Upload
vudiep
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 dan kesepakatan WTO dalam General
Agreement on Trade in Services (GATS) telah mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk
terus meningkatkan intensitas diplomasi dan perdagangan di bidang pendidikan tinggi. Wujud
institusionalisasi interaksi dalam sektor pendidikan tinggi regional dapat ditemukan dalam
ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Social and Cultural Community (ASCC)
sementara dalam aspek non-institusional dapat dilihat dari adanya peningkatan mobilitas pelajar
intra kawasan, yang selanjutnya dipahami sebagai proses regionalisasi guna mewujudkan
regionalisme kawasan. Selanjutnya, tulisan ini berupaya menganalisis kekuatan pembentuk
regionalisme dalam perpektif sektor pendidikan tinggi serta manfaatnya bagi negara maupun
kawasan, sebagai bagian dari upaya memahami regionalisme ASEAN pada umumnya.
Tonggak utama dalam diplomasi di bidang pendidikan tinggi kawasan adalah
pembentukan ASEAN Community yang lahir melalui Deklarasi ASEAN dalam Bali Concord II
pada tahun 2003. Dalam kesepakatan awal, ASEAN Community akan diimplementasikan pada
tahun 2020. Pada pertemuan tingkat tinggi selanjutnya dalam 12th
ASEAN Summit yang diadakan
di Filipina tahun 2007, para pemimpin negara ASEAN setuju untuk mempercepat implementasi
ASEAN Community lima tahun lebih awal, yaitu pada tahun 2015, sebagaimana dapat ditemukan
dalam Deklarasi Cebu (ASEAN, 2009, p.1).
Di dalam ASEAN Community terdapat tiga pilar yang menjadi landasan dari semua
kerangka kebijakan kerja sama regional, yaitu: ASEAN Political-Security Community (APSC),
ASEAN Economic Community (AEC), serta ASEAN Social and Cultural Community (ASCC).
2
Pada tahun 2006, menteri-menteri ekonomi ASEAN yang bertemu dalam ASEAN Economic
Ministers Meeting (AEM) di Malaysia menyepakati cetak biru ASEAN Community yang pertama,
yaitu untuk pilar AEC (ASEAN, 2008, p. 5). Cetak biru kedua yang disepakati adalah untuk pilar
ASCC pada tahun 2007 (ASEAN Secretariat, 2009, p. 1). Terakhir, cetak biru APSC diadopsi
melalui hasil kesepakatan the 14th
ASEAN Summit pada tahun 2009 (ASEAN Secretariat, 2009,
p. 1). Dari ketiga pilar tersebut, pendidikan tinggi secara khusus, atau pendidikan secara umum,
menjadi bagian dari ASCC dan sedikit banyak menyinggung pilar AEC.
Sebelum cetak biru ASCC dan AEC, ASEAN tidak memiliki kerangka kebijakan kerja
sama sektor pendidikan secara spesifik karena masih diintegrasikan dalam SEAMEO. Baru
dalam The 4th
ASEAN Summit yang dilaksanakan pada tahun 1992, dimunculkan inisiasi kerja
sama di sektor pendidikan tinggi dan pembangunan sumber daya manusia. Sebagai tindak lanjut,
pada tahun 1995 pemimpin negara di sektor pendidikan tinggi menandatangani piagam
pembentukan AUN (Gajaseni, 2012b). Meskipun demikian, AUN belum berfungsi aktif hingga
kerja sama regional sektor pendidikan tinggi mengalami pengintensifan paska Deklarasi Cebu.
Diplomasi sektor pendidikan tinggi menuju ASEAN Community dilanjutkan dengan
membentuk ASEAN Education Ministers’ Meeting (ASED) yang mengadakan pertemuan rutin
untuk membahas dan mempercepat implementasi cetak biru ASCC di bidang pendidikan. Dalam
perkembangannya, ASED diintegrasikan dengan Southeast Asia Ministry of Education
Organization (SEAMEO) yang telah berdiri sejak tahun 1965. Salah satu prioritas ASED adalah
peningkatan kepedulian generasi muda ASEAN melalui pendidikan, yang diwujudkan dengan
menjadikan ASEAN University Network (AUN) sebagai instrumen utamanya (ASEAN, n.d.).
Sebagai persiapan menuju integrasi regional di tahun 2015, aktor-aktor dalam sektor
pendidikan ASEAN membuat kerangka kerja dalam ASEAN 5-Year Work Plan on Education
3
untuk periode tahun 2011-2015. Rencana kerja tersebut berisikan empat prioritas, yaitu:
mempromosikan “ASEAN Awareness”; keteraksesan pendidikan berkualitas, meningkatkan
akses pendidikan dasar dan sekunder berikut performa pendidikan, standar, pendidikan seumur
hidup, serta pengembangan jiwa profesional; mobilitas lintas batas serta internasionalisasi
pendidikan; dan terakhir adalah mendukung sektor lain yang memiliki keselarasan dengan
pendidikan (Gajaseni, 2013b). Implementasinya sendiri dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.
Grafik 1
Pemetaan Proyek Kerja Sama Pendidikan ASEAN berdasarkan
Prioritas ASEAN 5-Year Work Plan on Education Tahun 2007-
2013
Keterangan:
P1 : mempromosikan ASEAN Awareness
P2A : keteraksesan pendidikan berkualitas, meningkatkan akses pendidikan dasar dan
sekunder
P2B : peningkatan kualitas performa pendidikan, standar, pendidikan seumur hidup, serta
pengembangan jiwa profesional
P3 : mobilitas lintas batas serta internasionalisasi pendidikan
P4 : mendukung sektor lain yang memiliki keselarasan dengan pendidikan
Sumber: Gajaseni (2013b)
4
Dari 81 proyek tersebut, dapat diketahui bahwa sektor pendidikan tinggi merupakan
sektor yang paling aktif dalam upaya merealisasikan ASEAN 5-Year Work Plan on Education.
Fakta menarik lain yang ditemukan dari data tersebut adalah tingginya pencapaian program
mobilitas dan internasionalisasi, yang mengindikasikan bahwa instrumen tersebut efektif dalam
mempromosikan ASEAN Community di sektor pendidikan, termasuk pendidikan tinggi.
Tingginya tingkat mobilitas dalam integrasi kawasan Asia Tenggara, baik dalam program
implementasi ASEAN 5-Year Work Plan on Education maupun mobilitas secara natural, menjadi
ciri dari integrasi ASEAN di sektor pendidikan tinggi.
Berbicara mengenai mobilitas pelajar, pembahasan mengenai integrasi dan interaksi
dalam sektor pendidikan tinggi kawasan dapat dikaitkan dengan dimensi perdagangan. Mobilitas
pelajar merupakan fenomena yang terjadi karena adanya permintaan akan jasa pendidikan tinggi
yang tidak dapat dipenuhi oleh penyedia jasa domestik sehingga konsumen jasa pendidikan
tinggi mencari penyedia jasa lain di luar negeri. Aktifitas ini dalam GATS dikenal sebagai mode
suplai consumption abroad. Dalam periode 2007-2011, diketahui terdapat peningkatan arus
mobilitas pelajar intra kawasan dengan Malaysia dan Thailand sebagai negara tujuan utama bagi
pelajar dari negara-negara ASEAN. Mayoritas mobilitas pelajar Thailand juga memilih
Malaysia, sementara pelajar Malaysia memilih institusi pendidikan di Indonesia untuk memenuhi
permintaan jasa pendidikan tinggi yang diinginkan.
Sementara mobilitas pelajar berada dalam mode suplai consumption abroad, terdapat
pula mobilitas dalam mode suplai movement of natural persons dalam sektor pendidikan tinggi
terutama terkait dengan perpindahan tenaga kerja profesional, di mana dalam pilar AEC telah
diamanatkan pada AUN sebagai badan penggerak tren perpindahan tenaga kerja profesional
sektor pendidikan dalam kawasan (ASEAN, 2008, p. 16). Terkait dengan hal tersebut, negara-
5
negara ASEAN juga mengacu pada ketetapan GATS dalam mode suplai serta prinsip
perdagangan jasa, yang dikomitmenkan dalam Agreement on the Movement of Natural Persons
yang ditandatangani pada tahun 2012. Dengan melihat adanya dua mode tersebut, maka dapat
dinyatakan bahwa integrasi dalam sektor pendidikan tinggi kawasan tidak hanya terbatas pada
dimensi diplomasi politis, tetapi juga memiliki dimensi praktis dalam konteks perdagangan jasa.
Selain interaksi intra kawasan, negara-negara ASEAN secara individual maupun kolektif
juga memiliki hubungan dengan Amerika Serikat, EU, Australia, Selandia Baru, Jepang, serta
negara-negara OECD lain dalam sektor pendidikan tinggi di mana diketahui masih menjadi
prioritas tujuan pelajar di luar kawasan. Interaksi dalam sektor pendidikan tinggi juga dapat
dilihat dalam diplomasi di level negara, yaitu melalui ASEAN+3, ASEAN+8, dan ASEAN-EU
(Sugimura, 2013).
Interaksi seperti dalam aktifitas diplomasi dan perdagangan jasa pendidikan tinggi yang
terjadi di ASEAN dalam beberapa waktu terakhir tersebut bukanlah fenomena baru dalam dunia
pendidikan tinggi. Jauh sebelum ASEAN membuat cetak biru AEC maupun ASCC, dunia telah
melihat berbagai skema kerja sama hasil diplomasi transnasional serta jumlah migrasi manusia
dalam tujuannya memenuhi kebutuhan pendidikan berkualitas terutama paska Perang Dingin
berakhir. Salah satu indikator yang dapat diamati adalah jumlah pelajar internasional di seluruh
dunia yang mengalami peningkatan tajam dalam dua dekade terakhir.
Tercatat pada tahun 1990, jumlah pelajar internasional sebesar 1,3 juta. Pada tahun 2000,
jumlahnya meningkat mencapai 2,1 juta dan naik dua kali lipat menjadi 4,1 juta pelajar pada
tahun 2010 (Kritz, 2012). Data terakhir yang diperoleh dari UNESCO pada tahun 2011, tercatat
sebanyak 4,3 juta pelajar belajar di institusi pendidikan di luar negeri (UNESCO, 2013, p. iii).
Dari data tersebut juga diperoleh fakta bahwa sebesar 90% dari jumlah pelajar internasional
6
memilih institusi pendidikan di negara anggota OECD, dengan 70%-nya memilih Amerika
Serikat, Inggris, Australia, Perancis, dan Jerman. Sementara itu, China, India, dan Korea Selatan
menjadi negara-negara teratas yang mengirimkan pelajarnya ke luar negeri (World Education
Services, 2007).
Adanya implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 di satu sisi serta globalisasi
terutama dalam konteks perdagangan jasa pendidikan tinggi menjadi dua fitur utama dalam
integrasi sektor pendidikan tinggi ASEAN era kontemporer. Hal ini menjadi menarik untuk
diteliti lebih lanjut, untuk mengetahui alasan apa yang sebenarnya menjadi pemicu peningkatan
aktifitas pendidikan tinggi intra dan inter kawasan yang dilakukan oleh ASEAN. Faktor tersebut
penting untuk diketahui karena mempengaruhi karakter dari regionalisme dan regionalisasi
dalam ASEAN Community, yang pada akhirnya juga dapat mempengaruhi keefektifan rezim
tersebut di masa depan.
B. Tinjauan Literatur
Ketika membahas kerja sama dan integrasi pendidikan tinggi ASEAN dalam konteks
ASEAN Community 2015, dapat diketahui bahwa topik ini belum banyak dikaji secara
mendalam. Penelitian yang telah dilakukan lebih banyak berfokus pada level negara dan
berbicara tentang kesiapan negara dalam menghadapi integrasi, tanpa banyak menyinggung
maksud dari upaya integrasi itu sendiri. Pada tahap ini, dapat ditarik pemahaman bahwa integrasi
pendidikan tinggi dalam ASEAN Community cenderung dianggap sebagai bagian dari
kesepakatan secara lebih umum dalam rangka menciptakan regionalisasi hingga regionalisme
ASEAN.
7
Salah satu kajian yang relevan dengan topik bahasan ini dilakukan oleh Kuroda et al.
pada tahun 2010. Penelitian tersebut mencoba menangkap fenomena regionalisasi pendidikan
tinggi dengan menggunakan pendekatan transnasionalis dengan menjadikan institusi pendidikan
tinggi sebagai objek penelitian. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk mengetahui preferensi
pelaku pendidikan tinggi dalam memandang regionalisasi pendidikan tinggi di Asia Timur.
Preferensi yang tersebut diperoleh dari survei terhadap 300 universitas dari sepuluh negara
ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan mengenai hasil yang diharapkan dari aktifitas
pendidikan tinggi lintas batas dari waktu ke waktu.
Penelitian tersebut mengungkap fakta bahwa terjadi perubahan preferensi universitas di
Asia Timur dalam kerja sama pendidikan tinggi regional. Di awal era 2000-an, hasil yang
diharapkan dari kerja sama regional bersifat akademis, seperti meningkatkan pemahaman
interkultural, kapabilitas penelitian, serta kualitas pendidikan. Memasuki akhir dekade, motif
tersebut berubah menjadi politis di mana preferensi mobilitas pendidikan tinggi dimaksudkan
untuk mempromosikan nilai-nilai masyarakat global, kerja sama regional serta identitas Asia,
nilai dan budaya lokal, serta meningkatkan reputasi universitas.
Penelitian tersebut juga mencoba memprediksi preferensi pelaku pendidikan tinggi di
masa depan, di mana diperkirakan orientasinya akan bergeser ke motif ekonomi. Hal ini
berkaitan erat dengan peningkatan permintaan jasa pendidikan tinggi, baik di level global,
regional. maupun nasional. Pada tahap ini, barulah universitas menyatakan bahwa mobilitas
pendidikan tinggi regional dapat memberikan pemasukan finansial bagi institusi (Kuroda, et al.,
2010). Kajian relevan lain juga dapat ditemukan dalam tulisan Miki Sugimura (2009) yang
secara singkat memberikan wawasan mengenai pola kerja sama pendidikan tinggi, faktor yang
melatarbelakangi, manfaat, serta isu-isu yang dihadapi dalam kerja sama di kawasan Asia Timur.
8
Pertama-tama, Sugimura memaparkan bahwa kerja sama pendidikan tinggi Asia Timur
terjadi melalui jaringan regional dan kerja sama antar universitas. Jaringan regional merupakan
hasil dari interaksi pembuat kebijakan yang terefleksikan dalam keikutsertaan negara-negara
kawasan dalam organisasi UNESCO, ASEAN Development Bank, ASEAN, SEAMEO, hingga
APEC. Sementara itu, kerja sama antar institusi lahir melalui kesepakatan antar universitas serta
keikutsertaan dalam konsorsium. Kemudian dengan melihat kerangka kerja sama yang ada,
ditemukan fakta bahwa seringkali skema yang ada saling tumpang tindih antara satu dengan
lainnya. Hal tersebut tidak mengurangi manfaat dari program, meskipun di lain sisi mengurangi
efektifitas kinerja aktor-aktor yang terlibat.
Terjalinnya kerja sama dalam dua level tersebut dilatarbelakangi oleh adanya
diversifikasi dan mobilitas pelajar serta upaya kerja sama regional untuk membangun sumber
daya manusianya. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, para pelaku
pendidikan tinggi regional melakukan beberapa upaya seperti mendorong mobilitas serta
standardisasi pendidikan, baik melalui pola intenasional maupun transnasional.
Dari dua hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran besar terhadap logika integrasi
pendidikan tinggi di Asia Timur, yaitu mengenai proses regionalisasi serta preferensi yang
melatarbelakangi hubungan kerja sama tersebut. Meskipun demikian, karena sudut pandang yang
diambil adalah dari level mikro, kepentingan negara sebenarnya belum tereksplorasi. Hal ini
penting untuk diketahui, mengingat kerja sama regional di bidang pendidikan tinggi tidak akan
dapat berlangsung, atau dengan kata lain, terealisasikan hasil-hasil yang diharapkan seperti telah
diungkapkan dalam penelitian, jika tidak sejalan dengan kepentingan negara. Oleh karena itu,
tulisan ini berupaya untuk mengeksplorasi regionalisme pendidikan tinggi di ASEAN dari sisi
struktural, baik dalam konteks dinamika global maupun regional.
9
C. Perumusan Masalah
Beranjak dari latar belakang peningkatan intensitas diplomasi serta perdagangan dalam
sektor pendidikan tinggi ASEAN yang merupakan refleksi regionalisasi menuju terbentuknya
regionalisme kawasan, maka tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Ditinjau dari sektor pendidikan tinggi, mengapa negara-negara ASEAN
membentuk regionalisme?
2. Apa fungsi regionalisme bagi sektor pendidikan tinggi kawasan dan negara-
negara anggota ASEAN?
D. Kerangka Konseptual
Untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya, akan digunakan
konsep “globalisasi pendidikan” untuk menjelaskan fenomena global yang terjadi dalam sektor
pendidikan tinggi serta “regionalisme” untuk menganalisis kepentingan negara anggota yang
melatarbelakangi kerja sama pendidikan tinggi ASEAN.
1. Globalisasi Pendidikan
Globalisasi dalam sektor pendidikan tinggi mulai mendapat perhatian dunia
terutama di era 1990-an di mana negara-negara memperoleh peace dividend sebagai
trade off dari biaya dan konsentrasi yang banyak tersita oleh isu perang serta keamanan.
Dengan adanya peace dividend tersebut, negara-negara mulai memberi perhatian
terhadap isu pembangunan dan kesejahteraan manusia.
Sesuai dengan konsepsi idealisme kemanusiaan oleh Immanuel Kant, syarat bagi
sebuah negara agar dapat mencapai kesejahteraan adalah melalui pendidikan bagi
10
generasi mudanya. Lebih dari itu, pendidikan juga merupakan cara untuk mewujudkan
konsepsi mengenai kemanusiaan, yang dapat dimaknai sebagai sebuah kehidupan yang
harmonis antar bangsa, sebagai prakondisi tercapainya kesejahteraan yang ideal (Murphy,
2007, p. 160). Pemikiran tersebut nyatanya diikuti oleh negara-negara dunia dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan negara, termasuk dengan memanfaatkan peace
dividend yang dimiliki untuk diinvestasikan dalam pendidikan generasi mudanya.
Meskipun demikian, negara-negara berkembang menghadapi fakta bahwa sistem
pendidikan nasionalnya belum dapat memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diharapkan. Di sisi lain, negara-negara seperti Amerika Serikat dan
negara-negara OECD Eropa memiliki program pendidikan tinggi yang menyediakan
fasilitas-fasilitas tersebut. Selanjutnya, hukum ekonomi berlaku.
Dengan melihat keterbatasan kapasitas institusi pendidikan dalam negeri dalam
memenuhi tingginya permintaan kualitas pendidikan, kebijakan jangka pendek yang
rasional adalah dengan mencari penyedia pendidikan di negara lain yang mampu
memenuhi spesifikasi permintaan sementara mempersiapkan kapabilitas institusi
pendidikan dalam negerinya dalam jangka panjang. Kebijakan tersebut kemudian
direalisasikan dengan mengirim generasi mudanya untuk belajar di negara-negara yang
memiliki kualitas pendidikan lebih maju. Fenomena mobilitas pelajar internasional ini
kemudian menandai apa yang disebut Findlay dan Tierney (2012) sebagai gelombang
pertama globalisasi pendidikan. Dalam fase ini, kompleksitas hubungan belum tinggi dan
kondisi saling ketergantungan masih dalam level minimal.
Pertama, migrasi pelajar internasional sebagai individu tidak banyak berbeda
dengan pola migrasi yang lain, sehingga isu yang paling krusial adalah masalah
11
keimigrasian dan kependudukan. Kedua, objeknya adalah per individu sehingga
konsekuensi dari ilmu pengetahuan itu dapat dibatasi. Ketiga, proses ini berlangsung
dalam satu arah dan posisi pelajar atau negara pengirim lebih lemah daripada negara
penerima. Meskipun demikian, kondisi tersebut berangsur-angsur mengalami perubahan
seiring dengan semakin pesatnya peningkatan kesejahteraan di negara-negara pengirim
pelajar internasional, perubahan kebijakan pendidikan serta kondisi demografis di negara-
negara penerima (Findlay & Tierney, 2012, p. 3).
Akumulasi dari kondisi-kondisi tersebut menjadi titik awal bagi gelombang
globalisasi pendidikan baru, yang ditandai dengan perluasan dan pengintensifan jaringan
kerja sama antar aktor-aktor pendidikan tinggi mulai dari level institusi pemerintah
hingga universitas serta masifnya perpindahan penyedia pendidikan, baik dalam konteks
individu maupun institusi. Globalisasi pendidikan baru ini ditandai dengan semakin
meningkatnya intensitas dan frekuensi mobilitas pendidikan, baik melalui adanya e-
learning, joint research, hingga franchise atau branch campus (Findlay & Tierney, 2012,
p. 4), selain perpindahan pelajar itu sendiri.
Dengan melihat aktifitas-aktifitas yang ada dalam gelombang globalisasi
pendidikan baru, dapat diketahui bahwa telah terjadi evolusi dalam sektor pendidikan.
Pertama, pendidikan telah mengalami perluasan makna, di mana pendidikan tidak lagi
dianggap sebagai manifestasi kemajuan peradaban manusia dalam arti filosofis, tetapi
juga telah memiliki nilai ekonomi dalam posisinya sebagai komoditas perdagangan.
Kedua, kompleksitas telah meningkat dari isu imigrasi menjadi isu finansial dan
kedaulatan indigenous knowledge. Relasi antara negara asal dan penerima juga menjadi
lebih seimbang, di mana kedua belah pihak memiliki ketergantungan baik dari sisi
12
ekonomi maupun ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan
sebuah kesepakatan antar pelaku terkait dengan isu mobilitas dalam sektor pendidikan,
seperti yang kemudian dapat ditemukan dalam GATS serta dalam kesepakatan Trade-
Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs).
Dari pemaparan tentang globalisasi pendidikan sebelumnya, dapat diidentifikasi
adanya arus internasionalisasi dan transnasionalisasi dalam pendidikan, termasuk
pendidikan tinggi. Dalam pengertian globalisasi pendidikan yang dikemukakan Arfani,
kedua hal tersebut merefleksikan dua arena dengan level aktor yang berbeda. Sementara
internasional dimaknai sebagai pola interaksi dalam pendidikan tinggi era kontemporer
yang dilakukan di level negara seperti ditemukan dalam GATS, transnasional dimaknai
sebagai pola interaksi yang melibatkan aktor-aktor non-negara.
Di lain sisi, Knight (2002) memberikan pemaknaan yang berbeda. Dalam konteks
internasionalisasi, Knight merujuk pada proses pengintegrasian dimensi internasional
dalam proses akademik, yang lebih menekankan pada nilai-nilai akademis dibandingkan
nilai ekonominya. Lebih lanjut, Knight menambahkan istilah “non-profit
internationalization” mengingat internasionalisasi dalam gagasan sebelumnya juga
memiliki aspek ekonomi perdagangan. Sementara itu, transnasionalisasi dimaknai
sebagai aktifitas perpindahan dalam pendidikan, mulai dari pengetahuan hingga pelajar
(Knight, 2002, p. 3).
Kedua argumen tersebut memiliki kesamaan fundamental dalam memaknai
internasionalisasi dan transnasionalisasi untuk memahami globalisasi pendidikan. Sejalan
dengan pemikiran Knight, internasionalisasi pendidikan tinggi merupakan proses
harmonisasi pendidikan tinggi dalam aspek substansi dan teknis, di mana kedua hal
13
tersebut merupakan domain dari para pembuat kebijakan, yang oleh Arfani dimaknai
sebagai pemerintah, dan kemudian diatur secara lebih detail dan diimplementasikan di
level pembuat kebijakan di bawahnya, misalnya manajemen institusi pendidikan tinggi.
Selain itu, kedua argumen tersebut memiliki konformitas terhadap konsep
transnasionalisasi dimaknai sebagai perpindahan dalam sektor pendidikan tinggi lintas
batas negara, oleh aktor-aktor pendidikan selain negara, seperti penyedia layanan
pendidikan hingga pelajar. Dengan kata lain, transnasionalisme lebih menekankan pada
perpindahan dibandingkan pembentukan sistem pendidikan.
Aspek penting yang perlu dipahami dalam globalisasi pendidikan adalah bahwa
fenomena tersebut terjadi di seluruh dunia dan negara tidak dapat memblokade diri dari
proses integrasi global tersebut, meskipun tetap memiliki kesempatan untuk mengontrol
konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi. Kondisi tersebut kemudian memberi
implikasi terhadap kebijakan negara, yang dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, adanya nilai ekonomi pendidikan mendorong pelaku pendidikan
melakukan industrialisasi. Kedua, internasionalisasi pendidikan membawa konsekuensi
adanya mobilitas modal, tenaga kerja, dan konsumen sehingga membutuhkan kesiapan
regulasi negara untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perpindahan tersebut.
Ketiga, posisi pemerintah dalam penyediaan pendidikan bagi rakyat menjadi isu sensitif
tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, internasionalisasi juga
bermakna akulturasi dan asimilasi budaya. Hal ini juga memiliki dua sisi, yaitu
meningkatkan kekayaan budaya bangsa atau mengurangi nilai budaya lokal. Kelima
adalah brain drain, yang dapat menjadi bumerang bagi tujuan globalisasi pendidikan itu
14
sendiri, yaitu mengenai isu pemerataan kualitas pendidikan. Implikasi keenam adalah
standardisasi dan ketujuh adalah isu-isu teknis seperti birokrasi (Arfani, n.d., pp. 12-16).
Dalam bahasa yang lain, Murphy menguraikan implikasi terhadap kebijakan
negara yang diungkapkan Arfani sebagai resiko dari globalisasi pendidikan, terutama
bagi negara-negara berkembang. Setidaknya terdapat tiga resiko yang dihadapi negara
dalam globalisasi pendidikan. Pertama adalah pengadopsian model pendidikan asing
yang tidak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Resiko kedua yang dihadapi negara
dalam globalisasi pendidikan adalah potensi kehilangan modal tenaga kerja dan
intelektual. Resiko ketiga adalah pelemahan sistem pendidikan tinggi domestik. (Murphy,
2007, pp. 178-180).
Beranjak dari pemahaman tersebut, maka kerja sama yang dilakukan ASEAN
dalam sektor pendidikan tinggi regional dapat dilihat sebagai kebijakan kawasan untuk
merespon fenomena globalisasi pendidikan. Konsep globalisasi pendidikan sendiri akan
digunakan untuk memahami fenomena globalisasi pendidikan tinggi, yang diasumsikan
menjadi alasan munculnya kerja sama negara-negara ASEAN di tingkat regional.
2. Regionalisme
Regionalisme berkaitan dengan region, atau kawasan, yang bersifat konstruktif
dan dinamis. Dalam konteks ini, regionalisme menciptakan imaji bahwa terdapat wilayah
di dalam dan di luar kawasan. Aktor dalam regionalisme sendiri terdiri dari komponen
yang kompleks, yang terdiri dari masyarakat politik, ekonomi, dan sipil. Interaksi di
antaranya menciptakan hubungan saling berkaitan yang memperkuat satu sama lain,
hingga akhirnya terbentuk sebuah entitas di suatu kawasan geografis tertentu yang
15
memiliki norma, nilai dan tujuan bersama sebagai respon kolektif dari kondisi sosial
ekonomi politik yang terjadi di level internasional.
Munculnya regionalisme ditandai dengan semakin banyaknya Preferential Trade
Agreements (PTA). Fenomena ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal dan
eksternal regional. Dari internal regional, regionalisme ditentukan oleh faktor masyarakat
seperti kepentingan ekonomi dan institusi domestik terutama terkait dengan tujuan
pembangunan ekonomi pemerintah. Sementara itu, dari sisi ekternal regional, faktor yang
dapat mempengaruhi adalah kondisi politik intenasional serta institusi multilateral yang
ada (Mansfield & Milner, 1999).
Dalam bahasa yang lain, Mary Farrell (2005) mengaitkan regionalisme dengan
globalisasi serta dinamika internal regional. Dalam konteks globalisasi, regionalisme
merupakan respon negara terhadap aspek positif maupun negatif globalisasi, di mana
regionalisme dapat menjadi strategi ofensif maupun defensif. Hal ini terkait dengan
adanya berbagai tekanan eksternal seperti ketidakstabilan, ancaman keamanan, serta
peningkatan kompetisi yang mempengaruhi perilaku dan strategi ekonomi politik aktor.
Sementara dalam konteks dinamika internal, Farrell mengakui adanya motivasi dan
strategi aktor regional yang mewarnai dinamika regionalisme (Farrell, 2005, p. 2). Dari
kedua argumen tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa regionalisme dapat dipahami
dengan melihat konteks global dan regional, di mana keduanya saling terkait dan
berkesinambungan.
Untuk memahami regionalisme tidaklah mudah, oleh karena itu Hurrel
menawarkan pendekatan yang dibagi menjadi lima komponen. Pertama adalah adanya
regionalisasi. Regionalisasi dibedakan dengan regionalisme, di mana regionalisasi lebih
16
menitikberatkan pada interaksi alami antar aktor dalam kawasan, meskipun dapat juga
merupakan hasil dari regionalisme. Kedua, kesadaran dan identitas kawasan, yang
merefleksikan pesepsi dan perasaan sebagai bagian dari kawasan tertentu. Komponen
kedua regionalisme ini dapat terbentuk dari faktor internal seperti kohesifitas atau
eksternal seperti adanya ancaman keamanan. Komponen ketiga adalah kerja sama antara
negara dalam kawasan, baik sebagai respon terhadap dinamika sosial, politik dan
ekonomi dari luar kawasan atau sebagai upaya mengelola konflik atau kesejahteraan
kawasan. Keempat, adalah adanya integrasi kawasan yang dipromosikan oleh
pemerintah, misalnya dalam konteks institusionalisasi dan sentralisasi kerja sama.
Komponen terakhir adalah kohesi kawasan, yang diproyeksikan dapat terbentuk sebagai
hasil dari keempat komponen sebelumnya, sehingga dapat menjadikan regionalisme yang
terbentuk efektif dalam pemenuhan ekspektasi negara-negara anggotanya (Hurrell, 1995,
pp. 38-44).
Kemunculan regionalisme sendiri tidak terlepas dari fenomena globalisasi.
Kondisi-kondisi yang mempengaruhinya antara lain adanya perubahan struktur politik
internasional dari bipolar menjadi multipolar; penurunan relatif hegemoni Amerika
Serikat; meluasnya interdependensi, transnasionalisasi dan globalisasi; peningkatan
penggunaan hambatan perdagangan non-tarif; serta perubahan pendekatan pembangunan
ekonomi paska Perang Dingin (Schulz, et al., 2001). Perspektif ini oleh Hurrel disebut
sebagai “structural interdependence and globalization”. Globalisasi dipahami sebagai
pendorong munculnya regionalisme karena telah meningkatkan saling ketergantungan
antar negara serta memungkinkan penyebaran ide, teknologi dan informasi sehingga
tercipta infrastruktur saling ketergantungan masyarakat (Hurrell, 1995, p. 55).
17
Lebih lanjut, globalisasi menjadi stimulus terbentuknya regionalisasi karena
faktor-faktor berikut. Pertama, integrasi yang terjadi di level global menciptakan
permasalahan yang perlu diselesaikan secara bersama. Dalam konteks ini, kesamaan
kondisi sosial, ekonomi, dan politik dapat mempermudah pendekatan terhadap masalah
yang terjadi. Kedua, seringkali permasalahan yang dianggap masalah global sebenarnya
hanya mempengaruhi satu kawasan tertentu sehingga penyelesaian yang efektif juga
terletak pada kawasan itu sendiri. Ketiga, kawasan menjadi level integrasi yang paling
memungkinkan di tengah tekanan integrasi di satu sisi serta fragmentasi di sisi lainnya.
Terakhir, globalisasi menjadi stimulus regionalisme ekonomi dengan mengubah dan
mengintensitaskan kompetisi ekonomi merkantilisme (Hurrell, 1995, pp. 56-57).
Meskipun globalisasi terlihat mampu menjawab pertanyaan munculnya
regionalisme secara komprehensif, pendekatan tersebut tidak memberi penekanan yang
cukup terhadap kepentingan negara, mengingat kebijakan luar negeri suatu negara
merupakan perpanjangan dari kebijakan dalam negeri, atau dengan kata lain
merefleksikan kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu, muncul pendekatan kedua, yaitu
“neo-liberal institusionalism”.
Dalam pendekatan tersebut, dijelaskan lebih lanjut bahwa regionalisme muncul
karena adanya keinginan dari negara-negara anggota untuk mengelola hubungan saling
ketergantungan, yang muncul karena fenomena globalisasi. Dengan adanya kerja sama
regional, diharapkan negara-negara yang berkepentingan dapat melakukan aksi kolektif
guna menyelesaikan masalah yang timbul dari kompleksitas interaksi mereka.
Dalam konteks ini, regionalisme bukan merupakan institusi supranasional. Negara
sebagai aktor rasional tetap memiliki kedaulatan dan kepentingan, namun bersedia
18
bekerja sama dengan negara lainnya dalam regional untuk meningkatkan perolehan, jika
dibandingkan harus berusaha sendiri dengan mengandalkan sumber dayanya yang
terbatas. Terkait dengan kepentingan ini, institusi regionalisme dapat memberi
keuntungan berupa pengurangan biaya informasi, transparansi dan pengawasan,
pengurangan resiko transaksi, hingga pembangunan visi dan strategi bersama (Hurrell,
1995, pp. 61-62).
Kedua pandangan yang telah dipaparkan mengenai regionalisme tersebut
mewakili persepsi bahwa aktor regional bertindak berdasarkan pemikiran rasional dalam
menghadapi tantangan baik dari dalam maupun luar kawasan. Dengan kata lain,
regionalisme adalah upaya yang paling mungkin dilakukan untuk menghadapi tekanan
integrasi global di satu sisi, tetapi tetap mengakomodasi kepentingan negara. Sejalan
dengan permahaman tersebut, tulisan ini memposisikan negara-negara ASEAN sebagai
aktor yang rasional dan menjadikan keputusan regionalisme sebagai solusi rasional dalam
merespon dinamika ekonomi, sosial, dan politik era kontemporer. Selanjutnya akan
dianalisis alasan yang mendorong regionalisme pendidikan tinggi ASEAN dengan
menggunakan kerangka pemikiran globalisasi pendidikan dan regionalisme.
E. Unit Analisis dan Eksplanasi
Dalam tulisan ini, unit analisis yang dimaksud adalah regionalisme dalam ASEAN
Community yang akan berlaku efektif tahun 2015 mendatang di kawasan Asia Tenggara.
Sementara itu, unit eksplanasinya adalah diplomasi dan perdagangan jasa sektor pendidikan
tinggi, yang ditinjau dari pilar ASEAN Social-Cultural Community (ASCC) dan ASEAN
Economic Community (AEC).
19
F. Operasionalisasi Konsep
Tulisan ini akan dibangun berdasarkan bagan operasionalisasi konsep di atas. Integrasi
(dalam perspektif globalisasi) atau regionalisasi (dalam perspektif regionalisme) dalam sektor
pendidikan tinggi di ASEAN terjadi sebagai fenomena yang simultan dengan adanya globalisasi
pendidikan dan regionalisme dalam ASEAN Community. Bentuk-bentuk interaksi yang muncul
dari adanya integrasi atau regionalisasi tersebut memberikan implikasi terhadap aspek sosial,
ekonomi, dan politik kawasan, yang akhirnya akan mempengaruhi karakter regionalisme yang
terbentuk dalam ASEAN Community.
G. Argumen Utama
Berdasarkan pertanyaan yang telah diajukan dan menggunakan kerangka konseptual yang
telah dipilih, tulisan ini mengajukan argumen utama bahwa diplomasi dan perdagangan jasa
dalam sektor pendidikan tinggi di Asia Tenggara merupakan refleksi proses regionalisme yang
muncul sebagai bentuk manifestasi kepentingan negara-negara ASEAN dan respon terhadap tren
Globalisasi
Pendidikan
Integrasi/Regionalisasi
Pendidikan Tinggi
ASEAN
Regionalisme
ASEAN Community
Implikasi sosial,
ekonomi, politik
regional
20
globalisasi pendidikan. Adanya regionalisme tersebut merupakan jalan untuk mengelola masalah
bersama serta memenuhi ekspektasi negara anggota, terutama terkait dengan isu perdagangan
jasa pendidikan tinggi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta mobilitas tenaga kerja
regional.
H. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam pembuatan tulisan ini menggunakan metode kualitatif
melalui studi literatur. Literatur yang dimaksud bersumber dari buku, jurnal internasional, siaran
media resmi pemerintah atau institusi internasional, serta data-data statistik dari situs-situs resmi
seperti ASEAN University Network, United Nations dan World Bank.
I. Jangkauan Penelitian
Dengan mempertimbangkan relevansi dan ketersediaan data, maka penelitian ini
membatasi objek penelitian yang terdiri dari sepuluh anggota ASEAN dan kerja sama pendidikan
tinggi yang dilakukan di bawah ASEAN, atau dengan kata lain mengekslusikan kerja sama yang
dilakukan oleh aktor non-negara secara independen. Kemudian untuk melihat pola mobilitas,
penelitian ini akan menggunakan beberapa indikator makro sebagai data penunjang argumen
dalam rentang waktu 2007-2014, kecuali jika data terbaru belum diterbitkan.
J. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah mengetahui faktor utama yang memicu
peningkatan intensitas kerja sama pendidikan tinggi di ASEAN serta makna dari kerja sama yang
telah dijalin baik bagi negara maupun regionalisme kawasan Asia Tenggara. Di kemudian hari,
21
hasil dari tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pelaku sektor pendidikan tinggi di
Indonesia, dari level pemerintah sebagai pembuat kebijakan, manajemen universitas, tenaga
pengajar, staf akademik, hingga mahasiswa. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat
menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan pendidikan tinggi Indonesia dalam rangka
menetapkan kebijakan agar siap berkompetisi di level regional maupun global.
K. Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan terdiri dari lima bagian. Setelah bagian pertama yang berisikan
pendahuluan ini, bagian kedua akan memberikan deskripsi singkat mengenai aspek ekonomi-
perdagangan sektor pendidikan tinggi ASEAN. Bagian ketiga akan memberikan penjelasan
mengenai diplomasi pendidikan tinggi ASEAN. Bagian keempat akan memberikan analisis
mengenai faktor pendorong regionalisme dari perspektif sektor pendidikan tinggi serta fungsinya
bagi kawasan maupun negara anggota. Tulisan ini diakhiri pada bagian kelima yang merupakan
kesimpulan, di mana dimuat ringkasan dari analisis yang dilakukan dan juga inferens yang dapat
diambil dari penelitian ini.