25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan salah satu komponen ekosistem yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup umat manusia, dan juga sebagai faktor utama dalam setiap kegiatan pembangunan. Dapat dikemukakan dengan perkataan lain bahwa, tanah sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena dengan tanah manusia dapat berpijak, juga dengan tanah manusia dapat hidup dengan cara mengolah atau mendayagunakannya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan uraian tersebut, maka dapat dipetik pendapat Gouw Giok Siong 1 yang mengatakan bahwa: “tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerluka n sebidang tanah.” Refleksi tentang tanah mempunyai makna sangat strategis, karena di dalamnya, terkandung tidak saja aspek fisik tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik, serta pertanahan, keamanan, dan hukum 2 . Oleh karena fungsi tanah mempunyai kedudukan sangat vital dalam kehidupan, manusia dengan tanah memiliki hubungan emosional yang sangat kuat. Konsep tentang pergeseran nilai, yang didorong peningkatan kebutuhan, memunculkan pengalihan fungsi hak atas tanah bukan lagi suatu kemustahilan, 1 Gow Giok Siong, 2000, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Keng Po, Jakarta, hlm.46. 2 F.X.Sumarja, 2012, Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing-Sebuah Tinjauan Yuridis Filosofis, Indepth Publishing, Bandar Lampung, hlm.V.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/.../S2-2015-354056-chapter1.pdf · mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum ... penguasaan hak atas

  • Upload
    vandat

  • View
    221

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu komponen ekosistem yang sangat strategis

bagi kelangsungan hidup umat manusia, dan juga sebagai faktor utama dalam

setiap kegiatan pembangunan. Dapat dikemukakan dengan perkataan lain bahwa,

tanah sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena dengan

tanah manusia dapat berpijak, juga dengan tanah manusia dapat hidup dengan cara

mengolah atau mendayagunakannya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan

hidupnya.

Sejalan dengan uraian tersebut, maka dapat dipetik pendapat Gouw Giok

Siong1 yang mengatakan bahwa: “tanah sangat erat sekali hubungannya dengan

kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya

dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan sebidang tanah.”

Refleksi tentang tanah mempunyai makna sangat strategis, karena di

dalamnya, terkandung tidak saja aspek fisik tetapi juga aspek sosial, ekonomi,

budaya, bahkan politik, serta pertanahan, keamanan, dan hukum2. Oleh karena

fungsi tanah mempunyai kedudukan sangat vital dalam kehidupan, manusia

dengan tanah memiliki hubungan emosional yang sangat kuat.

Konsep tentang pergeseran nilai, yang didorong peningkatan kebutuhan,

memunculkan pengalihan fungsi hak atas tanah bukan lagi suatu kemustahilan,

1 Gow Giok Siong, 2000, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Keng Po, Jakarta, hlm.46. 2 F.X.Sumarja, 2012, Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing-Sebuah Tinjauan

Yuridis Filosofis, Indepth Publishing, Bandar Lampung, hlm.V.

2

termasuk beralihnya kepemilikan kepada orang lain (sekadar tidak menunjuk

makna orang asing) sebagai suatu hal yang bersifat lumrah. Hubungan manusia

dengan tanah yang kuat menuntut jaminan perlindungan hukum agar manusia

dapat melaksanakan hak-haknya secara aman.

Kaidah paling mendasar sebagai bentuk perlindungan hukum dan acuan

kebijakan pertanahan di Indonesia adalah alinea keempat pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat

UUD NRI Tahun 1945) yang berbunyi :

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum……”.

Dasar fundamental atau sendi-sendi dasar yang terdapat dalam kata

„melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia‟,

sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945, memiliki

makna negara atau pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk

melindungi seluruh sumber-sumber kehidupan bangsa Indonesia guna

kesejahteraan seluruh rakyat.

Perumusan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah merefleksikan

kondisi tersebut. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan :

“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Rumusan di atas bersifat imperatif karena mengandung perintah kepada

negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang

3

diletakan dalam penguasaan negara, dipergunakan sebesar-besarnya untuk

mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Perwujudan pengaturan hubungan antara manusia dengan tanah, sebagai

pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dengan dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, atau yang dikenal Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat

UUPA).

Hukum agraria yang baru ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum

adat, oleh karena hukum adat adalah hukum rakyat Indonesia yang asli3. Dengan

demikian hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah

hukum adat termasuk di dalamnya tanah. Hal ini sesuai dengan Bunyi Pasal 5

UUPA yang menyatakan : “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang

angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme

Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang

ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan

mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama” .

UUPA menciptakan perubahan dalam hukum agraria nasional dengan

menghapus dualisme hukum agraria yang tidak mencerminkan adanya kepastian

hukum bagi rakyat Indonesia. Jaminan kepastian hukum dalam bidang agraria,

khususnya dalam bidang pertanahan menghendaki adanya kepastian tentang :4

3Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Hlm. 139. 4 Ibid, hlm. 50.

4

1. Hak atas tanahnya. Tanah yang dipunyai dengan hak milik, yang tidak

terbatas jangka waktunya, harganya lebih tinggi daripada tanah sewa atau

tanah hak guna bangunan.

2. Siapa yang mempunyai tanah. Ini mengenai subjek haknya, kepastian

tentang hal ini diperlukan, karena perbuatan-perbuatan mengenai tanah

tersebut pada asasnya hanya menimbulkan akibat hukum yang

dikehendaki, jika dilakukan oleh pemiliknya.

3. Tanahnya. Ini mengenai objek haknya, yaitu dimana letaknya, berapa

luasnya dan bagaimana batas-batasnya. Kiranya mudah dimengerti bahwa

orang menginginkan kepastian juga mengenai hal-hal tersebut.

4. Hukumnya. Yaitu menyangkut aturan-aturan untuk mengetahui

wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajiban pemiliknya.

Menyangkut subjek yang dapat diberikan dan mempunyai hak atas tanah,

maka sesuai dengan asas nasionalitas yang tercantum dalam UUPA, ditentukan

dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia

yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang

angkasa.

Dalam penjelasannya dikatakan, hanya Warga Negara Indonesia

( selanjutnya disingkat WNI) saja yang dapat menjadi subjek hak milik selain

badan hukum tersebut. Jelas disebutkan bahwa hanya WNI saja, hal ini berarti

selain WNI tidak bisa mendapatkan hak milik atas tanah tersebut termasuk Warga

Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang melakukan kegiatan investasi

atau penanaman modal di Indonesia.

5

Ketentuan yang mempertegas penjelasan Pasal 9 ayat (1) mengenai subjek

penguasaan hak atas tanah tercantum dalam Pasal 21 UUPA yang menyatakan

bahwa :

1. Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

2. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai

hak milik dan syarat-syaratnya.

3. Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh

hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena

perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak

milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan

kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu

tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu.

Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan,

maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara,

dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap

berlangsung.

4. Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai

kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak

milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini.

Dari bunyi Pasal 21 diatas, maka hak milik atas tanah di Indonesia hanya

bisa dimiliki oleh WNI saja. Dalam ketentuan UUPA, bentuk-bentuk penguasaan

tanah oleh warga negara asing dapat berupa hak pakai dan hak sewa yang diatur di

dalam Pasal 42 sub b dan Pasal 45 sub b.

6

Mengenai hak milik atas tanah oleh warga negara asing jelas dilarang oleh

negara berdasarkan Pasal 21 UUPA. Mengingat keluasan kewenangan yang

terkandung dalam hak milik atas tanah, sementara warga negara asing tidak

diperbolehkan memilikinya, banyak cara ditempuh oleh warga negara asing untuk

dapat menguasai tanah dengan hak milik di Indonesia. Hal ini tentunya tidak bisa

dibiarkan begitu saja. Untuk menegakan asas nasionalitas, sehingga tanah hak

milik tidak jatuh pada pihak asing.

Penguasaan tanah oleh WNA tidak bisa dihindari. Hal itu mengingat

mobilitas dan jumlah mereka yang masuk ke negara Indonesia terus meningkat

pada era globalisasi dewasa ini. Apalagi seiring perubahan politik pada orde baru,

banyak tanah justru dikuasai sekelompok pemodal asing5 kondisi itu tampak dari

berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah, seperti kebijakan deregulasi

Oktober 1993 yang menyederhanakan proses pemberian Hak Guna Usaha (HGU)

dan Hak Guna Bangunan (HGB)6.

WNA yang masuk ke Indonesia, selain mempunyai tujuan wisata, juga

berupaya menanamkan modal untuk usaha dengan menguasai tanah. Hal ini

terindikasi dengan banyaknya WNA yang menguasai tanah di beberapa tempat di

Indonesia, diantaranya di Provinsi Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

sebagai daerah tujuan wisata di Indonesia.

Selain Bali yang merupakan daerah di Indonesia yang pa;ing banyak di

kunjungi oleh WNA, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) juga banyak

5 Gunawan Wiradi, 2001, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran

Rakyat, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, hlm.163. 6 Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,

Jakarta:buku Kompas, hlm.23.

7

dikunjungi oleh WNA. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa selain untuk

tujuan berwisata ke tempat-tempat Indah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),

WNA juga berinvestasi atau tinggal sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta

(DIY) . oleh karena itulah banyak dari mereka yang membeli tanah dari WNI.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Yogyakarta Tahun 2012 yang

di keluarkan pada tanggal 26 Maret 2012 Jumlah WNA yang tinggal dan menetap

di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebanyak 302 orang, yang terdiri dari laki-

laki 157 orang dan perempuan 145 orang.7 Kota Yogyakarta terdiri dari 29 orang

laki-laki dan 22 orang perempuan. Kabupaten bantul terdiri dari 16 orang laki-laki

dan 14 orang perempuan. Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunung Kidul

tidak berpenduduk WNA. Kabupaten Sleman terdiri dari 112 orang laki-laki dan

109 orang perempuan8.

Sejak Tahun 1953, sebagaimana dikatakan S. Poerwopranoto9, bahwa

selama larangan menjual tanah kepada orang asing masih ada, sudah tentu orang

asing akan mencoba untuk melanggarnya, misalnya dengan jalan mempergunakan

perantaraan WNI.

Cara yang sering digunakan adalah dengan kedok melakukan jual beli

tanah dengan perantaraan WNI atau dengan kata lain atas nama WNI agar tidak

menyalahi ketentuan hukum yang berlaku dalam UUPA. Tindakan ini yang

maksud agar WNA dapat memiliki tanah secara absolut. Cara ini dikenal dengan

nama nominee.

7 https://kependudukanpemdadiy.files.wordpress.com/2010/09/laporan-triwulan-iii-data-

kependudukan-tahun-2012-provinsi-diy-aksen.pdf, Diakses Tanggal 11 Februari 2015. 8 Ibid

9 S. Poerwopranoto, 1954, Penuntun Tentang Hukum Tanah, Sinar grafika, Jakarta, hlm. 48.

8

Penggunaan nominee yang notabene merupakan bentuk perwujudan

adanya suatu perikatan. Dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(selanjutnya disingkat KUHPerdata) tertulis “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik

karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Selanjutnya Pasal 1234

menyebutkan “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk

berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu”. Sehingga perikatan sebagai

bentuk perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang terlibat. Oleh

karena itu, perjanjian merupakan kesepakatan yang harus dipenuhi oleh para pihak

yang terkait di dalamnya.

Dalam hukum tanah nasional, sebagaimana yang telah disebutkan

sebelumnya mengatur bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang berhak

untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah Indonesia. Untuk menyiasati

hal tersebut, maka dibuatlah perjanjian nominee antara WNA dengan WNI.

Dengan menggunakan perjanjian nominee, WNA dapat memiliki tanah dengan

hak milik di Indonesia dengan cara mendaftarkan tanah tersebut atas nama WNI

yang ditunjuknya sebagai nominee10

.

Perwujudan nominee ini ada pada surat perjanjian yang dibuat oleh para

pihak, yaitu antara WNA dan WNI sebagai pemberi kuasa yang diciptakan

melalui satu paket. Perjanjian itu pada hakikatnya bermaksud untuk memberikan

segala kewenangan yang mungkin timbul dalam hubungan hukum antara sesorang

dengan tanahnya kepada WNA selaku penerima kuasa untuk bertindak layaknya

seorang pemilik yang sebenarnya dari sebidang tanah yang menurut hukum tidak

10 Http/://.google, alternatif kebijaksanaa pengaturan hak atas tanah bagi warga negara asing, di

ambil pada tanggal 14 Agustus 2014.

9

dapat dimilikinya (HM atau HGB). Perjanjian dengan menggunakan kuasa

semacam itu, dengan menggunakan pihak WNI sebagai nominee merupakan

penyelundupan hukum karena substansinya bertentangan dengan UUPA.

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis menginterprestasikan

bahwa perjanjian nominee sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum

Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan

secara khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang

kosong/norma kosong, karenanya perjanjian nominee dapat dikategorikan sebagai

penyelundupan hukum.

Dalam perjanjian nominee antara WNA dan WNI terkait kepemilikan

tanah ini, tidak dapat dilepas-pisahkan dari peran seorang Notaris/PPAT. Dalam

prakteknya, kebanyakan WNA dan WNI menggunakan jasa seorang

Notaris/PPAT untuk melegalkan perjanjian nominee dan membuat akta-akta yang

dikehendaki oleh kedua belah pihak. Akta-akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT

tergantung kepada kesepakatan bersama dengan pertimbangan-pertimbangan yang

disampaikan oleh Notaris/PPAT untuk memperkuat dan mengikat kedua belah

pihak.

Dari uraian di atas maka penulis mengambil judul dalam tulisan ini “

Perjanjian Nominee Sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Oleh

Warga Negara Asing Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”.

10

B. Rumusan Masalah

Penguasaan tanah oleh warga negara asing sebagai hak milik merupakan

pelanggaran terhadap UUPA. Untuk menghindarinya maka dilakukan

penyelundupan hukum dengan melakukan pembelian tanah dengan meminjam

nama WNI, sehingga tanah tersebut dapat dikuasai dengan hak milik. Oleh

karena itu, dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah yang akan diteliti

yaitu :

1. Bagaimana keabsahan perjanjian nominee menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata?

2. Bagaimana kekuatan mengikat perjanjian nominee dalam penguasaan hak

milik atas tanah oleh warga negara asing?

3. Bagaimana akibat hukum penguasaan hak milik atas tanah yang dilakukan

oleh warga negara asing melalui perjanjian nominee?

4. Bagaimana peran dan tanggung jawab Notaris/PPAT dalam mengeluarkan

akta-akta melalui perjanjian nominee?

C. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan seperti yang telah dirumuskan

sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui keabsahan perjanjian nominee menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

11

2. Untuk mengetahui kekuatan mengikat perjanjian nominee dalam

penguasaan hak milik atas tanah oleh WNA.

3. Untuk mengetahui akibat hukum penguasaan hak milik atas tanah yang

dilakukan oleh WNA melalui perjanjian nominee.

4. Untuk mengetahui peran dan tanggung jawab Notaris/PPAT dalam

mengeluarkan akta-akta melalui perjanjian nominee.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini baik secara praktis

maupun teoritis antara lain :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi

sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang

ilmu hukum, terutama mengenai perjanjian nominee dalam hal

penguasaan hak milik atas tanah oleh WNA berdasarkan Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan bagi hukum positif dan memberikan pemikiran untuk

dijadikan bahan pertimbangan bagi WNI yang ingin mengalihkan hak

miliknya kepada WNA melalui perjanjian nominee.

E. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis membatasi beberapa permasalahan terkait

dengan penelitian yang dilakukan, sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang

12

berbeda tentang konsep yang akan diteliti, dan penelitian menjadi terfokus pada

permasalahan yang yang dibatasi.

Perjanjian Nominee yang dimaksudkan adalah Perjanjian pinjam nama

WNI oleh WNA dengan tujuan untuk menguasai hak milik atas tanah di

Indonesia. WNI dan WNA yang menjadi subyek dalam perjanjian ini tidak terikat

dalam satu ikatan perkawinan.

WNI adalah Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang

diakui oleh UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia sebagai warga negara Republik Indonesia. Sedangkan WNA adalah

warga negara asing yang menetap di Indonesia yang tidak terdaftar secara resmi

sebagai warga negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, dapat diketahui bahwa belum ada

penelitian mengenai Perjanjian Nominee sebagai sarana penguasaan hak milik atas

tanah oleh WNA ditinjau dari hukum perjanjian Indonesia. Penelusuran juga

dilakukan melalui internet guna mengetahui ada tidaknya penelitian yang serupa

namun tidak ditemukan adanya penelitian yang sama.

Meski demikian, terdapat beberapa penelitian yang mirip yang pernah

dilakukan sebelumnya. Penelitian tersebut seperti diuraikan berikut :

1. Tesis atas nama Lucky Suryo Wicaksono, 2014, “Tinjauan Yuridis

Kepastian Hukum Nominee Agrement Kepemilikan Saham Perseroan

13

Terbatas” Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada,

dengan rumusan masalah :

1) Bagaimana Pembentukan nominee agreement kepemilikan saham Perseroan

Terbatas yang digunakan di Indonesia?

2) Bagaimana kedudukan nominee agreement di dalam aturan hukum

Indonesia?

3) Bagaimana pertanggungjawaban notaris terkait dengan nominee agreement

kepemilikan saham Perseroan Terbatas di Indonesia?

2. Tesis atas nama G. Agus Permana Putra, 2010, “Wanprestasi Dalam

Penggunaan Nominee Pada Perjanjian Yang Dibuat Dibawah Tangan Berkaitan

Dengan Kepemilikan Tanah Di Bali” Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Diponegoro, dengan rumusan masalah :

1) Apakah penggunaan nominee pada perjanjian dibawah tangan sah bila

ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria?

2) Bagaimana akibat hukum apabila warga negara Indonesia wanprestasi

dalam penggunaan nominee pada perjanjian yang dibuat dibawah tangan?

Penelitian ini membahas tentang Perjanjian nominee sebagai sarana

penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing ditinjau dari Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun permasalahan yang dibahas mengenai

keabsahan perjanjian nominee dalam hukum perjanjian Indonesia, kekuatan

mengikat perjanjian nominee tersebut dan akibat hukum penguasaan hak milik

atas tanah oleh WNA melalui perjanjian nominee.

14

Dengan demikian terdapat perbedaan antara penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya. Maka penelitian ini dianggap telah memenuhi kaedah

keaslian penelitian. Walaupun demikian, bilamana dikemudian hari ditemukan

bahwa permasalahan dalam penelitian ini pernah diteliti oleh peneliti lain

sebelumnya, maka diharapkan penelitian ini dapat saling melengkapi dengan

peneliti lainnya.

G. Landasan Teori

Pembahasan masalah dalam penelitian thesis ini, perlu diarahkan dengan

menggunakan landasan teoritis yang relevan. Karena itu, yang menjadi fokus

utama, yaitu adanya kekosongan hukum/norma kosong dalam pengaturan

perjanjian nominee, maka seperti yang dikemukakan oleh seorang filsuf hukum

mencari hakikat dari pada hukum. Dia ingin mengetahui apa yang ada dibelakang

hukum, mencari apa yang tersembunyi dibelakang hukum, dia menyelidiki

kaedah-kaedah hukum sebagai pertimbangan nilai, dasar-dasar hukum sampai

dasar-dasar filsafat yang terakhir. Dia berusaha untuk mencapai ”akarnya” dari

hukum.11

Telaah terhadap prinsip hukum dan asas hukum merupakan unsur yang

penting dan pokok dari peraturan hukum, bahkan asas hukum

merupakan ”jantungnya” peraturan hukum.12

Pada pokoknya asas hukum berubah

11 Soetikno, 2002, Filsafat Hukum ( Bagian I ), Ct. Kesembilan, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 2. 12 Ibid.

15

mengikuti kaedah hukumnya, sedangkan hukum akan berubah mengikuti

perkembangan masyarakat, sehingga terpengaruh oleh waktu dan tempat.13

Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum

tersebut, sebab sebagai dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum

positif. J.J.H.Bruggink14

berpendapat, pada basis (landasan) suatu sistem kaedah-

kaedah terdapat kaedah-kaedah penilaian yang fundamental yang dinamakan asas-

asas hukum. Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh J.J.H. Bruggink menyatakan

perihal definisi tentang asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di

dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim dan seterusnya, sehingga

tampak jelas bahwa peranan asas hukum sebagai meta kaedah berkenaan dengan

kaedah dalam bentuk sebagai kaedah prilaku.15

Karena itu, berdasarkan uraian tersebut di atas sangatlah berguna untuk

menganalisis berbagai permasalahan berkaitan dengan perjanjian nominee dalam

perspektif hukum perjanjian Indonesia ini, agar ditemukan alasan yang lebih kuat

untuk menerima perjanjian nominee sebagai sarana penguasaan hak milik atas

tanah.

Sehubungan dengan penggunaan perjanjian nominee untuk penguasaan

hak milik atas tanah oleh WNA ditinjau dari hukum perjanjian Indonesia secara

lebih jelas, maka dalam menjawab permasalahan tersebut diatas, dapat dilakukan

13 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Cet. Ketiga, Liberty,

Yogyakarta, (selanjutnya di sebut Sudikno Mertolusumo I )), hlm. 32. 14 Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum ( Terjemahan Rechts Reflection Grondbegrippen

Uit de rechtstheori , J.J.H.Briggink ) Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 119. 15 Ibid, hlm. 119 – 120.

16

dengan menggunakan teori16

yang pada hakekatnya adalah seperangkap konstruksi

(konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis

tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variabel, dengan tujuan yang

hendak dicapai.

Dalam penelitian ini menggunakan teori-teori yaitu serangkaian spesifikasi

yang sistematis yang dapat menghubungkan dan menjawab permasalahan yang

timbul. Aliran yang mendasari perlunya penemuan hukum bagi perjanjian

nominee, sebagaimana dikemukakan oleh aliran Rechtsvinding (Penemuan

Hukum)17

. Menurut aliran rechtsvinding, hukum terbentuk dengan beberapa cara,

yakni karena Wetgeving (pembentukan undang-undang), karena administrasi atau

tata usaha negara, karena Rechtspraak (peradilan), karena kebiasaan atau tradisi

yang sudah mengikat masyarakat, dan karena ilmu (wetenschap).18

Aliran lain yang dapat dipertimbangkan bagi pelaksanaan perjanjian

nominee adalah aliran Freie Rechtslehre yang merupakan aliran bebas, dimana

hukumnya tidak dibuat oleh badan Legislatif dan menyatakan bahwa hukum

terdapat di luar undang-undang.19

Di dalamnya hakim bebas menentukan dan

menciptakan hukum baik dengan melaksanakan undang-undang atau tidak.20

Mengenai kontrak maupun perjanjian, dalam KUH Perdata terdapat aturan

umum yang berlaku untuk semua perjanjian, yang disebutkan dalam Pasal 1313

KUH Perdata yaitu : ”suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang

16 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hlm.14. 17 R. Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 89. 18 Ibid, hlm. 90. 19 Ibid, hlm. 88. 20 Ibid, hlm. 89.

17

atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dan ada aturan

khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus yang

namanya telah diberikan oleh undang-undang, seperti perjanjian jual beli, sewa

menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, dan pemberian kuasa.

Teori yang terkait dengan pembahasan terhadap permasalahan yang

diajukan sebagai landasan untuk dianalisis, antara lain: Dalam pelaksanaan

perjanjian bersumber pada unsur obyektif yaitu undang-undang dan kebiasaan

atau kepatutan, unsur subyektif ialah maksud dari perjanjian yang memberi isi

tentang sifat dan hubungan berbagai pengertian. Segala sesuatu berlandaskan

kepada kejujuran, dan kepatutan (itikad baik) dari masing-masing pihak yang

bersangkutan.21

Lebih lanjut dalam membahas perjanjian dimana asas kebebasan

berkontrak merupakan asas yang paling fundamental sebagaimana tertuang dalam

Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak ini adalah sebagai refleksi

dari tujuan bisnis dalam berbagai sistem ekonomi yang ada di dunia ini, asas ini

secara esensial merupakan refleksi tentang hak asasi manusia ( HAM ) bila dilihat

dari kacamata hukum.22

Dalam menjawab masalah daya ikat kebebasan berkontrak dalam suatu

perjanjian dapat dipergunakan beberapa teori. Berdasarkan ketentuan Pasal 1342

KUHPerdata, Pasal 1343 KUHPerdata, dan Pasal 1346 KUHPerdata, maka dalam

membahas perjanjian pada penelitian ini, akan dipergunakan teori pernyataan

yang intinya menyatakan bahwa kalau pernyataan dua orang telah bertemu, maka

21 Zoelfirman, 2003, Kebebasan Berkontrak versusu Hak Asasi Manusia (Analisis Yuridis Hak

Ejonomi, Sosial, dan Budaya), Cet. Pertama, UISU Press, Medan, hlm. 23. 22 Ibid, hlm. 27.

18

perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak. Teori kehendak, teori

ini pada prinsipnya menyebutkan suatu persetujuan yang tak didasarkan atas suatu

kehendak yang benar adalah tidak sah. Teori kepercayaan, teori ini sebenarnya

didasarkan atas fiksi kehendak dari para pihak dan fiksi tersebut diterima sebagai

dasar, tidak hanya dalam hal-hal di mana kehendak yang sebenarnya tidak ada,

tetapi juga dalam hal-hal dimana kehendak itu sebenarnya ada.23

Juga dalam hal ini, R. Setiawan menentukan adanya tiga teori untuk

terjadinya persetujuan, yaitu : 24

1. Teori kehendak yaitu menekankan pada faktor kehendak dan apabila

pernyataan tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki maka mereka tidak

terikat pada pernyataan tersebut;

2. Teori pernyataan yaitu seseorang terikat pada suatu perjanjian karena ada

pernyataan dari para pihak;

3. Teori kepercayaan yaitu kata sepakat terjadi bila pernyataan secara obyektif

dapat dipercaya.

Dari teori ini dapatlah dikatakan, bahwa seseorang yang telah

mengimplementasikan kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian akan

mengikat bagi para pihak.

Kebebasan berkontrak sebagai hak dapat dilihat dari dua teori yaitu teori

kepentingan (interest theories) dan teori tujuan (will theoriest). Berdasarkan teori

kepentingan menyebutkan fungsi hak adalah untuk mengembangkan kepentingan-

kepentingan dengan memberi serta melindungi keuntungan. Sedangkan teori

23 Ibid. hlm. 23. 24 R. Setiawan, 1999, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Putre A Bardin, Bandung, hlm. 57.

19

keinginan menyebutkan fungsi hak adalah untuk mengembangkan otonomi dan

melindungi otoritas, keleluasaan, atau kontrol di sejumlah bidang kehidupan.25

Berlakunya asas kebebasan berkontrak ternyata dijamin oleh Pasal 1338

ayat (1) KUHPerdata, yang menentukan bahwa: ”setiap perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Akan

tetapi Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik.26

Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi

perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat-syarat yang diinginkan,

berlaku bagi para pembuatnya, sama seperti perundang-undangan, bahwa para

pihak bebas untuk membuat perjanjian dan menuangkan apa saja dalam isi sebuah

perjanjian.

Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman27

mengatakan bahwa dalam

perjanjian dikenal adanya perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama.

Perjanjian Bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh

pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-

hari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII KUHPerdata.

Disamping itu ada perjanjian tidak bernama yang tidak diatur dalam KUH

Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat.28

Dalam Pasal 1319 KUHPerdata

dikatakan bahwa ”semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus

25 Ibid, hlm. 24. 26 Suhandoko, 2004, Hukum Perjanjian, Teori, dan Analisa Kasus, Predana Media, Jakarta, hlm. 4. 27 Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung (selanjutnya disebut

Mariam Darus Badrulzaman I), hlm. 19. 28 Ibid.

20

maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan

umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.

Lebih jauh Salim H.S.29

menyatakan kontrak dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Kontrak nominaat merupakan

kontrak yang terdapat dan dikenal dalam KUHPerdata. Kontrak innominaat

merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang dalam

masyarakat.

Menurut teori Pengayoman yang dikemukakan oleh Suharjo bahwa tujuan

hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara

pasif.30

Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi

kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar.

Sedangkan dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya

yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Untuk

mewujudkan pengayoman ini termasuk didalamnya, adalah :31

1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan;

2. Mewujudkan kedamaian sejati;

3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat, dan

4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Kedamaian sejati dapat terwujud apabila masyarakat telah merasakan baik

lahir maupun bhatin. Begitu pula dengan ketentraman, dianggap sudah ada apabila

29 Ibid, hlm. 21. 30 Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Predana Media, Jakarta, hlm. 23. 31 Ibid.

21

warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak

tidak tergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka.32

Selain teori di atas, juga digunakan teori hukum alam oleh Grotius33

sebagai salah satu tokoh yang memaparkan ada empat norma dasar yang

terkandung dalam hukum alam, yakni :

1. kita harus menjauhkan diri dari kepunyaan orang lain;

2. kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada ditangan

kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati;

3. kita harus menepati janji-janji yang kita buat, dan

4. kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula

kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan. Konsep

pemikiran Grotius mendasari munculnya beberapa teori seperti teori kontrak,

teori perbuatan melawan hukum, dan teori hak milik.

Berdasarkan landasan teori hukum alam, menempatkan penggunaan tanah

yang diberikan oleh negara kepada pemiliknya untuk menggunakan hak tersebut

didasarkan dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan hukum, ketertiban,

dan kesusilaan yang baik.

Roscou Pound34

berpendapat bahwa hukum tidak statis, melainkan adalah

merupakan suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan dan dalam keputusan hakim. Lebih lanjut Pound

mengemukanan idenya tentang hukum sebagai sarana mengarahkan dan membina

masyarakat. Hal ini sangat sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa

32 Ibid. 33 W.Friedman, 1990, Teori dan filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 49. 34Ibid.

22

sosial ( social einngeneering ), yaitu ”law as a tool of social einngeneering”, yaitu

untuk menghasilkan suatu bentuk masyarakat yang dikehendaki dengan

penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat, dengan melibatkan

peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pembuat hukum, dalam hal

ini adalah negara.

Berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial, dalam arti

menuju pada pembangunan hukum yaitu sebagai upaya untuk mengubah suatu

tatanan hukum dengan cara perencanaan yang secara sadar dan terarah serta

mengacu pada masa depan yang berlandaskan kecenderungan yang nantinya dapat

diamati dalam kehidupan sebagai sebuah negara hukum.

Dengan demikian pembangunan ataupun pembentukan hukum ini berarti

pembaharuan tatanan hukum yaitu sebagai suatu sistem hukum, seperti yang

dikemukakan oleh L Friedmann35

dimana mencakup tiga komponen sub sistem

hukum, yaitu : Pertama, komponen substansi hukum (legal substance), yaitu

disebut juga tata hukum yang terdiri dari tatanan hukum eksternal (peraturan

perundang-undangan yang tidak tertulis, termasuk hukum adat dan yurisprudensi),

serta tatanan hukum internal (asas-asas hukum), yang melandasi serta

mengkoherensikan. Kedua, struktur hukum (legal structure), yaitu bagian-bagian

yang bergerak di dalam satu mekanisme yaitu komponen kelembagaan hukum

yang terdiri atas berbagai organisasi publik dengan para pejabatnya (Legislatif,

Eksekutif, dan Yudicatif). Ke tiga, budaya hukum (legal Culture), yaitu sikap

publik, nilai-nilai yang mendorong bekerjanya sistem hukum yang mencakup

35 Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta,

hal. 193.

23

sikap, perilaku para pejabatnya dan warga masyarakat berkenaan dengan

komponen-komponennya.

Dari ketiga komponen tersebut di atas, apabila dikaitkan dengan wacana

perlindungan dan bentuk perlindungan hukum terhadap penguasaan hak milik atas

tanah adalah termasuk pada katagori komponen substansi hukum karena

mencakup perangkat kaidah dan perilaku yang teratur guna tercapainya kehidupan

bermasyarakat yang baik.

Penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban

dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah

yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang

merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur

pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum

tanah.36

Misalnya hak atas tanah yang disebut Hak Milik dalam Pasal 20 UUPA

memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang dihaki tanpa batas waktu.

Hak atas tanah bersumber pada hak menguasai dari negara atas tanah dapat

diberikan kepada perseorangan baik WNI maupun WNA, sekelompok orang

secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan

hukum publik.37

Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara di Indonesia termuat

dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi :

”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

36 Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, sejarah pembentukan UUPA isi dan

Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. 24. 37 Urip Santoso, 2008, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta hlm. 87.

24

Menurut Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945, hak tertinggi atas tanah adalah bangsa Indonesia sebagai karunia

Tuhan. Untuk melaksanakan hak tersebut negara berwenang untuk :38

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan persediaan, dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UUPA menegaskan bahwa :

”Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah,

yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun

bersama-bersama dengan orang-orangg lain serta badan-badan hukum.”

Menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA tersebut, atas dasar hak menguasai tanah

oleh negara, negara berwenang untuk menentukan macam-macam hak atas tanah

yang selanjutnya diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. Pasal 16 ayat (1) UUPA :

Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah :

1. Hak Milik;

2. Hak Guna Usaha;

3. Hak Guna Bangunan;

4. Hak Pakai;

38 Ibid.

25

5. Hak Sewa;

6. Hak Membuka Tanah;

7. Hak Memungut Hasil Hutan;

8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan

ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagai yang disebut dalam Pasal 53 UUPA.