Upload
dinhkiet
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian lain yang telah dilakukan berkaitan dengan topik implementasi
kebijakan dan kualitas pelayanan adalah:
1. Sukarno Wibowo, 2007.
Sukarno Wibowo (2007) dari Universitas Pendidikan Indonesia
melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Tingkat Keamanan dan
Kualitas Layanan Terhadap Kinerja Keuangan Hotel. Penelitian ini
bertujuan (1) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh tingkat
keamanan terhadap kinerja keuangan hotel di Kabupaten Garut Provinsi
Jawa Barat. (2) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kualitas
layanan yang terhadap kinerja keuangan hotel di Kabupaten Garut
Provinsi Jawa Barat. (3) Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh
tingkat keamanan dan kualitas layanan terhadap kinerja hotel di
Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan karakteristik masalahnya, penelitian ini menggunakan
metode kuantitatif. Hasil penelitian yaitu Tingkat keamanan dan kualitas
layanan berpengaruh kepada kinerja hotel.
9
2. Tantan Sontani, 2008.
Penelitian lain dilakukan oleh Tantan Sontani, (2008) dengan judul
Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil Terhadap Kinerja Pegawai Pelaksana Di
Sekretariat Daerah Kota Sukabumi. Penelitian ini bertujuan (1)
Memperoleh data dan menganalisis pengaruh implementasi kebijakan
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS terhadap kinerja pegawai pelaksana
di Sekretariat Daerah Kota Sukabumi. (2) Mengetahui besaran pengaruh
dari dimensi-dimensi implementasi kebijakan tentang Penilaian
Pelaksanaan Pekerjaan PNS terhadap kinerja pegawai pelaksana.
Berdasarkan karakteristik masalahnya, penelitian ini menggunakan
metode kuantitatif. Hasil penelitian yaitu Implementasi kebijakan tentang
penilaian berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
3. Noor Amien, 2006.
Penelitian lain dilakukan oleh Noor Amein, (2006) dengan judul
Evaluasi nasabah terhadap kualitas pelayanan Bank Pembiayaan Rakyat
syariah Bangun derajat Warga (BPRSBDW) dalam meningkatkan
kepuasan nasabah. Penelitian ini bertujuan (1) Untuk menganalisis
evaluasi nasabah terhadap kualitas pelayanan ditinjau dari dimensi
tangible, realibility, responsiveness, assurance dan emphaty. (2) Untuk
menganalisis tingkat kepuasan nasabah BPRS BDW Yogyakarta terhadap
kualitas pelayananan ditinjau dari dimensi tangible, realibility,
responsiveness, assurance dan emphaty. (3) Untuk menganalisis pengaruh
10
kualitas pelayanan terhadap kepuasan nasabah BPRS BDW Yogyakarta.
DAN (4) Untuk menganalisis upaya meningkatkan kepuasan nasabah
BPRS BDW Yogyakarta.
Berdasarkan karakteristik masalahnya, penelitian ini menggunakan
metode kuantitatif. Hasil penelitian yaitu secara simultan (pengujian
variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan secara bersama-sama)
kualitas layanan dimensi-dimensi tangible, reliability, responsiveness,
assurance, dan empaty mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap kepuasan nasabah.
2.1.2 Landasan Teori
2.1.2.1 Implementasi Kebijakan
Istilah atau kata kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy (bahasa
inggris). Secara etimologis kata policy itu diturunkan dari bahasa latin Politia;
Yunani politeia, polity yang berasal dari kata polis. Kata policy (kebijakan)
tersebut, dalam penggunaannya ditemui adanya keragaman sehingga sulit untuk
dirumuskan dan diberikan makna yang tunggal, atau sulit bagi kita untuk
memperlakukan kata kebijakan sebagai sebuah gejala yang khas dan konkrit,
terutama bila kebijakan itu dilihat sebagai suatu proses yang terus berkembang
dan berkelanjutan mulai dari proses perumusan sampai dengan implementasinya.
Keragaman tersebut disebabkan adanya perbedaan penekanan tentang kebijakan
diantara para ahli. Sebagian dari mereka ada yang menekankan kebijakan sebagai
suatu usaha, tindakan dan sikap yang direncanakan. Sedangkan yang lain
11
menekankan kebijakan sebagai suatu produk (hasil) menurut Ripley (dalam
Tachjan, 2005:28).
Kebijakan selalu mencakup struktur yang mendua. Di satu sisi kebijakan
mempunyai dimensi instrumental dalam menghasilkan keputusan, program, dan
hasil lainnya dengan nilai-nilai yang diyakini para aktor pengambil kebijakan,
adanya seperangkat hubungan dalam kebijakan yang merupakan jalur komunikasi
norma-norma etika dan moral, proses membangun jalinan kepercayaan (trust) dan
solidaritas antar aktor. Di sisi lain kebijakan dapat menghasilkan “nilai-nilai”
yang anti nilai seperti dominasi dan proses non developmental. Setidaknya itu
yang diutarakan Considine dalam bukunya Public Policy A Critical Approach
(1994).
Berangkat dari pengertian Kebijakan, Hoogerwerf (2003:3-4) memberikan
pengertian yaitu yang dimaksud kebijakan adalah suatu usaha untuk mencapai
tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dalam urutan waktu tertentu.
Sedangkan Siagian (2003:11) merumuskan sebagai berikut:
“Kebijakan adalah berbagai kegiatan pengambilan keputusan yang
strategis yang menyangkut keseluruhan organisasi serta berkaitan dengan
hal-hal yang nilainya strategis ditinjau dari sudut kepentingan pelestarian
organisasi yang pada gilirannya akan memungkinkan mencapai tujuan
yang telah ditetapkan”.
Pengertian berikutnya dikemukakan oleh Islamy (2000:17) sebagai
berikut:
“Kebijakan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk
mencapai suatu tujuan, oleh karena itu suatu kebijakan harus memuat 3
elemen yaitu:
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
12
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara
nyata dari taktik, atau strategik.”
Sedangkan menurut Edward the 3rd (dalam Sundari, 2005:32) Kebijakan
adalah:
“Apa yang dikatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh
lembaga/organisasi. Kebijakan itu berupa sasaran atau tujuan dari berbagai
program lembaga/organisasi, selanjutnya bahwa kebijakan itu dapat
ditetapkan secara jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan, atau
dalam bentuk pidato pejabat.”
Adapun menurut Laswell dan Kaplan (2000:71) mengemukakan bahwa
kebijakan sebagai; “a projected program of goals values and practices”.
Selanjutnya Eulau dan Prewitt (2003:465) mengemukakan bahwa ; “policy as a
„standing decision‟ characterized by behavioral consistency and repetitiveness on
the part of both those who make it and those who abide by it”. Dan Anderson
(1978:3) mengemukakan bahwa kebijakan sebagai ; “a purposive course of action
followed by an actor or set of actors in dealing with a problem of matter of
concern”. (dalam Tachjan, 2005:29).
Pendapat para ahli di atas, dapat diperoleh suatu gambaran bahwa
kebijakan pada hakekatnya sebagai suatu rangkaian upaya terarah yang dilakukan
oleh seorang atau sekelompok pelaku karena adanya tujuan yang hendak dicapai
atau masalah yang harus dipecahkan. Upaya ini dilakukan dengan menggunakan
sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Atau dengan kata lain kebijakan
merupakan suatu tindakan atau perbuatan pengambilan keputusan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok dalam usaha memilih dan mencapai tujuan-tujuan
organisasi dalam suatu kurun waktu tertentu.
13
Banyaknya pengertian implementasi kebijakan yang diketengahkan oleh
para ahli sangat bervariasi. Dunn (2000:80) mengemukakan bahwa implementasi
kebijakan adalah pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan sampai tercapainya
hasil kebijakan. Van Meter dan Van Horn (2005:11) merumuskan proses
implementasi kebijakan sebagai:
“Those actions by public or privat, individuals (or groups) that are
direcied at the achievement of objectives set forth in prior policy
decisions. (Keseluruhan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu/pejabat perusahaan diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan
yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan).”
Pengertian lain dikemukakan oleh Maarse (dalam Sunggono, 1994:137)
bahwa:
“Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu
tertentu”.
Sedangkan Hamdi (1999:5) menyebutkan bahwa:
“Pelaksanaan kebijakan merupakan penjabaran lebih lanjut dari tujuan
yang telah ditetapkan tersebut oleh pejabat atau instansi pelaksana”.
Implementasi kebijakan merupakan aspek paling penting dari keseluruhan
proses kebijakan. Udoji (dalam Wahab, 2002: 59) dengan tegas menyatakan
bahwa:
“The execution of policies is as important if not more important than
policy making. Policies will remain dreams or blue prints file jackets
unless they are implemented. (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang
penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan
akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam
arsip kalau tidak diimplementasikan).”
14
Implementasi kebijakan itu sendiri mengandung beberapa makna,
sebagaimana yang dirumuskan dalam kamus Webster (dalam Wahab, 2007 ;64)
bahwa:
“To implement (mengimplementasikan) berarti to privade the means for
carriying but (menimbulkan/dampak) akibat terhadap sesuatu. Kalau
pandangan ini diikuti, maka implementasi kebijakan dapat dipandang
sebagai suatu proses untuk melaksanakan keputusan kebijakan.”
Senada dengan itu Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (dalam
Wahab, 2002:65) memberikan penjelasan mengenai makna implementasi tersebut
sebagai berikut :
“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program
dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian
implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan
yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan negara
yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministerasikannya
maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau
kejadian-kejadian.”
Van Meter dan Horn (dalam Subarsono (2005) menyatakan bahwa
terdapat enam variabel yang memberikan pengaruh terhadap kinerja implementasi
kebijakan, yaitu:
1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan menurut
kedua pakar ini harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila
standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi
dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.
2. Sumberdaya. implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik
sumber daya manusia (human resources) maupun sumberdaya non
manusia (non human resources).
15
3. Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah
program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu,
diperlukan koordinasi dan kerja sama dengan instansi lain agar sasaran
kebijakan/program tercapai.
4. Karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, norma-
norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang
semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu kebijakan.
5. Kondisi sosial politik dan ekonomi yang mencakup sumber daya ekonomi
lingkungan implementasi kebijakan; sejauh mana kelompok-kelompok
kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan;
bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elit
politik mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi implementor yang mencakup lima hal penting yakni: (1) respon
implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauan untuk
melaksanakan kebijakan; (2) kognisi, yakni pemahamannya terhadap
kebijakan; dan (3) intensitas disposisi implementor, yakni prefensi nilai
yang dimiliki oleh implementor. Hubungan keenam tersebut terlihat
seperti gambar 2.1 berikut
16
Bagan 2.1.
Model Implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn
Gambar 2.1.
Model implementasi Kebijakan Menurut Van Meter dan Van Horn
Sumber: Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005)
Grandile dalam Subarsono (2005) berpendapat bahwa implementasi
dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy).
Variabel isi kebijkan mencakup; (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran
termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima masyarakat; (3)
sejauh mana perubahan dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program
sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya
dengan rinci dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya manusia.
Menurut pandangan George C. Edwards III dalam Subarsono, (2005),
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) variabel, yaitu: (1)
komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.
Pertama, komunikasi. Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan
agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan
dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target
Komuikasi antar organisasi
dan kegiatan pelaksanaan
Ukuran dan
tujuan kebijakan
Sumberdaya
Karakteristik badan
pelaksana
Lingkungan ekonomi, sosial
dan politik
Disposisi pelaksana
Kinerja
implement
asi
17
group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan
sasaran suatu kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka
kemungkinan akan terjadi resitensi dari kelompok sasaran.
Kedua, sumberdaya. Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan
secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya
untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya
tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia untuk melaksanakannya, yakni
kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumber daya adalah faktor
penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan
hanya tinggal di atas kertas dan menjadi dokumen saja.
Ketiga, disposisi. Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki
oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila
implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.
Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat
kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.
Keempat, struktur organisasi/birokrasi. Struktur organisasi yang bertugas
mengimplementasi kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap
organisasi adalah standar operating procedures (SOP). SOP menjadi pendoman
bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi terlalu panjang akan
cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur
birokrasi yang rumit dan komplek. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas
18
organisasi tidak fleksibel. Berikut dibawah ini merupakan model Implementasi
kebijakan menurut George C Edwards III:
Gambar 2.2
Model Implementasi Kebijakan Menurut George C Edwards III
Sumber : Edward (dalam Subarsono, 2005: 98).
Implementasi kebijakan harus diwujudkan dalam bentuk program-program
yang lebih rinci, proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila
tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci,
program-program telah dirancang dan sejumlah biaya telah dialokasikan untuk
mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Hal inilah yang
merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan apapun.
Sebagaimana dikemukakan di atas, kebijakan pada hakekatnya merupakan
suatu rangkaian upaya terarah yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan atau
memecahkan masalah. Memahami konsep kebijakan (policy), dipandang perlu
Sumberdaya
Komunikasi
Struktur Organisasi
Implementasi
Disposisi
Struktur Birokrasi
19
untuk mempetanyakan, apa saja yang telah tercakup di dalamnya, karena kegiatan
perusahaan mencakup seluruh aspek kehidupan konsumen. Kebijakan pada
dasarnya meliputi keseluruhan aspek kehidupan baik yang bersifat memberikan
pelayanan, melakukan pengaturan mendistribusikan apa saja yang menjadi harta
benda dan kekayaan, melaksanakan kegiatan pelayanan dan perlindungan kepada
masyarakat dan lain sebagainya. Kegiatan pembuatan kebijaksanaan mencakup
beberapa hal seperti dikemukakan oleh Rasyid dkk (2002:239) yaitu :
1. Kegiatan membuat kebijaksanaan yang bersifat distributif.
2. Kebijakan yang mengatur kompetisi.
3. Kebijaksanaan yang mengatur perlindungan.
4. Kebijaksanaan yang menyangkut redistribusi kekayaan masyarakat.
5. Kebijaksanaan yang bersifat ekstratif.
6. Kebijaksanaan strategis.
7. Kebijaksanaan karena krisis.
Kebijakan selain dapat menentukan arah umum yang harus ditempuh
untuk mengantisipasi masalah dalam konsumen dapat pula menentukan ruang
lingkup permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Kebijakan pada dasarnya
merupakan ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk,
cara bagi setiap usaha dan kegiatan pegawai perusahaan sehingga tercapai
kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan tertentu. Konsep kebijakan
(policy) menurut Sulaeman (1998:24) adalah:
“Sebagai suatu proses yang mengandung pola aktifitas tertentu dan
merupakan seperangkat keputusan yang bersangkutan dengan tindakan
untuk mencapai tujuan dalam beberapa cara yang khusus. Dengan
demikian, konsep policy berhubungan dengan pola aktifitas perusahaan
mengenai sejumlah masalah serta mengandung tujuan”.
Santoso (1988:50) berpendapat bahwa kebijakan dapat diartikan :
20
“Serangkaian keputusan yang dibuat oleh perusahaan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk
mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan
perusahaan”.
Pendapat itu menyiratkan bahwa kebijakan berhubungan dengan
keputusan dan masalah yang dihadapi oleh perusahaan. Kebijakan ini dapat dalam
bentuk berupa aturan-aturan sebagai petunjuk bagi pelaksana kebijakan. Pada
dasarnya kebijakan perusahaan itu harus mengabdi kepada kepentingan
konsumen. Islamy (2000:20) mengemukakan pendapatnya bahwa kebijakan
perusahaan (policy) adalah serangkaian tindakan yang dilaksanakan oleh
perusahaan yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
kepentingan seluruh masyarakat. Proses kebijakan perusahaan harus
memperhatikan serangkaian tahap atau beberapa langkah, yang menurut para ahli
kebijakan berbeda-beda dalam mengelompokkan tahap-tahap tersebut.
Tjokroamidjojo (1991:14) menyatakan bahwa :
“Proses kebijakan terdiri dari beberapa langkah yaitu ; policy germination
(kebijakan bertunas), policy recommendation (tahap rekomendasi), policy
analysis (penganalisaan kebijakan), policy decision (tahap pengambil
keputusan), policy implementation (pelaksanaan kebijakan), dan policy
evaluation (penilaian kebijakan)”.
Menurut Dunn (2000:37) menjelaskan bahwa umumnya proses pembuatan
kebijakan dapat dibedakan ke dalam enam tahap sebagai berikut:
1. Pendefinisian masalah (policy formulation).
2. Penentuan agenda (agenda setting).
3. Perumusan alternatif kebijakan (policy formulation).
4. Pemilihan alternatif kebijakan (policy adoption).
5. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation).
6. Penilaian kebijakan (policy evaluation).
21
Fokus dalam pembahasan ini adalah tahap pelaksanaan kebijakan (policy
implementation). Sebuah kebijakan yang tersusun dengan baik akan lebih terarah,
namun memerlukan waktu untuk berkembang dan seharusnya tetap
memperhatikan hal-hal seperti yang dikemukakan oleh Winardi (2000:120)
sebagai berikut:
1. Memungkinkan penafsiran terbuka dan penilaian.
2. Bersifat konsisten dan tidak boleh ada dua kebijakan yang saling
bertentangan dalam suatu organisasi.
3. Harus sesuai dengan keadaan yang berkembang.
4. Harus membantu pencapaian sasaran dan harus dibantu dengan fakta-
fakta yang objektif.
5. Harus sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal.
Di samping kebijakan tersebut perlu disusun dengan baik, ada pula
beberapa faktor yang turut memperbaiki kualitas suatu kebijakan, seperti yang
disampaikan Tjokroamidjojo (1991:116) yaitu :
1. Jangan didasarkan pada selera seketika (whims) tetapi harus melalui
proses yang rasional berdasarkan akal sehat.
2. Penyempurnaan informasi dan sistem informasi bagi analisa dan
pembentukan kebijakan.
3. Dikembangkan unified approach dalam perumusan kebijakan.
4. Peka terhadap kebutuhan objektif konsumen
Pada dasarnya rumusan kebijakan memang harus bersikap objektif baik
sebagai dasar analisisnya maupun kondisi kebutuhan konsumen atau objek yang
akan terkena dampak dari kebijakan yang akan diambil serta dapat memudahkan
penentu kebijakan untuk mengadakan revisi atau perbaikan jika ternyata
pelaksanaannya tidak sesuai dengan kondisi objektifnya.
Adapun tujuan dari kebijakan adalah dapat dipeolehnya nilai-nilai oleh
konsumen, baik yang bertalian dengan public goods maupun public service. Nilai-
nilai tersebut sangat dibutuhkan oleh konsumen untuk meningkatkan kualitas
22
hidupnya baik fisik maupun nonfisik. Kebijakan ini sangat diperlukan dalam
konteks alokasi, distribusi, regulasi dan stabilisasi, Tachjan (2005:31). Secara
tipikal kebijakan merupakan tindakan yang berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan
melibatkan banyak keputusan yang diantaranya ada yang merupakan keputusan rutin, ada
yang tidak rutin. Lebih dari itu, dalam praktek pembuatan kebijakan jarang dijumpai
suatu kebijakan yang hanya terdiri dari keputusan tunggal. Dalam konteks ini akan
dibahas paradigma-paradigma dan pendekatan-pendekatan proses pembuatan kebijakan
berdasarkan berbagai kepustakaan.
Easton (dalam Masoed & Andrew, 1992:5) mengembangkan teori analisis
Sistem. Menurut pendekatannya, setiap sistem tentu memiliki sifat: (1) Terdiri
dari banyak kegiatan-kegiatan, (2) Bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling
bergantungan, (3) Sistem itu mempunyai perbatasan (bounderies) yang
memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem-sistem lain.
Pendekatan ini mengadopsi teori-teori astronomi yang menganggap sistem tata
surya sebagai suatu kejadian-kejadian yang kompleks. Pada sisi ini Easton (dalam
Mas'oed & Andrew, 1992:5) menyatakan bahwa:
”Bila kita berpegang pada anggapan bahwa sistem tingkah laku
merupakan suatu unit tersendiri, maka akan terlihat bahwa yang menjamin
terus bekerjanya sistem ini adalah berbagai macam input. Input-input ini
diubah oleh proses-proses yang terjadi dalam sistem itu menjadi output-
output dan selanjutnya output ini menimbulkan pengaruh terhadap sistem
itu sendiri maupun terhadap lingkungan dimana sistem berada”.
Rumusan ini sangat sederhana tetapi juga cukup memadai untuk
menjelaskan berbagai hal: Input – Proses - Output. Secara diagram dapat dilihat
dalam gambar berikut:
23
Gambar 2.3
Analisis Sistem
Sumber : Wahab (2002:43)
Teori analisis sistem yang dikembangkan tersebut dalam
perkembangannya sangat mempengaruhi paradigma para ahli Kebijakan
merumuskan pendekatan proses pembuatan Kebijakan, diantaranya Lindblom dan
Bauer (dalam Wahab, 2002:16). Lindblom menuturkan bahwa:
”Pembuatan Kebijakan (policy making) itu pada hakekatnya merupakan
proses politik yang sangat kompleks dan analitis di mana tidak mengenal
saat dimulai dan diakhirnya, dan batas-batas dari proses itu sesungguhnya
yang paling tidak pasti”.
Sedangkan Bauer merumuskan ”Pembuatan kebijakan sebagai proses
transformasi atau pengubahan input-input politik menjadi output-output politik”.
Aktivitas politik tersebut dijelaskan dan divisualisasikan oleh Dunn (alih Bahasa
Wibawa, 1998:22) sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur
menurut urutan waktu; penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Macam pendekatan kebijakan berdasarkan sudut proses di atas, pada
dasarnya mencoba untuk menggambarkan bagaimana kebijakan itu dibuat. Di
samping macam pendekatan ini, Henry (dalam Islamy, 2000:36), menyebutkan
Tuntutan
Proses
Dukungan Kebijakan
Keputusan I
N
P
U
T
O
U
T
P
U
T
24
tipologi lain, yaitu pendekatan kebijakan dari sudut hasil dan akibat yang lebih
“preskriptif”. Maksud dari pendekatan ini adalah menunjukan cara-cara untuk
meningkatkan mutu dan kualitas isi, hasil dan akibat dari kebijakan atau dengan
singkat menunjukan bagaimana caranya meningkatkan kualitas proses pembuatan
kebijakan.
2.1.2.2 Kualitas Pelayanan
Definisi kualitas sangat beranekaragam dan mengandung banyak makna.
Kualitas adalah sebuah kata yang bagi penyedia jasa merupakan sesuatu yang
harus dikerjakan dengan baik. Lovelock (2001:41) memberikan pengertian
kualitas pelayanan sebagai tingkat kesempurnaan yang diharapkan dan
pengendalian atas kesempurnaan tersebut untuk memenuhi keinginan konsumen,
sedangkan menurut Parasuraman, et al (2001: 51) kualitas layanan merupakan
perbandingan antara layanan yang dirasakan (persepsi) konsumen dengan kualitas
layanan yang diharapkan konsumen. Jika kualitas layanan yang dirasakan sama
atau melebihi kualitas layanan yang diharapkan, maka layanan dikatakan
berkualitas dan memuaskan.
Armstrong (2004: 102) mendefinisikan pelayanan adalah:
“Tindakan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu badan usaha kepada
pihak lain yang bersifat tidak terwujud dan tidak menghasilkan
kepemilikan sesuatu. Produksinya dapat berhubungan dengan produk fisik
ataupun tidak.”
Menurut Buddy (dalam Anis Wahyuningsih, 2002:10) berpendapat bahwa:
25
“Kualitas sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang
dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen internal dan
eksternal, secara eksplisit dan implisit”.
Sedangkan Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono 2008:51) mendefinisikan:
“Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau
melebihi harapan”.
Parasuraman et. Al (1985) mengatakan ada dua faktor utama yang
mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expective service (pelayanan yang diharapkan)
dan perceived service (pelayanan yang diterima). Karena kualitas pelayanan
berpusat pada upaya pemenuhan dari keinginan pelanggan serta ketepatan
penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan, untuk itu maka, Zeitmal
(1996: 177) mendefinisikan bahwa pelayanan adalan penyampaian secara
excellent atau superior dibandingkan dengan harapan konsumen.
Dalam perkembangan selanjutnya, Parasuraman dkk (dalam Zeithmail dan
Bitner, 1996:118) mengatakan bahwa konsumen dalam melakukan penilaian
terhadap kualitas jasa ada lima dimensi yang perlu diperhatikan:
1. Tangible, yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana
komunikasi.
2. Emphaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,
komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para
pelanggan.
26
3. Responsiveness, yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan
dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
4. Reliability, yaitu kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan
segera, akurat, kehandalan dan memuaskan.
5. Asurance, yaitu mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat
yang dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf (bebas dari bahaya,
resiko dan keraguan).
Tjiptono (1991:61) menyimpulkan bahwa citra kualitas layanan yang baik
bukanlah berdasarkan sudut pandang/persepsi penyedia jasa, melainkan
berdasarkan sudut pandang/persepsi konsumen. Hal ini disebabkan karena
konsumenlah yang mengkonsumsi serta yang menikmati jasa layanan, sehingga
merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi konsumen
terhadap kualitas jasa merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap keunggulan
suatu jasa layanan.
Bagi pelanggan kualitas pelayanan adalah menyesuaikan diri dengan
spesifikasi yang dituntut pelanggan. Pelanggan memutuskan bagaimana kualitas
yang dimaksud dan apa yang dianggap penting. Pelanggan mempertimbangkan
suatu kualitas pelayanan. Untuk itu, kualitas dapat dideteksi pada persoalan
bentuk, sehingga dapat ditemukan:
1. Kualitas pelayanan merupakan bentuk dari sebuah janji.
2. Kualitas adalah tercapainya sebuah harapan dan kenyataan sesuai
komitmen yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Kualitas dan integritas merupakan sesuatu yang tak terpisahkan.
27
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan
pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur
ketakberwujudan yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainya dan
memberikan berbagai manfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Setiap pemberi jasa
perlu mengetahui, mengantisipasi, dan memenuhi kebutuhan serta keinginan
pelanggan dengan harapan bisa memuaskan konsumen sehingga bisa terjadi
pembelian yang terulang (repeated purchase) atau pelayanan yang diberikan.
Terdapat kriteria yang mencirikan pelayanan sekaligus membedakannya
dari barang Gaspersz (2002: 61) yaitu:
1. Pelayanan merupakan keluaran tak berbentuk (intangible output);
2. Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar;
3. Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat dikonsumsi
dalam produksi;
4. Hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses
pelayanan;
5. Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan;
6. Keterampilan personel diterjunkan secara langsung ke pelanggan;
7. Pelayanan tidak diproduksi secara massal;
8. Perusahaan jasa pada umumnya bersifat padat karya;
9. Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan;
10. Pengukuran efektifitas pelayanan bersifat subyektif;
11. Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian proses;
12. option penetapan harga adalah lebih rumit.
David Garvin, (dalam Zulian Yamit, 2005 : 9-10) mengidentifikasikan
lima pendekatan perspektif kualitas yang dapat digunakan oleh para praktisi
bisnis, yaitu :
1. Transcendental Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu yang dapat dirasakan, tetapi
sulit didefinisikan dan dioperasionalkan maupun diukur. Perspektif ini
umumnya diterapkan dalam karya seni seperti musik, seni tari, seni drama
28
dan seni rupa. Untuk produk dan jasa pelayanan, perusahaan dapat
mempromosikan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan seperti
kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), kecantikan wajah
(kosmetik), pelayanan prima (bank) dan tempat berbelanja yang nyaman
(mall). Definisi seperti ini sangat sulit untuk dijadikan sebagai dasar
perencanaan dalam manajemen kualitas.
2. Product-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau atribut yang
dapat diukur. Perbedaan kualitas mencerminkan adanya perbedaan atribut
yang dimiliki produk secara objektif, tetapi pendekatan ini dapat
menjelaskan perbedaan dalam selera dan preferensi individual.
3. User-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas
tergantung pada orang yang memandangnya, dan produk yang paling
memuaskan preferensi seseorang atau cocok dengan selera (fitnes for
used) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Pandangan yang
subjektif ini mengakibatkan konsumen yang berbeda memiliki kebutuhan
dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah
kepuasan maksimum yang dapat dirasakannya.
4. Manufacturing-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah bersifat supply-based atau dari sudut
pandang produsen yang mendefinisikan kualitas sebagai sesuatu yang
sesuai dengan persyaratannya (conformance quality) dan prosedur.
29
Pendekatan ini berfokus pada kesesuaian spesifikasi yang ditetapkan
perusahaan secara internal. Oleh karena itu, yang menentukan kualitas
adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, dan bukan konsumen
yang menggunakannya.
5. Value-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari segi nilai
dan harga. Kualitas didefinisikan sebagai ” affordable excellence ”. Oleh
karena itu kualitas dalam pandangan ini bersifat relatif, sehingga produk
yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling
bernilai. Produk yang paling bernilai adalah produk yang paling tepat
dibeli.
Pendekatan pertama dikemukakan oleh Karl Albrcht (dalam Zulian Yamit,
2005: 23) yang mendasarkan pendekatan pada dua konsep pelayanan berkualitas,
yaitu service triangle dan total quality service diterjemahkan sebagai layanan
mutu terpadu Budi W.Soetjipto (dalam Zulian Yamit, 2005: 23).
1. Service Triangle
Sevice triangle adalah suatu model interaktif manajemen pelayanan yang
menghubungkan antara perusahaan dengan pelanggannya. Model tersebut
terdiri dari tiga elemen dengan pelanggan sebagai titik fokus Albrecht and
Zemke , dalam Budi W.Soetjipto (dalam Zulian Yamit, 2005 : 23 ) yaitu :
a. Strategi pelayanan (service strategy)
Strategi pelayanan adalah strategi untuk memberikan pelayanan
kepada pelanggan dengan kualitas sebaik mungkin sesuai standar yang
telah ditetapkan perusahaan. Standar pelayanan ditetapkan sesuai
keinginan dan harapan pelanggan sehingga tidak terjadi kesenjangan
antara pelayanan yang diberikan dengan harapan pelanggan. Strategi
30
pelayanan harus pula dirumuskan dan diimplementasikan seefektif
mungkin sehingga mampu membuat pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan tampil beda dengan pesaingnya. Untuk merumuskan dan
mengimplementasikan strategi pelayanan yang efektif, perusahaan
harus fokus pada kepuasan pelanggan sehingga perusahaan mampu
membuat pelanggan melakukan pembelian ulang bahkan mampu
meraih pelanggan baru.
b. Sumberdaya manusia yang memberikan pelayanan (service people)
Orang yang berinteraksi secara langsung maupun tidak berinteraksi
langsung dengan pelangan harus memberikan pelayanan kepada
pelanggan secara tulus (empathy), responsif, ramah, fokus, dan
menyadari bahwa kepuasan pelanggan adalah segalanya. Untuk itu
perusahaan harus pula memperhatikan kebutuhan pelanggan
internalnya (karyawan) dengan cara menciptakan lingkungan kerja
yang kondusif, rasa aman dalam bekerja, penghasilan yang wajar,
manusiawi, sistem penilaian kinerja yang mampu menumbuhkan
motivasi. Tidak ada gunanya perusahaan membuat strategi pelayanan
dan menerapkannya secara baik untuk memuaskan pelanggan
eksternalnya, sementara pada saat yang sama perusahaan gagal
memberikan kepuasan kepada pelanggan internalnya, demikian pula
sebaliknya.
c. Sistem pelayanan (service system)
Sistem pelayanan adalah prosedur pelayanan kepada pelanggan yang
melibatkan seluruh fasilitas fisik termasuk sumberdaya manusia yang
dimiliki perusahaan. Sistem pelayanan harus dibuat secara sederhana,
tidak berbelit-belit dan sesuai standar yang telah ditetapkan
perusahaan. Untuk itu perusahaan harus mampu melakukan desain
ulang sistem pelayanannya, jika pelayanan yang diberikan tidak
memuaskan pelanggan. Desain ulang sistem pelayanan tidak berarti
harus merubah total sistem pelayanan, tapi dapat dilakukan hanya
bagian tertentu yang menjadi titik kritis penentu kualitas pelayanan.
Misalnya, dengan memperpendek prosedur pelayanan atau karyawan
diminta melakukan pekerjaan secara cepat dengan menciptakan one
stop service.
2. Total Quality Service
Pelayanan mutu terpadu adalah kemampuan perusahaan untuk
memberikan pelayanan berkualitas kepada orang yang berkepentingan
dengan pelayanan (stakeholders), yaitu pelanggan, pegawai dan pemilik.
31
Pelayanan mutu terpadu memiliki lima elemen penting yang saling terkait
Albrecht , dalam Budi W.Soetjipto (dalam Zulian Yamit, 2005: 24) yaitu :
a. Market and customer research adalah penelitian untuk mengetahui
struktur pasar, segmen pasar, demografis, analisis pasar potensial,
analisis kekuatan pasar, mengetahui harapan dan keinginan pelanggan
atas pelayanan yang diberikan.
b. Strategy formulation adalah petunjuk arah dalam memberikan
pelayanan berkualitas kepada pelanggan sehingga perusahan dapat
mempertahankan pelanggan bahkan dapat meraih pelanggan baru.
c. Education, training and cummunication adalah tindakan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu
memberikan pelayanan berkualitas, mampu memahami keinginan dan
harapan pelanggan.
d. Process improvement adalah desain bulang berkelanjutan untuk
menyempurnakan proses pelayanan, konsep P-D-A-C dapat
diterapkan dalam perbaikan proses pelayanan berkelanjutan ini.
e. Assessment, measurement and feedback adalah penilaian dan
pengukuran kinerja yang telah dicapai oleh karyawan atas pelayanan
yang telah diberikan kepada pelanggan. Penilaian ini menjadi dasar
informasi balik kepada karyawan tentang proses pelayanan apa yang
perlu diperbaiki, kapan harus diperbaiki dan dimana harus diperbaiki.
Pendekatan kedua adalah conceptual model of service quality yang
dikemukakan oleh tiga tiga orang akademisi Amerika dengan nama PBZ yang
merupakan singkatan dari tiga nama penemunya, yaitu A. Parasuraman, Leonard
L. Berry and Valerie A. Zeithaml. Jasa pada dasarnya memiliki tujuan yang
hampir sama dengan pelayanan produk, hampir semua perusahaan menawarkan
manfaat dan penambahan nilai untuk kepuasan dan loyalitas pelanggan (Zeitaml
dan Binner, 2000). Beberapa pendapat tentang pengertian jasa, yaitu menurut
Stanton (2002 : 220) jasa adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dapat
diidentifikasikan secara tersendiri yang pada hakikatnya bersifat tak bisa diraba
(intangible) yang merupakan pemenuhan kebutuhan dan tidak harus terikat pada
penjualan produk atau jasa lain.
32
Selain memahami mengenai definisi pelayanan, harus diperhatikan pula
karakteristik dari pelayanan yang bersangkutan. Kotler & Armstrong (2004: 21)
mengemukakan bahwa terdapat 4 karakteristik kualitas jasa/pelayanan antara lain:
1. Intangibility (Tidak terwujud)
Pelayanan tidak terwujud, tidak dapat dilihat, dicicipi, dirasakan dan
didengar sebelum dibeli atau dipergunakan.
2. Inseparability (Tidak dipisahkan)
Pelayanan tidak dapat dipisahkan dari pemberi jasa itu, baik pemberi jasa
itu adalah orang maupun mesin. Jasa tidak dapat dijejerkan pada rak-rak
penjualan dan dibeli oleh konsumen kapan saja dibutuhkan.
3. Variability (Keanekarupaan)
Pelayanan sangat beraneka rupa, karena tergantung siapa yang
menyediakannya dan kapan serta dimana disediakan. Seringkali pembeli
jasa menyadari akan keanekarupaan yang besar ini dan membicarakan
dengan yang lain sebelum memilih satu peyediaan jasa.
4. Perishability (Tidak dapat tahan lama)
Pelayanan tidak dapat tahan lama, karenanya tidak dapat disimpan
untuk penjualan atau penggunaan di kemudian hari. Sifat jasa yang tidak
tahan lama ini bukanlah masalah kalau permintaan tetap/teratur, karena
jasa-jasa sebelumnya dapat dengan mudah disusun terlebih dahulu, kalau
permintaan berfluktasi, perusahaan jasa akan dihadapkan pada berbagai
masalah yang sulit.
Menurut Gronroos (dalam Nursya’bani Purnama, 2006: 20) menyatakan
kualitas layanan meliputi:
1. Kualitas fungsi, yang menekankan bagaimana layanan dilaksanakan,
terdiri dari: dimensi kontak dengan konsumen, sikap dan perilaku,
hubungan internal, penampilan, kemudahan akses, dan service
mindedness.
2. Kualitas teknis dengan kualitas output yang dirasakan konsumen, meliputi
harga, ketepatan waktu, kecepatan layanan, dan estetika output.
3. Reputasi perusahaan, yang dicerminkan oleh citra perusahaan dan reputasi
di mata konsumen.
33
2.1.3 Motivasi Nasabah
Motivasi sering disebut penggerak perilaku (the energizer of behavior),
ada juga yang menyatakan bahwa motivasi adalah penentu (determinan) perilaku.
Menurut Purwanto (2004: 62) motivasi merupakan suatu usaha yang didasari
seseoramg agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga
mencapai hasil atau tujuan tertentu. Menurut Ahmadi (2002: 45) motivasi adalah
dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan. Sedang menurut Mc. Donald
dalam Sardiman (2005:41), motivasi adalah perubahan energi dalam diri
seseorang yang ditandai dengan munculnya “feeling” dan didahului dengan
adanya tanggapan terhadap adanya tujuan.
Motivasi sering disebut penggerak perilaku (the energizer of behavior),
ada juga yang menyatakan bahwa motivasi adalah penentu (determinan) perilaku
(Irwanto, Elia dan Hadisoepadmo, 2004:36). Menurut Purwanto (2004:62),
motivasi merupakan suatu usaha yang didasari seseorang agar ia tergerak hatinya
untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.
Motivasi berkaitan erat dengan tujuan, secara umum dapat dikatakan
bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang
agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat
memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.
Motivasi berhubungan erat dengan motif, motif adalah alasan atau
dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan tindakan
bersikap tertentu, motif mempunyai dua unsur pokok yaitu dorongan/kebutuhan
34
dan unsur tujuan dimana proses interaksi timbal balik antara kedua unsur tersebut
terjadi dalam diri manusia (Handoko, 2002:51).
Motivasi adalah suatu faktor yang terdapat di dalam diri manusia, yang
menimbulkan, menyerahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motivasi
dipengaruhi pula oleh faktor-faktor seperti pengalaman masa lalu, taraf
intelegensia, kemampuan fisik, situasi lingkungan, dan cita-cita kedepannya.
Motivasi merupakan daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu, daya penggerak tersebut berasal dari dalam dan dari luar subyek untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sardiman,
2005: 47).
Menurut Djamarah (2004: 25), motivasi adalah gejala psikologis dalam
bentuk dorongan yang timbul pada diri seseorang sadar atau tidak sadar untuk
melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Motivasi bisa juga dalam
bentuk usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang tergerak melakukan
sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat
kepuasan dengan perbuatannya. Sementara itu, Amstrong (2003:56) menyatakan
bahwa, motivasi dimulai ketika seseorang secara sadar atau tidak sadar mengakui
sebuah kebutuhan yang tidak terpuaskan. Kebutuhan tersebut menciptakan sebuah
tujuan dan tindakan yang diharapkan dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan
tersebut. Apabila suatu tujuan tercapai sehingga kebutuhan akan terpuaskan, maka
tindakan yang sama akan cenderung diulang apabila kebutuhan serupa muncul
(terkadang hal ini disebut proses “penguatan”). Motivasi seseorang tergantung
pada motifnya, dimana motif ini yang sering didefinisikan oleh para ahli sebagai
35
need, keinginan, drive atau impuls yang ada dalam diri seseorang. Dan faktor-
faktor pemuas yang mengandung perasaan akan prestasi pertumbuhan profesional,
dan penghargaan agar seseorang dapat melakukan pekerjaan yang memberi
tantangan dan kesempatan (Hersey dan Blanchard dalam Moekijat, 2002:6).
Sudah jelas bahwa setiap tindakan motivasi mempunyai tujuan, semakin
jelas tujuan yang diharapkan atau yang akan dicapai, makin jelas pula bagaimana
tindakan motivasi itu dilakukan.
Menurut Sardiman (2005:45), menyebutkan ada tiga fungsi motivasi,
yaitu:
a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang
melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari
setiap kegiatan yang akan dikerjakan.
b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai.
Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus
dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.
c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-
perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
Susilo, 1987 (Dalam Simarmata, 2002) mengatakan bahwa Motvasi adalah
faktor-faktor yang mendorong orang untuk bertindak dengan cara tertentu.
Selanjutnya Widyastuti, dkk (2004) menyatakan bahwa motivasi seringkali
diartikan sebagai dorongan. Atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan
jasmani untuk berbuat, sehingga motivasi merupakan suatu suatu tenaga yang
36
menggerakan manusia untuk bertingkah laku di dalam perbuatannya yang
mempunyai tujuan tertentu. Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa:
1. Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi atau tenaga dalam diri
pribadi seseorang.
2. Motivasi di tandai dengan timbulnya perasaan yang mengarah tingkah laku
seseorang.
Motivasi di tandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.
Untuk mempermudah pemahaman motivasi penulis kemukakan pengertian
motivasi dari para ahli seperti menurut Moskowits yang dikutip oleh Hasibuan
(2003:144) :
“Motivation is usually defined the initiation and direction of behavior and
the study of motivation is in effect the study of course of behaviour “.
(Motivasi secara umum didefinisikan sebagai inisiasi dan pengarahan
tingkah laku dan pelajaran motivasi sebenarnya merupakan pelajaran
tingkah laku).
Menurut Hasibuan (2003:143), menyatakan adalah bahwa motivasi adalah
pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar
mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala daya
upayanya untuk mencapai kepuasan “.
Motivasi sering disebut penggerak perilaku (the energizer of behavior),
ada juga yang menyatakan bahwa motivasi adalah penentu (determinan) perilaku
(Irwanto, Elia dan Hadisoepadmo, 2004:36). Menurut Purwanto (2004:62),
motivasi merupakan suatu usaha yang didasari seseorang agar ia tergerak hatinya
untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.
37
Motivasi berkaitan erat dengan tujuan, secara umum dapat dikatakan
bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang
agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat
memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.
Motivasi berhubungan erat dengan motif, motif adalah alasan atau
dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan tindakan
bersikap tertentu, motif mempunyai dua unsur pokok yaitu dorongan/kebutuhan
dan unsur tujuan dimana proses interaksi timbal balik antara kedua unsur tersebut
terjadi dalam diri manusia (Handoko, 2002:51).
Motivasi adalah suatu faktor yang terdapat di dalam diri manusia, yang
menimbulkan, menyerahkan, dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motivasi
dipengaruhi pula oleh faktor-faktor seperti pengalaman masa lalu, taraf
intelegensia, kemampuan fisik, situasi lingkungan, dan cita-cita kedepannya.
Motivasi merupakan daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu, daya penggerak tersebut berasal dari dalam dan dari luar subyek untuk
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sardiman,
2005: 47).
Menurut Kotler (2005), menyebutkan bahwa customer loyalty adalah
suatu pembelian ulang yang dilakukan oleh seorang pelanggan karena komitmen
pada suatu merek atau perusahaan. Loyalitas konsumen secara umum dapat
diartikan kesetiaan seseorang atas suatu produk, baik barang maupun jasa tertentu.
Loyalitas konsumen merupakan manifestasi dan kelanjutan dari kepuasan
konsumen dalam menggunakan fasilitas maupun jasa pelayanan yang diberikan
38
oleh pihak perusahaan, serta untuk tetap menjadi konsumen dari perusahaan
tersebut. Loyalitas adalah bukti konsumen yang selalu menjadi pelanggan, yang
memiliki kekuatan dan sikap positif atas perusahaan itu. Sudah jelas bahwa setiap
tindakan motivasi mempunyai tujuan, semakin jelas tujuan yang diharapkan atau
yang akan dicapai, makin jelas pula bagaimana tindakan motivasi itu dilakukan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi
adalah suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar
pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, sedangkan
motivasi kerja adalah kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai
tujuan dari motifnya, serta mendapatkan kepuasan dari hasil kerja yang
dicapainya.
Kotler & Keller (2006 ; 57): menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan
pelayanan perbankan, motivasi nasabah untuk terus melakukan transaksi
1. Repeat Purchase (kesetiaan terhadap produk);
2. Retention (Ketahanan terhadap pengaruh yang negatif mengenai
perusahaan);
3. Referalls (mereferensikan secara total esistensi perusahaan).
39
2.1.4 Teori Tentang Hubungan Kausal Antara Implementasi Kebijakan
Terhadap Kualitas Pelayanan
Dalam peningkatan pelayanan, tentunya harus memerlukan kebijakan-
kebijakan yang efektif dan efisien dalam menjalankan roda perusahaan. Hal
tersebut sesuai yang dikemukakan oleh Sofyandi (2000:83) bahwa kualitas
pelayanan dipengaruhi bagaimana implementasi kebijakan tersebut. Jadi
implementasi kebijakan yang baik akan meningkatkan kualitas pelayanan.
Menurut Kaswanto (2005: 47) menyatakan bahwa Implementasi kebijakan
merupakan unsur pokok dalam perkembangan perusahaan/badan dalam
pencapaian tujuan peningkatan kualitas yang berdampak pada peningkatan
pendapatan. Sedangkan menurut Mochtar (2001: 89) berpendapat bahwa sesuatu
kebijakan yang akan atau telah dilaksanakan menyangkut kualitas layanan dapat
diambil karena merupakan sebuah responsifitas atas suatu fenomena/gejala yang
timbul baik itu bersifat positif ataupun negatif.
Beberapa kebijakan menyangkut kualitas layanan tentunya merupakan
langkah-langkah antisipasi terhadap peluang atau hambatan yang terjadi, dimana
pemanfaatan tersebut berpengaruh pada kelangsungan lembaga tersebut. Sundjaya
(2004: 57) berpendapat bahwa pengambilan kebijakan menyangkut kualitas yang
baik akan berdampak pada bagaimana implementasi kebijakan tersebut,
implementasi kebijakan juga berdampak pada kualitas layanan yang diberikan.
Pada intinya implementasi kebijakan merupakan proses dimana di dalam
kebijakan tersebut terdapat unsur-unsur tujuan yaitu peningkatan yang positif dan
responsivitas terhadap realitas yang ada.
40
Agar implementasi kebijakan dapat dilaksanakan secara efektif, menurut
Edward III dalam Subarsono (2005), terdapat empat dimensi yang mempengaruhi
proses implementasi kebijakan yaitu:
1. Faktor sumber daya (resources), yaitu ketersediaan (a) SDM yang
mempunyai keahlian dan kemampuan melaksanakan tugas, (b) perintah,
anjuran pimpinan, (c) dana, (d) informasi yang relefan dan yang
mencukupi tentang bagaimana cara mengimplementasikan kebijakan, dan
(e) sarana.
2. Struktur Birokrasi, yaitu dukungan institusi pelaksana yang tidak berbelit-
belit dan sederhana (efektif efisien).
3. Faktor Komunikasi, yaitu bagaimana menginformasikan semudah
mungkin sehingga dapat dipahami sasaran, maksud dan tujuan dari
kebijakan.
4. Faktor Disposisi (sikap), yaitu para pelaksana harus memiliki kemauan
untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Menurut Parasuraman dkk (dalam Zeithmail dan Bitner, 1996:118)
terdapat 5 (lima) determinan kualitas pelayanan yang dapat dirincikan sebagai
berikut:
1. Tangible, yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana
komunikasi.
2. Emphaty, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan,
komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para
pelanggan.
3. Responsiveness, yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan
dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
41
4. Reliability, yaitu kemampuan memberikan layanan yang dijanjikan dengan
segera, akurat, kehandalan dan memuaskan.
5. Asurance, yaitu mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat
yang dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf (bebas dari bahaya,
resiko dan keraguan).
2.1.5 Teori tentang Hubungan Kausal antara Kualitas Pelayanan terhadap
Motivasi Nasabah untuk Bertransaksi
Menurut Tjiptono (2006), nasabah yang puas akan termotivasi untuk terus
melakukan transaksi pada waktu yang akan datang dan memberikan kepada orang
lain atas jasa yang dirasakan. Menurut Dharmesta (1999), motivasi terbentuk
apabila pelanggan merasa merasa puas dengan kualitas pelayanan yang
diterimanya, dan berniat untuk terus melanjutkan hubungannya dengan penyedia
jasa tersebut. Dengan demikian motivasi nasabah untuk bertransaksi dapat terus
dipertahankan apabila pihak penyedia jasa berusaha untuk memberikan kualitas
pelayanan yang lebih baik kepada nasabahnya.
Kualitas pelayanan memberikan suatu dorongan kepada nasabah untuk
menjalin ikatan kebutuhan yang kuat dengan penyedia jasa. Dalam jangka
panjang, ikatan seperti ini memungkinkan penyedia jasa untuk memahami dengan
seksama harapan dan kebutuhan nasabah. Beradsarkan pengetahuan tentang
harapan dan kebutuhan nasabah inilah penyedia jasa dapat memperbaiki kualitas
layanannya. Apabila kualitas pelayanan semakin baik, yang ditunjukkan dengan
pelayanan yang handal, memiliki kualitas pelayanan yang memiliki daya tanggap,
memiliki jaminan pelayanan dan memiliki perhatian yang lebih, maka nasabah
42
akan merasa puas dan akan termotivasi untuk terus melakukan transaksi dengan
penyedia jasa.
Nasabah membentuk suatu harapan akan kualitas layanan dan bertindak
berdasarkan hal itu. Tingkat persepsi tentang kualitas layanan yang tinggi akan
meningkatkan motivasi nasabah. Semakin tinggi persepsi kualitas layanan yang
dirasakan oleh nasabah maka semakin besar kemungkinan terjadinya hubungan
(transaksi). Harapan nasabah ini dapat dikelompokkan ke dalam dua tingkatan
yang berbeda yaitu tingkat harapan yang lebih rendah yang dianggap cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar (harapan adequate), dan tingkat
harapan yang tinggi yang dianggap sebagai tingkat harapan desired atau superior
yang diinginkan. Untuk menjaga motivasi nasabah untuk terus melakukan
transaksi, pihak penyedia jasa harus selalu memberikan pelayanan prima dan
unggul.
Colgate dan Danaher (2002) pernah meneliti pengaruh implementasi suatu
strategi relasional yaitu mempertahankan motivasi nasabah lama untuk terus
melakukan transaksi daripada mencari nasabah baru. Penelitian mereka ini
berhasil memperlihatkan bahwa kualitas pelayanan penyedia jasa terhadap
nasabah berpengaruh secara asimetris terhadap tumbuhnya motivasi nasabah
untuk terus bertransaksi, di mana kualitas pelayanan yang buruk berakibat lebih
besar terhadap motivasi nasabah daripada pelayanan yang dikategorikan terbaik.
Implementasi strategi dengan kategori terbaik akan memlihara motivasi nasabah
untuk bertransaksi, meningkatkan kepuasan dan kesetiaan pelanggan lebih besar.
Gambar 2.4 merupakan ukuran/dimensi implementasi kebijakan terhadap
kualitas pelayanan dan motivasi:
43
Gambar 2.4 Kerangka Konseptual Penelitian
2.2 Kerangka Pemikiran
Untuk menjalankan roda perusahaan tentunya kualitas layanan merupakan
faktor penting dalam perkembangan perusahaan, tuntutan konsumen/nasabah
merupakan indikator dalam peningkatan pelayanan. Dalam menyiasati hal
tersebut biasanya perusahaan mengeluarkan kebijakan-kebijakan terhadap
perusahaan, kebijakan tersebut bersifat peningkatan kualitas pelayanan. Berikut
merupakan Gambar 2.5 kerangka pemikiran penelitian:
Implementasi
Kebijakan
Weekend
Banking
Motivasi
Nasabah untuk
Bertransaksi
Kualitas Pelayanan
44
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran
Retention
‘
Kualitas Pelayanan (Weekend Banking)
1. Keterandalan (realibility)
2. Keresponsifan (responsiveness),
3. Keyakinan (assurance),
4. Empati (emphaty),
5. Berwujud (tangible)
1. Bagaimana implementasi kebijakan layanan weekend banking,, kualitas pelayanan dan motivasi nasabah di
Bank BJB Cabang Buah Batu?
2. Sejauhmana pengaruh kebijakan layanan weekend banking terhadap kualitas pelayanan di Bank BJB Cabang
Buah Batu?
3. Sejauhmana pengaruh implementasi kebijakan terhadap motivasi nasabah di di Bank BJB Cabang Buah Batu
baik secara langsung maupun tidak langsung?
4. Sejauhmana pengaruh kualitas layanan weekend banking terhadap motivasi nasabah di Bank BJB Cabang Buah
Batu?
5. Sejauhmana pengaruh implementasi kebijakan layanan weekend banking dan kualitas layanan secara bersama-
sama terhadap motivasi nasabah di motivasi nasabah di Bank BJB Cabang Buah Batu?
Pengaruh Implementasi Kebijakan Layanan Weekend Banking Terhadap Kualitas
Pelayanan dan Dampaknya Terhadap Motivasi Nasabah Di BJB Cabang Buah Batu
Efektifitas Layanan
Pendayagunaan Layanan
Motivasi Nasabah untuk Bertransaksi
Repeat Purchase
Referall
‘
Perkembangan Persaingan Antar Perbankan
Penyusunan Kebijakan (Weekend Banking)
Implementasi Kebijakan (Weekend Banking)
Peningkatan Kebutuhan Nasabah/Konsumen Terhadap Kualitas
Pelayanan
Faktor Sumber Daya Struktur Birokrasi
Faktor Disposisi Faktor Komunikasi
45
2.3 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dan kerangka pikir
teoritis yang digambarkan di atas, maka hipotesis yang dikemukakan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Implementasi kebijakan layanan weekend banking mempunyai pengaruh
langsung terhadap kualitas pelayanan nasabah di bank bjb Cabang Buah
Batu.
2. Kualitas pelayanan nasabah mempunyai pengaruh langsung terhadap
motivasi bertransaksi nasabah bank bjb Cabang Buah Batu.
3. Implementasi Kebijakan Layanan Weekend Banking mempunyai pengaruh
langsung terhadap motivasi bertransaksi nasabah bank bjb Cabang Buah
Batu.
4. Implementasi kebijakan layanan weekend banking mempunyai pengaruh
tidak langsung terhadap motivasi bertransaksi nasabah melalui kualitas
pelayanan di bank bjb Cabang Buah Batu.