information Region (FIR)
SiisngapuiuDiatas Wilayah Udara Indonesia Berdasarkan Perjanjian Indonesia
Singapura Tahun 1995”.14 Meskipun lebih menekankan pada aspek ekonomi,
namun terdapat penelitian mengenai upaya apa saja yang telah dilakukan
Indonesia untuk mengambilalih FIR Singapura serta hambatan-hambatan yang
dihadapi dalam upaya pengambilalihan FIR. saat ini pihak Indonesialah yang
lebih dirugikan atas penguasaan wilayah udara tersebut.
Artikel berjudul “Implikasi Hukum Internasional Pada Flight Information
Region (FIR) Singapura atas Wilayah Udara Indonesia Terhadap Kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.15” yang menjelaskan bahwa kedaulatan
udara suatu negara telah diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional,
pada kasus pengusaan FIR oleh Singapura, sudah seharusnya FIR Singapura
dikembalikan kepada Indonesia karena hal tersebut telah tertulis pada sumber
hukum internasional maupun sumber hukum nasional. pendelegasian FIR kepada
Singapura juga berpengaruh pada posisi Indonesia di mata masyarakat
14 Evi Zuraida, 2012, Tinjauan Yuridis Upaya Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Penerbangan
Pada Flight Information Region (FIR) Singapura Diatas Wilayah Udara Indonesia Berdasarkan
Perjanjian Indonesia Singapura Tahun 1995, Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas
Indonesia 15 Eco Silalahi, “Implikasi Hukum Internasional Pada Flight Information Region (FIR) Singapura
atas Wilayah Udara Indonesia Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, (JOM
Fakultas Hukum Volume 2 No. 1 Februari 2015 Universitas Riau).
10
internasional khususnya mengenai bidang penerbangan. Kepastian hukum
dipertanyakan dalam kasus penguasaan ruang udara Indonesia oleh Singapura
Artikel berjudul “Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara Di
Indonesia.16” yang menguraikan berbagai macam pelanggaran kedaulatan udara di
Indonesia oleh pesawat-pesawat asing dan juga persoalan wilayah udara di lintas
batas negara. FIR Singapura yang mencakup sebagian wilayah Riau daratan,
Kepulauan Riau, Tanjung Pinang dan Anambas telah berdampak pada kedaulatan
Indonesia dimana disebutkan dalam Annex 11 Konvensi Chicago bahwa
seharusnya pengelolaan FIR tidak mengganggu kedaulatan negara yang
mendelegasikan.
Skripsi berjudul “Analisa Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam Upaya
Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Udara Pada Flight Information Region (FIR)
Singapura di atas Kepualauan Riau.17” meneliti mengenai seberapa besar peluang
Indonesia agar wilayah udara yang masuk dalam FIR Singapura dapat secara
penuh dan ekslusif menjadi kewenangan Indonesia. Dalam skripsi ini juga
menguraikan kepentingan Singapura terhadap FIR yang berada di wilayah
Kepualaun Riau dan alasan mengapa sampai saat ini wilayah tersebut masih
dikuasai Singapura meskipun sesungguhnya secara hukum wilayah tersebut
merupakan teritorial Indonesia.
16 May Lim Charity,“Permasalahan Kedaulatan Wilayah Ruang Udara Di Indonesia”, (Jurnal
Legislasi Indonesia Volume 11 No. 1 Maret 2014), Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia) 17 Ignasius Priyono, 2016, Analisa Peluang Dan Tantangan Indonesia Dalam Upaya
Pengambilalihan Pelayanan Navigasi Udara Pada Flight Information Region (FIR) Singapura
Di Atas Kepualauan Riau, Skripsi, Makasar: Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
11
Tabel 1. Posisi Penelitian
No. Judul Dan Nama
Peneliti
Jenis Penelitian Dan
Alat Analisa Hasil
1. Flight Information
Region (FIR):
Implikasi
Penguasaan Air
Trafic Control oleh
Singapura di
Kepulauan Riau.
Oleh: Amrizal
Mansur 2011, Jurnal
Universitas
Pertahanan
Indonesia.
Deskriptif
Induktif
Pendekatan:
Kepentingan nasional
Pengambilalihan FIR
sangat diperlukan, dan
memerlukan dukungan dari
semua pihak, karena
wilayah FIR tersebut
sangat bernilai strategis,
politis, dan ekonomis dan
merupakan daerah
kedaulatan NKRI.
2. Tinjauan Yuridis
Upaya
Pengambilalihan
Pelayanan Navigasi
Penerbangan Pada
Flight Information
Region (FIR)
Singapura Di atas
Wilayah Udara
Indonesia
Berdasarkan
Perjanjian Indonesia
Singapura Tahun
1995
Oleh: Evi Zuraida
2012, Tesis, Fakultas
Hukum Pascasarjana
Universitas
Indonesia.
Deskriptif Induktif
Pendekatan:
Teori Hukum Positif
Perlu adanya peningkatan
fasilitas navigasi
penerbangan,
meningkatkan dan
menambah SDM yang
memberikan pelayanan
navigasi penerbangan.
Perlu adanya pendekatan
yang diplomatis dalam
mengambilalih FIR dari
Singapura. Juga lobby
kepada ICAO
(International Civil
Aviation Organization).
3. Permasalahan
Kedaulatan Wilayah
Ruang Udara Di
Indonesia.
Oleh: May Lim
Charity 2014, Jurnal
Legislasi Indonesia,
Direktorat Jenderal
Peratuan Perundang-
undangan,
Kementerian Hukum
dan Hak Asasi
Manusia.
Deskriptif
Induktif
Pendekatan:
Teori Hukum Positif
Perlunya kerja sama antar
instansi yang terkait untuk
menyelesaikan persoalan
FIR Singapura. karena
seharusnya FIR hanya
memberikan pelayanan
navigasi penerbangan
bukan untuk memperoleh
kedaulatan udara bagi
negara yang mengelola
FIR.
4.
Implikasi Hukum
Internasional Pada
Flight Infor mation
Region (FIR)
Deskriptif
Deduktif
Impliksi pendelegasian FIR
berpengaruh terhadap
pandangan masyarakat
dunia kepada Indonesia
12
Singapura atas
Wilayah Udara
Indonesia Terhadap
Kedaulatan Negara
Kesatuan Republik
Indonesia.
Oleh: Eco Silalahi
, 2015, Jurnal,
Fakultas Hukum,
Universitas Riau.
Pendekatan:
Kedaulatan Nasional
khususnya di bidang
penerbangan.
Diupayakan secepatnya
untuk mengambilalih FIR
yang dikuasai Singapura
karena Indonesia memiliki
kepentingan terhadap
wilayah FIR Singapura.
5. Analisa Peluang Dan
Tantangan Indonesia
Dalam Upaya
Pengambilalihan
Pelayanan Navigasi
Udara Pada Flight
Information Region
(FIR) Singapura Di
Atas Kepualauan
Riau
Oleh :Ignasius
Priyono 2016,
Skripsi, Jurusan
Hubungan
Internasional
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik,
Universitas
Hasanuddin.
Deskriptif
Deduktif
Pendekatan:
Kedaulatan Nasional,
Hukum Internasional,
Hukum Udara
Internasional.
Konvensi Chicago 1944
menjadi dasar hukum yang
kuat bagi Indonesia untuk
berdaulat secara lengkap
dan ekslusif atas wilayah
udara yang masuk di
dalam FIR Singapura..
Indonesia memiliki
peluang besar untuk
mengambilalih FIR jika
terlibat aktif di dalam
ICAO untuk
memperjuangkan
kepentingan di tingkat
Internasional.
1.5 Kerangka Teori
Dalam menganalisa suatu permasalahan, penulis menggunakan teori, yaitu
Two Level Game Diplomacy Theory.
1.5.1 Two Level Game Diplomacy Theory
Robert D. Putnam mengkategorikan bahwa negosiasi internasional
dengan jumlah banyak sebagai permainan dua tingkat dimana di tingkat
nasional, kelompok domestik mengejar kepentingan mereka dengan
menekan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang menguntungkan,
dan politisi mencari kekuasaan dengan membangun koalisi di antara
13
kelompok-kelompok itu. Di tingkat internasional, pemerintah nasional
berupaya memaksimalkan kemampuan mereka sendiri untuk memenuhi
tekanan domestik, sambil meminimalkan konsekuensi yang merugikan bagi
perkembangan hubungan luar negeri. Tak satu pun dari dua game tersebut
dapat diabaikan oleh pemangku kebijakan pusat, selama negara-negara
saling tergantung, namun berdaulat.18
Putnam memberi suatu gagasan bahwa dibutuhkan teori yang
terintegrasi dengan sudut pandang yang bisa mewakili pada dua arah. Sudut
pandang yang dapat objektif menganalisa sektor domestik dan
Internasional- secara komprehensif. Dasar skema dari gagasan ini adalah
bahwa arah aliran dari kedua perspektif tentang negara dan domestik
birokrasi selalu berbeda. Padahal untuk memahami hubungan antara kedua
sektor ini, dibutuhkan lebih dari satu sudut pandang.
Two Level Game Diplomacy Theory, menjelaskan bahwa pada
hakikatnya seorang diplomat atau negosiator akan selalu berhadapan dengan
two-level games atau permainan dua level. Pada level I, seorang negosiator
akan berhadapan dengan negara lain. Sementara pada level II, negosiator
akan berhadapan dengan wilayah domestiknya, seperti pejabat eksekutif,
legislatif, kelompok masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya.
Hasil dari negosiasi pada level II (domestik) akan sangat mempengaruhi
keberhasilan pada level I (internasional). Selain itu, Putnam juga
menguraikan mengenai pentingnya “win-set” atau tingkat kesepakatan pada
18 Robert D. Putnam, Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games,
(International Organization, Vol. 42, No. 3 Summer, 1988), Hal. 427
14
level II bagi negosiasi level I. Yang artinya semakin besar win-set akan
berpotensi menciptakan keberhasilan dalam negosiasi pada level I.19
Dalam two-level games, win-set sangat menentukan potensi
keberhasilan sebuah negara untuk mencapai kepentingannya, terdapat
3 faktor yang akan mempengaruhi win-set20, yaitu:
1. Preferensi dan koalisi (level II): ukuran win-set sangat
tergantung dari koalisi dan pilihan-pilihan yang ada pada
level II berupa tekanan dari yang mendukung atau
menentang perjanjian internasional tersebut.
2. Institusi (level II): praktik politik dalam negeri suatu negara
berpengaruh dalam win-set, jika pengaruh dalam negeri
(institusi) semakin dominan dalam level II, maka akan
semakin besar win-set. Namun, jika terlalu kuat institusi
dalam pengaruhnya untuk membuat keputusan, dapat
memperlemah posisi tawar di level I.
3. Strategi negosiator (level I): setiap negosiator dalam
mencapai kesepakatan harus menghormati win-setnya
sendiri. Namun satu sisi harus memaksimalkan win-set
pihak lain. Hal ini yang menjadi dilema tersendiri, bahwa di
lain sisi ia harus memaksimalkan win-set pihak lain, ketika
19 Ibid, Hal. 427 20 Ibid.
15
negosiator memaksimalkan win-set pihak lain, ini akan
memperlemah win-setnya sendiri.21
Teori yang dikemukakan oleh Robert D. Putnam menjelaskan
bagaimana interaksi antara kondisi domestik sebuah negara berpengaruh
terhadap keberhasilan upaya diplomasi di arena internasional. Putnam
berpendapat bahwa dibutuhkan strategi penyesuaian faktor-faktor
domestik demi tercapainya kepentingan sebuah negara di dalam percaturan
politik internasional maka dibutuhkan dua elemen yakni yang berada pada
level domestik dan juga level internasional.22
Pada level II (domestik) Two level games diplomacy, win-set
domestik yang besar ditunjukkan oleh Singapura dengan dukungan
tinggi terhadap pembangunan pada sektor penerbangan di dalam negeri
yang terbukti dengan pembangunan fasilitas pelayanan penerbangan
standar internasional yang mengedepankan aspek keamanan dan
keselamatan penerbangan, membentuk sumber daya manusia yang
berkualitas di sektor penerbangan serta melakukan riset dan
pengembangan mengenai teknologi penerbangan juga fasilitas
pendukung penerbangan, hal itu didasari oleh keuntungan lokasi
geografis yang terletak di antara jalur pelayaran dan penerbangan
internasional. Di samping itu, minimnya sumber daya alam menjadikan
Singapura menggantungkan pendapatan ekonomi dari sektor
perdagangan dan jasa, sehingga jika Singapura tidak memiliki fasilitas
21 Ibid. 22 Ibid.
16
pendukung yang berkualitas dalam pelayanan jasa penerbangan maka
Singapura akan kehilangan salah satu sumber pendapatan dari sektor
jasa sehingga preferensi dan koalisi pada level II yang berupa lembaga
maupun organisasi mengarah pada dukungan untuk meningkatkan
kualitas penerbangan agar menjadi negara yang mampu memberi
pelayanan penerbangan di dalam Kawasan Asia Pasifik dan memenuhi
aspek keamanan dan keselamatan.
Dominasi dari lembaga yang memiliki otoritas terhadap
penerbangan Singapura seperti Kementerian Transportasi, Civil Aviation
Authority of Singapore (CAAS), Changi Airport Group (CAG),
Singapore Aviation Academy (SAA) dalam menyediakan fasilitas
pelayanan penerbangan yang berkualitas juga membuat ICAO tetap
memberikan hak pengendalian Flight Information Region di wilayah
udara Kepulauan Riau dan Natuna kepada Singapura karena Singapura
dianggap lebih mampu melayani penerbangan yang melintas di wilayah
FIR sehingga tercipta bentuk keselamatan penerbangan yang sesuai
standar internasional, Hal tersebut menunjukan bahwa kebijakan
domestik yang dibuat oleh Singapura telah menciptakan win-set besar
berdasarkan kepentingan domestik yang kemudian berpengaruh
terhadap kebijakan luar negerinya sehingga sampai saat ini ICAO
sebagai organisasi yang berhak menentukan FIR di seluruh dunia,
menetapkan Singapura sebagai pengendali FIR di wilayah Kepulauan
Riau dan Natuna.
17
Pernyataan kesepakatan atau kebijakan yang dijalankan pada level I
selalu memperhatikan win-set domestik, dimana win-set menjadi
pertimbangan suatu negara. Hal ini dikarenakan sektor domestik harus
memberikan beberapa bentuk dukungan pemerintah. Sehingga semakin
besar win-set, maka semakin mempermudah negosiasi di level I
(Internasional). Sebaliknya, semakin susah untuk mencapai kesepakatan
jika win-set suatu negara adalah kecil.23
Setelah menciptakan win-set besar pada level II, upaya untuk
mempertahankan FIR dilanjutkan pada level I. kebijakan Singapura
mempertahankan FIR muncul saat terdapat upaya pengambilalihan FIR
oleh Indonesia yang kemudian atas saran ICAO persoalan mengenai FIR
diselesaikan secara bilateral maka terciptalah Agreement between the
Government of the Republic Indonesia and the Government of the
Republic Singapore on the Realignment of the Boundary between the
Singapore Flight Information Region and the Jakarta Flight Informaton
Region melalui perjanjian tersebut Indonesia secara resmi mendelegasikan
FIR kepada Singapura.
Dikarenakan ICAO memiliki wewenang sebagai lembaga yang
berhak mengatur FIR di seluruh dunia, maka selanjutnya Singapura aktif
dalam organisasi penerbangan sipil dunia tersebut. Di dalam ICAO,
Singapura berperan sebagai Anggota Dewan ICAO dan menjadi ketua di
beberapa badan dalam struktur ICAO serta menjalankan program-program
yang dibentuk oleh ICAO. Dengan aktifnya Singapura dalam ICAO, tentu
23 Ibid, Hal. 437-438
18
berpengaruh terhadap hak pengelolaan wilayah udara di seluruh dunia,
karena Singapura terlibat secara langsung dalam proses pembuatan
kebijakan yang dilakukan oleh ICAO.
Untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Singapura
merupakan negara terdepan dalam pengetahuan kedirgantaraan, SAA yang
merupakan lembaga pendidikan penerbangan di Singapura, melakukan
kerja sama yang melibatkan pemangku kepentingan penerbangan dari
negara-negara lain. Dalam kerja sama tersebut SAA mengajak kampus-
kampus dari luar negeri yang memiliki program pelatihan juga program
sarjana maupun pascasarjana mengenai sektor penerbangan untuk
dijalankan di Singapura, selain itu kerja sama pelatihan juga melibatkan
negara yang tergabung dalam organisasi penerbangan regional dari
beberapa kawasan di dunia. Dengan memiliki reputasi sebagai negara
penyedia pendidikan penerbangan terbaik di dunia tentu akan menarik
perhatian dan kepercayaan masyarakat dunia bahwa Singapura merupakan
negara yang layak untuk mengelola wilayah udara dan menjamin
keamanan dan keselamatan penerbangan yang dilayani.
Inilah yang dimaksud dengan peranan yang sama dalam setiap level.
Negosiasi yang dilakukan pada level pertama hanya bersifat sementara
karena keberhasilan atau keputusan akhir berada pada level II, maka level I
dan II harus berjalan dengan baik dengan tujuan memberikan hasil yang
maksimal pada masing-masing level dan tidak memunculkan kerugian
pada salah satu level.
19
Negosiator dalam konteks dual game akhirya mempunyai peran
penting untuk menyampaikan tawaran yang rasional dan dapat
dipertanggungjawabkan di level II. Oleh karenanya, negosiator cenderung
membatasi apa yang akan dijanjikan di level I. Karena konsekuensi
panjang dari hal yang tidak realistis; tidak sesuai dengan power berdampak
pada hubungan dalam negeri dan luar negeri. Suatu premis yang
dijanjikan di level I butuh usaha tertentu untuk mewujudkanya, sehingga
perjanjian yang tidak bisa terealisasi di level II cenderung dihindari. Inilah
yang dimaksud faktor kapabilitas negosiator mengakomodasi win-level
yang positif dalam level domestiknya dan kemampuan untuk
menyampaikanya adalah penting.24
Jika fokus pada birokrasi domestik, kenyataanya kita tidak bisa
menutup mata atas faktor-faktor tertentu antar negara bisa saling
mempengaruhi (termasuk faktor negosiasi). Atau paling tidak kita tahu
kenyataanya bahwa kebijakan yang dirumuskan dalam suatu negara, tidak
lepas dari kesesuaianya dengan dunia Internasional. Selain itu, kita akan
terjebak dalam sudut pandang yang stagnan bahwa birokrasi adalah satu-
satunya hal penting dalam hubungan internasional. Oleh karenanya,
Putnam menawarkan Two Level Game Diplomacy sebagai konsepsi yang
dapat menjembatani perspektif antara domestik dan Internasional.
24 Putnam memperkuat argumenya dengan mengutip Gilbert R. Winham, "Robert Strauss, the
MTN, and the Control of Faction," 1980.
20
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis metode penelitian deskriptif karena
selain mengkaji juga menjelaskan hubungan banyak variabel seperti kontrol
Singapura terhadap aktivitas penerbangan di wilayah udara Kepulauan Riau
dan Natuna baik sipil maupun militer, kepentingan Singapura terhadap FIR di
Kepulauan Riau dan Natuna, dengan tujuan menjelaskan bagaimana
Singapura mempertahankan penguasaan Flight Information Region di wilayah
udara Kepulauan Riau dan Natuna.
1.6.1 Variabel Penelitian dan Level Analisa
Variabel penelitian: Bagaimana Singapura Mempertahankan
Penguasaan Flight Information Region di wilayah Kepulauan Riau
dan Natuna.
Terdapat Unit Analisa yaitu: Bagaimana Singapura
mempertahankan penguasaan Flight Information Region di wilayah
Kepulauan Riau dan Natuna, serta Unit Eksplanasi yakni: Flight
Information Region Singapura yang mencakup wilayah Kepulauan
Riau dan Natuna.
Sehingga membentuk level analisa yang bersifat korelasionis
karena unit analisa yang digunakan berada pada level yang sama
dengan unit eksplanasi yaitu negara-bangsa.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan bentuk atau model deskriptif. Data dalam penelitian ini
21
menggunakan data sekunder sebagai sumber utama yakni data yang
diambil dari sejumlah literatur tertulis seperti buku, jurnal, surat kabar,
majalah, artikel ilmiah, laporan penelitian, dokumen-dokumen resmi,
dan situs-situs internet (website) yang dianggap otoritatif dan
relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Kemudian,
studi kepustakaan (library research) merupakan teknik yang
digunakan dalam penelitian ini. Data yang diperoleh dari berbagai
sumber dan memiliki korelasi dengan permasalahan penelitian akan
diolah dan kemudian diubah dalam bentuk kalimat yang kemudian
digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab dan menjelaskan
rumusan masalah.
1.6.3 Teknik Analisa Data
Penulis menggunakan teknik analisa data induktif dikarenakan
dalam melakukan penelitian peneliti mengumpulkan, memilah,
mengelompokkan data mengenai objek fenomena yang akan diteliti
kemudian dianalisa secara lengkap.
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.4.1 Ruang Lingkup Materi
Sebagai upaya untuk menghindari terjadinya penulisan
dengan penjabaran yang luas, maka penelitian memerlukan
batasan masalah yang jelas. Berdasarkan dengan latar belakang
penelitian dan rumusan masalah yang telah dijabarkan diatas,
pembahasan penelitian ini dibatasi hanya mengenai objek yang
22
diteliti. Selain itu juga dapat membantu peneliti dalam
mengumpulkan data secara efektif. Oleh karena itu dalam
penelitian ini peneliti memfokuskan pada bagaimana Singapura
mempertahankan penguasaan Flight Information Region di
wilayah Kepulauan Riau dan Natuna.
1.6.4.2 Ruang Lingkup Waktu
Dalam penelitian ini peneliti akan membatasi ruang lingkup
waktu penelitian, maka untuk batasan waktu yang digunakan
dalam penelitian ini, penulis memfokuskan mulai dari selesainya
perjanjian antara Indonesia dan Singapura dalam Agreement
between the Government of the Republic Indonesia and the
Government of the Republic Singapore on the Realignment of
the Boundary between the Singapore Flight Information Region
and the Jakarta Flight Informaton Region pada tahun 2000
sampai tahun 2018 karena sejak sepuluh tahun terakhir telah
terjadi peningkatan dalam penggunaan transportasi udara.
1.7 Argumen Pokok
Kebijakan Singapura mempertahankan penguasaan Flight Information
Region di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna dilakukan melalui Two Level
Games Diplomacy Theory, yakni level II (domestik) dan level I (luar negeri). Pada
tahap level II (domestik), Singapura membangun fasilitas pelayanan penerbangan
yang sesuai dengan standar keamanan internasional dan juga mampu membentuk
sumber daya manusia yang berkualitas dalam bidang pelayanan navigasi udara,
sehingga berpengaruh terhadap reputasi Singapura di dunia internasional
23
mengenai sektor penerbangan. Singapura juga aktif melakukan riset dan
pengembangan yang tujuannya untuk memajukan sektor penerbangan.
Selanjutnya, pada level I (luar negeri), tingginya dukungan dalam negeri
Singapura menghasilkan win-set yang berpotensi besar bagi Singapura untuk
mempertahankan FIR melalui kebijakan luar negeri. Dengan terciptanya
perjanjian bilateral dengan Indonesia agar wilayah udara Kepulauan Riau dan
Natuna yang masuk ke dalam FIR Singapura tetap dapat dikelola oleh Singapura
untuk jangka waktu beberapa tahun. Selain itu, Singapura juga melibatkan
International Civil Aviation Organization (ICAO) untuk mempertahankan
penguasaan FIR di Kepulauan Riau dan Natuna. Hal tersebut dapat dilihat dari
posisi Singapura yang menjabat sebagai Anggota Dewan ICAO, Singapura
terlibat secara langsung dalam merumuskan semua hal yang terkait dengan
kebijakan penerbangan internasional, Singapura juga aktif dalam menjalankan
program-program yang diciptakan oleh ICAO sehingga sampai saat ini Singapura
mampu mempertahankan penguasaan FIR di wilayah Kepulauan Riau dan
Natuna. Selain itu, Singapura juga menjalin kerjasama dengan perusahaan-
perusahaan internasional yang bergerak di sektor penerbangan agar selalu
memiliki pengetahuan dan teknologi terdepan di bidang penerbangan.
1.8 Sistematika Penulisan
BAB I. Pendahuluan
Merupakan bab pertama yang akan membahas tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu,
kerangka teori dan pendekatan, metodelogi penelitian, variabel penelitian dan
24
level analisa, teknik analisa data, teknik pengumpulan data, argumen pokok dan
sistematika penulisan. Diharapkan bab ini dapat memberikan gambaran yang jelas
mengenai permasalahan yang akan dibahas.
BAB II. Kepentingan Singapura Terhadap Flight Information Region di
Kepulauan Riau dan Natuna.
2.1 Kepentingan militer dalam FIR di Kepulauan Riau dan Natuna
2.2 Kepentingan ekonomi dalam FIR di Kepulauan Riau dan Natuna.
2.3 Kepentingan politik dalam FIR di Kepulauan Riau dan Natuna
2.4 Keberhasilan Singapura dalam Negosiasi dan Determinasi
BAB III. Kebijakan Domestik Singapura Dalam Mempertahankan
Flight Information Region.
3.1 Proses pembuatan kebijakan dalam Negeri Singapura mengenai sektor
penerbangan
3.2 Pemberdayaan kualitas sumberdaya manusia dalam sektor penerbangan
3.3 Membangun fasilitas penerbangan yang sesuai dengan standar
internasional
3.4 Melakukan riset dan pengembangan mengenai teknologi penerbangan
juga fasilitas pendukung penerbangan
3.5 Optimalisasi kapabilitas domestik Singapura
25
BAB IV. Kebijakan Luar Negeri Singapura Dalam Mempertahankan
Flight Information Region.
4.1 Melakukan perjanjian bilateral dengan Indonesia agar tetap
dapat mengelola wilayah udara di Kepulauan Riau dan Natuna.
4.2 Aktif di dalam International Civil Aviation Organization
(ICAO)
4.3 Menjalin kerjasama dengan pemangku kepentingan
penerbangan dari negara lain.
4.4 Singapore Win the Game’: Outcome Singapura atas
Kesuksesan Mengakomodasi Kebijakan Domestik dan
Internasional
BAB V. Penutup
Kesimpulan dari seluruh uraian pada bab-bab sebelumnya dan jawaban-
jawaban pokok mengenai bagaimana Singapura mempertahankan
penguasaan Flight Information Region di wilayah Kepulauan Riau dan
Natuna.