Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini hendak mengkritisi praktek ajudikasi atau peradilan oleh hakim
yang legisme, dimana hakim yang legisme tidak akan mampu memberikan rasa
keadilan dalam putusannya, sebab dalam putusan hakim hanya melihat pada apa
yang dikatakan oleh Undang-undang, tanpa menggunakan/mempertimbangkan nilai
keadilan. Praktek kehakiman seringkali dipandang oleh masyarakat hanya sebatas
penerapan Undang-undang pada perkara konkret secara rasional belaka (legisme).
Pada hakekatnya hakim dalam menjatuhkan putusannya dipengaruhi oleh 2
(dua) aliran yakni:
a. Aliran Konservatif yaitu putusan hakim yang didasarkan semata-mata ada
ketentuan hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan). Karakter ini
dipengaruhi oleh aliran legisme.1 Selanjutnya aliran ini menyatakan pula
bahwa Undang-undang (kodifikasi), diadakan untuk membatasi hakim, yang
kerena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenangan-
wenangan.2Berdasarkan hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan
putusannya harus mengikuti apa yang tertulis dalam hukum (Lex dura tamest
1Legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum yang tidak
tertulis/Undang-undang. Menurut aliran ini hukum identik dengan undang-undang, sedangkan
kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum lainnya dapat diakui sebagai hukum apabila undang-undang
menunjuknya (Sudikno Mertokusumo & A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Jakarta, 1993, hal.10) 2J.A Pontiner, Penemuan Hukum ( Rechtsvinding). Diterjemahkan oleh Arief Sdharta, Bandung,
Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katoloik Parahayangan, 2000.
2
suntscripta), biarpun in concreto menurut rasa keadilan masyarakat, putusan
hakim tersebut dinilai merupakan suatu ketidakadilan.
b. Aliran Progresif yaitu putusan hakim yang tidak semata-mata mendasarkan
pada ketentuan hukum tertulis tetapi hakim harus pula mendasarkan pada
pengetahuan dan pengalaman empiris. Oleh sebab itu hakim tidak lagi sebagai
corong Undang-undang tetapi hakim harus menemukan nilai-nilai keadilan
yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini hakim harus menjadi otonom,
bukan lagi heteronom.3
Begitupun juga gagasan tentang hukum Represif yang digagas oleh Philippe
Nonet dan Philippe Selzinick, bahwa tertib hukum tentu dapat berupa ketidak-adilan
yang benar-benar parah. Keberadaan hukum semata tidak akan menjamin tegaknya
keadilan, apalagi keadilan subtantif, sebaliknya tertib hukum memiliki potensi
reprasif sebab hingga tingkat tertentu Ia akan selalu terikat pada status quo dan
memberikan jubah otoritas pada penguasa, membuat kekuasaan menjadi makin
efektif.4Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam
bahaya, dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku
dalam hak keistimewaan dan kekuasaan.5 Para penegak hukum (hakim) sendiri
dihadapkan oleh dua situasi, yaitu: penerapan hukum beresiko rendah dan penerapan
hukum beresiko tinggi. Penerapan hukum berisiko rendah, bahwa hakim sebagai
corong Undang-undang, dengan demikian semua putusan yang dibuat hakim, hanya
berdasarkan pada pertimbangan undang-undang saja. Penerapan hukum beresiko
3 Van Eikeme Hommes, Logica en Rechtsvinding(reneografie), Vrije Universiteit,1999, hal. 26.
4 Philippe Nonet & Philippe Selzinick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 33.
5Ibid.,hal. 34.
3
tinggi, dimana hakim tidak hanya melihat hukum sebagai Undang-undang saja, akan
tetapi hukum yang ada diluar Undang-undang juga. Dalam hal ini hukum yang hidup
didalam masyarakat.
Cicero mengatakan “ubi societas ibi ius”, dimana ada masyarakat disitu ada
hukum.Tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian, idealnya hukum
memang harus mengakomodasikan ketiganya.Dalam putusan hakim harus
mempertimbangkan ketiga hal itu.Akan tetapi Bismar Siregar mengatakan, bila untuk
menegakan keadilan maka dia akan korbankan kepastian hukumdan tujuannya
adalah keadilan.6 Dalam rangka menyeimbangkan konflik kepentingan dalam
masyarakat tersebut maka hukum negara harus berhakekat pada keadilan dan
kekuatan moral, sebab tanpa adanya keadilan dan moralitas maka hukum akan
kehilangan supremasi dan ciri independennya, sebaliknya ide keadilan dan moralitas
akan penghargaan terhadap kemanusiaan hanya akan memiliki nilai dan kemanfaatan
jika terwujud dalam hukum formal dan materil serta diterapkan dalam kehidupan
masyarakat. Keadilan tersebut sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan
dan keselarasan yang membawa ketentraman didalam hati orang. Sebuah tatanan
yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang
tidak aman dan berbahaya.7Dengan teknik inferensial Peter Mahmud Marzuki
merumuskan esensi dari pengertian keadilan yang berpangkal pada moral manusia
yaitu rasa cinta kasih dan kebersamaan. Pandangan tersebut sangat berguna jika
6 Bismar Siregar, Rasa Keadilan, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hal.7.
7 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah,Aliran dan Pemaknaan, Gadjah Madah
University Pres, 2006, hal. 57.
4
misalnya, dikaitkan dengan maxim klasik tentang keadilan yang dikemukakan oleh
Ulpianus yaitu “justitia est perpetua et constansnvoluntas jus suum cuique
tribuendi”(atau keinginan yang terus menerus dan tetap memberikan kepada orang
yang menjadi haknya).8Prespektif tersebut seyogianya menjadi sumber inspirasi bagi
hakim untuk mempertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Istilah positive dimaksudkan bahwa hukum itu ditetapkan dengan pasti, tegas
dan nyata, dan pengunaan istilah ini juga untuk membedakannya dengan nilai-nilai
yang berasal dari Tuhan dan moral yang bersifat abstrak dan tidak nyata. Karena telah
begitu dibedakannya maka positivisme sendiri memandang perlunya memisahkan
antara hukum dan moral atau antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum
yang seharusnya (das sollen).9Dalam kacamata aliran hukum positif, tiada hukum lain
kecuali perintah penguasa atau dengan kata lain, inti dari dari aliran positivisme
adalahnorma hukum dikatakan sah apabila ia ditetapkan oleh lembaga atau otoritas
yang berwewenang dan didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, bukan
digantungkan pada nilai atau moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain
adalah undang-undang yang adalah sumber hukum dan diluar undang-undang tidak
dapat dikatakan sebagai hukum. Teori hukum positif mengakui adanya norma hukum
yang sebenarnya bertentangan dengan nilai dan moral tetapi tidak mengurangi
keabsahan norma hukum tersebut.
8 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi, Kajian Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2016,
hal. 79. 9Erwin Muhamad,Filsafat Hukum “Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam
Dimensi Ide dan Aplikasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 234.
5
Dalam positivisme hukum, pandangan yang paling berpengaruh adalah Hans
Kelsen dengan teori hukum murni. Kelsen mangatakan bahwa hukum dan keadilan
adalah dua konsep yang berbeda sehingga keadilan itu harus dipisahkan dari hukum
(law and justice are two different). Tidak mungkin memakai keadilan, karena
keadilan itu bukan urusan hukum tetapi urusan politik.10
jika dalam teori hukum
murni, adil dipisahkan dari hukum maka hal ini berbanding terbalik dengan tujuan
dari hukum itu sendiri, maka sudah pasti keadilan tidak akan dipertimbangkan oleh
hakim dalam menegakan hukum. Sebab positivisme itu bebas nilai, keadilan ada
didalam nilai, oleh sebab itu keadilan tidak bisa dimasukan ke dalam positivisme
sehingga hukum tidak akan membicarakan keadilan itu sendiri.Aliran positivisme
hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan
bahwa tidak ada hukum diluar Peundang-undangan.Hakim legisme merupakan hakim
yang dipengaruhi oleh mazhab atau aliran positivisme hukum. H. L. A. Hart, yang
berpandangan sebagai berikut.11
a. Hukumadalah perintah.
b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi
sosiologis, historis, dan penilaian kritis.
c. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-
peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada
tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
10
Ibid., hlm. 242. 11
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal.57-58.
6
d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan
oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan positum, harus
senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan
diinginkan.12
Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah
Undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang
pada peristiwa yang konkrit.13
Undang-undang dan hukum diidentikkan.14
Hakim
positivis juga dapat dikatakan sebagai corong Undang-undang. Hakim yang
menganut positivisme hukum sejalan dengan pengutamaan kepastian hukum, yang
beranggapan bahwa apabila hakim diberikan wewenang menafsirkan undang-undang
atau menemukan hukum sendiri langsung ke masyarakat, maka kepastian hukum
akan terganggu.15
Hakim dalam memutus perkara dapat dianggap tidak perlu
memperhatikan tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dan
kemanfaatan.
Hakim yang legisme tentu akan menganut ajaran-ajaran positivisme yang selalu
mengutamakan bunyi pasal dalam Undang-undang atau dengan kata lain hakim
merupakan corong Undang-undang. Sebagai contoh hakim yang legisme, terlihat
dalam putusan pencurian tiga biji kaka yang dilakukan oleh Nenek Minah dengan
12
Muhamad Erwin, Op.,Cit, hal. 249-250. 13
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum , Citra Aditya Bakti,
Yogyakarta, 1993, hal. 5. 14
Ibid., hal. 120.
15Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Sapta Artha Jaya, Jakarta,1996, hal. 114.
7
nomor perkara 247/PID.B/2009/PN.PWT.dan kasus pencurian 6 piring yang
dilakukan oleh Rasmina, Pengadilan Negeri Tangerang Nomor
1346/Pid.B/2010/PN.TNG menyatakan Rasminah bebas. Akan tetapi Putusan
Mahkamah Agung tanggal 31 Mei 2011 mengabulkan kasasi Nomor 653K/Pid.2011
dan menyatakan Rasminah bersalah dan dihukum penjara 4 Bulan 10 hari. kasus
pencurian dua ekor ayam atas nama Arman. putusan no. 1104 K/Pid/2010. Kasus
pencurian hasil hutan (kayu) atas nama Doni Setyo Jatmiko. No putusa perkara,
132/Pid.sus/2011/PN.MLG. kasus pencurian kayu bakar dengan putusan no 2615
K/Pid.Sus/201. Atas nama Muhammd Mufid.
Contoh-contoh kasus diatas menggambarkan kedudukan hakim yang legisme,
dimana hakim memutuskan dengan hanya merujuk berdasarkan pada unsur-
unsur(formil) perbuatan pidana yang telah tepenuhi. Dalam kasus ini, menurut
penulis hakim tidak mencoba menggali nilai keadilan, dimana nilai keadilan itu tidak
serta merta melekat pada bunyi Undang-undang, tetapi yang perlu dipahami oleh
hakim secara mendalam adalah bahwa keadilan harus dimaknai secara filosofis
sehingga tujuan sesungguhnya dari hukum dapat tercapai.
Berbicara mengenai keadilan, maka sedang membicarakan mengenai tujuan
yang esensi dari hukum16
yaitu untuk memberikan rasa keadilan, selain kemanfaatan
dan kepastian. Keadilan sudah dijamin dan tertuang secara eksplisit dalam Pancasila
yang disebut sebagai staats fundamental norm/ rechtsideesekaligus berfungsi sebagai
16
Teguh Prasetyo,Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015,
hal. 101.
8
norma dasar dalam keseluruhan peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif
di Indonesia. Oleh sebab itu putusan yang dibuat oleh hakim wajib menjiwai nilai-
nilai yang ada dalam Pancasila.Pancasila yang merupakan norma fundamental dalam
proses penegakan hukum seharusnya menjadi guiding star dalam setiap putusan
hakim, artinya bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim tidak seharusnya
hanya melihat pada apa yang dikatakan oleh Undang-undang saja tetapi hakim juga
harus menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam Pancasila.Hakekat dari norma
dasar adalah syarat bagi berlakunya suatu Kontitusi, norma dasar terlebih dahulu ada
sebelum adanya konstitusi atau Undang-undang Dasar.17
Oleh sebab sebab itu posisi hakim yang positivis tidak akan mampu
memberikan rasa keadilan dalam setiap putusannya, sebab dalam pertimbangan
hakim hanya menggunakan Undang-undang sebagai tolok ukur saja, tanpa
menggunakan moral untuk melihat penyebab seseorang melakukan pencurian.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini
adalah;
1. Bagaimana posisi hakim dalam sistem peradilan pidana?
2. Bagaimana hakim menyikapi kasus Mina dan Rasmina dalam rangka
mengupayakan keadilan?
C. Tujuan Penelitian.
17
Teguh Praseryo, Hukum Dan System Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa,
Yogyakarta, 2013, hal. 69.
9
Untuk menganalisis posisi hakim dalam sistem peradilan pidana dan,
Bagaimana hakim menyikapi kasus Mina dan Rasmina dalam rangka mengupayakan
keadilan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu:
a. Manfaat teoritis,hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam kajian
pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana.
b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka
cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi para hakim
yang positivis supaya dapat mempertimbangkan keadilan melalui putusannya.
E. Kerangka Pemikiran:Peran filsafat hukum dalam putusan pengadilan.
Dalam hal ini filsafat hukum berkedudukan sebagai metateori bagi teori
interpretasi yuridis secara umum. Fungsionalitas dari beragam teori itu untuk
menjembatani antara proses dan produk ajudikasi supaya dihasilkan putusan yang
tepat atau benar sehingga finalitasnya tidak diganggu gugat atau dipertanyakan.
Teori Adjudikasi
Teori Adjudikasisebagai metateori interpretasi.Dipengaruhi oleh aliran atau
tradisi filsafat hukum tertentu, metateori interpretasi yang ada telah lazim
dikategorikan menjadi teori formalisme, teori realisme dan teori normativisme. Teori-
teori tersebut pada hakekaknya merupakan bentuk penerapan aliran filsafat hukum
tertentu ke dalam ajudikasi sehingga konsekuensi lebih dikenal dengan predikat teori
10
ajudikasi yaitu “theories of how judges do or should decide cases”18
atau lebih
tepatnya tentang “how should a judge decide what law governs the case before
her?19
”dalam arti demikian maka yang menjadi fokus teori-teori tersebut adalah
judicial reasoning sebagai spesies dari legal reasoning.Teori-teori tersebut sangat
penting dalam rangka fungsionalitas badan yudisial dan hakim terutama hakikak
fungsi hakim dan makna atau hakikak hukum di dalamnya.20
Menurut Thomas, “ a basic understanding of legal theory is a essential for the
complete performance of the judicial function….to fulfil their judicial function, and to
be able to assess whether they are fulfilling that function, judge must explore,
examine and know the theoretical framework for their judicial thingking”.
Pernyataan ini sangat tepat sasaran manakala diyakini bahwa ajudikasi dan
interpretasi adalah aktivitas intelektual yang sophisticated. 21
Makna atau hakikat dalam fungsi hakim adalah isu teoritis sangat penting
dalam rangka membekali hakim ketika melakukan ajudikasi.Isu ini merupakan salah
satu bidang kajian filsafat hukum maupun teori hukum yang lebih konkrit. Untuk
lebih memahami pemahaman isu filsafat hukum tentang makna atau hakekak hukum
dapat dikategorikan secara dikotomis dengan mengacu pada Alexy yaitu konsep yang
positivistik: “there are only two defining elements:that of issuance in accordance
with the system, or authoritative issuance, and that of social efficacy….Common to
18
Brian Leiter, Legal Formalism and Legal Realism: What is the Issue?, 16 Legal Theory, 2010,
hal.111. 19
Robert Justun Lipkin, conventionalism, pragmatism and contutional Revolutions, 21 Uc Davis
Law Review, 1988, hal. 651. 20
Titon Slamet Kurnia, Kontitusi HAM, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2014, Hlm
105 21
Ibid. Hlm 105-106
11
all of the variations is the notion what law is depends solely on what has been issued
and/or is effication. Correctness of content-however achieved-count for nothing”
dan konsep yang non positivistik “defend the connection thesis, which says that the
concept of law is to be defined such that moral element are included. No serious non-
positivis is thereby excluding from the concept of law either the element of
authoritative issuance or the element of social efficacy. Rather, what distinguishes
the non-positivist from the positivist is the view that the concept of law is to be
defined such that, alongside these fact-oriented properties, moral elements are also
included”.22
Formalisme, realisme dan normativisme pada hakekaknya adalah teori tentang
makna atau hakekak hukum dalam ajudikasi, mengandung dimensi penerapan atas
study filsafat hukum, yang bertujuan menghasilkan postulat-postulat mengenai
makna atau hakikat hukum sebagai pendirian, word view bagi hakim ketika
melakukan ajudikasi tentang bagaimana hakim memutuskan atau seyogianya
memutus kasus dalam lingkup tugas yudisialnya. Menurut D’Amato: “the way judges
decide a case is informed by their own conception of what the law is-not just what a
statute might say, or a previous case might have held, but what the law is in the sense
of how they should interpret those statutes or cases. Aliran atau tradisi filsafat hukum
tertentu membentuk dan menetukan makna atau hakekak hukum tertentu, dan yang
pada analisis akhir menentukan hakim tentang bagaimana mengembannya ketika
memeriksa, menggali dan memutuskan. 23
22
Ibid., hal. 106. 23
Ibid.,hal. 107.
12
a. Formalisme
Teori ajudikasi paling dominan dalam praktek ajudikasi. Tentang keampuhan
teori ini, Thomas memberikan gambaran “At the turn of the twentieth century a basic
from of positivism dominated legal thinking. The law was perceived as closed and
cloisterd edifice, an independent and authonomous discipline, and a sovereign, self-
contained system of internally rational and predictable rules to which the judge,
having no or little discretion, would mechanically apply deductive reasoning. Such
dogmatic formalism embraced the declaratory theory of law and fostered the belief
that law could be determined with quasi-mathematical precision. Idolatry of certainty
and predictabililyin the law displaced the search for justice and relevance. Justice, if
justice was to be done, would be systemic-the product ot adhering to rules of form”.
Secara lebih spesifik Tamanaha menyimpulkan sebagai generalisasi inti dari
teori formalisme yaitu: formalism entails rule-bound judging that prohibits
considerations of purposes or consequences”. Dengan demikian ajudikasi adalah
bebas nilai. Teori formalisme hukum dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak
langsung, atau merupakan penerapan , pemikiran filsafat positivisme yuridis (legal
positivism). Obsesi utama positivme yuridis adalah konsepsi hukum yang benar-
benar hukum dan validitas sumber-sumbernya. Atas dasar premis tersebut maka
positivisme yuridis membedakan secara tegas antara law as it dan law as it ought to
be, antara hukum dan nilai atau moral. Konsisten dengan itu, pembuktian utama
eksistensi hukum adalah pada sumbernya, yaitu sumber-sumber hukum positif dari
negara, dengan demikian pengaruhnya ke dalam ajudikasi, yang disebut formalisme
13
adalah semata-mata penerapan sumber-sumber hukum positif (law as it is) secara
subtantif.
b. Realisme
Secara genelogis, teori realism sebagai teori ajudikasi merupakan reaksi
terhadap teori formalisme, “ Formalism offers us right and wrong answers, it
encourages rigidity and a dismissive attitude to any analysis of the impact of non-
legal factors on the law, in other word it treats law as an isoled, closed an logical
system”. dengan kata lain, kritik terhadap formalisme adalah kritik terhadap terhadap
doktrin separation thesis dari teori positivisme yuridis yang menghasilkan regiditas
terhadap konsep hukum (khusus menyangkut teori sumber hukum yang dimonopoli
oleh produk-produk hukum positif atau hukum yang ditetapkan oleh penguasa) dalam
ajudikasi. Teori realisme pada hakikatnya masih teramasuk dalam bilangan
positivisme, seperti halnya teori formalisme sebagai teori ajudikasi dari filsafat legal
positivism.
Teori realisme merupakan kritikan atas kelemahan pendirian dari teori
formalisme yang memiliki kecenderungan kuat pada rule application tanpa dibantu
interpretasi. Menurut pandangan realisme hal tidak mungkin terjadi pada situasi hard
cases dimana existing rules mengandung pengertian atau makna panubra. Tanpa
referensi pada pertimbangan-pertimbangan factual, judicial reesoning berdasarkan
formalisme akan berubah menjadi legalistik,legisme. Dalam kaca mata realisme, isu
14
utama teori formalisme adalah kegagalan untuk menjembatangi pengunaan kata-kata
dalam ketentuan hukum sebagai premis mayor tersebut berlaku secara presisi.24
c. Teori Normativisme.
Pada teori normativisme, bahwa memutus menurut lex dengan memutus
menurut ius tidak selalu sama maknanya. Sehingga, legal reasoning serta judical
reasoning yang lebih dari sekedar merujuk pada peraturan perundang-undangan
(formalism) adalah esensi yang menjadikan teori normativisme khas, termasuk
dengan realism (memutus dengan mempertimbngkan social demands).
Normativisme berbeda dengan formalisme menyangkut isu hubungan antara
hukum dengan moral: although we do separate law and morals, we do not separate
them entirely. Normtivisme juga berbeda dengan realisme walaupun sama-sama
bertolak dari tesis indeterminate legas rules. Normativisme lebih berorientasi pada
nilai (morality, justice, fairns) namun realism kebalikannya, lebih berorientasi pada
fakta.Normativisme hadir sebagai kritik terhadap formalisme maupun realisme,
formalisme dikritik karena penderian bebas nilainnya.Sementara realisme dikritik
karena kecendurungan metamtis dan prakmatisnya.Pendiri normativisme kontenporer
adalah Ronald Dworkin.Filsuf hukum yang teorinya secara khusus beroperasi di
ranah ajudikasi.Pemikiran Dworkin sangat penting kontribusinya bagi pengembangan
teori norvativisme dalam ajudikasi, kontribusi utamanya adalah menunjukan bahwa
ajudikasi merupakan interpretasi dan interpretasi tersebut memiliki landasan
moralitas yang kuat.Dengan demikian maka Dworkin menggugurkan tesis
positivisme yuridis dan formalism yaitu separation of law and morals dan unsure
24
Ibid.,hal. 120.
15
ajudikasi yang semata-mata adalah penerapan sumber-sumber hukum positif secara
bebas nilai.25
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiga teori ini beranjak dari hukum itu norma,
akan tetapi ketiga teori ini melihat sumber dari norma itu berbeda-beda. Orang yang
berbicara hukum mempunyai keyakinan tentang filsafat hukum.Oleh peran filsafat
hukum sebagai dasar berpikirnya hakim dalam pengambilan keputusan. Menurut
penulis, hakim yang positivis tidak akan mampu memberikan rasa keadilan melalui
putusannya.
25
Ibid.,
16
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum (legal
research) yaitu untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip dan
kaidah-kaidah yang mengatur status, yang hendak dikemukakan adalah
kecocokan antara aturan hukum dengan norma hukum.26
Dengan demikian penelitian ini hendak mencari, menemukan dan
menjelaskan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip berkaitan dengan keadilan
dalam ruang-ruang pengadilan.
2. Jenis pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
perundang-undangan (statute approach) karena akan menelaah dan
melihat kembali fungsi dan kewenangan hakim dalam memutuskan
perkara pidana, serta pendekatan konsep (conceptual approach) teoritis
karena akan mengkaji konsep keadilan dalam putusan hakim, berdasarkan
konsep maupun teori yang ada dalam praktek adjudikasi. Dan pendekatan
kasus (case approach)
G. Bahan Hukum
a. Bahan hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat
yang terdapat dalam unit amatan, yaitu:
1) Pancasila
26
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenanda Media Grup,
Jakarta, 2013, hal. 41.
17
2) UUD 1945
3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
4) Putusan Mahkamah Agung Nomor 247/PID.B/2009/PN.PWT
5) Putusan Mahkama Agung Nomor 1346/Pid.B/2010/PN.TNG
b. Bahan hukum sekunder, yakni yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum perimer. Misalnya hasil-hasil penelitian dan
buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
H. Unit Analisa
Yang menjadi unit analis dalam penelitian ini adalah
kedudukan hakim dalam sistem peradilan pidana dan hakim dalam hal
menyikapi kasus Mina dan Rasmina.