Upload
vuongdieu
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Post traumatic Growth Pada Korban Kecelakaan Lalu Lintas
1. Pengertian Post Traumatic Growth
Post traumatic growth menurut Tadeschi dan Calhoun (2006) adalah
suatu perubahan positif seseorang menuju level yang lebih tinggi setelah
mengalami peristiwa traumatis. Tadeschi dan Calhoun (dalam Ramos & Leal,
2013) juga menjelaskan bahwa PTG adalah perjuangan yang dialami individu
dalam menerima kenyataan baru setelah trauma, yang mana hal ini sangat
penting dalam menentukan sejauh mana batas-batas terjadinya PTG. Menurut
Janoff-Bullman (1992), peristiwa traumatis menggerakan perubahan melalui
pemecahan dan pembangunan ulang asumsi. Individu berusaha untuk
memahami peristiwa traumatis yang dialaminya dan reaksi dari hidup adalah
penting untuk menyelesaikan traumanya. Namun bukan hanya kembali ke
sediakala, individu juga mengalami peningkatan psikologis. Peningkatan
tersebut terlihat dari tiga dimensi yang berkembang yaitu persepsi diri,
hubungan dengan orang lain dan falsafah hidup.
Post traumatic growth menggambarkan pengalaman individu tidak hanya
pulih dari trauma tapi ke pra-trauma sehingga dapat berfungsi kembali setelah
melewati periode yang menyebabkan tekanan emosional dan menggunakannya
sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri lebih produktif (Tadeschi &
Callhoun, 2004). Istilah-istilah lain yang berhubungan dengan fenomena PTG
12
yaitu: stern conversion, positive psychological changes, perceived benefits or
construing benefits, stress related growth, dicovery of meaning, positive
emotion, pourishing and thriving (Joseph & Linely dalam Fatiyyah, 2016)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tadeschi dan Calhoun (2004)
memberikan dua definisi penting tentang PTG yaitu ;
Post traumatic growth bisa terjadi pada seseorang yang memiliki stress tinggi dan mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidupnya, Selain itu perubahan positif bisa terjadi ketika seseorang berjuang untuk lepas dari trauma dengan melakukan penerimaan terhadap masa lalu dan masa depan dalam kehidupannya. Post traumatic Grwoth merupakan perjuangan individu untuk lepas dari trauma, dan bukan merupakan hasil langsung dari trauma setelah adanya proses berfikir.
Definisi lain tentang PTG disampaikan oleh Patton, Voilanti, dan Smith
(2010), bahwa PTG adalah perubahan yang menguntungkan secara signifikan
dalam hal kognitf dan emosional yang melampaui tingkat adaptasi sebelumnya,
peningkatan fungsi psikologis atau kesadaran akan hidup yang terjadi sebagai
akibat dari trauma pskologis yang menentang asumsi sebelumnya ada tentang
diri sendiri, orang lain, dan masa depan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa PTG
adalah pengalaman perubahan yang positif setelah masa dengan kejadian yang
tidak diinginkan dan tidak menyenangkan dalam kehidupan seeorang, yang
menghasilkan beberapa peningkatan yaitu persepsi diri, hubungan dengan
orang lain dan falsafah hidup.
13
2. Aspek-aspek post traumatic growth
Menurut Tadeschi dan Calhoun (dalam Ramos & Leal, 2013) terdapat 5
aspek PTG, antara lain:
a. Penghargaan terhadap hidup dan perubahan prioritas (Greater Appreciation
of Life and Changed Sense of Priorities)
Sebagai hasil dari rekonstruksi kognitif karena perlawanan dengan
trauma, subjek memiliki rasa kerentanan dan memahami bahwa ia tidak
dapat memprediksi atau mengontrol peristiwa-peristiwa tertentu (Calhoun &
Tedeschi, 2001). Individu juga menyadari ketidakstabilan hidup, secara
berkala dia mulai mengubah prioritas yang sebelumnya penting, dengan
demikian untuk peristiwa-peristiwa tertentu subjek mulai memperhatikan
hal-hal kecil yang sebelumnya dianggap tidak penting (Tedeschi &
Calhoun, 2004), sehingga mengakibatkan berubahnya prioritas kehidupan
dan lebih menghargai kehidupan (Lindstrom, Cann, Calhoun, & Tedeschi,
2013). Tadeschi dan Calhoun (2004) juga menjelaskan bahwa salah satu
indikator PTG pada penghargaan terhadap hidup adalah individu merasakan
kebahagian terkecil yang mengandung makna penting bagi diri indvidu
tersebut.
b. Hubungan dengan orang lain (relating to other)
Hubungan dengan orang lain yang dimakud disini merupakan
perubahan seperti hubungan yang lebih dekat dengan orang lain, lebih intim
14
dan lebih berarti. Seseorang mungkin akan memperbaiki hubungan dengan
orang lain sepeti keluarga dan temannya.
Akibat dari permasalahan yang terjadi, subjek akan memahami situasi
traumatis yang dialaminya untuk menangani stres dan rasa kehilangan. Oleh
sebab itu, subjek mungkin mencari bantuan dan dukungan dari keluarga dan
teman sebagai hasil dari peningkatan diri tentang pengungkapan
pengalaman negatif subjek (Tedeschi & Calhoun, 1996).
Subjek mungkin juga merasakan hubungan emosional yang lebih
tinggi dengan orang lain, serta perasaan kedekatan dan keintiman dalam
hubungan interpersonal (Tedeschi & Calhoun, 1996, 2004). Selanjutnya,
subjek mulai lebih baik menerima bantuan yang diberikan oleh orang lain
dan membuat hubungan yang lebih baik dengan orang sudah ada di
sekitarnya juga membuat jaringan sosial atau memulai pertemanan yang
baru (Calhoun & Tedeschi, 2001).
Pada kenyataannya, hal ini mungkin terjadi secara refleksif, individu
mulai memikirkan mengenai hubungannya dengan orang lain, dengan
demikian beberapa hubungan dapat menjadi lebih bermakna, sementara
yang lain mungkin melemah atau bahkan berakhir (Tedeschi & Calhoun,
2004).
c. Kekuatan dalam diri (personal strength)
Tema yang sering ditemui mengenai laporan PTG adalah
bertambahnya rasa kekuatan personal (Aldwin dkk, 1994). Individu
15
mendapat optimisme dan mengembangkan perasaan aman serta kekuatan
yang diekspresikan dalam ungkapan yang mirip seperti “jika aku mengatasi
ini aku bisa mengatasi apapun”.
Menurut Tadeschi dan Calhoun (dalam Fatiyah, 2016) personal
strength adalah apabila individu mampu mengatasi trauma dan akan bangkit
menjadi individu yang lebih kuat, percaya diri, terbuka, empati, kreatif,
dewasa dan memiliki rasa kemanusiaan. Kekuatan dalam diri seperti
optimisme juga lebih baik bagi kesehatan dan kesejahteraan individu
dibandingkan dengan pesimisme (Carver & Scheier, 1999; Peterson, 2000
dalam Wade & Tavris, 2008)
Persepsi mengenai kekuatan individu yang lebih besar ini
berhubungan dengan pengakuan kemampuan yang lebih untuk menghadapi
tantangan dan kesengsaraan di masa depan, bahkan untuk mengubah situasi
yang perlu diubah. Subjek jelas membedakan bahwa setelah trauma dia
adalah seseorang dengan keahlian dan kekuatan, dibandingkan dari sebelum
trauma (Lindstrom dkk., 2013). Namun, rasa ini lebih besar, karena
kekuatan pribadi disertai oleh persepsi kerentanan individu, dan pemahaman
yang jelas tentang dampak negatif dari peristiwa traumatis dalam hidup
(Tedeschi & Calhoun, 2004).
d. Kemungkinan baru (new possibilities)
Kemungkinan baru mempunyai andil yang cukup besar dalam PTG
karena ketika individu dihadapkan dengan resiko hidup negatif maka
16
individu akan mencari kemungkinan-kemungkinan baru untuk dicari jalan
keluar. Menurut Tadeschi dan Calhoun (Fatiyyah, 2016) new posibilitis
merupakan keinginan individu untuk merubah tujuan hidupnya dan menjadi
individu yang fokus pada keadaan disini dan sekarang (here and now).
e. Perkembangan keyakinan (spiritual development)
Menurut Tadeschi dan Calhoun (Fatiyyah, 2016) individu akan lebih
berpartisipasi dalam kegiatan–kegiatan religiusitas dan lebih bersyukur
dalam kehidupannya. sedangkan menurut Tadechi dan Calhoun (2006)
dalam teorinya di jelakan bahwa PTG hampir selalu berkaitan dengan aspek
spiritual, yang di maksud spiritual dalam konteks ini adalah mengacu pada
rasa syukur terhadap Sang Pencipta.
Perkembangan keyakinan ini sebagai hasil dari kekuatan individu
dalam melakukan perlawanan dengan kondisi stres dan pengalaman trauma
korban. Hal itu terwujud dalam beberapa cara yaitu membuka pertanyaan
religius atau persepsi mengenai pertumbuhan religius atau hal-hal spiritual
(Lindstrom dalam Ramos & Leal, 2013). Kepercayaan dalam hal agama
menemukan arti yang lebih tinggi serta dapat meningkat setelah trauma dan
juga berkontribusi sebagai mekanisme bertahan dalam proses kognitif
(Calhoun & Tedeschi, 2001). Namun demikian, orang yang tidak memiliki
agama mungkin juga mengalami beberapa pertumbuhan dalam aspek rohani
(Tedeschi & Calhoun, 2004).
17
3. Faktor Post traumatic growth
Post traumatic growth kini semakin lebih diakui dalam literatur. Namun
demikian, studi pada faktor-faktor yang memprediksi atau sebagai hasil dari
proses ini masih belum meyakinkan dan kontradiktif (Lindstrom dalam Ramos
&Leal, 2013). Dalam pengertian ini, faktor yang dijelaskan di dalam literatur
sebagai sesuatu yang positif atau negatif juga dikaitkan dengan munculnya dan
perkembangan PTG itu sendiri (Bostock dkk.,; Schaefer & Moos dalam ramos
&Leal, 2013).
Meskipun demikian penelitian di lingkup ini relatif langka, dan data ini
tidak bisa secara lintas budaya di sama ratakan, faktor pra trauma yang
ditemukan sebagai prediksi yang memungkinan sebagai pemicu perkembangan
antara lain: religiusitas, dukungan sosial, peristiwa stress, strategi coping
sebagai interpretasi dan penerimaan, perstiwa hidup yang positif (Cadel dkk,
2003).
Sementara itu faktor-faktor yang mempengaruhi PTG menurut Ramos
dan Leal (2013) antara lain:
a. Tekanan
Pengalaman traumatis menyiratkan berbagai keadaan negatif yang
dapat menyebabkan penderitaan, kerentanan, ketidakpastian dan kurangnya
kontrol atas hidup seseorang. Meskipun demikian, secara bersamaan
individu mungkin memiliki persepsi mengenai manfaat sebagai hasil
18
perjuangan dari trauma (Calhoun & Tedeschi, 2006; Tedeschi & Calhoun,
2004).
Beberapa penelitian menyarankan hubungan yang negatif antara
tekanan dan PTG, yang berarti bahwa jika survivor mengembangkan tingkat
yang lebih tinggi dari PTG ia harus mampu mengatasi gangguan kognitif
dan dengan demikian, tingkat kesulitan seharusnya juga menurun (Cadel,
Regehr, & Hemsworth.,; Tomich & Helgeson, dalam Ramos & Leal, 2013).
b. Karakteristik kepribadian
Beberapa karakteristik kepribadian dapat mempengaruhi
perkembangan PTG. Penelitian menyarankan bahwa terdapat lima besar
karakteristik seperti "extraversion", "Keterbukaan pengalaman",
"agreeableness" dan "kehati-hatian" memiliki hubungan positif dengan
PTG, sementara "neuroticism" tampaknya menjadi negatif apabila dikaitkan
dengan faktor pertumbuhan (Linley & Joseph, 2004; Tedeschi & Calhoun,
2004).
c. Pengungkapan Emosional
Pengungkapan emosional dapat memfasilitasi pemrosesan kognitif
dari trauma, karena ketika individu menggambarkan sebuah peristiwa yang
bisa dimengerti oleh orang lain maka hal itu membuat individu bersedia
menerima pendapat dari orang lain, hal seperti ini akan memfasilitasi proses
kognitif yang berelaborasi dengan pengalaman traumatis (Lepore,
Fernandez Berrocal, Ragan, & Ramos, 2004).
19
d. Strategi Koping
Tipe dari gaya koping yang langsung digunakan setelah trauma
berkaitan dengan proses kognitif yang diterapakan oleh individu, dan hal ini
menentukan tingkat pertumbuhan yang akan dilaporkan. Dalam
kenyataannya, masalah dan koping yang difokuskan pada emosional
(emotional focused coping) keduanya berkaitan positif dengan PTG.
Sementara itu, justru sebaliknya ketika gaya koping yang ditandai dengan
penolakan, penindasan, penekanan emosi atau emosi yang tertekan ini
dilakukan subjek, maka hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan kesehatan (Linley & Joseph, 2004).
e. Dukungan Sosial
Dukungan sosial mempengarui terjadinya proses koping dan
keberhasilan penyesuaian untuk terwujudnya pengalaman traumatis dari diri
subjek, maka dari itu hal ini dapat menjadikan dukungan sosial sebagai
faktor penentu terjadinya PTG (Nolen-Hoeksema & Davis dalam Ramos &
Leal, 2013). Selain itu, persepsi dari perubahan positif pada beberapa aspek
dari kehidupan subjek dapat menciptakan kesempatan untuk menjalin
hubungan yang lebih dekat, menjadi lebih penyayang, menjalin pertemanan
baru, sebagai hasil dari faktor dukungan sosial (Prati & Pietrantoni dalam
Ramos & Leal, 2013).
Hubungan antara kepuasan dengan dukungan sosial dan PTG
terbentuk sebagai proses dua arah. Namun, tidak ada studi yang cukup untuk
20
menentukan apakah dukungan sosial meningkatkan PTG, atau jika hasil dari
pertumbuhan dirasakan apakah meningkatkan kepuasan dengan hubungan
sosial (Schaefer & Moos;Tedeschi & Calhoundalam Ramos & Leal, 2013).
f. Karakteristik lingkungan
Terdapat tiga faktor lingkungan yang telah dikaitkan dengan
pertumbuhan yang dirasakan antara lain jenis kelamin, usia dan tingkat
pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan, orang-orang
muda dan orang-orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi
umumnya lebih cenderung melaporkan adanya pertumbuhan atau manfaat
dari temuan itu sendiri (Linley & Joseph, 2004; Tedeschi & Calhoun, 2004).
g. Pandangan terhadap dunia
Sebagaimana disebutkan di atas, peristiwa yang mengancam jiwa
selalu mengganggu cara berpikir dan asumsi kognitif (Calhoun & Tedeschi,
1998). Ketika dihadapkan dengan situasi traumatis, individu menemukan
dirinya sendiri dan membutuhkan keterlibatan dalam proses kognitif untuk
memahami situasi yang luar biasa (Calhoun, Tedeschi, Cann, & McMillan,
2000).
Peristiwa kehidupan yang sangat menegangkan adalah tantangan
mengenai pandangan dunia seseorang (Janoff-Bulman, 2004) hal ini
cenderung memicu keterlibatan kognitif, tetapi dalam beberapa kasus,
bahkan dalam kondisi yang kurang traumatis mungkin dapat menghasilkan
temuan yang bermanfaat (Cann dkk., 2010).
21
Janoff-Bulman (2004) menghadirkan konsep asumsi dunia untuk
menjelaskan seperangkat keyakinan dasar yang membantu individu untuk
melihat dunia dan masa depan.
Peristiwa yang penuh dengan stres dapat menghancurkan kerangka
untuk memahami dunia, sehingga mengarah ke rekonstruksi kognitif dari
keyakinan utama (Joseph & Linley, 2008), yang pada gilirannya, mungkin
memiliki efek yang sangat kuat dalam rekonstruksi pengalaman pribadi
(Cann dkk., 2010). Setelah merekonstruksi kerangka kognitif yang
terganggu, dengan informasi yang dipelajari saat berjuang melawan trauma,
persepsi perjuangan individu dan kemungkinan baru, yang mungkin
merupakan jalur menuju munculnya PTG dan persepsi akan temuan
mengenai manfaat positif (Cann dkk., 2011; Janoff-Bulman, 2006).
h. Gaya Perenungan
Akibat trauma, individu diganggu dengan pikiran mengenai peristiwa
yang cenderung negatif yang menyerang proses kognitif (Calhoun dkk.,
2000; Nolen-Hoeksema & Davis, 1999). Jenis pemikiran ini terjadi tanpa
keinginan dari seseorang tersebut, dan ini biasanya terkait dengan tingkat
tekanan yang lebih tinggi (Lindstrom dkk., 2013). Dalam proses kognitif
bentuk lain dari perenungan mungkin terjadi secara disengaja, yang mana
hal ini bertentangan dengan sesuatu yang ‘mengganggu’, maka ini berarti
bahwa individu rela berpikir tentang traumanya dengan tujuan yang jelas
22
serta individu berusaha untuk memahami peristiwa yang terjadi dari
perubahan ini dan implikasi masa depan (Cann dkk., 2011).
Kedua jenis perenungan mungkin ada secara berdampingan selama
proses kognitif pemahaman trauma berlangsung. Meskipun demikian,
beberapa teori menyarankan bahwa pikiran yang menganggu adalah hal
yang biasa terjadi setelah adanya trauma dan kemudian akan didominasi
oleh perenungan yang sengaja terjadi (Calhoun & Tedeschi, 2004).
Terdapat temuan-temuan yang bertentangan yang berkaitan dengan
hubungan antara PTG dan perenungan. Beberapa studi menunjukkan bahwa
refleksif berpikir lebih terkait dengan pertumbuhan (Calhoun dkk., 2000).
Hasil penelitian meta-analisis, Helgeson dkk. (2006) menguraikan hubungan
antara manfaat yang ditemukan dalam pikiran yang mengganggu. Sementara
itu, TAKU dkk. (2009) mengungkapkan bahwa kedua bentuk perenungan
yang positif dikaitkan dengan perkembangan PTG, meskipun perenungan
disengaja ini sangat terkait dengan pertumbuhan yang lebih besar.
i. Spiritualitas / religiusitas
Keyakinan spiritual dan keagamaan keduanya telah diakui sebagai
faktor penting yang berkontribusi pada persepsi pertumbuhan (Calhoun
dkk., 2000). Perjuangan dan kesulitan dapat mengakibatkan hubungan yang
lebih baik dengan keagamaan dan pemahaman yang lebih baik bagi isu-isu
spiritualitas (Park dkk., 1996).
23
Beberapa studi empiris telah mengusulkan hubungan positif antara
religiousness spiritualitas, proses kognitif dan pertumbuhan yang dirasakan
(Calhoun dkk., 2000; Prati & Pietrantoni, 2009). Namun, spiritualitas adalah
konsep yang sangat kompleks, yang mungkin tidak hanya memfasilitasi
PTG, tetapi juga untuk mendorong adanya penurunan (Pargament dkk.,
2006).
j. Optimisme
Menurut beberapa data empiris, optimisme tampaknya terkait dengan
proses PTG (Zoellner & Maercker, 2006). Penggunaan coping adaptif,
pemahaman yang positif tentang situasi, mengancam ekspresi perasaan
positif dan mencari dukungan sosial adalah ciri-ciri yang sering
menghadirkan optimis, dan yang dapat memfasilitasi persepsi positif
perubahan berikut trauma (Prati & Pietrantoni, 2009). Dalam penelititan
meta-analisis Bostock dkk. (2009) menunjukkan bahwa optimisme
sepertinya dapat untuk meningkatkan PTG.
24
PERSON PRETRAUMA
SEISMIC EVENT
CHALLENGES
MANAGEMENT OF
EMOTIONAL
DISTRESS
FUNDAMENTAL
SCHEMAS BELIEFS &
GOALS
LIFE NARRATIVE
RUMINATION
MOSTLY AUTOMATIC &
INTRUSIVE
SELF DISCLOSURE
WRITING, TALKING, &
PRAYING
REDUCTION OF EMOTIONAL DISTRESS
MANAGEMENT OF AUTATIC RUMINATION
DISENGAGEMENT FROM GOALS
SOCIOCULTURAL
PROXIMATE: e.g.,
MODELS FOR
SCHEMAS
POSTTRAUMATIC
GROWTH
DISTAL: e.g., SOCIETAL
THEMES
RUMINATION MORE DELIBERATE
SCHEMA CHANGE NARRTIVE
DEVELOPMENT
ENDURING
DISTRESS
POSTTRAUMTIC
GROWTH
(5 DOMAINS)
NARRATIVE
&
WISDOM
4. Proses Post Traumatic Growth
Mengenai model umum dari proses PTG terdapat gambaran singkat dari
komponen umum PTG, bersama dengan sedikit pembaruan skematis (Bagan
1).
Bagan 1. Proses Terjadinya Post traumaic Growth
(Sumber: Calhoun & Tadeschi, 2006. Page 8)
25
Pada bagan 1 Tadeschi dan Calhoun (2006) menjelaskan lebih banyak
elaborasi dan ekspansi model yang dapat membantu memperluas cara-cara di
mana proses PTG dapat dipahami. Beberapa elemen kunci dari model ini
antara lain: karakteristik individu dan keadaan menantang, manajemen tekanan
emosional, perenungan, pengungkapan diri, pengaruh sosiokultural terjauh dan
terdekat, narasi pengembangan, dan kebijaksanaan hidup. Dalam bagian ini,
Calhoun dan Tadeschi (2006) memberikan elaborasi dari unsur-unsur dari
model yang mewakili ekstensi dari apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Tadeschi dan Calhoun (2006) menjelaskan beberapa karakteristik
individu dan gaya seseorang mengatur emosinya dapat meningkatkan
kemungkinan untuk mengalami pengalaman PTG. Selanjutnya tingkat
self-disclosure seseorang tentang keterbukaannya akan emosi dan perspektif
mereka akan krisis yang dihadapi, mungkin juga memegang peranan dalam
terjadinya PTG seseorang. Kemudian dapat digambarkan bagaimana proses
kognitif dalam menghadapi kejadian traumatik, seperti proses pemikiran
berualang atau perenungan (ruminative thougth) juga berhubungan dengan
munculnya PTG. Sehinga dapat diasumsikan bahwa proses kognitif seseorang
dalam keadaan krisis memainkan peranan yang penting dalam proses PTG.
Calhoun dan Tadeschi (2006) mengakui bahwa ini adalah model umum,
dan ternyata beberapa spesifikasi variasi mungkin diperlukan untuk
perhitungan khusus untuk domain yang berbeda dari PTG. Tadeschi (1999)
juga menjelaskan bahwa proses PTG belum diteliti secara terpisah dari literatur
26
tentang respon paska trauma bersama dengan informasi klinis dari orang-orang
yang telah melaporkan hasil pertumbuhan. Namun dari pembahasan ini dapat
kita simpulkan bahwa belum terdapat teori mengenai proses PTG yang mutlak.
Proses-proses yang telah dijelaskan dalam berbaai jurnal penelitian PTG
mrupakan hasil dari laporan orang-orang yang tela mencapai pertumbuhan
tersebut. Dalam pengembangan lapangan, individu sering melaporkan beberapa
aspek dari pertumbuhan yang dialaminya lebih dari orang lain, itu akan
diperlukan untuk dapat memprediksi bagaimana variasi ini terjadi
(Calhoun&Tadeschi, 2006).
5. Stres pasca trauma pada korban kecelakaan lalu lintas
a. Trauma
Trauma digambarkan sebagai keadaan yang dialami oleh seseorang
yang berada di luar jangkauan manusia biasa dan dapat menyebabkan
distres pada hampir setiap orang. menurut Eth & Pynoos (Gill, 1991)
trauma psikis terjadi ketika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang
menekan yang akhirnya menyebabkan rasa tidak berdaya dalam mengatasi
kecemasan, atau ketakutan akibat bahaya yang dirasa mengancam.
Seseorang yang mengalami trauma sering merasa peristiwa buruk
yang menimpanya terulang kembali. Hal ini biasanya disebut flash back
atau menghidupkan kembali peristiwa. Individu mungkin mempunyai
gambaran mental di kepalanya tentang trauma, mengalami mimpi buruk,
bahkan mungkin mengalami halusinasi tentang trauma. Gejala ini sering
27
menyebabkan seseorang kehilangan “saat sekarang” dan bereaksi
seolah-olah mereka mengalami seperti awal trauma terjadi. Seseorang
yang mengalami trauma berusaha untuk menghindari segala sesuatu yang
mengingatkan mereka kembali pada kejadian traumatis. mereka mungkin
menghindari orang, tempat, benda-benda yang mengingatkan rasa sakit,
perasaan yang berlebihan.
b. Stres
Stres menurut Hartono (2007) adalah reaksi non-spesifik manusia
terhadap rangsangan atau tekanan (stimulus stressor). Stres juga merpakan
suatu reaksi adaptif, bersifat sangat individual, Sehingga suatu stres bagi
seseorang belum tentu sama tanggapanya bagi orang lain. Hal ini sangat
dipengarui oleh tingkat kematangan berpikir, tingkat pendidikan, dan
kemampuan adaptasi seseorang terhadap lingkungannya. Tekanan stres
(stressor) akan membebani individu dan mengakibatkan gangguan
keseimbangan fisik maupun psikis. Batas kritis tekanan yang menibulkan
stres sangat bervariasi antar indivdu.
Sementara itu menurut Supratiknya (2000) stres adalah keadaan
yang menekan, khususnya secara psikoogis. Keadaan ini dapat
ditimbulkan oleh berbagai sebab, seperti:
1) Frustasi yang menyebabkan hilangnya harga diri, yang disebabkan
oleh berbagai macam faktor; kehilangan entah manusia, benda
yang dipandang sangat bernilai, sumber penghidupan, dan
28
sebagainya; keterbatasan yang melapaui batas, misalnya cacat fisik
yang sangat mengganggu, kemiskinan yang ekstreem, perasaan
tidak berdaya akibat pengalaman gagal yang terus menerus; rasa
bersalah,karena pernah atau merasa pernah melakukan perbuatan
yang tidak bermoral; kesepian karena memang terisolasi dan
pergaulan sosial atau karena tidak meiliki orang yang dicintai dan
mencintainya.
2) Konflik nilai, yakni pertentangan antara nilai-nilai pribadi,
kususnya antara nilai-nilai yang bersifat egoistik dan nilai-nilai
yang bersifat alturistik atau antara nilai-niai yang konstruktif dan
nilai-nilai yang destruktif. Misalnya antara konformitas dan
nonkonformitas, sikap reksa atau sikap acuh tak acuh terhadap
sesama, dorongan untuk menghindar atau mengatasi masalah, sikap
jujur teradap diri sendiri maupun orang lainatau sikap culas.
3) Tekanan kehidupan moderen, berupa suasana kompetisi di hampir
bidang, tuntutan yaang semakin tinggi alam hal pendidikan, irama
hidup yang serba cepat, ruang fisik yang semakin menyempit,
kehidupan moderen yang semakin kompleks.
4) Faktor faktor sosiokultural
Faktor-faktor sosiokultural melipui obyektif dalam masyarakat atau
tuntutan dari masyarakat yang dapat berakibat menimbulkan
29
tekanan pada individu dan selanjutnya melahikan berbagai bentuk
gangguan, seperti:
a. Suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi
kekerasan.
b. Terpaksa menjalankan peran sosial yang berpoteni
menimbulkan gangguan, seperti menjadi tentara yang dalam
peperangan harus membunuh musuh, terlihat dalam situasi
kekerasan, dan sebagainya.
c. Menjadi korban prasangka dan diskriinasi berdasarkan
penggolongan tertentu, seperi berdasarkan suku, agama, ras,
afilasi, poltik, dan sebagainya.
d. Resesi ekonomi dan kehilangan pekerjaan.
e. Perubahan sosial dan iptek yang cepat, melapaui kemampuan
wajar orang untuk menyesuaikan diri.
6. Kecelakaan Lalu Lintas
Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 1 nomor 24,
kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak
disangka-sangka dan tidak diengaja melibatkan kendaraan dengan atau
tanpa pemakai jalan lainnya yang mengakibatkan korban manusia atau
kerugian harta benda. Sementara itu mengenai korban kecelakaan lalu lintas
dapat berupa:
30
a) Korban meninggal, yaitu korban yang dipastikan meninggal atau
menghilangnya nyawa dari seseorang tesebut sebagai akibat kecelakaan
lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
kecelakaan terebut.
b) Korban luka berat, yaitu korban yang karena luka-lukanya menderita
cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga
puluh) hari sejak terjadinya kecelakaan.
c) Korban luka ringan, yaitu korban yang tidak termasuk dalam pengertian
korban meninggal dan korban dengan luka berat.
Sementara itu kriteria korban kecelakaan lalu lintas yang diberikan oleh
PT Jasa Marga adalah sebagai berikut:
a. Korban luka ringan, yaitu dimana keadaan korban mengalami
luka-luka yang tidak membahayakan jiwa dan tidak memerlukan
pertolongan atau perwatan lebih lanjut di rumah sakit. Kriteria dari
luka ringan itu sendiri terdiri dari luka kecil dengan pendarahan
sedikit dan penderita sadar, luka bakar dengan luas kurang dari 15%,
terkilir dari anggota badan yang ringan tanpa komplikasi. Dalam hal
ini, korban dalam keadaan sadar, tidak pingsan ataupun
muntah-muntah.
b. Luka berat, yaitu korban mengalami luka-luka yang dapat
membahayakan jiwanya dan memerlukan pertolongan atau
31
perawatan lebih lanjut dengan segera di rumah sakit. Adapun kriteria
dari luka berat itu sendiri terdiri dari:
1. Luka yang menyebabkan keadaan penderita menurun, biasanya
mengenai bagian kepala atau batang kepala.
2. Luka bakar yang luasnya meliputi 25% dengan luka baru.
3. Patah tulang anggota badan dengan komplikasi disertai rasa nyeri
yang hebat dan pendarahan hebat.
4. Pendarahan hebat kurang lebih 500 cc.
5. Benturan atau luka yang mengenai badan penderita yang
menyebabkan kerusakan alat-alat dalam, misal ; dada, perut, usus,
kandung kemih, ginjal, hati, tulang belakang, dan batang kepala.
c. Korban meningal adalah keadaan diamana penderita terdapat
tanda-tanda kematian secara fisik. Korban meninggal adalah korban
kecelakaan lalu lintas yang meninggal di lokasi atau meninggal
selama perjalanan ke rumah sakit.
Korban kecelakaan lalu lintas memiliki kemungkinan mengalami stres
paska kecelakaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang
langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi
merupakan reaksi paska kecelakaan seperti kesakitan secara fisik, rasa
bersalah, takut, cemas, marah, dan tidak berdaya.
Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang
dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki
32
rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan
juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres
jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan
istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka Annisa dalam
Prasetyo, 1997).
B. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana proses post traumatic growth pada korban kecelakaan
lalu lintas?