38
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Penelitian lain yang telah dilakukan berkaitan dengan topik implementasi kebijakan dan kualitas pelayanan adalah: 1. Sukarno Wibowo, 2007. Sukarno Wibowo (2007) dari Universitas Pendidikan Indonesia melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Tingkat Keamanan dan Kualitas Layanan Terhadap Kinerja Keuangan Hotel. Penelitian ini bertujuan (1) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh tingkat keamanan terhadap kinerja keuangan hotel di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. (2) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kualitas layanan yang terhadap kinerja keuangan hotel di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. (3) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh tingkat keamanan dan kualitas layanan terhadap kinerja hotel di Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan karakteristik masalahnya, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Hasil penelitian yaitu Tingkat keamanan dan kualitas layanan berpengaruh kepada kinerja hotel.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN …media.unpad.ac.id/thesis/170620/2005/L2G053619_2_2775.pdf · atau masalah yang harus dipecahkan. Upaya ini dilakukan dengan menggunakan

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian lain yang telah dilakukan berkaitan dengan topik implementasi

kebijakan dan kualitas pelayanan adalah:

1. Sukarno Wibowo, 2007.

Sukarno Wibowo (2007) dari Universitas Pendidikan Indonesia

melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Tingkat Keamanan dan

Kualitas Layanan Terhadap Kinerja Keuangan Hotel. Penelitian ini

bertujuan (1) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh tingkat

keamanan terhadap kinerja keuangan hotel di Kabupaten Garut Provinsi

Jawa Barat. (2) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kualitas

layanan yang terhadap kinerja keuangan hotel di Kabupaten Garut

Provinsi Jawa Barat. (3) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh

tingkat keamanan dan kualitas layanan terhadap kinerja hotel di

Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan karakteristik masalahnya, penelitian ini menggunakan

metode kuantitatif. Hasil penelitian yaitu Tingkat keamanan dan kualitas

layanan berpengaruh kepada kinerja hotel.

9

2. Tantan Sontani, 2008.

Penelitian lain dilakukan oleh Tantan Sontani, (2008) dengan judul

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Penilaian Pelaksanaan

Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Terhadap Kinerja Pegawai Pelaksana Di

Sekretariat Daerah Kota Sukabumi. Penelitian ini bertujuan (1)

Memperoleh data dan menganalisis pengaruh implementasi kebijakan

Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS terhadap kinerja pegawai pelaksana

di Sekretariat Daerah Kota Sukabumi. (2) Mengetahui besaran pengaruh

dari dimensi-dimensi implementasi kebijakan tentang Penilaian

Pelaksanaan Pekerjaan PNS terhadap kinerja pegawai pelaksana.

Berdasarkan karakteristik masalahnya, penelitian ini menggunakan

metode kuantitatif. Hasil penelitian yaitu Implementasi kebijakan tentang

penilaian berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

3. Noor Amien, 2006.

Penelitian lain dilakukan oleh Noor Amein, (2006) dengan judul

Evaluasi nasabah terhadap kualitas pelayanan Bank Pembiayaan Rakyat

syariah Bangun derajat Warga (BPRSBDW) dalam meningkatkan

kepuasan nasabah. Penelitian ini bertujuan (1) Untuk menganalisis

evaluasi nasabah terhadap kualitas pelayanan ditinjau dari dimensi

tangible, realibility, responsiveness, assurance dan emphaty. (2) Untuk

menganalisis tingkat kepuasan nasabah BPRS BDW Yogyakarta terhadap

kualitas pelayananan ditinjau dari dimensi tangible, realibility,

responsiveness, assurance dan emphaty. (3) Untuk menganalisis pengaruh

10

kualitas pelayanan terhadap kepuasan nasabah BPRS BDW Yogyakarta.

DAN (4) Untuk menganalisis upaya meningkatkan kepuasan nasabah

BPRS BDW Yogyakarta.

Berdasarkan karakteristik masalahnya, penelitian ini menggunakan

metode kuantitatif. Hasil penelitian yaitu secara simultan (pengujian

variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan secara bersama-sama)

kualitas layanan dimensi-dimensi tangible, reliability, responsiveness,

assurance, dan empaty mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan

terhadap kepuasan nasabah.

2.1.2 Landasan Teori

2.1.2.1 Implementasi Kebijakan

Istilah atau kata kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy (bahasa

inggris). Secara etimologis kata policy itu diturunkan dari bahasa latin Politia;

Yunani politeia, polity yang berasal dari kata polis. Kata policy (kebijakan)

tersebut, dalam penggunaannya ditemui adanya keragaman sehingga sulit untuk

dirumuskan dan diberikan makna yang tunggal, atau sulit bagi kita untuk

memperlakukan kata kebijakan sebagai sebuah gejala yang khas dan konkrit,

terutama bila kebijakan itu dilihat sebagai suatu proses yang terus berkembang

dan berkelanjutan mulai dari proses perumusan sampai dengan implementasinya.

Keragaman tersebut disebabkan adanya perbedaan penekanan tentang kebijakan

diantara para ahli. Sebagian dari mereka ada yang menekankan kebijakan sebagai

suatu usaha, tindakan dan sikap yang direncanakan. Sedangkan yang lain

11

menekankan kebijakan sebagai suatu produk (hasil) menurut Ripley (dalam

Tachjan, 2005:28).

Kebijakan selalu mencakup struktur yang mendua. Di satu sisi kebijakan

mempunyai dimensi instrumental dalam menghasilkan keputusan, program, dan

hasil lainnya dengan nilai-nilai yang diyakini para aktor pengambil kebijakan,

adanya seperangkat hubungan dalam kebijakan yang merupakan jalur komunikasi

norma-norma etika dan moral, proses membangun jalinan kepercayaan (trust) dan

solidaritas antar aktor. Di sisi lain kebijakan dapat menghasilkan “nilai-nilai”

yang anti nilai seperti dominasi dan proses non developmental. Setidaknya itu

yang diutarakan Considine dalam bukunya Public Policy A Critical Approach

(1994).

Berangkat dari pengertian Kebijakan, Hoogerwerf (2003:3-4) memberikan

pengertian yaitu yang dimaksud kebijakan adalah suatu usaha untuk mencapai

tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dalam urutan waktu tertentu.

Sedangkan Siagian (2003:11) merumuskan sebagai berikut:

“Kebijakan adalah berbagai kegiatan pengambilan keputusan yang

strategis yang menyangkut keseluruhan organisasi serta berkaitan dengan

hal-hal yang nilainya strategis ditinjau dari sudut kepentingan pelestarian

organisasi yang pada gilirannya akan memungkinkan mencapai tujuan

yang telah ditetapkan”.

Pengertian berikutnya dikemukakan oleh Islamy (2000:17) sebagai

berikut:

“Kebijakan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk

mencapai suatu tujuan, oleh karena itu suatu kebijakan harus memuat 3

elemen yaitu:

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang

diinginkan.

12

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara

nyata dari taktik, atau strategik.”

Sedangkan menurut Edward the 3rd (dalam Sundari, 2005:32) Kebijakan

adalah:

“Apa yang dikatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh

lembaga/organisasi. Kebijakan itu berupa sasaran atau tujuan dari berbagai

program lembaga/organisasi, selanjutnya bahwa kebijakan itu dapat

ditetapkan secara jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan, atau

dalam bentuk pidato pejabat.”

Adapun menurut Laswell dan Kaplan (2000:71) mengemukakan bahwa

kebijakan sebagai; “a projected program of goals values and practices”.

Selanjutnya Eulau dan Prewitt (2003:465) mengemukakan bahwa ; “policy as a

„standing decision‟ characterized by behavioral consistency and repetitiveness on

the part of both those who make it and those who abide by it”. Dan Anderson

(1978:3) mengemukakan bahwa kebijakan sebagai ; “a purposive course of action

followed by an actor or set of actors in dealing with a problem of matter of

concern”. (dalam Tachjan, 2005:29).

Pendapat para ahli di atas, dapat diperoleh suatu gambaran bahwa

kebijakan pada hakekatnya sebagai suatu rangkaian upaya terarah yang dilakukan

oleh seorang atau sekelompok pelaku karena adanya tujuan yang hendak dicapai

atau masalah yang harus dipecahkan. Upaya ini dilakukan dengan menggunakan

sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Atau dengan kata lain kebijakan

merupakan suatu tindakan atau perbuatan pengambilan keputusan yang dilakukan

oleh seseorang atau kelompok dalam usaha memilih dan mencapai tujuan-tujuan

organisasi dalam suatu kurun waktu tertentu.

13

Banyaknya pengertian implementasi kebijakan yang diketengahkan oleh

para ahli sangat bervariasi. Dunn (2000:80) mengemukakan bahwa implementasi

kebijakan adalah pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan sampai tercapainya

hasil kebijakan. Van Meter dan Van Horn (2005:11) merumuskan proses

implementasi kebijakan sebagai:

“Those actions by public or privat, individuals (or groups) that are

direcied at the achievement of objectives set forth in prior policy

decisions. (Keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh

individu/pejabat perusahaan diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan

yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan).”

Pengertian lain dikemukakan oleh Maarse (dalam Sunggono, 1994:137)

bahwa:

“Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-

tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu

tertentu”.

Sedangkan Hamdi (1999:5) menyebutkan bahwa:

“Pelaksanaan kebijakan merupakan penjabaran lebih lanjut dari tujuan

yang telah ditetapkan tersebut oleh pejabat atau instansi pelaksana”.

Implementasi kebijakan merupakan aspek paling penting dari keseluruhan

proses kebijakan. Udoji (dalam Wahab, 2002: 59) dengan tegas menyatakan

bahwa:

“The execution of policies is as important if not more important than

policy making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets

unless they are implemented. (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang

penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan

akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam

arsip kalau tidak diimplementasikan).”

14

Implementasi kebijakan itu sendiri mengandung beberapa makna,

sebagaimana yang dirumuskan dalam kamus Webster (dalam Wahab, 2007 ;64)

bahwa:

“To implement (mengimplementasikan) berarti to privade the means for

carriying but (menimbulkan/dampak) akibat terhadap sesuatu. Kalau

pandangan ini diikuti, maka implementasi kebijakan dapat dipandang

sebagai suatu proses untuk melaksanakan keputusan kebijakan.”

Senada dengan itu Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (dalam

Wahab, 2002:65) memberikan penjelasan mengenai makna implementasi tersebut

sebagai berikut :

“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program

dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian

implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan

yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara

yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministerasikannya

maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau

kejadian-kejadian.”

Van Meter dan Horn (dalam Subarsono (2005) menyatakan bahwa

terdapat enam variabel yang memberikan pengaruh terhadap kinerja implementasi

kebijakan, yaitu:

1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan menurut

kedua pakar ini harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila

standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi

dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

2. Sumberdaya. implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik

sumber daya manusia (human resources) maupun sumberdaya non

manusia (non human resources).

15

3. Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah

program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu,

diperlukan koordinasi dan kerja sama dengan instansi lain agar sasaran

kebijakan/program tercapai.

4. Karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, norma-

norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang

semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu kebijakan.

5. Kondisi sosial politik dan ekonomi yang mencakup sumber daya ekonomi

lingkungan implementasi kebijakan; sejauh mana kelompok-kelompok

kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;

bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elit

politik mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi implementor yang mencakup lima hal penting yakni: (1) respon

implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauan untuk

melaksanakan kebijakan; (2) kognisi, yakni pemahamannya terhadap

kebijakan; dan (3) intensitas disposisi implementor, yakni prefensi nilai

yang dimiliki oleh implementor. Hubungan keenam tersebut terlihat

seperti gambar 2.1 berikut

16

Bagan 2.1.

Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn

Gambar 2.1.

Model implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn

Sumber: Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005)

Grandile dalam Subarsono (2005) berpendapat bahwa implementasi

dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy).

Variabel isi kebijkan mencakup; (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran

termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima masyarakat; (3)

sejauh mana perubahan dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program

sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya

dengan rinci dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya manusia.

Menurut pandangan George C. Edwards III dalam Subarsono, (2005),

implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) variabel, yaitu: (1)

komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.

Pertama, komunikasi. Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan

agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan

dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target

Komuikasi antar organisasi

dan kegiatan pelaksanaan

Ukuran dan

tujuan kebijakan

Sumberdaya

Karakteristik badan

pelaksana

Lingkungan ekonomi, sosial

dan politik

Disposisi pelaksana

Kinerja

implement

asi

17

group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan

sasaran suatu kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka

kemungkinan akan terjadi resitensi dari kelompok sasaran.

Kedua, sumberdaya. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan

secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya

untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya

tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia untuk melaksanakannya, yakni

kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumber daya adalah faktor

penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan

hanya tinggal di atas kertas dan menjadi dokumen saja.

Ketiga, disposisi. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki

oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila

implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan

kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat

kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

Keempat, struktur organisasi/birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas

mengimplementasi kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap

organisasi adalah standar operating procedures (SOP). SOP menjadi pendoman

bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi terlalu panjang akan

cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur

birokrasi yang rumit dan komplek. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas

18

organisasi tidak fleksibel. Berikut dibawah ini merupakan model Implementasi

kebijakan menurut George C Edwards III:

Gambar 2.2

Model Implementasi Kebijakan Menurut George C Edwards III

Sumber : Edward (dalam Subarsono, 2005: 98).

Implementasi kebijakan harus diwujudkan dalam bentuk program-program

yang lebih rinci, proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila

tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci,

program-program telah dirancang dan sejumlah biaya telah dialokasikan untuk

mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Hal inilah yang

merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan apapun.

Sebagaimana dikemukakan di atas, kebijakan pada hakekatnya merupakan

suatu rangkaian upaya terarah yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau

memecahkan masalah. Memahami konsep kebijakan (policy), dipandang perlu

Sumberdaya

Komunikasi

Struktur Organisasi

Implementasi

Disposisi

Struktur Birokrasi

19

untuk mempetanyakan, apa saja yang telah tercakup di dalamnya, karena kegiatan

perusahaan mencakup seluruh aspek kehidupan konsumen. Kebijakan pada

dasarnya meliputi keseluruhan aspek kehidupan baik yang bersifat memberikan

pelayanan, melakukan pengaturan mendistribusikan apa saja yang menjadi harta

benda dan kekayaan, melaksanakan kegiatan pelayanan dan perlindungan kepada

masyarakat dan lain sebagainya. Kegiatan pembuatan kebijaksanaan mencakup

beberapa hal seperti dikemukakan oleh Rasyid dkk (2002:239) yaitu :

1. Kegiatan membuat kebijaksanaan yang bersifat distributif.

2. Kebijakan yang mengatur kompetisi.

3. Kebijaksanaan yang mengatur perlindungan.

4. Kebijaksanaan yang menyangkut redistribusi kekayaan masyarakat.

5. Kebijaksanaan yang bersifat ekstratif.

6. Kebijaksanaan strategis.

7. Kebijaksanaan karena krisis.

Kebijakan selain dapat menentukan arah umum yang harus ditempuh

untuk mengantisipasi masalah dalam konsumen dapat pula menentukan ruang

lingkup permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Kebijakan pada dasarnya

merupakan ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk,

cara bagi setiap usaha dan kegiatan pegawai perusahaan sehingga tercapai

kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu. Konsep kebijakan

(policy) menurut Sulaeman (1998:24) adalah:

“Sebagai suatu proses yang mengandung pola aktifitas tertentu dan

merupakan seperangkat keputusan yang bersangkutan dengan tindakan

untuk mencapai tujuan dalam beberapa cara yang khusus. Dengan

demikian, konsep policy berhubungan dengan pola aktifitas perusahaan

mengenai sejumlah masalah serta mengandung tujuan”.

Santoso (1988:50) berpendapat bahwa kebijakan dapat diartikan :

20

“Serangkaian keputusan yang dibuat oleh perusahaan untuk mencapai

suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk

mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan

perusahaan”.

Pendapat itu menyiratkan bahwa kebijakan berhubungan dengan

keputusan dan masalah yang dihadapi oleh perusahaan. Kebijakan ini dapat dalam

bentuk berupa aturan-aturan sebagai petunjuk bagi pelaksana kebijakan. Pada

dasarnya kebijakan perusahaan itu harus mengabdi kepada kepentingan

konsumen. Islamy (2000:20) mengemukakan pendapatnya bahwa kebijakan

perusahaan (policy) adalah serangkaian tindakan yang dilaksanakan oleh

perusahaan yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi

kepentingan seluruh masyarakat. Proses kebijakan perusahaan harus

memperhatikan serangkaian tahap atau beberapa langkah, yang menurut para ahli

kebijakan berbeda-beda dalam mengelompokkan tahap-tahap tersebut.

Tjokroamidjojo (1991:14) menyatakan bahwa :

“Proses kebijakan terdiri dari beberapa langkah yaitu ; policy germination

(kebijakan bertunas), policy recommendation (tahap rekomendasi), policy

analysis (penganalisaan kebijakan), policy decision (tahap pengambil

keputusan), policy implementation (pelaksanaan kebijakan), dan policy

evaluation (penilaian kebijakan)”.

Menurut Dunn (2000:37) menjelaskan bahwa umumnya proses pembuatan

kebijakan dapat dibedakan ke dalam enam tahap sebagai berikut:

1. Pendefinisian masalah (policy formulation).

2. Penentuan agenda (agenda setting).

3. Perumusan alternatif kebijakan (policy formulation).

4. Pemilihan alternatif kebijakan (policy adoption).

5. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation).

6. Penilaian kebijakan (policy evaluation).

21

Fokus dalam pembahasan ini adalah tahap pelaksanaan kebijakan (policy

implementation). Sebuah kebijakan yang tersusun dengan baik akan lebih terarah,

namun memerlukan waktu untuk berkembang dan seharusnya tetap

memperhatikan hal-hal seperti yang dikemukakan oleh Winardi (2000:120)

sebagai berikut:

1. Memungkinkan penafsiran terbuka dan penilaian.

2. Bersifat konsisten dan tidak boleh ada dua kebijakan yang saling

bertentangan dalam suatu organisasi.

3. Harus sesuai dengan keadaan yang berkembang.

4. Harus membantu pencapaian sasaran dan harus dibantu dengan fakta-

fakta yang objektif.

5. Harus sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal.

Di samping kebijakan tersebut perlu disusun dengan baik, ada pula

beberapa faktor yang turut memperbaiki kualitas suatu kebijakan, seperti yang

disampaikan Tjokroamidjojo (1991:116) yaitu :

1. Jangan didasarkan pada selera seketika (whims) tetapi harus melalui

proses yang rasional berdasarkan akal sehat.

2. Penyempurnaan informasi dan sistem informasi bagi analisa dan

pembentukan kebijakan.

3. Dikembangkan unified approach dalam perumusan kebijakan.

4. Peka terhadap kebutuhan objektif konsumen

Pada dasarnya rumusan kebijakan memang harus bersikap objektif baik

sebagai dasar analisisnya maupun kondisi kebutuhan konsumen atau objek yang

akan terkena dampak dari kebijakan yang akan diambil serta dapat memudahkan

penentu kebijakan untuk mengadakan revisi atau perbaikan jika ternyata

pelaksanaannya tidak sesuai dengan kondisi objektifnya.

Adapun tujuan dari kebijakan adalah dapat dipeolehnya nilai-nilai oleh

konsumen, baik yang bertalian dengan public goods maupun public service. Nilai-

nilai tersebut sangat dibutuhkan oleh konsumen untuk meningkatkan kualitas

22

hidupnya baik fisik maupun nonfisik. Kebijakan ini sangat diperlukan dalam

konteks alokasi, distribusi, regulasi dan stabilisasi, Tachjan (2005:31). Secara

tipikal kebijakan merupakan tindakan yang berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan

melibatkan banyak keputusan yang diantaranya ada yang merupakan keputusan rutin, ada

yang tidak rutin. Lebih dari itu, dalam praktek pembuatan kebijakan jarang dijumpai

suatu kebijakan yang hanya terdiri dari keputusan tunggal. Dalam konteks ini akan

dibahas paradigma-paradigma dan pendekatan-pendekatan proses pembuatan kebijakan

berdasarkan berbagai kepustakaan.

Easton (dalam Masoed & Andrew, 1992:5) mengembangkan teori analisis

Sistem. Menurut pendekatannya, setiap sistem tentu memiliki sifat: (1) Terdiri

dari banyak kegiatan-kegiatan, (2) Bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling

bergantungan, (3) Sistem itu mempunyai perbatasan (bounderies) yang

memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.

Pendekatan ini mengadopsi teori-teori astronomi yang menganggap sistem tata

surya sebagai suatu kejadian-kejadian yang kompleks. Pada sisi ini Easton (dalam

Mas'oed & Andrew, 1992:5) menyatakan bahwa:

”Bila kita berpegang pada anggapan bahwa sistem tingkah laku

merupakan suatu unit tersendiri, maka akan terlihat bahwa yang menjamin

terus bekerjanya sistem ini adalah berbagai macam input. Input-input ini

diubah oleh proses-proses yang terjadi dalam sistem itu menjadi output-

output dan selanjutnya output ini menimbulkan pengaruh terhadap sistem

itu sendiri maupun terhadap lingkungan dimana sistem berada”.

Rumusan ini sangat sederhana tetapi juga cukup memadai untuk

menjelaskan berbagai hal: Input – Proses - Output. Secara diagram dapat dilihat

dalam gambar berikut:

23

Gambar 2.3

Analisis Sistem

Sumber : Wahab (2002:43)

Teori analisis sistem yang dikembangkan tersebut dalam

perkembangannya sangat mempengaruhi paradigma para ahli Kebijakan

merumuskan pendekatan proses pembuatan Kebijakan, diantaranya Lindblom dan

Bauer (dalam Wahab, 2002:16). Lindblom menuturkan bahwa:

”Pembuatan Kebijakan (policy making) itu pada hakekatnya merupakan

proses politik yang sangat kompleks dan analitis di mana tidak mengenal

saat dimulai dan diakhirnya, dan batas-batas dari proses itu sesungguhnya

yang paling tidak pasti”.

Sedangkan Bauer merumuskan ”Pembuatan kebijakan sebagai proses

transformasi atau pengubahan input-input politik menjadi output-output politik”.

Aktivitas politik tersebut dijelaskan dan divisualisasikan oleh Dunn (alih Bahasa

Wibawa, 1998:22) sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur

menurut urutan waktu; penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi

kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

Macam pendekatan kebijakan berdasarkan sudut proses di atas, pada

dasarnya mencoba untuk menggambarkan bagaimana kebijakan itu dibuat. Di

samping macam pendekatan ini, Henry (dalam Islamy, 2000:36), menyebutkan

Tuntutan

Proses

Dukungan Kebijakan

Keputusan I

N

P

U

T

O

U

T

P

U

T

24

tipologi lain, yaitu pendekatan kebijakan dari sudut hasil dan akibat yang lebih

“preskriptif”. Maksud dari pendekatan ini adalah menunjukan cara-cara untuk

meningkatkan mutu dan kualitas isi, hasil dan akibat dari kebijakan atau dengan

singkat menunjukan bagaimana caranya meningkatkan kualitas proses pembuatan

kebijakan.

2.1.2.2 Kualitas Pelayanan

Definisi kualitas sangat beranekaragam dan mengandung banyak makna.

Kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang

harus dikerjakan dengan baik. Lovelock (2001:41) memberikan pengertian

kualitas pelayanan sebagai tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan

pengendalian atas kesempurnaan tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen,

sedangkan menurut Parasuraman, et al (2001: 51) kualitas layanan merupakan

perbandingan antara layanan yang dirasakan (persepsi) konsumen dengan kualitas

layanan yang diharapkan konsumen. Jika kualitas layanan yang dirasakan sama

atau melebihi kualitas layanan yang diharapkan, maka layanan dikatakan

berkualitas dan memuaskan.

Armstrong (2004: 102) mendefinisikan pelayanan adalah:

“Tindakan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu badan usaha kepada

pihak lain yang bersifat tidak terwujud dan tidak menghasilkan

kepemilikan sesuatu. Produksinya dapat berhubungan dengan produk fisik

ataupun tidak.”

Menurut Buddy (dalam Anis Wahyuningsih, 2002:10) berpendapat bahwa:

25

“Kualitas sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang

dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen internal dan

eksternal, secara eksplisit dan implisit”.

Sedangkan Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono 2008:51) mendefinisikan:

“Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan

produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau

melebihi harapan”.

Parasuraman et. Al (1985) mengatakan ada dua faktor utama yang

mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expective service (pelayanan yang diharapkan)

dan perceived service (pelayanan yang diterima). Karena kualitas pelayanan

berpusat pada upaya pemenuhan dari keinginan pelanggan serta ketepatan

penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan, untuk itu maka, Zeitmal

(1996: 177) mendefinisikan bahwa pelayanan adalan penyampaian secara

excellent atau superior dibandingkan dengan harapan konsumen.

Dalam perkembangan selanjutnya, Parasuraman dkk (dalam Zeithmail dan

Bitner, 1996:118) mengatakan bahwa konsumen dalam melakukan penilaian

terhadap kualitas jasa ada lima dimensi yang perlu diperhatikan:

1. Tangible, yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana

komunikasi.

2. Emphaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,

komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para

pelanggan.

26

3. Responsiveness, yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan

dan memberikan pelayanan dengan tanggap.

4. Reliability, yaitu kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan

segera, akurat, kehandalan dan memuaskan.

5. Asurance, yaitu mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat

yang dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf (bebas dari bahaya,

resiko dan keraguan).

Tjiptono (1991:61) menyimpulkan bahwa citra kualitas layanan yang baik

bukanlah berdasarkan sudut pandang/persepsi penyedia jasa, melainkan

berdasarkan sudut pandang/persepsi konsumen. Hal ini disebabkan karena

konsumenlah yang mengkonsumsi serta yang menikmati jasa layanan, sehingga

merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi konsumen

terhadap kualitas jasa merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap keunggulan

suatu jasa layanan.

Bagi pelanggan kualitas pelayanan adalah menyesuaikan diri dengan

spesifikasi yang dituntut pelanggan. Pelanggan memutuskan bagaimana kualitas

yang dimaksud dan apa yang dianggap penting. Pelanggan mempertimbangkan

suatu kualitas pelayanan. Untuk itu, kualitas dapat dideteksi pada persoalan

bentuk, sehingga dapat ditemukan:

1. Kualitas pelayanan merupakan bentuk dari sebuah janji.

2. Kualitas adalah tercapainya sebuah harapan dan kenyataan sesuai

komitmen yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Kualitas dan integritas merupakan sesuatu yang tak terpisahkan.

27

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan

pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur

ketakberwujudan yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainya dan

memberikan berbagai manfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Setiap pemberi jasa

perlu mengetahui, mengantisipasi, dan memenuhi kebutuhan serta keinginan

pelanggan dengan harapan bisa memuaskan konsumen sehingga bisa terjadi

pembelian yang terulang (repeated purchase) atau pelayanan yang diberikan.

Terdapat kriteria yang mencirikan pelayanan sekaligus membedakannya

dari barang Gaspersz (2002: 61) yaitu:

1. Pelayanan merupakan keluaran tak berbentuk (intangible output);

2. Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar;

3. Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat dikonsumsi

dalam produksi;

4. Hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses

pelayanan;

5. Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan;

6. Keterampilan personel diterjunkan secara langsung ke pelanggan;

7. Pelayanan tidak diproduksi secara massal;

8. Perusahaan jasa pada umumnya bersifat padat karya;

9. Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan;

10. Pengukuran efektifitas pelayanan bersifat subyektif;

11. Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian proses;

12. option penetapan harga adalah lebih rumit.

David Garvin, (dalam Zulian Yamit, 2005 : 9-10) mengidentifikasikan

lima pendekatan perspektif kualitas yang dapat digunakan oleh para praktisi

bisnis, yaitu :

1. Transcendental Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu yang dapat dirasakan, tetapi

sulit didefinisikan dan dioperasionalkan maupun diukur. Perspektif ini

umumnya diterapkan dalam karya seni seperti musik, seni tari, seni drama

28

dan seni rupa. Untuk produk dan jasa pelayanan, perusahaan dapat

mempromosikan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan seperti

kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), kecantikan wajah

(kosmetik), pelayanan prima (bank) dan tempat berbelanja yang nyaman

(mall). Definisi seperti ini sangat sulit untuk dijadikan sebagai dasar

perencanaan dalam manajemen kualitas.

2. Product-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau atribut yang

dapat diukur. Perbedaan kualitas mencerminkan adanya perbedaan atribut

yang dimiliki produk secara objektif, tetapi pendekatan ini dapat

menjelaskan perbedaan dalam selera dan preferensi individual.

3. User-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas

tergantung pada orang yang memandangnya, dan produk yang paling

memuaskan preferensi seseorang atau cocok dengan selera (fitnes for

used) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Pandangan yang

subjektif ini mengakibatkan konsumen yang berbeda memiliki kebutuhan

dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah

kepuasan maksimum yang dapat dirasakannya.

4. Manufacturing-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah bersifat supply-based atau dari sudut

pandang produsen yang mendefinisikan kualitas sebagai sesuatu yang

sesuai dengan persyaratannya (conformance quality) dan prosedur.

29

Pendekatan ini berfokus pada kesesuaian spesifikasi yang ditetapkan

perusahaan secara internal. Oleh karena itu, yang menentukan kualitas

adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, dan bukan konsumen

yang menggunakannya.

5. Value-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari segi nilai

dan harga. Kualitas didefinisikan sebagai ” affordable excellence ”. Oleh

karena itu kualitas dalam pandangan ini bersifat relatif, sehingga produk

yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling

bernilai. Produk yang paling bernilai adalah produk yang paling tepat

dibeli.

Pendekatan pertama dikemukakan oleh Karl Albrcht (dalam Zulian Yamit,

2005: 23) yang mendasarkan pendekatan pada dua konsep pelayanan berkualitas,

yaitu service triangle dan total quality service diterjemahkan sebagai layanan

mutu terpadu Budi W.Soetjipto (dalam Zulian Yamit, 2005: 23).

1. Service Triangle

Sevice triangle adalah suatu model interaktif manajemen pelayanan yang

menghubungkan antara perusahaan dengan pelanggannya. Model tersebut

terdiri dari tiga elemen dengan pelanggan sebagai titik fokus Albrecht and

Zemke , dalam Budi W.Soetjipto (dalam Zulian Yamit, 2005 : 23 ) yaitu :

a. Strategi pelayanan (service strategy)

Strategi pelayanan adalah strategi untuk memberikan pelayanan

kepada pelanggan dengan kualitas sebaik mungkin sesuai standar yang

telah ditetapkan perusahaan. Standar pelayanan ditetapkan sesuai

keinginan dan harapan pelanggan sehingga tidak terjadi kesenjangan

antara pelayanan yang diberikan dengan harapan pelanggan. Strategi

30

pelayanan harus pula dirumuskan dan diimplementasikan seefektif

mungkin sehingga mampu membuat pelayanan yang diberikan kepada

pelanggan tampil beda dengan pesaingnya. Untuk merumuskan dan

mengimplementasikan strategi pelayanan yang efektif, perusahaan

harus fokus pada kepuasan pelanggan sehingga perusahaan mampu

membuat pelanggan melakukan pembelian ulang bahkan mampu

meraih pelanggan baru.

b. Sumberdaya manusia yang memberikan pelayanan (service people)

Orang yang berinteraksi secara langsung maupun tidak berinteraksi

langsung dengan pelangan harus memberikan pelayanan kepada

pelanggan secara tulus (empathy), responsif, ramah, fokus, dan

menyadari bahwa kepuasan pelanggan adalah segalanya. Untuk itu

perusahaan harus pula memperhatikan kebutuhan pelanggan

internalnya (karyawan) dengan cara menciptakan lingkungan kerja

yang kondusif, rasa aman dalam bekerja, penghasilan yang wajar,

manusiawi, sistem penilaian kinerja yang mampu menumbuhkan

motivasi. Tidak ada gunanya perusahaan membuat strategi pelayanan

dan menerapkannya secara baik untuk memuaskan pelanggan

eksternalnya, sementara pada saat yang sama perusahaan gagal

memberikan kepuasan kepada pelanggan internalnya, demikian pula

sebaliknya.

c. Sistem pelayanan (service system)

Sistem pelayanan adalah prosedur pelayanan kepada pelanggan yang

melibatkan seluruh fasilitas fisik termasuk sumberdaya manusia yang

dimiliki perusahaan. Sistem pelayanan harus dibuat secara sederhana,

tidak berbelit-belit dan sesuai standar yang telah ditetapkan

perusahaan. Untuk itu perusahaan harus mampu melakukan desain

ulang sistem pelayanannya, jika pelayanan yang diberikan tidak

memuaskan pelanggan. Desain ulang sistem pelayanan tidak berarti

harus merubah total sistem pelayanan, tapi dapat dilakukan hanya

bagian tertentu yang menjadi titik kritis penentu kualitas pelayanan.

Misalnya, dengan memperpendek prosedur pelayanan atau karyawan

diminta melakukan pekerjaan secara cepat dengan menciptakan one

stop service.

2. Total Quality Service

Pelayanan mutu terpadu adalah kemampuan perusahaan untuk

memberikan pelayanan berkualitas kepada orang yang berkepentingan

dengan pelayanan (stakeholders), yaitu pelanggan, pegawai dan pemilik.

31

Pelayanan mutu terpadu memiliki lima elemen penting yang saling terkait

Albrecht , dalam Budi W.Soetjipto (dalam Zulian Yamit, 2005: 24) yaitu :

a. Market and customer research adalah penelitian untuk mengetahui

struktur pasar, segmen pasar, demografis, analisis pasar potensial,

analisis kekuatan pasar, mengetahui harapan dan keinginan pelanggan

atas pelayanan yang diberikan.

b. Strategy formulation adalah petunjuk arah dalam memberikan

pelayanan berkualitas kepada pelanggan sehingga perusahan dapat

mempertahankan pelanggan bahkan dapat meraih pelanggan baru.

c. Education, training and cummunication adalah tindakan untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu

memberikan pelayanan berkualitas, mampu memahami keinginan dan

harapan pelanggan.

d. Process improvement adalah desain bulang berkelanjutan untuk

menyempurnakan proses pelayanan, konsep P-D-A-C dapat

diterapkan dalam perbaikan proses pelayanan berkelanjutan ini.

e. Assessment, measurement and feedback adalah penilaian dan

pengukuran kinerja yang telah dicapai oleh karyawan atas pelayanan

yang telah diberikan kepada pelanggan. Penilaian ini menjadi dasar

informasi balik kepada karyawan tentang proses pelayanan apa yang

perlu diperbaiki, kapan harus diperbaiki dan dimana harus diperbaiki.

Pendekatan kedua adalah conceptual model of service quality yang

dikemukakan oleh tiga tiga orang akademisi Amerika dengan nama PBZ yang

merupakan singkatan dari tiga nama penemunya, yaitu A. Parasuraman, Leonard

L. Berry and Valerie A. Zeithaml. Jasa pada dasarnya memiliki tujuan yang

hampir sama dengan pelayanan produk, hampir semua perusahaan menawarkan

manfaat dan penambahan nilai untuk kepuasan dan loyalitas pelanggan (Zeitaml

dan Binner, 2000). Beberapa pendapat tentang pengertian jasa, yaitu menurut

Stanton (2002 : 220) jasa adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dapat

diidentifikasikan secara tersendiri yang pada hakikatnya bersifat tak bisa diraba

(intangible) yang merupakan pemenuhan kebutuhan dan tidak harus terikat pada

penjualan produk atau jasa lain.

32

Selain memahami mengenai definisi pelayanan, harus diperhatikan pula

karakteristik dari pelayanan yang bersangkutan. Kotler & Armstrong (2004: 21)

mengemukakan bahwa terdapat 4 karakteristik kualitas jasa/pelayanan antara lain:

1. Intangibility (Tidak terwujud)

Pelayanan tidak terwujud, tidak dapat dilihat, dicicipi, dirasakan dan

didengar sebelum dibeli atau dipergunakan.

2. Inseparability (Tidak dipisahkan)

Pelayanan tidak dapat dipisahkan dari pemberi jasa itu, baik pemberi jasa

itu adalah orang maupun mesin. Jasa tidak dapat dijejerkan pada rak-rak

penjualan dan dibeli oleh konsumen kapan saja dibutuhkan.

3. Variability (Keanekarupaan)

Pelayanan sangat beraneka rupa, karena tergantung siapa yang

menyediakannya dan kapan serta dimana disediakan. Seringkali pembeli

jasa menyadari akan keanekarupaan yang besar ini dan membicarakan

dengan yang lain sebelum memilih satu peyediaan jasa.

4. Perishability (Tidak dapat tahan lama)

Pelayanan tidak dapat tahan lama, karenanya tidak dapat disimpan

untuk penjualan atau penggunaan di kemudian hari. Sifat jasa yang tidak

tahan lama ini bukanlah masalah kalau permintaan tetap/teratur, karena

jasa-jasa sebelumnya dapat dengan mudah disusun terlebih dahulu, kalau

permintaan berfluktasi, perusahaan jasa akan dihadapkan pada berbagai

masalah yang sulit.

Menurut Gronroos (dalam Nursya’bani Purnama, 2006: 20) menyatakan

kualitas layanan meliputi:

1. Kualitas fungsi, yang menekankan bagaimana layanan dilaksanakan,

terdiri dari: dimensi kontak dengan konsumen, sikap dan perilaku,

hubungan internal, penampilan, kemudahan akses, dan service

mindedness.

2. Kualitas teknis dengan kualitas output yang dirasakan konsumen, meliputi

harga, ketepatan waktu, kecepatan layanan, dan estetika output.

3. Reputasi perusahaan, yang dicerminkan oleh citra perusahaan dan reputasi

di mata konsumen.

33

2.1.3 Motivasi Nasabah

Motivasi sering disebut penggerak perilaku (the energizer of behavior),

ada juga yang menyatakan bahwa motivasi adalah penentu (determinan) perilaku.

Menurut Purwanto (2004: 62) motivasi merupakan suatu usaha yang didasari

seseoramg agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga

mencapai hasil atau tujuan tertentu. Menurut Ahmadi (2002: 45) motivasi adalah

dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan. Sedang menurut Mc. Donald

dalam Sardiman (2005:41), motivasi adalah perubahan energi dalam diri

seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan

adanya tanggapan terhadap adanya tujuan.

Motivasi sering disebut penggerak perilaku (the energizer of behavior),

ada juga yang menyatakan bahwa motivasi adalah penentu (determinan) perilaku

(Irwanto, Elia dan Hadisoepadmo, 2004:36). Menurut Purwanto (2004:62),

motivasi merupakan suatu usaha yang didasari seseorang agar ia tergerak hatinya

untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.

Motivasi berkaitan erat dengan tujuan, secara umum dapat dikatakan

bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang

agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat

memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.

Motivasi berhubungan erat dengan motif, motif adalah alasan atau

dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan tindakan

bersikap tertentu, motif mempunyai dua unsur pokok yaitu dorongan/kebutuhan

34

dan unsur tujuan dimana proses interaksi timbal balik antara kedua unsur tersebut

terjadi dalam diri manusia (Handoko, 2002:51).

Motivasi adalah suatu faktor yang terdapat di dalam diri manusia, yang

menimbulkan, menyerahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motivasi

dipengaruhi pula oleh faktor-faktor seperti pengalaman masa lalu, taraf

intelegensia, kemampuan fisik, situasi lingkungan, dan cita-cita kedepannya.

Motivasi merupakan daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan

sesuatu, daya penggerak tersebut berasal dari dalam dan dari luar subyek untuk

melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sardiman,

2005: 47).

Menurut Djamarah (2004: 25), motivasi adalah gejala psikologis dalam

bentuk dorongan yang timbul pada diri seseorang sadar atau tidak sadar untuk

melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Motivasi bisa juga dalam

bentuk usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang tergerak melakukan

sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat

kepuasan dengan perbuatannya. Sementara itu, Amstrong (2003:56) menyatakan

bahwa, motivasi dimulai ketika seseorang secara sadar atau tidak sadar mengakui

sebuah kebutuhan yang tidak terpuaskan. Kebutuhan tersebut menciptakan sebuah

tujuan dan tindakan yang diharapkan dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan

tersebut. Apabila suatu tujuan tercapai sehingga kebutuhan akan terpuaskan, maka

tindakan yang sama akan cenderung diulang apabila kebutuhan serupa muncul

(terkadang hal ini disebut proses “penguatan”). Motivasi seseorang tergantung

pada motifnya, dimana motif ini yang sering didefinisikan oleh para ahli sebagai

35

need, keinginan, drive atau impuls yang ada dalam diri seseorang. Dan faktor-

faktor pemuas yang mengandung perasaan akan prestasi pertumbuhan profesional,

dan penghargaan agar seseorang dapat melakukan pekerjaan yang memberi

tantangan dan kesempatan (Hersey dan Blanchard dalam Moekijat, 2002:6).

Sudah jelas bahwa setiap tindakan motivasi mempunyai tujuan, semakin

jelas tujuan yang diharapkan atau yang akan dicapai, makin jelas pula bagaimana

tindakan motivasi itu dilakukan.

Menurut Sardiman (2005:45), menyebutkan ada tiga fungsi motivasi,

yaitu:

a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang

melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari

setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.

Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus

dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus

dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-

perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Susilo, 1987 (Dalam Simarmata, 2002) mengatakan bahwa Motvasi adalah

faktor-faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu.

Selanjutnya Widyastuti, dkk (2004) menyatakan bahwa motivasi seringkali

diartikan sebagai dorongan. Atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan

jasmani untuk berbuat, sehingga motivasi merupakan suatu suatu tenaga yang

36

menggerakan manusia untuk bertingkah laku di dalam perbuatannya yang

mempunyai tujuan tertentu. Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa:

1. Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi atau tenaga dalam diri

pribadi seseorang.

2. Motivasi di tandai dengan timbulnya perasaan yang mengarah tingkah laku

seseorang.

Motivasi di tandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.

Untuk mempermudah pemahaman motivasi penulis kemukakan pengertian

motivasi dari para ahli seperti menurut Moskowits yang dikutip oleh Hasibuan

(2003:144) :

“Motivation is usually defined the initiation and direction of behavior and

the study of motivation is in effect the study of course of behaviour “.

(Motivasi secara umum didefinisikan sebagai inisiasi dan pengarahan

tingkah laku dan pelajaran motivasi sebenarnya merupakan pelajaran

tingkah laku).

Menurut Hasibuan (2003:143), menyatakan adalah bahwa motivasi adalah

pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar

mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala daya

upayanya untuk mencapai kepuasan “.

Motivasi sering disebut penggerak perilaku (the energizer of behavior),

ada juga yang menyatakan bahwa motivasi adalah penentu (determinan) perilaku

(Irwanto, Elia dan Hadisoepadmo, 2004:36). Menurut Purwanto (2004:62),

motivasi merupakan suatu usaha yang didasari seseorang agar ia tergerak hatinya

untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.

37

Motivasi berkaitan erat dengan tujuan, secara umum dapat dikatakan

bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang

agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat

memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.

Motivasi berhubungan erat dengan motif, motif adalah alasan atau

dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan tindakan

bersikap tertentu, motif mempunyai dua unsur pokok yaitu dorongan/kebutuhan

dan unsur tujuan dimana proses interaksi timbal balik antara kedua unsur tersebut

terjadi dalam diri manusia (Handoko, 2002:51).

Motivasi adalah suatu faktor yang terdapat di dalam diri manusia, yang

menimbulkan, menyerahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motivasi

dipengaruhi pula oleh faktor-faktor seperti pengalaman masa lalu, taraf

intelegensia, kemampuan fisik, situasi lingkungan, dan cita-cita kedepannya.

Motivasi merupakan daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan

sesuatu, daya penggerak tersebut berasal dari dalam dan dari luar subyek untuk

melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sardiman,

2005: 47).

Menurut Kotler (2005), menyebutkan bahwa customer loyalty adalah

suatu pembelian ulang yang dilakukan oleh seorang pelanggan karena komitmen

pada suatu merek atau perusahaan. Loyalitas konsumen secara umum dapat

diartikan kesetiaan seseorang atas suatu produk, baik barang maupun jasa tertentu.

Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan

konsumen dalam menggunakan fasilitas maupun jasa pelayanan yang diberikan

38

oleh pihak perusahaan, serta untuk tetap menjadi konsumen dari perusahaan

tersebut. Loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu menjadi pelanggan, yang

memiliki kekuatan dan sikap positif atas perusahaan itu. Sudah jelas bahwa setiap

tindakan motivasi mempunyai tujuan, semakin jelas tujuan yang diharapkan atau

yang akan dicapai, makin jelas pula bagaimana tindakan motivasi itu dilakukan.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi

adalah suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar

pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan

motivasi kerja adalah kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai

tujuan dari motifnya, serta mendapatkan kepuasan dari hasil kerja yang

dicapainya.

Kotler & Keller (2006 ; 57): menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan

pelayanan perbankan, motivasi nasabah untuk terus melakukan transaksi

1. Repeat Purchase (kesetiaan terhadap produk);

2. Retention (Ketahanan terhadap pengaruh yang negatif mengenai

perusahaan);

3. Referalls (mereferensikan secara total esistensi perusahaan).

39

2.1.4 Teori Tentang Hubungan Kausal Antara Implementasi Kebijakan

Terhadap Kualitas Pelayanan

Dalam peningkatan pelayanan, tentunya harus memerlukan kebijakan-

kebijakan yang efektif dan efisien dalam menjalankan roda perusahaan. Hal

tersebut sesuai yang dikemukakan oleh Sofyandi (2000:83) bahwa kualitas

pelayanan dipengaruhi bagaimana implementasi kebijakan tersebut. Jadi

implementasi kebijakan yang baik akan meningkatkan kualitas pelayanan.

Menurut Kaswanto (2005: 47) menyatakan bahwa Implementasi kebijakan

merupakan unsur pokok dalam perkembangan perusahaan/badan dalam

pencapaian tujuan peningkatan kualitas yang berdampak pada peningkatan

pendapatan. Sedangkan menurut Mochtar (2001: 89) berpendapat bahwa sesuatu

kebijakan yang akan atau telah dilaksanakan menyangkut kualitas layanan dapat

diambil karena merupakan sebuah responsifitas atas suatu fenomena/gejala yang

timbul baik itu bersifat positif ataupun negatif.

Beberapa kebijakan menyangkut kualitas layanan tentunya merupakan

langkah-langkah antisipasi terhadap peluang atau hambatan yang terjadi, dimana

pemanfaatan tersebut berpengaruh pada kelangsungan lembaga tersebut. Sundjaya

(2004: 57) berpendapat bahwa pengambilan kebijakan menyangkut kualitas yang

baik akan berdampak pada bagaimana implementasi kebijakan tersebut,

implementasi kebijakan juga berdampak pada kualitas layanan yang diberikan.

Pada intinya implementasi kebijakan merupakan proses dimana di dalam

kebijakan tersebut terdapat unsur-unsur tujuan yaitu peningkatan yang positif dan

responsivitas terhadap realitas yang ada.

40

Agar implementasi kebijakan dapat dilaksanakan secara efektif, menurut

Edward III dalam Subarsono (2005), terdapat empat dimensi yang mempengaruhi

proses implementasi kebijakan yaitu:

1. Faktor sumber daya (resources), yaitu ketersediaan (a) SDM yang

mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, (b) perintah,

anjuran pimpinan, (c) dana, (d) informasi yang relefan dan yang

mencukupi tentang bagaimana cara mengimplementasikan kebijakan, dan

(e) sarana.

2. Struktur Birokrasi, yaitu dukungan institusi pelaksana yang tidak berbelit-

belit dan sederhana (efektif efisien).

3. Faktor Komunikasi, yaitu bagaimana menginformasikan semudah

mungkin sehingga dapat dipahami sasaran, maksud dan tujuan dari

kebijakan.

4. Faktor Disposisi (sikap), yaitu para pelaksana harus memiliki kemauan

untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Menurut Parasuraman dkk (dalam Zeithmail dan Bitner, 1996:118)

terdapat 5 (lima) determinan kualitas pelayanan yang dapat dirincikan sebagai

berikut:

1. Tangible, yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana

komunikasi.

2. Emphaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,

komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para

pelanggan.

3. Responsiveness, yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan

dan memberikan pelayanan dengan tanggap.

41

4. Reliability, yaitu kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan

segera, akurat, kehandalan dan memuaskan.

5. Asurance, yaitu mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat

yang dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf (bebas dari bahaya,

resiko dan keraguan).

2.1.5 Teori tentang Hubungan Kausal antara Kualitas Pelayanan terhadap

Motivasi Nasabah untuk Bertransaksi

Menurut Tjiptono (2006), nasabah yang puas akan termotivasi untuk terus

melakukan transaksi pada waktu yang akan datang dan memberikan kepada orang

lain atas jasa yang dirasakan. Menurut Dharmesta (1999), motivasi terbentuk

apabila pelanggan merasa merasa puas dengan kualitas pelayanan yang

diterimanya, dan berniat untuk terus melanjutkan hubungannya dengan penyedia

jasa tersebut. Dengan demikian motivasi nasabah untuk bertransaksi dapat terus

dipertahankan apabila pihak penyedia jasa berusaha untuk memberikan kualitas

pelayanan yang lebih baik kepada nasabahnya.

Kualitas pelayanan memberikan suatu dorongan kepada nasabah untuk

menjalin ikatan kebutuhan yang kuat dengan penyedia jasa. Dalam jangka

panjang, ikatan seperti ini memungkinkan penyedia jasa untuk memahami dengan

seksama harapan dan kebutuhan nasabah. Beradsarkan pengetahuan tentang

harapan dan kebutuhan nasabah inilah penyedia jasa dapat memperbaiki kualitas

layanannya. Apabila kualitas pelayanan semakin baik, yang ditunjukkan dengan

pelayanan yang handal, memiliki kualitas pelayanan yang memiliki daya tanggap,

memiliki jaminan pelayanan dan memiliki perhatian yang lebih, maka nasabah

42

akan merasa puas dan akan termotivasi untuk terus melakukan transaksi dengan

penyedia jasa.

Nasabah membentuk suatu harapan akan kualitas layanan dan bertindak

berdasarkan hal itu. Tingkat persepsi tentang kualitas layanan yang tinggi akan

meningkatkan motivasi nasabah. Semakin tinggi persepsi kualitas layanan yang

dirasakan oleh nasabah maka semakin besar kemungkinan terjadinya hubungan

(transaksi). Harapan nasabah ini dapat dikelompokkan ke dalam dua tingkatan

yang berbeda yaitu tingkat harapan yang lebih rendah yang dianggap cukup

memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar (harapan adequate), dan tingkat

harapan yang tinggi yang dianggap sebagai tingkat harapan desired atau superior

yang diinginkan. Untuk menjaga motivasi nasabah untuk terus melakukan

transaksi, pihak penyedia jasa harus selalu memberikan pelayanan prima dan

unggul.

Colgate dan Danaher (2002) pernah meneliti pengaruh implementasi suatu

strategi relasional yaitu mempertahankan motivasi nasabah lama untuk terus

melakukan transaksi daripada mencari nasabah baru. Penelitian mereka ini

berhasil memperlihatkan bahwa kualitas pelayanan penyedia jasa terhadap

nasabah berpengaruh secara asimetris terhadap tumbuhnya motivasi nasabah

untuk terus bertransaksi, di mana kualitas pelayanan yang buruk berakibat lebih

besar terhadap motivasi nasabah daripada pelayanan yang dikategorikan terbaik.

Implementasi strategi dengan kategori terbaik akan memlihara motivasi nasabah

untuk bertransaksi, meningkatkan kepuasan dan kesetiaan pelanggan lebih besar.

Gambar 2.4 merupakan ukuran/dimensi implementasi kebijakan terhadap

kualitas pelayanan dan motivasi:

43

Gambar 2.4 Kerangka Konseptual Penelitian

2.2 Kerangka Pemikiran

Untuk menjalankan roda perusahaan tentunya kualitas layanan merupakan

faktor penting dalam perkembangan perusahaan, tuntutan konsumen/nasabah

merupakan indikator dalam peningkatan pelayanan. Dalam menyiasati hal

tersebut biasanya perusahaan mengeluarkan kebijakan-kebijakan terhadap

perusahaan, kebijakan tersebut bersifat peningkatan kualitas pelayanan. Berikut

merupakan Gambar 2.5 kerangka pemikiran penelitian:

Implementasi

Kebijakan

Weekend

Banking

Motivasi

Nasabah untuk

Bertransaksi

Kualitas Pelayanan

44

Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran

Retention

Kualitas Pelayanan (Weekend Banking)

1. Keterandalan (realibility)

2. Keresponsifan (responsiveness),

3. Keyakinan (assurance),

4. Empati (emphaty),

5. Berwujud (tangible)

1. Bagaimana implementasi kebijakan layanan weekend banking,, kualitas pelayanan dan motivasi nasabah di

Bank BJB Cabang Buah Batu?

2. Sejauhmana pengaruh kebijakan layanan weekend banking terhadap kualitas pelayanan di Bank BJB Cabang

Buah Batu?

3. Sejauhmana pengaruh implementasi kebijakan terhadap motivasi nasabah di di Bank BJB Cabang Buah Batu

baik secara langsung maupun tidak langsung?

4. Sejauhmana pengaruh kualitas layanan weekend banking terhadap motivasi nasabah di Bank BJB Cabang Buah

Batu?

5. Sejauhmana pengaruh implementasi kebijakan layanan weekend banking dan kualitas layanan secara bersama-

sama terhadap motivasi nasabah di motivasi nasabah di Bank BJB Cabang Buah Batu?

Pengaruh Implementasi Kebijakan Layanan Weekend Banking Terhadap Kualitas

Pelayanan dan Dampaknya Terhadap Motivasi Nasabah Di BJB Cabang Buah Batu

Efektifitas Layanan

Pendayagunaan Layanan

Motivasi Nasabah untuk Bertransaksi

Repeat Purchase

Referall

Perkembangan Persaingan Antar Perbankan

Penyusunan Kebijakan (Weekend Banking)

Implementasi Kebijakan (Weekend Banking)

Peningkatan Kebutuhan Nasabah/Konsumen Terhadap Kualitas

Pelayanan

Faktor Sumber Daya Struktur Birokrasi

Faktor Disposisi Faktor Komunikasi

45

2.3 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dan kerangka pikir

teoritis yang digambarkan di atas, maka hipotesis yang dikemukakan dalam

penelitian ini sebagai berikut:

1. Implementasi kebijakan layanan weekend banking mempunyai pengaruh

langsung terhadap kualitas pelayanan nasabah di bank bjb Cabang Buah

Batu.

2. Kualitas pelayanan nasabah mempunyai pengaruh langsung terhadap

motivasi bertransaksi nasabah bank bjb Cabang Buah Batu.

3. Implementasi Kebijakan Layanan Weekend Banking mempunyai pengaruh

langsung terhadap motivasi bertransaksi nasabah bank bjb Cabang Buah

Batu.

4. Implementasi kebijakan layanan weekend banking mempunyai pengaruh

tidak langsung terhadap motivasi bertransaksi nasabah melalui kualitas

pelayanan di bank bjb Cabang Buah Batu.