29
5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing Sustainable manufacturing mulai dikenalkan pada tahun 1978 oleh Dr.Brundtland mantan Direktur Jendral WHO dan mantan Perdana Menteri Norwegia. Pada saat itu dikenal dengan istilah Sustainable Development sebagai upaya yang dilakukan pada kegiatan pembangunan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi pada masanya (Smith & Ball, 2012). Menurut Rizal (2018) Sustainable manufacturing adalah proses manufaktur yang mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan pada proses produksinya. Sustainable manufacturing didefinisikan sebagai kegiatan manufaktur yang menggunakan proses yang tidak menimbulkan polusi, menghemat energi dan sumber daya, proses yang memperhatikan sisi ekonomi dan keamanan para pekerja hingga ke konsumen (Davim, 2013). 2.2 Konsep Sustainable Manufacturing Menurut Brady and Kozak (1995) Sustainable Manufacturing terdapat 2 filosofi yaitu from cradle to grave” dan “from soil to soil” sebagai upaya mewujudkan sustainable manufacturing antara lain sebagai berikut : 1. Implementasi kehidupan yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah dengan maksud semua yang hidup pastiakan mati dan masuk kembali ke tanah (menjadi sampah). 2. Implementasi menuju keseimbangan alam, selama entropi yang terbentuk tidak berlebihan. 3. Penyelamatan lingkungan hidup dari kerusakan dan pencemaran. 4. Penyelamatan ketersediaan sumber daya alam yang meliputi bahan baku industri manufaktur/ekonomi agar tidak cepat punah.

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Sustainable Manufacturing

Sustainable manufacturing mulai dikenalkan pada tahun 1978 oleh Dr.Brundtland

mantan Direktur Jendral WHO dan mantan Perdana Menteri Norwegia. Pada saat itu

dikenal dengan istilah Sustainable Development sebagai upaya yang dilakukan pada

kegiatan pembangunan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi pada

masanya (Smith & Ball, 2012).

Menurut Rizal (2018) Sustainable manufacturing adalah proses manufaktur yang

mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara

berkelanjutan pada proses produksinya. Sustainable manufacturing didefinisikan

sebagai kegiatan manufaktur yang menggunakan proses yang tidak menimbulkan

polusi, menghemat energi dan sumber daya, proses yang memperhatikan sisi ekonomi

dan keamanan para pekerja hingga ke konsumen (Davim, 2013).

2.2 Konsep Sustainable Manufacturing

Menurut Brady and Kozak (1995) Sustainable Manufacturing terdapat 2 filosofi yaitu

“from cradle to grave” dan “from soil to soil” sebagai upaya mewujudkan sustainable

manufacturing antara lain sebagai berikut :

1. Implementasi kehidupan yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah dengan

maksud semua yang hidup pastiakan mati dan masuk kembali ke tanah (menjadi

sampah).

2. Implementasi menuju keseimbangan alam, selama entropi yang terbentuk tidak

berlebihan.

3. Penyelamatan lingkungan hidup dari kerusakan dan pencemaran.

4. Penyelamatan ketersediaan sumber daya alam yang meliputi bahan baku industri

manufaktur/ekonomi agar tidak cepat punah.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

6

Parris and Kates (2003), meninjau berbagai upaya untuk mengidentifikasi sustainable

dengan berbagai indikator yang sangat bervariasi dalam hal geografis, kemampuan

untuk mengelola keputusan bisnis, dan biaya yang diperlukan. Keberhasilan

implementasi sustainable ke dalam proses manufaktur bergantung pada beberapa

faktor seperti :

1. Informasi

Informasi berupa kualitatif dan kuantitatif yang diperlukan untuk penilaian.

Contohnya data proses pengerjaan, jumlah dan jenis polutan. Namun, informasi

semacam itu tidak selalu tersedia dan terkadang akan sulit untuk didapatkan.

2. Manajemen dan budaya

Masalah sustainable misalnya upaya pengelolaan lingkungan, hal ini cenderung

ditangani oleh departemen khusus secara holistik. Pada penerapanannya tidak

konsisten dan cenderung menghambat pengembangan yang akan dilakukan.

3. Prosedur

Pengambilan keputusan yang tidak sesuai, maka diberlakukan metodologi dan

prosedur yang diperlukan untuk memastikan tujuan dan strategi keberlanjutan.

Salah satu alasan untuk masalah ini adalah karena jumlah variabel akan

diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

2.3 Penilaian Keberlanjutan (Sustainable Assesment)

Sustainable assesment merupakan sebuah proses yang mengarah kepada suatu

proses pengambilan keputusan menuju pembangunan berkelanjutan (Vinodh,

Jayakrishna, Kumar, & Dutta, 2014). Penilaian ini memberikan informasi yang

diperlukan untuk mengambil keputusan dalam memantau kinerja keberlanjutan,

meningkatkan komunikasi, dan mengidentifikasi masalah terkait keberlanjutan. Tujuan

sustainable assesment yaitu untuk memastikan suatu produk, proses, rencana dan

aktivitas memberikan kontribusi optimal untuk pengembangan berkelanjutan

(Verheem & Tonk, 2000).

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

7

Menurut Fauzi (2019) dalam konteks penilaian (assesment) tujuan utama penilaian

tersebut lebih diarahkan kepada penyajian status keberlanjutan saat ini serta

mengembangkan strategi kebijakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam

menentukan keberlanjutan di masa yang akan datang. Elkington (1998) menyediakan

kerangka kerja untuk penilaian keberlanjutan dengan istilah “Triple Bottom Line” atau

TBL. TBL adalah kerangka kerja untuk mengukur kinerja keberhasilan organisasi

dengan memperhatikan 3 aspek yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Rogers and

Hudson (2011) menyebut kerangka kerja ini sebagai kerangka yang praktis untuk

keberlanjutan.

2.3.1 Aspek ekonomi

Aspek ekonomi pada kerangka TBL mengacu pada dampak perusahaan

terhadap sistem ekonomi (Elkington & Rowlands, 1999). Hal ini berkaitan dengan

kemampuan perekonomian sebagai salah satu point keberlanjutan untuk bertahan dan

berkembang di masa depan (Spangenberg, 2005). Aspek ini berfokus pada nilai

ekonomi yang diberikan oleh perusahaan kepada sistem dan sekitarnya untuk

meningkatkan daya saing dan mendukung generasi selaanjunya.

2.3.2 Aspek Sosial

Aspek sosial pada kerangka TBL mengacu pada dampak perusahaan yang

menguntungkan dan adil terhadap tenaga kerja, sumber daya manusia, dan masyarakat

(Elkington & Rowlands, 1999). Tujuannya adalah memberikan nilai kepada

masyarakat, contohnya yaitu upah yang adil, jaminan kesehatan, dan tanggung jawab

sosial lainnya.

2.3.3 Aspek Lingkungan

Aspek lingkungan pada kerangka TBL mengacu pada dampak perusahaan yang

tidak membahayakan sumber daya lingkungan. Hal ini berkaitan dengan penggunaan

sumber energi yang efisien, mengurangi emisi dan meminimalkan jejak ekologi (Goel,

2010). Tujuan dari aspek lingkungan yaitu untuk melindungi lingkungan dan

meningkatkan kesejahteraan sosial sekaligus untuk memberikan nilai tambah kepada

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

8

pemegang saham. Keuntungan finansial juga didapatkan karena berhasil mengurangi

biaya operasional seperti penggunaan energi, air, dan lain sebagainya (Kearney, 2009).

2.4 Definisi Lean

Lean dalam arti kata Bahasa Indonesia yaitu ramping, menurut J. K. Liker and

Morgan (2006) Lean Production dikemukakan oleh Toyota yang dikenal dengan

“Toyota Production System” atau biasa disingkat dengan TPS, yaitu sistem manajemen

operasi dengan prinsip ramping termasuk fokus pada pelanggan, peningkatan kualitas

berkelanjutan melalui pengurangan limbah, perbaikan untuk mempersingkat lead time,

serta meminimalkan biaya produksi. Sedangkan menurut Gaspersz (2007), Lean

merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara berkala untuk meminimlisir bahkan

menghilangkan pemborosan (waste) dan meningkatkan nilai tambah atau yang biasa

disebut dengan value added suatu barang dan jasa dengan tujuan kepuasan pada

pelanggan (customer value).

Secara terminologi, menurut Wee and Wu (2009) yang dikutip pada pada penelitian

Utama, Dewi, and Mawarti (2016), Lean dapat diartikan sebagai suatu rangkaian

kegiatan untuk meminimalisir waste, mengurangi operasi yang bersifat non value

added (NVA) dan meningkatkan operasi yang bersifat value added (VA). Menurut

Fontana and Gaspers (2011) Lean juga dapat diartikan sebagai suatu pendekatan

sistematis untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi pemborosan berupa aktifitas

yang tidak memberi nilai lebih (non-value added activities) melalui perbaikan yang

dilakukan secara berkala dengan mengizinkan aliran produk dengan sistem tarik (pull

system) dari sudut pelanggan dengan tujuan kesempurnaan kepuasan pelanggan.

2.5 Konsep Lean

Pada penelitian yang dilakukan oleh Bayou and De Korvin (2008) penerapan lean

yaitu strategi untuk menghasilkan output yang lebih baik dimana “input” mengacu

pada kuantitas fisik sumber daya yang digunakan dan biaya yang dikeluarkan “output”

mengacu pada kualitas dan kuantitas produk yang akan ditawarkan kepada konsumen.

Narasimhan, Swink, and Kim (2006) juga menyimpulkan bahwa penggunaan sumber

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

9

daya yang efisien melalui pengurangan pemborosan merupakan aspek esensial yang

bertujuan untuk mengurangi aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah. Pada dasarnya

lean manufacturing bertujuan untuk memaksimalkan nilai pelanggan sekaligus

meminimalisir limbah. Penerapan lean pada perusahaan membantu perusahaan untuk

meningkatkan daya saing, terutama dalam mengurangi pemborosan (waste) dalam

proses produksi (Simanjuntak & Wicaksono, 2019). Lean manufacturing merupakan

metode untuk mengoptimalkan kinerja proses produksi karena dapat mengidentifikasi,

menganalisis, dan memberikan solusi yang lebih baik. Lean berfokus pada peningkatan

efisiensi seperti mengurangi pemborosan, meningkatkan nilai lebih, dan memenuhi

kebutuhan konsumen (Hines & Taylor, 2000). Berikut ini meruapakan 5 prinsip dasar

lean menurut Hines and Taylor (2000) yaitu antara lain:

1. Specify value, yaitu menentukan hal apa saja yang dapat atau tidak menambah nilai

dari perspektif pelanggan bukan dari perspektif masing-masing perusahaan dan

departemen.

2. Identify Whole Value Stream, yaitu menentukan tahapan untuk mengetahui waste

yang ada disepanjang value stream. Tahapan tersebut meliputi proses perancangan,

proses pemesanan, dan pembuatan produk.

3. Flow, yaitu melakukan beberapa tindakan yang memiliki nilai tanpa adanya

gangguan seperti kegiatan yang tidak memiliki nilai tambah.

4. Pulled, yaitu melakukan hal-hal yang menarik pelanggan.

5. Perfection, menghilangkan waste secara berkala untuk terciptanya kesempurnaan.

Adapun 5 prinsip dasar lean menurut Gaspersz (2007) yaitu sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi nilai suatu produk baik barang atau jasa berdasarkan perspektif

konsumen, penilaian konsumen tentang terhadap suatu produk yang meliputi

kualitas, harga, dan pengiriman yang tepat waktu.

2. Mengidentifikasi pemetaan proses pada setiap produk baik barang maupun jasa

dengan value stream process mapping.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

10

3. Menghilangkan adanya pemborosan pada semua aktivitas di value stream mapping

yang tidak memberikan nilai tambah.

4. Mengelola dengan sedemikian rupa agar material, informasi, dan juga produk

berjalan dengan lancar dan efisien sepanjang proses value stream menggunakan

sistem tarik.

5. Pencarian berbagai teknik atau metode secara berkala untuk mencapai keunggulan

dan peningkatan berkelanjutan.

Dalam penerapannya lean dapat memberikan manfaat bagi perusahaan. Menurut

Melton (2005) berikut ini merupakan manfaat diterapkannya lean yaitu :

1. Penurunan lead time untuk konsumen

2. Mengurangi inventory yang berdampak pada penyimpanan

3. Dapat meningkatkan manajemen pengetahuan

4. Mengurangi kesalahan pada proses produksi

Produksi lean kini telah berkembang dan diterapkan pada semua aspek rantai pasokan.

2.6 Waste (pemborosan)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ristyowati, Muhsin, and Nurani (2017)

lean bermakna “pabrikasi tanpa pemborosan”. Pemborosan adalah aktivitas yang

menghamburkan sumber daya seperti pengeluaran biaya maupun waktu tetapi tidak

memberikan nilai tambah apapun dalam aktivitas tersebut. Menurut Gaspersz (2007)

pemborosan (waste) merupakan segala aktivitas dalam proses produksi dari input

sampai dengan output yang tidak memberikan nilai tambah. Pemborosan menimbulkan

dampak buruk bagi perusahaan, sehingga penting sekali bagi setiap perusahaan untuk

mengidentifikasi pemborosan yang terjadi dan mengeliminasi agar perusahaan tidak

mengalami kerugian (Rawabdeh, 2005). Mengidentifikasi waste sangatlah penting

dikarenakan jika proses identifikasi waste salah maka akan menimbulkan jenis waste

baru bermunculan. Menurut Mughni (2012) jenis-jenis waste sangatlah beragam dan

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

11

sulit untuk diidentifikasi sehingga proses identifikasi tesebut membutuhkan ketelitian

dan proses yang matang.

Dalam mendefinisikan waste, menurut Hines and Rich (1997) terdapat beberapa

kategori kegiatan yang berbeda. Berikut ini merupakan kegiatan yang terjadi dalam

proses produksi:

1. Value Added Activity, adalah suatu kegiatan yang dilakukan pada saat

memproduksi suatu produk dan mampu memberikan nilai lebih pada konsumen.

Contoh dari kegiatan Value Added Activity yaitu memanfaatkan kertas bekas

menjadi sebuat kerajinan tangan yang bisa menambah nilai dari kertas itu sendiri.

2. Non Value Adding Activity, adalah semua kegiatan pada proses produksinya dari

awal sampai dengan akhir tidak mengubah ataupun menambah nilai dari suatu

produk yang dihasilkan diterima oleh konsumen. Kegiatan ini merupakan waste

yang harus segera dihilangkan dari proses produksi. Contoh pada kegiatan Non

Value Adding Activity adalah waktu tunggu, penumpukan produk serta penanganan

ganda.

3. Necessary Non Value Adding Activity, adalah serangkaian kegiatan yang perlu

untuk dilakukan namun kegiatan tersebut tidak memberikan nilai lebih kepada

produk yang dihasilkan. Sebagian besar kegiatan ini dianggap sia-sia, namun

kegiatan ini harus tetap dilakukan. Kegiatan ini tidak dapat dihilangkan dalam

jangka waktu pendek akan tetapi bisa dibuat lebih efisian. Untuk menghilangkan

kegiatan ini diperlukan perubahan yang cukup besar pada sistem operasi yang

memerlukan jangka waktu yang cukup lama.

Pada sistem produksi toyota, menurut J. Liker (2004) terdapat tujuh pemborosan yang

ditimbulkan dari proses produksi antara lain sebagai berikut:

1. Over Production (Produksi berlebih)

Waste yang disebabkan oleh produksi yang berlebih baik dalam bentuk barang jadi

maupung barang setengah jadi. Hal ini menyebabkan penyimpanan pada gudang

menjadi penuh karena terlalu banyak produk yang disimpan di gudang.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

12

2. Defect (cacat)

Waste dalam bentuk kecacatan produk atau produk yang rusak dalam proses

produksi yang menyebabkan produk harus mengalami pengerjaan ulang.

Pemborosan ini menimbulkan adanya biaya tambahan, termasuk biaya tenaga

kerja, dan komponen biaya lainnya yang diguanakan pada proses perbaikan.

3. Unnecessary Inventory (persediaan yang tidak diperlukan)

Waste yang disebabkan oleh penyimpanan barang yang berlebihan dan sebenarnya

tidak dibutuhkan. Contoh dari pemborosan ini sepeti menyimpan bahan baku yang

ternyata sudah kadalursa.

4. Over processing (proses berlebih)

Waste yang dihasilkan karena proses yang berlebihan. Terdapat beberapa proses

yang tidak memberikan nilai tambah. Proses tersebut dapat menghambat

pengerjaan pada suatu produk yang akan dihasilkan. Contohnya yaitu ketika

terdapat inspeksi yang dilakukan secara berulang-ulang tetapi terkadang masih saja

terdapat barang yang cacat.

5. Transportasi

Pemborosan yang terjadi karenaa pengaturan layout kerja yang kurang tepat,

sehingga barang perlu dipindahkan. Contohnya lokasi gudang yang jauh dari lokasi

lantai produksi. Kesalahan layout ini bisa memakan waktu yang cukup lama

sehingga proses produksi menjadi tidak efisien.

6. Waiting (menunggu)

Waste yang dihasilkan karena jalur produksi yang tidak seimbang. Akibatnya,

operator atau mesin harus menunngu untuk melakukan pekerjaannya. Kerusakan

mesin, supply bahan baku yang terlambat dan hilangnya alat untuk menunjang

pekerjaan juga merupakan pemborosan dari faktor ini.

7. Unnecessary Motion (gerakan yang berlebih)

Pemborosan yang terjadi karena gerakan yang tidak perlu dilakukan oleh operator

atau tidak memberikan nilai lebih pada produk. Jenis pemborosan ini biasanya

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

13

terjadi karena lingkungan kerja dan kondisi peralatan yang digunakan tidak

ergonomis. Kegiatan ini bisa berpengaruh terhadap produktifitas pekerja dan

menambah waktu proses pengerjaan.

Pada perspektif lain, menurut Kaufman (1999) pada buku Gazpersz (2011)

merumuskan sepuluh jenis waste yang ada pada proses industri manufaktur. Waste

tersebut dikelompokkan kedalam empat kategori antara lain : people, quality, quantity,

dan information seperti gambar 2.1 dibawah ini

Gambar 2.1 10 (sepuluh) jenis pemborosan pada lean manufacturing

Sumber : (Kaufman, 1999)

1. People (orang)

Pemborosan ini merupakan pemborosan yang ditimbulkan oleh manusia. Terdapat

tiga jenis pemborosan pada kategori ini antara lain :

a. Processing

b. Motion

c. Waiting

2. Quantity (kuantitas)

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

14

Pemborosan ini terjadi akibat jumlah produk yang berada pada sepanjang aliran

proses produksi. Pemborosan ini dibagi menjadi tiga jenis yaitu :

a. Moving things

b. Inventory

c. Making too much

3. Quality (kualitas)

Pemborosan ini terjadi akibat adanya kesalahan pada proses pengerjaan sepanjang

proses produksi yang berdampak pada kualitas produk akhir dimana hal ini sangat

penting untuk menentukan kepuasan konsumen dalam penggunaan produk.

Pemborosan ini biasanya mencakup tentang kecacatan suatu produk, baik

kecacatan part maupun kecacatan unit.

4. Information (informasi)

Pemborosan ini terjadi akibat adanya aliran informasi yang salah pada setiap

tahapan proses. Pemborosan ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu:

a. Planning

b. Schedulling

c. Execution

2.7 Value Stream Mapping (VSM) dan Sustainable Value Stream Mapping (Sus-

VSM)

2.7.1 Value Stream Mapping (VSM)

VSM dapat digunakan karena memberi pandangan secara menyelutuh tentang

proses manufaktur dan telah menjadi salah satu yang paling banyak digunakan pada

perusahaan industri dan jasa (Serrano Lasa, Castro, & Laburu, 2009). Menurut Rother

and Shook (2003) VSM menjelaskan informasi dan proses produksi yang

memungkinkan untuk mengidentifikasi waste serta dapat digunakan untuk alat sebagai

usulan skenario perbaikan di masa depan. McDonald, Van Aken, and Rentes (2002)

menerapkan VSM pada lini produksi bertujuan untuk mengidentifikasi pemborosan

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

15

disemua tahapan dari awal hingga akhir, dengan demikian alat VSM dapat mengurangi

lead time.

Value Stream Mapping adalah sebuah alat untuk proses pemetaan yang berfungsi

untuk memetakan dan mengidentifikasi aliran material dan informasi pada proses

produksi mulai dari bahan baku tiba sampai dengan produk jadi (Nash & Poling, 2011).

Sedangkan menurut George, Maxey, Rowlands, and Upton (2004) Value Stream

Mapping adalah sebuah metode yang digunakan untuk memetakan sebuah stasiun kerja

dan mengidentifikasi proses produksi didalamnya. Womack and Jones (2003)

berpendapat bahwa VSM merupakan aktivitas dimana pada prosesnya terdapat

aktivitas yang memiliki nilai tambah dan tak bernilai tambah yang dibutuhkan pada

proses produksi. Value Stream Mapping menjelaskan kegiatan seperti flow of product,

flow of information, dan product desaign (Brunt, 2000). Pada beberapa litelatur Value

Stream Mapping dikenal dengan istilah Big Picture Mapping yang merupakan alat

untuk pemetaan sistem secara menyeluruh serta aliran nilai yang terdapat didalamnya.

Pada gambar 2.2 merupakan contoh dari value stream mapping.

Gambar 2.2 Value Stream Mapping

Sumber : (Kurniawan & Hariastuti, 2020)

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

16

2.7.1.1 Simbol-simbol yang Digunakan pada Value Stream Mapping

Dalam proses pembuatan Value Stream Mapping memerlukan simbol simbol

yang diguanakan sebagai narasi atau pentunjuk dalam aliran proses produksi. Berikut

ini merupakan simbol-simbol pada Value Stream Mapping :

Gambar 2.3 simbol-simbol yang terdapat pada Value Stream Mapping

Sumber : (Hines & Taylor, 2000)

Berikut ini merupakan penjelasan mengenai simbol-simbol yang digunakan :

Tabel 2.1 simbol-simbol pada Value Stream Mapping

Simbol-simbol dalam Value Stream Mapping

Simbol ini menampilkan supplier apabila

diletakkan pada kiri atas, yaitu sebagai titik

awal yang umum digunakan dalam

penggambaran aliran pada material.

Sedangkan simbol untuk customer

diletakkan pada bagian kanan atas dan

biasanya sebagai titik akhir dari suatu aliran

material.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

17

Simbol ini menggambarkan proses, operasi,

mesin, atau departemen yang dilalui oleh

aliran material. Simbol ini pada umumnya

mempresentasikan 1 departemen dengan

aliran internal yang continue agar dapat

menghindari pemetaan proses yang tidak

diinginkan.

Simbol ini menjelaskan tentang operasi dan

proses dalam stasiun kerja, dengan

menambahkan jumlah operator yang

diperlukan dalam aliran yang dipetakan.

Simbol ini menjelaskan tentang

perpindahan raw material dari supplier

sampai dengan gudang atau perpindahan

dari produk jadi di gudang sampai dengan

konsumen.

Simbol ini memiliki lambang-lambang yang

menjelaskan informasi yang digunakan

untuk mengidentifikasi sistem. C/T

merupakan waktu siklus yang dibutuhkan

untuk memproduksi suatu barang. C/O

(change over time) adalah waktu pergantian

produksi satu produk dalam suatu proses

produksi.

Simbol ini menjelaskan keberadaan suatu

inventory diantara dua proses. Ketika

memetakan current state, jumlah inventory

dapat diperkirakan dengan satu perhitungan

cepat, dan jumlah tersebut dituliskan pada

bagian bawah segitiga. Jika terdapat lebih

dari satu akumulasi inventory, masing-

masing inventory hanya menggunakan satu

lambang saja. Lambang ini juga berfungsi

untuk mempresentasikan peyimpanan bagi

raw material dan produk jadi.

Simbol ini digunakan untuk menyatakan

perjalanan material ke proses selanjutnya.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

18

Simbol yang menunjukkan adanya sebuah

persediaan untuk mengatasi masalah seperti

downtime, dan melindungi sistem dalam

mengatasi fluktuasi pemesanan secara

mendadak.

Simbol ini menjelaskan adanya pengiriman

yang dilakukan dari supplier kepada

konsumen dengan menggunakan

pengangkutan eksternal atau diluar pabrik.

Simbol yang mempresentasikan operator,

simbol ini menunjukkan jumlah operator

yang dibutuhkan untuk melakukan proses

produksi.

Simbol yang digunakan sebagai informasi

tambahan atau beberapa hal yang dianggap

penting lainnya.

Simbol yang digunakan untuk menunjukkan

waktu dalam setiap proses di stasiun kerja,

simbol ini mengidentifikasi waktu yang

memberi nilai lebih atau tidak. VA diartikan

sebagai cycle time dan NVA diartikan

sebagai waiting. Simbol ini juga berfungsi

untuk mengetahui berapa lead time sebuah

produk dan total cycle time untuk sebuah

produk yang dihasilkan. Sumber : (Rother & Shook, 2003)

2.7.2 Sustainable Value Stream Mapping (Sus-VSM)

Sus-VSM adalah pengembangan Value Stream Mapping (VSM) yang

dikombinasikan dengan matriks yang sudah ada sebelumnya dengan matriks triple

bottom line yaitu aspek ekonomi, aspek lingkungan dan aspek sosial dengan harapan

Sus-VSM dapat menjelaskan mengenai performa dari perusahaan mengguanakan

ketiga aspek tersebut (Faulkner & Badurdeen, 2014). Langkah -langkah dalam proses

pemetaan aktivitas pada Sus-VSM yaitu:

1. Mengidentifikasikan metrik sustainable manufacturing yang sesuai dengan tipe

industri

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

19

2. Mengukur matrik ekonomi dengan menginput data terkait PPIC, waktu proses,

serta data dari supplier sampai dengan konsumen

3. Mengukur matrik mengenai lingkungan

4. Mengukur matrik sosial

Ketiga matrik diletakkan sejajar secara vertikal dengan contoh seperti gambar 2.4

berikut :

Gambar 2.4 Sustainable Value Stream Mapping

Sumber : (Faulkner & Badurdeen, 2014)

2.7.2.1 Metriks dalam Sustainable Value Stream Mapping

Sustainable manufacturing melibatkan pembuatan produk berkelanjutan

mengguanakn proses dan sistem yang berkelanjutan. Dengan demikian, matrik

berkelanjutan produk, matrik berkelanjutan proses dan matrik berkelanjutan sistem

diperlukan untuk mengevaluasi kinerja sustainable manufacturing secara komprehesif.

Matrik keberlanjtan produk berfokus pada penilaian kinerja dari segi ekonomi,

lingkungan, dan sosial sedangkan matrik keberlanjutan proses harus menilai aspek

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

20

yang sama dari proses individu (Faulkner & Badurdeen, 2014). Pemetaan Sus-VSM

dibutuhkan matrik yang berfungsi untuk mengetahui hasil penilaian dari perusahaan.

Indikator pada Sus-VSM dapat dijabarkan pada tabel 2.3 berikut :

Tabel 2.2 indikator penilaian Sus-VSM

No. Kategori Indikator

1 Ekonomi Waktu

Work in Process

Biaya

Cacat produk

2 Lingkungan Konsumsi material

Konsumsi energi

Konsumsi air

3 Sosial Lingkunga kerja karyawan

Tingkat resiko fisik karyawan Sumber : (Faulkner & Badurdeen, 2014)

2.7.2.2 Metrik Lingkungan

Berdasarkan pentingnya penggunaan sumber daya alam dan sumber daya yang

tidak bisa diperbaharui harus berhati-hati dalam memastikan keberlanjutan dan

menegaskan kebutuhan (Pusavec, Krajnik, & Kopac, 2010). Matrik lingkungan yang

dipetakan pada Sus-VSM antara lain konsumsi penggunaan bahan baku, konsumsi

energi, dan konsumsi penggunaan air.

a. Konsumsi Penggunaan Bahan Baku

Konsumsi penggunaan bahan baku untuk menghasilkan produk, menyumbang

hampir 50% dari biaya pada bidang manufakturing (Sygulla, Bierer, & Götze,

2011). Dalam penggunaan bahan baku sering menghasilkan limbah dalam jumlah

yang besar. Tujuan pemantauan penggunaan bahan baku tidak hanya memeriksa

jumlah bahan baku awal yang digunakan dalam proses produksi akan tetapi jumlah

bahan yang ditambahkan atau dikeluarkan juga harus dalam proses pemeriksaan.

Terdapat alternatif yang dapat dinilai sebagai langkah berkelanjutan yaitu dengan

mendaur ulang untuk energi tambahan dan sumber daya lainnya.

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

21

b. Konsumsi Energi

Konsumsi energi memiliki hubungan langsung dengan kelesterian lingkungan

karena penggunan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan emisi. Oleh

karena itu, konsumsi energi merupakan matrik yang penting yang harus dipetakan

kedalam Sus-VSM. Matrik konsumsi energi bertujuan untuk mengidentifikasi

jumlah energi yang dikonsumsi oleh setiap proses pada proses produksi serta energi

yang dikonsumsi antara proses transportasi atau penyimpanan. Namun, seacara

tidak langsung konsumsi energi meliputi penerangan, pemanasan atau pendingin

gedung, dan energi lain yang dikonsumsi yang tidak bergantung pada jumlah

produk yang diproduksi tidak akan dipetakan kedalam Sus-VSM.

c. Konsumsi Penggunaan Air

Matrik penggunaan air akan menilai jumlah air yang digunakan selama proses

produksi dan mewakili aspek penting yang kemudian akan dievaluasi untuk

perbaikan dari sisi kelestarian lingkungan. Namun, air yang digunakan seperti

bahan kimia cair tidak termasuk, tetapi akan dipertimbangkan sebagai penggunaan

sumber daya atau bahan dalam Sus-VSM.

2.7.2.3 Matrik Sosial

Keberlanjutan perlu untuk melakukam pemeriksaan terhadap dampak dari

lingkungan sosial dengan pertimbangan semua pemangku kepentingaan yang terlibat

selama proses pembuatan produk berlangsung. Mengingat ruang lingkup kegiatan yang

dinilai menggunakan Sus-VSM bagian terpenting dari stakeholder yang terkena

dampak yaitu pekerja. Untuk menilai aspek ini, risiko terhadap kesehatan dan

keselamatan pekerja harus diukur dan dipantau secara teratur. Matrik sosial bertujuan

untuk menilai kondisi kerja dan keselamatan pekerja, serta bertindak sebagai indikator

yang perlu diselidiki lebih lanjut.

2.8 Delphi Methode

Metode delphi pertama kali dikembangkan pada tahun 1950-an oleh Norman

Dalkey dan Olaf Helmer beserta kelompoknya dalam Rand Corporation. Metode

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

22

Delphi merupakan proses berkelompok yang digunakan untuk pengumpulan atau

survei pendapat para ahli dalam bidang tertentu (Yousuf, 2007). Sedangkan menurut

Noly (2018) metode Delphi adalah sebuah modifikasi dari teknik brainwriting dan

survei yang memungkinkan para ahli untuk berdiskusi serta membuat keputusan tanpa

harus bertemu tatap muka. Metode Delphi dapat dikarakteristikkan sebagai metode

berkelompok untuk menyusun sesuatu dengan proses komunikasi sehingga proses akan

menjadi efektif untuk menyelesaikan masalah (Widiasih, Karningsih, &

Ciptomulyono, 2015). Untuk menghindari timbulnya penyimpangan komunikasi

Marimin (2004) menerapkan 5 prinsip dasar pada Metode Delphi, yaitu :

1. Anonim (pengabaian nama)

Kuesioner atau tanggapan tidak menyertakan nama dan anonimitas benar-benar

dijaga.

2. Iterasi

Penialaian setiap individu dikaji kembali kepada seluruh pakar yang berpartisipasi

dalaam dua putaran atau lebih, sehingga memungkinkan adanya perubahan pada

nilai awal.

3. Feedback yang terkontrol

Pengkajian nilai dilakukan dalam bentuk rangkuman jawaban terhadap kuesioner.

4. Jawaban statistik

Rangkuman setiap tanggapan dari tiap pakar disampaikan dalam bentuk median,

interkuartil, dan distribusi frekuensi.

5. Konsensus pakar

Konsensus antara para pakar merupakan hasil akhir dan paling penting.

Ukuran kelompok Delphi tidak bergantung pada kekuatan statistik, tetapi lebih

pada dinamika kelompok untuk mencapai konsensus para pakar. Secara umum,

literatur merekomendasikan 10 sampai 18 pakar pada panel Delphi (Okoli &

Pawlowski, 2004). Atau antara 3 sampai 15 pakar (Rowe & Wright, 1999). Metode

Delphi telah digunakan untuk mengatasi masalah pembangunan berkelanjutan,

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

23

termasuk penentuan bobot indikator dengan menggunakan 12 para ahli (Azevedo &

Barros, 2017) dan green supply chain mengguanakan 8 para ahli (Jiang, Hu, Yen, &

Tsao, 2018).

2.9 Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan metode untuk pengambilan

keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an. Metode ini

merupakan model pendukung untuk menyelesaikan masalah Multi Criteria Decission

Making (Kilincci & Onal, 2011). Menurut Basak and Saaty (1993) hirarki merupakan

representasi dari permasalahan dalam suatu struktur multi level dimana level pertama

merupakan tujuan, kemudian diikuti level faktor, kriteria dan sub kriteria hingga level

terakhir dari alternatif.

Menurut Nurdiyanto and Meilia (2016) Metode AHP digunakan untuk pemecahan

masalah kompleks dibandingkan dengan metode lain karena beberapa alasan yaitu :

1. Terdapat struktur hierarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang terpilih sampai

dengan sub kriteria yang paling detail.

2. Memperhitungkan validasi hingga batas toleransi sebagai kriteria dan alternatif

yang digunakan oleh pengambil keputusan.

3. Memperhitungkan output analisis sensitifitas pengambilan keputusan.

Dalam penentuan bobot kriteria, ditentukan berdsarkan rumus pada skala prioritas

tingkat kepentingan kriteria (Saaty, 2001). Berikut ini merupakan tahapan untuk

memilih keputusan terpenting (Bahmani, Javalgi, & Blumburg, 2015) :

1. Mendefinisikan mengenai kriteria yang dijadikan sebagai tolak ukur penyelesaian

masalah dan juga menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria.

2. Menentukan prioritas elemen yang dimulai dengan pembuatan matriks

perbandingan berpasangan lalu mengisi matriks tersebut menggunakan bilangan

untuk mempresentasikan kepentingan relatif.

3. Melakukan perhitungan nilai matriks normalisasi dengan rumus sebagai berikut :

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

24

Ai,j = 𝑊𝑖

𝑊𝑗 , i , j = 1,2,…,n (1)

Ai,j = 𝐴𝑖𝑗

max 𝐴𝑖𝑗 (2)

Aij = ∑iAij (3)

Wij = 𝐴𝑖𝑗

𝑛 (4)

Dimana :

Wij = Nilai pembobotan

Aij = Matriks normalisasi

4. Menghitung nilai eigenvector, dengan rumus sebagai berikut :

λ max = ∑Aij (5)

5. Menghitung nilai consistency index dan consistency ratio

CI = 𝜆 max − 𝑛

(𝑛−1) (6)

CR = 𝐶𝐼

𝑅𝐼 (7)

Dimana :

λ max = Eigenvector maksimum

n = Jumlah matriks

CI = Konsistensi indeks

CR = Konsistensi ratio

RI = Random Konsistensi indeks

Berikut ini merupakan tingkat kepentingan dan nilai konsistensi rasio dengan nilai

random indexnya :

Tabel 2.3 nilai tingkat kepentingan

No. Nilai

Kepentingan

Keterangan

1 1 Sama pentingnya

2 3 Cukup penting (1 level lebih penting dibandingkan

dengan alternatif lainnya)

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

25

3 5 Lebih penting (2 level lebih penting dibandingkan

dengan alternatif lainnya)

4 7 Sangat lebih penting (3 level lebih penting

dibandingkan dengan alternatif lainnya)

5 9 Mutlak lebih penting ( 4 level lebih tinggi

dibandingkan dengan level tertingginya)

6 2,4,6,8 Nilai tengah dari pertimbangan kriteria Sumber : (Kusrini, 2007)

Tabel 2.4 nilai random index (RI)

No. Jumlah n Kriteria Rin

1 2 0

2 3 0,58

3 4 0,90

4 5 1,12

5 6 1,24

6 7 1,32

7 8 1,41

8 9 1,45

9 10 1,49

10 11 1,51

11 12 1,48

12 13 1,56

13 14 1,57

14 15 1,59 Sumber : (Shega, Rahmawati, & Yasin, 2012)

6. Menguji nilai konsistensi

Menurut Saaty (2001) jika nilai CR < 10% untuk standar data dinyatakaan

konsistensinya dan nilai CR > 10% maka data tidak konsistensi, sehingga

diperlukan pengambilan ulang data untuk perbandingan berpasangan.

7. Menyusun ranking prioritas yang didasarkan pada nilai bobot (weighted score)

tertinggi.

2.10 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah sebuah metode untuk

mengevaluasi keggalan yang terjadi pada suatu sistem, desain, proses, atau pelayanan

(Puspitasari & Martanto, 2014). Evaluasi kegagalan dilakukan dengan cara pemberian

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

26

nilai kepada masing-masing moda kegagalan berdasarkan atas tingkat kejadian

(occurrence), tingkat keparahan (severity), dan tingkat deteksi (detection).

Tujuan dari FMEA yaitu untuk menentukan tingkat risiko dari setiap kegagalan

yang terjadi sehingga diperoleh keputusan untuk mengambil suatu tindakan. FMEA

dapat digunakan untuk mengurangi kerugian pada perusahaan yang timbul akibat

kegagalan, baik pada proses produksi maupun pada saat produk digunakan oleh

pengguna.

Menurut (Ookalkar, Joshi, & Ookalkar, 2009) terdapat beberapa tahapan untuk

mengolahan data menggunakan metode FMEA, yaitu :

1. Mengidentifikasi moda kegagalan potensial dan efek yang didapatkan sehingga

muncul tingkat keparahan (severity). Severity dilakukan untuk menganalisa risiko

dengan menghitung besarnya intensitas kejadian (de Souza & Carpinetti, 2014).

2. Mengidentifikasi penyebab kegagalan potensial untuk mengetahui tingkat kejadian

(occurrence) kegagalan assembly line (Rakesh & Jos, 2013).

3. Mengidentifiksi pengendalian yang dilakukan perusahaan untuk mengetahui

tingkat deteksi (detection).

Untuk mengisi ranking pada data FMEA diperoleh dari proses brainstorming yang

terdiri dari pemberian ranking saverity (S), occurance (O), dan detection (D) pada

tiap kegagalan yang terjadi. Ranking tersebut digunakan (Stamatis, 2003) untuk

menghitung Risk Priority Number (RPN) dengan rumus :

RPN = Severity (S) × Occurance (O) × Detection (D)………… (1)

Nilai severity merupakan penilaian pada tingkat ketelitian pada proses yang akan

diidentifikasi. Nilai occurance merupakan nilai probabilitas kegagalan yang terjadi.

Nilai detection merupakan peluan terjadinya kegagalan yang dapat dideteksi

sebelum terjadinya sebuah kegagalan.

Range pemberian nilai dimulai dari angka 1 sampai 10, dengan tingkat

kegagalan yang berbeda-beda. Semakin kecil nilai semakin kecil pula tingkat

kegagalannya. Setiap pekerja atau anggota yang terkait harus paham mengenai

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

27

pemberian score beserta keterangan yang telah ditentukan (Prayogi, Sari, &

Arvianto, 2016).

Tabel 2.5 nilai ranking pada severity

Rank Kriteria

1 Minor Tidak menerima kegagalan yang menyebabkan

efek nyata pada produk atau layanan.

Konsumen mungkin tidak akan menyadari

kegagalan tersebut.

2-3 Low Tingkat kepararahan tergolong rendah dan

menimbulkan sedikit keluhan pada konsumen.

4-6 Moderate Tingkat keparahan sedang yang dapat

menyebabkan konsumen memiliki

ketidakpuasan. Dapat menimbulkan perbaikan

karena kerusakan.

7-8 High Tingkat ketidakpuasan konsumen yang tinggi

yang berasal dari kenyamanan operasional. Hal

ini dapat menyebabkan gangguan pada proses

selanjutnya.

9-10 Very High Tingkat keparahan yang sangat tinggi.

Kegagalan ini mempengaruhi keselamatan dan

faktor ketidakdisiplinan. Sumber : (McDermott, Mikulak, & Beauregard, 2009)

Tabel 2.6 nilai rating pada Occurance

Rating Kriteria

1 Unlikely Kegagalan yang tidak mungkin

2 Very Low Kegagalan kemungkinan terhambat karena

proses dalam kontrol statistik

3 Low Kegagalan kemungkinan terhambat, namun

terkadang terjadi karena proses dalam kontrol

statistik

4-6 Moderate Kegagalan sesekali terjadi namun tidak dalam

jumlah yang besar karena proses dalam kontrol

statistik

7-8 High Kegagalan sering dialami karena proses tidak

dalam kendali statistik

9-10 Very High Kegagalan yang tidak bisa dihindari Sumber : (McDermott et al., 2009)

Tabel 2.7 nilai rating pada Detection

Rating Kriteria

1 Very High Kecacatan yang fungsional jelas dan mudah

dideteksi. Keandalan deteksi setidaknya

sebesar 99,99%

2 - 5 High Keandalan deteksi sebesar 99,80%

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

28

6 - 8 Moderate Kecacatan mudah diidentifikasi, keandalan

deteksi setidaknya sebesar 98,00%

9 Low Kecacatan halus, keandalan deteksi lebih dari

90%

10 Very Low Kecacatan item yang tidak dapat diperiksa.

Seringkali kecacatan itu muncul selama proses

atau layanan. Keandalan deteksi 90% atau

kurang Sumber : (McDermott et al., 2009)

2.11 Root Cause Analysis (RCA)

Root Cause Analysis (RCA) adalah proses pemecahan masalah untuk melakukan

investigasi kedalam suatu masalah atau ketidaksesuaian yang ditemukan. RCA

membutuhkan investigator untuk menemukan solusi mengenai masalah dan

mengidentifikasi penyebab atas dasar masalah yang ada. Oleh karena itu pengolahan

proses, prosedur, kegiatan, perilaku dan kondisi akan dilibatkan pada proses

identifikasi (Consortium, 2012).

2.12 Kajian Terdahulu

Berikut ini merupakan penelitian terdahulu oleh peneliti yang membahas mengenai

teori penilaian berkelanjutan :

Tabel 2.8 Kajian terdahulu

No. Penulis Metode Hasil

1 Singh, Murty,

Gupta, and Dikshit

(2009)

Sustainability assesment dengan

Triple Bottom Line

Penelitian ini membahas mengenai

gambaran tentang indeks

keberlanjutan yang digunakan untuk

mengukur pengembangan

keberlanjutan. Tiga langkah utama

yang dilakukan yaitu normalisasi,

pembobotan, dan agresi. Hasil dari

penelitian ini yaitu evaluasi dapat

mengubah waktu proses sesuai

dengan kepentingan tertentu.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

29

2 Ghosh (2013) Lean Manufacturing, Delphi

method, dan Total Productive

Maintenance

Implementasi lean manufacturing

pada industri di India

mengguanakan enam matriks

operasi yaitu output lintasan,

pengurangan lead time, peningkatan

produktivitas, pengurangan

persediaan, pengurangan biaya, dan

pengurangan ruang penyimpanan.

Penelitian ini berhasil mengurangi

waktu tunggu dan meningkatkan

produktivitas

3 Caldera, Desha,

and Dawes (2017)

Penerapan Lean and Green

Thinking

Metode lean digunakan untuk

mengelola perusahan agar lebih baik

lagi. Industri manufaktur

mengidentifikasi peluang lean

thinking tidak hanya untuk

kemajuan pada bidang manufaktur

saja tetapi juga untuk memenuhi

tanggung jawab mereka terhadap

lingkungan

4 Duarte and Cruz-

Machado (2017)

Balance Scorecard (BSC)

berdasarkan lean and green

Pengusulan kerangka penilaian

untuk mengevaluasi bisnis dalam

hal penerapan industri hijau dan

ramping. Penelitian ini

menggunakan kerangka penilaian

untuk mengevaluasi rantai pasok

dalam hal penerapan penerapan

green and lean dalam industri

otomotif.

5 (Azevedo &

Barros, 2017)

Sustainability framework dan

metode delphi

Pengusulan kerangka kerja dengan

aspek triple bottom line yang

meliputi ekonomi, sosial, dan

lingkungan. Perusahaan

mengidentifikasi tiap indikator

keberlanjutan dengan metode

delphi untuk menilai tingkat

keberlanjutan baik proses produksi

maupun rantai pasok yang sesuai.

6 (Faulkner &

Badurdeen, 2014)

Sustainable Assesment, Sustainable

Value Stream Mapping (Sus-VSM)

Penilaian pada perusahaan

manufaktur penghasil parabola.

Pada 7 tahapan proses produksi

menghasilkan total value added

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

30

sebesar 32 menit dengan waiting

time sebesar 288 menit. Pada aspek

ekonomi terdapat 35% material

yang hilang sebagai sisa dari hasil

produksi. Diketahui terjadi

pemborosan pada konsumsi air

sebanyak 64 galon, konsumsi energi

material sebanyak 2,5 lbs.

7 (Chiarini, 2014) Value Stream Mapping, Total

Productive Maintenance, 5S,

Cellular Manufacturing, SMED

Hasil dari penelitian ini

mengungkapkan dampak positif

terkait konsumsi listrik secara

umum serta standarisasi kegiatan

dan perilaku pekerja. Kemurnian

dari penelitian ini terletak pada

pengamatan dan pengukuran

dampak lingkungan dari penerapan

lima alat tersebut untuk proses

penghijauan yang berbasis green.

8 (Garza-Reyes,

2015)

Lean-green, dan Eco-Sustainability Penelitian ini mengidentifikasi 6

aliran pada bidang lean dan green.

Hasilnya didapati beberapa

indikator untuk mengembangkan

manufaktur yang berkalanjutan.

Para pekerja juga termotivasi untuk

menggunakan strategi efektif yang

berkelanjutan.

9 (Garza-Reyes,

Romero,

Govindan,

Cherrafi, &

Ramanathan,

2018)

PDCA dan Environmental Value

Stream Mapping (E-VSM)

Pendekatan berbasis PDCA yang

diusulkan untuk E-VSM dapat

menjadi alternatif efektif untuk

mengingkatkan kinerja operasi

hijau. Penelitian ini bertujuan untuk

berkontribusi dengan menginspirasi

para manajer operasi yang mungkin

ingin membuat operasi organisasi

mereka lebih berkelanjutan dan

ramah lingkungan.

10 (Kloepffer, 2008) Life Cycle Assesment (LCA) dan

Life Cycle Costing (LCC)

LCA dan LCC penting untuk

mempertahankan keunggulan pada

aspek ekonomi dan sosial.

Mengingat suatu penilaian sangat

penting dilakukan untuk perusahaan

manufaktur, maka metode ini

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

31

sebagai penilaian untuk

meningkatkan kualitas perusahaan.

11 (Graymore, Sipe,

& Rickson, 2008)

The five sustainability assesment

methods dan region scale

Penilaian dengan pengukuran

ecological footprint, wellbeing

assesment, ecosyste health, quality

of life, dan natural resource

availability digunakan untuk

tercapainya keberlanjutan pada

proses produksi. Hasilnya tidak ada

satupun yang dianggap efektif

karena data yang dikumpulkan tidak

lengkap namun peneliti

menyarankan dengan menggunakan

penialaian kesejahteraan.

12 (Saad, Nazzal, &

Darras, 2019)

Triple Bottom Line, Analitycal

Network Process (ANP) dan

Analitycal Hierarchy Process

(AHP)

Penilaian dilakukan untuk

mengembangkan kerangka kerja

sistematis dan komprehesi baru

untuk penilaian yang berfokus pada

3 aspek. Penelitian ini menyajikan

beberapa formula untuk menghitung

hasil tiap indikator dan diharapkan

dapat memberikan alternatif

perbaikan sesuai dengan prioritas

masalah.

13 (Ren, Liang, &

Chan, 2017)

Multi criteria decision making

(MCDM) dan TOPSIS

Hasil MCDC untuk mengolah

lumpur limbah di Kota bagian

selatan Cina mengguanakan 3

teknologi yaitu penimbunan,

pengomposan, dan pengeringan.

Jumlah total limbah yang ada yaitu

sekitar 50 ton pertahun. MCDC

terbukti dapat menentukan solusi

dan membandingkan solusi untuk

membuat keputusan yang tepat.

14 (Agusti, 2017) Sus-VSM dan Life Cycle Assesment

(LCA)

Hasil identifikasi waste menunjukan

hasil pemborosan air mencapai

127% dari SNI sedangkan dari

aspek lingkungan, dampak

lingkungan sebesar 94% disebabkan

oleh bahan baku pelumas yaitu

Crude Oil. Diusulkan alternatif

perbaikan dengan menerapkan

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

32

sumber alternatif air melalui

Rainwater Harvesting dan alternatif

crude oil yaitu Soybean Oil.

15 (Djatna &

Prasetyo, 2019)

Sus-VSM, Life Cycle Assesment

(LCA), dan 5Whys

Penyebab utamanya yaitu

permasalahan permesinan arean

pengisian dan faktor kedisplinan

operator. Perbaikan yang diusulkan

berhasil mengurangi lead time dan

meminimalkan produk cacat.

16 (Sparks, 2014) Sus-VSM, Desain of Experiments

(DOE), dan Supply Chain Sus-VSM

Penelitian ini bertujuan untuk

memperluas fungsi dari Sus-VSM

dengan memasok jaringan lantai

produksi dan memeriksa manfaat

dari penerapan simulasi Design of

Experiments (DOE). Matrik yang

diidentifikasi yaitu menilai dari segi

ekonomi, lingkungan dan sosial

yang kemudian peneliti

mengembangkan Supply Chain Sus-

VSM untuk memungkinkan

identifikasi lokasi dimana

keberlanjutan dapat ditingkatkan.

17 (Purnama, 2018) Sus-VSM, VALSAT, dan kaidah

Kaizen

Menganala aktivitas produksi dan

memberikan usulan perbaikan

melalui pendekatan Sus-VSM dan

VALSAT. Hasil yang diperoleh

yaitu terjadi pengurangan waktu

produksi sebesar 37,97% dan

meningkatkan aktivitas value added

sebesar 84,75%. Perbaikan yang

dilakukan dengan perubahan tata

letak dan usulan kaizen.

18 (Azevedo &

Barros, 2017)

SC’Sustainaible, metode delphi dan

Simple Additive Weighting (SAW)

Penelitian ini mengidentifikasi tiap

dimensi keberlanjutan. Lalu

menentukan bobot tiap dimensi dan

membuat kerangka kerja yang

sekiranya dapat diimplementasikan

sebagai pemantauan program kerja

dan manajemen perusahaan.

19 (Vippianto, 2017) Sus-VSM, dan SC’Sustainability Berdasarkan aspek ekonomi, sosial

dan lingkungan yang terpilih

sebanyak 11 matrik diantaranya

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sustainable Manufacturing

33

yaitu lead time, value added time,

availability of logistics, cost

associated with EHS, penggunaan

energi, material usage, days of

employee training, work job

satisfaction, local community

hiring, dan average length service of

employee. Hasil penelitian

menunjukkan perusahaan memiliki

indeks sustainability dengan score

57,76 (range 1-100) yang

merupakan kategori highly fair yang

berarti perlu adanya perbaikan.

20 (Zain &

Wicaksono, 2019)

Sustainable Manufacturing, Sus-

VSM, Net Present Value

Fokus penelitian memilih stuffing

karena memiliki masalah terbanyak

yaitu dimulai dari performa

ekonomi yaitu nilai tertinggi pada

kepuasan pekerja yang buruk

(46,47%). Analisis stacker dengan

Net present value menghasilkan

penghematan sebesar

Rp.23.846.757.