Upload
votu
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selama Pemerintahan Orde Baru berkuasa, telah terjadi berbagai distorsi
dalam persaingan usaha sebagai akibat kebijakan Pemerintah yang memperlakukan
segelintir pelaku usaha tertentu dengan pemberian berbagai fasilitas kemudahan dan
hak-hak istimewa. Tidak dapat dipungkiri kalau selama itu pula telah menyuburkan
praktek bisnis yang tidak sehat, melalui pemberian fasilitas yang mengakibat
terciptanya monopoli tertentu kepada pengusaha/konglomerat yang dekat dengan
“Soeharto”. Sebagai contoh Liem Sie Liong memonopoli komoditi terigu, makanan
fast food, semen dan kertas, serta “Keluarga Cendana” menguasai tata niaga cengkeh,
jeruk, bioskop dan jalan tol.1
Ada beberapa fakta lain menurut Abdul Fickar Hadjar yang menunjukkan
bahwa Pemerintah dominan menciptakan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat,
yaitu:2 Pertama, penunjukan usaha swasta sebagai produsen dan importir tunggal
tepung terigu (Bogasari ditunjuk oleh Bulog). Kedua, izin dan dorongan
berkembangnya asosiasi produsen yang berfungsi sebagai kartel atau mengatur harga
(seperti Organda, Apkindo, Asosiasi Produsen Semen dan lain sebagainya). Ketiga, 1 Teguh Sulistia, 2006, Aspek Hukum Usaha Kecil Dalam Ekonomi Kerakyatan , Cetakan Pertama,
Andalas University Press, Padang, hlm.76
2 Abdul Fickar Hadjar, Hukum Acara Persaingan Usaha, Makalah disampaikan pada Pedidikan Khusus
Profesi Advokat, di Hotel Matoa Jayapura, Papua , 30 Agustus 2008, kerjasama Foker Papua – PERADI.
2
sengaja membiarkan satu perusahaan menguasai pangsa pasar mie instan 50% (lima
puluh persen) lebih (Indofood). Keempat, entry barrier bagi pemain baru pada
industri tertentu (kebijakan Mobil Nasional). Kelima, proteksi pada industri hulu
produksi barang tertentu dengan menaikkan bea masuk terhadap barang yang sama
yang diimpor dari luar negeri (PT.Candra Asri untuk produk berupa Bahan Kimia).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Achmad Shauki, Indonesia
merupakan negara dengan tingkat konsentrasi ekonomi tinggi di dunia mencapai 56%
(lima puluh enam persen), lebih tinggi lagi untuk Bidang Ekonomi mencapai 69%
(enam puluh sembilan persen), bahkan untuk produk tertentu angka itu nyaris mutlak
yakni, otomotif 95% (sembilan puluh lima persen), tepung terigu 100% (seratus
persen) dan mie instant 95% (sembilan puluh lima).3 Sehingga, keadaan semacam ini
tidak menumbuhkan iklim persaingan usaha yang sehat dan sama sekali tidak
memberikan peluang bagi pelaku usaha lain untuk dapat tumbuh, berkembang serta
mampu bersaing.
Persaingan merupakan bagian dari suatu proses kehidupan yang alamiah.
Tanpa disadari manusia dalam kesehariannya harus dihadapkan pada persaingan
untuk mempertahankan hidup dan eksistensinya sebagai individu. Dinamika
kehidupan senantiasa menuntut adanya perubahan yang terus-menerus, bersamaan
dengan itu manusia harus mampu secara kreatif berusaha menyesuaikan dan mencari
pemecahan-pemecahan permasalahan yang timbul sebagai akibat terjadinya
3 Yoserwan, 2006, Hukum Ekonomi Indonesia Dalam Era Reformasi dan Globalisasi , Andalas
University Press, Padang, hlm.3
3
perubahan. Begitupun pula yang terjadi dalam sektor ekonomi dan dunia usaha,
setiap pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha akan bersaing atau berkompetisi
guna mendapatkan hasil keuntungan yang sebesar-besarnya.
Undang-Undang Dasar 1945 (setelah amandemen ke-IV) sebagai landasan
konstitusional telah memberikan arah perekonomian nasional yang dapat dilihat dari
maksud ketentuan Pasal 33 ayat (1), perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan, serta ditambah lagi dengan ke tentuan Pasal 33 ayat
(4), yang menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Menurut pendapat Jimly
Asshiddiqie:4 prinsip usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan menekankan
pentingnya kerja sama (cooperation), sedangkan efisiensi menekankan pentingnya
persaingan (competition). Jika yang diutamakan hanya kerja sama saja (cooperation),
tanpa persaingan terbuka, niscaya individualitas manusia akan ditelan oleh
kebersamaan yang dapat berkembang menjadi kolektivitas yang dipaksakan sehingga
terbentuk otoritarian. Sebaliknya, jika yang diutamakan hanya persaingan saja
(competition), maka setiap orang akan saling memakan orang lain (survival of the
fittest) yang merusak tatanan hidup bersama. Kedua mekanisme persaingan dan kerja
4 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi Ekonomi, Kompas, Jakarta, hlm.259
4
sama itu dihimpun dalam apa yang dimaksud oleh Pasal 33 ayat (4) UUD 1945
sebagai prinsip “efisiensi berkeadilan”.
Adanya kompetisi inilah yang menimbulkan dorongan pelaku usaha untuk
saling bersaing menguasai pasar dengan tujuan agar memperoleh keuntungan yang
maksimal, bahkan tidak menutup kemungkinan dengan cara-cara yang tidak sehat
agar dapat mematikan usaha pesaingnya. Di sinilah arti pentingnya campur tangan
pemerintah untuk membuat kebijakan guna mengatur persaingan secara sehat.
Kebijakan persaingan usaha dibuat dengan tujuan guna menumbuhkan dan
melindungi para pengusaha melakukan “persaingan sehat” dalam kegiatan ekonomi. 5
Oleh karena itu, kehadiran perangkat hukum yang dapat menjamin
persaingan usaha yang sehat dan mencegah praktek bisnis tidak sehat sangat
diperlukan. Perangkat hukum tersebut menjadi sarana pencapaian demokrasi
ekonomi, yang memberikan peluang bagi semua pengusaha untuk berpartisipasi
dalam proses produksi dan atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien
guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang wajar.6
Pembentukan Undang-Undang No.5 Tahun1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mempunyai tujuan sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 3, yaitu:
5 Teguh Sulistia, Op.Cit,hlm.70
6 Jamal Wiwoho, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Cetakan 1, Sebelas Maret University Press,
Surakarta, hlm.68
5
“a.menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b.mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga c.menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama
bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; d.mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
e.terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.”
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ini secara substansi materi di dalamnya
mengatur tentang prinsip-prinsip utama bagi terselenggaranya persaingan sehat,
yakni meliputi perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan penegakan hukum. Selanjutnya,
untuk melakukan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ini,
maka sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (1) dibentuklah KPPU. Pembentukan
KPPU, susunan organisasi, tugas dan fungsinya diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Presiden (Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999). Keberadaan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memegang peranan penting, karena menjadi
ujung tombak dalam penegakan hukum anti monopoli. KPPU mempunyai tugas
salah satunya yaitu menyusun pedoman yang berkaitan dengan Undang-Undang No.5
Tahun 1999 (Pasal 35), juga mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan,
memutus dan menjatuhkan sanksi terhadap adanya dugaan pelanggaran terhadap
undang-undang ini (Pasal 36).
Proses penegakan hukum yang telah dilakukan oleh KPPU dapat dilihat dan
dipelajari melalui beberapa produk pedoman, peraturan komisi maupun putusan-
6
putusan perkara yang telah dikeluarkan oleh KPPU. Dengan melakukan kajian
putusan-putusan perkara KPPU dapat diketahui bagaimana penerapan asas-asas
hukum persaingan usaha dan pendekatan teori yang digunakan oleh KPPU dalam
melakukan penafsiran terhadap ketentuan pasal, serta ruang lingkup pemberlakuan
suatu pasal dari Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Salah satunya yaitu mengenai
Posisi Dominan. Penyalahgunaan posisi dominan, baik secara langsung maupun tidak
langsung dilarang:7
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau
menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa yang bersaing, baik dari
harga maupun kualitas.
b. Membatasi pasar dan pengembangan tekhnologi.
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki
pasar bersangkutan.
Pelaku usaha dapat dikatakan memiliki Posisi Dominan, jika:8
a. Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh
persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, atau
b. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok usaha menguasai 75% (tujuh puluh
lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
7 Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999
8 Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1999
7
Penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan Penyalahgunaan Posisi
Dominan, karena berangkat dari adanya kasus dugaan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1999, salah satunya yang
dialamatkan kepada PT.Carrefour Indonesia setelah peritel raksasa asal Perancis ini
melakukan akuisisi terhadap PT.Alfa Retailindo,Tbk. secara resmi pada 21 Januari
2008. Dugaan pelanggaran tersebut kemudian bergulir menjadi perkara yang
diperiksa oleh KPPU dengan register Perkara Nomor:09/KPPU-L/2009.
Berdasarkan hasil putusan perkara KPPU No.09/KPPU-L/2009 pihak
PT.Carrefour Indonesia antara lain dinyatakan terbukti telah melakukan
Penyalahgunaan Posisi Dominan. Putusan tersebut kemudian oleh PT.Carre four
Indonesia diajukan keberatan dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
yang memeriksa perkara keberatan tersebut melalui putusan perkara
No.1598/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Sel. pada pokoknya telah membatalkan putusan KPPU,
serta menyatakan PT.Carrefour Indonesia tidak terbukti melakukan pelanggaran
ketentuan Penyalahgunaan Posisi Dominan. KPPU kemudian melakukan upaya
hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI dengan register perkara No. 502
K/Pdt.Sus/2010. Pada tanggal 21 Oktober 2010, Mahkamah Agung RI telah
menjatuhkan putusan yang pada pokoknya menolak permohonan kasasi yang
diajukan oleh KPPU dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Selain dalam perkara akuisi PT. Alfaretailindo, Tbk. oleh PT. Carrefour
Indonesia seperti telah tersebut di atas, ada beberapa perkara dugaan penyalahgunaan
8
posisi dominan yang telah diperiksa dan diputus oleh KPPU serta telah dinyatakan
terbukti, antara lain yaitu: Perkara No.04/KPPU-I/2003 (Jasa terminal pelayanan
bongkar muat petikemas dengan Terlapor I PT. Jakarta International
Container Terminal); Perkara No.06/KPPU-L/2004 (Program Geser Kompetitor
baterai dengan Terlapor PT. Panasonic Global Indonesia); dan Perkara
No.17/KPPU-I/2010 (Industri Farmasi Kelas Terapi Amlodipine dengan
Terlapor I PT. Pfizer Indonesia).
Putusan perkara-perkara tersebut di atas, akan menjadi bahan kajian bagi
penulis dalam penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana
sesungguhnya penerapan definisi pasar bersangkutan dan perhitungan penguasaan
pangsa pasar yang telah digunakan oleh KPPU guna menentukan telah terjadinya
posisi dominan dan penyalahgunaan posisi dominan.
Dalam menentukan ada atau tidaknya Posisi Dominan dan Penyalahgunaan
Posisi Dominan apabila menggunakan cakupan pasar bersangkutan dan perhitungan
penguasaan pangsa pasar yang berbeda hasilnya akan berbeda pula. Sebagai contoh
adanya perbedaan tersebut, terlihat dari cakupan pasar bersangkutan yang berbeda
antara yang digunakan oleh Majelis KPPU dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan (yang juga telah dikuatkan oleh putusan pada tingkat kasasi) dalam
perkara akuisisi PT.Alfa Retailindo oleh PT.Carrefour Indonesia telah menghasilkan
putusan yang berbeda pula. Putusan tersebut dijatuhkan berdasarkan hasil survey
yang dilakukan oleh lembaga survey yang berbeda terhadap penguasaan pangsa
9
pasar. Karena menyangkut hasil suatu survey, maka sangat dipengaruhi pula oleh
metode survey yang digunakan. Hal ini tentunya akan menimbulkan suatu
permasalahan untuk memilih lembaga survey mana yang harus dipercaya dan siapa
yang mempunyai otoritas untuk menentukan lembaga survey yang kredibel untuk
dijadikan dasar pegangan dan pertimbangan dalam membuat keputusan Perkara
Persaingan Usaha? Unsur apa sajakah yang diperlukan untuk dapat menyatakan
pelaku usaha atau kelompok usaha tertentu telah menyalahgunakan posisi
dominannya?
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tidak diikuti dengan peraturan pelaksanaan
yang mengatur secara detail dan terperinci menyangkut teknis operasional, khususnya
mengenai pelaksanaan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2), namun demikian undang-
undang ini telah mengamanatkan dan memberikan kewenangan kepada KPPU untuk
menyusun pedoman. Rumusan Pasal 25 ayat (2) menggunakan pendekatan bersifat
kuantitatif. Konsekwensi dari rumusan pasal ini memerlukan lebih lanjut pengukuran
terhadap penguasaan pangsa pasar. Sehingga, akan sangat terbuka kemungkinan
perbedaan dalam melakukan perhitungan tentang penguasaan pangsa pasar dalam
pasar bersangkutan dan dalam menentukan pelaku usaha berada pada posisi dominan.
Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 baru kemudian diterbitkan oleh KPPU melalui
Peraturan KPPU No.6 Tahun 2010, sehingga bagaimana terhadap kasus-kasus yang
terjadi sebelum tahun 2010 mengingat belum adanya pedoman Pasal 25 ini?
10
Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah mendorong penulis untuk melakukan kajian
lebih mendalam tentang permasalahan Penentuan Penyalahgunaan Posisi Dominan.
B. Rumusan Masalah
Dalam menentukan ada atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan masih
ada persoalan di dalam proses penentuannya, sehingga diperlukan kajian yang lebih
mendalam melalui penelitian ini. Agar penelitian ini lebih terarah, maka rumusan
permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan ketentuan penyalahgunaan posisi dominan yang diatur
dalam Pasal 25 Undang-Undang No.5 Tahun 1999?
2. Bagaimana pembuktian yang dipergunakan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) dalam menentukan telah terjadinya penyalahgunaan posisi
dominan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dan menjelaskan secara analisis
yuridis berkaitan dengan Penentuan Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia yang terimplementasi melalui putusan perkara Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Sebagaimana permasalahan yang telah dikemukakan pada rumusan masalah
di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
11
1. Untuk mendapatkan kejelasan penerapan ketentuan penyalahgunaan posisi
dominan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang No.5
Tahun 1999.
2. Untuk mendapatkan kejelasan bagaimana pembuktian yang dipergunakan
oleh KPPU dalam menentukan telah terjadi penyalahgunaan posisi dominan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dapat diharapkan dari penulisan tesis ini adalah sebagai
berikut:
1. Secara teoritis
Pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan Ilmu Hukum
Bisnis, khususnya Hukum Persaingan Usaha tentang pemahaman ruang
lingkup Posisi Dominan yang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang No.5
Tahun 1999.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pembuat
kebijakan di bidang persaingan usaha dan bagi para penegak hukum yang
terlibat dalam pemeriksaaan perkara persaingan usaha, khususnya untuk
kepentingan pembuktian suatu perkara dalam menentukan telah terjadi
penyalahgunaan posisi dominan.
12
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran dan pengamatan yang telah dilakukan penulis,
memang sebelumnya sudah pernah ada penelitian dalam lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada (UGM) terkait Posisi Dominan, antara lain tesis dengan
judul: “Posisi Dominan Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”, yang ditulis oleh
Tony Yohanes Worek pada tahun 2003. Sedangkan, penelitian yang penulis lakukan
dalam tesis ini dengan judul: “Analisis Yuridis Penentuan Penyalahgunaan Posisi
Dominan Dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Studi terhadap
putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU))”, yang menurut
sepengetahuan penulis hal ini belum pernah diteliti. Sehingga baik dari sisi judul,
metode pendekatan maupun sudut pandang penelitiannya berbeda dengan penelitian
yang telah tersebut di atas. Dengan demikian penelitian ini dimaksudkan dapat
menambah khasanah dan melengkapi penelitian sejenis yang sebelumnya sudah ada.
13