21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 dan kesepakatan WTO dalam General Agreement on Trade in Services (GATS) telah mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk terus meningkatkan intensitas diplomasi dan perdagangan di bidang pendidikan tinggi. Wujud institusionalisasi interaksi dalam sektor pendidikan tinggi regional dapat ditemukan dalam ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Social and Cultural Community (ASCC) sementara dalam aspek non-institusional dapat dilihat dari adanya peningkatan mobilitas pelajar intra kawasan, yang selanjutnya dipahami sebagai proses regionalisasi guna mewujudkan regionalisme kawasan. Selanjutnya, tulisan ini berupaya menganalisis kekuatan pembentuk regionalisme dalam perpektif sektor pendidikan tinggi serta manfaatnya bagi negara maupun kawasan, sebagai bagian dari upaya memahami regionalisme ASEAN pada umumnya. Tonggak utama dalam diplomasi di bidang pendidikan tinggi kawasan adalah pembentukan ASEAN Community yang lahir melalui Deklarasi ASEAN dalam Bali Concord II pada tahun 2003. Dalam kesepakatan awal, ASEAN Community akan diimplementasikan pada tahun 2020. Pada pertemuan tingkat tinggi selanjutnya dalam 12 th ASEAN Summit yang diadakan di Filipina tahun 2007, para pemimpin negara ASEAN setuju untuk mempercepat implementasi ASEAN Community lima tahun lebih awal, yaitu pada tahun 2015, sebagaimana dapat ditemukan dalam Deklarasi Cebu (ASEAN, 2009, p.1). Di dalam ASEAN Community terdapat tiga pilar yang menjadi landasan dari semua kerangka kebijakan kerja sama regional, yaitu: ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC), serta ASEAN Social and Cultural Community (ASCC).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

  • Upload
    vudiep

  • View
    224

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 dan kesepakatan WTO dalam General

Agreement on Trade in Services (GATS) telah mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk

terus meningkatkan intensitas diplomasi dan perdagangan di bidang pendidikan tinggi. Wujud

institusionalisasi interaksi dalam sektor pendidikan tinggi regional dapat ditemukan dalam

ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Social and Cultural Community (ASCC)

sementara dalam aspek non-institusional dapat dilihat dari adanya peningkatan mobilitas pelajar

intra kawasan, yang selanjutnya dipahami sebagai proses regionalisasi guna mewujudkan

regionalisme kawasan. Selanjutnya, tulisan ini berupaya menganalisis kekuatan pembentuk

regionalisme dalam perpektif sektor pendidikan tinggi serta manfaatnya bagi negara maupun

kawasan, sebagai bagian dari upaya memahami regionalisme ASEAN pada umumnya.

Tonggak utama dalam diplomasi di bidang pendidikan tinggi kawasan adalah

pembentukan ASEAN Community yang lahir melalui Deklarasi ASEAN dalam Bali Concord II

pada tahun 2003. Dalam kesepakatan awal, ASEAN Community akan diimplementasikan pada

tahun 2020. Pada pertemuan tingkat tinggi selanjutnya dalam 12th

ASEAN Summit yang diadakan

di Filipina tahun 2007, para pemimpin negara ASEAN setuju untuk mempercepat implementasi

ASEAN Community lima tahun lebih awal, yaitu pada tahun 2015, sebagaimana dapat ditemukan

dalam Deklarasi Cebu (ASEAN, 2009, p.1).

Di dalam ASEAN Community terdapat tiga pilar yang menjadi landasan dari semua

kerangka kebijakan kerja sama regional, yaitu: ASEAN Political-Security Community (APSC),

ASEAN Economic Community (AEC), serta ASEAN Social and Cultural Community (ASCC).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

2

Pada tahun 2006, menteri-menteri ekonomi ASEAN yang bertemu dalam ASEAN Economic

Ministers Meeting (AEM) di Malaysia menyepakati cetak biru ASEAN Community yang pertama,

yaitu untuk pilar AEC (ASEAN, 2008, p. 5). Cetak biru kedua yang disepakati adalah untuk pilar

ASCC pada tahun 2007 (ASEAN Secretariat, 2009, p. 1). Terakhir, cetak biru APSC diadopsi

melalui hasil kesepakatan the 14th

ASEAN Summit pada tahun 2009 (ASEAN Secretariat, 2009,

p. 1). Dari ketiga pilar tersebut, pendidikan tinggi secara khusus, atau pendidikan secara umum,

menjadi bagian dari ASCC dan sedikit banyak menyinggung pilar AEC.

Sebelum cetak biru ASCC dan AEC, ASEAN tidak memiliki kerangka kebijakan kerja

sama sektor pendidikan secara spesifik karena masih diintegrasikan dalam SEAMEO. Baru

dalam The 4th

ASEAN Summit yang dilaksanakan pada tahun 1992, dimunculkan inisiasi kerja

sama di sektor pendidikan tinggi dan pembangunan sumber daya manusia. Sebagai tindak lanjut,

pada tahun 1995 pemimpin negara di sektor pendidikan tinggi menandatangani piagam

pembentukan AUN (Gajaseni, 2012b). Meskipun demikian, AUN belum berfungsi aktif hingga

kerja sama regional sektor pendidikan tinggi mengalami pengintensifan paska Deklarasi Cebu.

Diplomasi sektor pendidikan tinggi menuju ASEAN Community dilanjutkan dengan

membentuk ASEAN Education Ministers’ Meeting (ASED) yang mengadakan pertemuan rutin

untuk membahas dan mempercepat implementasi cetak biru ASCC di bidang pendidikan. Dalam

perkembangannya, ASED diintegrasikan dengan Southeast Asia Ministry of Education

Organization (SEAMEO) yang telah berdiri sejak tahun 1965. Salah satu prioritas ASED adalah

peningkatan kepedulian generasi muda ASEAN melalui pendidikan, yang diwujudkan dengan

menjadikan ASEAN University Network (AUN) sebagai instrumen utamanya (ASEAN, n.d.).

Sebagai persiapan menuju integrasi regional di tahun 2015, aktor-aktor dalam sektor

pendidikan ASEAN membuat kerangka kerja dalam ASEAN 5-Year Work Plan on Education

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

3

untuk periode tahun 2011-2015. Rencana kerja tersebut berisikan empat prioritas, yaitu:

mempromosikan “ASEAN Awareness”; keteraksesan pendidikan berkualitas, meningkatkan

akses pendidikan dasar dan sekunder berikut performa pendidikan, standar, pendidikan seumur

hidup, serta pengembangan jiwa profesional; mobilitas lintas batas serta internasionalisasi

pendidikan; dan terakhir adalah mendukung sektor lain yang memiliki keselarasan dengan

pendidikan (Gajaseni, 2013b). Implementasinya sendiri dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.

Grafik 1

Pemetaan Proyek Kerja Sama Pendidikan ASEAN berdasarkan

Prioritas ASEAN 5-Year Work Plan on Education Tahun 2007-

2013

Keterangan:

P1 : mempromosikan ASEAN Awareness

P2A : keteraksesan pendidikan berkualitas, meningkatkan akses pendidikan dasar dan

sekunder

P2B : peningkatan kualitas performa pendidikan, standar, pendidikan seumur hidup, serta

pengembangan jiwa profesional

P3 : mobilitas lintas batas serta internasionalisasi pendidikan

P4 : mendukung sektor lain yang memiliki keselarasan dengan pendidikan

Sumber: Gajaseni (2013b)

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

4

Dari 81 proyek tersebut, dapat diketahui bahwa sektor pendidikan tinggi merupakan

sektor yang paling aktif dalam upaya merealisasikan ASEAN 5-Year Work Plan on Education.

Fakta menarik lain yang ditemukan dari data tersebut adalah tingginya pencapaian program

mobilitas dan internasionalisasi, yang mengindikasikan bahwa instrumen tersebut efektif dalam

mempromosikan ASEAN Community di sektor pendidikan, termasuk pendidikan tinggi.

Tingginya tingkat mobilitas dalam integrasi kawasan Asia Tenggara, baik dalam program

implementasi ASEAN 5-Year Work Plan on Education maupun mobilitas secara natural, menjadi

ciri dari integrasi ASEAN di sektor pendidikan tinggi.

Berbicara mengenai mobilitas pelajar, pembahasan mengenai integrasi dan interaksi

dalam sektor pendidikan tinggi kawasan dapat dikaitkan dengan dimensi perdagangan. Mobilitas

pelajar merupakan fenomena yang terjadi karena adanya permintaan akan jasa pendidikan tinggi

yang tidak dapat dipenuhi oleh penyedia jasa domestik sehingga konsumen jasa pendidikan

tinggi mencari penyedia jasa lain di luar negeri. Aktifitas ini dalam GATS dikenal sebagai mode

suplai consumption abroad. Dalam periode 2007-2011, diketahui terdapat peningkatan arus

mobilitas pelajar intra kawasan dengan Malaysia dan Thailand sebagai negara tujuan utama bagi

pelajar dari negara-negara ASEAN. Mayoritas mobilitas pelajar Thailand juga memilih

Malaysia, sementara pelajar Malaysia memilih institusi pendidikan di Indonesia untuk memenuhi

permintaan jasa pendidikan tinggi yang diinginkan.

Sementara mobilitas pelajar berada dalam mode suplai consumption abroad, terdapat

pula mobilitas dalam mode suplai movement of natural persons dalam sektor pendidikan tinggi

terutama terkait dengan perpindahan tenaga kerja profesional, di mana dalam pilar AEC telah

diamanatkan pada AUN sebagai badan penggerak tren perpindahan tenaga kerja profesional

sektor pendidikan dalam kawasan (ASEAN, 2008, p. 16). Terkait dengan hal tersebut, negara-

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

5

negara ASEAN juga mengacu pada ketetapan GATS dalam mode suplai serta prinsip

perdagangan jasa, yang dikomitmenkan dalam Agreement on the Movement of Natural Persons

yang ditandatangani pada tahun 2012. Dengan melihat adanya dua mode tersebut, maka dapat

dinyatakan bahwa integrasi dalam sektor pendidikan tinggi kawasan tidak hanya terbatas pada

dimensi diplomasi politis, tetapi juga memiliki dimensi praktis dalam konteks perdagangan jasa.

Selain interaksi intra kawasan, negara-negara ASEAN secara individual maupun kolektif

juga memiliki hubungan dengan Amerika Serikat, EU, Australia, Selandia Baru, Jepang, serta

negara-negara OECD lain dalam sektor pendidikan tinggi di mana diketahui masih menjadi

prioritas tujuan pelajar di luar kawasan. Interaksi dalam sektor pendidikan tinggi juga dapat

dilihat dalam diplomasi di level negara, yaitu melalui ASEAN+3, ASEAN+8, dan ASEAN-EU

(Sugimura, 2013).

Interaksi seperti dalam aktifitas diplomasi dan perdagangan jasa pendidikan tinggi yang

terjadi di ASEAN dalam beberapa waktu terakhir tersebut bukanlah fenomena baru dalam dunia

pendidikan tinggi. Jauh sebelum ASEAN membuat cetak biru AEC maupun ASCC, dunia telah

melihat berbagai skema kerja sama hasil diplomasi transnasional serta jumlah migrasi manusia

dalam tujuannya memenuhi kebutuhan pendidikan berkualitas terutama paska Perang Dingin

berakhir. Salah satu indikator yang dapat diamati adalah jumlah pelajar internasional di seluruh

dunia yang mengalami peningkatan tajam dalam dua dekade terakhir.

Tercatat pada tahun 1990, jumlah pelajar internasional sebesar 1,3 juta. Pada tahun 2000,

jumlahnya meningkat mencapai 2,1 juta dan naik dua kali lipat menjadi 4,1 juta pelajar pada

tahun 2010 (Kritz, 2012). Data terakhir yang diperoleh dari UNESCO pada tahun 2011, tercatat

sebanyak 4,3 juta pelajar belajar di institusi pendidikan di luar negeri (UNESCO, 2013, p. iii).

Dari data tersebut juga diperoleh fakta bahwa sebesar 90% dari jumlah pelajar internasional

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

6

memilih institusi pendidikan di negara anggota OECD, dengan 70%-nya memilih Amerika

Serikat, Inggris, Australia, Perancis, dan Jerman. Sementara itu, China, India, dan Korea Selatan

menjadi negara-negara teratas yang mengirimkan pelajarnya ke luar negeri (World Education

Services, 2007).

Adanya implementasi ASEAN Community pada tahun 2015 di satu sisi serta globalisasi

terutama dalam konteks perdagangan jasa pendidikan tinggi menjadi dua fitur utama dalam

integrasi sektor pendidikan tinggi ASEAN era kontemporer. Hal ini menjadi menarik untuk

diteliti lebih lanjut, untuk mengetahui alasan apa yang sebenarnya menjadi pemicu peningkatan

aktifitas pendidikan tinggi intra dan inter kawasan yang dilakukan oleh ASEAN. Faktor tersebut

penting untuk diketahui karena mempengaruhi karakter dari regionalisme dan regionalisasi

dalam ASEAN Community, yang pada akhirnya juga dapat mempengaruhi keefektifan rezim

tersebut di masa depan.

B. Tinjauan Literatur

Ketika membahas kerja sama dan integrasi pendidikan tinggi ASEAN dalam konteks

ASEAN Community 2015, dapat diketahui bahwa topik ini belum banyak dikaji secara

mendalam. Penelitian yang telah dilakukan lebih banyak berfokus pada level negara dan

berbicara tentang kesiapan negara dalam menghadapi integrasi, tanpa banyak menyinggung

maksud dari upaya integrasi itu sendiri. Pada tahap ini, dapat ditarik pemahaman bahwa integrasi

pendidikan tinggi dalam ASEAN Community cenderung dianggap sebagai bagian dari

kesepakatan secara lebih umum dalam rangka menciptakan regionalisasi hingga regionalisme

ASEAN.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

7

Salah satu kajian yang relevan dengan topik bahasan ini dilakukan oleh Kuroda et al.

pada tahun 2010. Penelitian tersebut mencoba menangkap fenomena regionalisasi pendidikan

tinggi dengan menggunakan pendekatan transnasionalis dengan menjadikan institusi pendidikan

tinggi sebagai objek penelitian. Penelitian ini sendiri bertujuan untuk mengetahui preferensi

pelaku pendidikan tinggi dalam memandang regionalisasi pendidikan tinggi di Asia Timur.

Preferensi yang tersebut diperoleh dari survei terhadap 300 universitas dari sepuluh negara

ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan mengenai hasil yang diharapkan dari aktifitas

pendidikan tinggi lintas batas dari waktu ke waktu.

Penelitian tersebut mengungkap fakta bahwa terjadi perubahan preferensi universitas di

Asia Timur dalam kerja sama pendidikan tinggi regional. Di awal era 2000-an, hasil yang

diharapkan dari kerja sama regional bersifat akademis, seperti meningkatkan pemahaman

interkultural, kapabilitas penelitian, serta kualitas pendidikan. Memasuki akhir dekade, motif

tersebut berubah menjadi politis di mana preferensi mobilitas pendidikan tinggi dimaksudkan

untuk mempromosikan nilai-nilai masyarakat global, kerja sama regional serta identitas Asia,

nilai dan budaya lokal, serta meningkatkan reputasi universitas.

Penelitian tersebut juga mencoba memprediksi preferensi pelaku pendidikan tinggi di

masa depan, di mana diperkirakan orientasinya akan bergeser ke motif ekonomi. Hal ini

berkaitan erat dengan peningkatan permintaan jasa pendidikan tinggi, baik di level global,

regional. maupun nasional. Pada tahap ini, barulah universitas menyatakan bahwa mobilitas

pendidikan tinggi regional dapat memberikan pemasukan finansial bagi institusi (Kuroda, et al.,

2010). Kajian relevan lain juga dapat ditemukan dalam tulisan Miki Sugimura (2009) yang

secara singkat memberikan wawasan mengenai pola kerja sama pendidikan tinggi, faktor yang

melatarbelakangi, manfaat, serta isu-isu yang dihadapi dalam kerja sama di kawasan Asia Timur.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

8

Pertama-tama, Sugimura memaparkan bahwa kerja sama pendidikan tinggi Asia Timur

terjadi melalui jaringan regional dan kerja sama antar universitas. Jaringan regional merupakan

hasil dari interaksi pembuat kebijakan yang terefleksikan dalam keikutsertaan negara-negara

kawasan dalam organisasi UNESCO, ASEAN Development Bank, ASEAN, SEAMEO, hingga

APEC. Sementara itu, kerja sama antar institusi lahir melalui kesepakatan antar universitas serta

keikutsertaan dalam konsorsium. Kemudian dengan melihat kerangka kerja sama yang ada,

ditemukan fakta bahwa seringkali skema yang ada saling tumpang tindih antara satu dengan

lainnya. Hal tersebut tidak mengurangi manfaat dari program, meskipun di lain sisi mengurangi

efektifitas kinerja aktor-aktor yang terlibat.

Terjalinnya kerja sama dalam dua level tersebut dilatarbelakangi oleh adanya

diversifikasi dan mobilitas pelajar serta upaya kerja sama regional untuk membangun sumber

daya manusianya. Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut, para pelaku

pendidikan tinggi regional melakukan beberapa upaya seperti mendorong mobilitas serta

standardisasi pendidikan, baik melalui pola intenasional maupun transnasional.

Dari dua hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran besar terhadap logika integrasi

pendidikan tinggi di Asia Timur, yaitu mengenai proses regionalisasi serta preferensi yang

melatarbelakangi hubungan kerja sama tersebut. Meskipun demikian, karena sudut pandang yang

diambil adalah dari level mikro, kepentingan negara sebenarnya belum tereksplorasi. Hal ini

penting untuk diketahui, mengingat kerja sama regional di bidang pendidikan tinggi tidak akan

dapat berlangsung, atau dengan kata lain, terealisasikan hasil-hasil yang diharapkan seperti telah

diungkapkan dalam penelitian, jika tidak sejalan dengan kepentingan negara. Oleh karena itu,

tulisan ini berupaya untuk mengeksplorasi regionalisme pendidikan tinggi di ASEAN dari sisi

struktural, baik dalam konteks dinamika global maupun regional.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

9

C. Perumusan Masalah

Beranjak dari latar belakang peningkatan intensitas diplomasi serta perdagangan dalam

sektor pendidikan tinggi ASEAN yang merupakan refleksi regionalisasi menuju terbentuknya

regionalisme kawasan, maka tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Ditinjau dari sektor pendidikan tinggi, mengapa negara-negara ASEAN

membentuk regionalisme?

2. Apa fungsi regionalisme bagi sektor pendidikan tinggi kawasan dan negara-

negara anggota ASEAN?

D. Kerangka Konseptual

Untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya, akan digunakan

konsep “globalisasi pendidikan” untuk menjelaskan fenomena global yang terjadi dalam sektor

pendidikan tinggi serta “regionalisme” untuk menganalisis kepentingan negara anggota yang

melatarbelakangi kerja sama pendidikan tinggi ASEAN.

1. Globalisasi Pendidikan

Globalisasi dalam sektor pendidikan tinggi mulai mendapat perhatian dunia

terutama di era 1990-an di mana negara-negara memperoleh peace dividend sebagai

trade off dari biaya dan konsentrasi yang banyak tersita oleh isu perang serta keamanan.

Dengan adanya peace dividend tersebut, negara-negara mulai memberi perhatian

terhadap isu pembangunan dan kesejahteraan manusia.

Sesuai dengan konsepsi idealisme kemanusiaan oleh Immanuel Kant, syarat bagi

sebuah negara agar dapat mencapai kesejahteraan adalah melalui pendidikan bagi

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

10

generasi mudanya. Lebih dari itu, pendidikan juga merupakan cara untuk mewujudkan

konsepsi mengenai kemanusiaan, yang dapat dimaknai sebagai sebuah kehidupan yang

harmonis antar bangsa, sebagai prakondisi tercapainya kesejahteraan yang ideal (Murphy,

2007, p. 160). Pemikiran tersebut nyatanya diikuti oleh negara-negara dunia dalam

rangka mewujudkan kesejahteraan negara, termasuk dengan memanfaatkan peace

dividend yang dimiliki untuk diinvestasikan dalam pendidikan generasi mudanya.

Meskipun demikian, negara-negara berkembang menghadapi fakta bahwa sistem

pendidikan nasionalnya belum dapat memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang diharapkan. Di sisi lain, negara-negara seperti Amerika Serikat dan

negara-negara OECD Eropa memiliki program pendidikan tinggi yang menyediakan

fasilitas-fasilitas tersebut. Selanjutnya, hukum ekonomi berlaku.

Dengan melihat keterbatasan kapasitas institusi pendidikan dalam negeri dalam

memenuhi tingginya permintaan kualitas pendidikan, kebijakan jangka pendek yang

rasional adalah dengan mencari penyedia pendidikan di negara lain yang mampu

memenuhi spesifikasi permintaan sementara mempersiapkan kapabilitas institusi

pendidikan dalam negerinya dalam jangka panjang. Kebijakan tersebut kemudian

direalisasikan dengan mengirim generasi mudanya untuk belajar di negara-negara yang

memiliki kualitas pendidikan lebih maju. Fenomena mobilitas pelajar internasional ini

kemudian menandai apa yang disebut Findlay dan Tierney (2012) sebagai gelombang

pertama globalisasi pendidikan. Dalam fase ini, kompleksitas hubungan belum tinggi dan

kondisi saling ketergantungan masih dalam level minimal.

Pertama, migrasi pelajar internasional sebagai individu tidak banyak berbeda

dengan pola migrasi yang lain, sehingga isu yang paling krusial adalah masalah

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

11

keimigrasian dan kependudukan. Kedua, objeknya adalah per individu sehingga

konsekuensi dari ilmu pengetahuan itu dapat dibatasi. Ketiga, proses ini berlangsung

dalam satu arah dan posisi pelajar atau negara pengirim lebih lemah daripada negara

penerima. Meskipun demikian, kondisi tersebut berangsur-angsur mengalami perubahan

seiring dengan semakin pesatnya peningkatan kesejahteraan di negara-negara pengirim

pelajar internasional, perubahan kebijakan pendidikan serta kondisi demografis di negara-

negara penerima (Findlay & Tierney, 2012, p. 3).

Akumulasi dari kondisi-kondisi tersebut menjadi titik awal bagi gelombang

globalisasi pendidikan baru, yang ditandai dengan perluasan dan pengintensifan jaringan

kerja sama antar aktor-aktor pendidikan tinggi mulai dari level institusi pemerintah

hingga universitas serta masifnya perpindahan penyedia pendidikan, baik dalam konteks

individu maupun institusi. Globalisasi pendidikan baru ini ditandai dengan semakin

meningkatnya intensitas dan frekuensi mobilitas pendidikan, baik melalui adanya e-

learning, joint research, hingga franchise atau branch campus (Findlay & Tierney, 2012,

p. 4), selain perpindahan pelajar itu sendiri.

Dengan melihat aktifitas-aktifitas yang ada dalam gelombang globalisasi

pendidikan baru, dapat diketahui bahwa telah terjadi evolusi dalam sektor pendidikan.

Pertama, pendidikan telah mengalami perluasan makna, di mana pendidikan tidak lagi

dianggap sebagai manifestasi kemajuan peradaban manusia dalam arti filosofis, tetapi

juga telah memiliki nilai ekonomi dalam posisinya sebagai komoditas perdagangan.

Kedua, kompleksitas telah meningkat dari isu imigrasi menjadi isu finansial dan

kedaulatan indigenous knowledge. Relasi antara negara asal dan penerima juga menjadi

lebih seimbang, di mana kedua belah pihak memiliki ketergantungan baik dari sisi

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

12

ekonomi maupun ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan

sebuah kesepakatan antar pelaku terkait dengan isu mobilitas dalam sektor pendidikan,

seperti yang kemudian dapat ditemukan dalam GATS serta dalam kesepakatan Trade-

Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs).

Dari pemaparan tentang globalisasi pendidikan sebelumnya, dapat diidentifikasi

adanya arus internasionalisasi dan transnasionalisasi dalam pendidikan, termasuk

pendidikan tinggi. Dalam pengertian globalisasi pendidikan yang dikemukakan Arfani,

kedua hal tersebut merefleksikan dua arena dengan level aktor yang berbeda. Sementara

internasional dimaknai sebagai pola interaksi dalam pendidikan tinggi era kontemporer

yang dilakukan di level negara seperti ditemukan dalam GATS, transnasional dimaknai

sebagai pola interaksi yang melibatkan aktor-aktor non-negara.

Di lain sisi, Knight (2002) memberikan pemaknaan yang berbeda. Dalam konteks

internasionalisasi, Knight merujuk pada proses pengintegrasian dimensi internasional

dalam proses akademik, yang lebih menekankan pada nilai-nilai akademis dibandingkan

nilai ekonominya. Lebih lanjut, Knight menambahkan istilah “non-profit

internationalization” mengingat internasionalisasi dalam gagasan sebelumnya juga

memiliki aspek ekonomi perdagangan. Sementara itu, transnasionalisasi dimaknai

sebagai aktifitas perpindahan dalam pendidikan, mulai dari pengetahuan hingga pelajar

(Knight, 2002, p. 3).

Kedua argumen tersebut memiliki kesamaan fundamental dalam memaknai

internasionalisasi dan transnasionalisasi untuk memahami globalisasi pendidikan. Sejalan

dengan pemikiran Knight, internasionalisasi pendidikan tinggi merupakan proses

harmonisasi pendidikan tinggi dalam aspek substansi dan teknis, di mana kedua hal

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

13

tersebut merupakan domain dari para pembuat kebijakan, yang oleh Arfani dimaknai

sebagai pemerintah, dan kemudian diatur secara lebih detail dan diimplementasikan di

level pembuat kebijakan di bawahnya, misalnya manajemen institusi pendidikan tinggi.

Selain itu, kedua argumen tersebut memiliki konformitas terhadap konsep

transnasionalisasi dimaknai sebagai perpindahan dalam sektor pendidikan tinggi lintas

batas negara, oleh aktor-aktor pendidikan selain negara, seperti penyedia layanan

pendidikan hingga pelajar. Dengan kata lain, transnasionalisme lebih menekankan pada

perpindahan dibandingkan pembentukan sistem pendidikan.

Aspek penting yang perlu dipahami dalam globalisasi pendidikan adalah bahwa

fenomena tersebut terjadi di seluruh dunia dan negara tidak dapat memblokade diri dari

proses integrasi global tersebut, meskipun tetap memiliki kesempatan untuk mengontrol

konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi. Kondisi tersebut kemudian memberi

implikasi terhadap kebijakan negara, yang dijabarkan sebagai berikut.

Pertama, adanya nilai ekonomi pendidikan mendorong pelaku pendidikan

melakukan industrialisasi. Kedua, internasionalisasi pendidikan membawa konsekuensi

adanya mobilitas modal, tenaga kerja, dan konsumen sehingga membutuhkan kesiapan

regulasi negara untuk mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perpindahan tersebut.

Ketiga, posisi pemerintah dalam penyediaan pendidikan bagi rakyat menjadi isu sensitif

tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, internasionalisasi juga

bermakna akulturasi dan asimilasi budaya. Hal ini juga memiliki dua sisi, yaitu

meningkatkan kekayaan budaya bangsa atau mengurangi nilai budaya lokal. Kelima

adalah brain drain, yang dapat menjadi bumerang bagi tujuan globalisasi pendidikan itu

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

14

sendiri, yaitu mengenai isu pemerataan kualitas pendidikan. Implikasi keenam adalah

standardisasi dan ketujuh adalah isu-isu teknis seperti birokrasi (Arfani, n.d., pp. 12-16).

Dalam bahasa yang lain, Murphy menguraikan implikasi terhadap kebijakan

negara yang diungkapkan Arfani sebagai resiko dari globalisasi pendidikan, terutama

bagi negara-negara berkembang. Setidaknya terdapat tiga resiko yang dihadapi negara

dalam globalisasi pendidikan. Pertama adalah pengadopsian model pendidikan asing

yang tidak sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Resiko kedua yang dihadapi negara

dalam globalisasi pendidikan adalah potensi kehilangan modal tenaga kerja dan

intelektual. Resiko ketiga adalah pelemahan sistem pendidikan tinggi domestik. (Murphy,

2007, pp. 178-180).

Beranjak dari pemahaman tersebut, maka kerja sama yang dilakukan ASEAN

dalam sektor pendidikan tinggi regional dapat dilihat sebagai kebijakan kawasan untuk

merespon fenomena globalisasi pendidikan. Konsep globalisasi pendidikan sendiri akan

digunakan untuk memahami fenomena globalisasi pendidikan tinggi, yang diasumsikan

menjadi alasan munculnya kerja sama negara-negara ASEAN di tingkat regional.

2. Regionalisme

Regionalisme berkaitan dengan region, atau kawasan, yang bersifat konstruktif

dan dinamis. Dalam konteks ini, regionalisme menciptakan imaji bahwa terdapat wilayah

di dalam dan di luar kawasan. Aktor dalam regionalisme sendiri terdiri dari komponen

yang kompleks, yang terdiri dari masyarakat politik, ekonomi, dan sipil. Interaksi di

antaranya menciptakan hubungan saling berkaitan yang memperkuat satu sama lain,

hingga akhirnya terbentuk sebuah entitas di suatu kawasan geografis tertentu yang

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

15

memiliki norma, nilai dan tujuan bersama sebagai respon kolektif dari kondisi sosial

ekonomi politik yang terjadi di level internasional.

Munculnya regionalisme ditandai dengan semakin banyaknya Preferential Trade

Agreements (PTA). Fenomena ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal dan

eksternal regional. Dari internal regional, regionalisme ditentukan oleh faktor masyarakat

seperti kepentingan ekonomi dan institusi domestik terutama terkait dengan tujuan

pembangunan ekonomi pemerintah. Sementara itu, dari sisi ekternal regional, faktor yang

dapat mempengaruhi adalah kondisi politik intenasional serta institusi multilateral yang

ada (Mansfield & Milner, 1999).

Dalam bahasa yang lain, Mary Farrell (2005) mengaitkan regionalisme dengan

globalisasi serta dinamika internal regional. Dalam konteks globalisasi, regionalisme

merupakan respon negara terhadap aspek positif maupun negatif globalisasi, di mana

regionalisme dapat menjadi strategi ofensif maupun defensif. Hal ini terkait dengan

adanya berbagai tekanan eksternal seperti ketidakstabilan, ancaman keamanan, serta

peningkatan kompetisi yang mempengaruhi perilaku dan strategi ekonomi politik aktor.

Sementara dalam konteks dinamika internal, Farrell mengakui adanya motivasi dan

strategi aktor regional yang mewarnai dinamika regionalisme (Farrell, 2005, p. 2). Dari

kedua argumen tersebut, dapat diperoleh pemahaman bahwa regionalisme dapat dipahami

dengan melihat konteks global dan regional, di mana keduanya saling terkait dan

berkesinambungan.

Untuk memahami regionalisme tidaklah mudah, oleh karena itu Hurrel

menawarkan pendekatan yang dibagi menjadi lima komponen. Pertama adalah adanya

regionalisasi. Regionalisasi dibedakan dengan regionalisme, di mana regionalisasi lebih

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

16

menitikberatkan pada interaksi alami antar aktor dalam kawasan, meskipun dapat juga

merupakan hasil dari regionalisme. Kedua, kesadaran dan identitas kawasan, yang

merefleksikan pesepsi dan perasaan sebagai bagian dari kawasan tertentu. Komponen

kedua regionalisme ini dapat terbentuk dari faktor internal seperti kohesifitas atau

eksternal seperti adanya ancaman keamanan. Komponen ketiga adalah kerja sama antara

negara dalam kawasan, baik sebagai respon terhadap dinamika sosial, politik dan

ekonomi dari luar kawasan atau sebagai upaya mengelola konflik atau kesejahteraan

kawasan. Keempat, adalah adanya integrasi kawasan yang dipromosikan oleh

pemerintah, misalnya dalam konteks institusionalisasi dan sentralisasi kerja sama.

Komponen terakhir adalah kohesi kawasan, yang diproyeksikan dapat terbentuk sebagai

hasil dari keempat komponen sebelumnya, sehingga dapat menjadikan regionalisme yang

terbentuk efektif dalam pemenuhan ekspektasi negara-negara anggotanya (Hurrell, 1995,

pp. 38-44).

Kemunculan regionalisme sendiri tidak terlepas dari fenomena globalisasi.

Kondisi-kondisi yang mempengaruhinya antara lain adanya perubahan struktur politik

internasional dari bipolar menjadi multipolar; penurunan relatif hegemoni Amerika

Serikat; meluasnya interdependensi, transnasionalisasi dan globalisasi; peningkatan

penggunaan hambatan perdagangan non-tarif; serta perubahan pendekatan pembangunan

ekonomi paska Perang Dingin (Schulz, et al., 2001). Perspektif ini oleh Hurrel disebut

sebagai “structural interdependence and globalization”. Globalisasi dipahami sebagai

pendorong munculnya regionalisme karena telah meningkatkan saling ketergantungan

antar negara serta memungkinkan penyebaran ide, teknologi dan informasi sehingga

tercipta infrastruktur saling ketergantungan masyarakat (Hurrell, 1995, p. 55).

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

17

Lebih lanjut, globalisasi menjadi stimulus terbentuknya regionalisasi karena

faktor-faktor berikut. Pertama, integrasi yang terjadi di level global menciptakan

permasalahan yang perlu diselesaikan secara bersama. Dalam konteks ini, kesamaan

kondisi sosial, ekonomi, dan politik dapat mempermudah pendekatan terhadap masalah

yang terjadi. Kedua, seringkali permasalahan yang dianggap masalah global sebenarnya

hanya mempengaruhi satu kawasan tertentu sehingga penyelesaian yang efektif juga

terletak pada kawasan itu sendiri. Ketiga, kawasan menjadi level integrasi yang paling

memungkinkan di tengah tekanan integrasi di satu sisi serta fragmentasi di sisi lainnya.

Terakhir, globalisasi menjadi stimulus regionalisme ekonomi dengan mengubah dan

mengintensitaskan kompetisi ekonomi merkantilisme (Hurrell, 1995, pp. 56-57).

Meskipun globalisasi terlihat mampu menjawab pertanyaan munculnya

regionalisme secara komprehensif, pendekatan tersebut tidak memberi penekanan yang

cukup terhadap kepentingan negara, mengingat kebijakan luar negeri suatu negara

merupakan perpanjangan dari kebijakan dalam negeri, atau dengan kata lain

merefleksikan kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu, muncul pendekatan kedua, yaitu

“neo-liberal institusionalism”.

Dalam pendekatan tersebut, dijelaskan lebih lanjut bahwa regionalisme muncul

karena adanya keinginan dari negara-negara anggota untuk mengelola hubungan saling

ketergantungan, yang muncul karena fenomena globalisasi. Dengan adanya kerja sama

regional, diharapkan negara-negara yang berkepentingan dapat melakukan aksi kolektif

guna menyelesaikan masalah yang timbul dari kompleksitas interaksi mereka.

Dalam konteks ini, regionalisme bukan merupakan institusi supranasional. Negara

sebagai aktor rasional tetap memiliki kedaulatan dan kepentingan, namun bersedia

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

18

bekerja sama dengan negara lainnya dalam regional untuk meningkatkan perolehan, jika

dibandingkan harus berusaha sendiri dengan mengandalkan sumber dayanya yang

terbatas. Terkait dengan kepentingan ini, institusi regionalisme dapat memberi

keuntungan berupa pengurangan biaya informasi, transparansi dan pengawasan,

pengurangan resiko transaksi, hingga pembangunan visi dan strategi bersama (Hurrell,

1995, pp. 61-62).

Kedua pandangan yang telah dipaparkan mengenai regionalisme tersebut

mewakili persepsi bahwa aktor regional bertindak berdasarkan pemikiran rasional dalam

menghadapi tantangan baik dari dalam maupun luar kawasan. Dengan kata lain,

regionalisme adalah upaya yang paling mungkin dilakukan untuk menghadapi tekanan

integrasi global di satu sisi, tetapi tetap mengakomodasi kepentingan negara. Sejalan

dengan permahaman tersebut, tulisan ini memposisikan negara-negara ASEAN sebagai

aktor yang rasional dan menjadikan keputusan regionalisme sebagai solusi rasional dalam

merespon dinamika ekonomi, sosial, dan politik era kontemporer. Selanjutnya akan

dianalisis alasan yang mendorong regionalisme pendidikan tinggi ASEAN dengan

menggunakan kerangka pemikiran globalisasi pendidikan dan regionalisme.

E. Unit Analisis dan Eksplanasi

Dalam tulisan ini, unit analisis yang dimaksud adalah regionalisme dalam ASEAN

Community yang akan berlaku efektif tahun 2015 mendatang di kawasan Asia Tenggara.

Sementara itu, unit eksplanasinya adalah diplomasi dan perdagangan jasa sektor pendidikan

tinggi, yang ditinjau dari pilar ASEAN Social-Cultural Community (ASCC) dan ASEAN

Economic Community (AEC).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

19

F. Operasionalisasi Konsep

Tulisan ini akan dibangun berdasarkan bagan operasionalisasi konsep di atas. Integrasi

(dalam perspektif globalisasi) atau regionalisasi (dalam perspektif regionalisme) dalam sektor

pendidikan tinggi di ASEAN terjadi sebagai fenomena yang simultan dengan adanya globalisasi

pendidikan dan regionalisme dalam ASEAN Community. Bentuk-bentuk interaksi yang muncul

dari adanya integrasi atau regionalisasi tersebut memberikan implikasi terhadap aspek sosial,

ekonomi, dan politik kawasan, yang akhirnya akan mempengaruhi karakter regionalisme yang

terbentuk dalam ASEAN Community.

G. Argumen Utama

Berdasarkan pertanyaan yang telah diajukan dan menggunakan kerangka konseptual yang

telah dipilih, tulisan ini mengajukan argumen utama bahwa diplomasi dan perdagangan jasa

dalam sektor pendidikan tinggi di Asia Tenggara merupakan refleksi proses regionalisme yang

muncul sebagai bentuk manifestasi kepentingan negara-negara ASEAN dan respon terhadap tren

Globalisasi

Pendidikan

Integrasi/Regionalisasi

Pendidikan Tinggi

ASEAN

Regionalisme

ASEAN Community

Implikasi sosial,

ekonomi, politik

regional

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

20

globalisasi pendidikan. Adanya regionalisme tersebut merupakan jalan untuk mengelola masalah

bersama serta memenuhi ekspektasi negara anggota, terutama terkait dengan isu perdagangan

jasa pendidikan tinggi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta mobilitas tenaga kerja

regional.

H. Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam pembuatan tulisan ini menggunakan metode kualitatif

melalui studi literatur. Literatur yang dimaksud bersumber dari buku, jurnal internasional, siaran

media resmi pemerintah atau institusi internasional, serta data-data statistik dari situs-situs resmi

seperti ASEAN University Network, United Nations dan World Bank.

I. Jangkauan Penelitian

Dengan mempertimbangkan relevansi dan ketersediaan data, maka penelitian ini

membatasi objek penelitian yang terdiri dari sepuluh anggota ASEAN dan kerja sama pendidikan

tinggi yang dilakukan di bawah ASEAN, atau dengan kata lain mengekslusikan kerja sama yang

dilakukan oleh aktor non-negara secara independen. Kemudian untuk melihat pola mobilitas,

penelitian ini akan menggunakan beberapa indikator makro sebagai data penunjang argumen

dalam rentang waktu 2007-2014, kecuali jika data terbaru belum diterbitkan.

J. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah mengetahui faktor utama yang memicu

peningkatan intensitas kerja sama pendidikan tinggi di ASEAN serta makna dari kerja sama yang

telah dijalin baik bagi negara maupun regionalisme kawasan Asia Tenggara. Di kemudian hari,

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/70596/potongan/S2-2014... · 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Implementasi ASEAN Community pada tahun

21

hasil dari tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pelaku sektor pendidikan tinggi di

Indonesia, dari level pemerintah sebagai pembuat kebijakan, manajemen universitas, tenaga

pengajar, staf akademik, hingga mahasiswa. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat

menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan pendidikan tinggi Indonesia dalam rangka

menetapkan kebijakan agar siap berkompetisi di level regional maupun global.

K. Sistematika Penulisan

Tulisan ini akan terdiri dari lima bagian. Setelah bagian pertama yang berisikan

pendahuluan ini, bagian kedua akan memberikan deskripsi singkat mengenai aspek ekonomi-

perdagangan sektor pendidikan tinggi ASEAN. Bagian ketiga akan memberikan penjelasan

mengenai diplomasi pendidikan tinggi ASEAN. Bagian keempat akan memberikan analisis

mengenai faktor pendorong regionalisme dari perspektif sektor pendidikan tinggi serta fungsinya

bagi kawasan maupun negara anggota. Tulisan ini diakhiri pada bagian kelima yang merupakan

kesimpulan, di mana dimuat ringkasan dari analisis yang dilakukan dan juga inferens yang dapat

diambil dari penelitian ini.