17
BAB II PENDEKATAN TEORETIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Perubahan Sosial Menurut Sztompka (2004) masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan tidak terjadi secara linear. Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur atau tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat. Pada tingkat makro, terjadi perubahan ekonomi, politik, sedangkan di tingkat mezo terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan di tingkat mikro sendiri terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat ganda (Sztompka 2004). Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern (Samuel Koenig dikutip Soekanto 2006). Perubahan sosial dapat pula diartikan sebagai perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok- kelompok dalam masyarakat (Selo Soemardjan dikutip Soekanto 2006). Tekanan definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, yang kemudian mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya. Menurut Himes dan Moore dikutip Soelaiman (1998), perubahan sosial mempunyai tiga dimensi, yaitu: dimensi struktural, kultural dan interaksional. 1. Dimensi struktural mengacu pada perubahan-perubahan dalam bentuk struktural masyarakat, menyangkut perubahan dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial. Perubahan tersebut meliputi:

BAB II PENDEKATAN TEORETIS - repository.ipb.ac.id · BAB II PENDEKATAN TEORETIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Perubahan Sosial Menurut Sztompka (2004) masyarakat senantiasa

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB II

PENDEKATAN TEORETIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Konsep Perubahan Sosial

Menurut Sztompka (2004) masyarakat senantiasa mengalami perubahan di

semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian sosiologis, perubahan

dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan tidak linear. Dengan kata lain, perubahan

tidak terjadi secara linear. Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai

suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur atau tatanan di dalam

masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan

sosialnya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih bermartabat. Pada tingkat

makro, terjadi perubahan ekonomi, politik, sedangkan di tingkat mezo terjadi

perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi, dan di tingkat mikro sendiri

terjadi perubahan interaksi dan perilaku individual. Masyarakat bukan sebuah

kekuatan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling terkait bertingkat

ganda (Sztompka 2004).

Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam

pola-pola kehidupan manusia yang terjadi karena sebab-sebab intern maupun

sebab-sebab ekstern (Samuel Koenig dikutip Soekanto 2006). Perubahan sosial

dapat pula diartikan sebagai perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga

kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,

termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-

kelompok dalam masyarakat (Selo Soemardjan dikutip Soekanto 2006). Tekanan

definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai

himpunan pokok manusia, yang kemudian mempengaruhi segi-segi struktur

masyarakat lainnya.

Menurut Himes dan Moore dikutip Soelaiman (1998), perubahan sosial

mempunyai tiga dimensi, yaitu: dimensi struktural, kultural dan interaksional.

1. Dimensi struktural mengacu pada perubahan-perubahan dalam bentuk

struktural masyarakat, menyangkut perubahan dalam peranan, munculnya

peranan baru, perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam

lembaga sosial. Perubahan tersebut meliputi:

8

a. Bertambah dan berkurangnya kadar peranan

b. Menyangkut aspek perilaku dan kekuasaan

c. Adanya peningkatan atau penurunan sejumlah peranan atau

pengkategorian peranan

d. Terjadinya pergeseran dari wadah atau kategori peranan

e. Terjadinya modifikasi saluran komunikasi di antara peranan-peranan atau

kategori peranan

f. Terjadinya perubahan dari sejumlah tipe dan daya guna fungsi sebagai

akibat dari struktur

2. Dimensi kultural mengacu pada perubahan kebudayaan dalam masyarakat.

Perubahan tersebut meliputi:

a. Inovasi kebudayaan

b. Difusi

c. Integrasi

3. Dimensi interaksional mengacu pada adanya perubahan hubungan sosial

dalam masyarakat. Perubahan tersebut meliputi:

a. Perubahan dalam frekuensi

b. Perubahan dalam jarak sosial

c. Perubahan perantara

d. Perubahan dari aturan atau pola-pola

e. Perubahan dalam bentuk interaksi

Sebagai sebuah proses, perubahan sosial membutuhkan saluran-saluran

perubahan (avenue or channel of change), yaitu saluran-saluran yang dilalui oleh

suatu proses perubahan. Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga-

lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan,

agama, rekreasi, dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan tersebut menjadi titik

tolak, bergantung pada cultural focus masyarakat pada suatu masa tertentu.

Terdapat beberapa perspektif yang menjelaskan penyebab suatu

perubahan, di antaranya adalah perspektif materialistik dan idealistik (Salim

2002). Perspektif materialistik adalah perspektif yang digagas oleh Karl Marx.

Pada dasarnya perspektif ini menyoroti perubahan moda produksi sehingga

melahirkan perubahan pada berbagai aspek. Sumber perubahan disebabkan oleh

9

faktor material. Perspektif ini bertumpu pada pemikiran Marx yang menyatakan

bahwa kekuatan produksi berperan penting dalam membentuk masyarakat dan

perubahan sosial. Perspektif ini melihat bahwa bentuk pembagian kelas-kelas

ekonomi merupakan dasar anatomi suatu masyarakat.

Perubahan dalam pandangan Marx bersifat otodinamis, terus-menerus dan

berasal dari dalam. Perubahan didorong oleh kontradiksi endemik, penindasan dan

ketegangan dalam struktur. Sejalan dengan pandangan dinamis Marx, model

kesatuan sosial (sistem sosial) dibangun dalam gerakan sosial internal yang

konstan yaitu perubahan yang digerakkan oleh kekuatan dari dalam sistem sosial

itu sendiri. Marx melihat bahwa proses ini akan berlanjut hingga menuju pada

suatu keadaan yang sempurna. Pada kondisi tertentu, kekuatan material pada

masyarakat akan mengalami konflik dengan hubungan produksi yang ada. Marx

melihat moda produksi kapitalis bersifat labil dan pada akhirnya akan hilang. Hal

ini disebabkan pola hubungan antara kaum kapitalis modal dan kaum buruh

bercirikan pertentangan akibat eksploitasi besar-besaran oleh kaum kapitalis.

Selanjutnya adalah perspektif idealistik, yang menjelaskan faktor utama

perubahan sosial ada pada ide. Perspektif idealistik digagas oleh Max Weber.

Berbeda dengan perspektif materialistik yang memandang bahwa faktor material

menyebabkan perubahan sosial, perspektif idealistik melihat perubahan sosial

disebabkan oleh faktor non material seperti ide, nilai dan ideologi. Ide merujuk

pada pengetahuan dan kepercayaan, nilai merupakan anggapan terhadap sesuatu

yang pantas dan tidak, sedangkan ideologi merujuk pada serangkaian kepercayaan

dan nilai yang digunakan untuk membenarkan tindakan masyarakat.

2.1.2. Modernisasi dan Perubahan Sosial

Modernisasi merupakan salah satu teori pembangunan. Terdapat beberapa

konsep kunci sosiologi yang berhubungan dengan proses-proses modernisasi

seperti industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi, perubahan struktur

masyarakat baik melalui kemajuan politik maupun mobilitas penduduk,

perkembangan teknologi sebagai peningkatan pengetahuan. Menurut Schoorl

(1982), modernisasi adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan oleh negara-

negara berkembang dan dapat dilakukan jika bersentuhan dengan negara-negara

10

maju. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa modernisasi itu adalah sesuatu

yang baik.

Perubahan sosial atau budaya yang berlangsung di masyarakat dapat

merupakan dampak dari modernisasi. Schoorl (1982) melihat modernisasi sebagai

suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-

aspeknya. Dalam bidang ekonomi, modernisasi berarti tumbuhnya kompleks

industri dengan pertumbuhan ekonomi sebagai aksen utama. Tujuan akhir dari

modernisasi adalah terwujudnya masyarakat modern yang dicirikan oleh

kompleksitas organisasi serta perubahan fungsi dan struktur masyarakat. Secara

lebih jelas, Schoorl (1982) menyebutkan proses pertumbuhan struktur sosial yang

dimulai dari proses perbesaran skala melalui integrasi. Proses ini kemudian

dilanjutkan hingga pembentukan stratifikasi dan hierarki.

Usaha modernisasi untuk mengubah cara produksi masyarakat

berkembang sebenarnya merupakan usaha untuk mengubah cara produksi pra-

kapitalis ke kapitalis, sebagaimana negara-negara maju yang telah

menerapkannya. Prosesnya mencakup proses yang sangat luas yang batasannya

tidak dapat ditetapkan secara mutlak. Modernisasi mencakup suatu transformasi

total kehidupan bersama yang tradisional dalam arti teknologi atau organisasi

sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis (Soekanto 2006). Dampak sosial

muncul ketika aktivitas modernisasi seperti proyek, program atau kebijakan yang

berasal dari luar diterapkan dalam suatu masyarakat. Aktivitas tersebut

mempengaruhi keseimbangan pada suatu sistem masyarakat. Pengaruhnya bisa

positif atau negatif. Hal ini hanya dapat diuji dari nilai, norma, aspirasi dan

kebiasaan masyarakat yang bersangkutan (Hadi dalam Waluyo 2009).

2.1.3. Konsep Industrialisasi

Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1984, industri adalah kegiatan

ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/

atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk

penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

Dari definisi tersebut, istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur

(manufacturing). Pengertian industri sendiri sangatlah luas, yaitu menyangkut

11

semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan

komersial. Oleh karena kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam

industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju

tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak

jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha

tersebut.

Adapun istilah industrialisasi dalam suatu masyarakat berarti adanya

pergantian teknik produksi dari cara yang masih tradisional ke cara modern,

dalam segi ekonomi, industrialisasi berarti munculnya kompleks industri yang

besar dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana

produksi, diusahakan secara massal (Dharmawan dikutip Soesilowati 1988).

Industrialisasi merupakan salah satu strategi yang harus ditempuh untuk

mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per

kapita yang tinggi (Riedel dikutip Tambunan 2001).

Akibat-akibat yang disebabkan oleh industrialisasi dapat dibedakan ke

dalam tiga segi (Moore dikutip Soesilowati 1988), yaitu organisasi produksi,

struktur ekonomi, dan struktur ekologi-demografi. Penjelasan singkat mengenai

ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Organisasi produksi; dari sudut organisasi produksi, akibat industrialisasi

dapat dilihat dalam hubungan kerja dan organisasi unit-unit produksi.

2. Struktur ekonomi; dari sudut struktur ekonomi, akibat industrialisasi dapat

dilihat dari jenis pekerjaan, tabungan, serta distribusi dan konsumsi.

Perubahan juga terjadi pada aktivitas pertanian ke non pertanian.

3. Struktur ekologi-demografi; dari sudut struktur ekologi-demografi, akibat

industrialisasi lebih ditekankan pada perubahan ukuran dan pertumbuhan

penduduk.

2.1.4. Konsep Industrialisasi Pedesaan

Industrialisasi pedesaan adalah kata kunci dari ekonomi kerakyatan.

Dengan industrialisasi, kualitas dan produktivitas terjaga, sehingga desa mampu

bersaing di dalam sistem ekonomi yang modern. Konsep industrialisasi pedesaan

diperkenalkan sebagai pemikiran alternatif untuk menjawab kebutuhan

12

pengembangan ekonomi desa, khususnya sejak terjadi kegagalan transformasi

ekonomi di zaman revolusi hijau.

Landasan pengembangan industrialisasi pedesaan didasarkan pada model

transformasi teknologi dan pengetahuan dengan sebesar-besarnya memanfaatkan

sumberdaya lokal dengan basis pengelolaan oleh masyarakat dan pemerintah desa.

Industrialisasi desa ditandai oleh kepekaan pada pengelolaan lingkungan, orientasi

padat karya dan bukan padat modal, penggunaan teknologi menengah, serta

berorientasi pada kebutuhan jangka panjang (sustainable)2.

Industri pedesaan adalah suatu bentuk transisi antara industri yang bersifat

artisan dengan industri modern. Industri pedesaan dapat berfungsi sebagai alat

pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitan ini, industrialisasi pedesaan melalui

mekanisme pasar dapat mengakumulasi dan mengalihkan modal dari sektor

pertanian ke sektor industri. Industrialisasi dapat pula meningkatkan penyerapan

angkatan kerja yang senantiasa bertambah di pedesaan3. Industrialisasi pedesaan

menampilkan peranan penting dalam pembentukan organisasi sosial yang bersifat

industrial. Industrialisasi pedesaan juga berfungsi meningkatkan kesejahteraan

sosial ekonomi, dan hal ini dapat diukur antara lain dari segi pendapatan dan

lapangan kerja baru. Secara sempit industrialisasi pedesaan bertujuan

menganekaragamkan peningkatan pendapatan dan peningkatan produktivitas

ekonomi masyarakat pedesaan.

2.1.5. Industrialisasi sebagai Proses Pembangunan Desa

Pembangunan merupakan proses perubahan yang disengaja dan

direncanakan. Secara lengkap, pembangunan berarti perubahan yang disengaja

atau direncanakan dengan tujuan untuk mengubah keadaan yang tidak

dikehendaki ke arah yang dikehendaki. Modernisasi sering diartikan identik

dengan pembangunan, yakni mengingat artinya sebagai proses penerapan

2 Konsep ini merupakan pemikiran yang dikemukakan oleh Profesor Sarbini Sumawinata, Guru

Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan salah satu pemikir besar ekonomi kerakyatan

Indonesia. 3 Definisi dan penjelasan mengenai industrialisasi pedesaan ini merupakan hasil simposium

industrialisasi pedesaan yang dilakukan pada tahun 1990 di Institut Pertanian Bogor, yang

disunting oleh Mangara Tambunan dan Sayogyo.

13

pengetahuan dan teknologi modern pada berbagai segi kehidupan masyarakat.

Sehingga, pembangunan didefinisikan pula sebagai usaha yang dilakukan secara

sadar untuk menciptakan perubahan sosial melalui modernisasi (Raharjo 2004).

Berbagai program pembangunan dirumuskan untuk mendorong

masyarakat dari berbagai ketertinggalan. Untuk memajukan desa, proses

modernisasi biasa tidaklah cukup. Modernisasi harus direncanakan, dipacu dan

diakselerasikan sedemikian rupa sehingga segera dapat mengantarkan masyarakat

desa pada kemajuan. Karenanya konsep pembangunan mengandung pengertian

semacam ini.

Mengikuti pemikiran bahwa pembangunan nasional adalah agregasi

pembangunan lokal, baik pemerintah pusat dan daerah secara beragam

membangun basis-basis industri dalam ekonomi lokal melalui proses

industrialisasi. Salah satu kebijakan dalam pembangunan adalah dengan

menempatkan industri di pedesaan dan kota-kota kecil, yang dikenal sebagai

program industrialisasi pedesaan. Hal ini didukung dengan terumuskannya UU

No. 32 Tahun 2004 mengenai pemerintahan daerah. Melalui UU No. 32 Tahun

2004 daerah diberi kewenangan dan tanggung jawab untuk menjalankan

kekuasaan ekonominya. Tambunan (2010) mengatakan bahwa industrialisasi

adalah kunci pembangunan ekonomi lokal. Alasan lain menyebutkan bahwa

proses industrialisasi dibutuhkan untuk mentransformasi masyarakat tradisional

berbasis pedesaan ke arah masyarakat industri yang maju dan modern.

Dalam pengembangan kawasan industri, akan dijumpai beberapa

permasalahan baik yang bersifat strategik, manajerial dan teknikal. Permasalahan

strategik berkaitan dengan aspek-aspek yang berkaitan dengan perlu dibangunnya

kawasan industri, peran maupun fungsi yang diharapkan dari kawasan industri

dimasa yang akan datang sekaligus dampak jangka panjang pengembangan

industri. Permasalahan manajerial berkaitan dengan aspek penataan ruang dan

pengarahan lokasi industri yang meliputi aspek perencanaan wilayah suatu daerah

dan penyediaan sarana internal. Sementara permasalahan teknikal berkaitan

dengan bagaimana tata letak, luas lahan yang disediakan untuk industri besar,

sedang maupun kecil (Nugroho dikutip Waluyo 2009). Ketiga permasalahan

tersebut, akan berkaitan dengan penggunaan sumberdaya berupa lahan yang

14

sebelumnya telah memiliki fungsi lain, dan pengubahan fungsinya akan

mempengaruhi kondisi dan kualitas seluruh ekosistem di lokasi terkait.

2.1.6. Aspek Struktural Masyarakat Desa

Aspek struktural merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat desa

yang menyangkut hubungan antar individu dan pola hubungan termasuk di

dalamnya mengenai status dan peranan, kekuasaan, otoritas, hubungan antar

status, integrasi dan sebagainya. Pembahasan mengenai struktur tidak hanya

menyangkut aspek sosial, melainkan juga mencakup aspek fisik dan biologis.

Struktur dipahami sebagai susunan. Sedangkan struktur sosial diartikan sebagai

pola yang mapan dari organisasi internal setiap kelompok sosial (Fairchild dikutip

Rahardjo 2004). Dalam rumusan ini telah tercakup pengertian mengenai karakter

atau pola dari semua hubungan yang ada antara anggota dalam suatu kelompok

maupun antar kelompok. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing aspek

dalam struktur masyarakat tersebut.

a. Hubungan Kerja

Hubungan kerja merupakan bagian dari kelembagaan pertanian.

Kelembagaan sendiri memiliki definisi yang beragam. Salah satunya,

kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan (rule) yang dianut oleh masyarakat

dalam melakukan transaksi dengan pihak lainnya (Hayami dan Ruttan dikutip

Susilowati 2005). Kelembagaan pedesaan secara sederhana mengacu pada

aktivitas atau praktek-praktek tradisional dalam kehidupan sehari-hari di

pedesaan, seperti bagi hasil, pemasaran hasil pertanian, hubungan

ketenagakerjaan, dan organisasi-organisasi yang dibentuk pemerintah.

Kelembagaan pedesaan dapat berupa kelembagaan-kelembagaan penguasaan

tanah, hubungan kerja dan perkreditan (Kasryono dikutip Radandima 2003).

Hubungan kerja pertanian erat kaitannya dengan penguasaan tanah.

Kelembagaan penguasaan tanah merupakan tatacara atau aturan yang dianut dan

dijadikan pegangan oleh masyarakat dalam mengadakan transaksi. Dalam

kelembagaan ada pemisahan yang jelas antara hak dan kewajiban bagi setiap

individu atau kelompok yang berhubungan. Keberadaan lembaga di setiap daerah

ditentukan oleh keadaan sumberdaya, lingkungan dan norma-norma yang berlaku

15

di masyarakat (Radandima 2003). Oleh karena tanah merupakan modal utama

dalam kegiatan pertanian, maka muncul suatu kelembagaan yang mengatur

transaksi kegiatan ekonomi tanah. Kelembagaan penguasaaan tanah yang

umumnya dilakukan masyarakat di desa-desa Jawa adalah sebagai berikut (Wiradi

dan Makali 1984):

1. Sistem gadai, merupakan bentuk kelembagaan penguasaan tanah dimana

pemilik menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang

secara tunai atau dengan bentuk pembayaran berupa sekian kuintal gabah atau

sekian gram emas perhiasan atau sekian ekor kerbau atau sapi, dengan

ketentuan pemilik tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan

menebus, maka hak pengusahaan tanahnya ada pada pemegang gadai.

Pengembalian tanah dilakukan setelah tanah selesai dipanen.

2. Sistem sewa adalah penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada

orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama oleh pemilik dan

penyewa.

3. Sistem bagi hasil adalah penyerahan sementara hak atas tanah kepada orang

lain untuk diusahakan, dengan penggarap akan menanggung beban tenaga

kerja seluruhnya dan menerima sebagian dari hasil tanahnya.

Hubungan kerja dalam pertanian meliputi semua bentuk hubungan kerja

antara pemilik tanah tersebut (White dikutip Radandima 2003). Hubungan kerja

tersebut menyangkut mekanisme yang mengatur pembagian keuntungan di antara

pengusaha tani dan pekerja. Dalam hubungan kerja pertanian ditentukan sistem

upah yang akan dipakai, besar dan bentuk upah, jam kerja per hari kerja, satuan

kegiatan, upah per hari kerja, dan upah per satuan kegiatan (Wiradi dan Makali

1984). Menurut Harton dan Hunt dikutip Radandima (2003), kelembagaan

hubungan kerja pertanian sebagian besar muncul dari kehidupan bersama dan

merupakan hal yang tidak direncanakan.

Adanya faktor-faktor eksternal dari luar yang mempengaruhi kegiatan

pertanian dapat mendorong terjadinya perubahan dalam kelembagaan pertanian,

termasuk pada hubungan kerja. Menurut Sinaga dikutip Radandima (2003)

perubahan hubungan kerja antara lain disebabkan oleh dua pengaruh, yaitu: (1)

marker forces, yaitu interaksi antara permintaan dan penawaran tenaga kerja; (2)

16

institutional forces, yaitu pengaruh berbagai kekuatan lain di dalam masyarakat

yang bukan ekonomi murni. Perubahan hubungan kerja dapat berupa perubahan

dalam sistem upah dan bentuk-bentuk hubungan kerja, yang meliputi sistem upah

harian, sistem upah borongan maupun sistem sambatan dan perubahan dalam

ketenagakerjaan pertanian di desa.

b. Mobilitas Sosial

Gerak sosial atau mobility social adalah suatu gerak dalam struktur sosial

yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial (Young

dan Mack dikutip Soekanto 2006). Mobilitas sosial dapat pula didefinisikan

sebagai gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak

pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya (Horton dikutip Soekanto

2006). Tipe-tipe gerak sosial yang prinsipil ada dua macam, yaitu gerak sosial

horizontal dan vertikal (Sorokin dikutip Soekanto 2006). Gerak sosial horizontal

merupakan peralihan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu

kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Gerak sosial vertikal

dimaksudkan sebagai perpindahan individu atau objek sosial dari suatu

kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Terdapat dua

jenis gerak vertikal, yaitu yang naik (social climbing) dan yang turun (social

sinking). Gerak sosial vertikal yang naik mempunyai dua bentuk utama, yaitu: (1)

masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam

kedudukan yang lebih tinggi, dimana kedudukan tersebut telah ada; (2)

pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian ditempatkan pada derajat yang

lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok tersebut.

Gerak sosial vertikal yang menurun mempunyai dua bentuk utama, yaitu:

(1) turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah; (2) turunnya

derajat sekelompok individu yang dapat berupa disintegrasi kelompok sebagai

kesatuan. Menurut Sorokin seperti dikutip Soekanto (2006), gerak sosial vertikal

mempunyai saluran-saluran dalam masyarakat. Proses gerak sosial vertikal

melalui saluran disebut social circulation. Saluran-saluran bagi terjadinya gerak

sosial dapat berupa lembaga keagamaan, pendidikan, organisasi politik, dan

ekonomi.

17

c. Interaksi Sosial

Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila

individu dan kelompok-kelompok saling bertemu dan menentukan sistem serta

bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-

perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada (Gillin

dan Gillin dikutip Soekanto 2006). Salah satu bentuk dari proses sosial adalah

interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang

dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, kelompok-

kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai saat itu.

Suatu interaksi sosial akan terjadi apabila dua syarat berikut terpenuhi.

Syarat-syarat terjadinya interaksi sosial, yaitu adanya kontak sosial dan adanya

komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya interaksi

sosial. Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif. Bersifat positif jika

mengarah pada suatu kerja sama, dan bersifat negatif jika mengarah pada suatu

pertentangan. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu antar

orang-perorangan, antara orang-perorangan dengan suatu kelompok, dan antara

suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Sedangkan komunikasi, menunjukkan

adanya pemberian arti dari pada perilaku orang lain. Orang yang bersangkutan

kemudian memberi reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan orang

tersebut. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama, persaingan,

bahkan dapat berbentuk pertentangan dan pertikaian. Keempat bentuk pokok dari

interaksi sosial itu tidak perlu merupakan suatu kontinuitas. Gillin dan Gillin

seperti dikutip oleh Soekanto (2006) membagi bentuk interaksi sosial sebagai

proses yang asosiatif dan proses yang disosiatif. Proses asosiatif adalah proses

yang mendekatkan atau mempersatukan, terdiri atas kerjasama, akomodasi dan

asimilasi. Sedangkan proses sosial yang menjauhkan atau mempertentangkan

(disosiatif) terdiri atas persaingan, kontravensi dan konflik.

2.2. Kerangka Pemikiran

Tujuan akhir setiap pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan dan

peningkatan taraf hidup manusia. Melihat kondisi obyektif masyarakat yang

18

sebagian besar tinggal di pedesaan, maka arah pembangunan secara bertahap

ditujukkan kepada masyarakat pedesaan agar mereka dapat menikmati secara

langsung hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai termasuk dalam sektor

industri. Pengembangan industri menjadi salah satu alternatif untuk

menyelesaikan berbagai persoalan aktual yang terdapat di desa dan pada akhirnya

menempatkan desa sebagai penyangga ekonomi bangsa. Dikaitkan dengan

perubahan sosial, maka pembangunan desa dalam bentuk industrialisasi

merupakan sumber bagi terjadinya perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat

desa.

Lahan dan tenaga kerja merupakan input utama dalam proses produksi

industri yang dapat ditemukan di pedesaan. Dalam kaitannya dengan input

produksi lahan, pengembangan industri mengharuskan terjadinya konversi atau

alihfungsi lahan dari kegiatan pertanian ke non pertanian. Konversi lahan menjadi

aktivitas utama yang menandai berdirinya industri di kawasan pedesaan. Akibat

lebih lanjut adalah terkonsentrasinya penguasaan lahan di tangan petani lapisan

atas serta pemilik modal. Lahan tidak hanya diubah menjadi kawasan industri,

namun setelahnya diikuti pula oleh berubahnya lahan menjadi unit usaha lain di

pedesaan. Selain konversi lahan, timbul pula gejala komersialisasi lahan yang

meluas cepat di daerah pedesaan. Lahan yang semula menjadi faktor penghasil

komoditas pertanian berubah menjadi komoditas itu sendiri. Semakin sempit

lahan garapan untuk bertani dan semakin terpusatnya penguasaan lahan di

kalangan petani lapisan atas dan pemilik modal, mempengaruhi aktivitas pertanian

di pedesaan. Dalam kaitannya dengan tenaga kerja, pengembangan industri di

pedesaan menjadi jalan bagi masuknya para pekerja pendatang dari luar desa.

Menurut Schneider (1993) salah satu akibat yang terpenting dari timbulnya

industrialisasi adalah terbentuknya komunitas-komunitas baru, atau perubahan

serta pertumbuhan yang cepat dari komunitas yang sudah ada. Masuknya para

pekerja pendatang dalam jumlah yang banyak dan menetap di desa, pada akhirnya

menyebabkan peningkatan jumlah tenaga kerja dan pertumbuhan komunitas di

sekitar industri. Kehadiran para pendatang ini kemudian akan mempengaruhi

proses sosial, terutama pada relasi sosial yang terjadi di kalangan masyarakat

desa.

19

Proses industrialisasi pada masyarakat agraris merupakan perubahan yang

membawa pengaruh yang besar pada masyarakat (Soekanto 2006). Berbagai

lembaga-lembaga kemasyarakatan akan terpengaruh, misalnya hubungan kerja,

sistem milik tanah, hubungan-hubungan keluarga, stratifikasi masyarakat dan

keluarga. Ditinjau dari perspektif yang melatarbelakangi terjadinya perubahan

oleh adanya industri di pedesaan, maka perubahan sosial yang terjadi berawal dari

pemilikan modal yang merupakan sumber perubahan dalam perspektif

materialistik. Modal yang dimaksud adalah lahan. Lahan berperan sebagai modal

utama bagi sektor pertanian, disaat yang sama lahan menjadi input produksi bagi

sektor industri. Dengan demikian perubahan pada dimensi struktur masyarakat

petani berasal dari sesuatu yang bersifat material.

Keterangan:

: Menghasilkan/ Menyebabkan

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Gambar 1 menunjukkan bagaimana pengembangan industri di kawasan

pedesaan yang ditandai oleh terjadinya konversi lahan, komersialisasi lahan dan

penyerapan tenaga kerja, menyebabkan perubahan pada aspek struktur masyarakat

desa. Perubahan terjadi karena industri yang cenderung bersifat ekspansif

mempengaruhi masyarakat petani di pedesaan, dimana lahan menjadi modal

utama kegiatannya. Industri di pedesaan juga memberi harapan pada masyarakat

desa untuk memanfaatkan keberadaan industri dengan bekerja di industri atau

dengan memanfaatkan peluang ekonomi lain dari adanya industri.

Perubahan Dimensi Struktur

Hubungan kerja

pertanian

Jenis mata pencaharian

Mobilitas sosial

Relasi sosial

Industrialisasi di Kawasan

Pedesaan

Komersialisasi lahan

Konversi lahan

Penyerapan tenaga

kerja

20

2.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Semakin tinggi pengembangan industri di pedesaan, semakin terjadi

perubahan struktur masyarakat petani pada hubungan kerja pertanian.

2. Semakin tinggi pengembangan industri di pedesaan, semakin terjadi

perubahan struktur masyarakat petani pada jenis mata pencaharian.

3. Semakin tinggi pengembangan industri di pedesaan, semakin terjadi

perubahan struktur masyarakat petani pada mobilitas sosial.

4. Semakin tinggi pengembangan industri di pedesaan, semakin terjadi

perubahan struktur masyarakat petani pada relasi sosial.

2.4. Definisi Operasional

Berikut adalah definisi operasional dari berbagai variabel yang akan

dianalisis:

1. Komersialisasi lahan adalah suatu proses menjadikan lahan sebagai

komoditas ekonomi atau barang dagangan. Sementara tingkat komersialisasi

lahan menunjukkan laju pengalihan kepemilikan lahan dari satu orang ke

orang lainnya yang dilakukan atas dasar ekonomi. Tingkat komersialisasi

lahan dikategorikan menjadi:

i. Tinggi : Pemilikan atau penguasaan lahan responden diperoleh dari hasil

jual beli.

ii. Rendah: Pemilikan atau penguasaan lahan responden diperoleh dari hasil

warisan.

2. Konversi lahan adalah perubahan fungsi peruntukkan lahan. Sementara

tingkat konversi lahan menunjukkan laju alih fungsi lahan pertanian ke non

pertanian dari waktu ke waktu. Konversi lahan berkaitan dengan perubahan

penggunaan lahan pertanian. Tingkat konversi lahan dikategorikan menjadi:

i. Tinggi: Perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian sejak

berkembangnya industri hingga saat ini (dalam kurun waktu 10 tahun)

meningkat.

21

ii. Rendah: Perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian

sejak berkembangnya industri hingga saat ini (dalam kurun waktu 10

tahun) menurun.

3. Penyerapan tenaga kerja (TK) adalah kesempatan kerja yang diberikan sektor

industri pada masyarakat, serta sejauh mana masyarakat dapat memanfaatkan

kesempatan kerja tersebut. Tingkat penyerapan tenaga kerja dikategorikan

menjadi:

i. Tinggi:

a. Ketersediaan TK untuk usaha non pertanian lebih tinggi dari

ketersediaan TK untuk usaha pertanian.

b. Peluang kesempatan kerja di sektor non pertanian lebih tinggi dari

peluang kerja di sektor pertanian.

c. Permintaan dan penawaran TK di sektor non pertanian lebih tinggi dari

permintaan dan penawaran TK di sektor pertanian.

ii. Rendah:

a. Ketersediaan TK untuk usaha non pertanian lebih rendah dari

ketersediaan TK untuk usaha pertanian.

b. Peluang kesempatan kerja di sektor non pertanian lebih rendah dari

peluang kerja di sektor pertanian.

c. Permintaan dan penawaran TK di sektor non pertanian lebih rendah dari

permintaan dan penawaran TK di sektor pertanian.

4. Perubahan hubungan pertanian berkaitan dengan penguasaan lahan pertanian

oleh responden. Perubahan hubungan kerja dikategorikan menjadi:

i. Tinggi:

a. Ada perubahan dalam sistem upah pertanian: (a1) gotong-royong ke

upah borongan, (a2) gotong-royong ke upah harian, (a3) upah borongan

ke upah harian, dan (a4) upah harian ke upah borongan.

b. Ada perubahan penguasaan lahan: (b1) sistem gadai ke sewa, (b2)

sistem gadai ke bagi hasil, (b3) sewa ke bagi hasil, (b4) sewa ke gadai,

(b5) bagi hasil ke sewa, dan (b6) bagi hasil ke gadai.

c. Ada perubahan sifat hubungan kerja dari dasar keluarga ke dasar

ekonomi.

22

ii. Rendah:

a. Tidak ada perubahan dalam sistem upah pertanian: (a1) gotong-royong

ke upah borongan, (a2) gotong-royong ke upah harian, (a3) upah

borongan ke upah harian, dan (a4) upah harian ke upah borongan.

d. Tidak ada perubahan penguasaan lahan: (b1) sistem gadai ke sewa, (b2)

sistem gadai ke bagi hasil, (b3) sewa ke bagi hasil, (b4) sewa ke gadai,

(b5) bagi hasil ke sewa, dan (b6) bagi hasil ke gadai.

b. Tidak ada perubahan sifat hubungan kerja dari dasar keluarga ke dasar

ekonomi.

5. Perubahan jenis mata pencaharian dilihat dari ada atau tidak adanya

diversifikasi mata pencaharian di luar pertanian pada rumahtangga responden.

Perubahan diversifikasi yang dimaksud berkaitan dengan peluang ekonomi

dari adanya industri. Perubahan jenis mata pencaharian dikategorikan

menjadi:

i. Tinggi:

Sumber pendapatan responden berasal dari kegiatan pertanian dan kegiatan

di luar pertanian, termasuk pendapatan yang berasal dari anggota keluarga

yang tinggal bersama responden.

ii. Rendah:

Sumber pendapatan responden hanya berasal dari kegiatan pertanian.

6. Perubahan mobilitas sosial dilihat dari pergerakan individu dalam lapisan

sosialnya. Perubahan mobilitas sosial berkaitan dengan simbol-simbol yang

menjadi dasar dalam pelapisan sosial yang turut dipengaruhi oleh

pengembangan industri di pedesaan. Perubahan mobilitas sosial dikategorikan

menjadi:

i. Tinggi:

a. Ada perubahan kedudukan individu dari kedudukan yang tinggi ke

kedudukan yang lebih rendah.

b. Ada perubahan kedudukan individu dari kedudukan yang rendah ke

kedudukan yang lebih tinggi.

23

ii. Rendah:

a. Tidak ada perubahan kedudukan individu dari kedudukan yang tinggi ke

kedudukan yang lebih rendah.

b. Tidak ada perubahan kedudukan individu dari kedudukan yang rendah ke

kedudukan yang lebih tinggi.

7. Perubahan relasi sosial dilihat dari hubungan-hubungan sosial yang

berlangsung antara responden dalam masyarakat, dengan sesama masyarakat

desa maupun dengan pendatang dari luar desa. Perubahan relasi sosial dilihat

dari perubahan frekuensi interaksi, kuat lemahnya interaksi, dan

kecenderungan arah hubungan sosial yang terbentuk.