Upload
hoangdieu
View
227
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Pengertian
Stroke adalah salah satu penyakit kardiovaskuler yang berpengaruh
terhadap pembuluh darah arteri menuju dan berada di otak, stroke terjadi
ketika pembuluh darah yang mengangkut oksigen dan nutrisi menuju otak
pecah atau terblokir oleh bekuan sehingga otak tidak mendapat darah yang
dibutuhkannya. Jika kejadian berlangsung lebih dari 10 detik akan
menimbulkan kerusakan permanen otak (Feigin, 2005).
Stroke merupakan peringkat pertama penyebab utama kematian di
dunia (Coleman, 2007). Orang Asia rata-rata memiliki prevalensi stroke lebih
tinggi dibandingkan dengan penyakit jantung koroner. Diantara orang-orang
Asia, jumlah yang meninggal karena stroke adalah lebih dari tiga
dibandingkan dengan penyakit jantung koroner. Kematian akibat stroke dari
jenis kelamin adalah 44 sampai 102.6/100,000 adalah pria Asia. Pada awal
tahun 1980 rata-rata prevalensi dari stroke sekitar 500-700 per 100,000 di
Negara-negara barat dan 900 per 100,000 di Asia (Banerjee, 2006).
Di Indonesia terdapat sekitar 2065 orang yang menderita stroke akut
yang diperoleh datanya dari 28 rumah sakit di Indonesia dengan usia terkena
di bawah usia 45 tahun sebanyak 12,9%, usia diantara 45-65 tahun sebesar
51,3% dan di atas 65 tahun sebesar 35,8% tahun dan pasien ini didominasi
oleh wanita (Misbach dan Ali, 2001). Wanita yang menderita stroke lebih
11
banyak daripada pria. Tingkat insidensi pria menderita stroke lebih tinggi
daripada wanita pada usia muda bukan pada usia tua (Lloyd-Jones et al.,
2009).
2.1.2 Patofisiologi
Stroke bisa terjadi ketika suplai aliran darah ke daerah otak terhambat
atau apabila suplai darah terganggu akibat pecahnya arteri pada otak. Stroke
dibedakan menjadi 2 jenis yaitu stroke ischemic (non hemoragic) dan stroke
hemorhagic. Stroke iskemik terjadi ketika aliran darah ke otak terhambat oleh
thrombus ataupun emboli, akan merusak fungsi tubuh secara langsung dengan
merusak area di otak. Kira-kira 80% dari stroke adalah ischemic, dan kira-kira
20% adalah hemoragic.
Stroke ischemic dapat diklasifikasikan sebagai akibat dari thrombotic
maupun emboli. Terjadinya thrombotic yang pada umumnya akibatnya 75%
menjadi stroke ischemic adalah hasil dari proses patofisiologi yang terjadi
secara bertahap dengan penyakit arterosklerosis (Hinkle, 2007; Leigh, 2004;
Schretzman, 2001).
Stroke ischemic ditandai dengan adanya akumulasi aliran menjadi
lambat pada arteri cerebral, memfasilitasi untuk membentuk terjadinya
thrombi. Thrombi ini sebagai penghubung dengan tanda arterosklerosis, yang
dapat menyebabkan penyempitan dan terhambatnya pembuluh darah arteri.
Hasil dari kerusakan terhadap aliran darah yang menuju pada tanda dan gejala
ischemic, termasuk penurunan neurologik fokal. Tanda dan gejala ini yang
12
memelihara perkembangannya setiap jam setiap harinya, yang biasanya setiap
pagi akan mengalami hipotensi (Schretzman, 2001).
Stroke hemoragic pada umumnya terjadi pada umur 55 sampai 75
tahun. Stroke hemoragic dibagi menjadi 2 yaitu intracerebral hemorage
sebesar 10% dari kasus stroke dan dirirngi dengan gejala sakit kepala dan
subarachnoid hemorage sebesar 7% dari kasus stroke, yang juga dapat
disebabkan sakit kepala yang berat, serangan, dan kehilangan kesadaran
(Schretzman, 2001).
2.1.3 Etiologi
Berdasarkan etiologi klasifikasi stroke atau penyakit pembuluh darah
otak (cerebrovascular disease/CVD) dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Stroke hemoragic yaitu suatu gangguan fungsi saraf yang disebabkan
kerusakan pembuluh darah otak sehingga menyebabkan pendarahan
pada area tersebut.
2. Stroke non hemoragic, yaitu gangguan fungsi saraf yang disebabkan
oleh tersumbatnya pembuluh darah otak sehingga distribusi oksigen
dan nutrisi ke area yang mendapat suplai terganggu. Berdasarkan
perjalanan klinisnya stroke non hemoragic dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan serangan stroke
sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam.
b. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) merupakan
gejala neurologis yang akan menghilang antara > 24 jam sampai
dengan 21 hari.
13
c. Progressing stroke atau stroke in evolution merupakan kelainan
atau defisit neurologis yang berlangsung secara bertahap dari
yang ringan sampai menjadi berat.
d. Complete stroke atau stroke komplit merupakan kelainan
neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi.
2.1.4 Faktor Risiko
Faktor risiko stroke menurut Feigin (2005) dibagi menjadi dua yaitu
faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti gaya hidup dan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi seperti penuaan, kecenderungan genetik, dan suku
bangsa. Faktor risiko yang terpenting adalah hipertensi, penyakit jantung,
diabetes mellitus, merokok, makanan yang tidak sehat.
2.2 Faktor-faktor yang Menyebabkan Penurunan Walking Velocity pada
Pasien Pasca Stroke
2.2.1 Motor Control
Central motor system dapat dibagi menjadi tiga tingkatan level tertinggi,
yaitu : association areas dari neocortex dan ganglia basal pada forebrain,
pada level ini memfokuskan pada motor strategy, tujuan dari gerakan dan
strategi gerakan yang terbaik untuk mencapai tujuan. Tingkat menengah, yang
diwakili oleh motor cortex dan cerebellum, pada level ini berkaitan dengan
taktik, sequence of muscle contraction, mengatur dalam ruang dan waktu
(kecepatan), yang diperlukan agar gerakan menjadi smoothly dan akurat untuk
mencapai tujuan strategis. Tingkat terendah, diwakili oleh brainstem dan
14
spinal cord, yang berkaitan dengan motor execution, aktivasi motor neuron
dan interneuron pools yang menghasilkan gerakan yang diarahkan pada tujuan
dan membuat penyesuaian postural adjustment. Fungsi yang benar dari setiap
tingkat hirarki motor control sangat bergantung pada informasi sensorik. Pada
tingkat tertinggi, informasi sensorik menghasilkan mental image dari tubuh
dan hubungannya dengan lingkungan. Pada tingkat menengah, keputusan
taktis didasarkan pada memori dari informasi sensorik dari masa lalu. Pada
tingkat terendah, feedback sensoris digunakan untuk menjaga posture, muscle
length, dan tension sebelum, selama dan setelah gerakan volunter.
Pada manusia, 60% dari cortico-spinal axons berasal dari primary motor
cortex, dan sisanya dari premotor area, supplementary area, dan lobus
parietalis. Cortico-spinal fibers menyatu dalam corona radiate dan turun ke
bawah melalui internal capsule, crus cerebri, pons, dan medulla. Di
persimpangan medula dan spinal cord, sekitar 75 - 90% dari fibers menyilang
ke midline, dan tiga saluran cortico-spinal tracts yang terpisah terbentuk
(crossed lateral, ventral dan uncrossed lateral) (Bear et al., 2001).
Gangguan central motor system merupakan masalah yang sering terjadi
pada stroke infark atau perdarahan yang melibatkan sistem sensorik-motorik.
Shepherd menggambarkan gangguan dalam muscle activation dan motor
control merupakan salah satu faktor terjadinya kelemahan otot. Hal ini terjadi
karena hilangnya aktivasi dari motor unit, perubahan dalam perekrutan muscle
fibers dan perubahan firing rates. Kelemahan otot akibat perubahan sifat
motor unit dan perubahan morfologi serta mekanik pada otot, yang terjadi
15
adaptif sebagai konsekuensi dari denervasi, tetapi juga dari penurunan
aktivitas fisik dan disuse. Kelemahan otot dan disorder motor control
merupakan kombinasi yang menyebabkan functional movement disability
(Shepherd, 2001).
Gambar 2.1
Central Motor System
(Sumber : Shepherd, 2001)
2.2.2 Postural Control
Postural control adalah kemampuan mempertahankan, pencapaian atau
memperbaiki keadaan keseimbangan dalam mempertahankan keseimbangan
dalam berbagai posisi tubuh atau aktivitas (Pollock et al., 2003).
Postural control meliputi reaksi bawaan dan yang dibangun dengan
belajar. Organisasi sensorik-motorik atau postural orientation mencakup
mekanisme saraf untuk mengkontrol secara aktif joint stiffness, trunk dan head
alignment (Kandel et al., 2000).
16
Vestibular nuclear complex dalam medulla dan pons merupakan pusat
penting bagi integrasi vestibular, somatosensory, dan informasi visual yang
memiliki peranan besar dalam mengendalikan postural orientation dan
equilibrium. Vestibulospinal pathways dari region ini serta reticulospinal
pathways dari reticular formation yang berdekatan, berakhir pada kedua
motoneurons dan interneuron yang mempengaruhi neck, axial, dan otot
tungkai. Basal ganglia memiliki peran penting dalam postural alignment dan
kontrol stabilitas. Cerebellum memainkan beberapa peran yang berbeda dalam
pengendalian posture yang melibatkan integrasi sensorik-motorik.
Keterlibatan cortical yang paling penting dalam anticipatory postural
adjustment yang menyertai gerakan volunter.
Biomekanik dari posture menunjukkan bahwa terdapat koordinasi dan
pengendalian posture yang muncul dari suatu problem biomekanik yang
terdapat dalam sistem muskuloskeletal dan sistem saraf sehingga memberikan
andil pada problem tersebut. Kontrol dari dynamic equilibrium merupakan
sebuah komponen refleks, namun hal itu merupakan anticipatory postural
adjustments yang berperan dalam gerakan volunteer dan focal movement.
Peran relatif dari somatosensoris, vestibular, dan visual input untuk postural
orientation dan equiblium dapat berubah, tergantung pada tugas dan pada
konteks lingkungan tertentu. Somatosensory afferent termasuk
mechanoreceptors di kulit, reseptor tekanan di jaringan dalam, muscle spindle,
tendon golgi organ dan joint receptors. Reseptor vestibular dalam kanalis
semisirkularis dan macula otoliths sangat sensitif terhadap percepatan sudut
17
dan linier kepala. Visi statis mendeteksi fitur spasial stabil dan posisi relatif
dalam ruang konfigurasi sedangkan visi dinamis memonitor gerakan kontinyu
dari stimulus sebagai penyimpangan gambar pada retina. Akhirnya, postural
coordination secara signifikan dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya,
praktek dan pelatihan (Raine, 2009).
Gambar 2.2
Postural Control
(Sumber : Lalonde & Strazielle (2007))
2.3 Normal Human Locomotion
Human locomotion adalah suatu hal unik yang menunjukkan spesifik
biomekanikal yang membuatnya mekanis, efisien dan memiliki daya tahan
(endurance) (Lovejoy, 2004). Mekanisme bipedal stance dan swing
memerlukan mekanisme saraf khusus untuk menjaga tubuh dalam upright
position (Dietz dan Duysens, 2000).
Manusia telah mengembangkan sikap upright stance selama aktivitas
berjalan dalam jarak yang sangat panjang. Kemampuan ini, sesuai dengan
18
hukum bentuk dan fungsi dalam neuroplastisitas sesuai dengan motor pattern
yang dihasilkan dalam sistem saraf (Grasso et al., 2000).
Manusia mampu bergerak atas berbagai kecepatan, dari kecepatan
yang lambat sampai dengan kecepatan yang tinggi dalam waktu singkat
(Neptune dan Sasaki, 2005). Aspek utama pendukung bipedalisme (Lovejoy,
2004) adalah:
a. Human abductor untuk stabilisasi pelvis selama single leg stance
b. Peningkatan kurva lordosis dan reposisi dari centre of mass
c. Expanded role dari gluteus maximus dalam mengontrol trunk extension
pada saat heel strike.
Human locomotion memerlukan integrasi subsistem saraf yang terlibat
dalam penciptaan postural dan locomotor control (Mori et al., 1998). Trunk
merupakan komponen aktif dari postural control sebelum inisiasi berjalan
(Perry, 1992). Locomotion membentuk “moving forward” yang kompatibel
dengan dynamic equilibrium dan terjadinya adaptasi dengan faktor-faktor yang
berpotensi membuat kondisi tidak stabil dalam keadaan seimbang secara
sinergi dan terkoordinasi dari upper limbs, trunk dan lower limbs (Grasso et al.,
2000). Stabilitas postur dalam aktivitas berjalan dimungkinkan karena fungsi
control motoric untuk mengatur stabilitas tubuh dalam mobilitas berjalan
(Grasso et al., 2000). Aktivitas berjalan pada pasien pasca stroke melibatkan
dua control decending yaitu lateral decending pathways yang mengurusi
tentang extremitas dan medial decending pathways yang mengurusi masalah
postural.
19
2.3.1 Persyaratan Utama untuk Lokomotor (Bergerak)
Berjalan adalah aktivitas motorik yang unik karena memerlukan
koordinasi trunk dan otot-otot tungkai yang melintasi banyak sendi (Mackay-
Lyons, 2002). Lokomosi merupakan aktivitas dasar dalam kehidupan sehari-
hari yang otomatis dan merupakan hasil interaksi fungsional sistem
biomekanik, neurophysiological dan motor control systems. Keinginan untuk
mendapatkan kembali kemampuan berjalan pasca stroke merupakan tujuan
utama dari rehabilitasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi, yaitu :
1) Heel strike pada initial contact
2) Loading response pada early stance
3) Heel rise dari flat foot serta pada akhir stance (Kerrigan et al., 2000)
4) Pelvic/trunk rotation
5) Singkronisasi out-of-phase activity dari lower extremity extensor dan
flexor muscles (MacKay-Lyons, 2002).
2.3.2 Tripartite Control
Sistem tripartite control yang terdiri dari supraspinal input dari kortikal
dan subkortikal struktur, spinal central pattern generating (CPG) circuits dan
sensory feedback, terutama somatosensory dari reseptor sensoris yang terdapat
pada kulit dan otot yang diaktifkan oleh gerakan lengan dan gerakan tungkai
yang berirama (Zehr dan Duysens, 2004). Istilah lokomotor CPG mengacu
pada jaringan saraf fungsional yang dapat menghasilkan rhythmical repetitive
stepping pattern (Grillner, 2002). Dalam konteks ini, lokomotor dipicu oleh
perintah descending yang dikirimkan oleh korteks yang mendelegasikan
20
perintah motorik kepada CPGs untuk mengendalikan tungkai atas dan bawah.
Aktivitas lokomotor berikut dan feedback perifer menginformasikan sistem
saraf kondisi lokal untuk membentuk CPG output. Sistem saraf memanfaatkan
efektor sistem untuk menyediakan efisien gerakan dan kontrol motorik.
Supraspinal dan pengaruh sensorik yang sangat kuat dan memfasilitasi
kemampuan untuk memodifikasi gerakan anggota badan sambil memastikan
balance strategy dan postural control (Sorensen et al., 2002).
Kontrol kortikal pada aktivitas berjalan merupakan sistem yang
kompleks yang melibatkan struktur kortikal dan subkortikal. Kontrol kortikal
dimulai pada fase awal aktivitas berjalan pada seseorang, kontrol kortikal pada
fase awal bertujuan untuk menentukan arah, screening terhadap lingkungan
sekitar, mengubah arah dan untuk beradaptasi dengan hambatan dari
lingkungan (Jahn et al., 2004). Keterlibatan kontrol kortikal berkurang ketika
terjadinya gerakan rhythmical repetitive stepping pattern yang terjadi secara
otomatis. Untuk berjalan untuk benar-benar fungsional, dibutuhkan kecepatan
dapat menyesuaikan dengan kebutuhan atau lingkungan, misalkan untuk
memungkinkan menyeberang jalan pada waktu tertentu di tempat
penyeberangan pejalan kaki, berjalan menuju ke toilet dan lain sebagainya
(Bohannon, 2001).
2.3.3 Walking (Gait) Cycle
Walking adalah metode lokomosi yang melibatkan penggunaan dua kaki,
bergantian, untuk memberikan dukungan dan pendorong, setidaknya satu kaki
berada dalam kontak dengan tanah sepanjang waktu (Whittle, 1991).
21
Dalam satu siklus berjalan (gait cycle) terdiri dari 2 fase, yaitu fase
menapak (stance phase) dan fase mengayun (swing Phase), dimana fase stance
60% dan fase swing 40% dimana setiap fase memiliki tahapan masing-masing
(Perry, 1992) :
1) Stance Phase
a. Initial Contact (interval: 0%)
Fase ini merupakan moment ketika tumit menyentuh lantai.
Initial contact merupakan awal dari fase stance dengan posisi heel
rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini, menentukan
pola loading response. Fase ini merupakan moment seluruh centre of
gravity berada pada tingkat terendah dan seseorang berada pada tingkat
yang paling stabil. Pada periode ini anggota bawah yang lain juga
menyentuh lantai sehingga terjadi posisi double stance. Menyentuhnya
tumit dengan lantai, memberikan bayangan yang mengindikasikan
bahwa tungkai akan bergerak, sedang tungkai yang lain berada pada
akhir terminal stance.
b. Loading Response (interval: 0-10%)
Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase
dilakukan dengan menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki yang
lain mengangkat untuk mengayun. Berat tubuh berpindah ke depan pada
tungkai. Dengan tumit seperti rocker, knee fleksi sebagai shock
absorption. Saat heel rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki depan
22
menyentuh lantai sedangkan tungkai yang berlawanan pada posisi fase
preswing.
c. Midstance (interval: 10-30%)
Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai. Untuk
awalan gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan sampai berat
tubuh berpindah pada kaki yang lain dengan lurus. Saat ankle dorsal
fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai bergerak ke depan
sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang berlawanan
mulai bergerak menuju fase mid-swing.
d. Terminal stance (interval: 30-50%)
Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini dimulai
dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki memijak tanah.
Keseluruhan pada fase ini berat badan berpindah ke depan dari forefoot.
Saat posisi ekstensi knee yang meningkat dan akan diikuti sedikit fleksi.
Dimana posisi tungkai yang lain berada pada fase terminal swing. Pada
fase ini centre of gravity berada di depan kaki yang menapak jadi
tekanan gravitasi akan meningkatkan lingkup dari ekstensi hip dan
dorsal fleksi ankle.
e. Preswing (interval: 50-60%)
Pada akhir fase stance adalah interval gerakan kedua double
stance pada siklus berjalan. Dimulai dari initial contact pada anggota
gerak bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada anggota gerak
ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi plantar fleksi diikuti
23
fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi ekstensi. Disaat yang sama
anggota gerak bawah yang lain pada fase loading response.
Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai kontralateral merupakan awal
dari terminal double support.
2) Swing Phase
a. Initial swing (interval: 60-73%)
Pada fase pertama adalah perkiraan satu dari tiga fase
mengayun. Diawali dengan mengangkat kaki dari lantai dan diakhiri
ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari kaki yang menumpu. Pada
saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan knee naik menjadi fleksi
dan ankle pada setengah dorsalfleksi. Pada saat yang sama, sisi
kontralateral bersiap pada mid stance.
b. Mid swing (interval: 73-87%)
Pada fase kedua dari periode swing dimulai, saat mengayun
anggota gerak bawah yang berlawanan dari tungkai yang menumpu.
Akhir dari fase ini ketika tungkai mengayun ke depan dan tibia vertikal
atau lurus. Saat mid-swing, hip fleksi dengan knee bergerak ekstensi
untuk merespon gravitasi, dan diikuti dengan ankle dorsifleksi menuju
posisi netral. Sedangkan tungkai yang lain berada pada akhir dari fase
midstance.
c. Terminal swing (interval: 87-100%)
Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri saat
kaki memijakan lantai. Kedudukan tungkai yang baik adalah dengan
24
posisi ekstensi knee dan hip mempertahankan fleksi sedangkan ankle
bergerak dari dorsifleksi ke netral. Anggota gerak bawah yang lain
berada pasa fase terminal stance.
Gambar 2.3
Gait Cycle
(Sumber : Lalonde & Strazielle (2007))
2.4 Penurunan Walking Velocity pada Pasien Pasca Stroke
Kemampuan untuk berjalan secara mandiri merupakan prasyarat bagi
sebagian besar kegiatan sehari-hari. Kapasitas untuk berjalan dalam lingkungan
masyarakat membutuhkan kemampuan untuk berjalan pada kecepatan yang
memungkinkan individu untuk menyeberang jalan di waktu yang diberikan
oleh lampu pejalan kaki, naik dan turun escalator, berjalan di kerumunan orang
atau untuk aktivitas sehari-hari lainnya.
Walking velocity adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
dapat berjalan dengan nyaman dan mandiri. Walking velocity pada individu
25
yang sehat adalah 1,3 m/s – 1,4 m/s sedangkan pada insan pasca stroke rata-
rata 0,2 m/s-0,8 m/s. Walking velocity untuk pasien pasca stroke dibedakan
menjadi 3 kategori yaitu : Severe gait impairment dengan walking velocity 0,4
m/s, moderate gait impairment dengan walking velocity 0,4 m/s-0,8 m/s
sedangkan mild impairment dengan walking velocity > 0.8 m/s (Jonsdottir et
al,. 2009; Jonkers et al., 2009; Kollen et al., 2006; Bohannon, 1997; Turnbull
et al., 1995; Perry et al., 1995).
Penurunan walking velocity pada pasien pasca stroke terjadi karena
kombinasi dari gangguan persepsi, proprioseptif, sensasi, muscle strength,
muscle tone, motor control, balance, dan postural control dan abnormal
muscle activation pattern yang akhirnya akan membuat inefisiensi gerak
fungsional (Jonsdottir et al., 2009; Yavuzeret et al., 2001).
Faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi penurunan walking
velocity adalah learning ability, motivasi, physical endurance levels, ketakutan,
dukungan keluarga, serta tipe latihan rehabilitasi (Gordon et al., 2004; Adam et
al., 1994). Setelah pemulihan dan rehabilitasi 64% dari individu stroke yang
mencapai fungsi berjalan independen sedangkan 14% memerlukan beberapa
bentuk bantuan dan 22% tetap tidak dapat berjalan (Jorgensen et al., 1995).
Walking velocity sangat berkorelasi dengan tingkat functional walking
dan disability pada insan pasca stroke yang akhirnya akan mengakibatkan
terjadinya keterbatasan dalam melakukan activities of daily living (ADL).
Penurunan walking velocity terjadi salah satunya karena terjadinya karakteristik
pola jalan pada insan pasca stroke yang mengakibatkan terjadinya banyak
26
kompensasi gerak dan kurang efisiennya energi yang akhirnya menyebabkan
insan pasca stroke mudah mengalami kelelahan.
Gambar 2.4
Framework of requirements for movement efficiency
(Sumber : Raine et al., 2009)
2.4.1 Karakteristik Pola Jalan pada Pasien Pasca Stroke
Pasien pasca stroke akan mengalami berbagai defisit dalam persepsi,
muscle strength, motor control, proprioseptif, sensasi, muscle tone, balance,
dan postural control akan menyebabkan terjadinya sebuah karakteristik pola
jalan yang biasa disebut hemiplegic gait.
Hemiplegic gait ditandai dengan langkah lambat dan asymmetric steps
dengan kurangnya selective motor control, tertunda dan terganggunya
equilibrium reactions dan menurunya weight bearing pada tungkai yang
paretic, gangguan koordinasi gerak antara intra-limb dan inter-limb yang
digantikan oleh mass limb movement patterns (synergies) pada tungkai yang
paretic merupakan kompensasi gerak yang terjadi dari pelvic dan sisi non-
27
paretic. Kompensasi gerak yang terjadi untuk ambulasi menghasilkan
abnormal displacement dari center of gravity, sehingga terjadi peningkatan
pengeluaran energi (Jonsdottir et al., 2009; Yavuzer et al., 2001).
2.4.2 Tipe Kinematik Deviasi dan Adaptasi
1) Initial stance (heel/foot contact and loading)
a. Keterbatasan ankle dorsiflexion – menurunnya aktivasi dari otot
tibialis anterior ; kontraktur dan/atau kekakuan dari calf muscles
dengan aktivasi prematur.
b. Kurangnya knee flexion (knee hyperextension) – kontraktur dari
soleus ; keterbatasan kontrol dari quadriceps 0-15°
2) Mid-stance
a. Kurangnya gerakan ektensi lutut karena menurunnya aktivasi
dari calf muscles untuk melakukan control movement dari ankle
dorsiflexion ; keterbatasan synergic activation dari lower limb
extensor muscles.
b. Kekakuan dari knee (hyperextension). Keikutsertaan dengan
persiapan untuk push-off - kotraktur dari soleus ; adaptasi untuk
takut mencegah limb collapse akibat weakness dari otot-otot yang
mengontrol lutut.
c. Keterbatasan hip extension dan ankle dorsiflexion dengan
kegagalan untuk memindahkan berat badan ke depan melewati
kaki - kontraktur soleus.
28
d. Berlebihannya gerakan lateral pelvic shift - menurunnya
kemampuan untuk mengaktifasi hip abductors pada saat berdiri
dan kontrol hip serta knee extensors.
3) Late stance (pre-swing)
a. Kurangnya knee flexion dan ankle plantar flexion, untuk
terjadinya push-off dan preparasi untuk swing – kelemahan dari
calf muscles.
b. Early dan mid-swing
c. Keterbatasan fleksi lutut dimana lingkup gerak sendi normal 35-
40° menurun menjadi 60° untuk swing dan toe clearance –
meningkatnya kekakuan akibat menurunnya aktivasi dari
hamstrings.
4) Late swing (preparation for heel contact and loading)
a. Keterbatasan knee extension dan ankle dorsiflexion untuk
melakukan heel contact dan pendistribusian berat badan-
kekakuan calf muscles ; menurunnya dorsiflexor activity.
2.5 Neuroplastisitas pada Otak
Neuroplastisitas merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan kemampuan untuk melakukan suatu perubahan. Kemampuan
otak untuk memodifikasi dan mereorganisasi fungsi dan fungsi yang
mengalami cedera atau kerusakan disebut neuroplastisitas. Neuroplastisitas
merupakan suatu perubahan yang terjadi pada lokasi pengorganisasian sistem
29
saraf terutama perubahan yang terjadi pada lokasi tempat fungsi processing
informasi sebagai akibat pembelajaran dan pengalaman (Shumway-Cook et al.,
2007).
Neuroplastisitas ini sendiri adalah merupakan perubahan dalam
prilaku, indera dan pengalaman kognitif. Dalam penelitian neuroscience,
terdapat 2 kategori penting dalam pendekatan untuk memperbaiki fungsi otak
setelah mengalami cedera, yaitu :
1) Usaha untuk membatasi tingkat keparahan cedera awal untuk
meminimalkan hilangnya fungsi.
2) Usaha untuk pengorganisasian kembali otak untuk mengembalikan
fungsi yang telah hilang.
Pendekatan yang pertama merupakan hal yang sangat penting, karena
perawatan pada saat awal cedera akan berpengaruh terhadap tingkat keparahan
kecacatan jangka panjang. Ini merupakan suatu hal yang harus dipahami
bagaimana struktur otak dan fungsi dapat berubah dari hari-kehari, bulan dan
tahun setelah adanya kerusakan otak (Shumway-Cook et al., 2007).
Ada tiga fenomena neuroplastisitas yang terjadi dalam sistem saraf
setelah lesi yang memfasilitasi reorganisasi struktural dan fungsional, yaitu
denervation supersensitivity, collateral sprouting dan unmasking of silent
(latent) synapses (Kidd et al., 1992).
Denervation supersensitivity terjadi ketika terjadinya kehilangan input
dari bagian (lobus) otak yang lain. Peningkatan pelepasan transmitter
30
menyebabkan meningkatnya respon terhadap rangsangan (Schwartzkroin,
2001; Wainberg, 1988).
Post-synaptic target neurons menjadi hypersensitive terhadap
transmitter, meningkatkan jumlah reseptor. Collateral sprouting muncul dalam
sel sekitar area lesi, dimana collateral dari dendrit-dendrit membuat koneksi
dengan sinaps-sinaps yang kehilangan fungsinya akibat nekrosis sel (Darian-
Smith et al., 1994).
Unmasking dari silent synapses terjadi ketika neuron-neuron yang
tidak berfungsi sebelumnya diakses untuk membentuk suatu koneksi-koneksi
baru (Johansson, 2000; Nudo 1998). Telah terjadinya peningkatan kerja
menunjukan regenerasi system saraf (Johansson, 2000; Nudo, 1998).
2.6 Pelatihan Metode Bobath pada Stroke
2.6.1 Bobath Approach
1. Sejarah
Karel Bobath lahir di Berlin, Jerman pada tahun 1906, Karel Bobath
menjadi dokter pada tahun 1936. Berta Ottilie Busse juga dilahirkan di Berlin,
pada tahun 1907. Pada awalnya Berta adalah seorang instruktur remedial
gymnast, di mana ia mengembangkan pemahamannya mengenai gerakan
normal, olahraga dan relaksasi. Mereka berdua melarikan diri dari Berlin pada
tahun 1938 sebelum Perang Dunia Kedua. Di London Mrs. Bobath dilatih
sebagai seorang fisioterapis di The Chartered Society of Physiotherapy dan
lulus pada tahun 1950. Dr. Bobath memulai karirnya dengan bekerja di pediatri
31
dan kemudian lebih spesifik pada anak-anak penderita cerebral palsy
(Schleichkorn, 1992). Sebelum tahun 1950, conventional neurological
rehabilitation yang lebih menitik beratkan pada ortopedi, dan mempromosikan
penggunaan pijat, panas, passive movement dan active movement (Partridge et
al,. 1997).
2. Bobath Konsep: Teori dan Praktek Klinis di Rehabilitasi Neurologis
Pada tahun 1943 Mrs. Bobath diminta untuk mengobati seorang
pelukis potret terkenal, yang telah menderita stroke dan tidak senang dengan
pengobatan konvensional (Schleichkorn, 1992). Mrs. Bobath memfokuskan
treatmennya pada sisi affected, dengan mendasarkan intervensinya pada
pengetahuannya tentang gerakan manusia dan relaksasi. Dia mengamati bahwa
dengan specific recovery handling, tonus dapat berubah-ubah dan bahwa
terdapat potensi dari gerak dan fungsi dari sisi affected. Mrs. Bobath terus
bereksplorasi dan mengembangkan pengamatan awal dan teknik ke dalam
prinsip-prinsip treatment. Mrs. Bobath mengembangkan prosedur penilaian
yang unik dan sangat signifikan untuk kemajuan profesi fisioterapi. Dengan
Bekerjasama dengan Mrs. Bobath, Dr. Bobath mempelajari dan menerapkan
neurofisiologi untuk memberikan penjelasan yang rasional untuk keberhasilan
klinis. Bersama-sama mereka menciptakan Bobath Concept, pendekatan
revolusioner yang terus berkembang dan membantu mengubah arah
neurorehabilitation. Mereka menggambarkan konsepnya sebagai hypothetical
in nature, berdasarkan kepada clinical observations dan dikonfirmasi serta
diperkuat oleh penelitian-penelitian yang ada (Schleichkorn, 1992). Konsep
32
awal Bobath adalah konsep perlakuan yang didasarkan atas inhibisi aktivitas
abnormal refleks (inhibition of abnormal reflex activity) dan pembelajaran
kembali gerak normal (The learning of normal movement), melalui penanganan
manual dan fasilitasi. (IBITA, 2007).
3. Konsep Bobath Terkini
Dalam kurun waktu dekade terakhir ini memaparkan para terapis
dengan peningkatan evidance di bidang neuroscience, biomekanik dan motor
learning (Royal College of Physicians, 2004). Perkembangan ini memperdalam
pemahaman tentang human movement dan efek dari patologi, membantu untuk
membimbing para terapis dalam melakukan intervensi klinis mereka untuk
memaksimalkan fungsional outcome pasien. Terdapat evidance yang kuat efek
dari rehabilitasi dalam hal peningkatan kemandirian fungsional dan
mengurangi kematian (Royal College of Physicians, 2004).
Konsep Bobath terkini adalah suatu problem solving approach untuk
melakukan suatu assessment dan treatment kepada individu dengan gangguan
fungsi, gerak dan postural control karena adanya suatu lesi pada Sistem Saraf
Pusat (SSP) dan dapat diterapkan pada individu-individu dari segala usia dan
semua derajat cacat fisik dan fungsional (Raine 2006; IBITA 2007).
Shumway-Cook dan Woollacott (2007) memperluas teori Bernstein
untuk menggambarkan mengenai systems approach, menegaskan teori seperti
Mrs. Bobath, bahwa human motor behaviour didasarkan pada interaksi yang
terus menerus antara individu, tugas dan lingkungan. Mereka menggambarkan
gerakan sebagai akibat dari interaksi yang dinamis antara sistem persepsi,
33
kognisi dan tindakan, dan menyoroti kemampuan SSP yang untuk menerima,
mengintegrasikan dan merespon lingkungan untuk mencapai suatu motor goal.
Gambar 2.5
Motor Control
(Sumber : Shumway-Cook & Woollacott (2007))
Keterangan :
M : Movement
T : Task
I : Individual
E : Environment
Systems approach teori motor control adalah dasar yang mendasari
prinsip-prinsip dari assesment dan treatment yang terdapat dalam konsep
Bobath terkini (Raine, 2009). Gambar 2.5 menunjukan bahwa gerakan
(movement) merupakan hasil dari integrasi dari individual, task dan
environment dimana individual meliputi kerja sistem saraf baik secara
hierarchical, distribusi paralel, dan multi level processing yang dipengaruhi
oleh cognition dan perception yang akhirnya akan terjadi action dari motor
34
control untuk menyelesaikan task yang spesifik baik itu membentuk stability
atau mobility serta manipulation untuk beradaptasi dengan kebutuhan di
lingkungan (environment) baik pada regulation atau nonregulatory
environment. Proses motor control tersebut akan memberikan feedback dan
feed forward sehingga memungkinkan terjadinya potensi plastisitas sebagai
dasar pembangunan, belajar dan pemulihan dalam sistem saraf dan sistem otot.
Fokus utama dari Bobath approach adalah integrasi dari postural control dan
task performance, selective movement untuk menghasilkan motor pattern yang
terkoordinasi dan kontribusi dari sensory input ke motor control dan motor
learning (Vaughan et al., 2009).
a. Tujuan Pemberian Pelatihan Metode Bobath
(1) Melakukan identifikasi pada area-area spesifik otot-otot
antigravitasi yang mengalami penurunan tonus
(2) Meningkatkan kemampuan input proprioseptif
(3) Melakukan identifikasi tentang gangguan fungsi setiap individu
dan mampu melakukan aktivitas fungsi yang efisien “Normal”
(4) Fasilitasi specific motor activity
(5) Minimalisasi gerakan kompensasi sebagai reaksi dari gangguan
gerak
(6) Mengidentifikasi kapan dan bagaimana gerakan menjadi lebih
efektif (Irfan, 2010).
b. Indikasi Pelatihan Metode Bobath
1) Adanya cedera atau injury sistem saraf pusat
35
2) Adanya gangguan proprioseptif
3) Adanya masalah motor control
4) Adanya masalah human motor behaviour
c. Kontra Indikasi Pelatihan Metode Bobath
1) Treatment dihentikan apabila nadi melebihi HRmax
2) Adanya pucat
3) Adanya sesak nafas
2.6.2 Pelaksanaan Pelatihan Metode Bobath
1) Optimal alignment (Postural set)
Pada posisi supine lying pertama kali dilakukan pengaturan
kesimetrisan tubuh yaitu kepala, trunk dan tungkai dalam garis lurus, bahu
sejajar. Postur yang optimal akan memudahkan aktivasi otot tubuh. Pengaturan
dilakukan dengan partisipasi aktif dari pasien baik melalui kontraksi tertentu
atau dengan elongasi sehingga di dapatkan posisi optimal. Pengaturan sikap
tubuh dilakukan pada setiap posisi, selain lying, pengaturan sikap tubuh juga
dilakukan pada posisi sitting dan standing.
Gambar 2.6
Pengaturan aligment
36
2) Postural control
Mengaktivasi otot-otot postural pada sisi lower trunk dan upper
trunk, aktivasi secara selektif pada otot gluteus maksimus dan gluteus medius,
otot abdominal terutama transversus abdominalis, multifidus, latisimus dorsi,
scapula depresor dan adductor. Postural control secara aktif dilakukan pada
posisi lying dan sitting. Latihan postural control diberikan secara simultan
antara latihan postural statik dan dinamis.
Gambar 2.7
Postural control
37
3) Selective movement
Selective mevement diberikan setelah didapatkan stabilisasi yang
optimal yang dihasilkan dari pengaturan sikap tubuh. Selective movement ini
dilakukan untuk dapat mengaktifasi otot secara spesifik dengan meminimalisir
kompensasi gerak yang sering muncul pada kondisi pasca stroke. Selective
movement dilakukan pada ekstrimitas atas dan pada ekstrimitas bawah.
Gambar 2.8
Selective movement
38
2.6.3 Pelatihan Metode Bobath untuk Meningkatkan Walking Velocity
Pelatihan metode Bobath menekankan pada dua aspek yang saling
mempengaruhi satu sama lain yaitu integrasi dari postural control dan task
performance serta control of selective movement untuk memproduksi
coordinated sequences dari gerakan (Raine, 2009). Faktor-faktor itulah yang
mempengaruhi masa pemulihan fungsional pada pasien stroke. Selain itu
terdapat kontribusi dari sensory input untuk motor control dan motor learning
merupakan fokus dari Bobath Approach (Gjelsvik, 2008).
Pelatihan Bobath dapat meningkatkan walking velocity pada pasien stroke
adalah dengan latihan postural control dan task performance dimana latihan
postural control yang diberikan kapada pasien stroke akan memberikan
informasi tentang internal representation of body posture (body geometry,
body dynamics, dan orientation of the body dengan posisi tegak), Sedangkan
vestibular dan visual akan memberikan informasi tentang “vertical
orientation”. Selain itu, visual juga akan memberikan informasi tentang posisi
dan visualisasi lingkungan disekitar. Sedangkan cutaneous, sendi, dan muscle
receptors memberikan informasi tentang orientasi tubuh pada posisi tengah
(Kavounoudias et al., 2002). Integrasi informasi berupa internal
representation, informasi “vertical orientation”, posisi, lingkungan, dan
orientasi tubuh pada posisi tengah disebut postural body schema. Latihan
postural control akan memberikan integrasi antara postur dan gerak dari
alignment segmen tubuh sehingga akan terjadi anticipatory dan reactive
postural control mechanisms. Latihan postural control dan task performance
39
berprinsipkan stabilisasi dan mobilisasi yang saling mempengaruhi satu sama
lain, dimana muscle activation patterns tidak hanya ditentukan oleh postural
alignment yang dipengaruhi oleh base of support dan gravity tetapi juga
dipengaruhi oleh stabilisasi dan mobilisasi. Kekompleksan dan semakin
selektif suatu task-oriented movements akan membentuk rangkaian gerakan
(Aruin, 2006 ; Krishnamoorthy, 2005).
Latihan selective movement dimana dengan kosep stabilisasi yang baik
akan menyebabkan terjadinya mobilisasi yang memiliki coordinated sequences
dari gerakan yang baik untuk mencapai tujuan tertentu sehingga mengurangi
terjadinya kompensasi gerak yang akhirnya akan meningkatkan kemampuan
kualitas gerak.
Meningkatnya postural control dan selective movement pada pasien pasca
stroke akan meningkatkan keseimbangan, pola gerakan, koordinasi gerak pada
pasien pasca stroke, dengan adanya peningkatan kemampuan-kemampuan
tersebut maka akan terjadinya keefisiensian gerak sehingga menyebabkan
energy cost menjadi efisien yang akhirnya akan meningkatkan kemampuan
walking velocity pada pasien pasca stroke (Aruin, 2006; Krishnamoorthy,
2005).
2.7 Pelatihan Metode Feldenkrais
Pelatihan metode Feldenkrais merupakan sebuah integrative approach
untuk memberikan pembelajaran dan meningkatkan fungsi pada individu dari
berbagai kemampuan mereka selama rentang kehidupan. Dengan menekankan
40
pada self-awarness melalui suatu proses pembelajaran (learning) dengan
memberiakan stimulasi pada penginderaan (sensing), gerakan (moving),
perasaan (feeling), dan pikiran (thinking). Metode Feldenkrais terdiri dari dua
bagian yaitu awareness through movement (ATM) dan functional integration
(FI) (Feldenkrais, 2005).
Metode Feldenkrais ditemukan oleh Moshe Feldenkrais (1904-1984)
yang merupakan seorang ilmuwan, seorang insinyur, dan fisikawan.
Feldenkrais telah mengembangkan metode untuk rehabilitasi setelah menderita
serangkaian cedera lutut yang berhubungan dengan olahraga selama bertahun-
tahun. Dengan prospek menghabiskan sisa hidupnya dengan menggunakan
kruk atau kursi roda, beliau memutuskan untuk mencari cara untuk
mengembalikan fungsi di lututnya. Hal ini menyebabkan dia untuk belajar
neurologi, anatomi, biomekanik dan perkembangan anak. Setelah beberapa
tahun penelitian dan eksperimen, Moshe telah berhasil sepenuhnya
memulihkan kemampuannya untuk berjalan. Melalui proses ini bahwa ia
belajar bahwa ia bisa meningkatkan kemampuan tubuhnya dengan
mengaktifkan kekuatan alami otak dan sistem saraf.
Metode Feldenkrais ini didasarkan pada prinsip-prinsip fisika,
biomekanik dan pemahaman empiris pembelajaran dan perkembangan
manusia. Dengan memperluas citra diri melalui urutan gerakan yang halus dan
lembut membawa perhatian ke bagian diri yang di luar kesadaran. Dengan
metode ini kita menjadi lebih sadar pola kebiasaan dalam bergerak, kekakuan
41
yang tanpa kita sadari muncul dalam bergerak serta memperluas pilihan cara-
cara baru dalam bergerak.
Metode Feldenkrais terdiri dari dua komponen yaitu Awarness
Through Movement (ATM) dan Functional Integration (FI). ATM merupakan
pelatihan gerak berdasarkan pola tumbuh kembang yang dimulai dari posisi
lying, gerakkan dilakukan dengan perlahan, lembut, dan pada keseluruhan
anggota gerak. Functional Integration bertujuan untuk meningkatkan body
awareness dan pemahaman bagaimana bergerak dengan efisien. (Feldenkrais,
2005). Pelatihan metode Feldenkrais dapat meningkatkan kemampuan walking
sebesar 56,4% pada pasien pasca stroke (Batson dan Deutsch, 2005).
2.7.1 Pelaksanaan Pelatihan Metode Feldenkrais
Dalam pelatihan metode Feldenkrais ini dimana dituntut untuk lebih
dapat meningkatkan body awareness, movement organization, koordinasi, dan
kinesthetic awareness dari setiap segmen tubuh.
1) Persiapan pelatihan (Body scanning)
a. Pasien diminta untuk terlentang dengan rileks dan mengatur
ritme napas dengan teratur. Pasien diminta untuk bergerak
dengan tempo yang lambat untuk dapat merasakan gerakan dari
tiap sendi, otot, dan tulang bagian perbagian. Pasien diminta
untuk bernafas dengan normal selama proses pelatihan
berlangsung. Pasien diminta merasakan dan mengingat bagian
bagian tubuhnya yang menyentuh matras.
42
Gambar 2.9
Persiapan Pelatihan Metode Feldenkrais
b. Bergerak internal rotation dan external rotation dengan
memberikan instruksi kepada pasien untuk memutar kakinya
kedalam dan keluar
Gambar 2.10
Internal rotation lower extremities
c. Bergerak internal rotation dan external rotation dengan
kombinasi fleksi dan abduksi hip. Terapis memberikan instruksi
tekuk lutut dan putar keluar
Gambar 2.11
Internal rotation lower extremities
43
d. Posisi hook craine dengan gerakkan anterior dan posterior pelvic
tilting.
Gambar 2.12
Anterior – posterior pelvic tilting
e. Bergerak dinamis pelvic tilting yang dilakukan oleh pasien
dengan arah gerakkan memutar searah jarum jam.
Gambar 2.13
Anterior-posterior pelvic tilting
f. Pasien diminta bergerak rotasi dengan salah satu kaki menumpu
pada kaki yang lain
Gambar 2.14
Rotasi pelvic
44
g. Pasien miring ke salah satu sisi, tangan menumpu seperti pada
gambar kemudian bergerak protraksi dan retraksi maksimal dari
scapulae.
Gambar 2.15
Protraksi dan retraksi scapulae
h. Pasien miring ke salah satu sisi, tangan menumpu seperti pada
gambar kemudian bergerak menelusuri tangan yang dibawah
kedepan lalu ke belakang
Gambar 2.16
Rotasi upper trunk
45
2) Posisi Duduk
a. Pasien posisi duduk dengan kedua tangan ke belakang dan kedua
lutut ditekuk (hook craine position)
b. Pasien posisi duduk dengan kedua tangan ke belakang dan kedua
lutut ditekuk (hook craine position)
Gambar 2.18
Rotasi dan elongasi trunk
Gambar 2.17
Rotasi pelvic dan lower trunk
46
2.7.2 Pelatihan Metode Feldenkrais untuk Meningkatkan Walking
Velocity
Pelatihan metode Feldenkrais yang terdiri dari dua komponen yaitu
Awarness Through Movement (ATM) dan Functional Integration (FI). Kedua
pendekatan ini ATM dan FI sangan berfokus pada mind-body relationships
yang akan memberikan pembelajaran mengenai berbagai rangkaian gerakan
(sequences of movements) (Ullman et al., 2010). Pelatihan yang dilakukan akan
memberikan feedback berupa peningkatan body half integration, simetris dan
kemudahan dalam bergerak, meningkatkan koordinasi, body awareness,
flexibility dan balance yang akan meningkatkan kemampuan walking velocity
(Batson et al., 2005; Stephens et al., 2001).
2.8 10 Meter Walk Test (10 MWT)
10 meter walk test (10MWT) digunakan untuk menguji self-selected
comfortable walking speed (SCWS). 10MWT memerlukan waktu yang singkat
dan usaha maksimal oleh karena itu, 10MWT ini berhubungan dengan
kekuatan otot (muscle strength) (Graham et al., 2008). Untuk melakukan
pengukuran dengan 10MWT dilakukan sesuai kenyamanan kecepatan berjalan
oleh pasien yang mampu berjalan mandiri dengan atau tanpa bantuan mobilitas
dan / atau orthesis. Waktu berjalan 10 meter diukur dan rata-rata lebih dari tiga
percobaan. Kemudian, kecepatan dihitung (jarak tempuh 10 meter dibagi
dengan rata-rata waktu untuk berjalan sejauh 10 meter). Untuk melakukan
10MWT dalam penelitian ini adalah subjek diminta untuk berjalan secepat
47
mungkin, tapi aman, sepanjang 14 meter track. Pada 2 meter perhitungan
waktu dimulai dan perhitungan waktu diakhiri pada jarak 12 meter. Jika subjek
adalah tidak bisa berjalan 10 m kecepatan untuk jarak maksimal tercatat. Jika
subjek tidak bisa berjalan sama sekali, terjatuh saat proses pengukuran atau
berhenti karena kelelahan maka kecepatan dicatat sebagai 0 m/s. Perhitungan
walking velocity dilakukan dengan tiga kali percobaan, kemudian diambil
rerata waktu tempuh. Hasil rerata waktu tempuh tersebut kemudian menjadi
pembagi dari jarak tempuh (10 meter).
Terdapat dua instruksi ketika melakukan 10MWT ini, yaitu :
1. Normal comfortable speed : “Ketika saya mengatakan ready, set, go.
Ketika saya mengatakan go, berjalanlah dengan normal dan kecepatan
yang nyaman sampai saya katakana stop”
2. Maximum speed trials : “Ketika saya mengatakan ready, set, go.
Ketika saya mengatakan go, berjalanlah secepat yang anda bisa
dengan aman sampai saya katakana stop”
0 m 2 m 12 m 14 m
Start Walk Star Time End Time EndWalk
Gambar 2.19 Track 10MWT
(Sumber : Bohannon, 1997)