26
1 BAB II KAJIAN PUTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Atribusi Teori atribusi menjelaskan tentang proses bagaimana kita menentukan penyebab perilaku seseorang. Teori ini mengacu pada bagaimana seseorang menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau diri sendiri yang ditentukan dari internal atau eksternal dan pengaruhnya terhadap perilaku individu (Luthans, 2006 dalam Harini et al, 2010: 7). Teori atribusi yaitu bagaimana kita membuat keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka berperilaku seperti itu (Febrina, 2012: 6). Dalam hidupnya, setiap orang selalu membentuk ide tentang orang lain dan situasi sosial di sekitarnya melalui berbagai hal. Dalam teori atribusi Correspondent Inference, perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal, berarti dengan melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang tersebut serta prediksi perilaku seseorang dalam menghadapi situasi tertentu. Hubungan yang demikian adalah hubungan yang dapat disimpulkan (correspondent inference). (Febrina, 2012: 6).

BAB II KAJIAN PUTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 … II.pdf · perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal, ... Artinya proses audit menggambarkan serangkaian langkah

  • Upload
    vantram

  • View
    216

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB II

KAJIAN PUTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Atribusi

Teori atribusi menjelaskan tentang proses bagaimana kita menentukan

penyebab perilaku seseorang. Teori ini mengacu pada bagaimana seseorang

menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau diri sendiri yang ditentukan dari

internal atau eksternal dan pengaruhnya terhadap perilaku individu (Luthans, 2006

dalam Harini et al, 2010: 7). Teori atribusi yaitu bagaimana kita membuat

keputusan tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita

mendeskripsikan perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan

mengapa mereka berperilaku seperti itu (Febrina, 2012: 6). Dalam hidupnya,

setiap orang selalu membentuk ide tentang orang lain dan situasi sosial di

sekitarnya melalui berbagai hal. Dalam teori atribusi Correspondent Inference,

perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal, berarti dengan

melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang

tersebut serta prediksi perilaku seseorang dalam menghadapi situasi tertentu.

Hubungan yang demikian adalah hubungan yang dapat disimpulkan

(correspondent inference). (Febrina, 2012: 6).

2

Hubungan tersebut dapat diamati melalui hal berikut.

1) Melihat kewajaran perilaku. Orang yang bertindak wajar sesuai dengan

keinginan masyarakat, sulit untuk dikatakan bahwa tindakannya merupakan

cermin karakternya, bisa saja karena suatu keharusan.

2) Pengamatan terhadap perilaku yang terjadi pada situasi yang memunculkan

beberapa pilihan.

3) Memberikan peran berbeda dengan peran yang sudah biasa dilakukan.

Contohnya, seorang juru tulis diminta menjadi juru bayar. Dengan peran baru,

tampak keaslian perilaku yang merupakan gambaran kepribadiannya.

Model of Scientific Reasoner (Kelley dan Margheim :1967 dalam Febrina,

2012:32) mendeskripsikan 4 informasi penting untuk menyimpulkan atribusi

seseorang, sebagai berikut.

1) Distinctiveness – perilaku dapat dibedakan dari perilaku orang lain saat

menghadapi situasi yang sama.

2) Consensus – jika orang lain setuju bahwa perilaku diatur oleh beberapa

karakteristik personal.

3) Consistency over time – apakah perilaku diulang.

4) Consistency over modality (cara dimana perilaku itu dilakukan) – apakah

perilaku diulang pada situasi yang berbeda.

Berdasarkan teori Konsensus Weiner (Febrina, 2012: 34), keberhasilan

dan kegagalan memiliki penyebab internal atau eksternal. Ketika seseorang

dengan need of achievement tinggi telah sukses, dia akan mengangggap

keberhasilan itu berasal dari faktor internal (usaha dan kemampuan) serta

3

cenderung menganggap kegagalan sebagai tindakan yang kurang usaha bukan

karena tidak mampu.

Penelitian ini menggunakan teori atribusi karena peneliti melakukan studi

empiris untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi auditor dalam

menerima dysfunctional audit behavior, khususnya pada karakteristik personal

auditor itu sendiri. Karakteristik personal menjadi penentu utama dalam

penerimaan dysfunctional audit behavior karena merupakan faktor internal yang

mendorong seorang individu untul melakukan suatu aktivitas (Febrina, 2012: 35).

2.1.2 Auditing

2.1.2.1 Definisi Auditing

Auditing menurut Arens dan Beasley (2010:4) auditing adalah

pengumpulan dan penelitian bukti mengenai informasi untuk menentukan dan

melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi tersebut dan kriteria yang

ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.

Menurut Boynton dan Johnson (2006:6), definisi audit yang berasal dari The

Report of the Committee on Basic Auditing Concepts of the American Accounting

Association (Accounting Review, Vol 47) adalah sebagai berikut: auditing adalah

suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara

objektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi

untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria

yang telah ditetapkan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang

berkepentingan”. Menurut Agoes (2012:3) pemeriksaan (Auditing) adalah suatu

4

pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang

independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen,

beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan

untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan

tersebut”.

Berdasarkan definisi diatas, pengertian auditing adalah suatu proses

sistematis dan kritis yang dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen

dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai

asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi (informasi) yang

ditetapkan dengan tujuan untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian

antara informasi atau asersi-asersi dengan kriteria yang ditetapkan, serta

menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan. Berikut ini

beberapa definisi dan tujuan auditing dari beberapa ahli, antara lain:

1) Boynton dan Johnson (2006: 6) mengungkapkan bahwa auditing adalah suatu

proses sistematik memperoleh dan mengevaluasi bukti mengenai asersi-asersi

tentang aktivitas dan peristiwa ekonomi untuk memastikan tingkat kesesuaian

antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang ditetapkan dan

mengkomunikasikan hasilnya kepada para pihak berkepentingan.

2) Messier (2006: 13) mengungkapkan bahwa auditing adalah suatu proses

sistematis untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif

sehubungan dengan asersi atas tindakan dan peristiwa ekonomi untuk

memastikan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dan menetapkan

5

kriteria serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang

berkepentingan.

3) Rahayu dan Suhayati (2010: 1) mendefinisikan auditing sebagai suatu proses

yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif

yang berhubungan dengan asersi-asersi tentang tindakan-tindakan dan

peristiwa-peristiwa ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara

asersi-asersi tersebut dan kriteria yang diterapkan serta mengkomunikasikan

hasilnya kepada pengguna informasi tersebut.

4) Arens et al. (2010: 4) mengungkapkan bahwa auditing adalah proses

pengumpulan dan evaluasi bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur

mengenai suatu entitas ekonomi untuk menentukan dan melaporkan

kesesuaian informasi dengan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing

seharusnya dilakukan oleh seorang independen dan kompeten.

5) Islahuzzaman (2012: 47) mendefinisikan auditing sebagai pengumpulan dan

pengevaluasian bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan

tingkat kesesuaian antara informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan.

Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, beberapa kata kunci yang terkait dengan

definisi auditing adalah sebagai berikut.

1) Proses yang sistematis (systematical process)

Artinya proses audit menggambarkan serangkaian langkah atau prosedur

yang logis, terstruktur dan diorganisasikan dengan baik. Selain itu, proses

audit dilaksanakan dengan formal.

6

2) Asersi (assertion) dan kriteria yang ditetapkan (established criteria) Auditing

dilakukan terhadap suatu asersi (pernyataan tertulis) yang menjadi tanggung

jawab pihak tertentu. Asersi ini disebut juga sebagai informasi karena

mengandung informasi tentang sesuatu yang akan dievaluasi. Selain asersi,

proses auditing harus didukung dengan standar (kriteria) yang ditetapkan

(established criteria) yang menunjukkan sesuatu (kondisi) yang seharusnya.

3) Pengumpulan dan evaluasi bukti (evidence)

Bukti merupakan suatu informasi yang dikumpulkan auditor yang digunakan

untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara asersi dengan

kriteria yang ditetapkan, yang dapat berupa informasi yang diperoleh dari

hasil wawancara, observasi, verifikasi catatan-catatan dan dokumen

perusahaan, hasil pengamatan fisik dan sebagainya.

4) Kompeten, independen dan objektif

Auditing harus dilakukan oleh orang-orang yang kompeten, dalam arti

mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar teknis profesi

independen dalam arti mampu membebaskan diri dari berbagai kepentingan

pihak-pihak yang berkaitan dengan penugasan audit, sehingga akan

menimbulkan perilaku yang objektif seorang auditor. Artinya, auditor

tersebut tidak akan memihak dan tidak bias dalam mengemukakan pendapat

dan tidak berprasangka.

7

5) Laporan kepada pihak yang berkepentingan (reporting)

Pelaporan hasil auditing merupakan hasil akhir proses auditing. Inti laporan

auditing adalah pernyataan pendapat atau kesimpulan mengenai tingkat

kesesuaian antara asersi (informasi) dengan kriteria yang ditetapkan.

Standar Profesional Akuntan Publik Per 31 Maret 2011 Seksi 110.1

menjelaskan secara umum tujuan audit atas laporan keuangan adalah untuk

menyatakan pendapat atas kewajaran laporan keuangan, dalam semua hal yang

material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai

dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia. Dalam pernyataan yang sama,

Ikatan Akuntan Publik Indonesia juga menyatakan bahwa auditor bertanggung

jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh

keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji

material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Ikatan

Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dalam Surat Keputusan Ketua Umum IAPI

No.024/IAPI/VII/2008 menyebutkan bahwa ada tahapan-tahapan yang harus

dilakukan oleh auditor dalam melakukan audit atas laporan keuangan. Tahapan-

tahapan tersebut diantaranya.

1) Prosedur Audit

Standar Profesional Akuntan Publik Per 31 Maret 2011 Seksi 150 menjelaskan

bahwa prosedur auditing berbeda dengan standar auditing. Prosedur auditing

merupakan tindakan-tindakan atau tahapan-tahapan yang harus dilakukan

sedangkan standar auditing merupakan kriteria ukuran mutu kinerja tindakan

tersebut dan berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan

8

prosedur tersebut. Boynton dan Johnson (2006: 241) mendefinisikan prosedur

auditing sebagai suatu metode atau teknik yang digunakan oleh auditor untuk

mengumpulkan dan mengevaluasi bukti audit (audit evidence). Tujuan auditor

melakukan prosedur auditing adalah sebagai berikut.

(1) Untuk memperoleh pemahaman tentang entitas dan lingkungan termasuk

pengendalian internal sehingga dapat menilai risiko salah saji material pada

tingkat laporan keuangan dan pada tingkat pernyataan.

(2) Untuk menguji efektivitas operasional pengendalian dalam mencegah dan

mendeteksi salah saji material pada tingkat pernyataan.

(3) Untuk mendukung pernyataan atau mendeteksi salah saji pada tingkat

pernyataan.

2) Perencanaan Audit

Adapun pada tahap ini, auditor harus melakukan langkah-langkah, antara lain

pendahuluan perencanaan, pemahaman bisnis klien, pemahaman proses akuntansi,

pemahaman struktur pengendalian internal, penetapan risiko pengendalian

(control risk), melakukan analisis awal, menentukan tingkat materialitas,

membuat program audit, risk assessment atas akun dan fraud discussion dengan

management.

3) Pelaksanaan Audit

Langkah-langkah yang harus dilakukan pada tahap ini antara lain pengujian

pengendalian internal untuk memverifikasi efektivitas pengendalian intern entitas,

pengujian substantif transaksi untuk menemukan kemungkinan moneter yang

secara langsung mempengaruhi kewajaran penyajian laporan keuangan, prosedur

9

analitis untuk memahami bisnis klien serta menentukan bidang yang memerlukan

audit lebih intensif, dan pengujian detail transaksi.

4) Pelaporan

Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan pada tahap pelaporan, antara lain

review kewajiban kontijensi, review atas kejadian setelah tanggal neraca,

pengujian bukti final, evaluasi dan kesimpulan, komunikasi dengan klien,

penerbitan laporan audit, dan capital commitment. Auditor harus melaksanakan

sejumlah prosedur auditing dalam penugasan audit seperti yang disebutkan di

atas. Prosedur tersebut dilakukan untuk memperoleh bukti audit yang cukup agar

auditor dapat menemukan kesalahan dan kecurangan yang mungkin terjadi dalam

sistem akuntansi klien.

Secara umum, prosedur auditing terdiri atas tiga tahap, diantaranya

perencanaan audit, pelaksanaan pengujian audit, dan pelaporan audit. Sebelum

ketiga prosedur tersebut dilakukan, auditor biasanya melakukan pertimbangan

apakah menerima atau menolak penugasan audit dari klien (Boynton dan Johnson,

2006: 241). Jika memutuskan untuk menerima penugasan audit tersebut, auditor

harus membuat surat perikatan (engagement letter) sebelum memulai prosedur

auditing. Boynton dan Johnson (2006: 241) menyebutkan serangkaian prosedur

auditing untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti audit (audit evidence).

Berikut prosedur auditing tersebut.

10

1) Inspeksi dokumen dan catatan (inspection of documents and records)

Pada prosedur ini, auditor harus memeriksa catatan dan dokumen baik yang

berasal dari internal entitas maupun dari eksternal entitas. Catatan dan

dokumen tersebut dapat berbentuk kertas, elektronik ataupun media lain. Pada

prosedur ini terdapat dua istilah penting, yaitu vouching dan tracing.

Vouching adalah pemeriksaan dokumen yang mendukung suatu transaksi atau

jumlah yang telah tercatat. Vouching dilakukan untuk menguji keberadaan

dan keterjadian, dan mendeteksi overstatements dalam catatan akuntansi.

Sedangkan tracing adalah mengikuti dokumen sumber hingga ke

pencatatannya dalam catatan akuntansi. Tracing dilakukan untuk menguji

kelengkapan dan mendeteksi understatements dalam catatan akuntansi.

2) Inspeksi asset berwujud (inspection oftangible assets)

Prosedur ini digunakan auditor untuk melakukan pemeriksaan fisik asset

entitas. Prosedur ini menyediakan informasi dan pengetahuan langsung

mengenai keberadaan dan kondisi fisik asset.

3) Observasi (observation)

Prosedur ini digunakan auditor untuk menyaksikan aktivitas fisik entitas.

Selain itu, auditor dapat memverifikasi beberapa kebijakan dan prosedur

pengendalian intern entitas.

4) Penyelidikan (inquiry)

Prosedur ini digunakan untuk mencari informasi mengenai pengetahuan

seseorang baik pengetahuan keuangan maupun non keuangan di dalam dan di

luar entitas.

11

5) Konfirmasi (confirmation)

Prosedur ini digunakan auditor untuk memberikan bukti mengenai penilaian,

alokasi, kelengkapan serta penyajian dan pengungkapan.

6) Perhitungan kembali (recalculation)

Prosedur ini dilakukan auditor untuk memeriksa keakuratan matematis dari

dokumen atau catatan dengan menghitung kembali saldo akun atau transaksi

entitas (klien).

7) Pelaksanaan ulang (rekinerja auditor)

Prosedur ini dilakukan auditor dengan mengulang aktivitas entitas dalam

proses akuntansi dan membandingkannya dengan hasil entitas tersebut.

Prosedur ini dapat digunakan untuk pengujian pengendalian dan pengujian

substantif.

8) Prosedur analitis (analytical procedures)

Prosedur ini dilakukan dengan mempelajari perbandingan dan hubungan

antara data yang satu dengan data yang lain. Tujuannya adalah untuk

membantu auditor dalam memahami bisnis klien dan dalam menentukan

bidang yang memerlukan audit lebih intensif.

9) Teknik audit berbantuan komputer (computer-assisted audit techniques)

Teknik ini menggunakan software audit untuk menyelesaikan berbagai

prosedur auditing yang di atas ketika catatan akuntansi klien dimaintain

menggunakan media elektronik, misalnya MYOB.

Prosedur di atas merupakan prosedur auditing yang umumnya digunakan

oleh auditor untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti. Prosedur tersebut

12

merupakan prosedur yang penting sehingga berisiko tinggi jika prosedur tersebut

tidak dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Risiko kesalahan akan semakin tinggi

jika semakin banyak prosedur auditing yang tidak dilaksanakan oleh auditor. Hal

ini karena semakin sedikit prosedur yang dilakukan maka akan semakin sedikit

bukti audit yang dapat diperoleh auditor. Dengan demikian, kemungkinan auditor

gagal mendeteksi kecurangan dan kesalahan dalam sistem akuntan klien akan

semakin besar.

2.1.3 Perilaku Menyimpang dalam Audit

Donelly et al. (2003) menjelaskan bahwa di dalam sikap auditor yang

menerima perilaku menyimpang dalam audit merupakan indikator dari perilaku

disfungsional aktual. Perilaku menyimpang dalam audit (dysfunctional audit

behavior) merupakan reaksi terhadap lingkungan (Donnelly, et. al. 2003). Malone

dan Robberts (1996), menjelaskan bahwa perilaku individu merupakan refleksi

dari sisi personalitasnya sedangkan faktor situasional yang terjadi saat itu akan

mendorong seseorang untuk membuat suatu keputusan. Perilaku menyimpang

dalam audit disebut juga dengan perilaku pengurangan kualitas audit. Perilaku

pengurangan kualitas audit dapat diartikan sebagai perilaku pengurangan mutu

dalam pelaksanaan audit yang dilakukan secara sengaja oleh auditor (Coram, et

al., 2004). Ada beberapa perilaku menyimpang dalam audit yang membahayakan

kualitas audit, yaitu: underreporting of time, premature sign-off,

altering/replacement of audit procedure. Hal ini berpengaruh secara langsung

terhadap kualitas audit dan dapat mengubah hasil audit (Febrina, 2012).

13

Perilaku merupakan perwujudan atau manifestasi karakteristik seseorang

dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Perilaku auditor merupakan

segala tindakan yang dilakukan oleh auditor (Nengsih, 2004). Jansen dan Glinow

(1985) dalam Malone dan Roberts (1996), menjelaskan bahwa perilaku individu

merupakan refleksi dari sisi personalitasnya sedangkan faktor situasional yang

terjadi saat itu akan mendorong seseorang untuk membuat suatu keputusan.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pernyimpangan

perilaku dalam audit dapat disebabkan oleh faktor karakteristik personal dari

auditor (faktor internal) serta faktor situasional saat melakukan audit (faktor

eksternal). Penerimaan penyimpangan perilaku diukur dengan bagaimana seorang

auditor menerima beragam bentuk penyimpangan perilaku yang meliputi:

penyelesaian tugas audit tanpa melengkapi keseluruhan prosedur yang telah

ditetapkan (Premature Sign-Off), menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan

dengan waktu pribadi auditor (Under Reporting of Time), dan mengurangi

efektivitas pengumpulan bukti selama pengujian (Audit Quality Reduction

Behavior/AQRB) (Christina, 2003).

Menurut Dougall dalam Zulfahmi (2005) faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku seseorang meliputi.

1) Faktor personal, yaitu faktor yang berasal dari dalam individu yang meliputi.

(1) Faktor biologis manusia meliputi: genetika, sistem saraf dan sistem

hormonal.

(2) Faktor sosiopsikologis meliputi: komponen afektif (emosional), kognitif

(intelektual), konatif (kebiasaan dan kemauan).

14

(3) Motif sosiogenis atau motif sekunder, meliputi: motif berprestasi,

kebutuhan kasih sayang, kebutuhan berkuasa.

2) Faktor situasional, yaitu faktor yang berasal dari luar diri manusia sehingga

dapat mengakibatkan seseorang cenderung berperilaku sesuai dengan

karakteristik kelompok atau organisasi di mana ia ikut di dalamnya. Faktor ini

meliputi.

(1) Aspek objektif lingkungan (misal: kondisi geografis, iklim, struktur

kelompok).

(2) Lingkungan psikososial yang dipersepsi oleh seseorang (misal: iklim

organisasi dan kelompok, etos kerja, iklim institusional dan budaya).

(3) Stimulasi yang mendorong dan memperteguh perilaku seseorang (misal:

orang lain dan situasi pendorong perilaku).

3) Faktor stimulasi yang mendorong dan meneguhkan perilaku seseorang.

2.1.4 Locus of Control (LOC)

Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan locus of control sebagai tingkat

dimana individu yakin bahwa mereka adalah penentu nasib mereka sendiri.

Individu dengan locus of control internal cenderung menganggap bahwa

keterampilan (skill), kemampuan (ability), dan usaha (effort) lebih menentukan

apa yang mereka peroleh dalam hidup mereka (Gustati, 2012). Locus of control

adalah persepsi tentang kendali mereka atas nasib, kepercayaan diri dan

kepercayaan mereka atas keberhasilan diri. LOC memainkan peranan penting

15

dalam berbagai kasus, seperti dysfunctional audit behavior, job satisfaction,

kinerja, komitmen organisasi dan turnover intention (Harini et al, 2010:13).

Teori LOC menggolongkan individu apakah termasuk dalam LOC internal

atau eksternal. Internal control adalah tingkatan dimana seorang individu

berharap bahwa reinforcement atau hasil dari perilaku mereka bergantung pada

perilaku mereka sendiri atau karakteristik personal mereka. External control

adalah tingkatan di mana seseorang berharap bahwa reinforcement atau hasil

adalah fungsi dari kesempatan, keberuntungan atau takdir di bawah kendali yang

lain atau tidak bisa diprediksi.

Pandangan hidup menurut internal dan external LOC sangat berbeda.

Seseorang yang mempunyai internal locus of control yakin dapat mengendalikan

tujuan mereka sendiri, memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan,

dan perilaku individu turut berperan di dalamnya. Individu dengan internal locus

of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri

sendiri dan juga lebih menyukai keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang

menguntungkan. Pada individu yang mempunyai external locus of control akan

memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga

dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran di

dalamnya.

External locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan

harapannya untuk bergantung pada orang lain, hidup mereka cenderung

dikendalikan oleh kekuatan di luar diri mereka sendiri (seperti keberuntungan),

serta lebih banyak mencari dan memilih kondisi yang menguntungkan. Menurut

16

Febrina (2012: 7) LOC dapat digunakan untuk memprediksi seseorang, LOC yang

berbeda bisa mencerminkan motivasi dan kinerja yang berbeda. Internal akan

cenderung lebih sukses dalam karir mereka daripada eksternal, mereka cenderung

mempunyai level kerja yang lebih tinggi, promosi lebih cepat dan mendapatkan

penghasilan lebih.

Sebagai tambahan, internal LOC dilaporkan memiliki kepuasan yang lebih

tinggi dengan pekerjaan mereka dan terlihat lebih mampu menahan stres daripada

LOC eksternal. Penelitian sebelumnya (Wilopo, 2006; Harini et al, 2010)

menyatakan bahwa LOC eksternal berpengaruh negatif pada kinerja sehingga

secara umum seseorang yang ber-LOC eksternal akan berkinerja lebih baik ketika

suatu pengendalian dipaksakan atas mereka, atau sebaliknya ia akan melakukan

perilaku disfungsional (tidak sesuai aturan) untuk memenuhi ataupun mengelabui

pengendalian tersebut.

2.1.5 Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas

karyawan pada organisasi dan berkelanjutan sehingga anggota organisasi dapat

mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta

kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2006;249). Komitmen organisasi

menunjukkan kekuatan relatif untuk berpihak dan terlibat dalam organisasi,

keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk organisasi, termasuk juga

keinginan untuk bertahan dalam organisasi merupakan orientasi individu terhadap

organisasi dalam hal loyalitas, identifikasi dan keterlibatan. Agustini (2005)

17

menyimpulkan bahwa komitmen dikarakteristikkan oleh : (1) kepercayaan dan

penerimaan akan tujuan dan nilai-nilai organisasi, (2) kemauan untuk

mengusahakan usaha individu kearah pencapaian tujuan, (3) keinginan yang kuat

untuk mempertahankan anggota organisasi.

Allen dan Meyer (1990) dalam Febrina (2012:8), telah memperkenalkan

konstruk komitmen organisasional dalam tiga dimensi, yakni :

1) Affective Commitment yang merupakan keterikatan emosional terhadap

organisasi di mana pegawai mengidentifikasikan diri dengan organisasi

dan menikmati keanggotaan dalam organisasi.

2) Continuance commitment yang merupakan biaya yang dirasakan yaitu

berkaitan dengan biaya-biaya yang terjadi jika meninggalkan organisasi.

3) Normative Commitment merupakan suatu tanggung jawab untuk tetap

berada dalam organisasi. Affective commitment mempunyai hubungan

signifikan dengan hasil suatu pekerjaan dibandingkan dengan tipe

komitmen organisasional lain. Affective commitment dalam profesi

akuntansi mempunyai hubungan yang lebih signifikan dengan turnover

intention dan kepuasan kerja dibandingkan tipe organisasional lain.

Komitmen individu ditunjukkan oleh kerja yang gigih (persistence)

walaupun di bawah tekanan sekalipun. Individu yang mempunyai komitmen

organisasi akan bekerja lebih baik daripada yang tidak berkomitmen. Komitmen

organisasi adalah hasil kerja yang penting pada tingkat individu yang

dihubungkan dengan hasil kerja lain seperti absensi pegawai, turnover, usaha

kerja (effort), dan kinerja. Komitmen organisasi mempunyai implikasi pada

18

individu dan organisasi. Dari sudut pandang individu, komitmen seseorang

terhadap organisasi membuat seseorang lebih dapat memilih dalam penerimaan

reward ekstrinsik seperti bonus dan award dan juga reward intrinsik seperti

kepuasan kerja dan hubungan lebih baik dengan rekan kerja.

Dari perspektif organisasi, komitmen pegawai yang tinggi akan

mengurangi keterlambatan, tingkat ketidakhadiran (abseinteism) dan turnover,

serta meningkatkan usaha dan kualitas kinerja pegawai. Hal ini pada akhirnya

akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Turnover berkurang

akibat menurunnya kecenderungan mereka untuk aktif mencari posisi lain karena

mereka telah nyaman bekerja pada posisinya sekarang. Komitmen organisasi juga

dipengaruhi kuat oleh faktor situasional di lingkungan kerja. Misalnya, individu

yang lebih puas dengan supervisor mereka, dengan penghargaan kinerja yang adil

(fairness), dan seseorang yang merasa bahwa organisasi mereka peduli tentang

kesejahteraan mereka, akan mempunyai komitmen organisasi tinggi.

2.1.6 Kinerja auditor

Kinerja auditor adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang auditor

dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan

atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan waktu yang diukur dengan

mempertimbangkan kuantitas, kualitas, dan ketepatan waktu (Rai, 2008: 41).

Berhasil tidaknya auditor melaksanakan perannya sangat tergantung dari

kinerjanya. Auditor yang melaksanakan penugasan pemeriksaan (examination)

19

secara objektif atas laporan keuangan dengan tujuan untuk menentukan kewajaran

laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh auditee.

Auditee dapat mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan mungkin

bertentangan dengan kepentingan para pemakai laporan keuangan. Demikian pula,

kepentingan pemakai laporan keuangan yang satu mungkin berbeda dengan

pemakai lainnya. Dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan

keuangan yang diperiksa, auditor harus bersikap independen terhadap kepentingan

auditee, pemakai laporan keuangan, maupun kepentingan auditor itu sendiri.

Kinerja auditor melibatkan tingkatan dimana anggota organisasi

menyelesaikan tugasnya yang berkontribusi pada tujuan organisasi, termasuk juga

dimensi kualitas dan kuantitas. Kinerja auditor merupakan kesuksesan yang

dicapai seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Ukuran kesuksesan tidak

dapat disamakan pada semua orang, lebih merupakan hasil yang dicapai oleh

seorang individu menurut ukuran yang berlaku sesuai dengan pekerjaan yang

dilakukan.

Penilaian kinerja auditor sangat penting untuk dilakukan bila organisasi

ingin melakukan reposisi atau promosi jabatan. Kinerja auditor dibedakan menjadi

dua, yaitu kinerja auditor individu dan organisasi. Kinerja auditor individu adalah

hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar

kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja auditor organisasi adalah gabungan

antara kinerja auditor individu dan kelompok sehingga kinerja auditor organisasi

sangat tergantung pada karyawannya. Febrina (2012:9). Berdasarkan job

characteristic theory, orang akan dimotivasi oleh kepuasan diri yang diperoleh

20

dari pelaksanaan tugas mereka. Ketika mereka menemukan bahwa pekerjaan

mereka berarti, orang akan menyukai pekerjaan mereka dan akan termotivasi

untuk melaksanakan tugas mereka dengan baik.

Terdapat tiga sikap psikologi yaitu, perasaan bahwa pekerjaan yang

dilakukan berarti, rasa tanggung jawab terhadap hasil kerja, dan pengetahuan akan

hasil kerja akan meningkatkan motivasi, kinerja, dan kepuasan. Bila seseorang

memiliki locus of control internal, kinerjanya cenderung lebih tinggi bila

dibandingkan dengan locus of control eksternal. Ini dibuktikan dengan penelitian

sebelumnya, yang menyatakan bahwa locus of control eksternal berhubungan

negatif dengan kinerja auditor (Harini et al, 2010).

2.1.7 Turnover Intention

Turnover intention adalah sikap yang dimiliki oleh anggota organisasi

untuk mengundurkan diri dari organisasi atau dalam hal ini, dari Kantor Akuntan

Publik sebagai auditor independen. Pengunduran diri karyawan (withdrawal)

dalam bentuk turnover telah menjadi bahan penelitian yang menarik dalam

berbagai masalah, seperti masalah personalia (SDM), keperilakuan, dan praktisi

manajemen. Turnover intention juga dipengaruhi oleh skill dan ability, dimana

kurangnya kemampuan auditor dapat mengurangi keinginan untuk meninggalkan

organisasi sehingga tetap bertahan di KAP walaupun dia sangat ingin berpindah

kerja. (Fitriany et al, 2010:13) Sebelum turnover terjadi, selalu ada perilaku yang

mendahuluinya yaitu, adanya niat atau intensitas turnover. Ada dua pendorong

intensitas yaitu, intensitas untuk mencari dan intensitas untuk keluar.

21

Prediktor utama dan terbaik dari turnover adalah intensitas untuk keluar.

Intensitas dan perilaku untuk mencari secara umum didahului dengan intensitas

untuk keluar (turnover). Faktor utama intensitas adalah kepuasan, ketertarikan

yang diharapkan terhadap pekerjaan saat ini dan ketertarikan yang diharapkan dari

atau pada alternatif pekerjaan atau peluang lain. (Fitriany et al, 2010:13) Job

satisfaction dan kinerja auditor berhubungan terbalik dengan turnover intention.

Berdasarkan penelitian (Fitriany et al, 2010:14) auditor yang dissatisfied

(low satisfaction) dan dianggap memiliki prestasi yang rendah (poor performers)

oleh atasannya, cenderung memiliki tingkat turnover yang tinggi. Tapi sebaliknya,

karyawan yang memiliki high performer (baik yang satisfied maupun yang

dissatisfied) tidak akan meninggalkan pekerjaannya karena mereka diberikan

strong inducements untuk tidak keluar dari tempat bekerjanya misalnya, dengan

diberi kenaikan gaji dan promosi. Inducement ini dapat menghilangkan

dissatisfaction dan menurunkan keinginan berpindah kerja ke tempat lain. Hal ini

dapat dilihat dari tingkat turnover yang berbeda antara high performer dan low

performer.

2.2 Hipotesis Penelitian

2.2.1 Pengaruh Locus of Control pada Perilaku Menyimpang dalam Audit

Individu yang memiliki locus of control internal cenderung tidak menerima

perilaku disfungsional atas prosedur audit. Sebaliknya individu yang memiliki

locus of control eksternal biasanya memiliki kedudukan dibawah individu yang

memiliki locus of control internal (Hartati, 2012). Hal ini dikarenakan individu

22

dengan locus of control eksternal kurang percaya akan kemampuan dirinya sendiri

dalam melakukan suatu pekerjaan dan tidak bisa menentukan nasib baiknya

sendiri.

Pada saat individu merasa bahwa kemampuannya tidak sesuai dengan

tuntutan pekerjaan, maka individu tersebut cenderung melakukan perilaku

disfungsional untuk mempertahankan kedudukannya (Hartati, 2012). Hal tersebut

diperkuat dengan hasil penelitian Donnely et. al. (2003) yang menunjukan bahwa

semakin tinggi locus of control eksternal seorang auditor, semakin besar

kemungkinan terjadinya perilaku disfungsional auditor. Berdasarkan uraian

tersebut maka formulasi hipotesis yang diajukan penulis adalah sebagai berikut.

H1 : Locus of control berpengaruh positif pada perilaku menyimpang dalam audit.

2.2.2 Pengaruh Komitmen Organisasi pada Perilaku Menyimpang dalam

Audit

Komitmen organisasi merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas

karyawan pada organisasi dan berkelanjutan sehingga anggota organisasi dapat

mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta

kemajuan yang berkelanjutan (Luthans, 2006;249). Komitmen organisasi

menunjukkan kekuatan relatif untuk berpihak dan terlibat dalam organisasi,

keinginan untuk berusaha sekuat tenaga untuk organisasi, termasuk juga

keinginan untuk bertahan dalam organisasi merupakan orientasi individu terhadap

organisasi dalam hal loyalitas, identifikasi dan keterlibatan.

Otley dan Pierce (2012) telah melakukan penelitian tentang hubungan

komitmen organisasi dengan perilaku audit disfungsional di Amerika dan Irlandia

23

yang menunjukkan hubungan yang signifikan. Selain itu, penelitian Paino et. al.

(2011) menjelaskan bahwa organisational commitment berpengaruh negatif

terhadap dysfunctional Audit Behavior. Dijelaskan bahwa tingkat tinggi komitmen

organisasi akan dikaitkan dengan penyimpangan perilaku dalam audit, hal ini

dilakukan dengan tujuan untuk tetap mempertahankan organisasi tempat mereka

bekerja. Berdasarkan pernyataan tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai

berikut.

H2 : Komitmen organisasi berpengaruh negatif pada perilaku menyimpang dalam

audit.

2.2.3 Pengaruh Kinerja auditor pada Perilaku Menyimpang dalam Audit

Kinerja auditor adalah tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang

telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu (Trisnaningsih, 2003).

Auditor yang memiliki persepsi yang rendah terhadap tingkat kinerja mereka

dianggap akan memperlihatkan penerimaan perilaku menyimpang dalam audit

yang lebih tinggi (Irawati, 2005). Hal ini dikarenakan auditor dengan kinerja yang

rendah akan merasa harus meningkatkan kinerja mereka dengan berbagai tindakan

termasuk salah satunya perilaku menyimpang, seperti menghentikan satu atau

beberapa prosedur audit tanpa menggantikan dengan langkah yang lain untuk

mencapai waktu tugas yang ditetapkan oleh atasan.

Penelitian Febrina (2012), Irawati (2005) dan Pujaningrum (2012) yang

menyatakan bahwa kinerja memiliki pengaruh negatif pada penerimaan perilaku

menyimpang dalam audit. Goodhue dan Thompson (1995) menyatakan bahwa

24

kinerja yang lebih tinggi secara tidak langsung akan memberikan kontribusi bagi

efektivitas dan kualitas. Kinerja pekerjaan auditor berhubungan dengan kualitas

audit, kinerja yang buruk akan menurunkan kredibilitas audit. Coram et al (2004)

mengemukakan bahwa perilaku penyimpangan audit merupakan unsur

kesengajaan sebagai upaya pengurangan kualitas audit dikarena ketidakmampuan

auditor. Berdasarkan pernyataan tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai

berikut.

H3 : Kinerja auditor berpengaruh negatif pada perilaku menyimpang dalam audit.

2.2.4 Pengaruh Turnover intention pada Perilaku Menyimpang dalam Audit

Turnover intention adalah berhenti atau keluar dari organisasi secara

permanen baik sukarela seperti pensiun, atau tidak sukarela seperti pemecatan.

Auditor yang memiliki keinginan berpindah kerja lebih dapat terlibat dalam

perilaku disfungsional karena menurunnya tingkat ketakutan yang ada dalam

dirinya terhadap sanksi yang didapat bila perilaku tersebut dideteksi. Individu

yang berniat meninggalkan pekerjaan, tidak begitu peduli dengan dampak buruk

dari penyimpangan perilaku terhadap penilaian kinerja dan promosi.

Penelitian Maryanti (2005) dan Sitanggang (2007) membuktikan bahwa

turnover intention memiliki pengaruh postitif pada perilaku menyimpang dalam

audit. Malone dan Roberts (2003) yang terdapat dalam penelitian Pujaningrum

(2012) menjelaskan bahwa auditor yang memiliki keinginan untuk berpindah

kerja lebih mungkin terlibat dalam perilaku disfungsional, karena penurunan rasa

25

takut dari kondisi yang terjadi bila hal tersebut terdeteksi. Berdasarkan pernyataan

tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut.

H4 : Turnover intention berngaruh positif pada perilaku menyimpang dalam audit.

26