Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Gereja telah hadir di kepulauan Nusantara1sekitar tahun 1543,
2 sebagai hasil pekerjaan
misi gereja-gereja Barat, pada masa ekspansi kolonialis, imperialis dan kapitalis bangsa-bangsa
Barat ke Asia, yang berlangsung dalam kurun waktu lima abad dari tahun 1492 sampai dengan
tahun 1947.3 Sejarah pekerjaan misi gereja-gereja Eropa di kepulauan Nusantara yang
berlangsung pada masa penjajahan bangsa-bangsa Eropa, menunjukkan bahwa pada satu pihak
pekerjaan misi itu, memang ada hubungannya dengan ekspansi Barat, sebab pekerjaan misi itu
sering ditunggangi penjajah demi kepentingan politik dan ekonomi, namun dilain pihak terpisah
dari penjajah, dimana bila di suatu daerah seperti di Banten, Jawa Timur, dan Bali; tatkala
kepentingan politik dan ekonomi pemerintah kolonial terancam oleh kehadiran gereja,
pemerintah kolonial dengan berbagai cara menghambat bahkan kalau bisa menutup daerah itu
bagi kehadiran gereja.4
Kedatangan gereja di kepulauan Nusantara dalam arti seperti termaksud di atas,
menunjukkan bahwa gereja datang ke kepulauan Nusantara tidak bergandengan tangan dengan
1Istilah Nusantara berasal dari dua kata: nusa dan antara, dibaca nusantara. Huruf a dibuang satu, sebuah
kaidah yang umum dalam bahasa Indonesia. Nusa adalah bahasa Sanskerta yang berarti pulau atau tanah air. Antara
berarti jarak, sela, selang di tengah-tengah dua benda. Jadi nusantara adalah pulau-pulau yang terletak antara Benua
Asia dan Australia, antara lautan India dan lautan Pasifik. Lihat J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain,Kamus
Umum Bahasa Indonesia (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,1994), 63, 950. Jumlah pulau-pulau di Nusantara ini
sekitar 17.667, sehingga Nusantara ini tidak salah jika dikatakan sebagai Benua Kepulauan dimana jaraknya antara
barat dan timur 5.110km, dari utara ke selatan 1.888 km. Benua kepulauan ini bertebaran pada kedua sisi
khatulistiwa antara 94 15’ dan 141 05 bujur timur dan dari 6 08’ lintang utara ke 11 15’ lintang selatan. Luas
seluruh daratan Nusantara 1.919.443 km2 sedangkan luas lautan mencapai 5.800.000 km2 dengan panjang garis
pantai seluruhnya 81.000 km. Lihat Biro Pusat Statistik,Statistik Indonesia (Jakarta: 1975), 3. 2Dick Hartoko S.Y, “Perjumpaan Gereja Dengan Budaya” dalam Chris Hartono (ed.), Perjumpaan Gereja
di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta:Persetia,1995),159. Berbicara tentang kapan gereja
hadir di Indonesia, memang kadang-kadang terlintas dalam diskusi para teolog, gereja telah hadir di Indonesia pada
abad ke-7, dengan mengatakan bahwa pada pertengahan abad ke-7 terdapat banyak gereja Nestorian di Fansur Barus
daerah pantai barat Tapanuli Sumatera utara. Namun, karena perkembangan gereja Nestorian di Fansur Barus tidak
tercatat dalam sejarah bahkan karena keberadaannya sendiri telah lenyap tanpa meninggalkan bekas dan berita,
maka kita tidak punya dasar untuk mengklaim bahwa gereja telah hadir di kepulauan Nusantara pada abad ke-7.
Lihat F. Ukur dan Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survey Menyeluruh Gereja di Indonesia
(Jakarta:Lembaga Penelitian dan Studi DGI,1979), 450. 3F.Ukur dan Cooley, Jerih dan Juang . . . , 453.
4S. Hardiyanto, “Gereja dan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tantang-Jawab Yang Berkelanjutan”, dalam Chris
Hartono,Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta:Persetia, 1995), 132-3.
2
penjajahan. Bangsa-bangsa penjajah datang ke kepulauan Nusantara bukan untuk
mengkristenkan Nusantara, tetapi untuk mengambil kekayaan Nusantara demi kepentingan
ekonomi negara penjajah. Kenyataan yang demikian ini membuat gereja-gereja yang telah hadir
di kepulauan Nusantara ini, sejak awal telah bersikap kritis kepada penjajah. Api nasionalisme
untuk bersatu mengusir penjajah guna untuk membangun sebuah negara-bangsa yang merdeka,
yang menyala di Jawa dengan kelahiran Budi Utomo(1908), juga menyala di daerah–daerah
dimana penduduknya mayoritas beragama Kristen seperti di tanah Minahasa, Batak, Nusa
Tenggara Timur dan Maluku. Bahkan gereja pernah melakukan perlawanan bersenjata kepada
penjajah, seperti yang dilakukan Pattimura di Maluku pada tahun 1817.5 Semangat nasionalisme
yang bercikal-bakal pada suku-suku bangsa yang telah lama ada di bumi Nusantara, selalu ada di
hati gereja. Gereja tidak pernah absen sejak awal munculnya pergerakan nasional, mulai dengan
lahirnya Budi Utomo (1908), dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda (1928) dan berpuncak pada
Proklamasi Kemerdekaan (1945).6
Nasionalisme Nusantara sebagai konteks kelahiran Indonesia atau kelahiran Pancasila,7
adalah ekspresi dan sekaligus perlawanan seluruh rakyat Indoesia dari berbagai suku, ras dan
agama terhadap penderitaan mereka atas kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme, guna
memperoleh kemerdekaan, sebagai jalan untuk membangun negara-bangsa Indonesia yang
memiliki kedaulatan politik, kedaulatan ekonomi dan kepribadian nasional. Dalam membangun
sebuah negara kebangsaan yang diberi nama Indonesia,8 sebagaimana pada umumnya bahwa
5Richard M. Daulay, Agama &Politik di Indonesia, Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Islam(Jakarta:
BPK Gunung Mulia,2015), 3-4. 6Bahkan Proklamasi Kemerdekaan yang dipercepat menjadi tanggal 17 Agustus 1945 terjadi karena
desakan para pemuda dari berbagai latar belakang, termasuk pemuda Kristen, seperti Johannes Leimena, yang di
kemudian hari pernah dipercaya Soekarno menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia. Lihat Richard M. Daulay,
Agama&Politik . . . , 4. 7Menurut John A.Titaley, Pancasila dan Indonesia adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Hal itu
terjadi demikian karena kelahiran Indonesia bersamaan dengan kelahiran akan dasar dan cita-citanya sebagaimana
tertuang dalam Pancasila. Dalam hal ini, Indonesia tanpa Pancasila bukanlah Indonesia. Lihat John A. Titaley,
“Pertimbangan-pertimbangan Pendirian Program Pasca-sarjana Bidang Studi Agama dan Masyarakat(PpSAM)”
(Salatiga:UKSW,1991), 2. Lihat juga John A.Titaley, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Arah Pembinaan Dan
Pengembangan Pendidikan Agama Di Indonesia (Salatiga:Fakultas Teologi.UKSW,1999),26-7. 8Perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda yang dikenal dengan nama Perhimpunan Indonesia, yakni
orang-orang dari daerah Nusantara, adalah orang-orang Nusantara yang pertama kali memakai kata Indonesia untuk
menunjuk kepada, penduduk dan budaya yang ada di wilayah Nusantara. Mohammad Hatta menjelaskan bahwa,
kata Indonesia sudah dipakai oleh ethnolog Inggris bernama G.R. Logan dalam bukunya The Ethnology of the
Indian Archipelago. Dalam buku ini, Logan menulis bahwa kata “Indonesia” berasal dari kata India (Lathin:Hindia)
dan Nesos (Yunani: Kepulauan), sehingga Indonesia berarti kepulauan Hindia. Lihat Mohammad
Hatta,Memoir(Jakarta:TintamasIndonesia,1979), 126. Bandingkan juga, Hassan Shadiliy,Ensiklopedi Indonesia
Vol.3 (Jakarta:Ichtiar Baru-Van Hoeve,1982), 1437.
3
suatu negara kebangsaan, patut memiliki landasan ideologi berupa kontrak sosial atau religiositas
negara kebangsaan, yang melahirkan dan sekaligus yang akan memelihara bahkan yang akan
menyelamatkan perjalanan sebuah bangsa dalam mewujudkan cita-citanya, Indonesia bangsa
yang majemuk dalam suku, budaya dan agama,9 setelah melewati percakapan yang mendalam
dan cerdas, berdasarkan pada kesadaran dan kesepakatan bersamanya pada tanggal 18 Agustus
1945, menetapkan Pancasila sebagai dasar negara, dengan urutan dan rumusan : Ketuhanan yang
maha esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat indonesia.10
Menyimak proses dan tujuan penetapan Pancasila sebagai dasar negara, lalu mempelajari
maksud urutan dan rumusan dari masing-masing sila Pancasila, kemudian menelaah nilai-nilai
Pancasila sebagaimana terjabar pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD’45) dan Batang Tubuh UUD’45, selanjutnya mencermati aktualisasi
Pancasila dalam perjalanan sejarah bangsa; menampak lugas bahwa Pancasila adalah sebuah
sumber otoritas transendental dari negara-bangsa Indonesia berupa pengagungan akan
kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan.11
Sebagai sumber otoritas transendental berupa
pemuliaan akan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan, Pancasila menempatkan nilai
kemanusiaan, nilai kesatuan dan nilai kesetaraan sebagai nilai-nilai yang telah melahirkan, yang
sedang merawat dan yang akan menyelamatkan pluralitas dan kebersamaan sosial Indonesia
dalam menggapai cita-cita bersamanya yakni Indonesia mensejahtera. Dalam keadaannya yang
demikian, Pancasila bukanlah seperti sebuah institusi agama baru, yang tidak akan memerlukan
lagi agama-agama Indonesia, namun ia adalah agama sipil Indonesia, yakni religiositas atau
keagamaan seluruh rakyat Indonesia berupa pengagungan akan nilai kemanusiaan, kesatuan dan
kesetaraan dalam bernegara kebangsaan Indonesia.
Berpijak pada pengertian dan fungsi agama sipil yang asasnya telah menampak dalam
gagasan agama Marx, Weber, khususnya Durkheim bahwa ia adalah kesadaran kolektif
9Di Indonesia paling tidak ada 30 etnis dengan bahasa suku yang tak kurang dari 250 bahasa. Semua
agama besar dunia ada di Indonesia ditambah lagi dengan agama lokal Indonesia dimana masing-masing memiliki
pemeluknya yang eksis. Lihat Flip P.B.Litaay,Pemikiran Sosial Johanes Leimena Tentang Dwi Kewargaan di
Indonesia(Salatiga:Satya Wacana University Press,2007),2-3. 10
H.Djoko Santoso,Menggagas Indonesia Masa Depan (Jakarta:Tebet Center 66,2014),16. 11
St.Sularso, “Sila Pertama:Kesalehan Sosial Bangkrut,” dalam Mulyawan Karim,Merajut Nusantara
Rindu Pancasila(Jakarta:Kompas,2010),5.
4
masyarakat yang berfungsi sebagai kohesi sosial; kemudian berlandaskan pada pengertian dan
fungsi agama sipil dalam gagasan Rousseau, Bellah, Shank, Coleman dan Kung, bahwa ia adalah
kesepakatan bersama masyarakat yang berfungsi sebagai tuntunan dan tuntutan masyarakat, guna
untuk mewujudkan kehendak umum masyarakat; selanjutnya berdasarkan pada pemahaman
tentang hubungan antara agama dan negara sebagaimana ditunjukkan oleh Wogaaman, Leege,
Tocqueville, Glock, Hammond, Beiner dan Cox; bahwa keduanya baik agama maupun negara
patut mengagungkan otoritas transendental itu lewat kata dan tindakan sebagai tuntunan dan
tuntutan sosial dalam mewujudkan kesejahteraan negara kebangsaan; maka dapat dikatakan
bahwa sebagai religiositas Indonesia, Pancasila bukanlah sebuah institusi agama dengan
keyakinan-keyakinan eksklusif, yang menafikan institusi agama-agama, tetapi ia adalah hukum
keutamaan Indonesia atau keagamaan Indonesia berupa pemuliaan akan nilai-nilai :
kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan yang mengakomodir semua prinsip fundamental dari
semua ajaran agama dan kelompok Indonesia, bahkan yang melahirkan Indonesia,12
sehingga
baik negara maupun warga negara patut mengaktualisasikan nilai-nilai itu dalam kehidupan
bernegara, berbangsa, bermasyarakat dan beragama, guna untuk merawat dan menyelamatkan
pluralitas dan kebersamaan sosial Indonesia dalam mewujudkan secara bersama-sama kehendak
umum Indonesia, yakni kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.13
Dalam rangka mengaktualisasikan Pancasila sebagai agama sipil Indonesia dalam misi
agama-agama Indonesia, nilai-nilai keindonesiaan itu memang harus diformulasikan dalam misi
agama-agama Indonesia, agar misi agama-agama Indonesia kontekstual dan fungsional, yakni
sesuai dengan roh dan karakter Indonesia. Dalam membangun misi agama yang kontekstual dan
fungsional ala Indonesia seperti termaksud di atas, masing-masing agama Indonesia tidak boleh
memaksakan religionismenya di negara Indonesia. Sebaliknya justru religiositas Indonesialah
yakni moralitas bangsa yang mengagungkan nilai-nilai: kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan,
12
Djohan Effendi,Pluralisme dan Kebebasan Beragama,Cetakan IV(Yogyakarta:Institute
Dian/Interfidei,2013),1-3. St.Sularso, “Sila Pertama:Kesalehan Sosial Bangkrut” dalam Mulayawan Karim,Merajut
Nusantara Rindu Pancasila(Jakarta:Kompas,2010),6. 13
Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”, dalam Di Bawah Bendera Revolusi(Jakarta:Panitia
Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,1963),1-23. John Legge,Sukarno Sebuah Biografi Politik,Terjemahan Tim
Penerbit Sinar Harapan (Jakarta:Sinar Harapan,1995),218. Parakitri T.Simbolon,Menjadi Indonesia:Akar-akar
Kebangsaan Indonesia (Jakarta:Kompas Grasindo,1995), 250-1. John A.Titaley,A Socio Historical Analysis of The
Pancasila as Indonesia’s State Ideology in The Light of The Royal Ideology in The Davidic State(California:Th.D
dissertation at Graduate Theological Union Berkeley,1991),141. Saafrodin Bahar dkk.,Risalah Sidang . . . , 82.
5
yang harus berfungsi sebagai roh yang menggerakkan kehidupan agama-agama Indonesia demi
terciptanya kesejahteraan Indonesia.14
Upaya untuk menjadikan nilai-nilai agama sipil Indonesia sebagai misi agama-agama
Indonesia, tentu sangat dimungkinkan, sebab nilai-nilai keindonesiaan itu tidak bertentangan,
malah justru mengakomodir aspirasi keagamaan semua agama Indonesia. Oleh karena nilai-nilai
Pancasila itu mengakomodir aspirasi keagamaan semua agama Indonesia, maka setiap penganut
agama yang mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam hidupnya, senyatanya bersamaan
dengan itu pula, yang bersangkutan juga mempraktekkan ajaran agamanya. Moralitas Pancasila
berupa pemuliaan akan nilai-nilai: kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan yang senyatanya tidak
berseberangan dengan aspirasi keagamaan, sangat dimungkinkan teraktualisasi dalam misi
agama.15
Di tangan John A.Titaley misalnya, Pancasila dan UUD’45 dipandang sangat Injili, dengan
alasan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD’45 berupa pemuliaan akan
kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan; selaras dengan nilai-nilai Injil.Bahwa nilai-nilai Injil
adalah juga berupa pemuliaan akan rasa kemanusiaan, kebersamaan dan kesetaraan,
diperlihatkan oleh Titaley dengan mendudukkan misipelayanan Yesus sebagaimana tertayang
dalam ceritera pada Yohanes 8: 1-11 tentang “Perempuan Yang Berzinah”, sebagai misi untuk
memperjuangkan dan menghadirkan nilai kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan antar manusia
akibat diskriminasi yang dibuat manusia16
. Pandangan yang substansinya sama, juga datang dari
Abdurrahman Wahid. Wahid mengemukakan bahwa Pancasila itu sangat Islami. Wahid
berpendirian demikian karena menurut dia, nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan
dan kesetaraan, tidak berseberangan dengan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana terkandung
dalam Alquran.17
Tidak dapat disangkal bahwa Pancasila adalah sebagai misi Indonesia yang sangat luhur,
sari pati bangsa Indonesia danhasil kesepakatan para pendiri bangsa. Sebagai misi Indonesia
14
Yudi Latif,Negara Paripurna,Historisitas,Rasionalitasdan Aktualitas Pancasila,Cetakan
Keempat(Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,2012), 110-1. 15
Yudi Latif, Negara Paripurna . . . , 110-1. 16
John A.Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama
(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013), 61-7. 17
Abdurrahman Wahid,Islamku Islam Anda, Islam Kita:Agama Masyarakat Negara
Demokrasi,(Jakarta:The Wahid Institute,2006),75-89.
6
Pancasila merupakan sebuah pengakuan dan sekaligus kesaksian bangsa Indonesia.18
Melalui
misi Pancasila, bangsa Indonesia hendak selalu menyampaikan pengakuannya bahwa ia adalah
bangsa yang beragam suku, ras, budaya dan agama, namun ada dalam bingkai kesatuan
Indonesia, bangsa yang dalam satu bingkai kesatuan namun terdiri dari beraneka suku, ras,
budaya dan agama. Melalui misi Pancasila, bangsa Indonesia juga selalu hendak menyaksikan
bahwa ia adalah bangsa yang terlahir dalam pengagungan akan nilai-nilai: kemanusiaan,
kesatuan dan kesetaraan, sehingga mereka senantiasa berupaya mengaktualisasikan lewat kata
dan tindakan nilai-nilai itu, demi termanifestasinya kehendak umum bangsa Indonesia, yaitu
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rentang waktu 18 tahun belakangan ini, rumah bersama yang bernama Indonesia,
terasa berada dalam keadaan tegang dan semakin sulit untuk dihidupi bersama. Dalam situasi
akhir-akhir ini, semakin menampak bahwa persoalan toleransi yang menjadi sendi dasar
kehidupan bersama dalam masyarakat majemuk Indonesia, khususnya dalam hidup beragama
yang berbeda, sedang tergugat oleh keingingan dan proses-proses yang mengkuatirkan.
Penyebab dari keadaan yang demikian ini, sebagaimana diperlihatkan oleh sejarah perjalanan
bangsa, nampaknya adalah karena masyarakat Indonesia belum sepenuhnya
menginternalisasikan dan mengaktualisasikan Pancasila dalam misi dan kehidupan mereka.
Sebagai contoh masing-masing agama dunia yang ada di Indonesia, sering menumbuh-
kembangkan identitasnya tidak sepenuhnya berkiblat ke Indonesia dimana dirinya tumbuh tetapi
berkiblat ke negeri dari mana agama-agama itu berasal. Sejarah perjalanan bangsa juga
memperlihatkan bahwa negara dan warga negara Indonesia tidak sepenuhnya mencintai
Pancasila dan menundukkan diri padanya, sehingga sebagai dampaknya beberapa komponen
bangsa acapkali mengabaikan bahkan menggugat nilai-nilai Pancasila yang berupa kesatuan,
kemanusiaan dan kesetaraan itu, sembari ingin menggantinya dengan ideologi lain.19
Namun
18
George McTurman Kahin,Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, diterjemahkan oleh Nin Bak
Sumantri(Jakarta:Sebelas Maret University Press,1995),153. Saafroedin Bahar dkk(Penyunting), Risalah Sidang
BPUPKI dan PPKI 28 Mei sampai 22 Agustus 1945(Jakarta:Sekretariat Negara Republik Indonesia,1995),38. Eka
Darmaputra,Pancasila, Identitas dan Modernitas,Cetakan III(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1991),104-5. 19
Beberapa contoh perbuatan dan sikap anak bangsa bahwa mereka sering tidak menundukkan diri pada
Pancasila dalam berbangsa dan bernegara, dapat disebutkan sebagai berikut: Pertama, pemberontakan Partai
Komunis Indonesia pada bulan September 1948 di Madiun. Partai ini karena terobsesi oleh ideologi komunis,
melakukan tindak kekerasan menentang sistem pemerintahan yang dinilainya kurang berafiliasi bagi kepentingan
rakyat; sehingga mereka berjuang menegakkan kelas proletar. Kedua, pemberontakan Darul Islam Indonesia (DII)
pimpinan Kartosuwiryo pada bulan Agustus 1949, pimpinan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan pada tahun 1950,
pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada tahun 1951, pimpinan Daud Beureueh di Aceh pada tahun 1953.
7
sejarah Indonesia menunjukkan bahwa, segala upaya untuk mengganti Pancasila dengan ideologi
lain mengalami kegagalan. Fakta sejarah itu menyaksikan bahwa Pancasila senyatanya
membuktikan dirinya sebagai religiositas negara-bangsa Indonesia berupa pengagungan akan
nilai-nilai kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan sebagai yang paling feasible dan sebab itu lebih
viable bagi keberlangsungan hidup bangsa Indonesia pada hari ini dan di masa datang.20
I.2 Perumusan Masalah
Pancasila yang luhur, final dan sakral sebagaimana terdiskripsi di atas, terlahir di Indonesia
negara-bangsa kepulauan yang berpotensi besar sebab bertanah subur dan berkelautan luas. Oleh
karena kesuburannya, Indonesia dijuluki sebagai “tanah surga” dimana tongkat dan batu bisa jadi
tanaman. Oleh karena lautmya yang luas, Indonesia juga dijuluki sebagai “negeri berkolam
susu”, dimana ikan dan udang menghampiri anak negeri, sehingga kail dan jala akan cukup
menghidupi mereka. Melihat Pancasila begitu luhur dan melihat Indonesia begitu subur,
semestinya Indonesia tidak terlambat dan tidak ringkih dalam meraih cita-citanya yaitu
mewujudkan“Indonesia Raya Sejahtera”.21
Segala keterlambatan dan kegagalan dalam
DII karena terobsesi oleh ideologi agama, melakukan tindak kekerasan yang mengadu kekuatan, memproklamirkan
negara Islam sebagai jalan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Ketiga, pemberontakan Republik
Maluku Selatan pada tahun 1950. Pemberontakan ini bersifat kesukuan di daerah Maluku yang ingin mendirikan
negara kesukuan di daerah Maluku. Keempat, pemberontakan pemerintah revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
di Sumatera yang kemudian begabung dengan gerakan Pembangunan Semesta(Permesta). Kelima, gerakan
kontroversi mengenai Pancasila sebagai dasar negara yang datang dari Partai-Partai Islam paska Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Partai-Partai Islam mengajukan agar Piagam Jakarta memiliki kedudukan hukum sebagai kaidah
fundamental negara. Keenam, pemunculan gerakan Nasional, Agama dan Komunis (NASAKOM) dan Manifestasi
Politik UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia
(MANIPOL USDEK) yang disebut sebagai proyeksi dari Pancasila, tetapi dalam paraktiknya penghayatannya
jauh sekali dari ideologi Pancasila. Hal ini menampak jelas pada sikap Partai Komunis Indonesia yang sangat
membela NASAKOM dan MANIPOL USDEK namun sangat membenci kelompok Nasionalis dan Agamais.
Ketujuh, pemaknaan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status quo kekuasaan pemerintahan Order
Baru. 20
Azyumardi Azra, “Revisitasi Pancasila” dalam Mulyawan Karim(Penyunting), Merajut
Nusantara,Rindu Pancasila,(Jakarta:Kompas,2010),11. 21
Keterlambatan dan keringkihan kita dalam mewujudkan cita-cita kebangsaan dapat digambarkan
sebagai berikut: Setelah 71 tahun kita mengindonesia, semangat para pendiri bangsa yang bersedia saling menerima
dalam perbedaan, tercekik oleh kepicikan intoleransi, kecurigaan dan kebencian primordial. Banyak anak bangsa
kini memberhalakan suku, agama dan budaya mereka, sampai mereka menjalankan politik “ proporsionalisasi” dan
mengabaikan “merit system, atau sistem “the right man on the right place”, sehingga mereka bersikap diskriminatif
serta intoleran terhadap suku,agama dan budaya di luar mereka; dalam berbangsa dan bernegara. Perilaku yang
demikian ini sering membuat anak bangsa merasa asing hidup di tanah air mereka sendiri. Lihat Franz Magnis-
Suseno, “Pancasila 2010” dalam Mulyawan Karim, Merajut Nusantara Rindu Pancaila,(Jakarta:Kompas,2010), 18.
Pada masa Reformasi merebak partai-partai politik berdasarkan agama sebagai sinyalemen munculnya kembali
politik aliran dan juga muncul sejumlah Undang-Undang yang hanya berlaku bagi umat Islam antara lain Undang-
Undang Nomer 17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan Undang-Undang Nomer 38 tahun 1999 tentang
Pengelolahan Zakat. Puncaknya adalah kelahiran Undang-Undang Nomer 44 tahun 1999 tentang Keistimewahan
8
mewujudkan Indonesia yang sejahtera, diyakini bukan berasal dari Pancasila tetapi diduga
penyebabnya justru karena masing-masing komponen bangsa sekalipun mereka secara formal
telah sangat sadar diri sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,22
namun pelaksanaan misi mereka tidak sepenuhnya mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila
yaitu: kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan.23
Demikianlah halnya dengan Gereja Kristen Protestan di Bali.24
Gereja yang lahir pada
tanggal 11 Nopember 1931 dan berbadan hukum: 214 LN.No.8 Tgl. 11 Agustus 1949 ini,
merumuskan dan menetapkan visinya pada periode 2008- 2028, “Bumi Bersukacita Dalam
Damai Sejahtera “dan misinya pada periode yang sama “Membangun Peradaban Yang Dijiwai
Kasih Terhadap Tuhan, Sesama Dan Lingkungan”,25
serta menetapkan tema pelayanannya pada
periode 2012-2016“Menjadi Gereja Yang Bertumbuh Bersama Masyarakat”.26
Melalui visi dan
Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomer 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah
Istimewa Aceh. Sejalan dengan maraknya perundang undangan syariat Islam pada dasawarsa pertama 2000-an,
lebih marak lagi “perdaisasi” syariat Islam, yakni dengan memasukkan prinsip-prinsip syariat Islam ke dalam
berbagai peraturan daerah, yang peluangnya dibuka oleh Undang-Undang Nomer 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, sekitar 150 perda bernuansa syariat Islam telah terbit di berbagai provinsi, kabupaten dan kota
di Indonesia. Perda-perda tersebut mengatur antara lain kewjiban berbusana muslim, zakat, kewajiban pandai
membaca Al-Quran bagi siswa dan calon pengantin. Fenomena ini memicu bertumbuh suburnya fanatisme
beberapa anak bangsa dalam beragama. Fakta ini juga melahirkan rasa dan sikap saling curiga mencurigai diantara
sesama anak bangsa. Lihat, Richard M.Daulay, Agama &Politik . . . , 13-5. Meskipun sudah 71 tahun kita
berindonesia, masih sering anak bangsa melakukan tindak kekerasan dalam berbagai bentuk dengan tingkat yang
semakin masif, dari yang fisik hingga simbolis. Sementara anak bangsa berbuat demikian, para pemimpin yang
dipercaya untuk mengurus bangsa yang seyogianya harus melindungi setiap warga negara, terkesan sering bersikap
lambat dan gamang dalam merespon tindakan-tindakan kekerasan itu. Keadaan yang demikian ini semakin
membuka ruang bagi kelompok preman-preman untuk mengganggu orang lain seakan-akan mereka itu menjadi
wakil Tuhan. Realitas ini membuat tidak sedikit anak bangsa merasa tidak nyaman dan terancam hidup di negeri
mereka sendiri. Lihat, St.Sularto, “Sila Pertama:Kesalehan Sosial Bangkrut”, dalam Mulyawan Karim,Merajut
Nusantara Rindu Pancasila (Jakarta:Kompas,2010),3-6. Kendati sudah 71 tahun kita melaksanakan pembangunan
nasional, kita masih banyak memilki penduduk miskin tinimbang yang tidak miskin. Choromaster mengemukakan
bahwa prosentase penduduk Indonesia yang miskin sekali 7,5 %, miskin 38,55 %, hampir miskin 37,19 % dan tidak
miskin 16,69 %. Lihat Choromaster,NKRI HARGA MATI (Yogyakarta:Penerbit Samudra Biru,2012),73. 22
Selanjutnya disingkat NKRI 23
Ahmad Syafii Maarif,Islam Dalam . . . , 23. Keadaan bangsa yang demikian ini diperparah lagi oleh
kenyataan bahwa sebagian anak bangsa tenggelam dalam hedonisme konsumeristik sehingga mereka melupakan
cita-cita kebangsaan. Perasaan kebangsaan dan solidaritas mereka dengan saudara-saudari sebangsa yang masih
dalam kekurangan terkesan menguap. Keadaan bangsa yang masih banyak memiliki penduduk miskin juga
diperparah lagi oleh kenyataan bahwa banyak pemimpin bangsa mataduwitan, memakai demokrasi sebagai sarana
untuk melayani diri sendiri, dimana rakyat tidak diperhatikan namun dimanfaatkan. Bila keadaan yang demikian ini
berlangsung lama, tidak mustahil rakyat akan memberi kesempatan kepada mereka yang menawarkan ideologi yang
lain daripada Pancasila. Lihat Frans Magnis Suseno, “Pancasila 2010”, dalam Mulyawan Karim,Merajut Nusantara
Rindu Pancasila(Jakarta:Kompas,2010),20-1. 24
Selanjutnya disingkat GKPB. 25
Gereja Kristen Protestan Di Bali (GKPB),Visi dan Misi (Mangupura:Percetakan MBM,2006), 2. 26
Gereja Kristen Protestan Di Bali,Posisi GKPB Dan Isi Pelayanannya(Mangupura:Percetakan
MBM,2010),10.
9
misi GKPB pada periode 2008-2028, dan melalui tema pelayanannya pada periode 2012-2016,
GKPB sebagai bagian integral dari Indonesia berupaya menyelaraskan cita-cita luhurnya dengan
kehendak Sang Transenden agar bumi ini secara keseluruhan, bukan hanya dirinya saja, ada pada
keadaan bersukacita dalam damai sejahtera, dengan jalan bersama dengan semua sesamanya
manusia menciptakan suatu tatanan kehidupan yang dijiwai oleh kasih terhadap Tuhan, sesama
dan lingkungan.27
Dilihat dari cita-cita yang hendak dituju dan nilai-nilai yang ingin
dipraktikkannya ini, maka dalam tataran ideal nampaknya GKPB memang berkehendak
mengaktualisasikan Pancasila dalam misinya. Namun dalam praksis apakah sesungguhnya
GKPB telah mengaktualisasikanPancasila dalam misinya,28
dalam arti sejauh mana dia sudah
terobsesi oleh nilai-nilai Kesatuan, Kemanusiaan Kesetaraan dan sejauh mana dia masih ringkih
dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut, baru akan menjadi nyata dalam pelaksanaan misi
GKPB sebagaimana terjabar dalam tri kegiatan GKPB berupa Persekutuan, Pelayanan dan
Kesaksian.
I.3.The Purpose Statement
Berangkat dari perumusan masalah dan hipotesa termaksud di atas, maka the purpose
statement yang berperan untuk memberi arah kemana penelitian ini harus berjalan dan tiba
adalah sebagai berikut:Mengkaji Pelaksanaan Misi GKPB Pada Periode 2012-2016 Dalam Tri
Kegiatannya: Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian dari Perspektif Nilai-Nilai Pancasila
berupa Kesatuan, Kemanusiaan dan Kesetaraan.
I.4. PertanyaanPenelitian
Dalam rangka mengkaji pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 sebagaimana
terjabar dan terimplementasi dalam tri kegiatan GKPB Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian;
dari sudut pandang nilai-nilai Pancasila berupa Kesatuan, Kemanusiaan dan Kesetaraan, maka
27
Gereja Kristen Protestan Di Bali(GKPB),Visi dan Misi(Mangupura:Percetakan MBM,2006),5-10. 28
Yang dimaksud dengan aktualisasi ialah sikap lewat kata dan tindakan yang mewujudkan sebuah nilai.
Pancasila ialah agama sipil Indonesia, sebab ia adalah kesadaran bersama bangsa indonesia berupa nilai-nilai yang
mengagungkan kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan dan ia sekaligus adalah kesepakatan bersama bangsa
Indonesia berupa jalan kehidupan yang menuntun dan menuntut seluruh rakyat Indonesia dalam rangka
meuwujudkan kehendak bersama bangsa yakni Indonesia mensejahtera. Misi adalah muara pelayanan seseorang
atau lembaga sebagaimana tertuang dalam pemahaman, keyakinan dan tindakannya. Gereja Kristen Protestan Di
Bali adalah sebuah lembaga agama Kristen yang ada di Bali, yang berdiri sejak 11 Nopember 1931, berbadan
hukum:214 LN. No.8 Tgl.11 Agustus 1949, berbentuk persekuutuan Jemaat-Jemaat, yang kantor sinodenya
beralamat di Jalan Raya Kapal 20, Kapal, Mengwi, Badung, Bali.
10
ditetapkan pertanyaan utama penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana Pelaksanaan Misi GKPB
Pada Periode 2012-20016 Dalam Bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian dari Perspektif
Pancasila. Kemudian dari pertanyaan utama penelitian ini, dirumuskan tiga sub pertanyaan yang
berfungsi untuk memerinci fokus penelitian. Ketiga pertanyaan itu ialah sebagai berikut:
1. Apa saja yang menjadi program GKPB pada bidang Persekutuan, Pelayanan dan
Kesaksian pada periode 2012-2016, dan bagaimana GKPB melaksanakan
program- program tersebut.
2. Apa yang menjadi motif GKPB dalam melakukan program-program itu.
3. Bagaimana pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang
Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian ditinjau dari nilai kesatuan, kemanusiaan
dan kesetaraan Pancasila
I.5. Tujuan Penelitian
Berkiblat pada the purpose statement dari penelitian ini dan berangkat dari pertanyaan-
pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengobservasi dan mendiskripsi nama program-program GKPB dalam bidang
Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian pada periode 2012-2016.
2. Mengeksplorasi dan mendiskripsi perkataan, tindakan dan sikap GKPB dalam
melakukan masing-masing program tersebut.
3. Menginvestigasi dan mendiskripsi cara berpikir dan motif GKPB dalam melakukan
setiap program itu.
4. Mengkaji pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang
Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian ditinjau dari nilai kesatuan, kemanusiaan
dan kesetaraan Pancasila.
I.6. Signifikansi Penelitian
Literatur akademis tentang pelaksanaan misi GKPB dari sudut pandang nilai-nilai
Pancasila berupa Kesatuan, Kemanusiaan dan Kesetaraan belum ada, paling tidak belum pernah
11
diterbitkan dalam bentuk buku. Studi ini merupakan sebuah terobosan untuk mengisi kekosongan
itu. Oleh karena begitu keadaannya, maka studi ini akan menjadi informasi empiris tentang
bagaimana pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dari perspektif Pancasila. Studi ini
akan mengkaji bagaimana pelaksanaan misi GKPB 2012-2016 dalam bidang Persekutuan,
Pelayanan dan Kesaksian ditinjau dari nilai-nilai Pancasila yang memuliakan kesatuan,
kemanusiaan dan kesetaraan.
Penemuan akan fakta dan pemunculan gagasan tentang aktualisasi nilai-nilai Pancasila
dalam misi gereja berdasarkan pada studi atas pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016,
akan menjadi masukan teoritis dan empiris bagi masyarakat Indonesia, terutama umat Kristen,
untuk meningkatkan kemampuan mereka, sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, dalam
menghayati Pancasila sebagai religiositas dan ideologi terbuka yang dapat dimaknai secara terus
menerus, sehingga Pancasila tetap relevan dan fungsional dalam misi agama-agama. Bahkan
Pancasila tetap relevan dan fungsional sebagai misi gereja. Hal itu terjadi demikian sebab nilai-
nilai Pancasila sangat Injili, sehingga mengiternalisasi dan mempraktikkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan demi kesejahteraan bersama adalah menghidupi nilai-nilai Injil itu sendiri.
Gagasan-gagasan tentang pengiternalisasian nilai-nilai Pancasila dalam misi agama, akan
menjadi masukan bagi para pemimpin bangsa dalam berbagai tingkatan, baik pemimpin formal
maupun informal, untuk menjadi teladan dan untuk meningkatkan keberanian moral mereka
dalam kata dan tindakan, dalam rangka membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran
publik rakyat Indonesia. Hal itu patut dilakukan oleh para pemimpin bangsa sebab jika Pancasila
hilang dari jiwa-jiwa bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya.
Sebaliknya jika nilai-nilai Pancasila itu dipahami dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, bangsa Indonesia akan semakin kokoh, dan akan semakin arif meminimalisir
persengketaan antar suku, pergesekan antar umat beragama, perseteruan dan tindak kekerasan,
permasalahan dalam kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin.
I.7. Metode Penelitian
12
Bertolak dari kerangka berpikir yang beraturan, dan berarah29
sebagaimana terpapar dalam
uraian tentang: Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Signifikansi Penelitian; dan dalam
rangka dapat memahami objek yang hendak diteliti30
sebagaimana terjabar dalam The Purpose
Statement, Tujuan dan Pertanyaan-Pertanyaan Penelitian, maka dalam meneliti pelaksanaan misi
GKPB periode 2012-2016 pada bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian dari perspektif
nilai-nilai kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan Pancasila, digunakan pendekatan kualitatif,
yang oleh J. Smith disebutnya dengan nama interpretative approach31
yaitu sebuah prosedur
penelitian yang menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz dengan thick descriptionyakni
sebuah diskripsi tentang makna, filosofi dan cara berpikir dari komunitas yang menjadi objek
penelitian, yang dibuat peneliti bukan berdasarkan apriori namun berdasarkan pada
interpretasinya dalam mengobservasi, mengeksplorasi dan menginvestigasi; bahasa tubuh,
bahasa lisan, bahasa tertulis, perilaku dan simbol-simbol dari komunitas yang diteliti.32
Berdasarkan pada pendekatan kualitatif dengan prosedur seperti termaksud di atas, maka
dalam rangka meneliti bagaimana pelaksanaanmisi GKPB periode 2012-2016 pada bidang
Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian dari perspektif Pancasila, dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut: Pertama, melakukan observasi partisipatif. Pada langkah ini penulis terlibat
langsung dan aktif dalam lingkungan GKPB dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun untuk
mengamati apa saja yang menjadi program GKPB dalam bidang Persekutuan, Pelayanan dan
Kesaksian. Setelah mengetahui nama-nama program GKPB pada bidang Persekutuan, Pelayanan
dan Kesaksian, diteliti bagaimana GKPB melakukan prgram-program itu dengan jalan
mengekplorasi bahasa oral, bahasa tubuh, tindakan dan simbol-simbol yang GKPB katakan,
lakukan dan gunakan dalam kegiatan-kegiatan itu.
Kedua, melaksanakan wawancara. Pada langkah ini diinterview beberapa informan
representatif GKPB guna untuk menginvestigasi dan menemukan data-data yang mengungkap
cara berpikir dan motif GKPB dalam: Melakukan masing-masing program GKPB pada bidang
Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian.Ketiga, melakukan pemeriksaan dokumen. Pada tahap
29
Koentjaraningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta:PT Gramedia,1973),16. 30
Ibid. 31
John W.Creswell,Research Design Qualitative &Quantitative Approaches (London:SAGE Publications
Inc,2003),4-11. 32
Clifford Geertz,The Interpretation of Cultures Selected Essays (New York:Basic Books Inc,
Publishers,1973),4-10. Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif(Bandung:PT Rosdakarya,2002),3.
13
ini, diperiksa beberapa dokumen GKPB guna untuk mengecek dan menyempurnakan data-data
yang penulis telah dapatkan dari observasi partisipatif dan wawancara.
Keempat, melakukan penganalisaan data.Mengawali langkah penganalisaan data, akan
diseleksi semua data yang terkumpul, membuang data-data yang tidak relevan dengan tujuan
penelitian, lalu mendiskripsi pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang
Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian. Kemudian sesuai dengan tujuan penelitian, dianalisa
pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, dari sudut pandang nilai kesatuan,
kemanusiaan dan kesetaraan Pancasila. Berdasar pada pekerjaan analisa yang demikian itu
terhadap data dan fakta berupa diskripsi tentang pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-
2016, didiskripsi hasil analisa termaksud menjadi sebuah kajianatas Pelaksanaan Misi GKPB
Pada Periode 2012-2016 dari sudut pandang Pancasila. Akhirnya bertolak dari hasil kajian atas
pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang Persekutuan, Pelayanan dan
Kesaksian dari perspektif nilai-nilai Pancasila berupa kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan;
dicetuskan gagasan-gagasan tentang Aktualisasi Pancasila Dalam Misi Gereja.
I.8. Sistematika Penulisan
Penulisan studi ini dibagi menjadi delapan bab yang pengaturan pembahasannya adalah
sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab pendahuluan merupakan bab pengantar. Ia dimaksudkan untuk mengantar
sidang pembaca mengetahui kerangka berpikir penulis, pokok permasalahan yang hendak
dibahas dan bagaimana pokok permasalahan itu dibahas dalam studi ini. Oleh karena
begitu fungsi bab ini, maka ia memaparkan tentang: Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, The Purpose Statement, Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Signifikansi
Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II. AGAMA SEBAGAI FENOMENA SOSIAL
Bab II merupakan landasan teoritik mengenai agama sebagai fenomena sosial.
Dalam mengurai bangunan teori ini, pertama sekali akan dipaparkan sejarah
terbentuknya agama dalam pemikiran manusia modern, pengertian agama secara
14
etimologis, pengertian agama dalam pemahaman masyarakat,pemahaman agama oleh
masyarakat berdasarkan pendekatan teologis. Setelah paparan tentang hal-hal ini, akan
dikemukakan pengertian agama berdasarkan pendekatan sosiologis, yakni sebagai sebuah
sistem hubungan masyarakat yang sangat mengagungkan kebersamaan manusia demi
keberlangsungan kehidupannya, sebagaimana digagas oleh Karl Marx, Max Weber dan
Emile Durkheim.
BAB III. AGAMA SIPIL: RELIGIOSITAS NEGARA KEBANGSAAN
Bab III merupakan landasan teoritik mengenai hakikat agama sipil sebagai
religiositas sebuah negara kebangsaan. Dalam mengurai konstruksi teori ini, akan
diketengahkan pengertian dan fungi dari agama sipil yang asasnya telah menampak
dalam gagasan agamadari Marx,Weber dan Durkheim, dan sebagaimana digagas dan
diperkenalkan oleh: Jean Jacques Rousseau, dan juga sebagaimana dijabarkan lebih lanjut
oleh Robert N. Bellah, Andrew Shank, John A. Coleman dan Hans Kung.Setelah
mengupas tentang arti dan fungsi agama sipil, penulis akan memaparkan tentang model-
model hubungan antara agama dan negara sebagaimana diperlihatkan oleh Philip
Wogaman, David C.Leege, Charles Glock, Alexis De Tocqueville, Philip E.Hammond,
Ronald Beiner dan Harvey Cox. Kemudian, dalam menutup Bab ini, akan disuguhkan
makna agama sipil sebagai keagamaan dari sebuah negara kebangsaan.
BAB. IV. PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA.
Bab IV merupakan landasan teoritik mengenai Pancasila sebagai keagamaan
Indonesia. Dalam mengurai bangunan teori ini, akan diuraikan secara runut tentang
konteks kelahiran Pancasila, proses penetapan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia,
maksud Pancasila sebagaimana tertuang dalam urutan dan rumusan masing-masing sila
dari Pancasila, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagaimana terjabar dalam
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Batang
Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, aktualisasi Pancasila dalam perjalanan sejarah
bangsa. Sesudah uraian tentang hal-hal ini, bab ini akan ditutup dengan kesimpulan
bahwaPancasila adalah religiositas Indonesia.
15
BAB V: ESENSI MISI GEREJA DAN REKONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM
KONTEKS PANCASILA
Bab V merupakan landasan teoritik mengenai hakikat misi gereja yang dari
padanya dimungkinkan adanya rekonstruksi misi gereja dalam konteks Pancasila. Dalam
mengurai konstruksi teori ini, bab ini akan diawali dengan pemaparan tentang sejarah
pelaksanaan misi gereja sejak kelahiran gereja sampai dengan abad ke 20, model misi
gereja Eropa di Indonesia, pengaruh model misi gereja Eropa bagi eksistensi gereja
Indonesia, reinterpretasi Matius 28: 18-20. Setelah paparan akan hal-hal ini, akan
diuraikan bahwa esensi misi gereja ialah menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Bab ini
akan ditutup dengan uraian tentang rekonstruksi misi gereja dalam konteks Pancasila.
BAB VI. GAMBARAN UMUM TENTANG BALI, SEJARAH PENGINJILAN DI
BALI DAN KARAKTERISTIK GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI.
Pada bab iniakan diuraikan secara runut dan urut: gambaran umum tentang Bali, sejarah
penginjilan di Bali dan karakteristik Gereja Kristen Protestan Di Bali. Uraiantentang
ketiga haltersebut dipaparkan, agar sidang pembaca mengetahui konteks kelahiran Gereja
Kristen Protestan Di Bali, dimana konteks ituagaknya tidak hanya berkontribusi tetapi
juga sangat berpengaruhbagi pelaksanaan misi Gereja Kristen Protestan Di Bali.
BAB VII. PROGRAM DAN MOTIF MISI GKPB PERIODE 2012-2016 PADA
BIDANG PERSEKUTUAN, PELAYANAN DAN KESAKSIAN DALAM
PERSPEKTIF PANCASILA
Pokok utama atau puncak uraian dari bab VII adalah berupa kajian atas
pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 sebagaimana tertuang dan terkandung
dalamprogram dan motif dari pelaksanaan misi GKPB pada bidang: Persekutuan,
Pelayanan, Kesaksian dari sudut pandang nilai-nilai Pancasila berupa pemuliaan akan
kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan. Mendahului deskripsi itu, akan dipaparkan, arah
pelayanan GKPB pada periode 2012-2016, program dan motif dari misi GKPB pada
periode 2012-2016 dalam bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian.
16
BAB VIII. KESIMPULAN
Pada bab ini, akan disampaikan gagasan-gagasan tentang “Misi Gereja Yang
Menginternalisasikan dan Mengaktualisasikan Pancasila” yang dapat dibangun berdasar
pada landasan-landasan teoritik tentang agama sebagai fenomena sosial, agama sipil
sebagai religiositas negara kebangsaan, Pancasila sebagai keagamaan Indonesia,
Pancasila sebagai misi gereja, dan hasil pengkajian atas pelaksanaan misi GKPB pada
periode 2012-2016 dalam bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian dalam
perspektif Pancasila. Walau mungkin sangat sederhana, sangat diharap gagasan-gagasan
termaksud bisa menjadi kontribusi bagi gereja, bangsa dan dunia untuk menjunjung
tinggi kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan demi kedamaian dan kesejahteraan, sebagai
tanda kita belajar mengenal makna ketuhanan dari Sang Misteri itu.