Upload
trantruc
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan tentang Pendidikan Kewarganegaraan
1. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan
Secara bahasa, istilah “Civic Education” oleh sebagian pakar
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan
Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah “Pendidikan Kewargaan” diwakili oleh
Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) dari Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta, sebagai pengembang Civic Education pertama di
perguruan tinggi. Penggunaan istilah “Pendidikan Kewarganegaraan” diwakili
oleh Winataputra dkk dari Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education),
Tim ICCE (2005: 6)
Menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), mengemukakan
bahwa Citizenship education or civics education didefinisikan sebagai berikut:
Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process. Dari defenisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan
generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai
warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya
persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara
tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational
17
course work in school designed to prepare young citizens for an active role in
their communities in their adult lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran
dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar
kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.
Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) mengemukakan bahwa pengertian
Pendidikan Kewarganegaraan adalah:
Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Sementara itu, PKn di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta
didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten
untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakikat
negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara
kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada
semangat kebangsaan atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk
membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama, walaupun
warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya.
(Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia/BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI).
Pendidikan kewarganegaraan menurut Depdiknas (2006:49), adalah mata
pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami
dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga
18
negara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh
Pancasila dan UUD 1945. Lebih lanjut Somantri (2001:154) mengemukakan
bahwa:
PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara agar dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Menurut Branson (1999:4) civic education dalam demokrasi adalah
pendidikan – untuk mengembangkan dan memperkuat – dalam atau tentang
pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti
bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak
hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain.
Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain
(Somantri, 2001:158):
a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.
b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional. c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan. d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu
Kewarganegaraan. e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan
negara serta sejarah perjuangan bangsa. f. Kegiatan dasar manusia. g. Pengertian pendidikan IPS
Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn.
Karena pengembangan pendidikan kewarganegaraan akan mempengaruhi
pengertian PKn sebgai salah satu tujuan pendidikan IPS.
Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS
yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik
19
dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut
(Somantri, 2001:159):
Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuanpendidikan IPS.
Beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai pendidikan
kewarganegaraan antara lain (Somantri, 2001:161):
a. PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (intergrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.
b. PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, Pancasila, UUD 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.
c. PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusa PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.
d. Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD1945, GBHN, filsasat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan, (iv) evaluasi.
e. PKn menitikberatkan pada kemempuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good citizen)dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs).
f. Dalam kepustakan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasannya ialah “seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi.
Pendapat di atas menjelaskan bahwa betapa pentingnya PKn untuk siswa
sebagai generasi penerus, karena PKn menggiring untuk menjadikan siswa sadar
20
akan poltik, sikap demokratis dan sebagai mata pelajaran yang wajib di belajarkan
di sekolah.
PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa membantu siswa
memilih sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang
akan ditampilkan dalam perilakunya. Seperti yang diungkapkan Suwarma Al-
Muchtar dalam Hand Out Strategi Belajar Mengajar (2001:33), mengemukakan
bahwa:
Pendidikan nilai bertujuan untuk membantu perilaku peserta didik menumbuhkan dan memperkuat sistem nilai dipilihnya untuk dijadikan dasar bagi penampilan perilakunya. Pendidikan nilai bertumpu pada pengembangan sikap (afektif) oleh karena itu berbeda dengan belajar mengajar dengan pendidikan kognitif atau psikomotor. Pendidikan nilai secara formal di Indonesia diberikan pada mata pelajaran PPKn yang merupakan pendidikan nilai Pancasila agar dapat menjadi kepribadian yang fungsional.
2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang
bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik
tingkat lokal, negara bagian, dan nasional. Tujuan pembelajaran PKn dalam
Depdiknas (2006:49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut:
a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
21
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pembelajaran PKn, secara umum
mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam
lingkungan lokal, regional maupun global. Sedangkan Tujuan PKn menurut oleh
Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut :
a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu : “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan tujuan PKn yang telah dikemukakan di atas, dapat
diasumsikan pada hakekatnya dalam setiap tujuan membekali kemampuan-
kemampuan kepada peserta didik dalam hal tanggung jawabnya sebagai warga
negara, yaitu warga negara yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, berpikir kritis, rasional dan kreatif, berpartisipasi dalam kegiatan
masyarakat, berbangsa dan bernegara membentuk diri berdasarkan karakter-
karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.
Sedangkan menurut Sapriya (2001), tujuan pendidikan kewarganegaraan
adalah :
22
Partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat. Berdasarkan pendapat tersebut bahwa, PKn memiliki tujuan agar siswa
memiliki pengetahuan tentang poltik sebelum terjun dalam prosesnya. Untuk itu
melalui PKn siswa dididik agar memahami tentang politik. Pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan sebuah pembelajaran yang berusaha
membina para siswa menjadi manusia di masa depan yang akan hidup dengan
nilai-nilai dari Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta mengemban misi
nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi
warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang
patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis...,
Pancasilasejati” (Somantri, 2001:279). Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah
sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan
dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila
dan UUD 1945.
23
Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja,
maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi:
a. Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori.
b. Keterampilan intelektual: 1) Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang
kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;
2) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahuii masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan mneganalisis data, (e) keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan meruumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.
c. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan.
d. Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari, Dufty (Numan Somantri, 1975:30). Mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.
Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan :
a. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup negara RI.
b. Melek konstitusi (UUD 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.
c. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir diatas.
d. Mengamalkan dan membakukan hal-hal diatas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.
Secara umum, menurut Bunyamin M dan Sapriya (2005:30) bahwa,
Tujuan negara mengembangkan Pendiddikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan
24
tanggung jawab (civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa PKn sebagai
program pengajaran tidak hanya menampilkan sosok program dan pola KBM
yang hanya mengacu pada aspek kognitif saja, melainkan secara utuh dan
menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan psikomotor. Selain aspek-aspek
tersebut PKn juga mengembangkan pendidikan nilai.
3. Konteks Kelahiran dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia
Istilah Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mengalami
perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Pendidikan
Kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama Civic Education di USA
menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke waktu.
Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagi
berikut (Sumantri, 1975:31):
a. Civics (1790) b. Community Civics (1970, A.W. Dunn) c. Civic Education (1901, Harold Wilson) d. Civic-Citizenship Education (1945, John Mahoney) e. Civic-Citizenship Education (1971, NCSS)
Pelajaran Civics mulai diperkenalkan pada tahun 1790 di Amerika Serikat
dalam rangka “meng-Amerikakan” bangsa Amerika atau terkenal dengan “theory
of Americanization”. Penerbitan majalah “The Citizen” dan “Civics”, pada tahun
1886, Henry Randall Waite merumuskan Civics dengan “the science of citizenship
25
– the relation of man, the individual, to man in organized collections – the
individual in his relation to the state, Creshore, Education” (Somantri, 1975:31).
Penjelasan mengenai Civics menpunyai kesamaan yang sama yaitu
membahas mengenai “government”, hak dan kewajiban sebagi warga negara.
Akan tetapi, arti Civics dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi
“goverment” saja, kemudian dikenal istilah Community Civics, Economic Civics,
dan Vocational Civics.
Gerakan “Community Civics” pada tahun 1970 dipelopori oleh W.A.
Dunn adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari-
hari dalam hubungannya dengan ruang ringkup lokal, nasional maupun
internasional. Gerakan “community civics” disebabkan pula karena pelajaran
civics pada waktu itu hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah saja, akan
tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial.
Selain gerakan community civics, timbul pulagerakan civic education atau
banyak disebut sebagai Citizenship Education. Ruang lingkup Civics Education
(Somantri, 1975:33), antara lain:
a. Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah. b. Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar,
yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis.
c. Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat obyektif hidup bernegara.
NCSS (Somantri, 1975:33) merumuskan mengenai Citizenship Education
sebagai berikut:
Citizenship Education is a proses comprising all the positive influences which are intended to shape a citizens view to his role in society. It comes
26
partly from formal schooling, partly from parental influences and partly from learning outside the classroom and the home. Trough Citizenship Education, our youth are helped to gain an understanding of our national ideas, the common good, and the process of self goverment. Dari defenisi tersebut dapat ditarik kesimpulan cakupan PKn lebih luas,
karena bahannya selain mancakup program sekolah juga meliputi pengaruh
belajar diluar kelas, dan pendidikan di rumah. Selanjutnya PKn digunakan untuk
membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita-cita nasional /tujuan
negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang bertanggung jawab dalam
menyelsaikan masalah pribadi, masyarakat dan negara. Unsur-unsur Civic
Education yang dapat menjadi acuan bagi para pelajar, antara lain: Mengetahui,
memahami dan mengapresiasikan cita-cita nasional; dan dapat membuat
keputusan-keputusan yang cerdas.
Kuhn (Winataputra dan Budimansyah, 2007:71) mengemukakan bahwa,
perkembangan istilah Civics dan Civic Education di Indonesia terjadi pada tahun :
1. Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara.
2. Civics (1962), tampil dalam bentuk indoktrinasi politik. 3. Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan
kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial.
4. Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS.
5. Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikkan dengan pengajaran IPS.
6. Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4.
7. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.
27
4. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan
Sebagaimana lazimnya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah,
materi Pendidikan Kewarganegaraan menurut Branson (1999:4) harus mencakup
tiga komponen, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic
Skills (keterampilan kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak-watak
kewarganegaraan). Komponen pertama, civic knowledge “berkaitan dengan
kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara” (Branson,
1999:8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang
dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan
demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian
multidisipliner. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan
meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi
manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non-
pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan
peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-
norma dalam masyarakat.
Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills)
dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam
merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD.
Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan
kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas
terjadinya kejahatan yang diketahui.
28
Ketiga, Civic Disposition (Watak-watak kewarganegaraan), komponen ini
sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata
pelajaran PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai
"muara" dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan
visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai
dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang
bersifat afektif.
Berdasarkan rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan antara lain menyatakan bahwa kurikulum
untuk jenis pendidikan umum, pada jenjang pendidikan menengah, terdiri atas
lima kelompok mata pelajaran. PKn termasuk dalam kelompok mata pelajaran
Kewarganegaraan dan Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan
untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Di dalam UU Nomor 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan wajib dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah. Dalam penjelasan pasal 37 Ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional, menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
29
5. Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan
Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu
didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya
yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi
sekolah atau daerah. Dengan demikian, sekolah atau daerah memiliki cukup
kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar,
dan penilaian hasil pembelajaran.
Untuk itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh daerah karena sebagian
besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan
dilaksanakan oleh sekolah atau daerah. Sekolah harus menyusun kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau silabusnya dengan cara melakukan
penjabaran dan penyesuaian Standar Isi dan Standar Kompentensi Lulusan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan dijelaskan:
• Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi (Pasal 6 Ayat 6)
• Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertangung jawab terhadap pendidikan untuk TK, SMP, SMA, dan SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK (Pasal 17 Ayat 2)
• Perencanan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan
30
pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Pasal 20).
Bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk
dalam pembelajaran PKn. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Depdiknas, 2006:49) :
a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan Jaminan keadilan
b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional
c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, Penghormatan dan perlindungan HAM
d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara
e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi
f. Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi
g. Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka
h. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesiadi era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.
31
B. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
1. Prinsip Dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Prinsip dasar pembelajaran PKn mengacu pada sejumlah prisip dasar
pembelajaran. Menurut pendapat Budimansyah (2002:8) prinsip-prinsip
pembelajaran tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning),
kelompok belajar kooperatif (cooperaitive learning), pembelajaran partisipatorik,
dan mengajar yang reaktif (reaktive learning). Selanjutnya keempat prinsip
tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah, 2002 : 8 - 13).
1. Prinsip Belajar Siswa Aktif
Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktifitas siswa hampir di
seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan
lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlihat pada
saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain
storming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya,
disamping tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah
terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian
kelas.
Dalam fase kegiatan lapangan, aktifitas siswa lebih tampak. Dengan
berbagai teknik (misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuesioner, dan lain-
lain) mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab
permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan
informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, membuat kliping,
bahkan adakalanya mengabadikan peristiwa penting dalam video.
32
2. Kelompok Belajar Kooperatif
Proses pembelajaran PKn juga menerapkan prinsip belajar kooperatif,
yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama yang dimaksud
adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah,
termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait.
Kerjasama antar siswa jelas terlihat pada saat kelas sudah memilih satu masalah
untuk bahan kajian bersama.
Dengan komponen-komponen sekolah lainnya juga seringkali harus
dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat para siswa hendak mengumpulkan data
dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya dengan
jadwal latihan olah raga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah.
Kasus seperti itu memerlukan kerjasama, walaupun dalam lingkup kecil dan
sederhana. Hal serupa juga seringkali terjadi dengan pihak keluarga. Orang tua
perlu juga diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak terlambat dari
sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari
peristiwa ini pun tampak perlunya kerjasama antara sekolah dengan orang tua
dalam upaya membangun kesepahaman.
Kerjasama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa
merencanakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan yang
menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi dinas
perparkiran. Mengunjungi kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui
kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima. Mengamati dampak
pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya.
33
Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah
selaku penanggungjawab kegiatan sekolah.
3. Pembelajaran Partisipatorik
Selain prinsip pembelajaran di atas PKn juga menganut prisip dasar
pembelajaran partisipatorik, sebab melaui model ini siswa belajar sambil
melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa
belajar hidup berdemokrasi. Sebab dalam tiap langkah model ini memiliki makna
yang ada hubungannya dengan praktik hidup berdemokrasi.
Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih
makna bahwa siswa dapat menghargai dan menerima pendapat yang didukung
suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar
mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan
kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin.
Proses ini mendukung adagium yang menyatakan bahwa “democracy is not in
heredity but learning” (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan
dialami). Oleh karena itu, mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang
demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat
dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan
prinsip belajar partisipatorik.
4. Reactive Teaching
Dalam prinsip ini lebih menekankan bagaimana guru menciptakan strategi
agar murid mempunyai motivasi belajar. Oleh karena itu guru harus situasi
sehingga materi pembelajaran menarik, tidak membosankan. Guru harus
34
mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan
pembelajaran sudah membosankan siswa jika hal ini terjadi, guru harus segera
mencari cara untuk menanggulanginya. Inilah tipe guru yang reaktif itu.
Ciri guru yang reaktif itu diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.
b. Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan
dipahami siswa.
c. Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan
membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan
berguna bagi kehidupan siswa.
d. Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat
siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.
2. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran merupakan subtansi yang akan disampaikan dalam
proses pembelajaran (Djamarah dan Zain, 2002:50). Materi pembelajaran
merupakan komponen penting dalam semua proses pembelajaran, termasuk proses
pembelajaran PKn. Tanpa materi pembelajaran, proses pembelajaran tidak akan
berjalan. Materi pembelajaran dapat berupa fakta, konsep, prinsip maupun
prosedur (Sadirman, 2003:162).
Guru mempunyai tugas yang penting dalam mengembangkan dan
memperkaya materi pembelajaran, karena hal tersebut merupakan salah satu
35
faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran, yaitu:
1) Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
2) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa pada umumnya.
3) Materi pembelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan.
4) Meteri pembelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat tekstual maupun kontekstual (Djamarah dan Zain, 2003:51).
Berdasarkan hal tersebut, maka materi pembelajaran PKn harus mengacu
pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang dibelajarkan harus bermakna
bagi siswa dan merupakan bahan-bahan yang benar-benar penting, baik dilihat
dari kompetensi yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk menentukan materi
pada proses pembelajaran berikutnya.
3. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia yang dalam konteks
internasional (Kerr, 1999) dikategorikan ke dalam kelompok citizenship education
Asia-Afrika yang masih berada pada titik Minimal yakni education about
citizenship sudah seharusnya menggunakan strategi progresif menuju titik
Maksimal, yakni education for citizenship melalui titik median education through
citizenship. Untuk itu pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu academic
endeavor (CICED, 1999) atau sebagai bidang kajian dan pengembangan
pendidikan disiplin ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada kajian ilmiah
tentang civic virtue dan civic culture (Quigley, 1991) atau keberadaban dan
36
budaya kewarganegaraan dalam konteks pengembangan civic intelligence dan
civic participation (Quigley, 1991; Cogan, 1999).
Menurut Paino (2007:35) mengemukakan bahwa:
Sebagian besar guru dalam proses pembelajarannya hanya menggunakan buku teks, belajar hanya di dalam kelas, guru bertindak sebagai pemberi informasi tunggal, dan peserta didik sebagai objek atau pendengar yang baik. Akibatnya mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dianggap sebagai mata pelajaran hafalan, yang penting peserta didik dapat dalil politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan setia tanpa logika terhadap penguasa, tanpa mengkaitkan materi/konsep dengan kehidupan masyarakat secara nyata. Kondisi semacam ini bukanlah menjadi kesalahan guru semata, karena
mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang pada prinsipnya dipengaruhi
atau tidak terlepas dari pengaruh rezim yang berkuasa. Target pembelajaran mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan selama ini dititik beratkan pada
pembekalan/pembinaan yang bersifat hafalan, materinya terdiri atas doktrin
negara, sistem politik, norma yuridis formal, tugas-kewajiban, dan tanggung
jawab warganegara yang akhirnya menjadi suatu tatanan dari sejumlah kewajiban/
keharusan.
Pola prosedurnya pun, menurut Djahiri benar-benar terkontrol terkendali
menjurus pada proses “penjinakan“ (domesticating) potensi dan kehidupan siswa/
masyarakat, jadi bukan kearah memberi kemudahan, kelancaran, berhasilan
(fasiliting) proses internalisasi, personalisasi substansi serta pembinaan dan
pengembangan potensi diri atau kemampuan belajar (condituining learning skills).
CICED (1999: 56).
Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma dari guru-guru dalam
menyikapi hal tersebut, seperti guru lebih bersifat terbuka, merubah pandangan
37
terhadap strategi pembelajaran bahwa peserta didik bukan hanya belajar tentang
konsep pendidikan kewarganegaraan melainkan juga belajar ber-PKn atau praktik
seperti yang telah dikemukakan di atas. Guru hendaknya memusatkan kegiatan
belajar pada peserta didik (student center), untuk itu guru berperan sebagai
fasilitator, yaitu pemberian kemudahan bukan sebagai sosok yang tahu segalanya
(manusia serba bisa/tahu). Pembelajaran bukan hanya berdasarkan pada buku teks
dan terkekang dalam kelas saja, namun memanfaatkan berbagai sumber belajar
seperti yang telah dipaparkan di bagian depan. Selain itu, yang tak kalah
pentingnya guru hendaknya kembali memahami/mengkaji ulang tentang makna
dan hakekat mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Djahiri (CICED, 1999:6) mengemukakan strategi pembelajaran yang
hendak dilakukan guru adalah sebagai berikut.
a. Membina dan menciptakan keteladanan, baik fisik dan material (tata dan aksesoris kelas/sekolah), kondisional (suasana proses KBM) maupun personal (guru, pimpinan sekolah dan tokoh unggulan)
b. Membiasakan/membakukan atau mempraktekkan apa yang diajarkan mulai di kelas-sekolah-rumah- dan lingkungan belajar.
c. Memotivasi minat, gairah untuk melibatkan dalam proses belajar, untuk kaji lanjutannya dan mencobakan serta membiasakannya.
Strategi seperti itu dioperasionalkan melalui berbagai metode seperti
ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemecahan masalah (problem solving),
bermain peran, simulasi, inkuiri, VCT, portofolio, dan sebagainya.
4. Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Metode adalah langkah-langkah operasional dari strategi pembelajaran
yang dipilih dalam mencapai tujuan belajar, sehingga sumber belajar dalam
38
menggunakan suatu metode pembelajaran harus disesuaikan dengan jenis strategi
yang digunakan. (Hatimah, 2003:29).
Djahiri (1995/1996:28) dalam bukunya “Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-
Moral VCT dan Games dalam VCT”, bahwa metoda merupakan kumpulan
sejumlah teknik. Terdapat dua moto dalam pembelajaran PKn yang dikemukakan
Djahiri (1985:36), antara lain sebagai berikut:
a. Ceramah (lecturing)
Pada umumnya metode pembelajaran memerlukan ceramah, sehingga
tidaklah benar pernyataan bahwa metode ini jelek dan harus dibuang. Akan tetapi,
yang harus dihindari adalah penggunaan metode ceramah selama satu jam
pelajaran penuh terus menerus dengan memakai pola ceramah murni yang naratif,
monoton dan bersifat normatif imperatif.
Beberapa keunggulan dari metode ceramah, antara lain:
1) Setiap orang memiliki potensi dan kemahiran untuk ceramah (lepas dari benar
– salah)
2) Merupakan kiprah umum bahkan “membudaya” di kalangan
perguruan/sekolah
3) Bersifat praktis, mudah, murah, dan cepat menyampaikan substansi sehingga
target waktu bisa dikejar
4) Mampu menyelaraskan ketimpangan waktu dengan banyaknya bahan
5) Tidak dapat membutuhkan persiapan pengembangan media
39
6) Mampu mengungkap dan mengklarifikasikan isi atau pesan dalam bahasa
yang komunikatif dan cepat. Hampir semua hal mampu diungkap secara
verbal
7) Mampu menguasai kelas dalam ukuran bagaimanapun juga
8) Bila ada kekeliruan bisa segera diperbaiki
9) Sejumlah hasil pengiring yang dapat dihasilkan dari metoda ini adalah:
a) Melatih daya tangkap dan analitis ucapan orang lain
b) Latihan sosial untuk tatap muka dan etika dengan dan bicara
10) Mampu mengangkat hal yang tidak ada dalam buku atau belum
diungkap sumber atau pihak lain.
Kelemahan metode ceramah, antara lain:
1) Bisa menimbulkan pembelajaran yang tidak sistematis
2) Karena adanya keterbatasan daya dengar manusia, maka dapat
menyebabkan pembelajaran yang melelahkan, membosankan dan
mengantuk.
3) “melanggar” kemampuan daya belajar manusia, karena tidak semua
siswa mampu menyimak dan menangkap ‘pesan lisan’ serta
menulisnya dengan cepat
4) Kecepatan dan intonasi suara guru yang tidak teratur menyebabkan
hilangnya kesempatan siswa untuk berpikir, bereaksi dan berekspresi.
5) Ceramah murni yang menyamaratakan semua siswa adalah salah satu
penyebab lahirnya ketimpangan daya serap siswa.
40
b. Ekspositorik
’Ekspositorik’ berasal dari kata ‘ekspose’ yang berarti menunjukkan,
memperagakan dan atau memperlihatkan. Metode belajar ekspositori adalah
metode belajar yang memperagakan sesuatu untuk menciptakan KBM dan
khususnya KBS yang terarah dan terkendali menuju target sasaran guru atau
pengajar.
c. Metoda Pengajaran Konsep (Teaching Konsep)
Sebelum menggunakan metoda pengajaran konsep, seorang pengajar
terlebih dahulu harus memahami pengertian data dan fakta. Djahiri
(1995/1996:44), bahwa:
1) Data adalah realita yang ada, kejadian, atau hal baik fisik – non fisik, materiil – immateril, dan personal – kondisional.
2) Fakta adalah sejumlah data yang memiliki keterkaitan menunjuk kepada suatu konsep.
3) Konsep adalah label/nama/istilah yang merupakan rangkaian sejumlah fakta menuju suatu pengertian/makna isi – pesan dan atau fungsi peran atau harga/nilai. Jadi, konsep merupakan sesuatu yang memiliki ciri esensil tertentu.
d. Metoda Tanya Jawab
Metode tanya jawab ini dianggap memiliki kadar CBSA yang tinggi,
karena pertanyaan akan menggugah dan mengundang potensi diri siswa.
e. Partisipatori
Partisipatori sebagai metode dalam kegiatan belajar mengajar,
membelajarkan siswa mengenai kehidupan atau kegiatan nyata atau kegiatan
nyata ataupun yang simulatif. Sarana untuk berpartisipatorik adalah kehidupan
keluarga atau masyarakat, instansi kedinasan atau kemasyarakatan, laboratorium,
41
atau pusat Modeling. Jenis partisipatorik antara lain, studi lapangan, kegiatan
bakti sosial, magang, modeling atau simulasi, dan studi proyek.
f. Diskusi dan Kelompok Belajar
Ciri khas dari diskusi sebagai pola kegiatan belajar mengajar, yakni
demokratis. Metoda diskusi mengundang dan melibatkan banyak orang serta tidak
ada dominasi seseorang, memiliki indikator CBSA yang tinggi karena meminta
daya analisis dan evaluatif terhadap masalah yang dilontarkan atau tanggapan dan
sanggahan terhadap orang lain. Djahiri (1995/1996:53) mengungkapkan bahwa
diskusi adalah kegiatan belajar siswa dialogistik secara intra potensi diri antar
potensi orang lain serta potensi dunia bkeilmuan dan kehidupan.
Ciri esensial dari diskusi, antara lain:
1) Adanya proses dialogistik, yakni interaksi antara struktur kognitif dengan
afektif dan psikomotor, antara potensi diri kita dengan orang lain atau dengan
dunia nyata serta keilmuan.
2) Adanya sharing ideas (pertukaran pikiran/pendapat, berargumentasi yang
benar dan memiliki landasan), ada proses berproduksi dan berekspresi.
3) Adanya arahan inkuiri/mencari/meneliti dan mendapatkan sesuatu
4) Adanya proses sosialisasi diri.
Bentuk-bentuk diskusi menurut Djahiri (1995/1996:58), antara lain:
1) Diskusi kelas 2) Diskusi kelompok 3) Diskusi panel 4) Seminar 5) Loka karya 6) Diskusi penjaring
42
Kelompok belajar adalah kelompok sejumlah siswa untuk melakukan
kegiatan belajar bersama secara terarah dan teratur. Djahiri (1995/1996:20),
mengemukakan bahwa “kelompok belajar yang sesuai dengan pembelajaran PKn
adalah kelompok belajar kooperatif”.
Kelompok belajar kooperatif merupakan perpaduan antara kelompok
belajar dan pola kegiatan kooperatif. Hakekat ini kooperatif ialah kebersamaan
dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. Kelompok belajar kooperatif merupakan
kegiatan belajar yang dapat menciptakan persaingan yang sehat, dalam arti
persaingan yang ada, tidak mendidik siswa untuk bersifat individualis.
g. Metoda Inkuiri dan pemecahan Masalah
Kedua metoda ini pada hakekatnya sama, perbedaannya bahwa dalam
metoda pemecahan masalah hanya sampai pada proses penentuan alternatif
pemecahan/keputusan, sedangkan dalam inkuiri sampai pada tahapan penetapan
keputusan yang terbaik.
Keunggulan kedua metode ini menurut Djahiri (1995/1996:58), antara
lain:
1) Meningkatkan keterampilan dan kualitas hasil belajar 2) Menuntun siswa akrab dengan kehidupan nyata 3) Membakukan kemahiran analisis dan argumentasi rasional/berlandas 4) Mensosialisasikan siswa 5) Mendayagunakan aneka sumber dan lingkungan belajar
Jenis inkuiri adalah inkuiri sederhana, lengkap dan nilai. Inkuiri sederhana
tidak memerlukan keseluruhan proses dilaksanakan, hanya hakekat dasarnya saja,
yakni mengkaji, mencari, dan menentukan pilihan. Inkuiri yang lengkap
merupakan metoda khusus yang langkah dan prosesnya telah baku. Sedangkan,
43
inkuiri nilai adalah pola inkuiri sederhana yang fokus substansinya pada nilai –
moral.
5. Media Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Media pengajaran harus dibedakan dengan sumber pengajaran. Djahiri
(1995/1996:31) mengemukakan bahwa sumber pembelajaran merupakan tempat
di mana butir mata pelajaran dan media bisa dilihat, diperoleh dan dikaji seperti
buku, perpustakaan, media cetak, kehidupan nyata dll. Sedangkan, media
pembelajaran lebih diutamakan pada fungsi dan perannya.
Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan, bahwa dengan adanya media
pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk:
a. Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real
b. Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru interaktif – reaktif
c. Meningkatkan motivasi belajar atau suasana belajar yang baik d. Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan
keberhasilan pengajaran e. Meningkatkan proses Kegiatan Belajar Mengajar secara efektif, efisien
dan optimal f. Menyegarkan Kegiatan Belajar Mengajar
Jenis dan bentuk media, antara lain : a. Materiil, berupa alat peraga, media cetak (Koran, majalah dll) b. Immaterial, seperti iklim, status sosial masyarakat dll c. Personal, yaitu tokoh, pahlawan, narasumber dll d. Audio visual e. Gerak atau penampilan seperti simulasi, permainan (games)
Penggunaan media dalam Kegiatan Belajar Mengajar hendaknya
memperhatikan kualifikasi standar kompetensi, kompetensi dasar dan metoda
pembelajaran yang akan digunakan.
44
C. Landasan Tentang Melek Politik dan Pendidikan Politik
1. Pengertian Melek Politik
Kesadaran politik dapat juga diartikan sebagai melek politik, untuk
pembahasan melek politik, kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan kesadaran
dan apa yang dimaksud dengan politik. Kesadaran menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1988:765) berarti keinsyafan, keadaan mengerti, sedangkan menurut
Petir Pudjantoro yang dikutip oleh Sri Mulyani mengemukakan kesadaran adalah
merupakan proses batin yang ditandai dengan pengertian, pemahaman,
penghayatan yang mendalam terhadap sesuatu serta melaksanakannya dalam
tingkah laku serta perbuatan yang didasari oleh pengertian, pemahaman, serta
penghayatan terhadap sesuatu yang dilaksanakannya secara mendalam (Sukadi,
1992 : 256)”.
Melek politik adalah suatu kondisi psikologis siswa yang ditandai oleh
adanya pengertian, pemahaman, penghayatan dan pengamalan pola-pola hidup
bangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pola hidup
yang mencerminkan melek politik dapat dilihat dari ciri-ciri, watak dan
kepribadian. Inilah yang dugunakan untuk mengukur suatu kesadaran seorang
warga negara yang melek politik.
Menurut Gabriel A. Almond dan Sydney Verba (1990 : 65-71) dalam
penelitiannya tentang melek politik dilima negara menggunakan dua kriteria untuk
mengukur dimensi melek politik. Kedua kriteria yang dimaksud adalah :
a. Mengikuti segala kegiatan pemerintah
b. Mengikuti laporan mengenai aktivitas pemerintah melalui berbagai media
45
Seseorang yang memiliki kesadaran politik adalah ia yang senantiasa
mengikuti segala kegiatan pemerintah dan mengikuti segala kegiatan laporan
mengenai aktivitas pemerintah melalui berbagai media. Sukadi dan Eni Hernawati
dalam penelitiannya tentang melek politik, masing-masing menggunakan ciri-ciri,
watak dan kepribadian dari generasi muda Indonesia yang terdapat dalam Inpres
No. 12/ tahun 1982 tentang pendidikan politik bagi generasi muda sebagai tolak
ukur melek politik. Ciri-ciri, watak dan kepribadian dari generasi muda yang
melek politik adalah :
a. Sadar akan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya terhadap kepentingan
bangsa dan negara.
b. Sadar dan taat pada hukum dan semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku
c. Memiliki disiplin pribadi, sosial dan nasional
d. Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di
masa depan yang disesuaikan dengan kemampuan obyektif bangsa saat ini.
e. Mendukung sistem kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan
pancasila dan UUD’45
f. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya dalam usaha pembangunan nasional
g. Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan
keanekaragaman suku bangsa ;
h. Sadar akan perlunya pemeliharaan lingkungan hidup dan alam sekitar secara
selaras, serasi dan seimbang;
46
i. Mampu melakukan penilaian terhadap gagasan nilai serta ancaman yang
bersumber dari ideologi lain di luar Pancasila dan UUD’45 atas dasar pada
pikiran atau penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945
Ciri-ciri tersebut akan nampak dalam perilaku warga negara yang melek
politik. Melek politik merupakan sikap dan prilaku yang perlu ditanamkan
kepada generasi muda Indonesia, kesadaran ini merupakan manifestasi dari rasa
tanggung jawab yang tinggi atas kelangsungan hidup bangsa di dalam negara
Republik Indonesia. Melek politik yang semakin dewasa memang sangat
diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melek
politik bukan hanya harus dimiliki oleh politikus, oleh pemimpin dan anggota
partai politik saja, melainkan harus mendarah daging bagi seluruh rakyat. Hal ini
sangat penting sebab tegak atau runtuhnya suatu negara, kuat atau lemahnya suatu
bangsa pada akhirnya terletak pada kesadaran bangsa itu sendiri. Melek politik
yang tinggi sangat penting artinya bagi yang memelihara stabilitas nasional yang
dinamis dan untuk menjamin kelestarian dan cita-cita bangsa. Selain itu melek
politik juga diperlukan untuk memantapkan sendi-sendi dasar kehidupan
kenegaraan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Untuk meningkatkan melek politik generasi muda khususnya siswa
diperlukan pendidikan politik. Pendidikan politik merupakan rangkaian usaha
untuk meningkatkan dan mantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna
menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945. Selain pendidikan politik upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan melek politik siswa adalah dengan cara
indoktrinasi politik yaitu dengan cara paksaan. Baik pendidikan politik maupun
47
indoktrinasi politik kedua-duanya merupakan proses sosialisasi politik. Sosialisasi
politik memang harus dilakukan sedini mungkin karena hal itu merupakan salah
satu langkah yang amat penting dalam meningkatkan kualitas demokrasi di masa
depan adalah pembinaan watak demokrasi dikalangan generasi muda.
Dalam keadaan sadar sepenuhnya, seseorang sensitif terhadap berbagai
jenis ransangan yang diterima, namun dalam menerima ransangan, tubuh akan
memilih jenis ransangan yang paling dikehendaki. Keadaan sadar normal, adalah
keadaan di mana seseorang sadar/ tahu akan segala sesuatu yang terjadi di
sekitarnya, dapat melihat/ mengamati benda-benda, situasi dan orang-orang di
sekitarnya. Mengambil makna dari apa-apa yang di lihat, dan memberikan reaksi
secara eksplisit. Karakteristik dari keadaan sadar penuh adalah adanya perubahan
terus-menerus dalam intensitas dalam fokus kesadaran. Menurut Kihlstrom (1984)
kesadaran melibatkan (a) pemantauan diri sendiri dan lingkungan sehingga
persepsi, memori dan proses berpikir direpresentasikan dalam kesadaran; dan (b)
mengendalikan diri sendiri dan lingkungan sehingga mampu memulai dan
mengakhiri aktivitas perilaku dan kognitif.
Kesadaran itu timbul sebagai akibat dari adanya input ransangan internal
maupun eksternal yang diterima oleh otak melalui mekanisme sistem saraf.
Dengan kata lain, segala sesuatu yang diketahui atau dirasakan dari lingkungan
luar adalah hasil penginderaan (panca indra) dari pesan-pesan atau isyarat yang
dimengerti oleh otak yang memiliki kemampuan mengingat atau menyimpan
informasi yang diterima dari sesuatu objek. Oleh karena itu, kesadaran seseorang
sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam mengamati dan merasakan sesuatu;
48
berpikir dan mengambil keputusan atau menarik makna dari suatu objek dan
memberikan reaksi terhadapnya.
Melek politik sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang menganggap
bahwa kesadaran dalam diri warga masyarakat merupakan suatu faktor yang
menentukan bagi kehidupan demokrasi. Pada awalnya masalah melek politik
timbul di dalam proses penerapan sistem politik berdasarkan hukum positif. Di
dalam proses tersebut timbul masalah- masalah dalam kehidupan spsial poitik
yaitu, adanya ketidak sesuaian antara dasar sahnya sistem politik yang diatur
dalam konstitusi dengan kenyataan-kenyataan politik dan dipenuhinya atau tidak
ditaatinya konstitusi tersebut. Idealnya harus ada keserasian secara proporsional
antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat, dan
kenyataannya dipatuhinya konstitusi. Hal itu sebenarnya sejalan dengan ide
tentang kesadaran warga masyarakat sebagai dasar sahnya suatu hukum positif
ditemukan di dalam ajaran-ajaran rechtsgefuhl atau rechtsbewusstsein yang
intinya tidak ada hukum yang mengikat warga masyarakat, kecuali atas kesadaran
hukumnya. Demikian dengan melek politik dalam masyarakat yang melek
politik, oleh karena itu melek politik erat hubungannya dengan melek politik.
Melek politik sebenarnya merupakan kesadaran akan niai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia mengenai politik, yaitu warga negara sadar akan
hak dan kewajibannya, taat hukum dan norma norma yang berlaku dalam
masyarakat. Nilai-nilai politik yang mengendap dalam diri warga negara pada
dasarnya; merupakan abtraksi dari pengalaman pribadi, sebagai akibat dari proses
interaksi sosial yang kontineu; senantiasa harus selalu diisi dan bersifat dinamis,
49
karena didasarkan pada interaksi sosial yang dinamis pula; merupakan suatu
kriteria untuk memilih tujuan-tujuan di dalam kehidupan sosial; merupakan suatu
yang menjadi penggerak manusia kearah pemenuhan hasrat hidupnya, sehingga
nilai-nilai merupakan faktor yang sangat penting di dalam pengarahan kehidupan
sosial maupun kehidupan pribadi manusia.
Melek politik sebagai unsur penting dalam melaksanakan sistem politik
mengandung; persepsi, pengenalan, pengetahuan, ingatan, dan pengertian tentang
politik, termasuk konsekuensi-konsekuensinya;. harapan, kepercayaan bahwa
politik dapat memberikan suatu kegunaan serta memberikan perlindungan dan
jaminannya dengan kepastian dan rasa keadilan; perasaan perlu dan butuh akan
jasa jasa politik, dan karena itu bersedia menghormatinya. Perasaan khawatir dan
takut melanggar hukum, karena jika melanggar maka sanksi-sanksinya dapat
dipaksakan; dan orientasi, perhatian, kesanggupan, kemauan baik, sikap, dan
kesediaan serta keberanian mentaati konstitusi dalam hak maupun kewajibannya,
karena kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum itu adalah kepentingan umum.
Melek politik berkaitan erat dengan kepatuhan atau ketaatan hukum
terhadap sistem politik yang berlaku sebagaimana diatur dalam kontitusi/UUD,
yang dikonkretkan dalam sikap atau perilaku manusia. Abdurrahman (1979: 31)
mengemukakan bahwa ada suatu asumsi yang menyatakan semakin tinggi taraf
kesadaran seseorang akan semakin tinggi pula ketaatannya terhadap sistem
politik, dan sebaliknya. Melek politik berpangkal pada adanya suatu pengetahuan
tentang politik dan nilai-nilai konstitusi yang mengatur kehidupan politik. Dari
pengetahuan inilah akan lahir suatu pengakuan dan penghargaan terhadap
50
ketentuan-ketentuan hukum, sehingga timbul sikap penghayatan terhadap sistem
politik tersebut. Bila telah terdapat suatu penghayatan terhadap konstitusi, maka
dengan sendirinya ketaatan dan kepatuhan terhadap sistem politik terwujud. Jika
kondisi yang demikian sudah tercipta berarti melek politik telah terbina di dalam
suatu masyarakat.
2. Indikator Melek Politik
Indikator melek politik sebenarnya merupakan petunjuk yang relatif
konkret tentang adanya taraf kesadaran konstitusi, maka seseorang yang
mempunyai perhatian pada melek politik akan dapat mengetahui indikator-
indikator melek politik antara lain; pengetahuan konstitusi dan sisitem politik,
artinya seseorang mengetahui bahwa perilaku politik tertentu diatur oleh
konstitusi; pemahaman politik, artinya seseorang warga masyarakat mempunyai
pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan politik tertentu, terutama
dari segi isinya; sikap politik artinya seseorang mempunyai kecenderungan untuk
mengadakan penilaian tertentu terhadap perilaku politik; perilaku politik, artinya
seseorang berperilaku sesuai dengan konstitusi dan sistem politik yang berlaku.
Dengan demikian melek politik sama dengan kesadaran konstitusi atau hukum.
Pendapat tersebut mengacu pada pendapat B. Kutsneky (Soekanto, 1982: 159)
tentang indikator-indikator dari kesadaran hukum sebagai berikut; a. Pengetahuan
tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness); b. Pengetahuan tentang isi
peraturan-peraturan hukum (law acquaintance); c. Sikap terhadap peraturan-
51
peratwan hukum (legal attitude); d. Pola-pola perikelakuan hukum (legal
behavior).
Pengetahuan politik tidak mempengaruhi secara positif maupun negatif
pada melek politik masyarakat. Demikian pula dengan pengetahuan tentang isi
konstitusi sukar sekali secara pasti menetapkan derajat melek politik masyarakat,
karena teladan dari elit politik dan mekanisme politik turut menentukan pula. Oleh
karena itu melek politik paling tidak dipengaruhi oleh; derajat pengetahuan dan
pemahaman terhadap konsep politik; sikap instrumental timbul karena adanya
pengetahuan tentang isi peraturan dan menonjolkan kepentingan pribadi,
sedangkan sikap fundamental ditentukan dengan adanya pemahaman dan
pengertian tentang isi peraturan tersebut; proses pelembagaan dan
internalisasi; kepatuhan disebabkan karena sikap fundamental, misalnya tingkat
usia, tingkat pendirian, dan lama tinggal. (Nurhayani, 2003: 41).
Indikator yang selanjutnya yaitu pola perilaku politik, dan ini yang sangat
mempengaruhi derajat melek politik. Menurut Kutschincky setiap indikator
tersebut menunjukkan tingkat melek politik tertentu, mulai dari yang terendah
sampai yang tertinggi. Melek politik bermula dari adanya pengetahuan seseorang
tentang politik, dan sistem politik yang berlaku di dalam masyarakat, tujuannya
untuk menciptakan ketertiban guna mewujudkan keadilan bagi seluruh
masyarakat. Kemudian dari pengetahuan tersebut akan timbul pengakuan dan
penghargaan orang bersangkutan terhadap ketentuan konstitusi yang berlaku, dan
kemudian timbul sikap penghayatan terhadap hukum tersebut. Apabila terdapat
suatu penghayatan terhadap konstitusi, maka warga negara akan mentaati atau
52
mematuhi sistem politik tersebut, dia akan berperilaku sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
Indikator melek politik tidak selalu saling berkolerasi, karena adakalanya
orang yang mengerti politik, sikap dan perilakunya bertentangan dengan sistem
politik yang berlaku, dia mengetahui dan memahami konstitusi yang berlaku
namun dia melanggar, tidak mentaati atau memahani sistem politik tersebut.
Namun, apabila ingin melihat tingkat melek politik seseorang yang tinggi, dapat
dilihat dari ketaatan/kepatuhannya terhadap hukum. Apabila tingkat
ketaatan/kepatuhan hukumnya tinggi, maka dapat dikatakan tingkat melek
politiknya tinggi, sebaliknya apabila tingkat ketaatan/ kepatuhan hukumnya
rendah, maka tingkat melek politiknya rendah.
Melek politik berkorelasi dengan kesadaran hukum, Bull (Djahiri, 1985:
24) mengemukakan ada 4 tingkat kesadaran hukum; (1). Kesadaran yang bersifat
Anomous, kesadaran atau kepatuhan yang tidak jelas dasar dan alasan atau
orientasinya. Tentunya ini yang paling rendah dan labil; (2). Bersifat
Heteronomous, yaitu, kesadaran/ kepatuhan yang berlandaskan pada dasar/
orientasi/ motivasi yang beraneka ragam atau berganti ganti. lni pun kurang baik,
sebab mudah berubah oleh keadaan atau situasi; (3). Kepatuhan yang bersifat
Sosio-nomous, yaitu yang berorientasi kepada kiprah umum atau khalayak ramai;
(4). Kesadaran yang bersifat Autonomous, adalah yang terbaik, karena didasari
oleh konsep atau landasan yang ada dalam diri sendiri.
53
3. Faktor yang Mempengaruhi Kemelekkan Politik
Melek politik timbul dari pengetahuan yang diterima atau diperoleh
seseorang tentang politik, dari pengetahuan ini akan lahir suatu pengakuan dan
penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan konstitusi, sehingga timbul sikap
penghayatan terhadap konstitusi dan sisitem politik tersebut. Melek politik
merupakan perasaan dan keyakinan politik seseorang dalam masyarakat.
(Soekanto, 1999: 147). Efektivitas sisitem politik terlihat bila konstitusi dan
sisitem politik yang berlaku warga masyarakat mentaatinya, dan ini terwujud
dalam perilaku politiknya, yaitu prilaku yang sesuai dengan konstitusi yang
berlaku di dalam masyarakat. Menurut Friedman (Taneko, 1993: 50) "perilaku
politik adalah soal pilihan yang berurusan dengan motif dan gagasan yang
menurut Friedman dapat mempengaruhi perilaku politik seseorang terdiri atas (a)
kepentingan sendiri; (b) sensitif terhadap sanksi; (c) tanggapa terhadap pengaruh
sosial; (d) kepatuhan politik.
Menurut Friedman, karena adanya kepentingan pribadi membuat orang
mentaati hukum, dan apabila tidak diikuti justru akan menimbulkan kerugian pada
dirinya. Tetapi bisa juga karena sensitif terhadap sanksi, di mana seseorang
mentaati aturan disebabkan karena takut akan sanksinya, karena dia mengetahui
bahwa sanksi hukum atau peraturan yang bersangkutan itu sifatnya tegas dan
nyata, sifat pentaatannya heteronom, maksudnya ada kekuatan diluar dirinya yang
memaksa agar peraturan tadi harus ditaati, setiap orang mau tidak mau harus
mentaatinya, karena berusaha menghindari sanksinya tadi. Adakalanya orang
berperilaku politik tersebut itu disebabkan karena adanya pengaruh sosial atau
54
pengaruh lingkungannya (keluarga, teman, anggota kelompoknya atau pimpinan),
yang mungkin disebabkan alasan-alasan sebagai berikut: (1) adanya keinginan
kuat untuk memelihara hubungan baik dengan lingkungan; dan (2) ada keinginan
kuat untuk memelihara hubungan baik dengan penguasa. Kemudian orang
mentaati hukum dapat juga disebabkan karena mereka berpikir bahwa apabila
dilanggar, maka perbuatannya itu dikatakan bersifat illegal atau amoral.
Dilihat dari kepentingan pribadi tidak terlalu mensyaratkan pengenalan/
pengetahuan politik seseorang yang mendalam tentang politik. Namun, untuk
unsur yang lainnya seperti: sensitif terhadap sanksi, tanggap terhadap pengaruh
sosial dan kepatuhan, mensyaratkan pengenalan atau pengetahuan yang memadai
terhadap politik. Dengan demikian dapat dilihat melek politik itu dari indikator
sebagai berikut; 1.Patuh/ sadar karena takut kepada orang/ kekuasaan/ paksaan
(authority oriented) ; 2.Patuh karena ingin dipuji (good boy-nice girl). 3. Patuh
karena kiprah umum/ masyarakat (contract legality). 4.Taat atas dasar adanya
aturan dan hukum serta untuk ketertiban (law and order oriented).5.Taat karena
dasar keuntungan atau kepentingan (utilitis-hedonis). 6. Taat karena memang hal
tersebut memuaskan baginya.7.Patuh karena dasar prinsip etis yang layak
universal (universal ethical principle).
Tingkat melek politik terendah disebabkan karena adanya unsur ketakutan
dari orang yang bersangkutan, dia mematuhi aturan karena takut akan sanksinya
dan ini yang sering sekali terjadi, dia merasa terpaksa. Ada pula karena ingin
dipuji, ikut ikutan atau memang karena keinginannya sendiri, karena diyakininya
55
bahwa aturan tadi sesuai dengan prinsip politiknya, sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat dan untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
4. Pendidikan Politik Untuk Peningkatan Melek Politik Warga Negara
Istilah pendidikan politik dalam bahasa Inggris sering disamakan dengan
istilah political socialization. Istilah political socialization jika diartikan secara
harfiah ke dalam bahasa indonesia akan bermakna sosialisasi politik. Oleh karena
itu, dengan menggunakan istilah political socialization banyak yang
mensinonimkan istilah pendidikan politik dengan istilah sosialisasi politik. Karena
keduanya memiliki makna yang hampir sama. Dengan kata lain, sosialisasi politik
adalah pendidikan politik dalam arti sempit.
Menurut Ramlan Surbakti dalam memberikan pengertian tentang
pendidikan politik harus dijelaskan terlebih dahulu mengenai sosialisasi politik.
Surbakti (1999:117) berpendapat bahwa
Sosialisasi politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.
Pendapat di atas secara tersirat menyatakan bahwa pendidikan politik
merupakan bagian dari sosialisasi politik. Pendidikan politik mengajarkan
masyarakat untuk lebih mengenal sistem politik negaranya. Dapat dikatakan
bahwa sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik
para anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik inilah para anggota
56
masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang
berlangsung dalam masyarakat.
David Easton dan Jack Dennis (Suwarma Al Muchtar, 2000:39) dalam
bukunya Children in The Political System memberikan batasan mengenai political
socialization yaitu bahwa “political socialization is the development process
which persons acquire orientations and patterns of behaviour”. Sedangkan Fred
I. Greenstain (Suwarma Al Muchtar, 2000:39) dalam bukunya political
socialization berpendapat bahwa :
Political socialization is all political learning formal dan informal, deliberate and unplanned, at every stage of the life cycle including not only explicit political learning but also nominally non political learning of political lie relevant sosial attitudes and the acquisition of politically relevant personality characteristics.
Kedua pendapat di atas mengungkapkan bahwa pendidikan politik adalah
suatu bentuk pendidikan yang dijalankan secara terencana dan disengaja baik
dalam bentuk formal maupun informal yang mencoba untuk mengajarkan kepada
setiap individu agar sikap dan perbuatannya dapat sesuai dengan aturan-aturan
yang berlaku secara sosial. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa pendidikan politik
tidak hanya mempelajari sikap dan tingkah laku individu. Namun, pendidikan
politik mencoba untuk mengaitkan sikap dan tingkah laku individu tersebut
dengan stabilitas dan eksistensi sistem politik
Kartini Kartono (1990:vii) memberikan pendapatnya tentang hubungan
antara pendidikan dengan politik yaitu “….pendidikan dilihat sebagai faktor
politik dan kekuatan politik. Sebabnya, pendidikan dan sekolah pada hakekatnya
57
juga merupakan pencerminan dari kekuatan-kekuatan sosial-politik yang tengah
berkuasa, dan merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada”.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwa pendidikan dan
politik adalah dua unsur yang saling mempengaruhi. Pengembangan sistem
pendidikan harus selalu berada dalam kerangka sistem politik yang sedang
dijalankan oleh pemerintahan masa itu. Oleh karena itu, segala permasalahan yang
terjadi di dunia pendidikan akan berubah menjadi permasalahan politik pada saat
pemerintah dilibatkan untuk memecahkannya.
Pengertian dari pendidikan politik yang lebih spesifik dapat diambil dari
pendapatnya Alfian (1981:235) yang mengatakan bahwa “pendidikan politik
dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi poltik
masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang
terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun”.
Dari dua definisi yang tertera diatas, dapat kita ambil dua tujuan utama
yang dimiliki oleh pendidikan politik. Pertama, dengan adanya pendidikan politik
diharapkan setiap individu dapat mengenal dan memahami nilai-nilai ideal yang
terkandung dalam sistem politik yan sedang diterapkan. Kedua, bahwa dengan
adanya pendidikan politik setiap individu tidak hanya sekedar tahu saja tapi juga
lebih jauh dapat menjadi seorang warga negara yang memiliki kesadaran politik
untuk mampu mengemban tanggung jawab yang ditunjukan dengan adanya
perubahan sikap dan peningkatan kadar partisipasi dalam dunia politik.
58
Kartaprawira (1988: 54) mengartikan pendidikan politik sebagai “upaya
untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat
berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya.
Berdasarkan pendapat Kantaprawira tersebut, maka pendidikan politik
perlu dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat terus
meningkatkan pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami
perkembangan. Pembelajaran pendidikan politik yang berkesinambungan
diperlukan mengingat masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks,
bersegi banyak, dan berubah-ubah.
Merujuk pada semua pengertian pendidikan politik yang disampaikan oleh
beberapa ahli diatas, pad akhirnya telah membawa penulis sampai pada
kesimpulan yang menyeluruh. Bahwa yang dimaksud dengan pendidikan politik
adalah suatu upaya sadar yang dilakukan antara pemerintah dan para anggota
masyarakan secara terencana, sistematis, dan dialogis dalam rangka untuk
mempelajari dan menurunkan berbagai konsep, simbol, nilai-nilai, dan norma-
norma politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
5. Perkembangan Pendidikan Politik di Indonesia
Pendidikan dan Politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial
politik di suatu negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya
bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu
negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling
mengisi.
59
Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam
membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga
sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik disuatu negara membawa dampak
besar pada karakteristik pendidikan yang adai di negara tersebut.
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah
mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi suatu bidang
kajian akademik, publikasi berbagai seminar ataupun diskusi yang mengangkat
tema tentang pendidikan dan politik masih kurang terdengar. Andaipun ada, fokus
bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek ideologis politik pendidikan.
Walaupun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang tak terpisahkan
antara politik dan pendidikan sudah mulai terbentuk.
Harian The Jakarta Post edisi 16 maret 2001 pada halaman utamanya
pernah menyebutkan “politics is inspereable from education, unless the country
plans to generate ‘illiterate politicans’ who could not be expected to lead the
republic out of the current crises”. Secara sederhana, harian tersebut menjelaskan
bahwa politik dengan pendidikan sangat tidak bisa dipisahkan, kecuali jika negeri
ini ingin memiliki generasi yang buta politik, yang tidak bisa diandalkan untuk
mengeluarkan negeri ini dari krisis.
Mochtar Buchori (M.Shirozi, 2005: 30) mengemukakan bahwa terdapat
beberapa pemikiran yang mendukung mulai berkembangnya kesadaran
masyarakat terhadap hubungan antara pendidikan dan politik yaitu.
Pertama adanya kesadaran tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara
60
pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic education). Penjelasan Mochtar Buchori di atas, menggambarkan suatu keyakinan
terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik. Terdapat keyakinan yang
sangat kuat bahwa melalui pendidikan dapat menghasilkan pemimpin politik yagn
berkualitas.
Paparan penjelasan di atas, pada akhirnya dapat menimbulkan satu
pertanyaan mengenai hubungan pendidikan dengan politik. Akankah politik harus
memasuki wilayah pendidikan untuk menjalankan fungsi dan tujuannya dan juga
sebaliknya? Melalui pendidikan seorang siswa akan paham secara tidak langsung
mengenai seluk beluk politik. Begitu pula sebaliknya, bahwa dunia politik adalah
salah satu sarana untuk mengaplikasikan berbagai ilmu yag telah didapat siswa
melalui dunia pendidikan. Para siswa tidak dapat acuh tak acuh terhadap segala
sesuatu yang terjadi di luar dunia sekolahnya.
Sekiranya penjelasan di atas dapat menggambarkan bahwa terdapat
hubungan yang erat dan tak dapat dipisahkan antara pendidikan dan politik.
Kedua aspek tersebut memiliki hubungan yang saling mempengaruhi dan saling
membutuhkan satu sama lain.
Untuk lebih jelas memahami kaitan antara pendidikan politik di jalur
persekolahan, akan dipaparkan secara lebih lanjut mengenai konsep pendidikan
politik dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam bahasan selanjutnya.
61
6. Landasan Hukum Pendidikan Politik
Pendidikan politik merupakan suatu sarana untuk meningkatkan kesadaran
berbangsa da bernegara yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan
terencana. Pelaksanaan pendidikan politik harus berpegang teguh pada falsafah
dan kepribadian bangsa Indonesia. Secara tidak langsung, pendidikan politik
merupakan bagian integral dari keseluruhan pembangunan bangsa yang
dilaksanakan sesuai dengan landasan yang telah mendasari kehidupan bangsa
Indonesia.
Berdasarkan Inpres No. 12 tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi
Generasi Muda (1982: 13), maka yang menjadi landasan hukum pendidikan
politik adalah sebagai berikut:
a. Landasan ideologis, yaitu Pancasila b. Landasan konstitusi, yaitu UUD 1945 c. Landasan operasional, yaitu GBHN d. Landasan historis, yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan
Proklamasi 17 Agustus 1945”
Landasan yang tersebut diatas merupakan landasan pokok pendidikan
politik yang disertai landasan kesejarahan. Hal ini penting karena warga negara
terutama siwa harus mengetahui sejarah perjuangan bangsa agar memiliki jiwa,
semangat, dan nilai-niali kejuangan 1945.
7. Fungsi Pendidikan Politik
Fungsi pendidikan politik sangat penting sebab pendidikan politik
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang kehidupan politik
62
yang pada gilirannya akan mendorong timbulnya kesadaran politik secara
maksimal dalam suatu sistem politik.
Merujuk pada beberapa pengertian pendidikan politik yang telah
disebutkan sebelumnya, maka pendidikan politik mempunyai dua tujuan utama.
Pertama, fungsi pendidikan politik adalah untuk mengubah dan membentuk tata
perilaku seseorang agar sesuai dengan tujuan politik yang diterapkan yaitu agar
dapat menjadikan setiap individu sebagai partisipan politik yang bertanggung
jawab. Kedua, fungsi pendidikan politik dalam arti yang lebih luas yaitu untuk
membentuk suatu tatanan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan politik yang
ingin diterapkan.
Inti dari pendidikan politik adalah mengenai bagaimana rakyat direkrut
dan di sosialisasikan. Jadi, fungsi dari pendidikan politik adalah untuk
menjelaskan proses perekrutan dan upaya sosialisasi kepada rakyat untuk
mengerti mengenai peranannya dalam sitem politik serta agar dapat memiliki
orientasi kepada sistem politik.
Fungsi yang disampaikan di atas lebih menonjolkan fungsi pendidikan
politik dalam mengubah tatanan masyarakat yang ada menjadi lebi baik dan lebih
mendukung tercapainya proses demokrasi. Sedangkan fungsi pendidikan politik
bagi individu antara lain adalah:
a. Peningkatan kemampuan individual supaya setiap orang mampu
berpacu dalam lalu lintas kemasyarakatan yang menjadi semakin padat
penuh sesak dan terpolusi oleh dampak bermacam-macam penyakit
sosial dan kedurjanaan.
63
b. Disamping mengenai kekuasaan, memahami mekanismenya, ikut
mengendalikan dan mengontrol pelaksanaan kekuasaan di tengah
masyarakat.
Fungsi pendidikan politik bagi individu yang tertera di atas tidak hanya
mengubah individu tapi juga membentuk individu yang baru. Dalam artian bahwa
seorang individu dengan melalui pendidikan politik tidak hanya memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang politik tapi juga mempunyai kesadaran dan
sensitifitas dalam berpolitik yang direalisasikan dalam bentuk perbuatan yaitu
dengan ikut berpartisipasi atau ditunjukan dengan sikap dan perilaku politik yang
lebih luas dalam usahanya untuk mencapai tujuan politik.
8. Tujuan Pendidikan Politik
Tujuan diadakannya pendidikan politik secara formal terdapat dalam
Inpres No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang
menyatakan bahwa:
Tujuan pendidikan politik adalah memberikan pedoman kepada generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tujuan pendidikan politik lainnya ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya. Berdasarkan pemaparan tentang tujuan pendidikan politik diatas, penulis
berpendapat bahwa yang menjadi tujuan utama dari pendidikan politik adalah agar
generasi muda saat ini memiliki kemampuan untuk memahami situasi sosial
politik penuh konflik. Aktivitas yang dilakukan pun di arahkan pada proses
demokratisasi serta berani bersikap kritis terhadap kondisi masyarakat di
64
lingkungannya. Pendidikan politik mengajarkan mereka untuk mampu
mengembangkan semua bakat dan kemampuannya (aspek kognitif, wawasan,
kritis, sikap positif, dan keterampilan politik). Kesemua itu dirancang agar mereka
dapat mengaktualisasikan diri dengan jalan ikut berpartisipasi secara aktif dalam
bidang politik.
Dari tujuan pendidikan politik di atas, dapat dilihat bahwa antara tujuan
pendidikan politik dengan fungsi yang dimilikinya hampir sama. Tercapainya
fungsi dan tujuan pendidikan politik merupakan keberhasilan dari diadakannya
pendidikan politik itu sendiri.
9. Bentuk Pendidikan Politik
Keberhasilan pendidikan politik tidak akan dapat tercapai jika tidak
dibarengi dengan usaha yang nyata di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan
politik akan erat kaitannya dengan bentuk pendidikan politik yang akan
diterapkan di masyarakat nantinya. Oleh karena itu, bentuk pendidikan politik
yang dipilih dapat menentukan keberhasilan dari adanya penyelenggaraan
pendidikan politik ini.
Bentuk pendidikan politik menurut Kantaprawira (2004: 56) dapat
diselenggarakan antara lain melalui:
a. Bahan bacaan seperti surat kabar, majalah, dan lain-lain bentuk publikasi massa yang biasa membentuk pendapat umum.
b. Siaran radio dan televisi serta film (audio visual media) c. Lembaga atau asosiasi dalam masyarakat seperti masjid atau gereja
tempat menyampaikan khotbah, dan juga lembaga pendidikan formal ataupun informal.
65
Berdasarkan pendapat diatas, dapat kita lihat bahwa pendidikan politik
dapat diberikan melalui berbagi jalur. Pemberian pendidikan politik tidak hanya
dibatasi oleh lembaga seperti persekolahan atau organisasi saja. Namun dapat
diberikan melalui media, misalnya media cetak dalam bentuk artikel.
Apapun bentuk pendidikan politik yang akan digunakan dari semua bentuk
yang disuguhkan di atas sesungguhnya tidak menjadi persoalan. Aspek yang
terpenting adalah bahwa bentuk pendidikan politik tersebut mampu untuk
memobilisasi simbol-simbol nasional sehingga pendidikan politik mampu menuju
pada arah yang tepat yaitu meningkatkan daya fikir dan daya tanggap rakyat
terhadap masalah politik. Selain itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih harus
mampu meningkatkan rasa keterikatan diri (sense of belonging) yang tinggi
terhadap tanah air, bangsa, dan negara.
Apabila diasosiasikan dengan bentuk politik yang tertera diatas, maka
menurut penulis yang menjadi tolak ukur utama keberhasilan pendidikan politik
terletak pada penyelenggaraan bentuk pendidikan politik yang terakhir yaitu
melalui jalur lembaga atau asosiasi dalam masyarakat. Dalam hal ini penulis
sangat sependapat bila pendidikan politik lebih ditekankan melalui jalur
pendidikan formal. pendidikan politik fomal yaitu pendidikan politik yang
diselenggarakan melalui lembaga resmi (sekolah).
10. Urgensi Pendidikan Politik
Pendidikan politik dapat dikatakan sebagai media penyampaian konsep
politik yang memiliki tujuan akhir untuk membuat warga negara menjadi lebih
66
melek politik. Warga negara yang melek politik adalah warga negara yang sadar
akan hak dan kewajiban sehingga dapat ikut serta dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam setiap proses pembangunan. Pendidikan Politik diperlukan
keberadaannya terutama untuk mendidik generasi muda saat ini yang nantinya
akan menjadi generasi penerus bangsa.
Eksistensi Pendidikan Politik disini adalah sebagai tongkat estafer kepada
generasi selanjutnya dalam memahami konsep-konsep politik kenegaraan. Fungsi
Pendidikan Politik yang paling penting adalah sebagai penyaring (filter) terhadap
berbagai pemikiran baru, ideologi baru, dan berbagai ancaman, tantangan,
hambatan, serta gangguan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Pemerintah telah menyadari bahwa generasi muda saat ini tengah hidup di
dalam era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan kompetensi antar
individu. Kebebasan menjadi suatu bagian yang penting dalam era ini. Sadar akan
hal tersebut, pemerintah mencoba untuk membangun tameng yang dapat
melindungi generasi muda saat ini dari pelunturan dan penghitungan jati diri
bangsa. Kekhawatiran pemerintah ini tercermin dalam dalam Inpres No. 12 Tahun
1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang didalamnya
menyebutkan bahwa:
Kaum muda dalam perkembangannya berada dalam proses pembangunan dan modernisasi dengan segala akibat sampingannya yang bisa mempengaruhi proses pendewasaaannya sehingga apabila tidak memperoleh arah yagn jelas maka corak dan warna masa depan negara dan bangsa akan menjadi lain daripada yagn dicita-citakan.
Perkembangan zaman yagn terasa sangat cepat jika tidak dibarengi dengan
wawasan berfikir yang luas hhaya akan membawa generasi muda bangsa ini ke
67
dalam kehidupan yang lepas kendali. Oleh karena itu, Pendidikan Politik
diperlukan sebagai filter terhadap segala pengaruh buruk yang mungkin datang.
Jadi, pada kesimpulannya Pendidikan Politik merupakan salah satu upaya yang
ditempuh oleh pemerintah dalam memberikan arah pada generasi muda saat ini
agar memiliki pemahaman yang jelas terhadap aran tujuan bangsa.
11. Pokok Pokok Materi Pendidikan Politik
Pokok-pokok materi Pendidikan Politik sepenuhnya tertuang sebagai
muatan yang terkandung dalam kurikulum Pendidikan Politik. Kurikulum
Pendidikan Politik adalah jarak yang harus ditempuh oleh seorang siswa dalam
mencapai target yaitu melek politik yang ditandai dengan menguatnya daya nalar
terhadap berbagai aktivitas politik dalam infrastruktur maupun suprastruktur
politik.
Brownhill (1989:110) mengajukan beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam proses pemuatan kurikulum Pendidikan Politik, yaitu:
a. On ethical base shouild be develop, which would include respect for others tolerances, and an understanding of the principle of treating others as one would like to be treated one self;
b. A consideration of how rules can be changed; c. Nature of rules and authority; d. Concept of obligation to legitimate authority; e. An understanding of some basic political concepts, e.g freedom,
equality, justise, the rule of law, and of some of the arguments related to these concepts;
f. An understanding of the basic structure of central an local government;
g. Some understanding of the working of the national and international economy;
h. Some knowledge of recent British and international history i. Self analysis
68
Berdasarkan pendapat Brownhill diatas, jelas terlihat bahwa dalam
mengembangkan kurikulum Pendidikan Politik, seorang guru harus pula
memasukan mata pelajaran lain yang sekiranya ada hubungannya dengan
Pendidikan Politik, seperti diatas disebutkan yaitu mata pelajaran sejarah dan
ekonomi. Dalam artian bahwa mata pelajaran lain tersebut bersifat sebagai
pelengkap (komplementer) terhadap Pendidikan Politik.
Kurikulum Pendidikan Politik yang dicanangkan oleh Robert Brownhill di
atas telah cukup lengkap. Seperti kita lihat, Brownhill tidak hanya memasukan
unsur materi politik namun juga terdapat unsur etika, ketaatan pada hukum dan
kekuasaan, pemahaman terhadap jalannya pemerintahan dan pembuatan kebijakan
serta masalah ekonomi dan sejarah.
Hal-hal yang mengenai kurikulum pendidikan politik diatur dalam Inpres
No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang
menyebutkan bahwa bahan Pendidikan Politik antara lain:
a. Penanaman kesadaran berideologi, berbangsa, dan bernegara: b. Kehidupan dan kerukunan hidup beragama; c. Motivasi berprestasi; d. Pengalaman kesamaan hak dan kewajiban, keadilan sosial, dan
penghormatan atas harkat dan martabat manusia; e. Pengembangan kemampuan politik dan kemampuan pribadi untuk
mewujudkan kebutuhan dan keinginan ikut serta dalam politik; f. Disiplin pribadi, sosial, dan nasional; g. Kepercayaan pada pemerintah; h. Kepercayaan pada pembangunan yang berkesinambungan.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat kita lihat bahwa terdapat satu matei
yang membedakan kurikulum Pendidikan Politik menurut Brownhill dengan
bahan kurikulum Pendidikan Politik di Indonesia. Dalam kurikulum Pendidikan
69
Politik di Indonesia, telah memasukan unsur materi agama yag merupakan ciri
khas bangsa Indonesia dalam bahan Pendidikan Politik.
Bahan Pendidikan Politik di Indonesia harus bersumber pada Pancasila
dan UUD 1945, dan berbagai makna yang dipetik dari perjuangan bangsa
Indonesia. Semua bahan ajar Pendidikan Politik tersebut telah tercakup dalm mata
pelajaran PKn.