Upload
buitram
View
222
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep Penelitian
2.1.1 Landasan Teori
2.1.1.1 Agency Theory
Agency Theory menjelaskan hubungan antara agen (pihak manajemen
suatu perusahaan) dengan principal (pemilik). Principal merupakan pihak yang
memberikan amanat kepada agen untuk melakukan suatu jasa atas nama principal,
sementara agen adalah pihak yang diberi mandat. Dengan demikian agen
bertindak sebagai pihak yang berkewenangan mengambil keputusan, sedangkan
principal ialah pihak yang mengevaluasi informasi.
Implementasi Agency Theory dapat berupa kontrak kerja yang mengatur
proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan memaksimumkan
utilitas, sehingga diharapkan agen bertindak menggunakan cara-cara yang sesuai
kepentingan principal. Di sisi lain, principal akan memberikan insentif yang layak
pada agen sehingga tercapai kontrak kerja optimal. Menurut Scott dalam Arifin
(2014), inti dari Agency Theory adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk
menyelaraskan kepentingan principal dan agen dalam hal terjadi konflik
kepentingan. Dalam penelitian ini, perusahaan bertindak sebagai principal,
sementara auditor independen merupakan agen.
Konflik kepentingan dapat terjadi karena berbagai sebab, semisal asimetri
informasi. Asimetri informasi dimaknai sebagai ketidakseimbangan informasi
akibat distribusi informasi yang tidak sama antara agen dengan principal. Efek
dari asimetri informasi ini bisa berupa moral hazard, yaitu permasalahan yang
timbul jika agen tidak melaksanakan hal-hal dalam kontrak kerja; bisa pula terjadi
adverse selection, ialah keadaan di mana principal tidak dapat mengetahui apakah
keputusan yang diambil agen benar-benar didasarkan atas informasi yang
diperoleh, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
Untuk memperkecil asimetris informasi, maka pengelolaan perusahaan
harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan
dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Upaya ini menimbulkan apa yang disebut sebagai agency costs, yang menurut
teori ini harus dikeluarkan sedemikian rupa sehingga biaya untuk mengurangi
kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan setara dengan peningkatan biaya
pelaksanaannya.
Agency costs ini mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang
saham; biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan laporan yang
transparan, termasuk biaya audit yang independen dan pengendalian internal; serta
biaya yang disebabkan karena menurunnya nilai kepemilikan pemegang saham
sebagai bentuk ‘bonding expenditures’ yang diberikan kepada manajemen dalam
bentuk opsi dan berbagai manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan
manajemen dengan pemegang saham.
Agency Theory memprediksi bahwa perusahaan dengan rasio leverage
yang lebih tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya
keagenan perusahaan dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi (Jensen dan
Meckling, 2010:354). Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan
keraguan pemegang obligasi terhadap dipenuhinya hak-hak mereka sebagai
kreditur, Marwata (2010:18) dan Fitriani (2010:14). Perusahaan dengan rasio
leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan ungkapan yang lebih
luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah. Leverage ini sangat
erat kaitannya dengan dividen yang akan diperoleh investor.
Pada umumnya para investor di pasar modal membutuhkan berbagai
informasi tentang baik tidaknya suatu perusahaan untuk melakukan investasi,
terutama informasi mengenai pengumuman dividen. Hal ini berkaitan dengan
sinyal tentang prospek masa depan suatu perusahaan yang diberikan oleh pihak
manajemen perusahaan kepada para calon investor melalui pengumuman dividen.
Teori kebijakan dividen yang berkaitan dengan dividen sebagai sinyal adalah
“Dividen Signaling Theory”.
Teori dividen signaling theory pertama kali dicetuskan oleh Battacharya.
Teori ini menjelaskan bahwa informasi tentang cash dividen yang dibayarkan
dianggap investor sebagai sinyal prospek perusahaan di masa mendatang. Adanya
anggapan ini disebabkan terjadinya asymmetric information antara manajer dan
investor, sehingga para investor menggunakan kebijakan dividen sebagai sinyal
tentang prospek perusahaan (Suluh Pramastuti, 2011:8).
Setiap kebijakan dividen dapat menjadi bahan penilaian oleh investor
(pihak yang tidak memiliki informasi lengkap mengenai perusahaan) tentang
kinerja perusahaan. Ketika perusahaan membayar dividen untuk pertama kalinya,
investor dapat menginterpretasikan bahwa saat ini manajer yakin bahwa
profitabilitas perusahaan tidak hanya cukup untuk membiayai kesempatan
investasi tetapi juga dapat untuk membayarkan dividen. Investor dan manajer
mengerti bahwa sekali dividen dibayarkan maka sangat jarang dividen tersebut
besarnya akan diturunkan maka investor juga akan menganggap inisiasi tersebut
sebagai keyakinan manajer bahwa laba perusahaan di masa yang akan datang akan
dapat menunjang kesempatan-kesempatan investasi (Zainal Arifin, 2014:115-
116).
Menurut Lukas, terdapat fenomena yang menjelaskan bahwa jika ada
kenaikan dividen sering diikuti dengan kenaikan harga saham dan sebaliknya,
penurunan dividen pada umumnya menyebabkan harga saham turun dianggap
sebagai bukti bahwa para investor lebih menyukai dividen daripada capital gains.
Sedangkan menurut Modigliani-Miller (MM), suatu kenaikan dividen yang di atas
biasanya merupakan suatu sinyal kepada para investor bahwa manajemen
perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa mendatang.
Sebaliknya, suatu penurunan dividen atau kenaikan dividen yang di bawah
kenaikan normal (biasanya) diyakini investor sebagai suatu sinyal bahwa
perusahaan menghadapi masa sulit di waktu mendatang (Atmaja,2012:287).
Tindakan perusahaan memberikan sinyal dengan pembayaran dividen
sesungguhnya sebuah tindakan penghamburan (burning money), namun
perusahaan yang bagus prospeknya akan dapat menutup biaya sinyal ini di
kemudian hari karena dapat menjual saham baru dengan harga yang lebih tinggi,
sedangkan perusahaan yang buruk prospeknya tidak dapat melakukan hal tersebut.
Teori signaling ini konsisten dengan observasi bahwa dividen payout
berhubungan erat dengan profitabilitas dan perusahaan yang memiliki free cash
flows besar membayarkan dividen dalam jumlah besar. Teori ini juga konsisten
dengan observasi bahwa pasar merespon dengan harga yang meningkat signifikan
pada saat ada inisiasi dan peningkatan dividen serta menurun dalam jumlah besar
saat ada pemotongan dividen (Zainal Arifin, 2014:132-134).
Nurhidayati (2012) mengemukakan bahwa informasi yang diberikan pada
saat pengumuman dividen lebih berarti daripada pengumuman earning. Bagi para
investor, dividen merupakan hasil yang diperoleh dari saham yang dimiliki, selain
capital gain yang didapat apabila harga jual saham lebih tinggi dibanding harga
belinya. Dividen tersebut didapat dari perusahaan sebagai distribusi yang
dihasilkan dari operasi perusahaan.
Martono dan Harjito (2014:253) mengungkapkan bahwa kebijakan
dividend merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan keputusan
pendanaan perusahaan. Kebijakan dividen (dividend policy) merupakan keputusan
apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada
pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah modal
guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang.
Sjahrial, (2012:305), mengngkapkan bahwa perusahaan akan tumbuh dan
berkembang, kemudian pada waktunya akan memperoleh keuntungan atau laba.
Laba ini terdiri dari laba yang ditahan dan laba yang dibagikan. Pada tahap
selanjutnya laba yang ditahan merupakan salah satu sumber dana yang paling
penting untuk pembiayaan pertumbuhan perusahaan. Makin besar pembiayaan
perusahaan yang berasal dari laba yang ditahan di tambah penyusutan aktiva tetap,
maka makin kuat posisi finansial perusahaan tersebut. Dari seluruh laba yang
diperoleh perusahaan sebagian dibagikan kepada pemegang saham berupa
dividen. Mengenai penentuan besarnya dividen yang akan dibandingkan itulah
yang merupakan kebijakan dividen dari pimpinan perusahaan.
2.1.1.2 Tingkat Suku Bunga
Tingkat suku bunga (interest rate) merupakan salah satu variabel ekonomi
yang sering dipantau oleh para pelaku ekonomi. Tingkat suku bunga dipandang
memiliki dampak langsung terhadap kondisi perekonomian. Berbagai keputusan
yang berkenaan dengan konsumsi, tabungan dan investasi terkait erat dengan
kondisi tingkat suku. Konsep mengenai tingkat suku bunga terdiri dari berbagai
macam pendekatan. Pertama adalah konsep tentang real interest rate, yaitu
tingkat suku bunga yang merupakan tingkat suku bunga nominal dikurangi
dengan tingkat inflasi. Kedua adalah konsep atau pendekatan yang dikenal
sebagai yield to maturity. Yield to maturity dipandang sebagai konsep yang dapat
menjelaskan tingkat suku bunga dengan lebih akurat. Yield to maturity di artikan
sebagai tingkat suku bunga yang diperoleh dari present value (PV) atas
penerimaan cash flow instrumen utang yang dinilai dengan nilai saat ini
(Wibisono, 2010:48).
Faktor suku bunga ini penting untuk diperhitungkan karena rata-rata
semua orang, termasuk investor saham, selalu mengharapkan hasil investasi yang
lebih besar. Perubahan tingkat suku bunga akan mempengaruhi kondisi
fundamental perusahaan, karena hampir semua perusahaan yang mencatatkan
sahamnya di bursa menikmati pinjaman bank (Anoraga dan Pakarti, 2012:61).
BI rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh
Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi
sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter (Siamat, 2012:139). Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) adalah surat berharga dalam rupiah yang diterbitkan Bank
Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek yang
diperjualbelikan dengan sistem diskonto. Kenaikan suku bunga SBI dapat
mendorong harga saham ke bawah (Cahyono, 2014:117). Kenaikan suku bunga
akan meningkatkan beban bunga emiten, sehingga perolehan laba menurun.
Selain itu, pada saat suku bunga tinggi, biaya produksi meningkat, harga produk
menjadi lebih mahal, dan konsumen akan menunda pembelian, akibatnya
penjualan perusahaan menurun. Penurunan penjualan dan penurunan laba ini akan
menekan harga saham.
2.1.1.3 Nilai Tukar Rupiah
Perdagangan yang dilakukan antara dua negara tidaklah semudah yang
dilakukan dalam satu negara, karena mesti memakai dua mata uang yang berbeda
misalnya antara negara Indonesia dan Amerika Serikat, pengimpor Amerika harus
membeli rupiah untuk membeli barang-barang dari Indonesia. Sebaliknya
pengimpor Indonesia harus membeli dollar Amerika untuk menyelesaikan
pembayaran terhadap barang yang dibelinya di Amerika (Effendi dan Sawitriyadi,
2013).
Menurut Oktavia (2013) besarnya jumlah mata uang tertentu yang
diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata
uang asing. Secara terminologi, pengertian nilai tukar adalah harga sebuah mata
uang dari suatu negara yang diukur atau dinyatakan dalam mata uang lainnya
(Faisal, 2011). Nilai tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai
satu unit mata mata uang terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi
ekonomi suatu negara mengalami perubahan, maka biasanya diikuti oleh
perubahan nilai tukar secara substansional. Jadi nilai tukar merupakan harga yang
harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk memperoleh mata uang negara
lain.
Menurut Fabozzi dan Franco (2012) an exchange rate is defined as the
amount of one currency that can be exchange per unit of another currency, or the
price of one currency in items of another currency.
Sedangkan menurut Adiningsih, (2012), nilai tukar rupiah adalah harga
rupiah terhadap mata uang negara lain. Jadi, nilai tukar rupiah merupakan nilai
dari satu mata rupiah yang ditranslasikan ke dalam mata uang negara lain.
Misalnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS, nilai tukar rupiah terhadap Yen,
dan lain sebagainya.
Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di
pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati
untuk melakukan investasi. Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing
khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar
modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2013).
Nilai tukar rupiah atau disebut juga kurs rupiah adalah perbandingan nilai
atau harga mata uang rupiah dengan mata uang lain. Perdagangan antar negara di
mana masing-masing Negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan
adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya.
Yang disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 2012). Nilai tukar terbagi atas
nilai nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate)
adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar mata uang suatu Negara
dengan mata uang Negara lain. Sedangkan nilai riil (real exchange rate) adalah
nilai yang digunakan seseorang saat menukar barang dan jasa dari suatu Negara
dengan barang dan jasa dari Negara lain (Mankiw, 2012).
Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali
menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama
bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual
barangnya ke pasar ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang
relatif stabil menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian
secara makro (Pohan, 2014).
Menurut Sukirno (2012) besarnya jumlah mata uang tertentu yang
diperlukan untuk memperoleh satu unit valuta dengan kurs mata uang asing. Nilai
tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata uang
terhadap mata uang negara lain. Jika kondisi ekonomi suatu negara mengalami
perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansional.
Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan
negara lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang
berbeda. Jadi nilai tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang
suatu negara untuk memperoleh mata uang negara lain.
Nilai tukar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat suku bunga
dalam negeri, tingkat inflasi, dan intervensi Bank Sentral terhadap pasar uang.
Nilai tukar yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka
stabilitas moneter dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang
stabil diperlukan untuk tercapainya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan
dunia usaha. Untuk menjaga stabilitas nilai tukar, bank central pada waktu-waktu
tertentu melakukan intervensi di pasar-pasar valuta asing. Khususnya pada saat
terjadi gejolak yang berlebihan. Para ekonom membedakan kurs menjadi dua
yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal (nominal exchange rate) adalah
harga relatif dari mata uang dan Negara. Sebagai contoh, jika antara dolar
Amerika Serikat dan yen Jepang adalah 120 yen per dolar. Maka orang Amerika
Serikat bisa menukar 1 dolar untuk 120 yen di pasar uang. Sebaliknya orang
Jepang yang ingin memiliki dolar akan membayar 120 yen untuk setiap dolar
yang dibeli. Ketika orang-orang mengacu pada “kurs” di antara kedua Negara,
mereka biasanya mengartikan kurs nominal (Mankiw, 2012).
Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di
anatara dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat di mana kita bisa
memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari
negara lain. Nilai Tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang
suatu nagara terhadap mata dari mata uang dua negara (Mankiw, 2012). Nilai
tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi denganharga relatif
yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar
negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini :
*P
PSQ
Di mana:
Q : Nilai tukar riil.
S : Nilai tukar nominal.
P : Tingkat harga domestic
P*: Tingkat harga di luar negeri.
Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di
pasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati
untuk melakukan investasi. Menurutnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing
khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar
modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2013). Turunnya kurs menurunkan kemampuan
nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing salah satu dampaknya terhadap
impor.
Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk menentukan nilai tukar
(exchange rate) yaitu pendekatan moneter (monetary approach) dan pendekatan
pasar asset (asset market approach). Pada pendekatan moneter, nilai tukar
didefinisikan sebagai harga dimana mata uang asing (foreign currency) dijual
belikan terhadap mata uang domestik (domestic currency) dan harga tersebut
berhubungan dengan penawaran dan permintaan uang. Kontribusi perubahan nilai
tukar terhadap keseimbangan penawaran dan permintaan uang digunakan
hubungan absolute purchasing power parity (PPP) yang merupakan
keseimbangan antara harga domestik P dan konversi kurs valuta asing ke dalam
mata uang domestik eP* dengan rumus P = eP* atau e = P/P* (Batiz and Batiz,
dalam Hardiningsih, 2011).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu
(Madura, 2013):
a. Faktor Fundamental
Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi seperti
inflasi, suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar-negara, ekspektasi
pasar dan intervensi Bank Sentral.
b. Faktor Teknis
Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan devisa pada
saat-saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara penawaran
tetap, maka harga valas akan naik dan sebaliknya.
c. Sentimen Pasar
Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita politik
yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik atau turun
secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita sudah
berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal.
2.1.1.4 Leverege
Banyak pakar menjelaskan tentang leverage atau utang yang biasa dikenal
dengan solvabilitas. Leverage digunakan untuk mengukur tingkat solvabilitas
suatu perusahaan. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
memenuhi segala kewajiban finansialnya seandainya perusahaan pada saat itu
dilikuidasi. Pendapat ini menunjukkan bahwa leverage berarti kemampuan
perusahaan untuk membayar utang-utangnya, baik jangka pendek maupun jangka
panjang (Sawir, 2013:13). Menurut Brigham dan Houston (2012:140) rasio
leverage merupakan rasio yang mengukur sejauh mana perusahaan menggunakan
pendanaan melalui utang (financial leverage). Menurut Horne dan Wachoviz
(2014:425) mendefinisikan leverage The use of fixed costs in an attempt to
increase (or lever up) profitability (leverage merupakan penggunaan biaya tetap
untuk meningkatkan keuntungan dari suatu perusahaan).
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut maka dapat dinyatakan bahwa
leverage atau rasio utang adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka panjang dan jangka pendek. Hal ini umumnya sangat penting
bagi seorang kreditur karena akan menunjukan posisi keuangan perusahaan.
Semakin kecil rasio ini maka semakin pula risiko yang akan dialami oleh kreditur
untuk menanamkan modalnya di perusahaan tersebut.
Menurut Sawir (2013:13) ada dua jenis rasio leverage yaitu rasio utang
terhadap asset dan rasio utang terhadap modal.
1) Rasio utang terhadap aktiva atau Debt to Tottal Asset Ratio. Rasio ini
memperlihatkan proporsi antara kewajiban yang dimiliki dan seluruh
kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi hasil persentasenya cenderung
semakin besar risiko keuangannya bagi kreditor maupun pemegang saham.
Rumus:
Total utang
Debt to Tottal Asset Ratio (DAR) = x 100%
Total aktiva
2) Rasio utang terhadap modal atau Debt to Equity Ratio. Rasio ini
menggambarkan perbandingan utang dan ekuitas dalam pendanaan
perusahaan dan menunjukan kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut
untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Rumus:
Total utang
Debt to Equity Ratio (DER) = x 100%
Ekuitas
Jenis rasio leverage yang digunakan dalam penelitian ini adalah Debt to
Equity Ratio, rasio yang membandingkan total utang dengan modal. Menurut
Gibson (2014:260) Debt to Equity Ratio is another computation thats determines
the entity’s long-term debt-paying ability. Menurut Husnan (2012:70)
menjelaskan bahwa Debt to Equity Ratio menunjukan perbandingan antara utang
dengan modal sendiri. Menurut Horne dan Wachoviz (2011:145) debt to equity is
computed by simply dividing the total debt of the firm (lincluding current
liabilities) by its shareholders equity (Debt to Equity Ratio merupakan
perhitungan sederhana yang membandingkan total utang perusahaan dari modal
pemegang saham).
Menurut Sawir (2013:13) menjelaskan bahwa Debt to Equity Ratio adalah
rasio yang menggambarkan perbandingan utang dan ekuitas dalam pendanaan
perusahaan dan menunjukan kemampuan modal sendiri perusahaan tersebut untuk
memenuhi seluruh kewajibannya. Kreditur melihat ekuitas atau dana yang
diberikan oleh pemilik sebagai batas pengaman. Pemegang saham dengan
menghimpun dana melalui utang maka dapat mengendalikan perusahaan dengan
jumlah investasi ekuitas yang terbatas. Rasio ini dapat menggambarkan potensi
manfaat dan resiko yang berasal dari penggunaan utang.
2.1.1.5 Profitabilitas
Profitabilitas menunjukkan keberhasilan perusahaan dalam memperoleh
keuntungan. Maka tingkat profitabilitas rendah ditengarai berpengaruh terhadap
audit delay. Hal tersebut berkaitan dengan akibat yang dapat ditimbulkan pasar
terhadap pengumuman rugi oleh perusahaan. Penelitian Naim (2014)
memperlihatkan bahwa tingkat profitabilitas yang lebih rendah memacu
kemunduran publikasi laporan keuangan. Demikian pula Carslaw dan Kaplan
(2011) memaparkan perusahaan yang melaporkan kerugian mungkin akan
meminta auditor untuk mengatur waktu audit yang lebih lama ketimbang
biasanya.
Ditemukan oleh Owusu-Ansah (2010), perusahaan yang memiliki hasil
gemilang (good news) akan melaporkan lebih tepat waktu dibandingkan dengan
perusahaan yang mengalami kerugian (bad news). Pnelitian Annisa (2014),
mengungkapkan perusahaan dengan hasil yang baik akan melaporkan lebih cepat
dari perusahaan yang gagal operasi atau merugi. Berlawanan dengan pemaparan
di atas, Ashton (2014) menyebutkan profitabilitas bukanlah faktor yang signifikan
mempengaruhi audit delay. Menurut Hanafi dan Halim (2012) Rasio profitabilitas
adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
memperoleh laba. Dan juga rasio ini memberikan jawaban akhir tentang
efektivitas manajemen karena menunjukkan keberhasilan perusahaan dalam
memperoleh suatu pengambilan bersih (net return) atau laba yang dihasilkan dari
investasi yang telah ditanamkan atau dari penjualan. Bagi beberapa pihak, rasio
profitabilitas sangat penting sebab cara perusahaan beroperasi, yang merupakan
hasil dari berbagai macam kebijakan dan keputusan perusahaan. Jenis-jenis rasio
profitabilitas menurut Sartono (2011) antara lain:
1. Return On Equity (ROE)
Digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang
tersedia bagi pemegang saham perusahaan. Rasio ini juga dipengaruhi oleh
besar kecilnya hutang perusahaan, apabila proporsi hutang makin besar maka
rasio ini juga semakin besar.
100%sendiri Modal
pajaksetelah LabaEquityOn Return X
2. Return On Asset Rasio (ROA)
Digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan
aktivanya untuk memperoleh laba. Rasio ini mengukur tingkat kembalian
investasi yang telah dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan seluruh
dana (aktiva) yang dimilikinya..
Return On Asset Rasio = Aktiva Total
EBITX 100%
3. Net Profit Margin (NPM)
Rasio yang digunakan untuk menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba bersih. .
Net Profit Margin= BersihPenjualan
pajaksetelah LabaX 100%
Net profit margin yang tinggi menunjukan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu. Secara umum rasio
yang rendah bisa menunjukkan menejemen yang tidak efisien.
4. Gross Profit Margin(GPM)
Rasio yang digunakan untuk mengetahui laba kotor yang dicapai setiap rupiah
penjualan. Gross profit margin sangat dipengaruhi oleh harga pokok
penjualan. Jika harga pokok penjualan naik maka gross profit margin akan
turun, begitu pula sebaliknya.
Gross Profit Margin= BersihPenjualan
HPP -Penjualan X 100%
5. Return On Investment(ROI)
Rasio ini menunjukkan beberapa besar laba bersih yang diperoleh perusahaan
bila diukur dari nilai aktiva. Rasio ini digunakan untuk mengetahui
kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan seluruh sumbernya untuk
menghasilkan laba, dengan membandingkan laba setelah pajak, terhadap total
aktiva. Return on investment yang tinggi menunjukkan efisiensi manajemen
suatu perusahaan.
Return On Investment = Aktiva Total
pajaksetelah LabaX 100%
6. Earning Per Share(EPS)
Rasio per lembar saham adalah suatu rasio yang mana bermanfaat untuk
mengukur seberapa besar tiap lembar saham dapat menghasilkan laba bagi
pemiliknya. Jadi rasio ini sering digunakan investor untuk menganalisis
kemampuan perusahaan dalam mencetak laba berdasarkan saham yang
dipunyai. Para calon pemegang saham tertarik dengan earning per share yang
besar, karena hal ini merupakan salah satu indikator suatu perusahaan.
Earning Per Share= Beredar Yang SahamJumlah
bersih LabaX 100%
Penelitian ini melakukan perhitungan Profitabilitas dengan Return On
Asset Rasio (ROA), rasio ini mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan
laba berdasarkan tingkat asset tertentu. Profitabilitas mempengaruhi perusahaan
yang mengumumkan rugi atau profitabilitas yang rendah. Ini raberkaitan
denganakibat yang dapat ditimbulkan oleh pasar terhadap pengumuman rugi
tersebutbagi perusahaan. Yang menjadi tolak ukur tingkat profitabilitas yaitu
Return On Asset Rasio (ROA) yang diperoleh dengan persamaan berikut
(Martono dan Agus Harjito, 2014):
ROA = Asset Total
EBITX 100 %
Keterangan :
Return on Asset (ROA) : Rasio Tingkat Profitabilitas
EBIT : Jumlah laba bersih perusahaan setelah pajak
Total Asset : Jumlah asset yang dimiliki perusahaan
Berdasarkan persamaan diatas, maka ROA merupakan perbandingan
antara jumlah laba yang dihasilkan terhadap asset yang digunakan, sehingga
menunjukan sejumlah perusahaan mampu untuk menghasilkan laba dari
sumberdaya (asset) yang dimiliki.
2.1.1.6 Return Saham
Return saham merupakan salah satu faktor yang memotivasi investor
berinvestasi dan juga merupakan imbalan atas keberanian investor menanggung
risiko atas investasi yang dilakukannya (Tandelilin, 2010:47). Tujuan investor
dalam berinvestasi adalah memaksimalkan return saham, tanpa melupakan faktor
risiko investasi yang harus dihadapinya. Return saham yang didapatkan investor
dari berinvestasi saham dapat berupa capital gain atau dividen. Return saham
merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return saham dapat berupa return
saham realisasi yang sudah terjadi atau return ekspektasi yang belum terjadi tetapi
yang diharapkan akan terjadi di masa mendatang (Jogiyanto, 2010:109). Return
realisasi merupakan return yang sudah terjadi yang dihitung berdasarkan data
historis. Return realisasi ini penting dalam mengukur kinerja perusahaan dan
sebagai dasar penentuan return dan risiko dimasa mendatang. Return ekspektasi
merupakan return yang diharapkan di masa mendatang dan masih bersifat tidak
pasti.
Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return dapat berupa
return realisasi yang sudah terjadi atau return ekpektasi yang belumterjadi tetapi
diharapkan akan terjadi di masa mendatang. Return realisasi (realized return)
merupakan return yang telah terjadi. Return realisasi dihitung berdasarkan data
historis. Return realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur
kinerja dari perusahaan. Return histories ini juga berguna sebagai dasar penentuan
return ekspektasi (expected return) dan risiko di masa datang (Nuryana, 2013:
59). Sedangkan return ekspektasi (expected return) adalah return yang diharapkan
akan diperoleh oleh investor di masa mendatang. Berbeda dengan return realisasi
yang sifatnya sudah terjadi, return ekspektasi sifatnya belum terjadi (Jogiyanto,
2010:107).
Salah satu faktor yang memotivasi investor yaitu adanya return saham
yang merupakan imbalan atas keberanian investor untuk menanggung risiko atas
investasi yang dilakukannya. Jogiyanto (2010: 108) menyatakan bahwa return
adalah hasil yang diperoleh dari kegiatan investasi. Return dapat berupa return
realisasi yang sudah terjadi atau return ekspektasi yang belum terjadi tetapi yang
diharapkan akan terjadi di masa mendatang.
Pada umumnya, nilai return yang sering digunakan adalah return total.
Return pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis yaitu capital gain/loss dan yield.
Capital gain merupakan selisih dari harga investasi sekarang dengan harga
periode yang lalu. Jika harga investasi sekarang lebih tinggi dari harga investasi
periode lalu berarti terjadi keuntungan modal (capital gain) dan sebaliknya. Yield
merupakan presentase penerimaan kas periodik terhadap harga investasi.
Keuntungan ini biasanya diterima dalam bentuk kas atau setara dengan kas
sehingga dapat diuangkan dengan cepat. Salah satu contoh yield adalah deviden
(Jogiyanto, 2010: 110).
Return total terdiri dari capital gain (loss) dan yield (Jogiyanto, 2010).
Dimana return total ini merupakan keseluruhan return yang diperoleh dari suatu
investasi pada periode tertentu. Return total dapat dinyatakan sebagai berikut:
Return Total = Capital gain (loss) + yield
Capital gain (loss) merupakan selisih dari harga investasi sekarang relatif
dengan harga periode lalu (Jogiyanto, 2010):
Capital gain (loss) = 1
1
t
tt
P
PP
Keterangan:
Pt = Harga saham periode sekarang.
Pt‐1 = Harga saham periode sebelumnya.
Yield adalah persentase penerimaan kas periodik dari suatu investasi
terhadap harga investasi periode tertentu. Untuk saham biasa yang melakukan
pembayaran deviden periodik sebesar Dt rupiah per-lembarnya, maka yield dapat
dituliskan sebagai berikut (Jogiyanto, 2010):
Yield = 1t
t
P
D
Keterangan :
Dt = Dividen kas yang dibayarkan.
Pt ‐1 = Harga saham periode sebelumnya.
Yield disebut juga dengan current income yaitu keuntungan yang
diperoleh dari penerimaan kas periodik yang dapat diperoleh dari pembayaran
bunga deposito, dividen, bunga obligasi dan sebagainya disebut sebagai
pendapatan lancar, maksudnya adalah keuntungan biasanya diterima dalam bentuk
kas atau setara kas, sehingga dapat dikonversi dalam bentuk uang kas cepat
seperti bunga atau jasa giro dan dividen tunai. Serta yang setara kas adalah saham
bonus atau dividen saham yaitu dividen dibayarkan dalam bentuk saham-saham
dan dapat dikonversi menjadi uang kas, sehingga return total dapat dirumuskan
sebagai berikut (Jogiyanto, 2010: 115):
Return Total = 1
1
t
ttt
P
DPP
Keterangan :
Pt = Harga saham sekarang
P t ‐1 = Harga saham periode sebelumnya
Dt = Dividen kas yang dibayarkan
Tentunya tidak semua saham memberikan return dalam bentuk capital
gain karena nilai capital gain sangat tergantung dari harga pasar instrumen
investasi yang bersangkutan yang berarti investasi harus diperdagangkan di pasar.
Dengan danya pergerakan maka akan timbul perubahan nilai suatu instrumen
investasi. Namun tidak selamanya perusahaan membagikan dividen kas secara
periodik kepada pemegang sahamnya, maka dalam penelitian ini return saham
dapat dihitung sebagai berikut (Jogiyanto, 2010: 117) :
Return Total = 1
1
t
tt
P
PP
Keterangan
Pt = Harga saham periode sekarang
Pt‐1 = Harga saham periode sebelumnnya.
2.1.1.7 Pembahasan Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang meneliti pengaruh tingkat
suku bunga, nilai tukar rupiah, leverage dan profitabilitas terhadap return saham,
diantaranya adalah sebagai berikut:
Aziz (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Return On
Asset (ROA), Debt to Equity Ratio (DER), Tingkat Suku Bunga dan Tingkat
Inflasi Terhadap Return Saham Sektor Perbankan di Bursa Efek Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih memahami apakah ada dan
seberapa besar variabel-variabel diantaranya Return on Asset (ROA), Debt to
Equity Ratio (DER), Tingkat suku bunga dan Tingkat inflasi. Mempengaruhi
return saham perbankan di BEI. Variabel independen dalam penelitian ini adalah
Return on Asset (ROA), Debt to Equity Ratio (DER), Tingkat suku bunga dan
Tingkat inflasi sedangkan variabel dependen adalah return saham sektor
perbankan.
Sampel penelitian ini terdiri dari 14 Bank. Teknik analisis data
menggunakan analisis deskriptif dan statistik (regresi linear berganda dengan
menggunakan SPSS versi 19). Secara parsial hasil penelitian menunjukkan bahwa
variabel Return On Asset (ROA) berpengaruh positif, Debt to Equity Ratio (DER)
berpengaruh negatif tetapi tidak signifikan sementara variabel tingkat suku bunga
dan tingkat inflasi sama-sama memiliki pengaruh yang negative dan signifikan
terhadap return saham sektor perbankan di Bursa Efek Indonesia. Secara simultan
menunjukkan bahwa secara bersama-sama semua variabel independent
berpengaruh signifikan terhadap return saham. Tingkat signifikansi dilihat dari
nilai sig. yang menunjukkan angka <0,05.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian yang
dilakukan Aziz (2012) yang diuraikan di atas terletak pada variabel penelitian dan
sampel penelitian. Jika pada penelitian Aziz (2012) variabel penelitiannya Return
on Asset (ROA), Debt to Equity Ratio (DER), Tingkat suku bunga dan Tingkat
inflasi dan return saham, serta sampelnya adalah perusahaan sektor properti,
sedangkan variabel pada penelitian yang akan dilakukan tingkat suku bunga, nilai
tukar rupiah, leverage, profitabilitas dan return saham, serta sampelnya adalah 26
perusahaan sector property yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Dewi (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Profitabilitas
dan Rasio Leverage terhadap Return Saham pada Perusahaan Makanan dan
Minuman yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk
menguji dan menganalisis pengaruh profitabilitas dan leverage Keuangan
terhadap return saham pada perusahaan makanan dan minuman terbuka di
Indonesia. Pada penelitian ini digunakan analisis rasio keuangan, dimana rasio
profitabilitas diwakili oleh rasio Return on Assets (ROA) dan Return on Equity
(ROE), dan rasio leverage diwakili oleh Debt to Total Assets (DTA).
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan statistik.
Hasil uji serempak (uji F) menunjukkan bahwa semua variabel independen yaitu
Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), dan Debt to Total Assets
(DTA) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (Return Saham). Hal
ini dapat dilihat dari hasil SPSS yang menunjukkan tingkat signifikansi yang lebih
kecil dari alpha (0,012<0,05). Artinya profitabilitas dan leverage berpengaruh
signifikan terhadap Return Saham secara bersama-sama. Hasil uji signifikansi
individual (uji statistik t) menunjukkan bahwa profitabilitas yang diwakili oleh
Return on Assets (ROA) tidak mempunyai pengaruh terhadap Return Saham
dimana tingkat signifikansinya lebih besar dari alpha yaitu (0,055>0,05), dan nilai
thitung (1,957)> ttabel (1,67), Return on Equity (ROE) memiliki pengaruh negatif
dan signifikan terhadap return saham dimana tingkat signifikansinya lebih kecil
dari alpha yaitu (0,004<0,05), sedangkan Debt to Total Assets (DTA) berpengaruh
positif dan tidak signifikan terhadap Return Saham dimana tingkat signifikansinya
lebih besar dari alpha (0,887>0,05).
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian yang
dilakukan Dewi (2012) yang diuraikan di atas terletak pada variabel penelitian dan
sampel penelitian. Pada penelitian Dewi (2012) variabel penelitiannya return on
assets (ROA), return on equity (ROE), dan debt to total assets (DTA) dan return
saham, serta sampelnya adalah Perusahaan Makanan Dan Minuman Terbuka Di
Indonesia. Sedangkan variabel pada penelitian yang akan dilakukan tingkat suku
bunga, nilai tukar rupiah, leverage, profitabilitas dan return saham, serta
sampelnya adalah 26 perusahaan sektor properti yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia.
Purwaningsih (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Tingkat Suku Bunga dan Rasio Harga Laba Terhadap Return Saham (Studi Kasus
pada Perusahaan Sektor Pertambangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)”.
tujuan penelitian adalah sebagai berikut: (1). Untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh tingkat suku bunga terhadap return saham pada perusahaan sektor
pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. (2). Untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh rasio harga laba terhadap return saham pada perusahaan
sektor pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. (3). Untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh tingkat suku bunga, rasio harga laba
terhadap return saham pada perusahaan sektor pertambangan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan sektor
pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2008-2011. Adapun
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan
verifikatif dengan pendekatan kuantitatif.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa (1) Tingkat suku bunga
memiliki pengaruh terhadap return saham pada perusahaan sektor pertambangan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Tingkat suku bunga memiliki hubungan
yang negatif dengan return saham, maksudnya ketika tingkat suku bunga
meningkat, sementara rasio harga laba tidak mengalami perubahan maka return
saham akan turun dan sebaliknya. (2). Rasio harga laba memiliki pengaruh
terhadap return saham pada sektor perusahaan pertambangan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Rasio harga laba memiliki hubungan yang positif dengan
return saham, maksudnya ketika rasio harga laba meningkat, sementara tingkat
suku bunga tidak mengalami perubahan maka return saham akan naik dan
sebaliknya. (3). Tingkat suku bunga dan rasio harga laba secara bersama-sama
berpengaruh terhadap return saham pada perusahaan sektor pertambangan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Perbedaan penelitian yang akan dilakukan ini dengan penelitian yang
dilakukan Purwaningsih (2012) yang diuraikan di atas terletak pada variabel
penelitian dan sampel penelitian. Jika pada penelitian Purwaningsih (2012)
variabel penelitiannya tingkat suku bunga dan rasio harga laba dan return saham,
serta sampelnya adalah perusahaan sektor pertambangan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia. Sedangkan variabel pada penelitian yang akan dilakukan tingkat
suku bunga, nilai tukar rupiah, leverage, profitabilitas dan return saham, serta
sampelnya adalah 26 perusahaan sector property yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia.
2.1.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan landasan teori, kemudian disusun konsep yang menjelaskan
hubungan antar variabel antar variabel dalam penelitian ini. Konsep penelitian ini
merupakan hubungan logis dari landasan teori dan kajian empiris yang telah di
jelaskan pada kajian pustaka. Konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 2.1 Konsep Penelitian
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Tingkat Suku Bunga terhadap Return Saham
Suku bunga adalah faktor terbesar yang akan dijadikan pertimbangan
dalam membuat keputusan keuangan, baik itu keputusan berutang maupun
berinvestasi. Pemilihan jenis instrumen investasi yang digunakan berpengaruh
terhadap imbal hasil yang diterima (Purwaningsih, 2012:1). Hasil ini sejalan
dengan penelitian Purwaningsih (2012:8) menemukan bahwa tingkat suku bunga
memiliki pengaruh signifikan terhadap return saham pada perusahaan sektor
Tingkat Suku Bunga
(X1)
Nilai Tukar Rupiah
(X2)
Leverage
(X3)
Profitabilitas
(X4)
Return Saham
(Y)
pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Tingkat suku bunga
memiliki hubungan negatif dengan return saham. Hal ini berarti apabila tingkat
suku bunga naik maka return saham akan menurun dan sebaliknya apabila tingkat
suku bunga turun maka return saham pun akan meningkat. Penelitian Chairul
(2010:4) menemukan bahwa suku bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap return saham syariah di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Jannah
(2012:7) menemukan bahwa tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap
return saham.
Beberapa penelitian lain juga sejalan dengan penelitian yang telah
disebutkan. Azis (2012:8) dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat suku
bunga sama memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap return saham
sektor perbankan di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2003-2010. Temuan
penelitian Okpara (2010:1) menunjukkan kebijakan moneter adalah penentu
signifikan return saham di Nigeria. Secara khusus, tingkat suku bunga yang tinggi
mengurangi return saham dan dengan demikian, menunjukkan upaya kebijakan
moneter yang dilakukan memperlambat perekonomian. Sumber utama dari
berfluktuasinya return saham adalah disebabkan karena tingginya suku bunga.
Berdasarkan kajian hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis dalam
penelitian ini ditentukan sebagai berikut:
H1: Tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap return saham.
2.2.2 Pengaruh Nilai Tukar Rupiah terhadap Return Saham
Secara teori ada dua sudut pandang tentang keterkaitan antara harga saham
dan nilai tukar. Di satu sisi, para pendukung model ‘portfolio-balance” meyakini
bahwa harga saham mempengaruhi nilai tukar uang secara negative (Saini dkk.,
2012). Equitas yang merupakan bagian dari kekayaan (wealth) perusahaan dapat
mempengaruhi nilai tukar uang melalui permintaan uang. Contoh semakin tinggi
harga saham akan menyebabkan semakin tinggi permintaan uang dengan tingkat
bunga yang semakin tinggi pula. Hal ini akan menarik minat investor asing untuk
menanamkan modalnya dan hasilnya terjadi apresiasi terhadap mata uang
domestik.
Harga saham juga mempengaruhi nilai tukar uang melalui permintaan
uang (money demand equation), yang membentuk suatu basis model alokasi
portofolio dan moneter dari determinasi nilai tukar uang. Kondisi tertentu yang
mencerminkan aktivitas ekonomi riil, perubahan harga saham menyebabkan
peningkatan permintaan uang riil dan nilai mata uang domestic (Ajayi, Ibrahim,
2010). Solnik (dalam Ibrahim, 2010) menyatakan bahwa harga saham dapat
mencerminkan variabel makroekonomi, karena menunjukkan ekspektasi pasar
terhadap aktivitas ekonomi riil. Semenjak model nilai tukar uang semisal model
moneter mengkorelasikan nilai tukar tersebut terhadap variabel makro ekonomi,
maka perubahan dalam harga saham dapat menyebabkan efek dari nilai tukar.
Solnik (dalam Ibrahim, 2010) juga menemukan hubungan positif yang lemah
antara perbedaan return saham (domestik dikurangi luar negeri) dengan
perubahan dalam nilai tukar riil. Mok (2013) menemukan bahwa nilai tukar
(FOREX) dan harga saham merupakah dua variabel yang independen. Tetapi ada
kausalitas dua arah antara FOREX dan harga saham penutupan dan pembukaan
saham. Nilai tukar mempengaruhi harga saham, tapi pertumbuhan pasar saham
juga mendesak pengaruh positif dari nilai tukar. Indeks SCC (Structural
Contagion Coefficient) yang negatif juga menunjukkan bahwa hubungan antara
harga saham dan nilai tukar adalah posistif, yang berarti ketika dolar Hongkong
terdepresiasi, harga saham juga turun dan begitu pula sebaliknya.
Qiao (dalam Ibrahim, 2010) menegaskan bahwa perubahan dalam harga
saham dapat mempengaruhi aliran masuk dan aliran keluar dari modal, yang akan
menghasilkan perubahan dalam nilai mata uang. Ibrahim (2010) menemukan
bahwa dalam pengujian multivariat ada kausalitas satu arah (uni-directional) dari
indeks pasar saham (stock market index) terhadap nilai tukar. Selanjutnya, nilai
tukar dan indek pasar saham dipengaruhi oleh suplay uang dan begitu pula
sebaliknya.
Menurunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, khususnya dollar
AS, memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal. Menurunnya
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing meningkatkan biaya impor bahan
baku dan peralatan yang dibutuhkan oleh perusahaan sehingga dapat
meningkatkan biaya produksi. Menurunnya nilai tukar juga mendorong
meningkatnya suku bunga agar dapat mendorong lingkungan investasi yang
menarik di dalam negeri. Jika perusahaan tidak memiliki pendapatan dari
penjualan ekspor maka profitabilitas perusahaan akan menurun (Puspita, 2014).
Dengan demikian secara teori, nilai tukar mata uang memiliki hubungan negatif
dengan return saham. Penelitian Hardiningsih (2011) menunjukkan bahwa nilai
tukar rupiah mempunyai pengaruh negative terhadap return saham.
Berdasarkan kajian hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis dalam
penelitian ini ditentukan sebagai berikut:
H2: Nilai tukar rupiah berpengaruh negatif terhadap return saham.
2.2.3 Pengaruh Leverage terhadap Return Saham
Penelitian Ramanta (2012:1) dalam pengujian hipotesisnya menemukan
bahwa rasio leverage (Debt to Equity Ratio) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap return saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil ini sejalan dengan
penelitian Bhatti (2010) yang menemukan bahwa tingkat leverage yang tinggi
menciptakan tingkat tinggi risiko sistematis, yang menyebabkan volatilitas yang
tinggi dalam harga saham sehingga return saham juga tinggi. Penelitian Al-Qudah
(2013) juga mendukung hasil penelitian ini yang menunjukkan adanya pengaruh
yang positif dan signifikan secara statistik antara leverage keuangan terhadap
return saham. Penelitian lain yang sejalan adalah oleh Oktovianti dan Agustia
(2012:7980) menunjukkan bahwa rasio leverage mempengaruhi secara positif dan
signifikan return saham. Penelitian Dewi (2012:6) menemukan bahwa rasio
leverage secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham
pada perusahaan sektor makanan dan minuman yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia.
Berdasarkan kajian hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis dalam
penelitian ini ditentukan sebagai berikut:
H3: Leverage berpengaruh positif terhadap return saham.
2.2.4 Pengaruh Profitabilitas terhadap Return Saham
Penelitian yang dilakukan Pamadanu (2011:8) menemukan bahwa
profitabilitas (ROE) berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham
pada perusahaan automotive and allied products yang terdaftar di BEI. Nilai
koefisien ROE yang bernilai positif menunjukkan bahwa semakin tinggi ROE
akan menyebabkan nilai return saham semakin meningkat. Hasil penelitian ini
sejalan dengan yang ditemukan oleh Aziz (2012:1) yaitu profitabilitas (ROA)
berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham sektor perbankan di
Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian Susilowati (2011:1) menunjukkan rasio
profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham. Penelitian
lain yang sejalan adalah oleh Tridianti (2014:10) yang menemukan bahwa
profitabilitas perusahaan memiliki nilai yang signifikan terhadap return saham
LQ45 di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian Hermuningsih (2013:145) dengan
mengaplikasikan pendekatan Structural Equation Model (SEM) pada 150
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), mendapatkan temuan
empiris variabel profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap return
saham.
Berdasarkan kajian hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis dalam
penelitian ini ditentukan sebagai berikut:
H4: Profitabilitas berpengaruh positif terhadap return saham.
2.2.5 Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Nilai Tukar Rupiah, Leverage dan
Profitabilitas secara Simultan terhadap Return Saham
Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return dapat berupa
return realisasi yang sudah terjadi atau return ekpektasi yang belumterjadi tetapi
diharapkan akan terjadi di masa mendatang. Return realisasi (realized return)
merupakan return yang telah terjadi. Return realisasi dihitung berdasarkan data
historis. Return realisasi penting karena digunakan sebagai salah satu pengukur
kinerja dari perusahaan. Return histories ini juga berguna sebagai dasar penentuan
return ekspektasi (expected return) dan risiko di masa datang (Nuryana, 2013:
59). Dalam kaitaannya dengan pengaruh tingkat suku bunga, nilai tukar rupiah,
leverage dan profitabilitas terhadap return saham, Azis (2012:8) dalam
penelitiannya menemukan bahwa tingkat suku bunga sama memiliki pengaruh
yang negatif dan signifikan terhadap return saham sektor perbankan di Bursa Efek
Indonesia. Penelitian Hardiningsih (2011) menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah
mempunyai pengaruh negative terhadap return saham. Penelitian Dewi (2012:6)
menemukan bahwa rasio leverage secara parsial berpengaruh positif dan
signifikan terhadap return saham pada perusahaan sektor makanan dan minuman
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sedangkan Hermuningsih (2013:145)
mendapatkan temuan empiris variabel profitabilitas berpengaruh positif dan
signifikan terhadap return saham.
Berdasarkan kajian hasil penelitian sebelumnya, maka hipotesis dalam
penelitian ini ditentukan sebagai berikut:
H5: tingkat suku bunga, nilai tukar rupiah, leverage dan profitabilitas
secara simultant berpengaruh positif terhadap return saham.