Upload
yeyenjaejoong
View
228
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
aa
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Henti jantung (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung
untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat balik normal jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung merupakan kegawatan
medik yang paling akut yang dihadapi oleh staf medik yang sering tidak
menunjukkan tanda-tanda awal sebelumnya. Henti nafas terjadi bila nafas berhenti
(apnea). Kedua keadaan ini saling terkait.1
Henti jantung merupakan pembunuh nomor satu di dunia. Pada banyak
kasus sebenarnya kematian mendadak dapat dicegah bila tindakan resusitasi
dilakukan secara tepat. Setiap tenaga kesehatan harus menguasai teknik resusitasi
jantung paru otak (RJPO). Setiap tahun hampir 330.000 warga Amerika
meninggal karena penyakit jantung. Setengahnya meninggal secara mendadak,
karena serangan jantung (cardiac arrest).2
Resusitasi jantung paru otak merupakan metode untuk mengembalikan
fungsi pernafasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti nafas dan henti
jantung serta menghindari kerusakan otak akibat hipoksia yang disebabkan karena
henti sirkulasi.
Pendekatan optimal dalam RJP dapat bervariasi, tergantung dari penolong,
penderita, dan sumber yang tersedia, namun tantangan yang muncul tetap, yaitu
bagaimana untuk mencapai RJP yang dini dan efektif. Keberhasilan RJP
dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati klinis dan mati biologis,
yaitu sekitar 4-6 menit. Dalam waktu tersebut mulai terjadi kerusakan sel-sel otak
yang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain. Dengan demikian pemeliharaan
perfusi serebral merupakan tujuan utama RJP.
Resusitasi terdiri dari empat mata rantai yakni segera menjangkau
pelayanan gawat darurat, segera bantuan hidup dasar, segera defibrilasi dan segera
bantuan hidup lanjut. Bantuan hidup dasar yang diberikan dini terbukti
bermanfaat meningkatkan kualitas dan kuantitas survival. Jika henti jantung
1
disebabkan fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel, kunci keberhasilan utama
adalah defibrilasi dini. Bantuan hidup lanjut sangat penting jika defibrilasi gagal
mengembalikan sirkulasi. Hasil penelitian Bresus menunjukkan fibrilasi ventrikel
merupakan irama yang ditemui pada hampir 50% pasien henti jantung. Survival
dini sesudah henti jantung di dalam rumah sakit adalah 40%. Penelitian dari
Gwinott atas 1500 henti jantung tahun 1997, menunjukkan kejadian fibrilasi
ventrikel sebagai irama awal telah menurun hingga 37% dimana 40% diantaranya
pulang hidup. Survival keseluruhan adalah 17,6%.2
Tahun 2015 American Heart Association (AHA), dalam Jurnal
Circulation yang diterbitkan 3 November 2015, mempublikasikan Pedoman
Cardiopulmonary Resucitation (CPR) dan Perawatan Darurat Kardiovaskular
2015. Kehadiran rekomendasi baru ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman
sebelumnya tidak aman atau tidak efektif, melainkan untuk menyempurnakan
rekomendasi terdahulu.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Henti jantung (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung
untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat balik normal jika dilakukan tindakan yang tepat atau akan
menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat usia
lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung.5
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol
(+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti
jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan
pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas
jantung menghilang.2,4
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis,
femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan
berhenti atau satu-satu (gasping, apnue), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap
rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.6
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin
(Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit
pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun
setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.4
Resusitasi Jantung Paru Otak yang bias kita kenal dengan nama RJPO atau
Cardiopulmonary Resuscitation adalah usaha untuk mengembalikan fungsi
pernafasan dan atau sirkulasi akibat terhentinya fungsi dan atau denyut jntung.
Resusitasi sendiri berarti menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai
usaha-usaha untuk mencegah berlanjutnya episode henti jntung menjadi
kematian biologis. Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan
fungsi pernafasn dan atau sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup
normal kembali setelah fungsi pernafasan dan atau sirkulasi gagal.
3
Henti nafas adalah tidak adanya pergerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari pasien. Bisa diakibatkan karena tenggelam, penyakiat staroke,
obstruksi jalan nafas, epiglotitis, overdosis obat-obatan, infark miokardium,
tersengat listrik, dan lain sebagainya.
Sedangkan henti jantung itu sendiri bisa didefinisikan sebagai
ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan O2 ke otak dan
organ vital lainnya secara mendadak dan dapat kembali normal jika dilakukan
tindakan pertolongan yang cepat dan tepat. Hal ini berarti henti jantung bisa
disebabkan oleh berbagai hal misalnya penyakit yang sebelumnya diderita, bisa
juga tanpa adanya penyakit yng mendahului, namun keduanya sama-sama
terjadi mendadak dan masih bersifat reversible.
Resusitasi jantung paru bertujuan untuk mengembalikan fungsi pernafasan
dan atau sirkulasi, dan penanganan akibat henti nafas dan atau henti jantung,
yang mana fungsi tersebut gagal total oleh sebab yang memungkinkan untuk
hidup normal.
2.2. Etiologi
1. Sebab-sebab henti nafas:
a. sumbatan jalan nafas: bisa disebabkan karena adanya benda asing,
aspirasi, lidah yang jatuh kebelakang
b. depresi pernafasan:
Sentral: obat, intoksikasi, tenggelam, setelah henti jantung, dan lain-lain.
Perifer: obat pelumpuh otot, penyakit myastenia gravis, dan lain-lain.
2. Sebab-sebab henti jantung:
a. penyakit kardiovaskular: fibrilasi atrium, infark myokard akut, emboli
paru
b. kekurangan oksigen akut : benda asing saluran nafas, hipoksia
4
c. kelebihan dosis obat: digitalis, anti depresan trisiklik
d. anastesi dan pembedahan
e. gangguan asam basa: hipokalemia atau hiperkalemia
f. dan lain-lain.
2.3. Indikasi
RJP diindikasikan untuk setiap orang yang tidak sadar, yang tidak bernafas
atau hanya tergagap (gasping), sebagaimana yang sering terjadi pada henti jantung
1. Tanda-tanda henti jantung:
a. Hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik setelah henti jantung
b. Henti nafas (apnea) yang muncul setelah 15-20 detik henti jantung
c. Terlihat seperti mati, yang ditandai warna kulit pucat sampai kelabu
d. Pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah henti jantung
e. Tidak teraba denyut arteri yang muncul setelah henti jantung
2. Tanda-tanda henti nafas
Indikasi RJPO untuk orang awam adalah henti nafas, bahkan hilangnya
kesadaran dapat langsung dilakukan RJPO. Bila terjadi henti nafas primer, jntung
dapat terus memompa darah selama beberapa menit selama ada sisa oksigen
dalam paru yang beredar ke otak dan organ lain. Penanganan dini pada pasien
henti nafas dapat mencegah henti jantung.
a. Aliran udara di hidung atau mulut tidak dapat didengar atau dirasakan
b. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela iga serta
tidak ada pengembangan dada saat inspirasi
c. Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan
d. Bisa disertai bunyi nafas tambahan: snoring, wheezing
5
e. Dapat disertai retraksi
f. Pada keadaan klinis dapat diketahui:
- hiperkarbia: penurunan kesadaran, peningktan CO2 arteri
- hipoksemia: takikardi, gelisah, berkeringat, sianosis.
2.4. RESUSITASI JANTUNG PARU
Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan
gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of
Survival, yang meliputi :
RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan
dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik
penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari
komponen RJP.
Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung.
Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah
mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap
penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi
tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang
telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan
dengan ventilasi, sebagai suatu tim.
6
Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai
akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi
dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-
anak seringkali karena asfiksia, dimana membutuhkan baik ventilasi maupun
kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada
henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.
2.5. BASIC LIFE SUPPORT
Algoritma Adult Basic Life Support yang secara luas dikenal adalah suatu
konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada setiap kondisi. Aspek
dasar dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara cepat henti jantung
yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response system (activation), resusitasi
jantung paru yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation)
dengan Automated External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang
dini terhadap serangan jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS.
a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response
system
Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung
secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali
bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak
adanya atau berkurangnya respon nafas.
Setelah memastikan bahwa lokasi sekitar aman, penolong harus
memeriksa respon penderita dengan cara menepuk pundak penderita dan
memanggil penderita. Setelah itu baik penolong yang terlatih maupun yang
tidak terlatih harus segera mengaktifkan emergency response system (dengan
menghubungi nomor darurat yang tersedia). Setelah mengaktifkan emergency
response system semua penolong harus segera memulai RJP.
b. Pengecekan nadi
Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.
Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis)
dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi
7
penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif
dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.
c. Resusitasi Jantung Paru yang dini
Kompresi Dada
Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan
bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan
aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara
langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen
menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk
menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita
henti jantung harus mendapatkan kompresi dada.
Untuk memperoleh kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan
cepat (push hard and push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling
sedikit 100 x/menit hingga 120/menit dengan kedalaman kompresi paling
sedikit 2 inchi (5 cm), namun tidak lebih besar dari 2,4 inci (6 cm). Penolong
harus memberi kesempatan agar daya rekoil paru dapat terjadi sempurna
setiap kali sehabis kompresi, untuk memberi kesempatan jantung mengisi
kembali secara penuh sebelum kompresi berikutnya. Penolong seharusnya
mencoba untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi
selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan tiap
menit dan mencegah ventilasi yang berlebihan.
8
Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi
hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil
terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus dilakukan di
bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi adalah 1,5 inchi.
Penyelamatan pernafasan
RJP dimulai dengan 30 kompresi daripada memulai dengan 2 ventilasi
yang menunjukkan hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa aliran darah
tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab itu, penundaan dan interupsi dari
kompresi dada harus diminimalkan selama seluruh proses resusitasi.
Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera mungkin, sedangkan
memposisikan kepala, mengambil penutup untuk pertolongan nafas dari
mulut-ke mulut, dan mengambil alat bag-mask memakan banyak waktu.
Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2 ventilasi menghasilkan
penundaan yang lebih singkat.
9
Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih
harus memberikan nafas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau melalui
bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut:
- Memberikan setiap nafas buatan selama satu detik
- Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan
pengembangan dada yang terlihat (visible chest rise)
- Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2
- Ketika jalan nafas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu,
atau laryngeal mask airway [LMA]) telah dipasang selama RJP
dengan dua orang penyelamat, berikan nafas setiap 6-8 detik tanpa
menyesuaikan nafas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh
berhenti untuk memberikan ventilasi.
d. Defibrilasi dini dengan AED
Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang
seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrilation) (bila
AED dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita untuk
memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan CPR
berkualitas tinggi.
Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong harus segera
memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua mengaktifkan
emergency response system dan mengambil AED (atau defibrillator manual
pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan secepat mungkin dan
kedua penyelamat harus memberikan RJP dengan kompresi dada dan
ventilasi.
10
Tahapan defibrilasi :
- Nyalakan AED
- Ikuti petunjuk
- Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan
gangguan)
11
Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk RJP
pada neonatus).
FASE RJP
FASE 1 : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support)
Ini adalah prosedur pertolongan darurat untuk mengatasi obstruksi jalan nafas,
henti nafas dan henti jantung.
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru
12
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat.
FASE II: Tunjangan Hidup Lanjutan (Advance Life Support)
Ini adalah prosedur setelah tunjangan hidup dasar yang ditambah dengan:
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografi secepat mungkin untuk mengetahui
fibrilasi ventrikel.
1. FASE III : Tunjangan Hidup Terus-menerus (Prolonged Life
Support)
G (Gauge) : Pengukuran dari pemeriksaan untuk memonitoring penderita
secara terus menerus, di nilai, di cari penyebabnya dan kemudian
mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf
dari kerusakan lebih lanjtu akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat
dicegah terjadinya kerusakan neurologic yang permanen.
I (Intensive Care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi:
trakeostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran
pH, pC02 bila diperlukan dan tunjangan sirkulasi mengendalikan jika
terjadinya kejang.
2.6. KEPUTUSAN UNTUK MENGAKHIRI UPAYA RESUSITASI
Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah satu
dari berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif;
ada orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu capek
sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati; setelah
dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada dalam
13
stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir
dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30 menit – 1 jam
terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJPO.
Pasien dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak,
fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.
Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada
pernafasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang menetap
selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik, dibawah efek
barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung ditandai oleh tidak
adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling sedikit 30 menit walaupun
dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal. Tanda kematian jantung
adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya
resusitasi.
2.7. Bantuan Hidup Lanjut
Drugs
Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk
memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi
gangguan irama utama selama henti jantung. Bantuan hidup dasar memerlukan
peralatan khusus dan penggunaan obat. Harus segera dimulai bila diagnosis henti
jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan sampai bantuan hidup lanjut
diberikan. Setelah dilakukan CBA RJP dan belum timbul denyut jantung spontan,
maka resusitasi diteruskan dengan langkah DEF. 7 Bantuan hidup kardiovaskular
lanjut meliputi intervensi untuk mencegah henti jantung, menangani henti jantung,
dan meningkatkan luaran pasien yang mencapai kembalinya sirkulasi yang
spontan setelah henti jantung.5 Setelah dilakukan CAB RJP dan belum timbul
denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan seperti langkah berikut :7
1. Disability
Menjelang akhir primary survey, dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat, yang dinilai adalah tingkat kesadaran serta ukuran
14
dan reaksi pupil. Satu cara sederhana untuk menilai tingkat kesadaran adalah
metode AVPU.8
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsangan vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsangan nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
Cara lain yang digunakan sebagai pengganti AVPU yaitu GCS (Glasgow
Coma Scale) yang merupakan sistem scoring yang sederhana yang dapat
meramal kesudahan atau outcome penderita.8
Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi dan atau
penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak.
Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan
oksigenasi ventilasi dan perfusi.8
Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.
Walaupun demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau
hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma capitis
dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran dan bukan alkoholisme
sampai terbukti sebaliknya.8
2. Exposure (kontrol lingkungan)
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara
menggunting guna memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian
dibuka, penting agar penderita tidak kedinginan (mencegah hipotermi), harus
dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan
intravena yang sudah dihangatkan.8
Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu,
1. Penting, yaitu : Adrenalin
Natrium bikarbonat
Sulfat Atropin
Lidokain
15
2. Berguna, yaitu : Isoproterenol
Propanolol
Kortikosteroid. (5)
Natrium bikarbonat
Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1
mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10
menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif
tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis,
takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka
ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.
Adrenalin
Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada anak- anak.
Cara pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin diencerkan
dengan 9 ml akuades steril, bukan NaCl, berarti dalam 1 ml mengandung 100 mcg
adrenalin). Jika keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh
tenaga yang sudah terlatih).
Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut spontan atau mati
jantung. Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta dan yang perlu
diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi
ventrikel.
Lidokain
Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara
meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis
terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard,
tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif
menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah
defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang
16
mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv
sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan
infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa
lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).
Sulfat Artopin
Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan
mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna
dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark
miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv.
Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi >
60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler
derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.
Isoproterenol
Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena
complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20
mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur
untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna
untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.
Propranolol
Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk
kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang
dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya
adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.
Kortikosteroid
17
Sekarangg lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon
sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok
kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak
setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam
akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi,
maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.
EKG
Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.
Fibrillation Treatment
18
19
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang
sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis,
tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler
penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi
pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan
tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30
menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi
selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila
tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10
menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat. (5)
2.7 Bantuan Hidup Jangka Lama
Bantuan hidup jangka lama merupakan pengelolaan pasca resusitasi yang
terdiri dari:
1. Gauging
Gauging merupakan cara untuk menentukan dan memberi terapi penyebab
kematian dan menilai sampai sejauh mana pasien dapat diselamatkan.7,9
2. Human Mentation
Sistem saraf pusat diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang baru.7
3. Intensive care
Intensive care merupakan resusitasi jangka panjang. Jenis pengelolaan yang
diperlukan pasien yang telah mendapat resusitasi bergantung kepada hasil
resusitasi. Pasien yang tidak mempunyai defisit neurologis dan tekanan darah
terpelihara normal tanpa aritmia hanya memerlukan pantauan intensif dan
observasi terus-menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, ginjal dan
hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu sistem,
memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis dan
resusitasi otak.7,9
20
Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemia dan iskemik
selama henti jantung adalah otak. Bila pasien tetap tidak sadar hendaknya
dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakan-
tindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan
darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sebab otak
dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intra kranial. Oksigen
tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajat sedang juga
membantu (Pa CO2 = 25-30 mmHg).7
2.8 Penanganan pada pasien henti jantung di Rumah Sakit
21
22
23
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Contoh kasus
Pasien, usia 40 tahun, BB 50 tahun datang ke UGD dengan cardiact arrest, pasien sudah dilakukan RJPO dan ROSC tetapi di UGD kembali cardiac arrest.
a) Rencanakan perencanaan RJPO :
24
b) Manajemen Cardiac Arrest
Berdasarkan pedoman AHA 2015 untuk CPR dan ECC didasarkan pada :
Bantuan Hidup Dasar Dewasa dan Kualitas CPR berupa
1. Pengenalan dan pengaktifan cepat system tanggapan darurat : operatpr
harus dapat menilai pernapasan dan denyut secara bersamaan sebelum
benar-benar mengaktifkan system tanggapan darurat
2. Early CPR
25
26
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien dengan Cardiac Arrest berdasarkan Pedoman AHA 2015
untuk CPR dan ECC pada pasien dengan henti jantung di rumah sakit dilakukan
penatalaksanaan berupa bantuan hidup dasar serta perawatan pasca serangan
jantung jika telah terjadi ROSC guna menindak lanjuti komplikasi yang dapat
terjadi pasca serangan jantung.
Berdasarkan bantuan hidup dasar pada pasien di rumah sakit AHA 2015
telah mengeluarkan algoritma berupa pengenalan dan pengaktifan cepat system
tanggapan darurat, setelah itu melakukan siklus kompresi dada dan ventilasi
berdasarkan algoritma CPR
Jika telah terjadi ROSC dilakukan perwatan pasca serangan jantung berdasarkan
algoritma
28
29
BAB VKESIMPULAN
5.1 Resusitasi Jantung Paru Otak
American Heart Association tahun 2015 pada tanggal 3 November
2015 telah mengeluarkan pedoman tentang pembaruan pedoman untuk
CPR dan ECC, tidak dapat banyak perubaharan dari pedoman sebelumnya
pada tahun 2010. Pada pedoman 2015 lebih ditekankan tentang kedalaman
kompresi dada dengan minimum 2 inci (5 cm) , dengan kecepatan 100 –
120/menit, serta membolehkan recoil penuh setelah setiap kali kompresi,
meminimalkan jeda dalam kompresi , dan memberikan ventilasi yang
cukup ( dengan siklus 30 kompresi : 2 napas buatan, dengan napas buatan
diberikan 1 detik, setiap kali diberikan dada terangkat)
Untuk penatalaksanaan serangan jantung bagi pasien dirumah sakit
penatalaksanaan pada saat serangan jantung berupa bantuan hidup dasar
yang didahului dengan pengenalan dan pengaktifan cepat system
tanggapan darurat dan dilakukan tindakan resusitasi berdasarkan algoritma
Setelah terjadi ROSC penatalaksanaan dilan
30
jutkan dengan perawatan pasca serangan jantung berdasarkan algoritma
31