Upload
phungthien
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Evaluasi
a. Pengertian Evaluasi
Evaluasi adalah bidang kegiatan ilmiah yang selalu menjadi
perhatian dalam berbagai bidang kegiatan. Semua bidang pekerjaan dapat
dikatakan baik ataupun buruk jika telah dilakukan sebuah evaluasi. Karena
pentingnya peran evaluasi dalam sebuah pekerjaan, maka kajian-kajian
ilmiah tentang evaluasi tersebut terus berkembang mengikuti perkembangan
kemajuan ilmu dan teknologi lainnya.
Banyak ahli yang mendefinisikan tentang evaluasi. Astin
mengemukakan bahwa evaluasi merupakan suatu proses mengumpulkan
informasi secara sistematik untuk membuat keputusan tentang suatu
program (Astin W. Alexander, 1993:57). Whorten dan Sanders
mengemukakan bahwa evaluasi dapat di jadikan alat untuk memperoleh
informasi yang digunakan untuk menilai manfaat dari sebuah program yang
berkaitan dengan produk, prosedur, dan tujuan yang telah ditetapkan (Blaine
R dan James R, 1973:19). Dari berbagai pendapat tersebut dapat dilihat
bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan penting yang dalam proses
pelaksanaannya mempunyai aturan-aturan dan penekanan tertentu, sehingga
hasilnya dapat digunakan untuk mengambil suatu keputusan yang dapat
dipertanggung jawabkan, untuk mengembangkan, memberhentikan, dan
melanjutkan sebuah kegiatan ataupun program.
Dalam lingkup sebuah program, maka pelaksanaan evaluasi adalah
pekerjaanyang lebih kompleks untuk mendapatkan semua faktor yang
berpengaruh ataupun tidak terhadap pelaksanaan sebuah program. Djuju
Sujana yang mengutip pendapat Mugiadi mengemukakan bahwa evaluasi
program adalah upaya pengumpulan informasi mengenai suatu program,
13
kegiatan, atau proyek. Selanjutnya Djuju mengemukakan bahwa informasi
yang dimaksud adalah berguna dalam pengambilan keputusan seperti
keputusan memperbaiki program, menyempurnakan kegiatan program
lanjutan, menghentikan suatu kegiatan, atau menyebarluaskan gagasan yang
mendasari suatu program atau kegiatan (Djuju Sujana, 2006:21). Kaitannya
dengan evaluasi program, Rutman mengemukakan bahwa evaluasi program
harus menggunakan metode – metode ilmiah untuk mengukur
implementasia dan hasil program/proyek untuk mengambil keputusan
(Rutman L, 1984:5). Menyinggung tentang metode ilmiah tentunya harus
juga dibedakan antara penelitian evaluatif dengan evaluasi. Nana Sayaodih
mengemukakan banyak persamaan antara penelitian evaluatif dengan
penelitian evaluasi. Untuk lebih mudah membedakan keduanya dapat
ditinjau dari tujuan dan penggunaanya. Penelitian evaluatif dirancang untuk
menjawab pertanyaan, menguji atau membuktikan hipotesis, sedangkan
evaluasi ditujukan untuk mengambil keputusan. Perbedaan mendasar lainya
ditinjau dari penggunaannya (utilization), hasil penelitian disimpan sampai
ada orang atau lembaga yang akan menggunakannya, sedang hasil evaluasi
segera digunakan untuk mengambil keputusan dalam program yang
dievaluasi (Nana S, 2005:120-121). Sementara itu, Brinkerhoft and Rober O
mengemukakan bahwa evaluasi program adalah proses menentukan sejauh
mana tujuan dan sasaran program/proyek telah terealisasi, memberikan
informasi untuk pengambilan keputusan, perbandingan kinerja dengan
patokan – patokan tertentu untuk menentukan apakah terdapat kesenjangan,
penilaian tentang harga dan kualitas, investigasi sistematis mengenai nilai
atau kualitas suatu objek (Binkethoff dan Rober O, 1983:2).
Agar hasil evaluasi berlangsung baik maka ada beberapa kriteria
yang dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan evaluasi. Meridith D Gall
mengemukakan bahwa proses evaluasi tersebut menggunakan kriteria
utility, timely, feasibilitiy, propriety, dan accuracy. Utility dimaksudkan
agar evaluasi itu bersifat normatif. Timely dimaksudkan bahwa evaluasi
harus mempunyai rentang waktu dan berguna untuk mengarahkan orang.
14
Feasibilitiy dimaksudkan agar desain evaluasi di atur sesuai dengan bidang
yang akan dievaluasi dan dengan biaya yang efektif. Propriety dimaksudkan
agar evaluasi dilakukan secara legal dan menjunjung etika. Accuracy
evaluasi harus akurat dan valid, reliable dan merupakan informasi yang
menyeluruh (Meridith, Joyce, dan Walter, 2003:543-552)
Tujuan evaluasi adalah satu faktor yang harus diperhatikan sebelum
evaluasi dilaksanakan. Tujuan evaluasi akan menentukan rangkaian proses
pekerjaan dari evaluasi. Berkaitan dengan tujuan evaluasi, stufflebeam dan
Skinkfield (1986;165), mengemukakan bahwa tujuan evaluasi adalah untuk
meningkatkan (to improve) dan bukan untuk membuktikan (not to improve)
sebuah program. Sementara itu pendapat lain mengemukakan bahwa tujuan
evaluasi adalah untuk menilai (1) kesesuaian dan ketidak sesuaian
kebutuhan dengan tujuan program; (2) kekuatan atau kelemahan dalam hal
strategi, peralatan, sumberdaya, dalam mencapai tujuan; (3) ketepatan atau
ketidak tepatan pelaksanaan program terhadap tujuan program (Stephen,
Isaac, dan Michael, 1984:2).
Mengacu pada definisi – definisi tentang evaluasi tersebut, maka
tujuan evaluasi dapat disimpulkan sebagai proses yang dilakukan untuk
memperoleh informasi yang akurat, tepat, dan objektif berkaitan dengan
penyelenggaraan sebuah program atau organisasi pusat pembinaan.
Informasi tersebut berupa hal – hal yang berhubungan dengan konteks,
input, proses ataupun produk dari sebuah program atau organisasi pusat
pembinaan.
b. Model Riset Evaluasi
Ada beberapa model evaluasi yang telah dikenal dan telah
dikembangkan oleh para ahli dalam melakukan suatu evaluasi terhadap
sebuah program. Model evaluasi yang sudah dikenal tersebut antara lain
model Scriven formatif sumatif, model CIPP, model Stakes Countenance,
Model Tyler’s Goal Attainent, model Provus’s Discrepancy, model
Scriven’s Goal-free, model Stake’s Responsive (Khufman dan Thomas,
1980:109). Dari sejumlah model evaluasi yang ada tersebut tentunya
15
mempunyai kelebihan dan kekurangan dikaitkan dengan tujuan evaluasi
tersebut. penggunaan model evaluasi selalu dikaitkan dengan tujuan yang
akan dicapai dari pelaksanaan evaluasi.
1) Model Evaluasi Scriven Formatif Sumatif
Model ini menunjukkan adanya tahapan dan lingkup objek yang
dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih
berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau
berakhir (disebut evaluasi sumatif).
Berbeda dengan model yang pertama dikembangkan, model yang
kedua ini ketika melaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat
melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif memang berbeda
dengan tujuan evaluasi sumatif. Dengan demikian model yang
dikemukakan tersebut dilaksanakan.
Para evaluator pendidikan, termasuk guru-guru yang mempunyai
tugas evaluasi, tentu sudah mengenal dengan baik apa yang dimaksud
dengan evaluasi formatif dan sumatif. Hampir setiap bulan guru-guru
melaksanakan evaluasi formatif dalam bentuk ulangan harian. Evaluasi
tersebut dilaksanakan untuk mengetahui sampai berapa tinggi tingkat
keberhasilan atau ketercapaian tujuan untuk masing-masing pokok
bahasan. Dikarenakan luas atau sempitnya materi yang tercakup didalam
pokok bahasan setiap mata pelajaran tidak sama, maka tidak dapat
ditentukan dengan pasti kapan eveluasi.
2) Model Stakes Countenance
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum
yang dikembangkan oleh Stake. Stake mendasarkan modelnya ini pada
evaluasi formal. Evaluasi formal adalah evaluasi yang dilakukan oleh
pihak luar yang tidak terlibat dengan evaluan. Model Countenance ini
terdiri atas dua matriks. Matrik pertama dinamakan matriks Deskripsi
dan yang kedua dinamakan matriks Pertimbangan.
16
(a). Matrik Deskripsi
Kategori pertama dari matrik deskripsi adalah sesuatu yang
direncanakan (intent) pengembang kurikulum dan program. Dalam
konteks KTSP maka kurikulum tersebut adalah kurikulum yang
dikembangkan oleh satuan pendidikan. Sedangkan program adalah
silabus dan RPP yang dikembangkan guru. Kategori kedua adalah
observasi, yang berhubungan dengan apa yang sesungguhnya
sebagai implementasi dari apa yang diinginkan pada kategori
pertama. Pada kategori ini evaluan harus melakukan observasi
mengenai antecendent, transaksi dan hasil yang ada di satu satuan
pendidikan atau unit kajian yang terdiri atas beberapa satuan
pendidikan.
(b). Matrik Pertimbangan
Dalam matrik ini terdapat kategori standar, pertimbangan dan focus
antecendent, transaksi, autocamo (hasil yang diperoleh). Standar
adalah criteria yang harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau
program yang dijadikan evaluan. Berikutnya adalah evaluator
hendaknya melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan
dari kategori pertama dan matrik deskriptif.
Adapun dua hal lain yang harus diperhatikan dalam menggunakan model
countenance adalah contingency dan congruence. Kedua konsep ini
adalah konsep yang memperlihatkan keterkaitan dan keterhubungan 12
kotak tersebut. Contingency terdiri atas kontingensi logis dan kontingensi
empiris. Contingency logis adalah hasil pertimbangan evaluator terhadap
keterkaitan logis antara kotak antecedence dengan traksaksi dan hasil.
Kemudian evaluator juga harus memberikan pertimbangan empiris
berdasarkan data lapangan. Evaluator juga harus memberikan
pertimbangan congruence atau perbedaan yang terjadi antara apa yang
direncanakan dengan apa yang terjadi dilapangan. Adapun kelebihan dari
model ini adalah adanya analisis yang rinci. Setiap aspek dicoba dikaji
kesesuainnya. Misalkan, analisis apakah persyaratan awal yang
17
direncanakan dengan yang terjadi sesuai apa tidak? Hasil belajar peserta
didik sesuai tidak dengan harapan.
3) Model Tyler’s Goal Attainment
Tyler adalah seorang yang dianggap bapak evaluasi karena pada
tahun 1950 telah memberikan sumbangannya dalam memberikan definisi
pada evaluasi.
Menurut Tyler (dalam kaufman dan Thomas,1980) pengertian
evaluasi perlu ditekankan pada pemerolehan gambaran mengenai
efektivitas system pendidikan yang mempengaruhi pencapaiaan tujuan
pendidikan atau pembelajaran. Evaluasi harus dilaksanakan secara
berkesinambungan dan terus menurus sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang akan dicapai secara berkelanjutan.
Model evaluasi berbasis tujuan telah dikembangkan dan
digunakan selama delapan puluh tahun pada akhir 1930.proses membawa
Tayler memahami evaluasi sebagai proses menentukan seberapa besar
tujuan sebuah program dapat dicapai. Langkah-langkah itu sendiri
adalah:
(a). Menentukan tujuan seluas-luasnya atau sasaran-sasaran
(b). Mengklasifikasikan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran.
(c). Menegaskan sasaran dalam bentuk perilaku
(d). Menemukan situasi dalam pencapaian tujuan
(e). Mengumpulkan hasil data
(f). Membandingkan hasil data dengan perilaku berdasarkan tujuan.
4) Model Stake’s Responsive
Evaluasi menurut stake adalah usaha untuk mendeskripsi
program-program dan memberikan judgment kepadanya. Evaluasi
responsive adalah sebuah ependekatan untuk evaluas penddikan dan
program lainya. Di bandingkan dengan pendekata lainya, evaluasi
responsiv lebih berorientasi kepada aktivitas , keunikan dan keragaman
social dari suatu program. Keistimewaan dari pendekatan ini adalah
18
kemampuan reaksi terhadap isu kunci atau masalah yang di kenal
masyarakat di lapangan.
Tujuan evaluasi di rancang secara perlahan da terus berkembang
selama proses pengumpulan data berlangsung. Evaluasi responsive di
tandai leh ciri-ciri penelitian kualitatif naturalistik. Evaluasi responsive
percaya bahwa evaluasi yang berarti yaitu mencari pengertian isu
terhadap sudut pandang orang yang terlibat, yang berminat, dan yang
berkepentingan dalam program. Data lebih banyak di kumpulkan dengan
menggunakan teknik wawancara dan observasi daripada tes dan angket.
Keberadaan data yang kualitatif ini membuat analisis dan interpretasi
data bersifat impresionistik. Bentuk laporan evaluasi adalah studi kasus
atau gambaran yang diskriptif. Fokus utama evaluasi responsive adalah
menunjukan perhatian dan isu peserta.
Tujuan kerangka dan focus evauasi responsive muncul dai
interaksi dengan unsur, dan pengamatan terhadap interaksi. Kondisi ini
mengakibatjkan evaluais berkembang secara progresif. Artinya isu dalam
evaluasi responsif berkembang sepanjang evaluasi di lakukan , sepanjang
data-data di kumpulkan.
Kunci dalam evaluasi responsive adalah evaluator harus mau
mendengarkan audienya. Penilai responsive tentu saja mengerjakan
banyak berbagai hal. Ia membuat suatu rencana pengamatan dan
negoisasi.
5) Model Evaluasi CIPP
Model evaluasi CIPP adalah evaluasi yang dilakukan secara
kompleks yang meliputi Contex, Input, Process, dan Product. Model
CIPP dipandang sebagai suatu model evaluasi yang sangat komprehensif.
Dari berbagai model evaluasi dan pendekatan penelitian evaluasi
dapat dikemukakan secara singkat spesifikasi dari setiap model tersebut.
Model Tyler penekanannya adalah membandingkan hasil tes awal dengan
19
tes akhir dan dilakukan dalam waktu yang periodik. Model Tyler ini banyak
diterapkan pada evaluasi pembelajaran disekolah. Model Scriven
penekanannya adalah evaluasi terhadap hasil sebuah program, baik itu hasil
yang memang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan. Model Stake
penekanannya adalah melakukan evaluasi secara kualitatif untuk
menterjemahkan hasil-hasil setiap individu di dalam program tersebut.
Umumnya kesulitan dalam model ini adalah dalam hal menterjemahkan
hasil yang diperoleh.
Penelitian evaluatif merupakan suatu desain dan prosedur evaluasi
dalam mengumpulkan dan menganalisis data secara sistematis untuk
menentukan nilai atau manfaat dari suatu praktik. Nilai atau manfaat dari
suatu praktik didasarkan atas hasil pengukuran atau pengumpulan data
dengan menggunakan standar atau kriteria tertentu yang digunakan secara
absolut ataupun relatif (Nana S, 2005:120).
Penelitian evaluatif digunakan sebagai alat untuk melihat
peningkatan suatu program, contohnya untuk melihat efisiensi suatu
program. Selain itu evaluasi digunakan juga untuk melihat keberhasilan
suatu program dengan memperhitungkan biaya yang dikeluarkan dengan
tujuan yang akan dicapai. Melalui evaluasi diharapkan pengambilan
keputusan dapat membuat keputusan yang berhubungan dengan rancangan
program, orang yang terlibat dan biaya yang digunakan.
Secara umum tujuan penelitian evaluatif adalah: (1) membantu
perencanaan untuk pelaksanaan program; (2) membantu dalam penentuan
keputusan penyempurnaan atau perubahan program; (3) membantu dalam
penentuan keputusan keberlanjutan atau penghentian program; (4)
menentukan fakta-fakta dukungan dan penolakan terhadap program; (5)
memberikan sumbangan dalam pemahaman proses psikologis, sosial, politik
dalam pelaksanaan program serta faktor-faktor yang mempengaruhi
program (Nana S, 2005:121).
Dalam proses penelitian evaluatif ada langkah-langkah yang harus
diperhatikan. David Strahan dalam Meridith Gall menyarankan langkah-
20
langkah dalam penelitian evaluatif sebagai berikut: (1) klarifikasi alasan
melakukan evaluasi, alasan harus jelas dan bisa bersumber dari peneliti
sendiri, karena peneliti mempunyai minat besar terhadap program yang akan
diteliti sehingga dia melihat keunggulan atau kegagalan suatu program
tersebut atau bisa juga bersumber dari pihak luar. (2) memilih model
evaluasi, dalam memilih model evaluasi harus dikemukakan alasan
mengapa model ini yang digunakan. Pemilihan model atau pendekatan
penelitian didasarkan atas tujuan evaluasi dan pertanyaan penelitian, metode
pengumpulan data, dan hubungan antara individu-individu dalam program
pembinaan dan organisasi yang akan dievaluasi. (3) mengidentifikasi pihak-
pihak yang terkait, pekerjaan ini diperlukan untuk melihat pihak-pihak yang
akan terlibat dalam penelitian. (4) penentuan komponen yang akan
dievaluasi. Sebelum ditentukan komponen yang akan dievaluasi terlebih
dahulu perlu di identifikasi komponen-komponen yang ada dalam suatu
program pembinaan, mana komponen utama dan mana komponen
penunjang. Pemilihan komponen yang akan dievaluasi didasarkan atas
pertimbangan kesesuaian dengan tujuan evaluasi, manfaat hasil, keluasan
dan kompleksitas komponen, keleluasaan target populasi, waktu serta biaya
yang tersedia. Komponen utama dari suatu program antara lain adalah
tujuan program (dirumuskan secara jelas, rinci, dan terukur), sumber
program (SDM, sarana, dan fasilitas, serta biaya), prosedur pelaksanaan
program (harus tergambar metode, dan strategi yang digunakan), dan
manejemen program (merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan,
memonitor dan menyempurnakan pelaksanaan program). (5)
mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan evaluasi. Rincian dari fokus atau
aspek-aspek yang dievaluasi dirumuskan dalam bentuk pertanyaan,
hipotesis atau tujuan.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian evaluatif merupakan
strategi untuk memfokuskan kegiatan evaluasi agar bisa menghasilkan
laporan yang bernilai guna. McMillan dan Schumacher mengemukakan
enam pendekatan dalam penelitian evaluatif : (1) evaluasi yang berorientasi
21
pada tujuan; (2) Evaluasi yang berorientasi pada pengguna; (3) Evaluasi
yang berorientasi pada keahlian; (4) Evaluasi yang berorientasi pada
keputusan; (5) Evaluasi yang berorientasi pada lawan; (6) Evaluasi yang
berorientasi pada partisipan-naturalistik (McMillan, 2002:226).
Sudjana mengemukakan, pada dasarnya semua metode evaluasi
dapat digunakan dalam evaluasi program. Lebih lanjut bahwa evaluator
program dibagi kedalam dua kelompok. Pertama, kelompok evaluator yang
berorientasi pada penguasaan dan penggunaan metode. Pada kelompok
pertama ini evaluator harus menguasai metode evaluasi program, teknik
analisis, dan instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Kedua,
evaluator yang beroientasi pada pemecahan masalah dan tujuan masalah.
Evaluator yang masuk pada kelompok ini tidak terlalu menguasai metode
evaluasi, melainkan evaluasi dilakukan menggunakan premis bahwa
pemiliham metode evaluasi program di dasarkan atas tujuan yang telah
ditentukan (Djudju Sudjana, 2006:105).
Dari berbagai model evaluasi yang ada, model CIPP adalah model
evaluasi yang memberi manfaat untuk melihat apakah program pembinaan
telah berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan/diinginkan dan
menghasilkan produk sesuai dengan yang telah direncanakan (Stufflebeam,
1971:85). Pada model CIPP pelaku evaluasi biasanya tidak berhubungan
langsung dengan program yang akan dievaluasi, akan tetapi dapat bekerja
dengan salah seorang yang terlibat langsung dalam program tersebut. selain
itu, pelaku evaluasi harus dapat bekerjasama dengan orang-orang yang
bekerja sebagai staf dalam pelaksanaan program. Hal ini perlu dilakukan
agar pelaku evaluasi dapat menentukan dan mendapatkan segala informasi
dan juga untuk interpretasi data yang akan digunakan untuk pengambilan
keputusan. Model CIPP akan maksimal pelaksanaanya jika ada kerjasama
yang baik antara pelaku evaluasi dengan pelaksana sebuah program.
Mengacu pada uraian tentang model evaluasi CIPP, maka model
yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Model CIPP. Alasan
penggunaan model CIPP ini adalah untuk menggambarkan secara
22
menyeluruh tentang keberadaan dan pelaksanaan pembinaan prestasi
olahraga panahan National Paralympic Committe (NPC) Sragen, Jawa
Tengah.
Model CIPP adalah model yang telah dikembangkan oleh
Stufllebeam dan kawan-kawan di Ohio State University. Seperti diketahui
ada empat komponen yang akan dievaluasi dalam model CIPP yaitu Contex,
Input, Process, dan Product. Namun dikatakan bahwa seorang evaluator
tidak harus menggunakan keempat faktor tersebut untuk dilakukan evaluasi.
Model CIPP dapat dikatakan format evaluasi yang komprehensif pada setiap
tahapannya. Sehingga diharapkan hasil evaluasi dengan menggunakan
model ini akan memberikan hasil yang komprehensif. Evaluasi yang
dilakukan pada setiap unsur memiliki penekanan-penekanan dan tujuan
tersendiri.
Evaluasi context digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
membuat keputusan suatu perencanaan yang mencakup analisis
permasalahan yang mencakup analisis permasalahan yang berkaitan dengan
lingkup program yang telah dilaksanakan. Evaluasi context berisi tentang
analisis kekuatan dan kelemahan dalam menjalankan suatu kegiatan
(Madaus, 1983:128). Pendapat lain mengatakan bahwa evaluasi context
merupakan sebagai fokus institusi dalam mengidentifikasi target populasi
dan menilai kebutuhan (Stufflrbeam dan Shinlfield, 1986:169-170).
Suharsimi Arikunto mengemukakan, evaluasi konteks adalah upaya untuk
menggambarkan dan merinci kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan
sampel yang dilayani dan tujuan proyek (Arikunto, 2004:39). Dari uraian ini
dapat dikatakan bahwa evaluasi context adalah suatu kebutuhan yang
dirumuskan sebagai suatu kesenjangan kondisi yang nyata dengan kondisi
yang diharapkan. Hal ini akan memberikan informasi bagi pengambil
keputusan dalam peerencanaan suatu program pembinaanyang diluncurkan.
Selain itu dapat dijadikan pedoman untuk rasionalisasi suatu program
pembinaan prestasi. Dengan kata lain evaluasi context merupakan
penjabaran latar belakang yang mendasari perumusan tujuan dan strategi
23
yang akan diimplementasikan dalam program pembinaan. Farida Yusuf
yang mengutip pendapat Stufflebeam mengemukakan context evaluation to
serve planning decision. Evaluasi konteks ini membantu merencanakan
keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program
pembinaan dan merumuskan tujuan program (Farida Yusuf, 2000:14).
Evaluasi terhadap input sebagai bahan pertimbangan dalam
membuat suatu keputusan untuk menentukan suatu strategi yang akan
dijalankan. (Suharsimi Arikunto, 2004:30), mengemukakan, maksud dari
evaluasi input adalah kemampuan awal suatu keadaan dalam menunjang
suatu program. Lingkupnya evaluasi input meliputi analisis persoalan yang
berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber yang tersedia dan alternatif
strategi yang dapat dipertimbangkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Kaitanya dengan penelitian ini, evaluasi input adalah kegiatan untuk
menganalisis sumber daya dalam hal ini adalah atlet, dan pelatih dan juga
pendukung lainnya seperti dana, sarana dan juga prasarana yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan program pembinaan tersebut. Farida Yusuf yang
mengutip pendapat Stufflebeam mengemukakan; input evaluation,
structuring decision; evaluasi input menolong mengatur keputusan,
menentukan sumber-sumber yang ada, menentukan alternatif apa yang
diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, dan
bagaimana prosedur kerja untuk mencapainnya (Farida Yusuf, 2000:14).
Hasil evaluasi input pada sebuah program pembinaan diharapkan dapat
menjawab pertannyaan, apakah karakteristik sumber daya sudah sesuai
dengan kriteria yang telah ditentukan dan apakah pendukung lain yang
tersedia telah memenuhi kebutuhan untuk mencapai sasaran sebuah
program.
Evaluasi process sebagai bahan untuk mengimplementasikan suatu
keputusan yang akan diambil. Dalam hal ini akan dilihat tepat tidaknya
pelaksanaan suatu program yang telah ditetapkan. Suharsimi Arikunta
mengemukakan evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang
dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana
24
(Arikunto, 2004;30). Pendapat lain mengatakan evaluasi proses dilakukan
untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam rancangan
prosedural dan implementasinya. Selain itu juga memberikan informasi
mengenai keputusan-keputusan yang telah diambil sebelumnya, membuat
catatan tentang aktivitas-aktivitas atau kejadian-kejadian prosedural
(Stephen dan William, 1983:13). Kaitan evaluasi proses dalam sebuah
program, akan dapat menjawab pertanyaan, apakah kegiatan program telah
sesuai dengan plot waktu yang dijadwalkan, apakah kemampuan
sumberdaya manusia (pelaksana program) sudah sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan, apakah sarana dan prasarana yang tersedia sudah dimanfaatkan
dengan baik, dan kendala-kendala yang ditemukan selama pelaksanaan
program pembinaan. Farida Yusuf yang mengutip pendapat Stufflebeam
mengemukakan; process evaluation, to serve implementing decision;
evaluasi proses untuk membantu mengimplementasikan keputusan.
Sejauhmana rencana telah ditetapkan, apa yang harus direvisi. Begitu
pertanyaan tersebut terjawab prosedur dapat dimonitor, dikontrol, dan
diperbaiki (Farida Yusuf, 2000:14).
Evaluasi terhadap product adalah evaluasi yang dilakukan dalam
melihat ketercapaian suatu tujuan sebuah program yang telah dilaksanakan.
(Suharsimi Arikunto, 2004:30), mengemukakan evaluasi produk diarahkan
pada hal-hal yang menunjukkan perubahan yang terjadipada masukan
mentah. Farida Yusuf, yang mengutip pendapat Stufflebeam
mengemukakan; product evaluation, to serve recycling decision; evaluasi
produk untuk menolong keputusan selanjutnya. Apa hasil yang telah
dicapai, apa yang dilakukan seteleh program pembinaan berjalan.
Stufflebeam, (2007:333) lebih jauh menggambarkan elemen dasar
model evaluasi CIPP dalam tiga lingkaran dan arah pekerjaan dari nilai yang
dicapai. Lingkaran yang paling dalam adalah nilai yang didefinisikan dan
digunakan untuk dilakukan evaluasi. Kemudian lingkaran yang berikutnya
menggambarkan empat komponen yang akan dievaluasi yang meliputi
tujuan (goals), perencanaan (plan), implementasi (action), dan dampak
25
(outcomes). Sedangkan lingkaran yang berikutnya adalah menggambarkan
evaluasi yang dilakukan yang meliputi context, input, process, dan product
(Stufflebeam, 2007:333). Dengan mencermati gambaran yang dilukiskan
tersebut, maka semakin jelas arah pekerjaan evaluasi yang akan dilakukan.
Lebih jelasnya gambar yang dimaksud dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1.1. Model Evaluasi CIPP
Memperhatikan pendapat Stufflebeams tersebut maka semakin jelas
penekanan – penekanan setiap fokus evaluasi yang terdapat pada model
evaluasi CIPP. Dengan demikian evaluator akan terbantu untuk
mengembangkan komponen – komponen yang akan dievaluasi dalam satu
program yang sedang ataupun akan dijalankan. Diharapkan dengan paduan
tersebut hasil evaluasi yang diperoleh akan memberikan manfaat yang lebih
tajam untuk mengembangkan suatu program.
2. Pembinaan Prestasi
a. Pembinaan Prestasi Olahraga
Pembinaan adalah usaha tindakan kegiatan yang dilakukan secara
berdaya guna dan berhasil untuk meningkatkan atau memperoleh hasil yang
lebih baik (A. Mangunhardjana, 1989:134). Untuk mencapai prestasi atlet
secara maksimal diperlukan pembinaan yang terprogram, terarah dan
berkesinambungan serta didukung dengan penunjang yang memadai
(Hartono, Nurharsono dan Pratiknyo, 1998:12). Dan untuk mencapai
prestasi optimal atlet, juga diperlukan usaha dan daya melatih yang
dituangkan dalam rencana program latihan tertulis yang tersusun secara
26
sistematis sebagai pedoman arah kegiatan untuk mencapai tujuan secara
efektif dan efisien (Tohar : 2004).
Untuk pencapaian prestasi maksimal olahraga harus dikembangkan
melalui kegiatan pembinaan yang terprogram, terarah, terencana melalui
kegiatan berjenjang dalam waktu yang relatif lama (Rusli Lutan dkk, 2000).
Sumaryoto (2005) mengatakan bahwa kunci untuk memajukan prestasi
adalah dimulai dengan menangani serius pembinaan olahraga sejak usia
dini. Karena, saat itulah yang paling tepat untuk memberikan dasar
ketrampilan dan membentuk karakter bermain, menumbuhkan sportifitas
dan semangat pantang menyerah dalam pertandingan. Sehingga prestasi
yang dihasilkan dapat benar–benar maksimal.
Konsep pembinaan olahraga usia dini sedini mungkin yang
dipaparkan oleh (KONI, 2000:66) adalah Kalau kita ingin mencapai prestasi
yang tinggi, maka perlu diterapkan konsep pembinaan olahraga sedini
mungkin. Tanpa pembibitan jangan diharapkan akan diperoleh olahragawan
berprestasi. Konsep tersebut jelas mengacu kepada pembinaan anak–anak
usia dini. Oleh karena periode umur anak-anak tersebut merupakan periode
yang amat potensial, guna memungkinkan pembinaan prestasi setinggi
mungkin. Terciptanya prestasi puncak adalah hasil dari persiapan atlet yang
cermat, berdasarkan program latihan yang terorganisasi secara sangat rinci,
direncanakan secara bertahap, obyektif dan diterapkan secara
berkesinambungan (Harsuki, 2003:308).
b. Tahap-Tahap Pembinaan
Bahwa untuk mencapai suatu prestasi dalam olahraga, merupakan
usaha yang benar–benar harus diperhatikan secara masak dengan suatu
usaha pembinaan melalui suatu pembibitan secara dini, serta peningkatan
melalui pendekatan ilmiah terhadap ilmu–ilmu pengetahuan yang terkait
(M. Sajoto, 1988:10-11). Hal ini mengisyaratkan bahwa untuk mencapai
suatu prestasi diperlukan berbagai komponen yang merupakan satu
27
kesatuan, puncak dari pembinaan adalah prestasi. Prestasi tidak muncul
dengan secara tiba-tiba, namun melalui pentahapan-pentahapan tertentu.
Menurut Kamiso (2006) tahapan pembinaan prestasi secara nasional dapat
digambarkan dengan piramida pembinaan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Piramida Pembinaan (Kamiso, 2006)
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pencapaian
prestasi olahraga yang maksimal dibutuhkan tahap–tahap yang
berkelanjutan. Senada dengan piramida pembinaan Kamiso, KONI (1998:B-
5) mengemukakan beberapa kegiatan dasar yang dilaksanakan dalam proses
pembinaan atlet untuk mencapai prestasi tinggi. Adapun kegiatan – kegiatan
tersebut antara lain :
1) Pembinaan Pemassalan
2) Pembinaan Pembibitan
3) Pembinaan Prestasi
1) Pembinaan Pemassalan
Pemassalan merupakan suatu upaya untuk mengikutsertakan
seluruh lapisan masyarakat dengan sasaran melibatkan semua kelompok
umur. Pelaksanaan kegiatan pemassalan harus dilakukan secara terus
menerus, sehingga nantinya mampu menciptakan bibit-bibit atlet yang
28
baik. Hal ini seperti dikemukakan Hadisasmita dan Syarifudin (1996)
bahwa, “Pemassalan olahraga ialah suatu proses dalam upaya
mengikutsertakan peserta sebanyak mungkin supaya mau terlibat dalam
kegiatan olahraga dalam rangka pencarian bibit-bibit atlet yang berbakat
yang dilakukan dengan cara teratur dan terus-menerus” (hlm. 36).
Sedangkan menurut Irianto, dkk. (2009) “Pemassalan adalah
menggerakan anak usia dini untuk berolahraga secara menyeluruh agar
diperoleh bibit-bibit olahragawan handal” (hal. 6).
Tujuan pemasaalan olahraga yang dilaksanakan antara lain agar
masyarakat menyadari pentingnya olahraga prestasi, sehingga akan
memunculkan bibit-bibit atlet yang baik. Hadisasmita dan Syarifudin
(1996) mengemukakan bahwa tujuan pemassalan adalah untuk:
(a) Membina dan meningkatkan kesegaran jasmani.
(b)Meningkatkan kesegaran rohani atau untuk mendapatkan kegembiraan
(c) Pembentukan watak atau kepribadian.
(d)Menanamkan dasar-dasar keterampilan gerak dalam usaha pencapaian
prestasi tinggi (hal. 36).
Berdasarkan pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
tujuan pemassalan olahraga disamping untuk mendapatkan bibit-bibit
atlet yang baik, juga untuk menyadarkan masyarakat tentang arti
pentingnya olahraga terhadap peningkatan prestasi olahraga.
Agar masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam pemassalan
olahraga prestasi, maka perlu ditempuh langkah-langkah yang baik dan
tepat.Langkah-langkah yang ditempuh tersebut diharapkan mampu
mewujutkan tujuan pemassalan olahraga yang telah dilaksanakan.
Menurut Hadisasmita dan Syarifudin (1996) Strategi pemassalan
olahraga antara lain.
(1) Meyediakan prasarana dan sarana olahraga yang memadai sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Apabila pemassalan olahraga ini
akan diterapkan disekolah-sekolah, maka yang perlu disediakan
prasarana dan sarana yang sesuai dengan kemampuan masing-
masing tingkatannya.
29
(2) Menyediakan penyiapan pengadaan tenaga pengajar atau pelatih
olahraga yang bener-bener memiliki kemampuan untuk
menggerakan olahraga anak-anak usia muda disekolah.
(3) Mengadakan berbagai bentuk pertandingan cabang olahraga bagi
anak-anak sekolah, baik pertandingan antar kelas, sekolah maupun
antara perkumpulan.
(4) Mengadakan demontrasi pertandingan antar atlet-atlet yang
berprestasi.
(5) Mengadakan kerjasama antara sekolah dengan orang tua siswa.
(6) Memberikan motifasi kepada para siswa untuk mau berolahraga.
(7) Merangsang minat para siswa dengan melalui media masa maupun
elektronik (hal. 39).
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
pemassalan olahraga dapat dilakukan disekolah-sekolah maupun diluar
sekolah. Pemassalan dapat berjalan dengan baik, apabila didukung
prasarana dan sarana yang memadai, tenaga pengajar atau pelatih,
diadakan pertandingan olahraga, ditambahkan minat berolahraga pada
siswa, serta adanya kerjasama dengan para orang tua siswa.
Strategi diatas perlu diperhatikan agar tujuan dalam pemassalan
olahraga dapat tercapai yaitu diperolehnya bibit-bibit atlet yang baik.
Bibit-bibit atlet yang baik tersebut akan menopang dalam pembinaan
olahraga selanjutnya, sehingga potensi yang ada pada dirinya dapat
dikembangkan dan prestasi maksimal dapat diciptakan.
2) Pembinaan Pembibitan
Komite Olahraga Nasional Indonesia (1998:B-7)
mengemukakan bahwa pembibitan adalah upaya yang diterapkan untuk
menyaring atlet berbakat dalam olahraga prestasi, yang diteliti secara
terarah dan intensif melalui orang tua, guru dan pelatih. Tujuan
pembibitan adalah untuk menyediakan calon atlet berbakat dalam
berbagai cabang prestasi, sehingga dapat dilanjutkan dengan pembinaan
yang lebih intensif, dengan sistem yang lebih inovatif dan mampu
memanfaatkan hasil riset ilmiah serta teknologi modern.
Prestasi maksimal bukan merupakan hal yang mudah dicapai.
Prestasi maksimal dapat dihasilkan melalui proses yang panjang. Latihan
30
sejak dini atau usia muda dimungkinkan dapat dilakukan pembinaan
dalam rentang waktu yang relatif panjang. Disamping latihan sejak dini,
bibit-bibit pemain yang baik mempunyai pengaruh terhadap pencapai
prestasi. Bibit pemain yang baik dan berbakat, maka akan lebih mudah
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sampai pada batas
kemampuan maksimal.
Menurut Suharno (1992), aspek-aspek yang dilihat dalam
mencari bibit atlet antara lain :
(1) Segi Anatomis : Tinggi, berat badan, proporsi dan badan macam
otot-otot perlu diteliti secara cermat
(2) Segi Fisiologis : keadaan jantung, paru-paru, peredaran darah,
pencernaan makanan, susunan syaraf dll. Harus dipriksakan dokter.
(3) Kemampuan gerak :
- Unsure-unsur gerak (kekuatan, daya tahan dst)
- Kecakapan gerak dalam cabang olahraga.
(4) Segi mental : Kejiwaan, Kepribadian, temperament
(5) Kesehatan : Kesehatan fisik dan mental
(6) Segi social ekonomi : latar belakang social ekonomi (hal. 78).
Jadi dengan upaya mencari dan menemukan individu-individu
yang memiliki potensi, adalah untuk individu-individu tersebut agar
dapat mencapai prestasi olahraga di kemudian hari, pembibitan pemain
juga sebagi langkah atau tahap lanjutan dari permasalahan olahraga.
Di dalam pembinaan pembibitan ada juga pemanduan bakat.
Pemanduan bakat yang dimaksud adalah usaha yang dilakukan untuk
memperkirakan peluang seorang atlet yang berbakat untuk dapat berhasil
dalam menjalalani latihan sehingga mencapai prestasi puncak. Tujuan
dalam pemanduan bakat adalah untuk memperkirakan seberapa besar
seseorang untuk dapat berpeluang dalam menjalalani program latihan
sehingga mencapai prestasi yang lebih tinggi (KONI, 1998:B-10).
Bakat merupakan salah satu faktor penting didalam mencapai
prestasi yang tinggi pada suatu cabang olahraga. Bakat merupakan
potensi dalam diri pemain yang dapat dikembangkan dan menunjang
keberhasialan dalam olahraga. Tanpa memiliki bakat yang sesuai dengan
olahraga yang dipelajari maka prestasi maksimal akan sulit di tercapai.
31
Menurut Sullivan (1986) bahwa, “Masing-masing memiliki bakat-bakat
alam yang memang sudah diwarisi lahir” (hlm. 5).
Pada setiap individu memiliki faktor yang diperlukan dalam
olahraga, hanya saja dengan perbandingan atau porsi yang berlainan.
Untuk itu cirri-ciri yang terdapat dalam individu perlu dikendalikan agar
dihasilkan bibit-bibit pemain yang berkualitas. Untuk mengetahui apakah
seseorang memiliki bakat dalam cabang olahraga tersebut dibutuhkan
sistem yang disebut pemanduan bakat. Pemanduan bakat ini didasarkan
pada kriteria-kriteria tertentu yang mengacu pada cabang olahraga yang
dipelajarinya. Gunarsa, Satiadarma dan Hardjolukito (1996)
mengemukakan bahwa “Tujuan pemanduan bakat itu untuk
mengidentifikasikan calon atlet berpotensi, memilih olahraga yang sesuai
dengan potensi serta minatnya dan memperkirakan peluangnya untuk
berhasil dalam program pembinaan sehingga dapat mencapai prestasi
yang diharapkan dalam pertandingan” (hlm. 95).
Faktor bakat mempunyai peranan penting agar atlet menjadi
juara begitu pun dalam pemanduan bakat mempunyai peranan penting
untuk mendapatkan bibit atlet yang baik. Pemanduan bakat merupakan
upaya untuk memprediksi dengan probabilitas yang tinggi seberapa
besar peluang seseorang untuk mencapai prestasi maksimalnya dan
apakah seirang atlet muda mampu secara sukses menyelesaikan atau
melewati program latihan dasar untuk kemudian ditingkatkan hasilnya
menuju prestasi puncaknya. Pemanduan bakat dapat dilakukan melalui
pengamatan melalui bibit-bibit atlet yang dibinanya. Pengamatan tersebut
meliputi antara lain minat terhadap olahraga, kemampuan fisik dan
sebagainya.
Menurut Hadisasmita dan Syarifudin (1996) langkah-langkah
pemanduan bakat antara lain :
(1) Adakah pengamatan terhadap sikap peserta didik pada kegiatan
olahraga, baik di sekolah maupun di luar sekolah atau dilingkungan
tempat tinggalnya.
32
(2) Adakah pengamatan terhadap karakteristik dari peserta didiknya,
baik mengenai kemampuan fisiknya, bentuk fisiknya, ukuran fisik
atau tubuhnya, sifat atau asal-usulnya.
(3) Adakah pengamatan terhadap perkembangan fisik dari peserta didik
tersebut.
(4) Setelah mengadakan pengamatan yang dilakukan secara cermat dan
penuh ketelitian, kemudian untuk langkah berikutnya coba adakan
pemilihan atau penyaringan atau yang dipakai untuk mengukur atau
instrument dari cabang olahraga yang bersangkutan.
(5) Di dalam mengadakan seleksi tersebut, hendaknya didasarkan pada
karakteristik antropometrik, serta kemampuan dan perkembangan
dari fisik peserta didik (hlm. 57).
Langkah-langkah pemanduan bakat tersebut mempunyai arti
penting untuk mendapatkan bibit-bibit atlet yang baik. Hal ini disebabkan
pemanduan bakat merupakan langkah yang tepat, karena melalui proses
tertentu atau penyaringan yang lebih teliti melalui alat ukur atau
instrument terhadap cabang olahraga yang dibinanya. Dengan demikian
akan diketahui seberapa besar bakat yang dimiliki atlet tersebut, sehingga
untuk melaksanakan pembinaan dapat lebih baik. Menurut Suharno
(1992) “atlit berbakat umur muda dapat ditemukan : di sekolah-sekolah,
dalam perkumpulan-perkumpulan olahraga (club), pada organisasi-
organisasi pemuda dan dikampung-kampung” (hlm. 78).
3) Pembinaan Prestasi
Para atlet yang telah diseleksi dari tahap pemanduan bakat
kemudian harus melalui tahap berikutnya yaitu tahap pembinaan. Dalam
tahap inilah yang merupakan tahap yang paling penting dalam tahap
pembinaan prestasi olahraga. Dalam tahap inilah kegiatan pembinaan
yang utama dilakukan, mulai dari pelaksanaan program latihan hingga
bagaimana manajemen organisasi yang dilakukan dalam
mengembangkan prestasi secara keseluruhan.
UU RI No. 3 Th. 2005 pada BAB VII pasal 21 tentang
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN OLAHRAGA mengemukakan
Pembinaan dan Pengembangan keolahragaan dilakukan melalui tahap
33
pengenalan olahraga, pemantauan, pemanduan, serta pengembangan
bakat dan peningkatan prestasi.
KONI (1998:B-12) mengemukakan latihan harus disesuaikan
dengan pertumbuhan dan perkembangan anak :
(1) Latihan dari cabang olahraga spesialisasi harus disesuaikan dengan
pertumbuhan dan perkembangan atlet
(2) Perhatian harus difokuskan pada kelompok otot, kelentukan
persendian, stabilitas dan penguatan anggota tubuh dalam kaitannya
dengan persyaratan cabang olahraga spesialisasi
(3) Pengembangan kemampuan fungsional dan morfologis sampai
tingkat tertinggi yang akan diperlukan untuk membangun tingkat
keterampilan teknik dan taktik yang tinggi secara efisien.
(4) Pengembangan pembendaharaan keterampilan adalah sebagai
persyaratan pokok yang diperlukan untuk memasuki tahap
spesialisasi dan prestasi
(5) Prinsip perkembangan perbendaharaan keterampilan didasarkan pada
fakta bahwa ada selalu interaksi (saling ketergantungan) antara
semua organ dan sistem dalam tubuh manusia dan antara proses–
proses faaliah dengan psikologis.
Didalam pembinaan prestasi tentu terdapat Sistem Pelatihan,
KONI (1998:B-12) mengemukakan :
(1) Tujuan Latihan
Tujuan utama dari latihan atau training dalam olahraga
adalah meningkatkan keterampilan dan prestasi olahraga semaksimal
mungkin. Latihan merupakan suatu aktifitas yang dilakukan secara
sistematik dan kontinyu dalam jangka waktu tertentu dalam
mencapai sasaran yang jelas. Tidak hanya berlatih sekali dua kali
seorang berlatih dan berprestasi. Butuh waktu yang relatif lama
hingga bertahun – tahun untuk meraih prestasi olahraga.
34
(2) Tenaga Pelatih
Tugas utama seorang pelatih adalah membantu atlet untuk
meningkatkan prestasinya setinggi mungkin. Atlet menjadi juara
adalah hasil antara atlet berbakat dan proses pembinaan yang benar
dengan perbandingan sumbangan atlet 60% dan proses pembinaan
40%. Atlet juara lahir dan dibuat. Untuk mencapai tujuan tersebut 4
aspek latihan yang perlu diperhatikan dan dilatih secara seksama:
(a) Aspek Teknik
Latihan Teknik adalah membantu atlet untuk
mempermahir keterampilan teknik – teknik gerakan spesialisasi
masing-masing cabang olahraga, agar dengan demikian setiap
keterampilan gerak dapat dilakukan sesempurna mungkin.
(b) Aspek Taktik
Latihan taktik adalah latihan untuk menumbuhkan
perkembangan daya tafsir kemampuan berfikir taktis dari para
atlet.
(c) Aspek Fisik
Latihan fisik adalah latihan untuk mempersiapkan fisik
menghadapi stres-stres fisik dalam latihan dan pertandingan.
Latihan fisik yang perlu dilatih : kekuatan, daya tahan,
kelentukan, kecepatan, power, daya tahan otot, stamina.
(d) Aspek Mental
Perkembangan mental atlet tidak kurang pentingnya
dari perkembangan ketiga faktor tersebut di atas. Latihan mental
lebih menekankan pada perkembangan kedewasaan atlet serta
perkembangan emosional impulsif, misalnya motivasi berlatih,
semangat bertanding, sikap pantang menyerah, percaya diri,
sportivitas, keseimbangan emosi terhadap stres, frustasi,
keseimbangan, kemampuan meredam dan sebagainya.
35
Tujuan utama pelatihan olahraga prestasi adalah untuk
meningkatkan keterampilan atau prestasi semaksimal mungkin
(Tohar, 2004:1).
Keempat aspek tersebut di atas haruslah seiring dan harus
diajarkan secara serempak. Kesalahan umum para pelatih adalah
bahwa aspek psikologis yang sangat penting artinya itu, sering
diabaikan atau kurang diperhatikan pada waktu melatih, oleh karena
mereka selalu hanya menekankan pada latihan guna menguatkan
daya tahan otot, kelentukan, kecepatan yang sempurna.
c. Program Pembinaan
Kita harus sadar seorang juara atau atlet yang sangat berbakat
bukan dilahirkan. Seorang juara atau bintang itu ada karena dicetak. Konsep
inilah yang paling nyaris tidak pernah diterapkan dalam kehidupan olahraga
Indonesia. Pepatah ini pun tinggal pepatah kosong tanpa arti. Sepertinya kita
harus sepakat bahwa sejak tahun 2003 hingga sekarang merupakan tahun
yang memprihatinkan bagi kehidupan olahraga Indonesia. Betapa tidak?
Kita tidak lagi punya kebanggaan bahwa olahraga menjadi satu – satunya
bidang yang dapat mengangkat nama bangsa dan negara ke pentas dunia.
Apalagi saat ini krisis belum berakhir.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan konsep pembinaan di
Indonesia. Persoalan yang timbul ialah pada saat aplikasinya. Sepertinya
kita lebih memilih mandor daripada menjadi pekerjanya. Untuk
mendapatkan atlet berbakat, misalnya, tidak bisa dilakukan dalam 1 atau 2
tahun saja. Melihat kondisi olahraga di Indonesia saat ini diperlukan
minimal 5-10 tahun untuk membenahinya. Itulah sebabnya banyak pihak
yang mengatakan bahwa juara itu tidak dilahirkan, tapi dicetak.
Berdasarkan usia atlet, Bompa (1983) membagi tahapan usia dalam
pencapaian prestasi olahraga dalam tiga kategori. Ada tiga kategori dalam
pengembangan dan pembinaan prestasi secara maksimal, yaitu :
1) Tahap permulaan (persiapan), yaitu usia 10 sampai 12 tahun
36
2) Tahap spesialisasi, antara usia 11-13 tahun
3) Tahap prestasi puncak, antara usia 18-24 tahun
Atlet berbakat tidak dapat dengan sendirinya akan mencapai
prestasi tertinggi apabila tidak didukung dengan pembinaannya yang baik.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mempengaruhi dalam
peningkatan prestasi maksimal secara efektif (KONI, 1997:15). Adapun
faktor–faktor tersebut antara lain :
1) Faktor internal atlet,meliputi bakat, minat dan lain–lain.
2) Manajemen organisasi yang baik.
3) Program pembinaan
4) Pemanfaatan sarana dan prasarana pendukung
Semua faktor di atas saling mendukung antara satu dengan yang
lainnya. Faktor internal atlet tidak akan cukup jika tidak didukung oleh
sistem pembinaan yang baik, demikian pula pembinaan yang ada akan
kurang maksimal jika sarana dan prasarana yang ada kurang memadai.
Faktor internal atlet menjadi permasalahan yang dapat ditangani oleh pelatih
secara khusus. Unsur ini dapat dikembangkan dengan baik melalui program
pembinaan yang baik pula. Sedangkan tiga faktor yang lain merupakan
faktor yang harus dipecahkan oleh pengurus itu sendiri secara umum.
Manajemen klub berhubungan dengan bagaimana pengelolaan manajemen
yang dilakukan dalam mengembangkan klub secara umum. Dimana
manajemen organisasi akan berperan penting dalam pengembangan prestasi
secara keseluruhan. Tanpa adanya sistem administrasi yang baik maka
pembinaan yang dilakukan juga akan kurang maksimal. Program pembinaan
berhubungan dengan bagaimana manajemen pelatih dalam meningkatkan
prestasi atlet.
3. Pelatih
Seorang pelatih harus seorang yang benar–benar mengerti dan
mempunyai atikad baik dalam memajukan olahraga nasional, tidak ada
motivasi karena mencari popularitas. Saat ini banyak sekali pembina olahraga
37
yang bersedia mengurus olahraga karena untuk mendapatkan popularitas
sehingga banyak yang terlantar setelah tokoh tersebut kehilangan motivasi
karena tujuan atau motivasinya sudah tercapai. Pelatih olahraga adalah orang
yang benar–benar mengerti olahraga. Pelatih merupakan seorang profesional
yang bertugas membantu, membimbing, membina dan mengarahkan atlet
terpilih, berbakat untuk merealisasikan prestasi maksimal dalam waktu yang
sesingkat–singkatnya (Wiratama, 2007).
Kebanyakan pelatih adalah seorang mantan atlet yang berkecimpung
dalam cabang olahraga tersebut. Dari pengalaman yang dimilikinya dan
tentunya pengetahuan yang melengkapi dirinya menjadi modal pelatih
profesional. Pelatih merupakan seseorang yang paling dekat dengan atlet.
Keharmonisan diantaranya akan membawa dampak positif bagi tercapainya
tujuan bersama. Secara umum peran dan tugas pelatih dikemukakan Harsuki
(Ed) (2003, 370-371) sebagai berikut :
1) Cermat menentukan sasaran atau tujuan latihan (set goal).
2) Menetapkan tujuan latihan yang bersifat realistik.
3) Memilih metode, model–model latihan yang cocok untuk memenuhi
kebutuhan setiap atlet.
4) Memotivasi atlet untuk berlatih keras.
5) Mencermati latihan pemansan (warming up)dan pencegahan cedera
(avoid injury).
6) Istirahat dan minum yang cukup.
7) Memanfaatkan aspek pembinaan psikologis.
8) Cermat dan terampil melakukan seni berkomunikasi.
Sukses dan gagalnya seorang atlet di pertandingan, sedikit banyak
dipengaruhi oleh peran pelatih dalam memotivasi atlet tersebut untuk
mengikuti dan melaksanakan program latihan dengan sungguh–sungguh dan
bertanggung jawab. Untuk itu, pelatih merupakan sosok yang sangat
dibutuhkan dalam pencapaian prestasi atlet.
4. Atlet
Atlet merupakan faktor indogen dalam pencapaian prestasi maksimal
diantara beberapa hal yang harus dimilik calon atlet profesional, seperti
dipaparkan oleh Suharno (1986:4-5) sebagai berikut :
38
1) Kesehatan fisik dan mental yang baik, terutama tidak penyakit jantung,
paru – paru, syaraf dan jiwa.
2) Bentuk tubuh dan proporsi tubuh selaras dengan macam olahraga yang
diikutinya. Setiap cabang olahraga menuntut tipologi fisik atlet yang
berbeda-beda.
3) Kondisi fisik dan kemampuan fisik yang baik yang meliputi komponen
kekuatan, daya tahan, kecepatan, kelincahan, kelentukan, keseimbangan,
koordinasi, ketepatan, daya ledak, reaksi, stamina dan mobilitas.
4) Penguasaan teknik dasar yang sempurna, teknik menengah dan teknik–
teknik tinggi.
5) Menguasai masalah–masalah taktik perorangan, taktik tim, pola–pola
pertahanan dan penyerangan serta sistem–sistem bertanding.
6) Memiliki aspek kejiwaan dan kepribadian yang baik. Untuk mencapai
prestasi semaksimal mungkin di samping memiliki prestasi fisik yang
tinggi perlu motor penggerak dan pendorong dari aspek kejiwaan dan
kepribadian. Misalnya daya fikir, kemampuan, perasaan, akal, disiplin,
ketekunan dan tanggung jawab.
Memiliki kematangan juara yang mantap artinya atlet tersebut dalam
menghadapi pertandingan apapun macam dan kondisinya, selalu
memperlihatkan keajegan prestasi cabang olahraga yang diikutinya.
5. Prestasi Olahraga
Prestasi olahraga Indonesia sedang berada di titik yang tidak
diharapkan. Ironisnya, hal tersebut justru diperparah dengan aksi saling tuding
dan lempar tanggungjawab antara pihak-pihak terkait. Untuk mencapai prestasi
olahraga yang diinginkan, dibutuhkan tujuh faktor yang harus dipenuhi.
Faktor-faktor tersebut digolongkan menjadi 2 yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Bila semua faktor tersebut telah dapat dipenuhi, maka pastilah
prestasi olahraga Indonesia akan menjadi lebih baik.
Kata prestasi dapat diartikan sebagai pencapaian akhir yang
memuaskan oleh seseorang atau tim, berdasarkan target awal yang dibebankan.
Jadi prestasi tidak selalu identik dengan juara. Walaupun tidak menjadi juara
atau meraih kemenangan, tetapi bila itu sudah dapat memenuhi atau bahkan
melampaui target awal, maka itu sudah dapat dikatakan berprestasi. Sementara
kata olahraga mengandung makna segala kegiatan yang sistematis untuk
mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan
social dan biasanya berorientasi terhadap pencapaian prestasi. Jadi dapat
39
disimpulkan bahwa prestasi olahraga adalah suatu pencapaian akhir yang
memuaskan berdasarkan target awal tim atau atlet, dalam lingkup dunia
olahraga.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi olahraga seorang
atlet secara garis besar, ada 7 faktor yang harus ada untuk meningkatkan
prestasi/menciptakan prestasi di Olahraga. Faktor-faktor tersebut antara lain:
Gambar 2.2. Diagram faktor penentu prestasi olahraga
Faktor Prestasi dalam kotak adalah faktor Prestasi External artinya
faktor Prestasi diluar diri atlet. Faktor Eksternal yang menyangkut Sarana dan
Peralatan Olahraga. Sebagai contoh yang paling riel adalah jumlah stadion
dengan lintasan lari sintetik di Indonesia dibandingkan dengan stadion dengan
kwalitas yang sama di Malaysia. Kita (Indonesia) hanya punya Stadion seperti
itu dalam jumlah yang sangat sedikit. Total diseluruh Indonesia kita baru punya
8 buah Stadion dengan lintasan lari Sintetik. Kota Kuala Lumpur punya lebih
dari 8 buah Stadion dengan lintasan lari Sintetik yang lebih mengenaskan lagi
Malaysia punya lebih dari 40 Stadion seperti itu.
40
Peralatan olahraga, Korea bisa jadi negara kuat di Panahan demikian
pula Jepang. Mereka adalah negara produsen busur panah dan anak panah
dengan standard kwalitas Dunia. Semua peralatan olahraga adalah barang
mewah, jadi harus mahal, kalau keadaaan seperti ini berlanjut terus kapan kita
dapat atlet yang biasa dengan peralatan pertandingan Internasional. Jadi
rimbangan untuk berprestasi di Indonesia diluar diri atlet adalah terbatasnya
atau sangat kurang tersedianya sarana olahraga dan peralatan olahraga.
Faktor Eksternal yang kedua adalah sistem pembinaan. Salah satu
wujud pembinaan yan dilakukan adalah dengan cara menggelar kompetisi
intern secara reguler. Jangan diartikan secara sempit pengertian keadaan
kompetisi cabor di Indonesia. Yang dimaksud dengan keadaan kompetisi
cabang olahraga adalah system pembinaan yang terus menerus, berjenjang dan
berkesinambungan harus terjadi disemua cabang olahraga. Massa olahragawan
harus diperbanyak sebagai langkah pertama. Dari kompetisi antar klub atau
kejuaraan kelompok umur yang terbatas (untuk daerah domisili) sampai yang
terbuka harus ada kalendernya. Karena tradisi dan tanggal penyelenggaraan
yang sudah pasti dari tahun ke tahun. Demikian pula dengan kejuaraan-
kejuaraan akbar lainnya, di Indonesia kejuaraan-kejuaraan yang akbar untuk
atlet Nasional dari berbagai kategori harus direncanakan dan dilaksanakan
secara tetap sehingga kita bisa mencari bakat/potensi-potensi besar yang belum
terjaring untuk dibina lebih lanjut. Kejuaraan-kejuaraan dengan sponsor selama
5 tahun harus dicari. Kalau perlu diperpanjang lagi untuk 5 tahun berikutnya.
Uraian diatas tidak lengkap untuk bisa menjelaskan peranan faktor
prestasi external dari seorang atlet, masih banyak uraian dan contoh yang bisa
dijadikan indikator kedua faktor external dalam usaha membina peningkatan
Prestasi seorang atlet. Katakanlah Faktor lingkungan yang selalu tidak dapat
dipisahkan dari usaha seorang atlet atau sebuah tim dalam usahanya meraih
prestasi. Faktor lingkungan ini dapat berbentuk berbagai macam hal, seperti
perhatian pemerintah, dukungan masyarakat, sarana dan prasarana latihan,
serta management olahraga yang baik.
41
Untuk faktor internal, faktor yang paling penting dan sering dilupakan
adalah faktor psikologis dan rutinitas latihan. Faktor psikologis sangat berperan
karena dalam menghadapi suatu pertandingan atau bahkan ketika sedang
berlatih, seorang atlet membutuhkan rasa aman, percaya diri, disiplin, serta
motivasi, sementara faktor latihan rutin sangat penting, mengingat latihan yang
rutin merupakan menunjang persiapan menghadapi pertandingan atau juga
dapat berfungsi sebagai media mengasah kekompakan dan strategi untuk
sebuah tim.
Faktor internal berikutnya ialah pelatih. Faktor pelatih merupakan
tokoh sentral dalam kesuksesan seorang atlet. Pelatih mempunyai peran pula
dalam mengembangkan faktor internal prestasi olahraga berikutnya, yaitu
keterampilan teknik dan skill serta fisik atlet. Jika kesemua faktor tersebut
sudah dapat dipenuhi oleh Indonesia dalam melakukan pembinaan terhadap
atlet-atletnya, maka niscaya kita akan berada ditingkatan yang lebih terhormat
dari pada saat ini. Majulah olahraga, majulah Indonesiaku.
6. Organisasi
a. Pengertian Organisasi
Organisasi adalah keseluruhan proses pengelompokan orang –
orang, alat–alat, tugas–tugas serta wewenang dan tanggung jawab
sedemikian rupa sehingga terdapat suatu institusi yang dapat digerakkan
sebagai suatu kesatuan yang utuh dan bulat dalam rangka pencapaian tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya (Soekardi, 2006).
Dalam suatu organisasi tentunya didukung oleh sarana dan
prasarana serta pendanaan yang cukup dalam setiap perjalanannya. Selain
faktor sumber daya manusianya, kedua faktor tersebut di atas perlu menjadi
pertimbangan utama. Meskipun struktur organisasi telah disusun dengan
lengkap, Namun organisasi itu belum dapat dibaca secara jelas mengenai
besar kecilnya organisasi, wewenang tiap pejabat atau petugas, macam jenis
satuan organisasi dan sebagainya. Untuk memperjelas struktur organisasi ini
diperlukan bagan organisasi. Bagan organisasi adalah gambar struktur
42
organisasi yang ditukjukkan dengan kotak-kotak atau garis-garis yang
disusun menurut kedudukannya dan masing-masing memuat fungsi tertentu,
yang satu sama lain dihubungkan dengan garis-garis saluran wewenang dan
tanggung jawab (Dirham, 1986:17).
Organisasi olahraga tidaklah berbeda dengan organisasi pada
umumnya. Perbedaanya hanya terletak pada kegiatan atau aktifitas yang
dijalankan dalam suatu organisasi dan tujuan dari organisasi olahraga
tersebut. Organisasi olahraga merupakan usaha dari sekelompok orang yang
bergerak dalam bidang olahraga tertentu dan saling kerjasama untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan yaitu prestasi maksimal.
Sebagai induk organisasi olahraga di Indonesia adalah Komite
Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat yang berkedudukan di Jakarta.
KONI Pusat ini membawahi dan mengkoordinir semua organisasi-
organisasi olahraga di Indonesia. Dengan demikian akan terjalin kerjasama
yang baik antar organisasi olahraga, baik di tingkat daerah maupun pusat.
Sehingga tujuan organisasi olahraga yaitu prestasi maksimal dapat tercapai
dengan baik.
Induk organisasi olahraga untuk paralyimpian dinaungi oleh NPC
of Indonesia (Nattional Paralyimpic of Indonesia). NPC of Indonesia
merupakan sebuah wadah untuk para atlet difabel mengikuti pelatihan pada
cabang olahraganya masing masing. Didalam struktur kepengurusan NPC of
Indonesia membawahi dan mengawasi NPC di tingkat propinsi dan daerah,
selanjutnya NPC daerah membawahi dan mengelola cabang olahragadi
tingkat cabang kota. Keberadaan NPC of Indonesia didalam keoorganisasian
olahraga di Indonesia posisinya tidak lagi berada dibawah naungan dan
pengawasan KONI Pusat bersama Pengurus Besar (PB) olahraga lainnya,
tetapi sekarang ini sudah berdiri sendiri dan setara dengan KONI.
b. Unsur-unsur dalam Organisasi
Didalam sebuah organisasi terdapat beberapa unsur unit pejabat
yang menduduki suatu bidang tertentu. Unsur-unsur organisasi tersebut
43
mempunyai tugas tertentu sesuai dengan jabatannya dan saling berhubungan
satu dengan yang lainnya. Pada prinsipnya kegiatan yang dilakukan oleh
setiap unsur organisasi bertujuan untuk menghasilkan kualitas kerja yang
baik dan memajukan organisasi, sehingga organisasi menjadi sehat dan
berjalan dengan baik.
Unsur-unsur organisasi tersebut adalah :
a) Pengurus
Pengurus merupakan orang yang mempunyai tugas dan tanggung
jawab cukup besar dalam organisasi. Pengurus merupakan orang yang
memegang kendali jalannya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh suatu
organisasi. Maju atau mundurnya suatu organisasi tergantung dari suatu
aktivitas para pengurusnya. Pengurus dalam suatu organisasi, biasanya
dipegang oleh seorang pejabat tertentu. Pejabat yang bertindak sebagai
seorang pengurus dalam organisasi dapat disusun dengan format sebagai
berikut :
1) Ketua Umum
2) Wakil Ketua Umum
3) Sekretaris
4) Bendahara
5) Seksi-seksi
6) Penasehat
b) Anggota
Selain pengurus unsur yang tidak kalah pentingnya dalam
organisasi adalah anggota. Keterlibatan seorang anggota didalam suatu
organisasi sangat diperlukan, meskipun keberadaan anggota dalam
organisasi tidak begitu aktif bila dibandingkan dengan keterlibatkan
seorang pengurus. Kewajiban pokok seorang anggota dalam organisasi
adalah mentaati segala peraturan yang telah ditetapkan.
c) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Anggaran Dasar adalah merupakan landasan pokok dan sebagai
dasar pelaksana kegiatan yang memuat aturan-aturan yang berlaku sesuai
44
dengan ketentuan dalam organisasi. Anggaran Rumah Tangga merupakan
petunjuk pelaksanaan kegiatan dalam kegiatan dalam organisasi.
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga keduanya merupakan
dasar dan petunjuk bagi pelaksanaan kegiatan yang diarahkan kepada
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
d) Rencana Kerja
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan perlu dibuat
adanya rencana kerja. Dalam rencana kerja tersebut memuat kegiatan-
kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditetapkan. Agar rencana kerja dapat terlaksana dengan baik, maka
diperlukan kerja sama yang baik antara unsur-unsur yang terlibat didalam
organisasi.
e) Anggaran Belanja
Anggaran Belanja merupakan salah satu bentuk dari berbagai
rencana kerja yang telah disusun dalam organisasi. Dalam menyusun
anggaran belanja harus disesuaikan dengan keadaan organisasi. Anggaran
Belanja yang dibuat hendaknya bersifat realitis, luwes, dan kontinyu.
Anggaran yang dibuat harus mampu mengatasi kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi dan dapat berubah sesuai dengan keadaan,
serta jangan sampai Anggaran Belanja yang dibuat tidak sesuai dengan
perhitungan yang sudah direncakan.
c. Organisasi Olahraga
Menurut J.S. Husdarta, (2009) kegiatan olahraga, termasuk juga
penjas yang mengandung misi untuk mencapai tujuan pendidikan,
memerlukan manajemen yang baik. Kegiatan olahraga semakin berkembang
dalam corak yang semakin beragam. Aneka motif mulai tumbuh sesuai pula
dengan kebutuhan manusia dalam kaitannya dengan olahraga. Ada motif
yang bertujuan hanya untuk memenuhi dorongan berafiliasi atau
memperoleh pergaulan yang luas, dan ada pula motif untuk memperoleh
kekuasaan, dan masih banyak lagi motif lainnya. Saat ini organisasi
45
olahraga menjadi hal yang sangat penting didalam dunia olahraga modern,
seperti yang dikatakan Husdarta (2009) bahwa :
Organisasi olahraga lebih-lebih pendidikan jasmani dihadapkan
dengan kekurangan kronis, berupa ketiadaan infrastruktur , lemahnya
dukungan, kecilnya dana yang disediakan, dan kesulitan lain untuk
menumbuhkan programnya. Dalam situasi seperti itu, kemampuan
manajerial sangat dibutuhkan yang intinya adalah pelaksanaan fung-
fungsi manajemen, dan terkait pula dengan kompetensi manjer beserta
personalnya (hlm. 42).
Dan menurut Harsuki (2003) menyatakan bahwa “Kesuksesan
suatu organisasi sangat tergantung dari kesadaran dari manajer akan :
tingkat pekerja, kemampuan SDM, peran serta motivasi dalam pencapaian
tujuan organisasi” (hlm. 168-169).
Keseluruhan kegiatan yang semakin kompleks itu, memerlukan
manajemen. Karena dalam kegiatan itu terdapat sejumlah faktor yang harus
dikelola. Kegiatannya melibatkan beberapa komponen meliputi:
1) Tujuan: termasuk prioritas.
2) Manajemen: termasuk koordinasi.
3) Fasilitas: tempat untuk menyelenggarkan kegiatan.
4) Sumber belajar: sumber pendukung bagi kelangsungan program.
5) Program : pengalaman belajar yang harus disediakan.
6) Pelatih/guru: berfungsi sebagai fasilitatir dan manajer perubahan
perilaku.
7) Siswa/ atlet: subjek yang menjadi pelaku dan sekaligus mengalami
pemberian pengalaman belajar.
8) Kendali mutu: berkaitan dengan evaluasi dan riset.
9) Supervisi: pengendalian mutu, dan terkait pula dengan unsur
leading.
10) Biaya: konsekuensi logis dari semua kebutuhan.
Organisasi olahraga yang baik harus memenuhi syarat-syarat
khusus sebagai organisasi olahraga, sehingga dapat terwujud organisasi
olahraga yang sehat, baik dan berjalan dengan lancar. Di indonesia ada
lebih dari 30 cabang organisasi olahraga dari beberapa macam cabang satu
46
dengan yang lain berbeda-beda sehingga diperlukan wadah untuk
menampung aspirasi setiap organisasi dan sebagai induk organisasi olahraga
adalah komite Olahraga Nasional Indonesia atau disebut KONI pusat ini
membawahi dan mengkoordinir semua organisasi-organisasi olahraga di
Indonesia. Kalau sudah ada induk organisasi maka akan terjalin kerjasama
yang baik antar organisasi olahraga baik di tingkat daerah maupun pusat.
Organisasi Olahraga Panahan menjadi induk organisasi yang
berada di daerah adalah Persatuan Panahan Indonesia sering disebut
PERPANI. Namun pada cabang olahraga Panahan untuk difabel belum ada
induk organisasi yang secara khusus seperti PERPANI yang spesifik
menangani cabang olahraga panahan, cabang olahraga panahan masih
dikelola dan dinaungi oleh NPC, baik NPC Pusat, Provinsi maupun daerah.
d. Struktur Organisasi NPC
Dalam pembentukan struktur organisasi, NPC berpedoman pada
AD/ART Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia (ISORI). Karena ISORI
bertujuan membina dan mengembangkan serta meningkatkan mutu olahraga
pendidikan, olahraga rekreasi dan olahraga prestasi dengan menggunakan
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi sarana utamanya. Maka dengan
menggunakan AD/ART ISORI struktur kepengurusan NPC dibentuk.
Susunan pengurus NPC adalah sebagai berikut :
1. Pengurus Pusat terdiri dari :
a. Pelindung/Penasehat
b. Dewan Pakar
c. Ketua Umum
d. Ketua I sebagai ketua harian
e. Sekertaris Jendral dan wakil sekertaris Jendral
f. Bendahara dan wakil bendahara
g. Bidang-bidang sesuai kebutuhan
47
2. Pengurus provinsi maupun kabupaten / kota terdiri dari :
a. Pelindung/Penasehat
b. Ketua Umum
c. Ketua I sebagai ketua harian
d. Sekertaris Jendral dan wakil sekertaris Jendral
e. Bendahara dan wakil bendahara
f. Bidang-bidang sesuai kebutuhan
Dilihat dari susunan pengurus yang di keluarkan oleh ISORI diatas
maka NPC Pusat maupun Provinsi, Kabupan/Kota susunannya berbeda
karena bentuk kerja yang dilakukak di pusat dan provinsi maupun
Kabupanten/Kota cakupannya berbeda. Sehingga suatu struktur organisasi
apabila sudah membentuk struktur organisasi seperti yang di keluarkan oleh
ISORI diatas dan sudah menjadikan pedoman dalam penyusunan struktur
organisasi bisa dikatakan struktur organisasinya sudah memenuhi standart.
7. Pendanaan
Dalam aktifitas organisasi maka keuangan adalah sebagai bahan
bakarnya. Keuangan yang menggerakkan seluruh bagian organ, oleh karenanya
maka setiap organisasi haruslah mempunyai dana keuangan. Hampir dapat
dipastikan bahwa dalam anggaran dasar dan anggaran organisasi mengenal
sumber keuangan berasal dari beberapa kemungkinan, antara lain : 1) Iuran
anggota, 2) Bantuan dari Pemerintah atau pihak ketiga, 3) Usaha lain yang sah
dan tidak mengikat (Soekardi, 2006).
Dalam pasal 69 ayat (1) UU RI Nomor 3 Tahun 2005 menyatakan
bahwa pendanaan keolahragaan menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Adanya suatu kerjasama akan
menghasilkan dana yang cukup besar.
Keuangan ini haruslah dikelola dengan baik demi kelancaran dan
tercapainya tujuan organisasi. Tanpa adanya dana maka suatu organisasi
tersebut akan lumpuh. Efisiensi penggunaan dana akan menyuburkan aktifitas
48
organisasi. Manajemen yang baik dalam pengelolaan dana akan membawa
organisasi dalam aktifitas yang sebenarnya.
8. Panahan
a. Pengertian Panahan
Panahan atau memanah adalah suatu kegiatan menggunakan busur
panah untuk menembakkan anak panah. Mengenai pengertian panahan
Husni, Hakim, Gayo (1990) berpendapat, “Panahan adalah salah satu
cabang olahraga yang menggunakan busur dan anak panah. Dalam
permainan ini, setiap pemain harus mampu menembakkan anak panahnya
mengenai sasaran yang telah ditentukan” (hlm. 294). Bukti-bukti
menunjukkan bahwa sejarah panahan telah dimulai sejak 5.000 tahun yang
lalu yang awalnya digunakan untuk berburu dan kemudian berkembang
sebagai senjata dalam pertempuran dan kemudian sebagai olahraga
ketepatan. Seseorang yang gemar atau merupakan ahli dalam memanah
disebut juga sebagai pemanah.
b. Sejarah Olahraga Panahan
Manusia sejak kapan mulai memanah belum ada yang mengetahui,
namun dari beberapa buku melukiskan bahwa orang purbakala lebih dari
100.000 tahun yang lalu telah melakukan panahan untuk berburu dan
mempertahankan hidup. Panah adalah semacam senjata yang berupa barang
panjang, tajam pada ujungnya dan diberi bulu pada pangkalnya yang
dilepaskan dengan busur, sedangkan memanah adalah melepaskan anak
panah terhadap target atau sasaran (W.J.S. Poerwadarminto, 1996: 700).
Pada tahun 1676, atas prakarsa Raja Charles II dari Inggris panahan
mulai dipandang sebagai suatu cabang olahraga. Kejuaaraan Nasional
pertama kali, yaitu di Inggris pada tahun 1844 dibawah nama GNAS (Grand
National Archery Society). Di Indonesia organisasi panahan resmi terbentuk
pada tanggal 12 Juli 1953 di Yogyakarta atas prakarsa Sri Paku Alam VIII
dengan nama Perpani (Persatuan Panahan Indonesia). Perpani pada tahun
49
1959 mengadakan Kejuaraan Nasional yang pertama kali sebagai
perlombaan yang terorganisir.
Setelah terbentuk Perpani, pada tahun 1959 Indonesia diterima
sebagai anggota FITA (Federation International de Tir A L’arc) dalam
konggres di Oslo, Norwegia. Dengan diterimanya menjadi anggota FITA,
maka terbukalah kesempatan untuk mengambil bagian dalam kejuaraan-
kejuaraan Internasional. Sejarah telah mencatat bahwa pada Olympic
Games tahun 1976 di Montreal, Kanada, pemanah putri Indonesia, yaitu
Leane Suniar berhasil menempati urutan kesembilan, sedangkan pada
Olympic Games tahun 1988 di Seoul, Korea Selatan, pemanah beregu putri
berhasil menempati urutan kedua dan pertama kalinya Indonesia mendapat
perak di arena bertaraf Internasional. Perpani dalam perkembangannya
selalu berusaha dan berhasil mengikuti kejuaraankejuaraan dunia.
Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari teknik-teknik yang selalu dilatih
dan diterapkan oleh para pemanah Indonesia dalam kejuaraan-kejuaraan
baik Nasional maupun Internasional (www.koni.or.id).
c. Perkembangan Olahraga Panahan di Indonesia
Panahan sudah dikenal di Indonesia sejak berabad-abad yang
lampau, hal ini dapat dibuktikan dan dilihat pada cerita-cerita wayang yang
menceritakan bahwa busur dan panah digunakan sebagai alat berburu dan
berperang.
Mengenai perkembangan olahraga panahan di Indonesia, Nurhayati
(2011) menyatakan, “PERPANI sebagai induk organisasi panahan didirikan
pada tanggal 21 juli 1953 dengan pendiri GPAA Paku Alam VIII yang
kemudian menjabat sebagai ketua sampai seperempat abad. Perlombaan
Kejuaraan Panahan Indonesia pertama diselenggarakan di Surabaya pada
tahun 1959” (hlm. 3). Sejak saat itu panahan berkembang sebagai olahraga
nasional, walaupun pada awal perkembangan kegiatan panahan hanya
terdapat di daerah jawa. Pada perkembangan selanjutnya kegiatan panahan
telah dikenal dan dilatih diseluruh penjuru tanah air.
50
Di Indonesia, dikenal 4 jenis olahraga panahan yaitu ronde FITA,
PERPANI, COMPOUND, DAN TRADISIONAL. Keempat ronde ini
termasuk dalam acra pertandingan resmi dalam setiap kejuaraan Nasional
maupun PON.
Perkembangan cabang olahraga panahan untuk paralyimpian
dikelola dan dinaungi oleh National Paralyimpic Comitte of indonesia.
Cabang olahraga panahan belum membentuk induk organisasi khusus untuk
menaungi dan mengelola cabang olahraga panahan bagi para difabel.
d. Gerak Kinestetik Olahraga Panahan
Rangkaian keterampilan memanah yang melibatkaan beberapa
jenis gerak, menuntut kualitas pengerahan tenaga yang efisien, maka
diperlukan suatu koordinasi kerja antara kelompok otot-otot yang terlibat
dalam gerak tersebut. Koordinasi pada keterampilan memanah erat
kaitannya dengan komponen fisik, berupa: kekuatan, daya tahan, dan
fleksibilitas, yang terkait erat dalam penyempurnaan teknik. Kualitas
koordinasi gerak dalam memanah tercermin dari kemampuan untuk
melakukan gerak secara mulus, tepat dan efisien. Koordinasi keterampilan
gerak dalam memanah merupakan cerminan dari gerak kinestetik, berupa
pengusaan gerak memanah secara keseluruhan.
Untuk dapat melakukan koordinasi gerak memanah dengan baik,
maka diperlukan kesadaran akan rencana gerak dan proses gerak yang
sedang dilakukan. Menurut Barrow dan Rosemary (1979), kinestetik adalah
perasaan gerak yang memberikan kesadaran akan posisi tubuh atau bagian-
bagian tubuh pada waktu, sehingga gerak tubuh dapat terkontrol dengan
akurat.
Rasa kinestetik (kinesthetic sens) adalah pengetahuan tentang
posisi tubuh dalam ruang untuk memenuhi atau merasakan suatu
gerakan. Sage menyatakan bahwa kinestetik adalah kemampuan pengasaan
gerak tubuh yang melibatkan proses pengolahan informasi, bermula dari
51
stimulus pada otot tendon dan sendi, kemudian disalurkan melalui jaringan
syaraf ke otak dan kemudian direspon dengan tepat (Sage, 1977).
Sedangkan Oxendine (1984) menyatakan bahwa kinestetik
dipengaruhi oleh empat factor yaitu: (1) posisi tubuh atau anggota tubuh,
anggota tubuh bagian atas mempunyai derajat kinestetik tinggi
dibandingkan anggota badan bagian bawah, (2) pengalaman, gerak yang
relatif lebih besar kemungkinannya untuk dapat dilakukan dengan tepat, (3)
keseimbangan, merupakan faktor penting pada saat melakukan gerakan;
tubuh yang stabil mempunyai tingkat kinestetik yang lebih baik
dibandingkan pada saat tubuh dalam keadaan labil, dan (4) oreiantasi ruang,
yaitu kemampuan dalam mempersepsikan pola gerak yang akan dilakukan.
Pendapat lain menyatakan bahwa olahraga panahan adalah
olahraga yang memerlukan : (1) koordinasi gerak visual (ketepatan); (2)
rasa gerak (feeling/sense of kinesthetics); (3) kekuatan lengan (daya tahan
kekuatan); (4) panjang tarikan; (5) konsentrasi; dan (6) keseimbangan
emosi.
Dengan memiliki kemampuan rasa gerak (kinestetik) seseorang
bisa membedakan rasanya gerakan yang benar dan rasanya gerakan yang
salah sehingga ia bisa berusaha selalu melakukan gerakan yang benar dan
menghindari untuk tidakmelakukan gerakan yang salah dalam berolahraga
(Depdikbud, 1999/2000).
Menyimak dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka yang
dimaksud dengan gerak kinestetik adalah kemampuan seseorang untuk
membedakan perasaan gerak yang benar dan yang salah sehingga ia dapat
berusaha selalu melakukan gerakan yang benar dan menghindari untuk tidak
melakukan gerakan yang salah dalam panahan.
e. Sistem Energi Olahraga Panahan
Ditinjau dari segi penggunaan sistem energi, dapat dikatakan
bahwa olahraga panahan murni menggunakan oksigen. Bompa (1990)
mengemukakan bahwa kekuatan sistem energi olahraga adalah: (1) ATP-PC
52
sebesar 0% (2) LA sebesar 0%, dan (3) sebesar 100%. Pate, Rotella,
McClenaghan dalam terjemahan Dwijowinoto (1993) mengemukakan
bahwa olahraga panahan memerlukan kapasitas aerobik maksimal untuk
putera sebesar 58 mL/kg.BB./menit dan untuk puteri sebesar 40
mL/kg.BB./menit.
f. Keterampilan Gerak Dan Penggunaan Otot Olahraga Panahan
Olahraga panahan merupakan kombinasi dan berbeda di antara
keterampilan gerak halus dan kasar. Keterampilan gerak halus
adalah gerakan yang melibatkan otot-otot kecil, terutama jari-jari, dan
lengan bawah serta seringkali melibatkan koordinasi antara mata dan
tangan, sedangkan keterampilan gerak kasar adalah gerakan yang
melibatkan atau mengunakan otot-otot besar. Hal ini tampak pada saat
menarik dan memanah busur diperlukan keterampilan gerak kasar, tetapi
membidik dan pelepasan panah termasuk keterampilan gerak halus
yangmemerlukan koordinasi mata-tangan. Aktivitas ini pada
dasarnya memerlukan suatu rangkaian yang diawali dari keterampilan
gerak kasar kemudian berlanjut ke keterampilan gerak halus.
Seidel, at al (1975) mengemukakan bahwa panahan adalah suatu
aktivitas yang memerlukan tenaga yang memadai untuk ditransfer dari busur
ke panah supaya menggerakkan panah ke sasaran yang dituju. Jika busur
direntang, maka akan menghasilkan potensi energi. Pada saat pelepasan
potensi energi diubah menjadi energi kinetik, maka energi diberikan ke
panah. .
Kegagalan dalam memberikan tenaga yang memadahi ke panah
akan menghasilkan tembakan yang lemah dan panah tidak dapat melaju
sampai jauh. Busur adalah sebuah peralatan yang digunakan
untuk membantu memberikan tenaga pada panah. Kerja otot
adalah melenturkan busur. Menekuknya busur tersebut disebabkan
oleh tarikan tangan penarik busur. Pada saat tali busur dilepas dari
posisitekukannya, maka tenaga diberikan pada panah. Tenaga yang
53
memadai harus ditransfer dari busur ke panah untuk menggerakan
panah mencapai sasaran yang diinginkan. Tenaga tersebut diarahkan
melalui aktivitas-aktivitas dalam serangkaian penembakan yang
dilakukanoleh pemanah.
Dari sudut biomekanis, olahraga panahanadalah mempertahankan
sikap yang memerlukan kekuatan otot pada waktu menarik, membidik dan
melepaskan panah, ditambah dengan perhitungan arah bagi jalannya panah,
setepat mungkin.
Berdasarkan sikap seperti itu, maka panahan termasuk dalam
bentuk kelompok keterampilan yang memerlukan otot-otot untuk sikap
memanah dan mengarahkan panahnya ke sasaran. Pada saat tarikan
dilakukan oleh lengan penarik busur (kontraksi isotonis/dinamis), maka
lengan pemegang busur harus dijaga atau harus dipertahankan untuk
mengatasi kekuatan tarikan. Pada saat tarikan penuh, maka lengan yang
memegang busur harus benar-benar bertahan/terkunci pada tempatnya
(kontraksi isometris/statis). Ini akan memungkinkan lengan yang memegang
busur menyerap tenaga atau reaksi dari busur pada saat panah meninggalkan
tali busur.
Secara kinesiologis, khususnya menganalisis otot-otot utama dari
tubuh bagian atas yang terlibat dalam memanah. Furqon dan Doewes (2000)
mengutip pendapat dari Consumer Guide mengemukakan bahwa otot-otot
utama yang perlu dikembangkan dalam olahraga panahan adalah otot-otot
leher, bahu,bicep, triceps, lengan bawah, pergelangan tangan, perut dan
otot-otot togok.
Perlu diketahui bahwa otot-otot lengan yang bekerja dalam
olahraga panahan terdiri dari tiga bagian yaitu otot lengan bagian atas, otot
lengan bagian bawah dan otot–otot tangan. Sedangkan otot-otot yang
bekerja dominan adalah otot lengan seperti otot tricep brachii,deltoids dan
otot bicep brachii. Otot-otot yang disebutkan, diperkuat oleh Hardianto
Wibowo di dalam bukunya seperti dijelaskan sebagai berikut:
54
1) Otot lengan bagian atas
a) otot-otot ventralis disebut otot bagian atas (fleksi)
b) Otot-otot dorsalis atau kedang (ekstensi)
i. M. Deltoids
ii. M. Bicep Brachii
iii. M. Tricep Brachii
2) Otot lengan bagian bawah
a) Otot-otot ventralis
b) Otot-otot radialis
c) Otot-otot Dorsalis
3) Otot tangan
a) Otot-otot tenar/ ibu jari/ bagian Lateral
i. M. abduktor pollisis bervis
ii. M. opponeus pollisis
iii. M. flexor pollisis
iv. M. abduktor pillisis
b) Otot-otot hipotenar/ kelingking/ bagian medial
i. M. palmoris brevis
ii. M. abductor digiti quinti
iii. M. flexor digiti quinti
iv. M. opponeus digiti quinti
c) Otot-otot bagaian dalam lengan/ bagian tengah
i. M. Lumbrikales
ii. M. interossesi dorsalis
iii. M. interossesi volaris
Achmad Damiri, Anatomi Manusia(1994).
Keterampilan merupakan bagian dari keterampilan (skill) gerak.
Singer (1980) mengemukakan bahwa “keterampilan = kecepatan x
ketepatan x bentuk x kemampuan beradaptasi”. Ketepatan gerak diperlukan
dalam menentukan bagaimana aktivitas gerak dilakukan dengan berhasil.
55
Keberhasilan ini juga ditentukan oleh produktivitas gerak yang dilakukan.
Produktivitas gerak berkaitan erat dengan konsistensi kinerja.
Pemanah yang berhasil adalah pemanah yang mempunyai kinerja
dan berhasil yang konsisten. Jika pemanah menggunakan teknik yang benar,
ia harus mampu mengulangi tindakannya dengan tepat dalam tiap
melakukan tembakan. Adanya sedikit penyimpangan yang berarti dalam
penempatan panah di sasaran. Ketepatan diukur dalam kaitannya dengan
penempatan panah di sasaran dan sistem pencataan nilai. Perbedaan diantara
keajekan dan ketidakajekan tampak pada penempatan panah di sasaran dan
nilai yang diperoleh.
Pemanah yang konsisten menembakkan sejumlah panahnya
disasaran paling berdekatan, sebaiknya pemanah yang tidak konsisten
menembakkan sekelompok panahnya di sasaran dalam posisis yang
menyebar. Perolehan nilai mulai meningkat dan makin memperlihatkan
keterampilan menembak, karena disertai meningkatnya konsistensi.
g. Teknik Dasar Panahan
Pemanah pemula dalam latihan panahan harus mengetahui dan
mencoba cara memasang tali yang benar pada busur. Cara memasang tali
yang benar penting sekali, yaitu agar busur tidak patah dan nocking point
berada pada posisi yang benar. Ada dua metode/caramemasang tali pada
busur:
1) Metode dorong tarik (push pull)
Metode ini dipakai pada busur yang lurus dan melengkung. Tali
dipasang secara tepatdi dalam notch dari sisi busur sebelah bawah yang
dibiarkan tenang. Tangan yang satu menarik bagian tengah busur keluar,
sedangkan tangan yang lain mendorong untuk memaksasisi busur kearah
bawah. Ketika lengkungan diperoleh, jari harus menyumbat ujung tali
dalam penakik busur atas (notch). Tali yang sudah dipasang harus
diperiksa yaitu dalam keadaan lurus dengan busur (Barrett J. A, 1990:
46). Pemanah harus hati-hati dalam menggunakan metoda ini, karena jika
56
saat mendorong tidak hati-hati tangan bisa tergelincir, akibatnya busur
bisa terbang ke depan dan dapat memukul wajah. Seorang pemanah
pemula, jika mempunyai suatu tarikan busur yang berat dan atau sangat
panjang, maka akan mengalami kesulitan untuk menggunakan metoda ini
(C.John, W, 1976: 47).
Gambar 3.1 Metode dorong-tarik
2) Metode tindak langkah (step-through)
Menempatkan sayap bawah di depan salah satu kaki dan tali
busur berada diantaralangkah kaki lain. Pemanah menarik sayap bagian
atas maju di atas paha dan masukkan talisampai takik pada ujung sayap.
Kelemahan dari metoda ini adalah pemanah cenderung seringmenarik
sayap bagian atas ke arah badan menjadi suatu garis lurus dengan tali
busur dan busur melengkung secara alami. Hasilnya tekanan yang tidak
seimbang dapat dengan mudahmembengkokan sayap. Bagi para pemanah
pemula sering menggunakan metode ini, karenalebih mudah dalam
memasukan tali busur dan tingkat keamanannya lebih baik daripada cara
1 (C.John, W, 1976: 49).
57
Gambar 3.2. Metode Step-Through
Pemanah selain harus bisa melakukan cara pemasangan tali
dengan baik, juga diusahakan berlatih pegangan (grip) yang benar
dengan tujuan supaya cepat menuju ke penguasaan teknik. Menurut
Barrett J. A (1990: 49 50) bahwa pegangan yaitu lengan dijulurkan penuh
dengan bahu ke depan, sedangkan jempol dan telunjuk memegang busur
membentuk “V”. Untuk menghindarkan jatuhnya busur, lepaskan jari-jari
pada tangan dengan sedikit tekanan sisi busur dengan jempol dan
telunjuk. Kegagalan untuk mengatur pegangan yang baik dan meluruskan
lengan busur secara tepat, akan mengakibatkan kesalahan membidik yang
serius.
Teknik memanah yang tepat dan benar sangat menunjang
pencapaian prestasi panahan yang optimal. Dengan dikuasainya teknik
memanah yang tepat dan benar akan memungkinkan keajegan
(consistency) gerakan memanah baik dalam latihan maupun kompetisi.
Tehnik memanah bagi pemula pada dasarnya ada sembilan
langkah, yaitu:
1) Cara berdiri (stance)
Stance adalah posisi kaki pada waktu berdiri di lantai atau
tanah secara seimbang dantubuh tetap tegak (Achmad Damiri,
1990:14).
Cara berdiri dalam memanah ada 4 macam, yaitu:
58
a) Sejajar (square stance)
i. Posisi kaki pemanah terbuka selebar bahu dan sejajar dengan
garis tembak.
ii. Pemanah pemula di sarankan untuk mempergunakan cara ini 1
sampai 2 tahun, selanjutnya baru beralih ke terbuka (open
stance).
iii. Cara berdiri sejajar mudah dilakukan untuk membuat garis lurus
dengan sasaran, namun dalam hal ini perlu diingat, yaitu pada
waktu menarik dan holding cenderung badan bergerak (Lee dkk,
2000).
Gambar 3.3. Cara Berdiri Sejajar
b) Terbuka (open stance)
i. Posisi kaki pemanah membuat sudut 45? dengan garis tembak.
ii. Pada saat menarik, posisi badan lebih stabil
iii. Posisi leher atau kepala akan lebih relaks dan pandangan
pemanah lebih mudah untuk fokus ke depan.
iv. Cara berdiri seperti ini dianjurkan untuk pemanah lanjutan,
karena pada tarikan penuh akan banyak space room pada bahu
(Lee dkk, 2000).
59
Gambar 3.4. Cara Berdiri Terbuka
c) Tertutup (close stance)
i. Pemanah berdiri secara tertutup
ii. Tubuh pemanah membelakangi sasaran.
iii. Posisi ini sulit karena leher dan tubuh tidak rileks, sehingga
sering tidak digunakan baik oleh pemanah pemula atau pun
pemanah lanjutan.
Gambar 3.5. Cara Berdiri Tertutup
d) Menyamping (oblique stance)
i. Pemanah berdiri dengan kedua kaki menyerong/ silang dari
garis tembak
ii. Pada saat menarik, posisi badan cukup stabil dan kepala rileks.
iii. Teknik ini digunakan oleh pemanah lanjutan, karena pemanah
pemula apabila menggunakan posisi kaki menyamping masih
sulit dalam membuat garis lurus dengan sasaran.
60
Gambar 3.6. Cara Berdiri Menyilang
Keterangan gambar:
1. Garis tembak
2. Arah menembak
3. Arah goyangan tubuh ke depan dan ke belakang
4. Bidang dasar tahanan tubuh
5. Sasaran
6. Lebar bahu
2) Memasang ekor panah (nocking).
Nocking adalah memasukkan ekor panah ke nocking point pada
tali dan menempatkangandar (shaft) pada sandaran panah (arrow rest).
Pemasangan anak panah yang benar yaitubulu indeks menjauhi sisi
jendela busur, sedangkan pemasangan yang salah akibatnya anakpanah
tidak bisa terbang ke arah target dengan baik atau kemungkinan besar
jatuh sebelumsampai target (Achmad Damiri, 1990: 16).
Gambar 3.7. Memasang Ekor Panah (Nocking)
3) Posisi setengah tarikan (set up)
Posisi badan releks dengan setengah tarikan. Pada saat posisi ini,
pemanah sangatpenting untuk merasakan agar posisi badan tetap
61
tegak/center. Pemanah dalam menarik talimenggunakan tiga jari, yaitu:
jari telunjuk di atas ekor anak panah, jari tengah dan jari manisberada di
bawah ekor anak panah. Jarak antara jari telunjuk dan jari tengah kurang
lebih satusentimeter. Pada waktu set up buat satu garis lurus antara bow
arm dengan draw arm (Leedkk, 2000).
Gambar 3.8. Posisi Setengah Tarikan (Set Up)
4) Menarik tali (drawing).
Tehnik dengan gerakan menarik tali sampai menyentuh bagian
dagu, bibir, dan hidung (Achmad Damiri, 1990: 21). Pemanah dalam
menarik tali dengan irama yang sama, agar posisi badan selalu seimbang.
Kemudian pada waktu menarik jangan dibantu dengan badan, tetapi
gunakan otot-otot belakang bahu untuk menarik. Posisi yang benar
adalah tali yang mendekati dagu atau kepala, sebaliknya jangan kepala
pemanah yang mendekati tali.
Gambar 3.9. Menarik Tali (Drawing)
5) Penjangkaran (anchoring).
Teknik dengan gerakan menjangkarkan tangan penarik pada
bagian dagu. Pada waktuanchoring, pernafasan harus dikontrol dengan
baik dan konsentrasi tetap. Setelah anchoring,tekanan ke depan dari
62
tarikan ke belakang terus kontinyu jangan sampai kendur/rileks (Leedkk,
2000). Posisi anchoring ada 2 yaitu: penjangkaran yang tinggi dan
penjangkaran yangrendah. Penjangkaran tinggi, dengan ujung jari
telunjuk di sudut mulut sehingga ujung jari/ujung tangan bertumpu
sepanjang bagian bawah tulang pipi. Penempatan jari depan di
sudutmulut membantu mengatur anak panah di bawah pandangan mata.
Penjangkaran rendah, jaridepan bertumpu langsung di bawah tulang
rahang sehingga tali berada di garis tengah wajah.Tali menyentuh ujung
hidung dan di tengah-tengah dagu. Pemanah banyak mengerutkan
bibirdan mencium tali. Pemanah pemula biasanya menggunakan cara
penjangkaran yang tinggi(Barrett J. A, 1990: 52-53).
Gambar 4.1. Penjangkaran (Anchoring)
6) Menahan sikap memanah (holding).
Pemanah menahan sikap memanah beberapa saat sebelum anak
panah dilepaskan (Achmad Damiri, 1990: 23). Pada posisi holding, untuk
tekanan ke depan dan tarikan kebelakang tetap kontinyu. Pemanah dalam
posisi holding, jangan dibantu badan untuk menahan beban tarikan busur,
tetapi yang dilakukan adalah otot-otot lengan penahan busur dan lengan
penarik tali harus berkontraksi, agar sikap memanah tidak berubah/tetap
merupakan satu garis lurus (Lee dkk, 2000)
63
Gambar 4.2. Menahan Sikap Memanah (Holding)
7) Membidik (aiming).
Suatu gerakan mengarahkan visir pada titik sasaran dan
pemanah dalam memegang grip serileks mungkin. Bagi seorang pemanah
pemula tehnik membidik sering berubah-ubah, hal ini disebabkan karena
waktu membidik kadang terlalu cepat dan kadang terlalu lama, sehingga
perlu latihan yang banyak agar bisa ajeg. Menurut hasil pengamatan di
kejuaraan Nasional, pemanah dalam membidik rata-rata memerlukan
waktu 4 detik. Penyetingan alat pembidik (visir) perlu disesuaikan tidak
hanya pada jarak, tetapi pada saat cuaca dingin, panas, dan angin, agar
memperoleh target sesuai yang diinginkan (Achmad Damiri, 1990: 26).
Gambar 4.3. Membidik (Aiming)
64
8) Melepaskan anak panah (release).
Suatu gerakan melepaskan tali busur dengan cara tangan penarik
tali bergerak ke belakang menelusuri dagu dan leher pemanah (Achmad
Damiri, 1990: 26). Pada waktu release tekanan pada lengan kiri dan
kanan jangan sampai bertambah pada salah satu bagian. Selain itu, jari-
jari penarik tali juga harus rileks, agar mendapatkan release yang halus.
Pemanah yang release nya halus, maka setiap arah panah dan speed
(kecepatannya) sama, sehingga terbangnya anak panah menjadi mulus
(Lee dkk, 2000).
Gambar 4.4. Melepaskan Anak Panah (Release)
9) Gerak lanjut (follow through).
Pemanah selama beberapa detik melakukan gerak lanjut dengan
tetap memberikan tekanan yang sama seperti release. Pandangan mata
pemanah juga harus tetap konsentrasi kesasaran tidak beralih ke
terbangnya anak panah. Busur diusahakan tetap diam sebelum anak
panah menancap di target. Tujuan dari gerak lanjut adalah untuk
memudahkan pengontrolan gerak memanah yang dilakukan (Lee dkk,
2000).
h. Ronde-ronde Panahan
Ronde-ronde yang dilombakan adalah:
1) Ronde FITA
2) Ronde Nasional
65
3) Ronde Compound
4) Ronde Tradisional
Ronde FITA dan nasional cara memanahnya sama, yaitu
dilaksanakan dengan cara berdiri, dan yang berbeda adalah jarak tembak,
peralatan busur, peralatan lapangan, serta anak panahnya. Untuk Ronde
Tradisional, memanahnya dilakukan dengan cara duduk. Jarak tembaknya
sama dengan jarak tembak Ronde Nasional. Peralatan berupa busur dan anak
panah selurunya terbuat dari bambu.
Untuk PERPANI Ponorogo sendiri, memiliki atlet panahan yang
masuk dalam Ronde FITA, Ronde Nasional, dan Compound. Untuk Ronde
Tradisional, dulu mempunyai atlet di ronde tradisional tapi sekarang sudah
tidak ada atlet di Ronde tersebut.
9. Sarana dan Prasarana
a. Sarana dan Prasarana Olahraga
Pembibitan dan pembinaan yang baik juga harus ditunjang dengan
tersedianya fasilitas berupa sarana dan prasarana olahraga. Cabang–cabang
olahraga tertentu memang memerlukan peralatan yang kadang tidak
terjangkau secara ekonomi, Namun setidaknya pemerintah membangun
sarana dan prasarana yang dapat digunakan untuk cabang–cabang terukur
dan massal seperti lapangan atau gedung. Setiap organisasi perlu memiliki
sarana dan prasarana, kebutuhan ini mutlak diperlukan untuk dapat bergerak
dan melakukan aktifitasnya.
Sarana dan prasarana olahraga adalah merupakan “wadah” untuk
melakukan kegiatan olahraga, dengan demikian untuk menyongsong Hari
Depan Olahraga Indonesia perlu disiapkan “wadah” yang mencukupi
jumlahnya sehingga seluruh masyarakat dapat memperoleh kesempatan
yang sama untuk berolahraga terutama untuk meningkatkan prestasi
olahraga. Sehingga hal tersebut sejalan dengan semboyan
“memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” yang
66
dicanangkan oleh almarhum Mantan Presiden Soeharto pada Hari Olahraga
Nasional pada tahun 1883 (Harsuki, 2003:307).
1) Sarana Olahraga
Menurut Soepartono, (2006:6) istilah sarana olahraga adalah
terjemahan dari “falicities”, yaitu sesuatu yang dapat digunakan dan
dimanfaatkan dalam pelaksanaan kegiatan olahraga atau pendidikan
jasmani. Sarana olahraga dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :
a) Peralatan (apparatus) adalah sesuatu yang digunakan.
Contoh : pengaman
b) Perlengkapan (device) adalah Sesuatu yang melengkapi kebutuhan
prasarana, misalnya : garis batas, dll. Sesuatu yang dapat dimainkan
atau dimanipulasi dengan tangan atau kaki.
2) Prasarana Olahraga
Secara umum prasarana berarti segala sesuatu yang merupakan
penunjang terselenggaranya statu proses (usaha atau pembangunan).
Dalam olahraga, prasarana didefinisikan sebagai sesuatu yang
mempermudah atau memperlancar tugas dan memiliki sifat yang relatif
permanen. Salah satu sifat tersebut adalah susah untuk dipindahkan.
Dari uraian di atas dapat disebutkan prasarana untuk olahraga
lapangan adalah lapangan atau gedung olahraga. Sama halnya dengan
sarana, prasarana juga memilki standard ukuran yang berbeda untuk
masing–masing cabang olahraga.
b. Sarana dan Prasarana Olahraga Panahan.
1) Sarana
Menurut FITA yang dikutip Riyanto (2006: 2-10) ingin
memperkenalkan peralatan-peralatan yang digunakan dalam olahraga
panahan mulai dari busur, asesorisnya, anak panah, bantalan / sasaran.
Peralatan yang digunakan dalam panahan antara lain: busur (bow),
panah (arrow), pelindung jari (finger tab), pelindung lengan
(armguard), alat pembidik (visir/sighter/bowsight), alat peredam
getaran (stabilizer), kantong panah (side quiver), teropong (field
67
glasses). Sedangkan peralatan penunjang antara lain: sasaran yang
terdiri dari bantalan (buttress), penopang bantalan (standard), kertas
sasaran (target face).
a) Busur
Busur terdiri dari beberapa komponen, diantaranya adalah: 1)
Bagian pegangan (handle section/riser), 2) Dahan busur atas (upper
limb), 3) Dahan busur bawah (lower limb), 4) Tali busur (bow string),
5) lilitan tengah (serving), 6) Pembatas nock/ekor panah (nock
locator), 7) lilitan ujung, 8) Tempat pegangan (grip), 9) Alat pembidik
(visit/sighter), 10) klicker, 11) Tempat sandaran panahan (arrow rest),
12) Stabilisator pendek, 13) Torque flight compensator (TFC), 14)
Stabilisator Panjang, 15) Stabilisator Pendek, 16) Ukuran busur 68
inchi dan berat tarikan 40 pound. Untuk lebih jelas komponen-
komponen tersebut, dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Bagian-bagian busur
(Sumber. Riyanto, 2006: 7)
b) Panah
Bagian-bagian anak panah adalah sebagai berikut: 1) Bedor
(arrow head/point), 2) Gandar (shaft), 3) Hiasan (crestting), Bulu
68
(fletching), 5) Ekor panah (nock), Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar 5.2
Gambar 5.2. Bagian-bagian panah
(Sumber. Riyanto, 2006: 8)
Untuk lebih jelas untuk mengenai bagian-bagian anak panah,
terutama jenis anak panah dan bulu panahdapat dilihat pada Gambar
5.3
Gambar 5.3. Jenis mata dan bulu panah
(Sumber. Riyanto, 2006: 8)
c) Pelindung Jari, Lengan Bawah dan Tempat Panah
Peralatan penting lainnya yang harus disediakan pemanah
selain busur dan panah, antara lain pelindung jari (finger tab),
pelindung lengan bawah (armguard), dan tempat panah (quivers).
Untuk lebih jelas peralatan tersebut, dapat dilihat pada Gambar 5.4
69
Gambar 5.4. Pelindung Jari, Lengan Bawah, dan Tempat Panah
(Sumber. Riyanto, 2006: 10-11)
d) Bantalan dan target face
Bantalan dan target face yang digunakan pada panahan
berbeda-bade tergantung pada ronde apa yang digunakan. Pada ronde
tradisional target face berukuran 80 cm, ronde nasional (perpani) 80
cm, dan ronde FITA 122 cm untuk jarak 60 m, dan 70 m. Sedangkan
jarak 30 m dan 50 m digunakan 80 cm. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada Tabel 1.1
70
Tabel 1.1. Ronde dan ukuran target
Ronde
Wanita Pria Standart
Target
Face
Poin Jarak Rambahan Jarak Rambahan
Tradisional
50 12x4 anak
panah 50
12x4 anak
panah
80 cm
1-10
40 12x4 anak
panah 40
12x4 anak
panah
30 12x4 anak
panah 30
12x4 anak
panah
PERPANI
50 12x3 anak
panah 50
12x3 anak
panah
80 cm 40 12x3 anak
panah 40
12x3 anak
panah
30 12x3 anak
panah 30
12x3 anak
panah
FITA
70 6x3 anak
panah 90
5x3 anak
panah 122 cm
60 6x3 anak
panah 70
5x3 anak
panah
50 12x3 anak
panah 50
12x3 anak
panah 80 cm
30 12x3 anak
panah 30
12x3 anak
panah
Sedangkan bantalan/sasaran dan target face dapat dilihat
pada Gambar 5.5 sebagai berikut:
71
Gambar 5.5. Bantalan dan target face(Sumber. Riyanto, 2006: 13)
2) Prasarana
a) Arena atau Lapangan Permainan
Lapangan yang digunakan dalam permainan atau perlombaan
panahan adalah area yang besar atau terbuka yang dibuat berjalur-jalur
dengan lebar 5 meter. Lapanagn untuk laki-laki dan perempuan
dipisahkan. Tiap jalur ditandai dengan pasak yang diberi nomor dan
dilengkapi dengan jarak tembak untuk pria: 90m, 70m, 50m,dan 30m
sedangkan jarak tembak untuk wanita: 70m, 60m, 50m, dan 30m.
Menurut FITA yang dikutip Riyanto (2006: 13-16) Lapangan
perlombaan panahan yang disarankan seperti gambar berikut:
Gambar 5.6. Shooting line layout-Olympic Round Teams Finals
(Sumber. Riyanto, 2006: 13)
72
Gambar 5.7. Range Layout-Major Events
(Sumber. Riyanto, 2006: 14)
10. National Paralyimpic Comitte of Indonesia
Nama resmi organisasi ini adalah National Paralympic Committee of
Indonesia yang merupakan induk organisasi olahraga bagi penyandang
73
disabilitas di Indonesia. Organisasi ini merupakan institusi resmi yang
menaungi atlit-atlit dan olahraga khusus penyandang disabilitas di Indonesia.
a. Sejarah NPC of Indonesia
Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa yang sebelumnya
dikenal dengan Rehabilitasi Cacat didirikan oleh Pairan Manurung. Pada
tanggal 31 Oktobe 1962, Prof. Dr. Soeharso memberikan saran agar
Rehabilitasi Cacat di ganti namanya menjadi Balai Besar Rehabilitasi Sosial
Bina Daksa. Pairan Manurung mendirikan sebuah organisasi bernama
Yayasan Pembina Olahraga Cacat (YPAC) di Surakarta, Jawa Tengah,
Indonesia. Dalam perkembangannya yayasan ini berhasil membina beberapa
atlit penyandang disabilitas di masanya.
Pada Musyawarah Olahraga Nasional yang diselenggarakan di
Yogyakarta pada tanggal 31 Oktober - 1 November 1993, beberapa orang
menyarankan mengganti nama YPAC menjadi Badan Pembina Olahraga
Cacat (BPOC). Maka sejak tanggal 31 Oktober 1993 itulah nama BPOC
digunakan dengan tujuan supaya organisasi ini nantinya bisa mendapatkan
bantuan dana dari pemerintah.
Berdasarkan keputusan yang dibuat pada International Paralympic
Committee (IPC) General Assembly pada 18 November 2005, yang
mewajibkan para anggotanya untuk memakai kata 'paralympic' untuk
gerakan dan kegiatan yang berkaitan dengan olahraga penyandang
disabilitas, maka BPOC yang kala itu sudah menjadi anggotanya pun
kemudian berganti nama menjadi National Paralympic Committee of
Indonesia (NPC). Hingga kini nama itulah yang digunakan sebagai nama
resmi organisasi dan telah diakui legalitasnya oleh IPC dan Pemerintah
Republik Indonesia sebagai induk organisasi pembinaan olahraga untuk
penyandang disabilitas di Indonesia.
Berbagai halangan dan tantangan telah dilalui oleh organisasi ini.
Hingga saat ini NPC Indonesia telah resmi menjadi anggota dari beberapa
organisasi olahraga penyandang disabilitas baik di tingkat regional maupun
74
international seperti misalnya, IPC, Asian Paralympic Committee, Asean
Para Sport Federation, dll. National Paralympic Committee of Indonesia
senantiasa berjuang untuk membina atlit-atlit penyandang disabilitas
Indonesia hingga kini telah banyak prestasi yang diraih dalam berbagai
kompetisi baik di tingkat regional maupun internasional.
b. Klasifikasi Atlet Paralyimpik
Mengelompokkan atlet sesuai dengan tingkatan gangguan pada
fungsi tubuh dan memberikan keadilaN untuk berkompetisi merupakan
tujuan utama dari pengklasifikasian. Para-atlet ditempatkan di kategori
kompetisi berdasarkan jenis gangguan fungsi yang mereka miliki, ini
disebut kelas olahraga. Hal ini untuk menghindari atlet yang tidak memiliki
gangguan yang sesuai dengan klasifikasinya ikut bertanding dan selalu
mendapatkan kemenangan. Sistem klasifikasi IPC (International
Paralyimpic Comitte) menentukan atlet yang memenuhi syarat untuk
bersaing dalam olahraga dan bagaimana atlet dikelompokkan bersama-sama
untuk kompetisi. Pada tahap ini pengelompokan berdasarkan jenis
penurunan fungsi mirip dengan pengelompokan atlet oleh usia, jenis
kelamin atau berat.
Dalam olahraga paralyimpik ini, atlet dikelompokkan berdasarkan
tingkat keterbatasan aktivitas yang dihasilkan dari penurunan kualitas fungsi
tubuh. Olahraga yang berbeda membutuhkan atlet untuk melakukan
kegiatan yang berbeda pula, seperti: berlari, mendorong kursi roda, dayung
dan menembak. Setiap cabang olahraga memerlukan kegiatan yang berbeda,
dampak dari penurunan nilai pada setiap olahraga juga berbeda. Oleh karena
itu, untuk klasifikasi untuk meminimalkan dampak dari penurunan pada
kinerja olahraga, klasifikasi harus disesuaikan dengan olahraga tertentu.
Tiga langkah Klasifikasi: Atlet diklasifikasikan oleh (classifiers)
pengklasifikasi, dua atau tiga calssifiers yang bekerja bersama-sama dalam
sebuah panel klasifikasi. Mereka dilatih dan disertifikasi oleh Federasi
Internasional. Ketika mengevaluasi atlet, panel klasifikasi selalu
75
mempertimbangkan tiga pertanyaan, yang dijawab melalui proses evaluasi
atlet:
1. Apakah atlet memiliki gangguan memenuhi syarat untuk olahraga ini?
2. Apakah ketunaan atlet memenuhi syarat kriteria kecacatan minimum
olahraga?
3. Apakah nomor perlombaan yang akan diikuti memberikan batasan yang
jelas terhadap tingkat kecacatan atlet?
1) Kelayakan Tingkat Ketunaan/Disabilitas
Langkah pertama dalam klasifikasi olahraga paralimpik adalah
untuk menentukan apakah atlet memiliki gangguan yang memenuhi
syarat.
Gerakan Paralympic menawarkan peluang olahraga untuk atlet
yang memiliki gangguan yang dimiliki salah satu dari sepuluh jenis
gangguan yang memenuhi syarat dan diidentifikasi dalam "Policy on
Eligible Impairments in the Paralympic Movement." Ini ada pada bagian
2 Pasal 3.13 dari IPC Handbook Ini adalah deskripsi singkat dari 10 jenis
gangguan yang memenuhi syarat:
(a) Gangguan kekuatan otot: Berkurangnya gaya yang dihasilkan oleh
otot atau kelompok otot, seperti otot-otot pada tungkai atau bagian
bawah tubuh. Contah pada kasus ini adalah paralimpian dengan cedera
tulang belakang, spina bifida atau polio.
(b) Gangguan gerak pasif: Berkurang keluasan gerak pada satu sendi atau
lebih secara permanen, misalnya karena arthrogryposis.
Hipermobilitas sendi, ketidakstabilan sendi, dan kondisi akut, seperti
radang sendi, tidak dianggap gangguan memenuhi syarat.
(c) limb deficiency: Baik Total atau parsial tidak adanya tulang atau sendi
sebagai akibat dari trauma (misalnya kecelakaan mobil), penyakit
(misalnya kanker tulang) atau kekurangan anggota tubuh bawaan
(misalnya dysmelia).
76
(d) Perbedaan panjang tungkai: Salahsatu tulang lebih pendek di satu kaki
karena ketunaan bawaan atau trauma.
(e) Bertubuh pendek: Kurangnya tinggi berdiri karena dimensi abnormal
tulang tungkai atau batang atas dan bawah, misalnya karena
achondroplasia atau disfungsi hormon pertumbuhan.
(f) Hypertonia: Peningkatan abnormal pada ketegangan otot dan
berkurangnya kemampuan otot untuk peregangan, karena kondisi
neurologis, seperti cerebral, cedera otak otak atau multiple sclerosis.
(g) Ataksia: Kurangnya koordinasi gerakan otot karena kondisi
neurologis, seperti cerebral palsy, cedera otak atau multiple sclerosis.
(h) Athetosis: Umumnya ditandai dengan tidak seimbang, gerakan tak
terkendali dan kesulitan dalam mempertahankan postur simetris,
karena kondisi neurologis, seperti cerebral, cedera otak otak atau
multiple sclerosis.
(i) Penurunan kualitas pengelihatan: Penurunan kualitas pengelihatan
dipengaruhi oleh salah satu gangguan struktur mata, saraf optik atau
jalur optik, atau korteks visual.
(j) Gangguan Intelektual: Keterbatasan dalam fungsi intelektual dan
perilaku adaptif seperti yang diungkapkan dalam keterampilan adaptif
konseptual, sosial dan praktis, yang berasal sebelum usia 18.
Gerakan Paralympic mengadopsi definisi untuk jenis gangguan
yang memenuhi syarat seperti yang dijelaskan oleh World Health
Organization International Classification of Functioning, Disability and
Health (2001, Organisasi Kesehatan Dunia, Jenewa). Setiap olahraga
Paralympic mendefinisikan kelompok gangguan dan membuat aturan
klasifikasi serta memberikan kesempatan berprestasi pada semua atlet
yang memenuhi aturan yang telah dibuat. Sementara ada beberapa
olahraga yang bisa diikuti oleh atlet dari semua jenis gangguan (misalnya
atletik, renang), namun ada olahraga lainnya yang khusus untuk satu
jenis gangguan (misalnya Goalball) atau pilihan jenis gangguan
(misalkan berkuda, bersepeda). Adanya gangguan sebagian ataupun total
77
dari salah satu gangguan yang memenuhi syarat olahraga merupakan
prasyarat untuk berpartisipasi, tetapi bukan satu-satunya kriteria.
2) Kriteria Kecacatan Minimum
Merupakan sebuah aturan/standar klasifikasi pada olahraga
Paralympic yang pada setiap cabang olahraga memiliki ketentuan
seberapa parah terjadi penurunan/gangguan yang dapat memenuhi
persyaratan seorang atlet tersebut dianggap memenuhi syarat untuk
mengikuti nomor perlombaan. Kriteria ini disebut kriteria kecacatan
minimal.
Contoh kriteria kecacatan minimal bisa menjadi standar
maksimum untuk perawakan pendek, atau tingkat amputasi untuk atlet
dengan kekurangan anggota tubuh.
Kriteria kecacatan minimal harus didefinisikan berdasarkan
penelitian ilmiah, yang mempertimbangkan dampak dari gangguan pada
kegiatan olahraga tersebut. Dalam hal ini, dapat dijamin bahwa dampak
penurunan kinerja dalam olahraga tersebut. Kriteria cacat minimum
menentukan spesifiknya cabang olahraga yang akan di ikuti, karena
kegiatan pada tiap cabang olahraga berbeda-beda dan harus di sesuaikan
dengan tingkat gangguanya. Akibatnya, seorang atlet dapat memenuhi
kriteria di salah satu olahraga, tapi mungkin tidak memenuhi kriteria
pada cabang olahraga lain. Jika seorang atlet tidak memenuhi syarat
untuk bersaing dalam cabang olahraga tertentu, mungkin dikarenakan ada
syarat yang tidak terpenuhi pada cabang olahraga tersebut dan Ini adalah
keputusan dari cabang olahraga yang akan diikuti.
3) Kelas Olahraga
Jika seorang atlet memenuhi syarat untuk olahraga paralimpik,
panel klasifikasi akan menilai pada kelas olahraga mana atlet akan
bersaing. Pada salahsatu cabang olahraga mungkin terdapat seekelompok
78
atlet dengan keterbatasan serupa bersama-sama untuk melakukan sebuah
kompetisi, sehingga mereka dapat bersaing secara adil.
Ini berarti bahwa klasifikasi cabang olahraga yang satu dan
lainya mungkin berbeda. Ini juga berarti bahwa kelas olahraga tidak
selalu terdiri dari atlet dengan gangguan yang sama. Jika gangguan yang
berbeda menyebabkan pembatasan kegiatan serupa, atlet dengan
gangguan ini diizinkan untuk bersaing bersama-sama.
Inilah sebabnya mengapa dalam acara balap atletik kursi roda,
Anda akan melihat atlet dengan paraplegia dan kaki amputasi balap
bersama-sama. Ada beberapa olahraga yang hanya memiliki satu kelas
olahraga (misalnya es kereta luncur hoki atau powerlifting). Di sisi lain,
karena disiplin ilmu yang berbeda (berlari, melompat, melempar
peristiwa) dan karena olahraga termasuk atlet dari semua 10 gangguan
memenuhi syarat, IPC Atletik memiliki 52 kelas olahraga.
c. Klasifikasi Atlet Paralyimpik Olahraga Panahan
Ini adalah gambaran secara singkat dari klasifikasi olahraga
panahan untuk para difabel dan sama sekali tidak mengikat secara hukum.
Dalam semua kasus olahraga aturan klasifikasi tertentu akan diutamakan.
Jenis gangguan yang memenuhi syarat pada cabang olahraga panahan
adalah sebagai berikut:
1) Gangguan kekuatan otot
2) Athetosis
3) Gangguan gerakan pasif
4) Hypertonia
5) Limb deficiency
6) Ataxia
7) Perbedaan panjang Tungkai
Kategori cabang olahraga panahan dibagi menjadi tiga kelas, yaitu sebagai
berikut.
1) ARW 1, meliputi atlet yang menggunakan kursi roda dengan disabilitas
di seluruh keempat tungkai.
79
2) ARW 2, meliputi pengguna kursi roda namun kedua tangan masih
berfungsi baik.
3) ARST (berdiri), meliputi para atlet yang berkompetisi sambil berdiri
termasuk mereka yang membutuhkan alat bantu berdiri karena
keseimbangan yang buruk.
Kelas yang dilombakan pada olahraga panahan bagi atlet paralyimpian
diadakan pada dua kelas olahraga, yaitu sebagai berikut:
1) Kelas W1: Pemanah di kelas ini bersaing di atas kursi roda karena
mereka memiliki penurunan nilai fisik termasuk hilangnya kaki dan
batang fungsi tubuh. Juga, hilangnya kekuatan otot pada lengan mereka,
koordinasi atau terbatasnya gerakan pada lengan. Misalnya, salahsatu
jenis gangguan yang mungkin cocok pada kelas olahraga ini adalah
penderita tetraplegia.
2) Open: Pemanah yang kini berlaga di kelas olahraga W2 dan ST telah
digabungkan bersama karena dinilai memiliki gangguan dan dampak
yang sama pada pada hasil kompetisi. Pemanah di kelas olahraga ini
mungkin memiliki keterbatasan aktivitas yang kuat di batang tubuh dan
kaki mereka dan bersaing di kursi roda. Namun lengan mereka masih
menunjukkan fungsi yang normal. Hal tersebut memungkinan akan
berlaku untuk pemanah lumpuh. Kemudian pada kelas open cabang olah
raga panahan ini, ada pula atlet yang bersaing dalam posisi berdiri dan
mereka memerlukan beberapa alat pendukung untuk berdiri karena
kualitas keseimbangannya kurang baik. Mereka juga memiliki perbedaan
panjang kaki, penurunan kualitas anggota gerak atau gangguan yang juga
mempengaruhi lengan dan tubuh mereka.
80
B. Penelitian Yang Relevan
Dalam penulisan proposal tesis ini, penulis menggunakan penelitian
(tesis) ataupun karya tulis ilmiah lain yang sudah ada sebagai bahan untuk
mendapatkan gambaran penelitian ini. Penelitian tersebut berjudul: (1)
”Pelaksanaan Manajemen Pendidikan Dan Pelatihan DiPusdiklat Pegawai
Departemen Sosial RI ”, yang disusun oleh Wahyuni dari ProgramPascasarjana
Universitas Negeri Jakarta Tahun 2005. dan (2) ”PelaksanaanManajemen
Personalian dalam rangka Pemberdayaan Pegawai Pada BiriKepegawaian
Mahkamah Agung RI”, yang disusun oleh Erwin Widanarko dariProgram
Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta Tahun 2006. (3) PelaksanaanManajemen
Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) di SumateraUtara.
Disusun oleh Sabaruddin Yunis Bangun, Program Pascasarjana UniversitasNegeri
Jakarta Tahun 2008. (4)”Gerakan Garuda Emas”, merupakan suatu penelitian
evaluatif pelaksanaan Program Gerakan Garuda Emas di Sumatra Utara yang di
susun oleh Sanusi Hasibuan dari Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
Tahun 2011.
C. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan argumentasi teoritik terhadap hipotesis
yang diajukan, dalam penelitian pengembangan kerangka berpikir memberikan
arahan tentang langkah-langkah metodologis yang akan diambil, penelitian ini
adalah penelitian evaluatif dengan menggunakan model Context Input Process
Product (CIPP) yang dikemukakan stufllebeam. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian evaluatif ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung
dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk
menggambarkan data evaluasi secara mendalam dan komprehensif. Pendekatan
kualitatif dilakukan untuk melakukan kajian pada komponen organisasi
pembinaan prestasi olahraga panahan NPC Sragen. Kegiatan inti dari penelitian
kualitatif menurut Spradly (1980 : 27-28), adalah pemahaman tentang makna
suatu tindakan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam latar sosial penelitian.
Dua makna yang perlu diperhatikan adalah makna yang dikomunikasikan secara
81
langsung dan tidak langsung dalam bentuk kata dan tindakan. Berdasarkan
kepentingan menangkap makna secara tepat, cermat, rinci dan komprehensif,
maka teknik yang paling tepat adalah dengan menggunakan instrumen penelitian
yang terdiri dari; angket, daftar cek(check list) dan pedoman wawancara.
Instrumen penelitian angket digunakan untuk mengumpulkan data
dimensi input dan proses, daftar chek (check list) digunakan untuk
mengumpulkan data dimensi product dan semua data variabel/ dimensi yang
fungsinya sebagai pelengkap untuk merekam data. Pedoman wawancara
digunakan untuk mengumpulkan data dimensi context. Selain itu juga berfungsi
sebagai pelengkap alat pengumpul data semua dimensi/variabel penelitian.
Penilaian pada dimensi contecxt meliputi kebutuhan masyarakat terhadap
pembinaan prestasi yang dijalankan oleh NPC Sragen, dan dukungan lingkungan
terhadap pembinaan prestasi NPC Sragen.
Pada dimensi input mencangkup aspek karakteristik atlet, karakteristik
pelatih, karakteristik organisasi penyelenggara, karakteristik program dan strategi
organisasi, karakteristik program latihan, karakteristik sarana dan prasarana, serta
karakteristik pendanaan.
Kemudian pada dimensi proses meliputi penseleksian atlet dan pelatih,
proses latihan, monitoring dan evaluasi latihan dan pengorganisasian. Pada
penilaian dimensi proses ini responden berasal dari dua narasumber yaitu
responden pelatih dan responden atlet.
Selanjutnya penilaian pada dimensi product yang meliputi aspek
pencapaian prestasi atlet dan prestasi pada nomor-nomor tertentu pada cabang
olahraga panahan. Pengukuran aspek prestasi atlet menggunakan wawancara.
Untuk melengkapi data digunakan metode studi dokumentasi.
Dari ke-empat dimensi yang di nilai dalam penelitian evaluatif CIPP
memang saling berhubungan antara satu dan lainnya, tingkat kebutuhan
masyarakat terhadap prestasi olahraga akan melahirkan suatu organisasi sebagai
wadah untuk membina calon atlet. Sumberdaya Manusia maupun Sumber daya
penunjang didalam organisasi pengelola pembinaan prestasi haruslah memiliki
kualifikasi dan standar yang sesuai dengan bidang yang ditangani atau dijalani
82
agar dalam prosesnya berjalan dengan baik. Jika dilihat dari faktor dukungan
masyarakat yang tinggi dan sumberdaya manusia yang memenuhi kualifikasi baik
atlet, pelatih maupun pengelola pembinaan prestasi, serta proses pembinaan
berjalan sistematis dan sesuai dengan programnya kemudian didukung dengan
pendanaan dan sarana prasarana yang mencukupi kebutuhan untuk pelaksanaan
proses pembinaan maka product atau prestasi pada pembinaan tersebut juga akan
menghasilkan prestasi yang maksimal.
Gambar 5.8. Alur Kerangka Berfikir
Olahraga Panahan
Olahraga Panahan
Indonesia
Olahraga Panahan
NPC
NPC Sragen