Bab II Studi Karakteristik bahan makanan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kimia makanan

Citation preview

  • BAB 2

    STUDI KARAKTERISTIK PENGERINGAN SIMPLISIA

    Pendahuluan

    Pengeringan merupakan proses pengeluaran air dari dalam bahan secara

    termal untuk menghasilkan produk kering. Pengeringan sudah dikenal sejak dulu

    sebagai salah satu metode pengawetan produk bahan pertanian. Proses ini

    dipengaruhi oleh kondisi eksternal yaitu suhu, kelembaban, kecepatan dan

    tekanan udara pengering serta kondisi internal seperti kadar air, bentuk/geometri,

    luas permukaan dan keadaan fisik bahan. Setiap kondisi yang berpengaruh di atas

    dapat menjadi faktor pembatas laju pengeringan (Brooker et al. 1981).

    Pengeringan merupakan metode pengawetan produk yang cukup kompleks

    terutama disebabkan oleh adanya perubahan yang tidak diinginkan atas kualitas

    produk keringnya (Madamba et al. 1996; Mujumdar & Menon 1995). Tujuan

    dasar dalam pengeringan produk pertanian adalah pengurangan air dalam bahan

    sampai ke tingkat tertentu, di mana mikroba pembusuk dan kerusakan akibat

    reaksi kimia dapat diminimalisasi (Rizvi 2005), sehingga kualitas produk

    keringnya dapat dipertahankan.

    Salah satu produk pertanian yang memerlukan proses pengeringan adalah

    tanaman obat temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.) Rosc.) dan temu lawak

    (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang termasuk ke dalam suku Zingiberaceae.

    Bagian tanaman ini yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional atau

    lebih dikenal dengan jamu adalah umbi akar (rhizome) berupa irisan yang

    dikeringkan, disebut simplisia. Kadar air rimpang temu putih dan temu lawak

    pada saat dipanen berkisar 80-90%, angka ini cukup tinggi sehingga komoditas ini

    mudah rusak bila tidak segera diolah atau dikeringkan. Menurut Farmakope

    Herbal Indonesia (Depkes 2008) dan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

    661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air

    maksimum simplisia adalah 10%. Pada umumnya petani dan pedagang

    pengumpul melakukan pengeringan dengan cara penjemuran yang rawan

    kontaminasi. Selain itu tingkat suhu dan kelembaban penjemuran tidak cukup

    memadai sehingga sulit untuk mencapai standar kadar air yang disyaratkan. Untuk

  • 10

    meningkatkan kualitas hasil pengeringan maka cara pengeringan dengan

    penjemuran alami harus diganti dengan teknik pengeringan yang lebih modern.

    Untuk itu informasi tentang karakteristik pengeringan dan sifat-sifat termofisik

    setiap produk secara spesifik termasuk temu putih dan temu lawak harus

    diketahui, hal ini diperlukan dalam membuat desain rancangan proses dan

    peralatan pengeringannya.

    Studi tentang perilaku pengeringan tanaman obat dan herbal telah menjadi

    topik yang menarik bagi berbagai peneliti, antara lain jahe (Balladin et al. 1996),

    paprika hijau dan bawang (Kiranoudis et al. 1992), bawang (Shaarma et al. 2005),

    wortel (Doymaz 2004), teh hitam (Panchariya et al. 2002; Temple & Boxtel

    1999), daun ketumbar (Ahmed et al. 2001), daun mint (Park et al. 2002), dan

    rosehip (Erenturk et al. 2004).

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh kondisi suhu,

    kelembaban relatif dan laju udara pengeringan terhadap karakteristik pengeringan,

    menentukan model matematis pengeringan serta mengkaji pengaruh kondisi

    pengeringan terhadap konstanta pengeringan lapisan tipis temu putih dan temu

    lawak.

    Tinjauan Pustaka

    Teori Pengeringan

    Pengeringan adalah proses penguapan air dari bahan yang dikeringkan

    dengan memberikan panas atau energi. Panas yang disuplai dapat melalui cara

    konveksi, konduksi dan radiasi. Lebih dari 85% pengering industri merupakan

    tipe konveksi dengan medium udara panas atau gas buang. Panas diberikan pada

    lapisan batas bahan yang dikeringkan dan selanjutnya terdifusi kedalam bahan

    secara konduktif. Air dalam bahan akan bergerak ke lapisan batas dan kemudian

    menguap dan dibawa oleh udara pengeringan (Mujumdar & Menon 1995).

    Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Laju penguapan air

    bebas sebanding dengan perbedaan tekanan uap pada permukaan air terhadap

    tekanan uap pengering (Henderson & Perry 1976). Bila konsentrasi air permukaan

    cukup besar, maka akan terjadi laju penguapan yang konstan.

  • 11

    Air bebas adalah bagian air yang terdapat pada permukaan bahan, dapat

    digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya serta dijadikan sebagai media

    reaksi-reaksi kimia. Air bebas dapat dengan mudah diuapkan pada proses

    pengeringan. Untuk menguapkan air bebas diperlukan energi yang lebih kecil

    daripada menguapkan air terikat.

    Air terikat dibagi menjadi dua, yaitu air yang terikat secara fisik dan air

    yang terikat secara kimiawi. Air yang terikat secara fisik merupakan bagian air

    yang terdapat dalam jaringan matriks bahan karena adanya ikatan-ikatan fisik.

    Apabila kandungan ini diuapkan maka pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan

    (browning), hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi.

    Bila air permukaan telah habis, maka akan terjadi migrasi air dan uap dari

    bagian dalam ke permukaan secara difusi (Hall 1957; Henderson & Perry 1976).

    Difusi air atau uap air dalam bahan dapat terjadi melalui satu atau beberapa

    mekanisme berikut (Jangam & Mujumdar 2010):

    Difusi cair (liquid diffusion), jika suhu bahan berada di bawah suhu titik didih

    (boiling point) cairan

    Difusi uap air (vapor diffusion), jika air menguap di dalam bahan

    Difusi Knudsen, jika pengeringan terjadi pada suhu dan tekanan yang sangat

    rendah seperti pada proses pengeringan beku

    Difusi permukaan (surface diffusion), mungkin terjadi walaupun belum

    terbukti

    Perbedaan tekanan hidrostatis (hydrostatic pressure differences), terjadi ketika

    laju penguapan internal lebih besar daripada laju transfer uap air dari bahan ke

    lingkungan

    Kombinasi dari mekanisme di atas.

    Struktur fisik bahan yang dikeringkan mengalami perubahan sepanjang

    waktu pengeringan sehingga mekanisme penguapan juga dapat berubah.

    Pengeringan merupakan operasi yang kompleks yang melibatkan fenomena

    transfer panas dan massa secara simultan. Proses ini dapat menyebabkan

    terjadinya perubahan fisik dan kimiawi bahan. Perubahan secara fisik meliputi

    penyusutan, puffing, kristalisasi dan transisi gelas, sedangkan secara kimia

    menyebabkan perubahan warna, tekstur, bau dan sifat-sifat bahan lainnya.

  • 12

    Pengeringan merupakan unit operasi dengan tingkat konsumsi energi tinggi dan

    bersaing dengan proses destilasi sebagai the most energy-intensive unit operation

    sehubungan dengan tingginya panas laten penguapan air dan ketidakefisienan

    (inherent inefficiency) dari penggunaan udara panas sebagai media pengeringan

    pada umumnya (Jangam & Mujumdar 2010).

    Pada proses pengeringan terdapat dua jenis laju pengeringan, yaitu laju

    pengeringan konstan (constant rate) dan laju pengeringan menurun (falling rate).

    Grafik laju pengeringan ini dapat dilihat pada Gambar 2-1. Menurut Brooker et al.

    (1981) laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan produk

    dengan kadar air lebih besar dari 70% bb. dan merupakan fungsi dari suhu,

    kelembaban udara, dan kecepatan udara pengering. Umumnya laju pengeringan

    konstan merupakan periode yang singkat sehingga dapat diabaikan dalam proses

    pengeringan (Henderson & Perry 1976).

    Gambar 2-1. Kurva pengeringan (Hall 1957)

    Laju pengeringan menurun terjadi setelah akhir laju pengeringan konstan,

    dimana kadar air bahan pada perubahan laju pengeringan ini disebut kadar air

    kritis (critical moisture content) (Hall 1957; Henderson & Perry 1976). Laju

    pengeringan menurun sering dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap laju

    pengeringan menurun pertama dan tahap laju pengeringan menurun kedua. Tahap

    AB

    C

    D

    E

    M

    t

  • 13

    laju pengeringan menurun pertama terjadi pada saat berkurangnya permukaan

    bahan yang basah karena kecepatan pergerakan air dari dalam lebih kecil

    dibandingkan kecepatan penguapan di permukaan (Heldman & Singh 1981).

    Sedangkan laju pengeringan menurun kedua terjadi pada saat bagian dalam bahan

    menguap dan uap air berdifusi ke permukaan. Gambar laju pengeringan konstan

    dan laju pengeringan menurun dapat dilihat pada Gambar 2-2, dimana:

    A-B : periode pemanasan

    B-C : laju pengeringan konstan

    C : kadar air kritis

    C-D : periode penurunan laju pengeringan pertama

    D-E : periode penurunan laju pengeringan kedua

    Gambar 2-2. Kurva karakteristik laju pengeringan (Hall 1957)

    Kadar air kritis adalah kadar air terendah dimana laju air bebas dari dalam

    bahan ke permukaan tidak terjadi lagi. Pada periode laju pengeringan menurun

    terjadi penurunan tekanan uap dari permukaan produk di bawah tekanan uap

    jenuh. Karena uap air secara terus menerus meninggalkan bahan, maka tekanan

    uap dalam bahan semakin kecil, yang berarti perbedaan tekanan uap antara bahan

    dengan udara disekitarnya semakin kecil. Kondisi tersebut akan menghasilkan

    penurunan pada laju pengeringan produk, sehingga disebut dengan laju

    pengeringan menurun.

    E

    D

    C BA

    LP

    M

    Laju pengeringanmenurun

    Laju pengeringan tetap

    Me

    dM/dt

  • 14

    Besarnya laju pengeringan berbeda-beda pada setiap bahan. Faktor-faktor

    yang mempengaruhi laju pengeringan tersebut adalah:

    1. Bentuk bahan, ukuran, volume dan luas permukaan.

    2. Sifat termofisik bahan, seperti: panas laten, panas jenis spesifik, konduktifitas

    termal dan emisivitas termal.

    3. Komposisi kimia bahan, misalnya kadar air awal

    4. Keadaan diluar bahan, seperti suhu, kelembaban udara

    Pada Gambar 2-3 terlihat beberapa tipe kurva pengeringan yang umum

    digunakan dalam menggambarkan proses pengeringan (Kemp et al. 2001).

    Gambar 2-3. Kurva Pengeringan (Kemp et al. 2001)

    Kadar Air Keseimbangan

    Kadar air keseimbangan didefinisikan sebagai nilai kandungan air bahan

    pada saat tekanan uap air di permukaan bahan seimbang dengan tekanan uap air

    lingkungannya (Hall 1957). Konsep kadar air kesimbangan ini penting dalam

    mempelajari proses pengeringan karena akan menentukan kadar air minimum

    yang dapat dicapai pada kondisi pengeringan tertentu (Brooker et al. 1981).

    Jika tekanan uap air di permukaan bahan lebih besar dari udara sekitar akan

    terjadi pelepasan air dari bahan ke udara (proses desorspsi), sedangkan pada

    keadaan sebaliknya terjadi penyerapan air oleh bahan (proses adsorpsi). Brooker

  • 15

    et al. (1981) menyebutkan bahwa dalam kondisi seimbang laju desorpsi sama

    dengan adsorpsi. Kondisi keseimbangan ini spesifik untuk setiap jenis bahan pada

    kelembaban nisbi dan suhu tertentu. Henderson menggambarkan hubungan antara

    kadar air keseimbangan dengan kelembaban nisbi dan suhu adalah sebagai berikut

    (Brooker et al. 1981):

    1 - RH = exp (- c T Men) (2.1)

    Kurva persamaan di atas ditampilkan dalam hubungan kadar air keseimbangan

    terhadap kelembaban nisbi pada suhu tertentu. Persamaan Henderson banyak

    dipakai termasuk dalam penelitian ini karena bentuknya sederhana walupun

    demikian persamaan tersebut cukup representatif.

    Model matematika pengeringan lapisan tipis

    Henderson & Perry (1976) menyatakan bahwa pengeringan lapisan tipis

    adalah pengeringan dimana semua bahan yang terdapat dalam lapisan menerima

    secara langsung aliran udara dengan suhu dan kelembaban relatif yang konstan,

    dimana kadar air dan suhu bahan seragam. Pengeringan rimpang temu putih

    menggunakan metode lapisan tipis karena semua permukaan bahan menerima

    langsung panas yang berasal dari udara pengering.

    Untuk menduga perubahan kadar air bahan selama pengeringan lapisan

    tipis, dikembangkan model matematika baik secara teoritis, semi teoritis dan

    empiris. Luikov (1966) dalam Brooker et al. (1981) telah mengembangkan model

    matematik dalam bentuk persamaan diferensial untuk menggambarkan proses

    pengeringan dari produk hasil pertanian sebagai berikut:

    = 2K1.1M +

    2K1.2T + 2K1.3P

    = 2K2.1M +

    2K2.2T + 2K2.3P

    = 2K3.1M +

    2K3.2T + 2K3.3P (2.2)

    Mekanisme perpindahan massa dalam bahan pertanian adalah kompleks.

    Pengeringan bahan-bahan biologik pada umumnya mengikuti periode laju

    pengeringan menurun. Pada periode ini perpindahan air atau uap air dikendalikan

    secara difusi. Dengan menganggap bahwa resistensi perpindahan air tersebar

  • 16

    secara merata didalam bahan yang homogen, analogi hukum Newton untuk

    pendinginan pada persamaan (2.3) dipakai untuk analisis pengeringan.

    = (2.3)

    Dalam persamaan ini diasumsikan bahwa sampel cukup tipis dan kecepatan udara

    tinggi (minimum 0.3 m/s), suhu dan kelembaban udara yang melalui bahan dijaga

    tetap konstan. Pengeringan lapisan tipis didasarkan pada pengeringan bahan yang

    sepenuhnya terbuka terhadap hembusan udara yang menyebabkan semua bahan

    dalam lapisan tersebut mengalami pengeringan secara seragam (ASABE 2006) .

    Persamaan (2.3) dapat diintegralkan menjadi (Palipane & Driscoll 1994;

    Pahlavanzadeh et al. 2001; Doymaz & Pala 2003):

    = 0

    = exp (2.4)

    Konstanta pengeringan merupakan karakteristik bahan dalam

    mempertahankan air yang terkandung didalamnya terhadap pengaruh udara panas.

    Konstanta pengeringan dinyatakan sebagai persatuan waktu (1/menit atau 1/jam).

    Makin tinggi nilai konstanta pengeringan makin cepat suatu bahan membebaskan

    airnya. Konstanta pengeringan (k) dalam sistem pengeringan lapis tipis

    tergantung pada kondisi bahan (kadar air, suhu dan geometri bahan) dan kondisi

    pengeringan (suhu, kelembaban dan laju aliran udara pengering).

    Model pengeringan lapisan tipis membedakan perilaku pengeringan bahan-

    bahan biologik dalam tiga kategori, yaitu teoritis, semi-teoritis dan empiris. Model

    semi-teoritis pada umumnya diperoleh dari penyederhanaan deret umum dari

    solusi hukum Fick kedua atau modifikasi dari penyederhanaan model dan berlaku

    (valid) pada selang suhu, kelembaban nisbi dan kecepatan udara dimana model

    dibangun (Ozdemir & Derves 1999). Diantara model-model pengeringan lapisan

    tipis (Tabel 2-1), model Lewis, Henderson-Pabis, two-term dan model Page

    adalah yang paling sering digunakan (Akpinar et al. 2003; Madamba et al. 1996).

    Model-model semi teoritis dan empiris ini pada umumnya dapat menjelaskan

    proses pengeringan lapisan tipis secara memuaskan (Sarsavadia et al. 1999; Rizvi

    2005).

  • 17

    Tabel 2-1. Model-model persaman matematis pengeringan lapisan tipis

    (Ertekin & Yaldiz 2004; Ceylan et al. 2007)

    No Model Persamaan

    1 Lewis MR = exp(k t)

    2 Henderson-Pabis MR = a exp(k t)

    3 Page MR = exp(kt n )

    4 Modified Page MR = exp(k t )n

    5 Logarithmic MR = a exp(k t) + c

    6 Two-term MR = a exp(k1 t) + b exp(- k2 t)

    7 Wang and Singh MR = 1 + a t + b t2

    Pengeringan Simplisia

    Simplisia merupakan produk pertanian yang setelah melalui proses panen dan

    pasca panen menjadi produk sediaan kefarmasian untuk dipakai atau diproses

    lebih lanjut. Simplisia juga dibuat untuk pemenuhan stok dalam proses produksi.

    Proses pembuatan simplisia mempengaruhi mutu simplisia yang mencakup

    komposisi zat atau bahan aktif, kadar air akhir, kontaminasi dan keawetan. Secara

    teknis kegiatan pasca panen diawali dengan proses pengangkutan hasil panen,

    sortasi, pengupasan, pencucian, perajangan, pengeringan, pengepakan,

    penyimpanan. Pasca panen sebagai mata rantai proses untuk memperoleh jaminan

    mutu bagi simplisia, secara umum sangat dipengaruhi oleh (1) kandungan air

    bahan, (2) suhu (pemanasan) selama proses pengeringan, (3) sinar ultra violet dan

    (4) pH pada saat enzim di dalam jaringan bahan masih dalam kondisi aktif

    (Pantastico et al. 1975).

    Ketika tanaman dipanen, aktivitas metabolisme yang terjadi di dalam

    tanaman berhenti, tetapi komponen-komponen kimia seperti enzim (hidrolase,

    oksidase, polymerase) yang tertinggal pada jaringan bahan yang dipanen belum

    berhenti. Enzim memiliki sifat tidak tahan terhadap pemanasan. Aktifitas enzim

    dapat dihentikan dengan melakukan proses blansir (blanching) terlebih dahulu

    sebelum pengeringan (Ertekin & Yaldiz 2004). Kerusakan fisik dapat terjadi

    karena aktivitas air yang kurang terkontrol sehingga menimbulkan cemaran,

    khususnya mikroba. Proses pengeringan dengan menggunakan sinar matahari atau

    oven merupakan alternatif lain untuk menghentikan aktivitas enzim dan mencegah

    timbulnya cemaran mikroba. Tetapi beberapa bahan mudah rusak jika dikeringkan

  • 18

    langsung dibawah paparan sinar matahari yang mengandung sinar ultra violet,

    misalnya bahan yang mengandung minyak atsiri, pro-vitamin A dan zat

    antioksidan. Demikian juga dengan suhu pengeringan yang terlalu tinggi dapat

    menyebabkan kandungan zat aktif dalam bahan berkurang bahkan hilang.

    Pengaturan suhu selama proses pengeringan merupakan salah satu kunci

    keberhasilan dalam menghasilkan simplisia yang baik, secara fisik maupun kimia.

    Untuk memperoleh kualitas optimal, Farmakope Herbal Indonesia menyatakan

    pengeringan sebaiknya dilakukan pada suhu tidak lebih dari 60o C (Depkes 2008).

    Studi tentang perilaku pengeringan tanaman obat telah menjadi topik yang

    menarik bagi berbagai peneliti, antara lain jahe (Balladin et al. 1996), paprika

    hijau dan bawang (Kiranoudis et al. 1992), bawang (Shaarma et al. 2005), wortel

    (Doymaz 2004), teh hitam (Panchariya et al. 2002; Temple & Boxtel 1999), daun

    ketumbar (Ahmed 2001), daun mint (Park et al. 2002), dan rosehip (Erenturk et

    al. 2004). Izadifar & Baik (2007) melakukan studi tentang pengeringan akar

    tanaman obat Podophyllum peltatum. Studi yang komprehensif tentang

    karakteristik pengeringan lapisan tipis rimpang tanaman obat temu putih dan temu

    lawak belum dilakukan.

    METODE

    Waktu dan Tempat

    Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa

    Departemen Teknik Pertanian, Fateta IPB Bogor pada bulan Maret 2009 hingga

    Juni 2010.

    Bahan dan Alat

    Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah rimpang temu putih dan

    temu lawak yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balittro Bogor. Alat-alat yang

    digunakan antara lain: pengering laboratorium terkendali-terakuisisi, timbangan

    digital model AQT 200 (kapasitas 200 gram dan ketelitian 0.01 gram), oven Ikeda

    Scientific SS204D, desikator, anemometer Kanomax A541 dan seperangkat

    pengolah data.

  • 19

    Pengering Laboratorium

    Alat pengering laboratorium didesain dan dibuat memenuhi standar untuk

    percobaan lapisan pengeringan tipis dimana suhu dan kelembaban nisbi (RH)

    dapat dijaga konstan (Lampiran 1). Pengontrolan kondisi pengeringan dilakukan

    dengan kontrol PID dengan akurasi suhu 1oC dan RH 2% sesuai dengan

    standar (ASABE 2006). Kondisi pengeringan yang dapat dilakukan berada pada

    selang suhu 30-80 oC dan RH 20-90%. Sensor suhu dan RH menggunakan SHT15

    keluaran Sensirion. Secara keseluruhan alat pengering dikontrol oleh

    mikroprosesor AVR Atmel. Alat ini dilengkapi juga dengan sistim humidifier

    2000 W, sistim pemanas 2000 W, kipas elektrik dan dehumidifier. Kecepatan

    udara pengering yang melalui ruang pengering (drying chamber) yang berdimensi

    35 cm 35 cm 35 cm dikontrol secara manual dan diukur dengan menggunakan

    anemometer digital Kanomax dengan akurasi 0.1 m/s. Skema alat pengering

    terlihat pada Gambar 2-4.

    .

    Gambar 2-4. Skema fungsional (kiri) alat pengering laboratorium (kanan)

    Prosedur Percobaan

    Bahan berupa rimpang temu putih dan temu lawak dibersihkan, dicuci dan

    diiris melintang dengan menggunakan pisau. Sebelum dikeringkan, irisan temu

    putih dan temu lawak direndam dahulu dalam air dengan suhu 95 oC (diblansir)

    selama 5 menit (Ertekin & Yaldiz 2004). Sampel temu putih kemudian diletakkan

  • 20

    pada wadah sedemikian rupa dalam bentuk lapisan tipis. Tebal irisan sampel

    sekitar 3-4 mm dan berat sampel setiap pengeringan berkisar 150 gram. Pada

    setiap percobaan, alat pengering dihidupkan sekitar setengah sampai satu jam

    sebelum percobaan dimulai untuk menstabilkan ruangan pengering sesuai dengan

    kondisi percobaan yang diinginkan. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis

    temu putih yang dilakukan adalah pada suhu 40, 50, 60 dan 70 oC dengan RH

    20%, 40%, 60%, dan 80% serta laju aliran udara pengering v1 (0.8-0.9 m/s) dan

    v2 (0.2-0.3 m/s) (Tabel 2.2) sedangkan untuk pengeringan temu lawak dilakukan

    pada suhu 50, 60 dan 70 oC serta RH 20%, 30% dan 40% (Tabel 2.3).

    Tabel 2-2. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu putih

    Suhu RH

    20% 40% 60% 80% *

    40 oC

    50 oC

    60 oC

    70 oC

    Laju alira udara v1 (0.8-0.9 m/s) - v2 (0.2-0.3 m/s)

    *) hanya v1

    Tabel 2-3. Kondisi percobaan pengeringan lapisan tipis temu lawak

    Suhu RH

    20% 30% 40%

    50 oC

    60 oC

    70 oC

    Laju aliran udara 0.8-0.9 m/s

    Berat dan suhu bahan serta suhu dan kelembaban udara pengering dimonitor

    secara kontinu dan direkam datanya setiap 5 menit selama percobaan. Perubahan

    berat sampel diukur langsung secara otomatis dengan menggunakan timbangan

    GF-3000 A&D dengan kapasitas 03000 g dan akurasi 0.01 g. Percobaan

    dihentikan setelah berat sampel konstan. Kadar air akhir percobaan ditentukan

    dengan mengeringkan sampel selama 24 jam pada suhu 103 2 oC dengan

    memakai oven (Kashaninejad et al. 2003).

  • 21

    Model Matematika

    Besarnya laju pengeringan selama percobaan dihitung dengan persamaan

    berikut:

    = +

    (2.5)

    dimana Mt dan Mt+dt masing-masing adalah kadar air pada saat t dan kadar air

    pada saat t + dt (kg uap air/kg bahan kering), t adalah waktu pengeringan (menit)

    (Erenturk et al., 2004). Hubungan antara konstanta dari model matematik terbaik

    dengan variabel pengeringan yaitu suhu dan kelembaban juga akan ditentukan.

    Beberapa model akan dipakai untuk menjelaskan kesesuaian (fitted) model

    terhadap data pengeringan yang didapatkan, yaitu model Lewis, Henderson-Pabis

    dan Page (lihat Tabel 2.1).

    Untuk menentukan model persamaan terbaik dipakai kriteria coefficient of

    determination (COD atau R2) (Lee et al. 2004) sedangkan untuk menghitung

    keragaman dalam kurva pengeringan digunakan standard error (SE) (Menges &

    Ertekin 2006). Nilai R2

    menunjukkan kemampuan model (the ability of the model)

    dengan nilai tertingginya adalah 1. Nilai SE menunjukkan deviasi antara hasil

    hitung terhadap data pengukuran, nilai yang diinginkan adalah mendekati nol.

    Kedua kriteria tersebut digunakan untuk menentukan ketepatan model (the

    goodness of the fit), semakin tinggi nilai R2 dan semakin kecil nilai standard error

    (SE) maka model semakin tepat. Persamaan kriteria statistik tersebut adalah

    sebagai berikut:

    = , ,

    2=1

    (2.6)

    2 = 1 , ,

    2=1

    , 2

    =1

    (2.7)

    dimana MRexp,i adalah rasio kadar air percobaan ke-i, MRpre,i adalah rasio kadar air

    hitung ke-i, N adalah jumlah pengamatan, n adalah jumlah konstanta dalam model

    pengeringan dan adalah nilai rata-rata dari rasio kadar air percobaan.

    Hubungan konstanta dan koefisien dari model yang terbaik dengan parameter

  • 22

    pengeringan, dalam hal ini suhu, ditentukan dengan menggunakan teknik regresi

    (Menges & Ertekin 2006; Midili & Kucuk 2003a). Model pengeringan yang

    dipilih adalah model dengan nilai R2 tertinggi serta SE terkecil, persamaan

    tersebut merupakan model terbaik dalam mewakili data percobaan pengeringan

    lapisan tipis temu putih dan temu lawak.

    Penentuan Konstanta Pengeringan

    Konstanta pengeringan pada persamaan (2.4) ditentukan dengan metode

    regresi non-linier berdasarkan data percobaan pengeringan dengan bantuan

    program CurveExpert versi 1.40. Program ini menggunakan metode Levenberg-

    Marquardt (LM) untuk pemecahan regresi non-linear. Metode LM merupakan

    kombinasi metode steepest-descent dengan metode ekspansi deret Taylor.

    Penjelasan tentang metode regresi non linier ini terdapat pada Lampiran 8.

    Kadar air keseimbangan (Me) temu putih ditentukan dari kadar air akhir

    pengeringan (Kashaninejad et al. 2007). Nilai ini digunakan untuk menghitung

    rasio kadar air (MR) berdasarkan persamaan berikut:

    = 0

    (2.8)

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Kinetika Pengeringan Temu Putih

    Plot data pengeringan lapisan tipis temu putih terlihat pada Gambar 2-5

    yang menunjukkan pengaruh kelembaban terhadap kadar air pada suhu tetap,

    sedangkan Gambar 2-6 menunjukkan pengaruh suhu pengeringan pada RH tetap.

    Gambar 2-7 dan 2-8 memperlihatkan waktu pengeringan yang dibutuhkan untuk

    mencapai keseimbangan pada berbagai suhu dan RH. Baik suhu dan RH

    berpengaruh terhadap waktu pengeringan, semakin tinggi suhu dan semakin

    rendah RH, maka waktu untuk mencapai keseimbangan semakin cepat. Dari

    kurva pengeringan juga terlihat bahwa proses pengeringan berjalan cepat pada

    saat awal pengeringan yang ditandai dengan menurunnya kurva secara tajam dan

    kemudian semakin melambat di akhir pengeringan.

  • 23

    Gambar 2-9 menunjukkan pengaruh suhu terhadap laju pengeringan

    menurut waktu pada RH tetap, sedangkan Gambar 2-10 menunjukkan pengaruh

    RH pengeringan terhadap laju pengeringan menurut waktu pada suhu tetap.

    Kurva laju pengeringan menurut waktu memperlihatkan bahwa pada saat awal

    proses pengeringan, laju pengeringan tinggi dan semakin melambat pada akhir

    pengeringan. Hal ini identik dengan umumnya kurva pengeringan yaitu akibat

    masih tingginya kadar air bahan pada saat awal pengeringan.

    Gambar 2-5. Kurva pengeringan temu putih pada suhu 40 oC (atas kiri), 50

    oC

    (atas kanan) dan 60 oC (bawah)

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 120 240 360 480 600 720 840

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    40 C, 80%

    40 C, 60%

    40 C, 40%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    50 C, 60%

    50 C, 40%

    50 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    60 C, 60%

    60 C, 40%

    60 C, 20%

  • 24

    Gambar 2-6. Kurva pengeringan temu putih pada RH 20% (atas kiri),

    40% (atas kanan) dan 60% (bawah)

    Gambar 2-7. Pengaruh suhu terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar

    air keseimbangan temu putih pada RH 40% & 60%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    60 C, 20%

    50 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    60 C, 40%

    50 C, 40%

    40 C, 40%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    60 C, 60%

    50 C, 60%

    40 C, 60%

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    600

    40% 60%

    Tim

    e (

    min

    )

    Relative humidity

    40 C

    50 C

    60 C

  • 25

    Gambar. 2-8. Pengaruh RH terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar

    air keseimbangan temu putih pada suhu 50 & 60 oC

    Gambar 2-9. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut waktu pada RH

    20% (atas kiri), 40% (atas kanan) dan 60% (bawah)

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    600

    50 C 60 C

    Tim

    e (

    min

    )

    Temperature

    20%

    40%

    60%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/

    mn

    t)

    Waktu (menit)

    60 C, 20%

    50 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/

    mn

    t)

    Waktu (menit)

    60 C, 40%

    50 C, 40%

    40 C, 40%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/m

    nt)

    Waktu (menit)

    60 C, 60%

    50 C, 60%

    40 C, 60%

  • 26

    Gambar 2-10. Pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut waktu pada suhu 60

    oC (atas kiri), 50

    oC (atas kanan) dan 40

    oC (bawah)

    Gambar 2-11 adalah grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap laju

    pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada RH tetap, sedangkan Gambar 2-

    12 pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada

    suhu tetap. Sebagaimana kurva laju pengeringan menurut waktu, baik suhu

    maupun RH mempunyai pengaruh terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar

    air, semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH maka laju pengeringan semakin

    tinggi. Pengaruh perbedaan RH terhadap laju pengeringan cenderung terlihat

    lebih besar daripada perbedaan suhu.

    Gambar 2-13 memperlihatkan pengaruh laju aliran udara pengeringan

    terhadap waktu pengeringan dan laju pengeringan. Laju aliran udara pengering

    yang tinggi v1 (0.8-0.9 m/s) cenderung membuat laju pengeringan yang tinggi

    pula sehingga proses pengeringan lebih cepat dibandingkan dengan laju aliran v2

    yang rendah (0.2-0.3 m/s) dan sebaliknya.

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/m

    nt)

    Waktu (menit)

    60 C, 60%

    60 C, 40%

    60 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/m

    in)

    Waktu (menit)

    50 C, 60%

    50 C, 40%

    50 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 120 240 360 480 600 720 840

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/

    mn

    t)

    Waktu (menit)

    40 C, 80%

    40 C, 60%

    40 C, 40%

  • 27

    Dari semua kurva laju pengeringan pada berbagai kondisi pengeringan tidak

    terlihat adanya laju pengeringan tetap atau konstan sehingga dapat dikatakan

    bahwa pengeringan temu putih berlangsung pada periode laju pengeringan

    menurun (the falling rate period). Pada fase ini difusi merupakan mekanisme

    pengontrol utama pergerakan air/uap air dalam bahan sebagaimana hal yang sama

    dilaporkan oleh Lee et al. (2004) untuk irisan rimpang chicory dan Ahmed et al.

    (2001) dalam studi pengeringan daun ketumbar (corriander leaves).

    .

    Gambar 2-11. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan menurut MR pada RH

    20% (atas kiri), 40% (atas kanan) dan 60% (bawah)

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/

    mn

    t)

    Moisture Ratio

    60 C, 20%

    50 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Laju

    Pe

    nge

    rin

    gan

    (g/m

    nt)

    Moisture Ratio

    60 C, 40%

    50 C, 40%

    40 C, 40%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/m

    nt)

    Moisture Ratio

    60 C, 60%

    50 C, 60%

    40 C, 60%

  • 28

    Gambar 2-12. Pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut MR pada suhu 60

    oC (atas kiri), 50

    oC (atas kanan) dan 40

    oC (bawah)

    Gambar 2-13. Pengaruh laju aliran udara pengeringan (v1 dan v2) terhadap waktu

    pengeringan (kiri) dan laju pengeringan (kanan)

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/m

    nt)

    Moisture Ratio

    60 C, 60%

    60 C, 40%

    60 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/m

    nt)

    Moisture Ratio

    50 C, 60%

    50 C, 40%

    50 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (g/

    mn

    t)

    Moisture Ratio

    40 C, 80%

    40 C, 60%

    40 C, 40%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 120 240 360 480 600

    MR

    Waktu (menit)

    suhu 50, RH 40%, v1

    suhu 50, RH 40%, v2

    0.00

    0.01

    0.02

    0.03

    0.04

    0.05

    0 120 240 360 480 600

    Laju

    Pe

    nge

    rin

    gan

    (%

    bk/

    me

    nit

    )

    KA (%bk)

    suhu 50, RH 40%, v1

    suhu 50, RH 40%, v2

  • 29

    Kadar Air Keseimbangan Temu Putih

    Kadar air keseimbangan adalah tingkat keseimbangan dinamis kadar air

    bahan dengan lingkungan, dimana laju perpindahan uap air dari dan ke permukaan

    bahan sama besar. Nilai kadar air keseimbangan ditentukan dari kadar air akhir

    percobaan pada berbagai kondisi pengeringan, yaitu pada saat berat sampel sudah

    tidak lagi mengalami perubahan. Nilai kadar air keseimbangan pada berbagai nilai

    RH pada suhu yang sama akan membentuk satu garis yang dikenal sebagai kurva

    sorpsi isotermis (Gambar 2-14).

    Kelembaban nisbi pada suhu dan kadar air keseimbangan tertentu disebut

    dengan kelembaban nisbi keseimbangan (ERH) (Brooker et al. 1981). Pada Tabel

    2-4 dicantumkan nilai kadar air keseimbangan temu putih pada berbagai suhu dan

    kelembaban nisbi udara pengeringan. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa

    semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar air keseimbangan semakin rendah

    dan sebaliknya. Berlawanan dengan suhu, semakin tinggi kelembaban nisbi (RH)

    udara pengering maka kadar air keseimbangan akan semakin tinggi pula dan

    sebaliknya. Dengan kata lain untuk mendapatkan kadar air keseimbangan yang

    rendah diperlukan suhu udara pengeringan yang tinggi dan RH udara pengeringan

    yang rendah.

    Gambar 2-14. Kurva sorpsi isotermis kadar air keseimbangan temu putih

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    30

    35

    0 20 40 60 80 100

    Kad

    ar a

    ir (

    % b

    k.)

    Kelembaban nisbi (%)

    40 C

    50 C

    60 C

    70 C

  • 30

    Tabel 2-4. Kadar air keseimbangan (% bb.) temu putih

    Suhu 40 oC 50

    oC 60

    oC 70

    oC

    RH 40% 60% 80% 20% 40% 60% 20% 40% 60% 20% 40%

    v1 (0.8-0.9 m/s) 12.1 14.7 25.8 6.4 10.7 12.8 5.2 7.7 8.5 4.2 7.6

    v2 (0.2-0.3 m/s) 17.6 25.9 - 8.4 14.2 20.7 7.1 9.6 15.2 5.6 9.0

    Model Henderson pada persamaan (2.1) ditentukan dengan menggunakan

    regresi non-linier berdasarkan data percobaan pada Tabel 2-4. Nilai konstanta c

    dan n persamaan tersebut masing-masing adalah 0.0173 dan 1.0423 dengan

    koefisien korelasi (R2) dan standard error (SE) masing-masing sebesar 0.85 dan

    3.5, sehingga model persamaan Henderson untuk kadar air keseimbangan temu

    putih dapat dituliskan sebagai berikut:

    1 - RH = exp (- 0.0173 T Me1.0423

    ) (2.9)

    Pada Tabel 2-5 dapat dilihat nilai kadar air keseimbangan hasil perhitungan

    pada berbagai kondisi suhu dan RH pengeringan berdasarkan model Henderson

    dan model terbaik (best-fit) dengan menggunakan program CurveExpert 1.40.

    Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Putih

    Model pengeringan lapisan tipis temu putih yang digunakan adalah model

    Lewis, Henderson-Pabis dan Page sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2-1.

    Model-model ini dipakai karena masing-masing dapat mewakli model teoritis,

    semi teoritis dan empiris. Dalam pemodelan, semua data kadar air percobaan

    digunakan dalam bentuk kadar air basis kering. Data kadar air pada berbagai

    kondisi pengeringan dikonversi menjadi nilai rasio kadar air (MR) dan dipaskan

    (fitted) dengan model sehingga didapatkan kurva nilai MR dugaan model

    (predicted MR) terhadap waktu pengeringan. model-model tersebut kemudian

    dibandingkan secara statistik dengan menggunakan kriteria koefisien korelasi dan

    standard error.

    Hasil pemodelan pengeringan lapisan tipis temu putih berdasarkan model

    Lewis, Henderson-Pabis dan Page dapat dilihat pada Gambar 2-15, 2-16 dan 2-17.

    Dari gambar-gambar tersebut terlihat bahwa model Page adalah model persamaan

    yang paling baik dalam mewakili data percobaan pengeringan temu putih.

  • 31

    Tabel 2-5. Kadar air keseimbangan perhitungan dan pengukuran temu putih

    Suhu

    (oC)

    RH (%)

    KA Keseimbangan (Me)

    Pengukuran Henderson Best fit

    (% bk.) (% bb.) (% bk.) (% bb.) (% bk.) (% bb.)

    40

    20 - - 4.7 4.5 12.8 11.4

    30 - - 7.4 6.9 13.1 11.6

    40 13.8 12.1 10.4 9.4 13.8 12.1

    50 - - 13.9 12.2 15.0 13.0

    60 17.2 14.7 18.2 15.4 17.2 14.7

    70 - - 23.7 19.1 22.0 18.0

    80 34.8 25.8 31.3 23.8 34.8 25.8

    50

    20 6.8 6.4 4.6 4.4 6.8 6.4

    30 - - 7.1 6.7 9.2 8.4

    40 12.0 10.7 10.1 9.2 12.0 10.7

    50 - - 13.5 11.9 14.4 12.6

    60 14.7 12.8 17.7 15.0 14.7 12.8

    60

    20 5.5 5.2 4.4 4.2 5.5 5.2

    30 - - 6.9 6.5 6.9 6.5

    40 8.3 7.7 9.8 8.9 8.3 7.7

    50 - - 13.1 11.6 9.2 8.4

    60 9.3 8.5 17.2 14.6 9.3 8.5

    70

    20 4.4 4.2 4.3 4.1 4.4 4.2

    30 - - 6.7 6.3 6.8 6.4

    40 8.2 7.6 9.5 8.7 8.2 7.6

    Hal ini juga didukung secara statistik dimana model Page memiliki rata-rata

    koefisien determinasi yang paling tinggi serta standard error yang paling rendah

    (Tabel 2-6). Model Page adalah model dengan nilai rata-rata R2 yang paling

    tinggi dan standard error paling rendah yaitu 0.9990 dan 0.0079 dibandingkan

    dengan 0.9924 dan 0.0226 untuk model Henderson-Pabis serta 0.9879 dan 0.0281

    untuk model Lewis, sehingga model Page adalah persamaan yang paling mewakili

    karakteristik pengeringan temu putih. Model Page memiliki nilai R2 dan SE

    masing-masing pada kisaran 0.9965-0.9999 dan 0.0023-0.0181, model

    Henderson-Pabis kisaran nilainya masing-masing 0.9793-0.9987 dan 0.0112-

    0.0440 sedangkan Model Lewis kisaran nilainya adalah masing-masing 0.9682-

    0.9968 dan 0.0143-0.0545. Pada model Lewis dan Page curve fitting terbaik

    terjadi pada suhu dan RH pengeringan 60 oC dan 20%, sedangkan model

    Henderson-Pabis pada suhu 70 oC dan RH 20%.

  • 32

    Gambar 2-15. Kurva MR percobaan dan perhitungan dari model Lewis

    Gambar 2-16. Kurva MR percobaan dan perhitungan dari model Henderson-Pabis

    Gambar 2-17. Kurva MR percobaan dan perhitungan dari model Page

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    50 C, 60%

    50 C, 40%

    50 C, 20%

    Model Lewis

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    60 C, 60%

    60 C, 40%

    60 C, 20%

    Model Lewis

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    50 C, 60%

    50 C, 40%

    50 C, 20%

    Model H&P

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    60 C, 60%

    60 C, 40%

    60 C, 20%

    Model H&P

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    50 C, 60%

    50 C, 40%

    50 C, 20%

    Model Page

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360 420

    MR

    (M

    ois

    ture

    Rat

    io)

    Waktu (menit)

    60 C, 60%

    60 C, 40%

    60 C, 20%

    Model Page

  • 33

    Tabel 2-6. Evaluasi statistik model pengeringan simplisia temu putih

    Suhu

    (oC)

    RH

    (%)

    Model Lewis Model H&P Model Page

    R2 SE R

    2 SE R

    2 SE

    40

    40 0.9962 0.0144 0.9973 0.0121 0.9978 0.0110

    60 0.9865 0.0324 0.9910 0.0265 0.9988 0.0099

    80 0.9682 0.0545 0.9793 0.0440 0.9965 0.0181

    50

    20 0.9960 0.0146 0.9975 0.0116 0.9989 0.0075

    40 0.9865 0.0301 0.9914 0.0242 0.9994 0.0070

    60 0.9834 0.0365 0.9895 0.0292 0.9989 0.0095

    60

    20 0.9968 0.0143 0.9981 0.0112 0.9999 0.0023

    40 0.9852 0.0334 0.9905 0.0270 0.9994 0.0070

    60 0.9811 0.0388 0.9889 0.0299 0.9993 0.0074

    70 20 0.9959 0.0155 0.9987 0.0126 0.9999 0.0026

    40 0.9911 0.0250 0.9945 0.0198 0.9997 0.0047

    Rata-rata 0.9879 0.0281 0.9924 0.0226 0.9990 0.0079

    Nilai konstanta untuk model Lewis, Henderson-Pabis dan Page pada

    berbagai kondisi pengeringan dapat dilihat pada Tabel 2-7. Persamaan Lewis dan

    Henderson-Pabis mempunyai nilai konstanta k yang hampir sama, hal ini

    dibedakan oleh pendekatan pada suku pertama dari pemecahan analitis persamaan

    umum difusi (8/2) dimana model Lewis mengansumsikan suku tersebut sama

    dengan satu (unity) (Zogzas & Maroulis 1996), sedangkan model Henderson-

    Pabis mengganti dengan konstanta a yang nilainya juga mendekati satu. Adanya

    konstanta a membuat model Henderson-Pabis lebih baik daripada model Lewis.

    Tabel 2-7. Nilai konstanta model pengeringan simplisia temu putih

    Suhu

    (oC)

    RH

    (%)

    Model

    Lewis

    Model

    Henderson-Pabis Model Page

    k k a k n

    40

    40 0.0140 0.0145 1.0413 0.0093 1.0925

    60 0.0085 0.0091 1.0776 0.0025 1.2486

    80 0.0037 0.0041 1.1176 0.0005 1.3599

    50

    20 0.0241 0.0252 1.0473 0.0143 1.1344

    40 0.0183 0.0197 1.0858 0.0053 1.2917

    60 0.0095 0.0103 1.0909 0.0023 1.2902

    60

    20 0.0320 0.0332 1.0411 0.0198 1.1320

    40 0.0201 0.0217 1.0864 0.0058 1.3018

    60 0.0118 0.0129 1.1060 0.0025 1.3345

    70 20 0.0339 0.0353 1.0612 0.0188 1.2015

    40 0.0225 0.0239 1.0920 0.0088 1.2905

  • 34

    Konstanta Pengeringan Temu Putih

    Secara empiris nilai konstanta pengeringan (k) dalam satuan 1/menit

    didapatkan dengan menggunakan persamaan (2.4) atau dikenal juga dengan model

    Henderson-Pabis (Babalis dan Belessiotis, 2004; Lee et al., 2004), nilainya tertera

    pada Tabel 2.6. Besaran konstanta k dan a masing-masing bervariasi dari 0.0041-

    0.0353 1/menit, dan 1.0411-1.1176. Konstanta pengeringan (k) merupakan

    koefisien yang berkaitan dengan nilai difusivitas bahan sehingga nilai konstanta

    pengeringan juga merupakan fungsi dari suhu udara pengeringan. Semakin tinggi

    suhu udara pengeringan maka semakin tinggi nilai konstanta pengeringan. Plot

    nilai konstanta pengeringan terhadap suhu ditampilkan pada Gambar 2-18.

    Gambar 2-18. Kurva pengaruh suhu pengeringan terhadap konstanta

    pengeringan

    Untuk menyatakan hubungan antara konstanta pengeringan dan suhu

    pengeringan digunakan persamaan berikut:

    = exp( ) (2.10)

    dimana a dan b merupakan konstanta persamaan dan T adalah suhu pengeringan.

    Gambar 2-18 memperlihatkan bahwa konstanta pengeringan meningkat secara

    eksponensial terhadap suhu pada setiap level RH udara pengeringan. Nilai

    konstanta a dan b diperoleh dengan regresi non-linier dan hasilnya tertera pada

    Tabel 2-8 bersama nilai koefisien determinasi dan standard error. Nilai R2

    bervariasi antara 0.87-0.98 dan tertinggi pada tingkat RH 60%. Pada Tabel 2-9

    0.00

    0.01

    0.02

    0.03

    0.04

    0.05

    30 40 50 60 70 80

    Ko

    nst

    anta

    k (

    1/m

    en

    it)

    Suhu (oC)

    RH 20%

    RH 40%

    RH 60%

    k Hitung

  • 35

    dapat dilihat konstanta pengeringan hasil perhitungan dengan menggunakan

    persamaan (2.10) dan konstanta pengeringan percobaan.

    Tabel 2-8. Nilai konstanta a dan b persamaan (2.15)

    RH a b R2 SE

    20% 0.0120 0.0158 0.87 0.0027

    40% 0.0088 0.0147 0.91 0.0014

    60% 0.0043 0.0180 0.98 0.0004

    Tabel 2-9. Nilai k (1/menit) percobaan dan hasil perhitungan

    Suhu RH 20% RH 40% RH 60%

    k k hitung k k hitung k k hitung

    40 oC - 0.0226 0.0145 0.0158 0.0091 0.0088

    50 oC 0.0252 0.0264 0.0197 0.0184 0.0103 0.0106

    60 oC 0.0332 0.0310 0.0217 0.0213 0.0129 0.0127

    70 oC 0.0353 0.0363 0.0239 0.0246 - 0.0152

    Kinetika Pengeringan Temu lawak

    Plot data pengeringan lapisan tipis temu lawak terlihat pada Gambar 2-19

    yang menunjukkan pengaruh kelembaban terhadap kadar air pada suhu tetap,

    sedangkan Gambar 2-20 menunjukkan pengaruh suhu pengeringan pada RH tetap.

    Gambar 2-21 dan 2-22 memperlihatkan waktu pengeringan yang dibutuhkan

    untuk mencapai keseimbangan pada berbagai suhu dan RH. Baik suhu dan RH

    berpengaruh terhadap waktu pengeringan, semakin tinggi suhu dan semakin

    rendah RH, maka waktu untuk mencapai keseimbangan semakin cepat. Dari

    kurva pengeringan juga terlihat bahwa proses pengeringan temu lawak berjalan

    cepat pada saat awal pengeringan yang ditandai dengan menurunnya kurva secara

    tajam dan kemudian semakin melambat diakhir pengeringan.

    Gambar 2-23 menunjukkan pengaruh suhu terhadap laju pengeringan

    menurut waktu pada RH tetap. Kurva laju pengeringan menurut waktu

    memperlihatkan bahwa pada saat awal proses pengeringan, laju pengeringan

    tinggi dan semakin melambat pada akhir pengeringan. Hal ini identik dengan

    kurva pengeringan temu putih, disebabkan masih tingginya kadar air bahan pada

    saat awal pengeringan.

  • 36

    Gambar 2-19. Kurva pengeringan temu lawak pada suhu 50 oC (atas kiri), 60

    oC

    (atas kanan) dan 70 oC (bawah)

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    50 C, 40%

    50 C, 30%

    50 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    60 C, 40%

    60 C, 30%

    60 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    70 C, 40%

    70 C, 30%

    70 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    50 C, 20%

    60 C, 20%

    70 C, 20%

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    50 C, 30%

    60 C, 30%

    70 C, 30%

  • 37

    Gambar 2-20. Kurva pengeringan temu lawak pada RH 20% (atas kiri), 30%

    (atas kanan) dan 40% (bawah)

    Gambar. 2-21. Pengaruh suhu terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar

    air keseimbangan temu lawak

    Gambar. 2-22. Pengaruh RH terhadap waktu pengeringan untuk mencapai kadar

    air keseimbangan temu lawak

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    50 C, 40%

    60 C, 40%

    70 C, 40%

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    50 C 60 C 70 C

    Wak

    tu (

    me

    nit

    )

    Suhu

    20%

    30%

    40%

    0

    100

    200

    300

    400

    500

    20% 30% 40%

    Wak

    tu (

    me

    nit

    )

    RH

    50 C

    60 C

    70 C

  • 38

    Gambar 2-23. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan temu lawak menurut

    waktu pada RH 20% (atas kiri), 30% (atas kanan) dan 40% (bawah)

    Grafik pada Gambar 2-24 memperlihatkan pengaruh suhu terhadap laju

    pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada RH tetap, sedangkan Gambar 2-

    25 pengaruh RH terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar air (MR) pada

    suhu tetap. Sebagaimana kurva laju pengeringan menurut waktu, baik suhu

    maupun RH mempunyai pengaruh terhadap laju pengeringan menurut rasio kadar

    air, semakin tinggi suhu dan semakin rendah RH maka laju pengeringan semakin

    tinggi. Pengaruh perbedaan RH terhadap laju pengeringan cenderung terlihat

    lebih nyata daripada perbedaan suhu sedangkan pengaruh perbedaan suhu

    terhadap laju pengeringan terlihat bahwa suhu 50 dan 60 oC tidak terlalu berbeda.

    Dari semua kurva laju pengeringan pada berbagai kondisi pengeringan tidak

    terlihat adanya laju pengeringan tetap atau konstan sehingga dapat dikatakan

    bahwa pengeringan temu lawak berlangsung pada periode laju pengeringan

    menurun (the falling rate period). Pada fase ini difusi merupakan mekanisme

    0.000

    0.004

    0.008

    0.012

    0.016

    0.020

    0.024

    0 60 120 180 240 300 360

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (

    MR

    /me

    nit

    )

    Waktu (menit)

    50 C, 20%

    60 C, 20%

    70 C, 20%

    0.000

    0.004

    0.008

    0.012

    0.016

    0.020

    0.024

    0 60 120 180 240 300 360

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (

    MR

    /me

    nit

    )

    Waktu (menit)

    50 C, 30%60 C, 30%70 C, 30%

    0.000

    0.004

    0.008

    0.012

    0.016

    0.020

    0.024

    0 60 120 180 240 300 360 420

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (

    MR

    /me

    nit

    )

    Waktu (menit)

    50 C,40%

    60 C, 40%

    70 C, 40%

  • 39

    pengontrol utama pergerakan air dalam bahan, hal yang sama terjadi pada

    pengeringan temu putih.

    .

    Gambar 2-24. Pengaruh RH terhadap laju pengeringan temu lawak menurut MR

    pada suhu 50 oC (atas), 60

    oC (tengah) dan 70

    oC (bawah)

    0.000

    0.002

    0.004

    0.006

    0.008

    0.010

    0.012

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Dry

    ing

    Rat

    e (

    M

    R/m

    in)

    Moisture Ratio

    50 C, 20%

    50 C, 30%

    50 C, 40%

    0.000

    0.002

    0.004

    0.006

    0.008

    0.010

    0.012

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Dry

    ing

    rate

    (

    MR

    /min

    )

    Moisture Ratio

    60 C, 20%

    60 C, 30%

    60 C, 40%

    0.000

    0.005

    0.010

    0.015

    0.020

    0.025

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Dry

    ing

    Rat

    e (

    M

    R/m

    in)

    Moisture Ratio

    70 C, 20%

    70 C, 30%

    70 C, 40%

  • 40

    Gambar 2-25. Pengaruh suhu terhadap laju pengeringan temu lawak menurut MR pada RH 20% (atas), 30% (tengah) dan 40% (bawah)

    0.000

    0.004

    0.008

    0.012

    0.016

    0.020

    0.024

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (

    MR

    /me

    nit

    )

    Moisture Ratio

    50 C, 20%

    60 C, 20%

    70 C, 20%

    0.000

    0.004

    0.008

    0.012

    0.016

    0.020

    0.024

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (

    MR

    /me

    nit

    )

    Moisture Ratio

    50 C, 30%

    60 C, 30%

    70 C, 30%

    0.000

    0.004

    0.008

    0.012

    0.016

    0.020

    0.024

    0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

    Laju

    pe

    nge

    rin

    gan

    (

    MR

    /me

    nit

    )

    Moisture Ratio

    50 C,40%

    60 C, 40%

    70 C, 40%

  • 41

    Kadar Air Keseimbangan Temu Lawak

    Pada Tabel 2-10 tercantum nilai kadar air keseimbangan temu lawak pada

    berbagai suhu dan kelembaban nisbi udara pengeringan. Dari tabel tersebut dapat

    diketahui bahwa semakin tinggi suhu pengeringan maka kadar air keseimbangan

    semakin rendah dan sebaliknya. Berlawanan dengan suhu, semakin tinggi

    kelembaban nisbi (RH) udara pengering maka kadar air keseimbangan akan

    semakin tinggi pula dan sebaliknya. Dengan kata lain untuk mendapatkan kadar

    air keseimbangan yang rendah diperlukan suhu udara pengeringan yang tinggi dan

    RH udara pengeringan yang rendah. Berdasarkan tabel tersebut juga dapat

    diketahui bahwa kadar air standar 10% (bb.) dapat dicapai pada semua kondisi

    percobaan pengeringan kecuali pada kondisi suhu 50 oC dan RH 40%.

    Tabel 2-10. Kadar air keseimbangan (% bb.) temu lawak

    Kondisi

    pengeringan 20% 30% 40%

    70 oC 7.0 7.7 7.9

    60 oC 7.8 8.2 9.0

    50 oC 8.1 9.0 10.3

    Model Henderson pada persamaan (2.1) ditentukan dengan menggunakan

    regresi non-linier berdasarkan data percobaan pada Tabel 2-10 pada setiap suhu.

    Nilai konstanta c dan n persamaan tersebut untuk setiap level suhu pengeringan

    dapat dilihat pada Tabel 2-11.

    Tabel 2-11. Nilai konstanta c dan n persamaan Henderson untuk temu lawak

    Suhu c n R2 SE

    70 oC 2699.6 5.8960 0.890 0.25

    60 oC 264.77 5.1865 0.962 0.20

    50 oC 3.039 3.4695 0.953 0.37

    Model Pengeringan Lapisan Tipis Temu Lawak

    Model pengeringan lapisan tipis temu lawak yang digunakan adalah model

    Lewis, Henderson-Pabis dan Page sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2-1.

    Model-model ini dipakai karena masing-masing dapat mewakli model teoritis,

    semi teoritis dan empiris. Dalam pemodelan, semua data kadar air percobaan

  • 42

    digunakan dalam bentuk kadar air basis kering. Data kadar air pada berbagai

    kondisi pengeringan dikonversi menjadi nilai rasio kadar air (MR) dan dipaskan

    (fitted) dengan model sehingga mendapatkan kurva nilai MR dugaan model

    (predicted MR) terhadap waktu pengeringan. Model-model tersebut kemudian

    dibandingkan secara statistik dengan menggunakan kriteria koefisien korelasi dan

    standard error.

    Hasil pemodelan pengeringan lapisan tipis temu lawak berdasarkan model

    Lewis, Henderson-Pabis dan Page dapat dilihat pada Gambar 2-26, 2-27 dan 2-28.

    Dari gambar-gambar tersebut terlihat bahwa model Page adalah model persamaan

    yang paling mewakili data percobaan pengeringan lapisan tipis temu lawak. Hal

    ini juga didukung secara statistik dimana model Page memiliki rata-rata koefisien

    determinasi yang paling tinggi serta standard error yang paling rendah (Tabel 2-

    12). Model Page adalah model dengan nilai rata-rata R2 yang paling tinggi dan

    standard error paling rendah yaitu 0.9988 dan 0.0085 dibandingkan dengan

    0.9958 dan 0.0172 untuk model Henderson-Pabis serta 0.9932 dan 0.0217 untuk

    model Lewis, sehingga model Page adalah persamaan yang paling mewakili

    karakteristik pengeringan temu lawak. Model Page memiliki nilai R2 dan SE

    masing-masing pada kisaran 0.9982-0.9996 dan 0.0056-0.0144, model

    Henderson-Pabis kisaran nilainya 0.9935-0.9988 dan 0.0093-0.0233 sedangkan

    Model Lewis kisaran nilainya adalah 0.9891-0.9980 dan 0.0116-0.0299. Pada

    model Lewis dan Henderson-Pabis curve fitting terbaik terjadi pada suhu dan RH

    pengeringan 70 oC dan 30%, sedangkan model Page pada suhu 60

    oC dan RH

    30%.

    Nilai-nilai konstanta dari persamaan model Lewis, Henderson-Pabis dan

    Page pada berbagai kondisi pengeringan dapat dilihat pada Tabel 2-13.

  • 43

    Gambar 2-26. Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari model Lewis

    Gambar 2-27. Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari model

    Henderson-Pabis

    Gambar 2-28. Kurva MR percobaan dan perhitungan temu lawak dari model Page

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    50 C, 40%

    50 C, 30%

    50 C, 20%

    Model Lewis

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    60 C, 40%

    60 C, 30%

    60 C, 20%

    Model Lewis

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    50 C, 40%

    50 C, 30%

    50 C, 20%

    Model H-P

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    60 C, 40%

    60 C, 30%

    60 C, 20%

    Model H-P

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    50 C, 40%

    50 C, 30%

    50 C, 20%

    Model Page

    0.0

    0.2

    0.4

    0.6

    0.8

    1.0

    0 60 120 180 240 300 360

    Mo

    istu

    re R

    atio

    Waktu (menit)

    60 C, 40%

    60 C, 30%

    60 C, 20%

    Model Page

  • 44

    Tabel 2-12. Evaluasi statistik model pengeringan simplisia temu lawak

    Suhu

    (oC)

    RH

    (%)

    Model Lewis Model H&P Model Page

    R2 SE R

    2 SE R

    2 SE

    50

    20 0.9919 0.0236 0.9951 0.0185 0.9984 0.0104

    30 0.9951 0.0172 0.9965 0.0148 0.9966 0.0144

    40 0.9949 0.0187 0.9968 0.0149 0.9982 0.0113

    60

    20 0.9912 0.0269 0.9948 0.0208 0.9995 0.0062

    30 0.9902 0.0272 0.9940 0.0213 0.9996 0.0056

    40 0.9913 0.0255 0.9951 0.0193 0.9996 0.0057

    70

    20 0.9972 0.0144 0.9979 0.0128 0.9987 0.0101

    30 0.9980 0.0116 0.9988 0.0093 0.9993 0.0068

    40 0.9891 0.0299 0.9935 0.0233 0.9996 0.0060

    Rata-rata 0.9932 0.0217 0.9958 0.0172 0.9988 0.0085

    Tabel 2-13. Nilai konstanta model pengeringan simplisia temu lawak

    Suhu

    (oC)

    RH

    (%)

    Model

    Lewis

    Model

    Henderson-Pabis Model Page

    k k a k n

    50

    20 0.0156 0.0165 1.0656 0.0068 1.1918

    30 0.0127 0.0132 1.0420 0.0087 1.0846

    40 0.0108 0.0113 1.0484 0.0061 1.1216

    60

    20 0.0164 0.0174 1.0650 0.0070 1.1983

    30 0.0156 0.0166 1.0718 0.0058 1.2263

    40 0.0126 0.0134 1.0704 0.0049 1.2049

    70

    20 0.0283 0.0292 1.0279 0.0204 1.0884

    30 0.0223 0.0230 1.0299 0.0165 1.0764

    40 0.0154 0.0164 1.0730 0.0057 1.2273

    Konstanta Pengeringan Temu Lawak

    Secara empiris nilai konstanta pengeringan (k) temu lawak dalam satuan

    1/menit didapatkan dengan menggunakan persamaan (2.4). Besaran konstanta k

    dan a masing-masing bervariasi dari 0.0113-0.0292 1/menit, dan 1.0279-1.0718.

    Konstanta pengeringan merupakan koefisien yang berkaitan dengan nilai

    difusivitas bahan sehingga nilai konstanta pengeringan juga merupakan fungsi

    dari suhu udara pengeringan. Semakin tinggi suhu udara pengeringan maka

    semakin tinggi nilai konstanta pengeringan. Plot antara nilai k rata-rata temu

    lawak terhadap suhu pengeringan ditampilkan pada Gambar 2-29. Berdasarkan

  • 45

    gambar tersebut terlihat bahwa konstanta pengeringan meningkat secara

    eksponensial terhadap suhu pada setiap level RH udara pengeringan.

    Gambar 2-29. Pengaruh suhu pengeringan terhadap konstanta pengeringan

    Simplisia temu lawak

    Untuk menyatakan hubungan antara konstanta pengeringan dan suhu

    pengeringan digunakan persamaan (2.10). Nilai konstanta a dan b diperoleh

    dengan regresi non-linier dan hasilnya tertera pada Tabel 2-14 bersama-sama nilai

    koefisien determinasi dan standard error. Nilai R2 bervariasi antara 0.859-0.998

    dan tertinggi pada tingkat RH 40%. Pada Tabel 2-15 dicantumkan nilai konstanta

    hasil perhitungan berdasarkan Tabel 2-14.

    Tabel 2-14. Konstanta persamaan hubungan k dan suhu pengeringan temu lawak

    RH a b R2 SE

    20% 0.0028 0.0323 0.859 0.0038

    30% 0.0031 0.0285 0.991 0.0007

    40% 0.0044 0.0188 0.998 0.0002

    Tabel 2-15. Nilai k (1/menit) temu lawak percobaan dan hasil perhitungan

    Suhu RH 20% RH 30% RH 40%

    k k hitung k k hitung k k hitung

    50 oC 0.0165 0.0143 0.0132 0.0129 0.0113 0.0112

    60 oC 0.0174 0.0197 0.0166 0.0171 0.0134 0.0135

    70 oC 0.0292 0.0272 0.0230 0.0228 0.0164 0.0163

    0.00

    0.01

    0.02

    0.03

    0.04

    40 50 60 70 80

    Ko

    nst

    anta

    k (

    1/m

    en

    it)

    Suhu (oC)

    RH 20%

    RH 30%

    RH 40%

    k hitung

  • 46

    Kesimpulan

    1. Pengeringan temu putih dan temu lawak berlangsung pada laju periode

    menurun dimana difusi merupakan mekanisme pengontrol pergerakan air di

    dalam bahan.

    2. Pada suhu pengeringan 40 oC kadar air akhir temu putih tidak dapat mencapai

    standar 10% (bb.). Untuk dapat mencapai kadar air tersebut temu putih dan

    temu lawak harus dikeringkan pada suhu 50 o

    C dengan RH dibawah 30% atau

    pada suhu 60 oC dan 70

    oC.

    3. Model Page adalah model yang paling sesuai untuk mewakili karakteristik

    pengeringan temu putih dan temu lawak dengan nilai rata-rata koefisien

    determinasi (R2) dan standard error (SE) masing-masing sebesar 0.9990 dan

    0.0079 untuk temu putih serta 0.9988 dan 0.0085 untuk temu lawak.

    4. Konstanta pengeringan temu putih dan temu lawak bervariasi menurut suhu

    pengeringan pada selang 0.0041 dan 0.0353 menit-1

    serta 0.0113 dan 0.0292

    menit-1

    . Semakin tinggi suhu pengeringan maka nilai konstanta pengeringan

    temu putih dan temu lawak semakin tinggi pula.