Upload
duongkhanh
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Pemanasan Global sebagai Krisis Ekologi
Saat ini, isu mengenai pemanasan global telah menjadi salah satu masalah
terbesar yang dihadapi oleh umat manusia. Sebab, dampaknya pada bumi dan
kehidupan seluruh makhluk hidup sungguh sangat mengerikan. Dampak itu
merambah di hampir semua aspek kehidupan. Mulai dari masalah urusan pangan1
hingga bencana sakit penyakit dan kematian karena sulitnya beradaptasi dengan
perubahan temperatur yang ekstrem.
Situs planetsave.com dalam artikelnya “Global Warming Effects and Causes: A
Top 10 List” memaparkan, pemanasaan global secara spesifik akan
mengakibatkan; meningkat/naiknya permukaan air laut di seluruh belahan dunia,
terjadinya peningkatan badai yang mematikan dengan kecepatan yang semakin
tinggi, gagal panen secara masif (besar-besaran) dan berujung pada bencana
kelaparan, mematikan makhkluk hidup dan spesies-spesies yang tersebar luas,
dan musnahnya terumbu karang2.
Penyebab terjadinya pemanasan global sebetulnya telah berlangsung sejak
beberapa abad lampau, dimulai dari revolusi industri yang menimbulkan efek
rumah kaca. Revolusi Industri di abad 19 memulai penggunaan bahan bakar
secara besar-besaran untuk aktivitas industri. Industri-industri tersebut
menciptakan lapangan pekerjaan dan memicu relokasi penduduk dari desa ke
kota. Tren ini bahkan berlanjut sampai sekarang. Lahan yang tadinya hijau terus
1 Para ahli memprediksi hasil tanaman pangan pokok (beras, jagung, gandum, hingga kapas),
akan mengalami penurunan hingga 30 persen, yang mengakibatkan peningkatan harga pangan.
2 Organisasi yang bergerak dalam bidang konservasi lingkungan hidup sedunia, World Wildlife
Fund (WWF) melaporkan, kondisi terburuk akibat bencana pemanasan global adalah populasi
terumbu karang akan punah pada tahun 2100 yang disebabkan oleh meningkatnya temperatur
keasaman air laut. Terumbu karang yang telah memutih karena pemanasan suhu air laut
berbahaya untuk ekosistem laut. Seperti kita ketahui, cukup banyak spesies yang mengandalkan
kelangsungan hidupnya pada terumbu karang.
©UKDW
2
diratakan untuk menyediakan tanah bagi perumahan. Sumber daya alam yang ada
terus digunakan secara intensif untuk kebutuhan konstruksi, industri, transportasi
dan konsumsi. Sampah dan limbah mengalami peningkatan debit volume berlipat
ganda. 3
Hal tersebut mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca
merupakan proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau
satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. Kondisi ini
disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas
lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan
pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya
yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.
Seperti kita ketahui, energi yang masuk ke bumi, sebanyak 25% dipantulkan oleh
awan atau partikel lain di atmosfer, 25% diserap awan, 45% diserap permukaan
bumi, dan 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi yang diserap
dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan
bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh
awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi.
Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan. Dengan adanya efek rumah
kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.
Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang
dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa
senyawa organik seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas
tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.
Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-
rata bumi 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti
sekarang, akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C
pada tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka
akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi
3 http://iklimkarbon.com/2010/05/04/penyebab-perubahan-iklim/ diakses 25 Maret 2013
©UKDW
3
diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi
meningkat.4
Namun yang patut dicermati, ternyata faktor aktivitas manusia sangat signifikan
dalam menyebabkan terjadinya pemanasan global.5 Salah satunya adalah
penebangan hutan (pohon) yang tak terkendali. Penebangan pohon lumrah
dilakukan untuk mengambil bahan baku kayu guna berbagai keperluan. Namun
penambangan besar-besaran tanpa menjaga keseimbangan ekosistem dan alih
fungsi hutan membuat area hutan sebagai tempat pohon bertumbuh menjadi
sempit. Padahal, hutan sangat penting sebagai paru-paru dunia dan dapat
digunakan untuk mendaur ulang karbondioksida yang terlepas di atmosfer bumi.
Banyak ahli kemudian sepakat bahwa pemanasan global adalah sebuah krisis
ekologi (krisis lingkungan hidup) yang telah melanda dunia secara menyeluruh.
Haskarlinus Pasang (2011)6, memaparkan bahwa krisis ini meliputi:
a. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat. Sekitar 90% dari
pertumbuhan penduduk tersebut terjadi di negara berkembang dengan
keluarga-keluarga miskin yang hidup dari mengolah kayu hutan untuk
bertahan hidup.
b. Kemerosotan sumber daya alam. Banyak negara berkembang menggunakan
lahan terbaik mereka untuk menanam produk-produk yang diekspor – supaya
mereka dapat membayar utang nasional yang besar—daripada untuk
menghasilkan dan memenuhi kebutuhan makanan bagi penduduknya.
4 http://id.wikipedia.org/wiki/Efek_rumah_kaca diakses 1 April 2013.
5 http://iklimkarbon.com/2010/05/04/penyebab-perubahan-iklim/ diakses 25 Maret 2013.
6 Haskarlianus Pasang, Mengasihi Lingkungan – Bagaimana Orang Kristen, Keluarga dan
Gereja Mempraktikkan Kebenaran Firman Tuhan untuk Menjadi Jawaban atas Krisis Ekologi
dan Perubahan Iklim di Bumi Indonesia, Perkantas-Divisi Literartur, Jakarta, 2011. hal. 22-29.
©UKDW
4
c. Lubang pada lapisan Ozon yang semakin meningkat. Jika pada tahun 1979
lubang ozon masih seluas 1,09 km persegi, maka pada tahun 2006 lubang
ozon telah mencapai lebih dari 29 juta km persegi, atau lebih dari 5 kali luas
Amerika Serikat.
d. Polusi. Negara maju adalah penghasil limbah terbesar.7 Sementara negara
berkembang meski dengan jumlah limbah tidak sebesar negara maju, namun
seringkali tidak memiliki teknologi yang aman untuk mengelola limbah
berbahaya.
e. Kehilangan keanekaragaman hayati karena terjadi konversi hutan secara
besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan akan pangan (melalui lahan-lahan
pertanian) dan pemukiman, akibat meningkatnya jumlah penduduk.
f. Erosi tanah. Praktik-praktik pertanian dewasa ini menunjukkan perhatian
yang hanya terbatas pada bentuk kehilangan sumber daya tanah yang terbesar
ini. Padahal, penggundulan hutan yang berlebihan menyebabkan kerusakan
tanah hingga 11% dari permukaan bumi hingga pada taraf yang sangat parah.
Kita membutuhkan biaya yang sangat besar untuk memulihkannya.
g. Deforestasi atau penghancuran hutan. Deforestasi di seluruh dunia berada
pada tingkat yang memprihatinkan, yakni sekitar 13 juta ha/tahun atau setara
dengan luas negara Yunani. Kehancuran ini disebabkan oleh penebangan
hutan dan pembukaan lahan untuk pemukiman, perkebunan, dan lain-lain.
Di Indonesia, krisis ekologi tidak jauh berbeda keadaannya. Masalah-masalah
seperti: peningkatan laju pertambahan penduduk8, urbanisasi,
9 konversi lahan
7 Lebih dari 1,8 milyar ton limbah dihasilkan Eropa setiap tahunnya atau setara dengan 3,5
ton/orang/tahun.
8 Dengan asumsi laju pertumbuhan 0,92% per-tahun antara tahun 2020-2025, maka pada tahun
2025 Indonesia akan menjadi negara keempat terbesar penduduknya di dunia (sekitar 273 juta
jiwa).
9 Urbanisasi akan berdampak pada peningkatan jumlah dan luas daerah perkotaan dengan segala
permasalahannya. Pertumbuhan daerah perkotaan biasanya diikuti pula dengan pertambahan
daerah kumuh. Kelompok penduduk di daerah kumuh ini rentan dengan penyakit dan
©UKDW
5
yang terjadi secara besar-besaran10
, pencemaran air, pencemaran udara,
pembukaan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pencemaran pesisir
pantai dan lautan,11
telah menjadi persoalan mendesak yang menuntut perhatian
dan tanggung jawab kita bersama.
2. Krisis Ekologi sebagai Krisis Cara pandang, Krisis Etika-Moral, dan Krisis
Spiritual
Namun, meski tampaknya krisis ekologi adalah persoalan lingkungan fisik,
sesungguhnya krisis yang kita hadapi adalah krisis yang bersumber pada hal-hal yang
lebih fundamental. Yakni krisis yang berkaitan dengan cara pandang (worldview) kita
di dalam menyikapi kehidupan di dunia khususnya sumber daya alam. Krisis cara
pandang ini yang kemudian melahirkan ketimpangan dalam moral dan etika manusia,
serta yang mau tak mau bahwa kita (gereja) pun sebenarnya tengah mengalami suatu
krisis spiritual dan krisis teologis.
a. Krisis Worldview12
atau Rusaknya Cara Pandang Manusia
Menurut Haskarlianus Pasang, salah satu masalah yang dihadapi dunia saat ini
(termasuk kekristenan) adalah orang tidak lagi setia mengembangkan cara
kemiskinan khas kota besar. Karena dengan kepadatan penduduk yang tinggi, mereka
mengalami masalah kurangnya pasokan air besih, sanitasi buruk, drainase buruk, pemukiman
becek dan sempit, serta tak ada akses terhadap jasa pembuangan sampah. Sebagian besar kepala
keluarga pun tidak berpenghasilan tetap karena rendahnya tingkat pendidikan mereka.
10
Areal hutan lindung mengalami pengurangan jutaan hektar untuk dijadikan pemukiman-
pemukiman baru, lahan pertanian (bahkan untuk areal pertambangan) akibat meledaknya
jumlah penduduk. Kemudan terjadi degradasi areal hutan di Indonesia yang menyebabkan erosi
dan berbagai pencemaran air dan tanah.
11
Robert Borrong dalam bukunya Etika Bumi Baru (2009: 58-121) memaparkan kurang lebih hal
yang sama,yakni krisis ekologi karena eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan baik
secara global, nasional, maupun lokal, telah menyebabkan krisis lahan pertanian dan kelestarian
hutan, krisis makhluk hidup dan keanekaragama hayati, krisis energi dan bahan-bahan material,
terjadinya pemanasan global karena krisis atmosfer (penipisan lapisan ozon), hujan asam, dan
krisis hidrosfer dan litosfer (karena pencemaran limbah industri, pupuk dan pestisida serta
sampah domestik.
12
Secara umum worldview didefinisikan sebagai ‘bagaimana seseorang melihat atau memahami
realitas’ atau ‘sebuah bingkai dengan mana seseorang menilai kehidupan’. Dimana worldview
selalu berakhir dengan tindakan. Sebab apa yang dipikirkan dan dinilai menuntun seseorang
pada apa yang diputuskan dan dilakukan. Worldview seseorang biasanya didasarkan pada
budaya atau kebiasaan-kebiasaan tertentu, keyakinan/agama, dan paham-paham yang
berkembang saat ini misalnya materialisme, hedonisme, humanisme, dll. (Pasang: 2011-77)
©UKDW
6
pandang yang benar. Misalnya, menuntaskan masalah dengan pendekatan
pragmatis tanpa fakta dan analisa mendalam.13
Termasuk di dalamnya cara
manusia memperlakukan alam semesta. Saat ini industri ekstraktif pertambangan
banyak dibangun tanpa analisa dampak lingkungan (AMDAL) yang memadai.
Yang penting hasil tambang dikeruk dan segera menghasilkan uang.
Fenomena tersebut seakan menjelaskan begitu banyak manusia saat ini
melakukan pelanggaran terhadap lingkungan yang didasari oleh paham
materialisme (mengutamakan materi) dan hedonisme (mengutamakan kenikmatan
hidup) dengan dalih kesejahteraan hidup.
Bukan berarti manusia tidak berhak atas kesejahteraannya. Akan tetapi
kesejahteraan seperti apa? Apakah yang dilandasi oleh rasa cukup (secukupnya)
atau sebaliknya, kesejahteraan yang didasarkan pada kebutuhan yang tak terbatas
(keserakahan).
b. Krisis Etika dan Moral
Cara pandang pada gilirannya akan menentukan sikap etis seseorang atau
sekelompok orang. Cara pandang manusia terhadap kekayaan alam dari bingkai
ekonomi dan keuntungan belaka, akan terwujud dalam cara mereka mengelola
SDA tanpa mempedulikan aspek-aspek lain seperti, dampak kerusakan ekologi,
dampak sosial, budaya, bahkan dampak-dampak lain yang bersifat politis dan
pelanggaran HAM.
Sebagaimana kita ketahui, lingkungan hidup di planet bumi dikategorikan dalam
tiga kelompok dasar, yakni; 1) Lingkungan fisik (benda-benda mati, seperti
batuan, tanah, udara, gas, mineral, air, dan energi matahari); 2) Lingkungan
biologis (semua mahkluk hidup di sekitar manusia, berupa binatang dan
tumbuhan); dan 3) Lingkungan sosial (manusia lain di sekitar kita).
Ketiga unsur ini meski secara kuantitas berbeda namun mempunyai peran yang
sama pentingnya di dalam menopang kehidupan ekosistem bumi dan ekosfer
13
Pasang, Mengasihi Lingkungan, hal. 77
©UKDW
7
yang seimbang. Dengan kata lain, manusia memiliki pengaruh yang signifikan di
dalam memperlakukan lingkungan fisik dan lingkungan biologis. Dan secara
timbal balik, kualitas hubungan sosial (termasuk dalam aspek politik dan
ekonomi), berpengaruh pula terhadap kualitas hubungan manusia dengan alam.14
Maka, apabila terjadi eksploitasi yang tak terbatas –dalam arti manusia
mengambil lebih dari yang diperlukannya—akan terjadi krisis lingkungan. Tidak
akan ada lagi keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan antara manusia dan
alam.15
Sebab, manusia hanya menilai alam sebatas sarana dan alat atau materi. Alam
atau lingkungan hidup tidak punya nilai lain pada dirinya sendiri kecuali materi
dan karena itu dipandang hanya bernilai ekonomi. Alam atau lingkungan,
khususnya planet bumi ini hanya berfungsi sebagai sarana untuk ditinggali oleh
manusia dan sebagai alat untuk menyejahterakan dan membahagiakan manusia.
Sebagai sarana atau alat, maka alam (ekologi) dilihat hanya sebatas materi
(ekonomi). Fungsi ekologi diganti menjadi fungsi ekonomi semata.16
Sikap dan tindakan demikian mencerminkan hilangnya etika dan tanggung jawab
moral dari manusia yang mendiami bumi ini. Maka, ketika krisis ekologi terjadi
dimana-mana itu merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup
yang ‘nir-etik’17
.
Itulah sebabnya, satu-satunya sumber dari terganggunya ekosistem dan rusaknya
lingkungan adalah manusia yang menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Manusialah penyebab dominan satu-satunya kerusakan lingkungan hidup.
Dengan dalih bahwa manusia berhak untuk mendayagunakan semua potensi atau
sumber daya alam bagi kepentingan mereka. Itulah yang melandasi manusia
mengeksploitasi sumber-sumber alam secara tidak terbatas.
14
Borrong, Etika Bumi Baru, hal.18-19 15
Borrong, Etika Bumi Baru, hal. 35-36 16
Borong, Etika Bumi Baru hal. 138-140 17
Borrong, Etika Bumi Baru, hal. 1
©UKDW
8
c. Krisis Spiritual (teologis)
Namun ada krisis yang lebih mendasar di dalam masalah ekologi yakni krisis
spiritual (teologis). Dengan menggunakan metafora alam semesta ini sebagai
wajah dan tubuh Allah, rusaknya bumi dan kehidupan mahkluk hidup oleh
pemanasan global, secara tidak langsung merupakan perwujudan dari rusaknya
wajah Allah sendiri. Gambaran mengenai ‘Wajah Allah’ hendak menggambarkan
persamaan antara manusia dengan Allah untuk menunjukkan bahwa esensi dan
eksistensi manusia memiliki relasi yang kuat dengan Allah. Ketika terjadi
degradasi moral pada diri manusia yang merusak alam semesta ciptaan Allah,
dengan sendirinya wajah Allah dalam diri manusia pun telah rusak. Penjelasan ini
juga dilandaskan pada Alkitab yang menyatakan bahwa manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27). Dan oleh karenanya gereja
memandang manusia, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai cerminan wajah
Allah sendiri.18
Karel Phil Erari (2006) bahkan lebih tajam lagi di dalam menyoroti krisis ekologi,
yang ia sebut sebagai Ecocida. Ecocida menurut Erari merupakan pemusnahan
lingkungan hidup yang berdampak pada pengingkaran Hak Azasi Manusia
(HAM), yang tampil sebagai kejahatan terhadap ciptaan Allah.19
Sebuah proses
ecocida akan berlangsung ketika suatu ekosistem hutan dengan seluruh habitatnya
habis dibabat hanya karena motif ekonomi tanpa pertimbangan ekologis dan
kesejahteraan manusia setempat.20
Erari menyebutkan satu contoh yang terjadi pada suku Amungme di Papua yang
alamnya rusak oleh pertambangan emas PT. Freeport. Masyarakat suku
Amungme meyakini bahwa antara manusia dan alam terjalin suatu ikatan hidup
18
Juliana F. Harsanti & Laurinciana Sambuanga Sampebatu, Animasi Keadilan dan Perdamaian
– Modul bagi Fasilitator, Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran-Perantau,
Konfererensi Waligereja Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 61
19
Erari, Karel Phil, “Gereja di Tengah Abad Ecocida” dalam Ngelow, Z, dkk., Teologi Bencana
–Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan Bencana Sosial, Yayasan Oase Intim –
Lembaga Praksis Pelayanan dan Kajian Teologi Kontekstual Indonesia Timur, Makassar, 2006,
hal. 327
20
Erari, Gereja di Tengah Abad Ecocida, hal. 329
©UKDW
9
yang sangat erat. Namun kehadiran pertambangan emas telah mendatangkan
melapetaka spiritual21
yang tak bisa diganti oleh apapun dan tak bisa dibayar
berapapun harganya. Penghancuran dua gunung yang memiliki kekuatan spiritual
itu merupakan simbol kuasa manusia terhadap alam.22
Oleh karenanya ketika terjadinya penurunan kualitas sumber daya alam (air,
tanah, dan udara) yang merupakan krisis ekologi, secara tidak langsung juga
merupakan persoalan teologis. Sebab dalam kenyataannya kini, kerusakan yang
ditimbulkan oleh manusia, yakni ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam
siklus kehidupan tak bisa lagi diatasi oleh peraturan-peraturan (UU dan produk
hukum lainnya) yang semula bertujuan melindungi kelestarian lingkungan.
Dengan demikian semakin jelas bahwa ecocida merupakan krisis teologis, karena
alam yang diciptakan secara sempurna oleh Allah kini menjadi cacat dan menuju
ambang kehancuran.
3. Krisis Ekologi karena Industri Pertambangan
Salah satu faktor yang turut menyumbang terjadinya krisis ekologi atau pemanasan
global adalah industri pertambangan. Ini karena untuk membangun industri
pertambangan dibutuhkan lahan yang sangat luas dan terutama sumber air yang
sangat besar. Perluasan lahan tambang meningkatkan aktivitas penebangan pohon
atau konversi lahan.
Siti Maimunah dalam Negara Tambang dan Masyarakat Adat menyebutkan, kebutuhan
lahan yang luas membuat industri ini kerap merusak kawasan tangkapan dan resapan
air akibat dari adanya aktivitas penggalian batuan. Apalagi sejak presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 02 tahun 2008,
tentang penyewaan hutan lindung sebagai kawasan pertambangan dengan patokan
21
Dalam hal ini, kekayaan spiritual melalui ritual dan pemaknaan yang melekat dalam
kehidupan suku/ komunitas asli di Papua telah musnah oleh kepentingan ekonomi.
22
Erari, Gereja di Tengah Abad Ecocida, hal. 330.
©UKDW
10
harga yang sangat murah.23
Itulah faktor utama dari dampak negatif pertambangan,
yang umumnya berkorelasi langsung dengan kerusakan lingkungan.
Pertambangan juga menyebabkan menyusutnya cadangan energi dengan cepat. Siti
Maimunah menulis, sepanjang lebih dari tiga dasawarsa Indonesia mengelola tiga
perempat cadangan minyak yang terus menyusut, serta seperenam cadangan gas
alam yang luar biasa. Laju produksi minyak bumi Indonesia terus menurun secara
teratur sejak 1995, dan cadangan yang tersisa akan habis pada 10-20 tahun
mendatang.24
Ini karena minyak dan gas bumi diperlakukan semata-mata sebagai
sumber keuangan negara, yang pada akhirnya untuk membayar bunga hutang luar
negeri yang membelit.25
Itu sebabnya, meskipun penanaman modal di Indonesia
telah berlangsung sedemikian luasnya, meliputi pertambangan, migas, perkebunan,
kehutanan, dan perikanan, akan tetapi kesemuanya tak kunjung menyejahterakan
rakyat Indonesia.
Pertambangan pun kerap memunculkan konflik-konflik sosial dan pelanggaran
HAM yang menimbulkan korban, baik korban meninggal maupun luka-luka.
Konflik dan pertikaian itu terjadi antara warga pro dan kontra, warga dengan
penambang tradisional, warga dengan aparat keamanan, dan kekerasan langsung
oleh aparat keamanan yang berpihak kepada perusahaan, termasuk warga dengan
perusahaan. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendata, sejak tahun 1970
hingga Juli 2012, sebanyak 62 orang meninggal karea tertembak dan 432 orang luka
parah. Yang memprihatinkan, 54 dari 62 orang tersebut adalah korban dari lokasi
pertambangan emas.
Di luar poin-poin yang tertulis di atas, masih banyak dampak negatif yang
diakibatkan oleh aktivitas pertambangan. Dari berbagai sumber/dokumentasi dan
pengamatan, penulis mencatat ada puluhan dampak yang berkaitan dengan dampak
ekonomi baik makro maupun mikro, dampak sosial & budaya, dampak
23
Siti Maimunah, Negara Tambang dan Masyarakat Adat, hal.10-11 Siti Maimunah, Negara
Tambang dan Masyarakat Adat, – Perspektif HAM dalam Pengelolaan Pertambangan yang
berbasis Lingkungan dan Kearifan Lokal, In-Trans Publishing, Malang, 2012, hal. 10-11
24
Siti Maimunah, Negara Tambang dan Masyarakat Adat, hal. 2 25
Siti Maimunah, Negara Tambang dan Masyarakat Adat, hal. 3
©UKDW
11
ekologi/lingkungan hidup, dampak politik, serta dampak-dampak yang berkaitan
dengan pelanggaran hukum dan HAM, kriminalitas, dan konflik mutli dimensi.26
a. Tambang dan Kemiskinan
Tidak heran jika di daerah pertambangan tingkat kemiskinan dan pengangguran
sangat tinggi. Sebab sesungguhnya upaya eksploitasi SDA tidak mengubah nasib
rakyat. Apa yang didapat oleh rakyat dari masifnya eksploitasi tambang, minyak
dan gas, dari waktu ke waktu? Yakni, kemiskinan, kehancuran lingkungan,
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), rubuhnya sistem sosial budaya
masyarakat, marjinalisasi kaum perempuan dan berbagai dampak lainnya,
sebagaimana dirilis oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada tahun
2005.27
Berikut tabel prosentase penduduk miskin di beberapa propinsi di Indonesia yang
memiliki cukup banyak Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan juga kontrak
kerjasama migas. Namun data tersebut baru mencakup sebagian wilayah saja.
Kantong-kantong kemiskinan berikutnya ‘dicetak’ di wilayah lain di seluruh
provinsi Indonesia.
Tabel 1
Prosentase Penduduk Miskin di Indonesia yang Memiliki Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dan Kontrak Kerjasama Migas
Propinsi Jumlah
Izin
Tambang*
Jumlah
Kontrak
Migas
Prosentase
Penduduk Miskin
Kota Desa
Sumatera Selatan 189 29 16,73 14,67
Bangka Belitung 303 - 4,39 8,45
Jawa Timur 209 24 10,58 19,74
Kalimantan Timur 788 25 4,02 13,66
26
Penjelasan secara khusus mengenai dampak negatif pertambangan tertera pada Bab II.
27
Siti Maimunah, Negara Tambang dan Masyarakat Adat, hal. 3
©UKDW
12
Kalimantan Selatan 261 2 4,54 5,69
NAD 75 4 14,65 23,54
NTT 56 1 13,57 25,10
Papua 9 22 5,55 46,02
Sumber: www.jatam.org
b. Masalah Pertambangan di Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tenggara (Sultra) masuk dalam wilayah yang mengalami kerusakan akibat
pertambangan. Pertambangan di sejumlah daerah di wilayah Sultra telah
menyebabkan kerusakan lingkungan dan beberapa daerah sentra pertanian seperti di
Bombana, mengalami gagal panen. Gagal panen yang berkorelasi langsung dengan
meningkatnya harga beras di pasaran ini disebabkan oleh kekeringan dan sebaliknya
diguyur hujan deras. Rupanya, gagalnya pencapaian hasil produksi padi (gabah)
tidak hanya dirasakan para petani di Bombana, juga di beberapa daerah sentra
penghasil beras terbesar lainnya di Sultra, yakni di Kabupaten Konawe, Konawe
Selatan, dan sebagian di Kabupaten Kolaka dan Buton.28
Meski demikian, sudah banyak wilayah-wilayah di Sulawesi Tenggara (tidak
terkecuali pesisir dan pulau-pulau kecilnya) yang dikapling untuk pertambangan.
Misalnya di Pulau Kabaena, sebanyak 55% luas lahannya telah dikapling oleh
pertambangan.29
Penolakan dari warga sudah jelas ada. Tidak kurang dari tokoh adat masyarakat
Kabaena yang meminta kepada seluruh warga Pulau Kabaena untuk menolak
28
https://m3sultra.wordpress.com/2010/07/20/ratusan-hekter-sawah-bombana-gagal-panen/
diakses 30 Oktober 2011– parahnya, ketiga daerah tersebut merupakan wilayah yang banyak
berdiri perusahaan tambang -em.
29
www.jatam.org diakses 20 September 2012
©UKDW
13
kehadiran perusahaan tambang di pulau tersebut, karena hanya membawa
kesengsaraan dan penderitaan bagi warga.30
Menurut Ketua Lembaga Adat Moronene (LAM) Kabaena, kehadiran puluhan
perusahaan tambang di pulau Kabaena telah memberikan dampak negatif terhadap
lingkungan sosial. Antara lain; terjadinya kecemburuan sosial karena sejumlah
perusahaan tidak adil terhadap seluruh warga Pulau Kabaena dan sejumlah sumber
mata air di sekitar kawasan pesisir pantai tertutup oleh lumpur tanah yang meluber
dari kawasan penambangan. Bahkan lahan usaha yang menjadi sumber pencaharian
pokok masyarakat, seperti area budidaya rumput laut, lahan perkebunan, dan
tanaman enau sebagai bahan baku membuat gula aren rusak tercemar limbah
perusahaan.
Kabupaten Bombana yang berdiri pada tahun 2003 memiliki potensi SDA yang
melimpah. Namun demikian, potensi-potensi unggulan daerah ini bukan hanya
tambang. Pemerintah kabupaten (pemkab) Bombana pun mengelola komoditi
unggulan lainnya, seperti: pertanian, perkebunan (kakao, kopi, kelapa, cengkeh,
jambu mete, lada, pala), peternakan, dan jasa.31
Namun pada tahun 2008 Bombana menjadi sorotan ketika masyarakat setempat
menemukan emas di wilayah-wilayah yang bukan areal pertambangan resmi. Tidak
perlu teknologi tinggi, siapapun bisa menggali emas hanya dengan alat sederhana.
Saat itu hampir separuh tenaga kerja informal di kota Kendari dan sekitarnya
berbondong-bondong menambang emas di Bombana. Pendapatan instan dari hasil
menambang memang menggiurkan. Namun para penambang mengabaikan faktor
kerusakan lingkungan yang merugikan para petani. Bukan itu saja, dampak ikutan
dari aktivitas pertambangan ilegal ini turut memunculkan persoalan yang
memprihatinkan seperti pelacuran dan kriminalitas.
30
http://kabaenaonline.webs.com/apps/blog/show/10348606-lam-kabaena-serukan-penolakan-
perusahaan-tambang diakses 6 September 2012.
31
http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/displayprofil.php?ia=7406 diakses 17
September 2012.
©UKDW
14
c. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sultra dan Pro-Kontranya
Meski demikian, pemerintah bersama DPR RI pada tahun 2009 telah mencanangkan
Undang-
undang
Nomor 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus/KEK32
(selanjutnya disebut
dengan istilah KEK). Salah satu tujuan pembuatan UU ini adalah untuk mempercepat
pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi
pengembangan ekonomi nasional. Selain itu juga untuk menjaga keseimbangan
kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional.33
Adapun landasan dibuatnya UU tersebut antara lain; ketentuan di Pasal 31 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, serta Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun1945.34
Berdasarkan UU tersebut, yang termasuk dalam KEK adalah kawasan dengan batas
tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan
untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
Dimana KEK akan dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki
keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan
industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi
dan daya saing internasional.35
Dengan bentuk-bentuk usaha, seperti; pengolahan
ekspor, logistik; industri, pengembangan teknologi, pariwisata, energi; dan/atau,
ekonomi lain. Dalam UU tersebut telah ditetapkan kriteria yang sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan tidak berpotensi mengganggu kawasan
lindung.
Sulawesi Tenggara (Sultra) masuk dalam wilayah KEK. Bahkan pada tahun 2011 lalu
presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyetujui rencana pemerintah provinsi
32
www.menpan.go.id/index.php? diakses 8 Agustus 2012 33
Pembukaan UU No. 3/2009 – Menimbang no. 2 34
Pembukaan UU No. 3/2009 - Menimbang no. 3 35
UU No. 3/2009 pasal 2
©UKDW
15
(pemprov) untuk menjadikan Sultra sebagai kawasan ekonomi khusus bidang
pertambangan.
Adalah Gubernur Sultra, H. Nur Alam yang bersemangat menjadikan wilayah
pemerintahannya sebagai KEK. Antara lain dengan memanfaatkan potensi tambang
unggulan yakni emas, nikel, dan aspal yang menjadi salah satu modal pembangunan
ekonomi. Menurutnya, potensi nikel di Sultra mencapai 97,4 miliar ton atau senilai Rp
48.000 triliun.36
Nur Alam pun berjanji bahwa pengelolaannya akan lebih efektif dan
terkendali sehingga tak merusak lingkungan.37
Faktor lain yang mendorong pemimpin Sultra ini memperjuangkan KEK adalah di
masa tiga tahun masa kepemimpinannya (tahun 2010) perkembangan indikator makro
ekonomi Sulawesi Tenggara menunjukkan kinerja baik. Rata-rata pertumbuhan
ekonomi tahun 2010 mencapai 8,51 %.38
Tingginya animo pemerintah Sulawesi Tenggara menjadikan kawasannya sebagai
KEK didasarkan pada asumsi bahwa KEK pertambangan dapat menunjang program
pembangunan ekonomi yang akan menyejahterakan rakyat.
Akan tetapi banyak pihak yang meragukan hal tersebut. Salah satunya adalah Prof.
Jusuf Abadi (Pembantu Rektor IV Universitas Haluoleo, Kendari). Ia mengatakan
bahwa potensi di Sultra cukup beragam dan seharusnya perolehan dari sumber daya
alam yang banyak bisa menyejahterakan rakyat di daerah ini. Tapi tidak demikian
yang terjadi. Bahkan kontribusi daerah terhadap nasional saja baru 0,5 persen. Jika
dimanfaatkan secara optimal, kontribusi Sultra terhadap perekonomian nasional bisa
mencapai 1 – 2 persen.39
36
http://metropolitan.inilah.com/read/detail/894782/URLTEENAGE diakses 9 September 2012.
37
http://www.politikindonesia.com/index.php?k=ekonomi&i=17272-Lewat-3-Komoditas-
Unggul,-Sultra-Siap-jadi-KEK diakses 9 September 2012.
38
http://ozzonradio.com/home/2011/01/ekonomi-sultra-tumbuh-signifikan/
January 10th, 2011 at 2:35 pm – diakses 9 September 2012 - Pertumbuhan ekonomi di periode
Januari- September 2010 meningkat cukup tinggi, dengan rincian; triwulan pertama 8,23 %,
triwulan kedua 8,98%, dan triwulan ketiga 8,32%.
39
http://ozzonradio.com/home/2011/03/pro-kontra-kek/ diakses 9 September 2012.
©UKDW
16
Pandangan yang lebih pesimis datang dari kalangan aktivis lingkungan seperti
WALHI Sultra. Menurut mereka, pembangunan perekonomian yang terfokus pada
pertambangan tidak menjamin akan membuat masyarakat sejahtera. WALHI
memaparkan bahwa selama ini tidak ada bukti empiris bila daerah pertambangan akan
menyejahterakan masyarakat. Yang terjadi malah sebaliknya. Pertambangan merusak
lingkungan, bahkan eksistensinya selalu menimbulkan konflik antar masyarakat.
Apalagi jika pengelolaan pertambangan selalu dilakukan oleh investor yang bersifat
kolonial. Namun ditegaskan oleh WALHI bahwa bukan berarti kelompok ini anti
investasi.40
Penolakan WALHI Sultra secara eksplisit pernah disampaikan dalam siaran persnya
pada tanggal 25 Januari 2010, yang pada prinsipnya mereka menolak rencana
pemerintah yang ingin menjadikan provinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan Nasional, karena: pertama, KEK bernafaskan
pembentukan zonasi perdagangan yang bebas dari campur tangan negara dan
merupakan adopsi sistem Free Trade Area (FTA).
Kedua, adanya sejumlah masalah fundamental yang harus dijadikan perhatian pokok
pemerintah sebelum mengeluarkan kebijakan menyetujui provinsi Sulawesi Tenggara
menjadi KEK Pertambangan Nasional, yaitu: (1) dari sisi demokrasi pemerintahan
rencana ini belum mendapat persetujuan dari DPRD Propinsi Sultra juga para
Bupati/Walikota yang wilayahnya akan menjadi KEK (Kabupaten Buton, Konawe,
Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka dan Kolaka Utara) sesuai Pasal 4 (b) UU
KEK 39/2009. Persetujuan ini juga mesti mendengarkan suara dan aspirasi luas dari
publik di Sultra. Kami mencatat, belum pernah Gubernur melakukan suatu sosialisasi
publik terkait dengan rencana ini. Padahal, sosialisasi dengan melibatkan komponen-
komponen masyarakat, utamanya yang miskin dan akan jadi korban dari kebijakan
KEK ini, adalah hal yang penting.
Ketiga, penetapan KEK harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) dan tidak berpotensi mengancam hutan lindung sesuai Pasal 4 (a) UU KEK
39/2009. Padahal saat petisi ini disampaikan (2010) RTRW-P Sulawesi Tenggara
40
http://ozzonradio.com/home/2011/03/pro-kontra-kek/ diakses 9 September 2012.
©UKDW
17
sedang dalam tahap rencana revisi berdasarkan UU No.26/2007 tentang Tata Ruang
Nasional.
Keempat, penetapan Sultra sebagai KEK Pertambangan Nasional juga belum
didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Valuasi Ekonomi
Sumber Daya Alam sebagaimana amanat UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kelima, KEK berpotensi kuat melahirkan konflik atas tanah dan sumber daya alam
dimana penetapan KEK Pertambangan Nasional akan memaksa petani dan masyarakat
adat serta warga yang berdomisili di wilayah yang ditunjuk sebagai KEK, akan
berhadap-hadapan secara vertikal dengan gabungan kepentingan pemilik modal dan
aparatur negara. Warga yang menolak juga akan berpotensi konflik horizontal dengan
warga yang menerima wilayahnya jadi KEK Pertambangan Nasional.
Keenam, menjadikan Sultra sebagai kawasan pertambangan nasional juga akan
mengancam secara ekologis Kawasan Ekologi Genting (KEG) yang menjadi sumber-
sumber kehidupan rakyat. Pertambangan akan selalu identik dengan tindakan brutal
merusak alam, khususnya hutan dan pesisir-laut, mencemari lingkungan,
menyuburkan konflik vertikal dan horizontal di tengah rakyat, menyuburkan korupsi
aparat negara, menciptakan kemiskinan ekonomi-sosial-budaya struktural, serta
melestarikan rampokisasi sumber daya alam oleh pemodal asing maupun nasional.
Ketujuh, Pemerintah Sulawesi Tenggara harusnya belajar dari praktek-praktek
pertambangan di sejumlah wilayah seperti Bangka Belitung, Papua, Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara
Barat. Di wilayah-wilayah ini, negara jelas mendapatkan kerugian ekonomi, sosial
maupun ekologis dari industri ekstraktif pertambangan. Hadirnya perusahaan
tambang, bukan saja tak dapat menyejahterakan negeri, untuk menyejahterakan
masyarakat lingkar tambang beserta alamnya pun sulit. Hasil tambang habis dikuras
untuk kepentingan ekspor (pemilik modal), dan meninggalkan lubang-lubang tambang
beracun, serta derita kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup.
©UKDW
18
4. Sikap terhadap Kehadiran Perusahaan Tambang dan Antisipasi Warga Gereja
terhadap Dampak Negatif Pertambangan
Jika berbagai elemen masyarakat, misalnya sebagian warga setempat dan LSM-LSM
pemerhati lingkungan menolak keras kehadiran perusahaan tambang yang tidak
menyejahterakan masyarakat; bagaimana dengan sikap elemen masyarakat lainnya,
dalam hal ini warga gereja?
Sejauh pengamatan penulis selama beberapa tahun di Kendari, kehadiran investasi asing
dan investasi dari luar daerah disambut positif oleh warga gereja dan komunitas-
komunitas Kristen. Alasan yang paling umum adalah karena investasi bisa memberikan
lapangan pekerjaan bagi pemuda, para sarjana, maupun tenaga kerja yang sudah
berpengalaman di kota Kendari dan wilayah lainnya di Sulawesi Tenggara. Dalam
beberapa pertemuan komunitas Kristen, tersirat harapan yang kuat agar para investor
hadir di Sulawesi Tenggara, membuka lapangan pekerjaan dan pemanfaatan SDA secara
maksimal.
Oleh karena itu ketika pada tahun 2005-2010 banyak perusahaan/pabrik-pabrik
perkebunan kelapa sawit dan tambang (skala kecil maupun skala besar), masyarakat di
Sulawesi Tenggara termasuk warga gereja menyambut positif. Bahkan beberapa warga
gereja yang penulis kenal turut bergerak/berusaha dalam bidang pertambangan.
Tidak heran jika dalam dua dekade ini pengelolaan hasil-hasil tambang semakin digenjot.
Sebab potensi sumber daya mineral yang dimiliki provinsi Sultra sangat besar.
Berdasarkan data dari situs www.esdm.go.id sektor pertambangan yang masih memiliki
potensi untuk dikembangkan atara lain nikel di wilayah sekitar Pomala dan Kolaka, dan
aspal di Buton. Untuk produk-produk lainnya seperti, chromit, pasir, batu koral, marmer,
batu gamping, masih tersebar dalam jumlah yang cukup banyak dan dapat dikembangkan
lebih optimal.41
41
http://www.esdm.go.id/berita/artikel/56-artikel/2669-peluang-investasi-di-sulawesi-4-sulawesi-
tenggara.html diakses 30 Maret 2013.
©UKDW
19
Oleh karena itu pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara membuka kesempatan seluas-
luasnya bagi kalangan investor untuk berinvestasi di sektor pertambangan. Dan untuk itu
berbagai insentif dan kemudahan akan diberikan. Misalnya sarana jalan, jembatan, dan
pelabuhan. Diharapkan, fasilitas tersebut dapat mempermudah dan mempercepat tahap
eksploitasi. Akhirnya, sektor pertambangan di provinsi ini dapat menjadi perhatian
investor nasional maupun asing yang bergerak di bidang pertambangan.42
Akan tetapi, bagaimana dengan kesiapan warga gereja di dalam mengantisipasi dampak
negatif pertambangan? Antisipasi dalam pengertian umum adalah perhitungan
(meramalkan, memprediksi, menduga) sekaligus sebuah penyesuaian mental terhadap
hal-hal yang akan terjadi di masa depan.43
Bercermin dari praktek-praktek pertambangan di daerah lain yang tidak menyejahterakan
masyarakat setempat, apakah warga gereja --khususnya Gepsultra sebagai gereja lokal
yang memiliki jemaat terbesar-- sebagai bagian dari pemangku kepentingan (stake
holder) di wilayah Sulawesi Tenggara melakukan antisipasi?
Meskipun provinsi Sulawesi Tenggara memiliki sumber daya alam yang melimpah dan
dijadikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus bidang Pertambangan Nasional namun
Sultra masuk dalam wilayah yang rawan bencana sosial dan bencana lingkungan akibat
pertambangan. Memang secara statistik tingkat kerusakannya masih di bawah daerah lain
di luar Sultra seperti Papua dan Kalimantan. Alam tetapi antisipasi seluruh pemangku
kepentingan bermanfaat untuk mencegah bencana serupa terjadi sehingga tingkat dan
kadar dampak negatif eksplorasi/eksploitasi pertambangan bisa diminimalisir di wilayah
ini.
Apalagi Gepsultra --baik secara langsung maupun tidak langsung-- memiliki kepedulian
terhadap keberlangsungan siklus alam. Misalnya dengan menerapkan pemberdayaan
42
http://m.energitoday.com/2013/01/29/potensi-tambang-sulawesi-tenggara-dalam-kepungan-
investor/ diakses 30 Maret 2013 - Daya tarik lainnya adalah populasi penduduk Indonesia yang
mencapai 250 juta orang, tersedianya bahan baku alam yang berlimpah, tingkat pertumbuhan
ekonomi yang terus berkembang hingga 6-7 persen per tahun, dan dinamika politik yang relatif
tidak menganggu iklim investasi.
43
Disarikan dari http://www.kbbi.web.id/ diakses 3 September 2012.
©UKDW
20
ekonomi jemaat melalui pengolahan lahan-lahan pertanian. Sebab sebagaian besar jemaat
Gepsultra adalah petani.44
Selain itu sejak awal berdirinya, Gepsultra turut berperan
dalam berbagai program pemerintah dalam melestarikan lingkungan melalui penghijauan
hutan dan penanaman pohon.45
Panggilan untuk menjaga keutuhan atau kelestarian lingkungan tampaknya juga diilhami
dari tradisi pada jemaat asli Gepsultra yakni suku Tolaki dan suku Moronene. Kedua
kelompok masyarakat tersebut memilki kearifan lokal dimana mereka pada dasarnya
sangat menjaga keberlangsungan ekosistem di sekitar mereka.46
Pada suku Tolaki, unsur
alam juga menyatu dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Seperti yang tampak pada
simbol Kalo yang menjadi fokus kebudayaan Tolaki. Mereka menggunakan Kalo sebagai
simbol yang mengekspresikan unsur-unsur manusia, unsur-unsur alam, unsur-unsur
masyarakat, dan unsur-unsur nilai budayanya.47
Unsur alam tidak dapat dilepaskan dalam
kehidupan orang Tolaki.
Pertambangan yang semakin banyak dan ke depannya akan semakin masif tentu tidak
hanya memberi kontribusi yang positif bagi penyediaan lapangan pekerjaan untuk
masyarakat setempat, khususnya warga gereja gespultra. Akan tetapi berpotensi
memunculkan dampak-dampak negatifnya. Baik itu dalam aspek ekologi, ekonomi,
sosial budaya, politik, dan pelanggaran hukum dan HAM.
44
Lihat catatan kaki no. 7 pada Bab II (hal. 33).
45
Ernawati Manurung, “Bencana Sosial sebagai Dampak dari Eksplorasi Pertambangan di
Sulawesi Tenggara” - Laporan Penelitian mata kuliah Teologi Bencana pada Program Magister
Ministry (M.MIN) Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Februari
2012, hal. 22-23
46
Sumber: Tempo Interaktif – “Di sana, Leluhur Mereka Dimakamkan” tanggal 13 Mei 2002
diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Moronene/diakses 3 Agustus 2010
47
A. Tarimana, Rangkuman Disertasi, Kalo sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki, Jakarta, 1985,
hal. 1
©UKDW
21
B. Rumusan Masalah
Terkait persoalan-persoalan tersebut di atas, Penulis ingin mengetahui secara obyektif;
Pertama, bagaimana Sikap (variabel I) warga gereja Gepsultra --sebagai gereja lokal
yang kehadirannya sudah cukup lama dan memiliki akar yang kuat dengan kehidupan
sosial masyarakat setempat-- terhadap kehadiran perusahaan-perusahaan tambang di
wilayah mereka. Apakah positif/setuju/favorable atau negatif/tidak setuju/unfavorabel.
Kedua, bagaimana tingkat Antisipasi (variabel II) warga gereja Gepsultra terhadap
dampak negatif eksplorasi tambang (pertambangan) yang berdimensi pada aspek-aspek
kerusakan lingkungan (ekologis), persoalan-persoalan ekonomi, sosial budaya, politik,
dan pelanggaran hukum dan HAM. Apakah tingkat antisipasinya tinggi, sedang, atau
rendah.
Ketiga, apakah ada hubungan/korelasi antara Sikap warga gereja terhadap kehadiran
perusahaan-perusahaan tambang di wilayah mereka dengan tingkat Antisipasi warga
gereja terhadap dampak negatif pertambangan. Kemudian, apa makna dari ada atau
tidaknya hubungan/korelasi kedua variabel tersebut, yakni Sikap Menerima/Menolak
dengan Tingkat Antisipasi Rendah/Tinggi?
Keempat, bagaimana sikap/respon gereja Gepsultra terhadap keberadaan perusahaan-
perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara, khususnya di kabupaten Bombana.
C. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Untuk mendapatkan data mengenai permasalahan yang telah dirumuskan, Penulis
melakukan penelitian di lingkungan Gereja Protestan di Sulawesi Tenggara (Gepsultra)
Klasis Bombana yang berlokasi di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara pada bulan
April 2013.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data lapangan, Penulis menggunakan metode penelitian
kuantitatif dalam perolehan data primer (utama) dan metode kualitatif dalam
©UKDW
22
perolehan data sekunder (tambahan). Menurut Silalahi (2012) Penelitian kuantitatif
adalah sebuah penyelidikan tentang masalah sosial berdasarkan pada pengujian
sebuah teori yang terdiri dari variabel-varabel, diukur dengan angka dan dianalisis
dengan prosedur statitik untuk menentukan apakah generalisasi prediktif teori
tersebut benar. Sedangkan penelitian kualitatif merupakan proses penyelidikan untuk
memahami masalah sosial berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik yang
lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara
terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah.48
2. Disain Penelitan
Adapun disain penelitian yang digunakan dalam metode kuantitatif adalah Disain
Korelasional. Disain korelasional bertujuan menyelidiki nilai-nilai dari dua atau lebih
variabel dan menguji atau menentukan hubungan-hubungan (relations) atau
antarhubungan-antarhubungan yang ada di antara mereka di dalam satu lingkaran
tertentu.49
3. Objek dan Pengukuran
a. Objek Penelitian
Yang dimaksud dengan Objek dalam penelitian ini (khususnya yang
menggunakan metode kuantitatif) adalah dua variabel yang akan diukur, yakni:
1) Variabel SIKAP;50
Variabel Sikap terbagi dalam dua kategori, yakni: Sikap yang
positif/setuju/favorabel dan Sikap yang negatif/tidak setuju/unfavorable; dan
48
Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Refika Aditama, Jakarta, 2010, hal.76-77 49
Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 181
50
Istilah ‘Sikap’ pertama kali digunakan oleh Herbert Spencer (1862) yang menggunakan kata
ini untuk menunjukkan suatu status mental seseorang. Kemudian pada tahun 1888 Lange
menggunakan konsep ini dalam eksperimen laboratorium. Konsep ini selanjutnya digunakan
oleh para ahli sosiologi dan psikologi. Bagi para ahli psikologi, perhatian terhadap sikap
berakar pada alasan perbedaan individual. Sedangkan para ahli sosiologi sikap memiliki arti
lebih besar untuk menerangkan perubahan sosial dan kebudayaan. Sedangkan L.L Thurstone
(1946) mendefinisikan sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau
negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Objek ini meliputi: simbol, kata-kata,
slogan, orang, lembaga, ide, dll. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek
psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang favorabel. Sebaliknya adalah negatif atau
unfavorabel (tak-favorabel). (Sumber: Ahmadi, A., Psikologi Sosial, Rinneka Cipta, Jakarta,
2002, hal. 161).
©UKDW
23
2) Variabel ANTISIPASI51
b. Pengukuran
Sedangkan yang dimaksud dengan pengukuran di sini adalah pemberian angka
atau bilangan pada objek-objek/variabel tersebut menurut aturan tertentu.52
1) Untuk mengukur variabel SIKAP, Penulis menggunakan 5(lima) macam
kategori jawaban, yakni:
a) SIKAP yang positif/setuju/favorabel
Sangat Setuju (SS) dengan bobot nilai = 4, Setuju (S) dengan bobot nilai =
3, Netral/Tidak Tahu/Ragu-ragu (N) dengan bobot nilai = 2, Tidak Setuju
(TS) dengan bobot nilai = 1, dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot
nilai = 0, sebagaimana gambar berikut ini:
4 3 2 1 0
----------------------------------------------------------------------------
SS S N TS STS
b) SIKAP yang negatif/tidak setuju/unfavorabel
Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot nilai = 4, Tidak Setuju (TS)
dengan bobot nilai = 3, Netral/Tidak Tahu/Ragu-ragu (N) dengan bobot
51
Teori atau konsep mengenai antisipasi memiliki begitu banyak dimensi dan nuansa. Oleh
karenanya anticipation merupakan sebuah fenomena studi yang sangat luas yang berada di
dalam disiplin ilmu yang berbeda-beda, termasuk di dalamnya; biologi dan brain studies,
ilmu-ilmu sosial, teknik, dan arsitektur. Menurut beberapa ahli saat ini belum ada teori/konsep
yang umum mengenai Antisipasi. Untuk itu Penulis menggunakan Kamus Besar Bahasai
Indonesia (KBBI) yang mendefisinikan ‘antisipasi’ sebagai:
1. Noun/kata benda yang bermakna: perhitungan terhadap hal-hal yang akan (belum)
terjadi; bayangan; ramalan;
2. Kata sifat yang berarti: penyesuaian mental terhadap peristiwa yang akan terjadi.
3. Linguistik yang berarti: perubahan bunyi oleh alat ucap yang menyediakan posisi yang
diperlukan untuk menghasilkan bunyi berikutnya;
4. Kata kerja (ber-antisipasi/mengantisipasi/mengantisipasikan), yakni membuat (memiliki)
perhitungan terhadap hal-hal yang akan terjadi. Atau, membuat perhitungan (ramalan,
dugaan) terhadap hal-hal yang belum (akan) terjadi; memperhitungkan sebelum terjadi.
Contoh: Kebijaksanaan regional perlu diambil untuk mengantisipasi perkembangan
tahap berikutnya;
52
Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 191
©UKDW
24
nilai = 2, Setuju (S) dengan bobot nilai = 1, dan Sangat Setuju (SS)
dengan bobot nilai = 0, sebagaimana gambar berikut ini:
4 3 2 1 0
----------------------------------------------------------------------------
STS TS N S SS
2) Untuk mengukur variabel ANTISIPASI peneliti menggunakan kategori
jawaban YA/BENAR dan TIDAK/SALAH, namun dalam rentang lima
tingkatan, yaitu: apabila responden memilih jawaban di angka 4 menunjukkan
tingkat antisipasi Sangat Tinggi, di angka 3 untuk tingkat antisipasi Tinggi,
angka 2 untuk tingkat antisipasi Sedang, angka 1 untuk tingkat antisipasi
Rendah, dan angka 0 untuk tingkat antisipasi Sangat Rendah, sebagaimana
gambar berikut ini:
4 3 2 1 0
YA/BENAR ------------------------------------------------------------- TIDAK/SALAH
4. Subjek dan Penarikan Sample
a. Subjek penelitian ini adalah;
(1) Warga/jemaat Gepsultra yang berada di kabupaten atau Klasis Bombana,
Sulawesi Tenggara untuk sebagai subjek penelitian kuantitatif.
(2) Informan yang mewakili pimpinan gereja Gepsultra, baik di tingkat
Sinode, Klasis (Bombana), maupun di tingkat Cabang Kebaktian.
b. Penarikan sampel dilakukan dengan menggunakan disain Deskripsi dengan
metode/tipe Probabilitas dan teknik kluster/kelompok. Disain deskripsi adalah
penarikan sampel yang bertujuan melakukan generalisasi dan dilakukan
dengan estimasi polulasi.53
Sedangkan metode/tipe probabilitas adalah metode
53
Eriyanto, Teknik Sampling – Analisa Opini Publik, LKiS, Yogyakarta, 2007 hal. 31
©UKDW
25
penarikan sampel untuk tujuan mencari keterwakilan.54
Adapun teknik kluster
adalah penetapan sampel penelitian berdasarkan kelompok (bukan individu).55
5. Analisa Data
Berdasarkan tujuan penelitian ini yakni hendak:
a melihat gambaran umum sikap responden terhadap kehadiran perusahaan
tambang, maka untuk menentukan nilai variabel Sikap, Penulis menggunakan
Cara Sederhana.56
b melihat gambaran umum tingkat antisipasi responden terhadap Dampak Negatif
Pertambangan, untuk menentukan nilai varibel Antisipasi Penulis menggunakan
Cara Sederhana.
c melihat ada tidaknya hubungan/korelasi antara variabel Sikap dengan variabel
Antisipasi, Penulis menggunakan Analisis Korelasional, yang bertujuan menguji
ada tidaknya hubungan antara kedua variabel, dengan bantuan perangkat uji
statistik SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 17.
d melihat sikap/respon gereja Gepsultra terhadap keberadaan perusahaan-
perusahaan tambang di Sulawesi Tenggara, khususnya di kabupaten Bombana,
Penulis menggunakan Analisis Kualitatif, yang terdiri dari alur kegiatan Reduksi
Data, Penyajian Data, dan Penarikan Kesimpulan.57
6. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data kuantitatif dari responden (warga gereja) digunakan
instrumen (alat ukur) penelitian berupa angket. Angket disusun berdasarkan variabel
SIKAP (angket I), dan variabel ANTISIPASI (angket II).58
a. Pada variabel SIKAP ada 3 indikator59
, yakni:
1) Aspek Kognitif, yang berkaitan dengan sistem kepercayaan responden
terhadap objek sikap. Pada aspek Kognitif dibagi lagi menjadi Kognitif
Positif dan Kognitif Negatif.
54
Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 258 55
Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 269 56
Azwar, hal. 146-147. Dalam penyusunan skala sikap Penulis menggunakan Skala Likert. 57
Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 339-341 58
Angket tertera dalam Lampiran 59
Azwar, S., Teori mengenai Sikap Manusia dan Pengukurannya, hal.23 – 28
©UKDW
26
2) Aspek Afektif, yang berkaitan dengan sistem keyakinan atau perasaan
responden terhadap objek sikap. Pada aspek Afektif dibagi lagi menjadi
Afektif Positif dan Afektif Negatif.
3) Aspek Konatif, yang berkaitan dengan kecenderungan perilaku responden
terhadap objek sikap. Pada aspek Konatif dibagi lagi menjadi Konatif Positif
dan Konatif Negatif.
Pembagian masing-masing indikator tersebut dikarenakan variabel Sikap
berkaitan dengan nilai positif/menerima/suka (favorabel) dan nilai
negatif/menolak/tidak suka (unfavorabel). Oleh karena itu dalam setiap setiap
item pernyataan pada instrumen (alat ukur) penelitian mengandung salah satu
nilai tersebut, yang ditandai dengan simbol (+) dan/atau (-)60
. Masing-masing
indikator berisi 10 item pernyataan positif dan negatif. Dengan demikian jumlah
seluruh pernyataan pada variabel ini sebanyak 30 item.
b. Pada variabel ANTISIPASI, Penulis hanya menggunakan 1(satu) indikator,
yakni: “Antisipasi dalam tataran sebagai verb (kata kerja)
(mengantisipasi/berantisipasi).”61
Indikator tersebut dipertalikan dengan 5(lima)
aspek Dampak Negatif Pertambangan, dimana masing-masing indikator dan
aspek berisi 6 item pernyataan. Dengan demikian jumlah seluruh pernyataan
pada variabel ini sebanyak 30 item.
Dengan demikian total jumlah item pernyataan kedua variabel pada angket sebanyak
60 item.62
Sedangkan untuk memperoleh data kualitatif dari informan yang mewakili pimpinan
gereja Gepsultra Penulis menggunakan metode wawancara dan pengamatan
(observasi).
E. Sistematika Penulisan
60
Dalam penyusunan angket yang akan dibagikan kepada repsonden, urutan setiap item akan
diacak dan simbol (+) atau (-) ditiadakan. 61
Lihat Catatan Kaki no. 49 poin 4 62
Lihat Tabel 9 dan Tabel 16 serta pada Lampiran
©UKDW
27
Dalam laporan hasil penelitian (tesis) ini, Penulis menyusun sistematika penulisan
sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
E. Metodologi Penelitian
F. Sistematika Penulisan
Bab II : Gepsultra dan Pertambangan di Sulawesi Tenggara
Bab III : Hasil Penelitian dan Analisanya
Bab IV : Refleksi Teologis
Bab V : Kesimpulan dan Saran Pastoral (Rekomendasi)
©UKDW