43
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian Utara Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan salah satu cekungan belakang busur (back arc) berumur tersier di Indonesia bagian Barat yang memanjang dari arah barat hingga timur kurang lebih 250 kilometer. Zona cekungan meliputi Pantai Utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Gambar 2.1 Lokasi Lapangan YN di Cekungan Jawa Timur Utara (Satyana, 2003) 2.1.1 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur Utara Perkembangan tektonik yang berkembang di Cekungan Jawa Timur tidak terlepas dari aktivitas tektonik wilayah Asia Tenggara, yaitu pergerakan Lempeng Samudera Indo Australia ke arah utara, Lempeng Samudera Filipina dan Pasifik bergerak ke arah barat, dan Lempeng Eurasia yang relatif stabil. Batuan dasar Lokasi Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian Utara

Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan salah satu cekungan

belakang busur (back arc) berumur tersier di Indonesia bagian Barat yang

memanjang dari arah barat hingga timur kurang lebih 250 kilometer. Zona

cekungan meliputi Pantai Utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur

melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura.

Gambar 2.1 Lokasi Lapangan YN di Cekungan Jawa Timur Utara (Satyana, 2003)

2.1.1 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur Utara

Perkembangan tektonik yang berkembang di Cekungan Jawa Timur tidak

terlepas dari aktivitas tektonik wilayah Asia Tenggara, yaitu pergerakan Lempeng

Samudera Indo – Australia ke arah utara, Lempeng Samudera Filipina dan Pasifik

bergerak ke arah barat, dan Lempeng Eurasia yang relatif stabil. Batuan dasar

Lokasi Penelitian

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

5

Cekungan Jawa Timur terbentuk selama penunjaman Lempeng Samudra Indo –

Australia terhadap Lempeng Benua yang berada sepanjang timurlaut – baratdaya

arah Sutura Meratus.

Pada lepas pantai Cekungan Jawa Timur dicirikan oleh rangkaian tinggian

batuan dasar dan bagian rendahan (graben) yang memuat akumulasi sedimen

Tersier hingga ribuan meter. Pola tinggian dan rendahan ini menerus hingga

bagian daratan Cekungan Jawa Timur dengan arah relatif terbelokkan ke arah

barat membentuk pola kelurusan timurlaut – baratdaya. Pembelokkan pola ini

dipengaruhi oleh struktur inversi berarah timur – barat yang terjadi pada periode

selanjutnya disepanjang pantai utara Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pulau

Madura yang disebut Zona Sesar Rembang – Madura – Kangean (RMK).

Terdapat tiga tahap orogenesa yang berpengaruh di cekungan Jawa Timur Utara,

yaitu :

1. Kapur Atas – Eosen Tengah; Pada Kapur Akhir terjadi deformasi

kompresi mengikuti tumbukan lempeng Laut Jawa bagian timur dengan

Paparan Sunda. Pada Eosen terjadi rifting yang diikuti oleh pengaktifan

kembali sesar naik pra – Eosen dan pembentukan sesar normal.

2. Miosen Tengah; Orogenesa ditandai oleh peristiwa regresi dan hiatus di

daerah Cepu yang dicirikan oleh perubahan fasies dari transgresi menjadi

regresi di seluruh Zona Rembang. Pada tahap ini terbentuk zona sesar

RMKS (Rembang – Madura – Kangean – Sakala) yang merupakan

wrenching left lateral.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

6

3. Pliosen – Plistosen; Pada Pliosen Akhir terbentuk lipatan – lipatan hingga

Plistosen Akhir. Aktivitas vulkanik busur Sunda – Jawa dimulai pada

pliosen akhir hingga saat ini.

Secara geologi, terbentuknya cekungan Jawa Timur Utara dikontrol oleh

dua sistem sesar yaitu sistem sesar mendatar mengiri berarah timurlaut –

baratdaya dan arah timur – barat. Cekungan ini dibentuk oleh beberapa elemen

struktur utama dari selatan ke utara, yaitu :

1. Zona Kendeng – Selat Madura, memanjang dengan arah timur – barat,

dicirikan oleh struktur lipatan, sesar normal dan banyak terdapat sesar

naik.

2. Zona Rembang Selatan dan Randublatung yang merupakan zona negatif

dengan pola struktur berarah timur – barat dicirikan oleh pola lipatan.

Terdapat struktur kubah yang berasosiasi dengan struktur sesar.

3. Zona Rembang Utara dan Madura Utara, struktur antiklinorium yang

terangkat dan tererosi pada Pliosen – Plistosen berasosiasi dengan sistem

sesar mendatar mengiri berarah timurlaut – baratdaya yang menerus

hingga Kalimantan Selatan.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

7

Gambar 2.2 Tatanan Tektonik Regional Cekungan Jawa Timur (Mudjiono dan Pireno, 2001).

Cekungan Jawa Timur berada di ujung tenggara Paparan Sunda yang

dibatasi oleh Busur Karimunjawa dibagian barat, Tinggian Meratus dibagian

utara, Tinggian Masalembo dibagian timur, dan Jalur Vulkanik Jawa dibagian

selatan (Sribudiyani, 2003). Cekungan Jawa Timur dipisahkan menjadi tiga

mandala struktur (structural provinces) dari utara ke selatan (Satyana, 2003),

yaitu :

1. Paparan Utara yang terdiri dari Busur Bawean, Paparan Madura Utara

dan Paparan Kangean Utara.

2. Bagian tengah yaitu Tinggian Sentral yang terdiri dari Jawa Barat Laut

– Madura – Kangean – Tinggian Lombok.

3. Bagian selatan dikenal sebagai Cekungan Selatan yang terdiri dari Zona

Rembang – Selat Madura – Sub-Cekungan Lombok.

Lokasi Penelitian

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

8

2.1.2 Stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara

Stratigrafi Cekungan Jawa Timur Bagian Utara dibagi menjadi beberapa

Formasi (berdasarkan Mudjiono, et. al, 2001), yaitu :

Gambar 2.3 Stratigrafi Regional Cekungan Jawa Timur Utara (Mudjiono, et. al, 2001)

dengan Interval Penelitian yaitu Formasi Kujung-I.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

9

1. Batuan dasar Pra – Tersier

Batuan dasar Pra – Tersier yang mengalasi batuan sedimen di

Cekungan Jawa Timur Utara terdiri atas batuan beku, ofiolit,

metasedimen, dan metamorf yang dipisahkan oleh tinggian – tinggian

berarah timurlaut – baratdaya. Terdapat variasi persebaran litologi dari

barat ke timur.

2. Formasi Pra – Ngimbang

Batuan berumur Eosen Awal ini terdiri atas batupasir sisipan

serpih, batulanau, dan batubara yang merupakan endapan synrift dan tidak

selaras Formasi Ngimbang di atasnya. Pada Cekungan Jawa Timur,

formasi ini hanya ditemukan pada bagian timur, yaitu daerah Lepas Pantai

Bali Utara dan Kangean Timur.

3. Formasi Ngimbang

Sedimentasi Formasi Ngimbang berlangsung pada pada kala Eosen

Tengah hingga Oligosen Awal. Pengendapan Formasi Ngimbang bagian

bawah dipengaruhi oleh konfigurasi half-graben pra-Tersier yang berarah

timurlaut – baratdaya. Transgresi yang terjadi menyebabkan sedimen

pengisi graben yang awalnya dimulai dari endapan silisiklastik laut

dangkal menjadi semakin mendalam ke arah atas. Kenaikan air laut

mengendapkan batugamping “CD” sebagai endapan Formasi Ngimbang

bagian atas, yang terdiri dari batugamping, dengan perselingan serpih dan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

10

batupasir. Formasi Ngimbang bagian bawah terdiri dari perulangan

batupasir, serpih, dan lanau dengan sisipan tipis batubara.

4. Formasi Kujung

Pada Oligosen akhir – Miosen awal diendapkan Formasi Kujung

dengan batuan yang didominasi oleh batugamping dan marl dengan

sisipan tipis batupasir. Terdapat fosil foraminifera, pecahan koral, dan alga

pada batugamping. Formasi Kujung tersebar luas, meliputi daerah

Purwodadi menerus ke arah timur ke arah Tuban dan Madura.

a. Satuan Kujung III (Oligosen Akhir bagian Awal)

Satuan ini terdiri atas perselingan batupasir konglomeratik,

sisipan batubara, batugamping dan serpih. Pada daerah rendahan di

dominasi oleh serpih, sedangkan daerah tinggian merupakan

tempat sedimentasi karbonat paparan dangkal.

b. Satuan Kujung II (Oligosen Akhir bagian Akhir)

Satuan ini berada selaras diatas satuan Kujung III dan

dibedakan berdasarkan peningkatan kandungan karbonat. Satuan

ini terdiri atas batugamping dan serpih dengan sisipan batupasir

dan batulanau. Litologi dan ketebalan satuan ini bervariasi di tiap

tempat sesuai konfigurasi batuan dasar purba.

Pengendapan satuan Kujung II dan Kujung III sebagian

besar dikontrol oleh konfigurasi struktur timurlaut – baratdaya.

Pengendapan satuan Kujung I yang terjadi pada fase transgresi

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

11

telah menutupi hampir seluruh Jawa Timur dengan batugamping

tebal yang umumnya berupa terumbu.

c. Satuan Kujung I (Oligosen Akhir – Miosen Awal)

Satuan Kujung I batugamping masif dan menerus berada

selaras diatas satuan Kujung II dengan ketebalan bervariasi sesuai

perkembangan terumbu secara lokal. Terumbu berkembang baik

pada daerah tinggian batuan dasar purba tetapi secara cepat

berubah menjadi fasies serpih dan mengandung lapisan tipis

batugamping dari fasies sedimen energi rendah yang dibentuk di

sekitar rendahan. Fasies serpih ini menumpu (onlap) terhadap

terumbu satuan Kujung I.

Kenampakan paleogeografi yang dominan adalah tepi

paparan (shelf edge) berarah timur – barat kurang lebih sejajar

dengan garis pantai utara Madura dan Jawa sebelum masuk ke

daratan Pulau Jawa. Pada beberapa daerah, terlihat perubahan

fasies dari karbonat terumbu tepi paparan satuan Kujung I yang

tebal dan bersih menjadi serpih laut dalam yang diendapkan di

daratan Jawa dan Madura.

5. Formasi Tuban

Bagian bawah dari pengendapan Formasi Tuban didefinisikan

sebagai perubahan fasies dari endapan batugamping Formasi Kujung

menjadi silisiklastik Formasi Tuban yang dipengaruhi regresi. Periode

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

12

regresi ini merupakan peristiwa regional terjadi di sebagian besar wilayah

Asia Tenggara. Hal ini menyebabkan pengangkatan daerah sumber

sedimen kawasan hulu (hinterland) di sebelah utara dan erosi sedimen

klastik hingga mengalir ke tempat yang lebih rendah. Setelah itu terjadi

transgresi selama pertengahan hingga akhir Miosen Awal kemudian

terendapkan serpih dengan perselingan batugamping, napal, dan batupasir.

Pada akhir Miosen Awal, bagian atas Formasi Tuban terendapkan

batugamping terumbu (Terumbu Rancak) yang dibedakan menjadi fasies

terumbu dengan energi pengendapan tinggi dan energi rendah.

6. Formasi Ngrayong

Pengangkatan daerah sumber sedimen di kawasan hulu menjadi

sumber sedimen di Formasi Ngrayong yang terendapkan selama Miosen

Tengah. Formasi ini terdiri atas satuan batupasir kuarsa dengan

perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada

batupasir kuarsa terkadang ditemukan cangkang moluska laut. Lingkungan

pengendapan Formasi Ngrayong di paparan laut dangkal hingga

lingkungan batial (laut dalam).

7. Formasi Wonocolo

Pada Miosen Tengah terjadi pengendapan transgresi. Formasi

Wonocolo terdiri dari batulempung karbonat didominasi oleh napal, napal

lempungan, dan napal pasiran dan kalkarenit yang tersebar dengan arah

timur – barat dan meinipis ke arah timur dan utara.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

13

8. Formasi Ledok (Miosen Awal – Pliosen Awal)

Terdiri atas perulangan napal pasiran, kalkarenit dengan napal dan

batupasir. Semakin atas bagian formasi, ukuran butir batupasir karbonatan

menjadi lebih kasar dengan kandungan mineral glaukonit meningkat.

Formasi ini diendapkan pada lingkungan neritik. Batugamping terumbu

pada formasi ini oleh sebagian peneliti disebut Karren Limestone.

9. Formasi Mundu (Pliosen Awal – Pliosen Akhir)

Terdiri atas napal berwarna kehijauan, masif dan kaya

foraminifera. Bagian atas terdiri dari Anggota Solerejo dengan perselingan

batugamping pasiran dan pasir napalan. Penyebaran formasi cukup luas.

Diperkirakan formasi ini diendapkan pada laut terbuka, zona batial pada

bagian bawah dan berkembang ke arah atas pada lingkungan paparan

dangkal dengan kedalaman antara 100-200 meter.

10. Formasi Paciran

Dicirikan oleh batugamping terumbu yang menyebar pada zona

rembang. Berumur Pleistosen dan diendapkan pada laut dangkal, secara

lateral menjemari dengan Formasi Mundu dan Formasi Lidah.

11. Formasi Lidah

Transgresi yang berlangsung dari Pliosen hingga Plistosen

mengendapkan Formasi Lidah yang tersusun oleh batulempung hitam dan

napal berlapis yang diselingi oleh batupasir.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

14

2.1.3 Sistem Minyak Bumi Cekungan Jawa Timur Utara

Sistem minyak bumi (petroleum system) adalah komponen yang harus

dimiliki untuk memungkinkan terkumpul dan terakumulasinya suatu minyak bumi

di suatu cekungan. Cekungan Jawa Timur merupakan cekungan tersier penghasil

hidrokarbon sejak akhir abad ke – 18, terutama dari daerah Cepu, Bojonegoro, dan

Surabaya. Petroleum system terdiri dari komponen penting, yaitu :

1. Batuan Induk (Source Rock)

Batuan induk hidrokarbon utama di Cekungan Jawa bagian Timur

ini berasal dari serpih karbonatan berasal dari lingkungan marginal

marine, deltaik, dan lakustrin Formasi Ngimbang, terutama berasal dari

Central Deep Basin (Manur dan Barraclough, 1994) dengan tipe kerogen

II dan III sehingga dapat menghasilkan minyak dan gas. Serpih laut dalam

pada bagian bawah Formasi Kujung juga berpotensi sebagai batuan induk.

2. Batuan Reservoar (Reservoir Rock)

Reservoar adalah batuan dengan porositas dan permeabilitas yang

baik untuk menyimpan dan mengalirnya hidrokarbon. Reservoar utama

yang berada pada cekungan ini adalah batuan karbonat Formasi Ngimbang

dan Formasi Kujung interval I serta reservoar silisiklastik dari Formasi

Ngimbang, Formasi Tuban dan Formasi Ngrayong.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

15

3. Batuan Tudung (Seal Rock)

Batuan tudung memiliki peran sebagai penyekat yang bersifat tidak

permeabel seperti batulempung. Seal rock yang berada pada cekungan ini

adalah serpih Formasi Ngimbang, Formasi Tuban, Formasi Wonocolo, dan

Formasi Mundu. Shale Formasi Tuban merupakan batuan tudung yang

memiliki tebal 500’ – 1500’ di Cekungan Jawa Timur Utara.

4. Migrasi

Migrasi hidrokarbon terbagi atas migrasi primer, sekunder, dan

tersier. Migrasi primer adalah perpindahan fluida hidrokarbon dari batuan

induk menuju batuan reservoar. Migrasi sekunder adalah pergerakan fluida

dalam reservoar melalui trap. Migrasi tersier adalah pergerakan fluida

hidrokarbon setelah pembentukkan akumulasi yang nyata. Migrasi lateral

terjadi pada lapisan batuan dengan permeabilitas lateral yang baik.

5. Perangkap (trap)

Jenis perangkap di semua sistem minyak bumi Jawa Timur

umumnya memiliki kesamaan. Hal ini disebabkan evolusi tektonik yang

terjadi pada semua cekungan sedimen di sepanjang batas selatan dari

kraton Sunda sehingga tipe struktur geologi dan mekanisme perangkap

menjadi relatif memiliki kesamaan. Perangkap struktur yang berkembang

berupa antiklin dan patahan serta perangkap stratigrafi ditemukan ketika

unit batupasir menumpu (onlap) dan menutupi bagian tinggian batuan

dasar.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

16

2.2 Batuan Karbonat

2.2.1 Pengertian Batuan Karbonat

Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang mempunyai komposisi

dominan lebih dari 50% mineral – mineral karbonat, meliputi Batugamping dan

Batudolo. Beberapa mineral yang penting dan umumnya merupakan penyusun

batuan karbonat adalah aragonit, kalsit, dan dolomit (Tucker and Wright, 1990),

dengan ciri sebagai berikut :

Aragonit (CaCO3) : kristal orthorombik, tidak stabil, berbentuk

jarum atau serabut, diendapkan secara kimiawi langsung dari

presipitasi air laut.

Kalsit (CaCO3) : kristal heksagonal, relatif stabil, umumnya

ditemukan sebagai hasil rekristalisasi aragonit dan sebagai semen

pengisi ruang antarbutir dan rekahan.

Dolomit (CaMg(CO3)2) : kristal heksagonal, hampir sama dengan

kalsit namun secara petrografi dibedakan dari indeks refraksinya,

terbentuk sebagai presipitasi air laut dan penggantian

(replacement) mineral kalsit.

Magnesit (MgCO3) : kristal heksagonal, terbentuk sebagai hasil

penggantian dari mineral kalsit dan dolomit dan juga sebagai hasil

dari rombakan batuan yang mengandung magnesium silikat.

Batugamping adalah batuan yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3)

hingga 95%, sehingga tidak semua batuan karbonat adalah batugamping (Reijers

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

17

& Hsu, 1986). Proses pembentukkan batuan karbonat dapat terjadi secara insitu,

yaitu berasal dari larutan yang mengalami proses kimiawi maupun biokimia

dengan peranan organisme, selain itu dapat terjadi dari butiran rombakan yang

telah tertransportasi secara mekanik kemudian terendapkan di tempat lain, dan

juga pembentukannya dapat terjadi akibat proses diagenesa dari batuan karbonat

sebelumnya, seperti proses dolomitisasi yaitu mineral kalsit berubah menjadi

dolomit.

2.2.2 Faktor Pengendapan Karbonat

Pengendapan batuan karbonat berbeda dengan pengendapan batuan

sedimen klastik lainnya. Pada proses pengendapan batuan karbonat, diperlukan

kondisi lingkungan tertentu yang memenuhi persyaratan untuk proses

pertumbuhan dan perkembangan kehidupan organisme dengan baik. Berikut

beberapa faktor penting yang sangat mempengaruhi pengendapan batuan

karbonat.

Pengaruh sedimen klastik asal darat, adanya partikel seperti lempung dan

lanau (asal darat) akan menghalangi proses fotosintesa organisme

pembentuk unsur CaCO3. Dengan demikian, dibutuhkan lingkungan

dengan kondisi aliran air yang jernih dan relatif stabil untuk mendukung

pengendapan karbonat dengan baik.

Iklim dan suhu, iklim tropis – subtropis yang cukup menerima sinar

matahari, temperatur relatif hangat, serta kadar oksigen dan salinitas yang

cukup diperlukan untuk memperlancar proses fotosintesa organisme

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

18

penghasil CaCO3. Selain itu, pada iklim arid proses evaporasi sangat besar

pengaruhnya sehingga banyak menghasilkan evaporit. Kondisi seperti ini

akan dijumpai pada lingkungan laut yang dangkal.

Tektonik dan perubahan muka air laut, tektonik dapat menentukan setting

pengendapan dengan mengontrol laju penurunan atau kenaikan permukaan

tempat diendapkannya karbonat. Perubahan naik dan turun muka air laut

dapat membentuk siklus yang mempengaruhi pengendapan karbonat.

2.2.3 Komposisi Penyusun Batuan Karbonat

Dunham (1962) membagi partikel sedimen karbonat menjadi dua bagian

berdasarkan ukurannya. Partikel dengan ukuran lebih besar dari 0,2 mm dan dapat

diamati dengan menggunakan lup disebut sebagai butiran. Sedangkan, untuk

partikel berukuran lebih kecil dari 0,02 mm disebut sebagai lime mud. Komponen

penyusun batuan karbonat yaitu :

a. Butiran kerangka (skeletal grain), merupakan bagian yang keras dari

organisme dalam batugamping, baik dalam kondisi utuh maupun pecahan.

Jenis kerangka penyusun seperti fragmen koral, cangkang, mikrofosil, sisa

ganggang, dan pecahan fosil – fosil makro.

Contoh batuan dapat berupa batugamping terumbu (reef) atau disebut

sebagai karbonat build up yaitu batuan karbonat yang terdiri dari material

organik yang berasal dari pertumbuhan koloni organisme yang selalu

mencari tempat paling tinggi agar menempati kolom air yang cukup dan

terkena sinar matahari hingga dapat berkembang membentuk build up.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

19

Wilson (1975) menggunakan istilah build up pada tubuh batuan karbonat

yang secara lokal, terbatas secara lateral, merupakan hasil proses relief

topografi, dan tak selalu mengaitkan dengan jenis penyusun internalnya.

b. Butiran non skeletal terdiri dari,

- Butiran rombakan (detrital grain), merupakan hasil rombakan dari

batuan yang telah ada sebelumnya. Contoh : intraklas dan lithoklas.

- Pellets, merupakan butiran yang masif, berbentuk elips atau oval, tidak

menunjukkan adanya struktur internal. Contoh : fecal pellets dan

favreina.

- Lumps, merupakan butiran karbonat yang komposit atau berkelompok

dengan kenampakan bentuk permukaan yang tidak teratur. Contoh :

grapstone.

- Butiran berlapis konsentris (coated grain), merupakan butiran karbonat

yang mempunyai sebuah inti yang dikelilingi oleh beberapa selaput

tipis CaCO3 secara konsentris. Contoh : oolit, pisolit, dan onkolit.

c. Semen atau sparit merupakan material halus dapat berupa kalsit, silika,

atau oksida besi. Semen berperan sebagai material pengikat antar butiran

dan mengisi rongga pori yang diendapkan setelah fragmen dan matriks.

d. Lumpur karbonat merupakan partikel karbonat berukuran halus, kurang

dari 4 mikrometer. Lumpur karbonat umumnya dikenal dengan istilah lime

mud atau mikrit. Secara mikroskopis memiliki kenampakan yang keruh,

kecoklatan, dan terbentuk saat pengendapan berlangsung. Mikrit dapat

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

20

mengalami alterasi dan tergantikan oleh mozaik mikrospar yang kasar

(Tucker and Wright, 1990).

2.2.4 Porositas Batuan Karbonat

Porositas pada batuan karbonat memiliki arti ekonomi yang penting

sebagai batuan reservoar baik hidrokarbon maupun air tanah. Faktor – faktor yang

mempengaruhi nilai porositas adalah ukuran butir, sortasi, kompaksi dan

sementasi. Porositas pada batuan karbonat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Porositas primer merupakan porositas yang dikontrol proses pengendapan

dan litifikasi.

b. Porositas sekunder merupakan porositas yang terbentuk setelah terjadi

sedimentasi dan berhubungan dengan proses diagenesa.

Klasifikasi porositas batuan karbonat menurut Choquette dan Pray (1970)

merupakan klasifikasi secara deskriptif dan genetik melalui pengamatan

mikroskopis. Apabila porositas berhubungan dengan kemas dari batuan tersebut,

maka disebut “Fabric Selective”. Sebaliknya, jika tidak ada hubungan antara

porositas dengan kemas maka disebut “Not Fabric Selective”. Jenis porositas

yang termasuk dalam Fabric Selective adalah :

a. Interpartikel (BP), merupakan porositas primer, pori terletak diantara

butiran.

b. Intrapartikel (WP), merupakan porositas primer, pori terletak didalam

butiran.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

21

c. Interkristal (BC), merupakan porositas sekunder, pori terletak diantara

kristal. Umumnya terdapat pada dolomit.

d. Moldic (MO), merupakan porositas sekunder, berasal dari material

cangkang atau organisme yang sudah terlarutkan sehingga bentuk pori.

e. Fenestral (FE), merupakan porositas primer, terbentuk akibat pelepasan

gas atau air saat pengendapan jalinan ganggang.

f. Shelter (SH), merupakan porositas primer, terbentuk sebagai rongga di

bagian bawah cangkang yang tertutup partikel kasar sehingga terlindung

dari pengisian partikel halus.

g. Growth Framework (GF), merupakan porositas primer, terbentuk akibat

pertumbuhan fragmen pembentuk tubuh batuan karbonat.

Jenis porositas yang termasuk dalam “Not Fabric Selective” terdiri dari :

a. Fracture (FR), merupakan porositas sekunder, terbentuk sebagai suatu

rekahan yang diakibatkan oleh adanya pelarutan, pelongsoran, atau

deformasi.

b. Channel (CH), merupakan porositas sekunder, terbentuk akibat adanya

pelarutan dari air formasi.

c. Vuggy (VUG), merupakan porositas sekunder, terbentuk akibat adanya

pelarutan yang berkembang dari sistem pori yang telah ada sebelumnya.

Umumnya berkembang dari Moldic dan memiliki ukuran megaskopis.

d. Cavern (CV), merupakan porositas sekunder, terbentuk akibat adanya

pelarutan dan memiliki ukuran pori lebih besar.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

22

Jenis porositas yang dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan kemas,

disebut Fabric Selective or Not terdiri dari :

a. Breccia (BR), merupakan porositas sekunder, terdapat pada breksi, dengan

pori diantara butiran. Umumnya berasosiasi dengan porositas fracture.

b. Boring (BO), merupakan porositas primer atau sekunder yang terbentuk

sebagai hasil dari aktivitas penggalian organisme ke dalam lapisan batuan

karbonat.

c. Burrow (BU), merupakan porositas primer atau sekunder yang terbentuk

sebagai hasil dari jejak organisme pada lapisan batuan karbonat.

d. Shrinkage (SK), merupakan porositas sekunder yang terbentuk sebagai

akibat adanya penyusutan kristal dan terjadi pada rekahan.

Gambar 2.4 Klasifikasi Sistem Pori Pada Batuan Karbonat (Choquette & Pray, 1970)

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

23

2.2.5 Klasifikasi Batuan Karbonat

Klasifikasi batuan karbonat penting untuk menggambarkan tekstur batuan

karbonat sehingga mempermudah dalam pembagian fasies karbonat. Klasifikasi

batuan karbonat menurut Dunham (1962) berdasarkan pada tekstur pengendapan

yang dapat menggambarkan genesa pembentukannya, sehingga klasifikasi ini

memiliki tipe genetik. Faktor – faktor yang menjadi dasar pembagian klasifikasi

batuan karbonat adalah kandungan lumpur, kandungan butiran, keterikatan

komponen, dan kenampakan tekstur hasil diagenesis. Berdasarkan faktor tersebut,

Dunham (1962) membuat klasifikasi batuan karbonat sebagai berikut :

Gambar 2.5 Klasifikasi Batuan Karbonat Berdasarkan Dunham (1962).

a. Dominasi oleh lumpur (mud supported)

Jumlah butiran kurang dari 10 % disebut mudstone

Jumlah butiran lebih dari 10 % disebut wackestone

b. Dominasi oleh butiran (grain supported)

Mengandung matriks disebut packstone

Seluruhnya berupa butiran disebut grainstone

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

24

c. Komponen saling terikat satu sama lain saat pengendapan, dicirikan

adanya struktur tumbuh dan tersusun oleh organisme disebut boundstone

d. Komponen penyusunnya tidak lagi memperlihatkan tekstur asalnya,

disebut batugamping kristalin.

2.2.6 Jenis Paparan Karbonat

Sebagian besar sedimen karbonat terutama diendapkan pada paparan laut

dangkal (platform). Selain itu, sedimen karbonat dapat ditemukan pada beberapa

bagian lingkungan laut marginal. Menurut Tucker dan Wright (1990), tipe dasar

platform karbonat dapat dibedakan berdasarkan sifat tepi paparan, yaitu :

Gambar 2.6 Jenis Paparan Karbonat (Tucker and Wright, 1990 dalam Boggs, 2006).

a. Paparan Karbonat Rimmed

Rimmed platform adalah paparan laut dangkal yang ditandai oleh

perubahan lereng yang jelas pada bagian tepi luarnya sebelum masuk ke

lingkungan dengan air yang lebih dalam. Pada daerah perubahan (shelf

break) terdapat penghalang (barrier) yang menerus disepanjang tepi

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

25

platform. Barrier biasanya berupa karbonat build up karena dapat tumbuh

subur dan memiliki kerangka tubuh yang dapat menghalangi energi

gelombang dan membatasi sirkulasi air, sehingga menghasilkan

lingkungan paparan energi rendah kearah darat, yaitu lingkungan lagoon.

b. Paparan Karbonat Unrimmed

Unrimmed adalah paparan yang tidak ditandai oleh barrier

marginal yang jelas. Ramp adalah jenis platform paparan unrimmed

dengan kemiringan landai (kurang dari 1 derajat) pada daerah air dangkal

menerus ke arah slope dengan sedikit perubahan kemiringan ke dalam

fasies yang lebih dalam. Perubahan kemiringan pada ramp tidak ditandai

oleh tren terumbu yang jelas, tetapi gundukan pasir diskontinu dapat

ditemukan disepanjang tepi paparan.

c. Paparan Karbonat Terisolir

Platform terisolir (isolated) adalah platform air dangkal dengan

kemiringan landai, lebar sepuluh sampai ratusan kilometer, umumnya

terletak pada lepas pantai paparan kontinental dangkal, yang dikelilingi

oleh air dalam yang bekisar dari beberapa ratus sampai beberapa kilometer

kedalamannya.

Platform terisolir dapat berupa platform rimmed atau ramp

bergantung pada evolusi platform yang dipengaruhi perubahan muka air

laut. Namun platform terisolir lebih mengacu pada terhubung atau

tidaknya paparan dengan daratan, dengan kata lain platform terisolir

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

26

adalah sebuah pulau sangat besar, dikelilingi oleh laut dalam, dengan tepi

paparan berjenis rimmed atau ramp (Ahr, 2008).

2.2.7 Fasies dan Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat

Fasies merupakan kenampakan suatu tubuh batuan yang dicirikan

berdasarkan kombinasi dari litologi, struktur fisik, dan biologi yang merupakan

aspek pembeda dari tubuh batuan di atas, di bawah ataupun secara lateral (Walker,

et. al, 1992). Suatu fasies akan mencerminkan suatu mekanisme pengendapan

tertentu atau berbagai mekanisme yang terjadi saat yang bersamaan. Fasies dapat

dikombinasikan menjadi asosiasi fasies yang merupakan suatu kombinasi dari dua

atau lebih fasies yang membentuk tubuh batuan dalam berbagai skala dan

kombinasi yang secara genetik saling berhubungan pada suatu lingkungan

pengendapan.

Lingkungan pengendapan adalah bagian dari roman muka bumi yang

secara fisika, kimia dan biologi berbeda dengan roman lainnya, misalnya gurun,

lembah, sungai, delta dan laut (Selley, R.C.,1985). Pembagian dan penentuan

lingkungan pengendapan batuan karbonat sangat bergantung pada lokasi dan

faktor – faktor yang mempengaruhi pengendapan karbonat. Dengan demikian,

beberapa ahli telah membuat beberapa model pengendapan batuan karbonat

beserta fasiesnya. Klasifikasi lingkungan pengendapan yang digunakan dalam

penelitian ini mengacu pada model paparan laut dangkal pengendapan karbonat

(Tucker and Wright, 1990) dengan penciri fasies di setiap lingkungannya, yaitu :

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

27

Gambar 2.7 Lingkungan Pengendapan dan Fasies Pada Paparan Karbonat

(a) Rimmed dan (b) Unrimmed (Tucker and Wright, 1990).

2.2.8 Diagenesa Batuan Karbonat

Diagenesa adalah proses – proses yang terjadi pada sebuah batuan sedimen

setelah pengendapan, sebelum temperatur dan tekanan menjadi cukup tinggi untuk

proses metamorfisme (Tucker and Wright, 1990). Pada batuan karbonat,

diagenesa secara khusus mengurangi porositas, mendistribusikan kembali ruang

pori dan mengubah permeabilitas.

(a)

(b)

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

28

Choquette & Pray (1970) membagi tahapan diagenesa menjadi tiga tahap,

yaitu :

1. Eogenesis, merupakan tahapan diagenesa yang terjadi setelah sedimentasi

hingga sebelum pengendapan yang efektif dan relatif masih dekat dengan

permukaan.

2. Mesogenesis, merupakan tahapan diagenesa pada saat pengendapan yang

efektif berada jauh dari permukaan.

3. Telogenesis, merupakan tahapan diagenesa akhir yang terjadi setelah

batuan tersingkap akibat proses pengangkatan dan terjadi dekat dengan

permukaan.

2.2.8.1 Proses Diagenesa

Proses – proses diagenesa yang umum terjadi pada batuan karbonat adalah

sebagai berikut :

1. Sementasi

Proses ini terjadi ketika fluida yang mengisi pori dalam keadaan sangat

jenuh oleh keberadaan semen dan tidak ada faktor kinetik yang mengganggu

presipitasi dalam pori batuan sehingga menghasilkan material semen.

Keluarnya fluida dari ruang pori, menyebabkan material yang terlarut

didalamnya mengendap dan merekatkan butiran sedimen. Porositas sedimen

akan menjadi lebih kecil dari semula.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

29

2. Mikritisasi mikrobial

Proses ini terjadi akibat adanya butiran yang terubah akibat pengaruh

organisme kecil seperti alga, jamur, dan bakteri. Butiran skeletal mengalami

pemboran di bagian luar dan ruang tersebut terisi oleh material sedimen sangat

halus atau semen. Micrite envelope merupakan hasil dari proses ini. Bila

proses ini terjadi secara intensif akan menghasilkan butiran yang

termikritisasi.

3. Neomorfisme

Merupakan perubahan suatu mineral menjadi mineral yang lebih stabil

dalam kondisi tertentu. Umumnya terjadi karena keterdapatan air selama

pelarutan. Berbeda dengan rekristalisasi, perubahan ukuran kristal tanpa

perubahan mineralogi seperti perubahan aragonit menjadi kalsit.

4. Disolusi

Proses disolusi atau pelarutan terjadi saat fluida yang mengisi pori tidak

cukup jenuh oleh mineral karbonat. Mineral metastable seperti aragonit sangat

mungkin untuk larut, sama seperti kalsit yang banyak mengandung

Magnesium. Proses disolusi meningkatkan porositas dan penipisan lapisan

batuan sedimen terutama pada batuan yang mudah larut seperti batuan

karbonat dan evaporit yang mudah larut.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

30

5. Kompaksi

Proses ini terjadi ketika sedimen karbonat terkubur dan mengalami

tekanan. Kompaksi terbagi menjadi dua yaitu kompaksi mekanik dan

kompaksi kimia. Kompaksi mekanik terjadi ketika pembebanan cukup tinggi

sehingga terjadi retakan dalam butiran. Kompaksi kimia terjadi ketika butiran

yang saling bersentuhan menyebabkan terjadi pelarutan sehingga membentuk

kontak antar butir. Porositas batuan akan berkurang karena kemas lebih

tertutup. Proses tektonik seperti kompresi dan ekstensi juga mempengaruhi

diagenesa seperti terjadinya rekahan yang terisi kalsit.

2.2.8.2 Lingkungan Diagenesa

Secara umum, lingkungan diagenesa dibagi menjadi tiga yaitu meteoric,

marine, dan burial dengan zona lingkungan yang dibagi menjadi dua yaitu zona

vadose yang berada diatas permukaan laut dan zona phreatic berada dibawah

permukaan laut. Tucker and Wright (1990) membagi lingkungan diagenesa

menjadi lima yaitu meteoric vadose, meteoric phreatic, mixing zone, marine

phreatic, dan burial.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

31

Gambar 2.8 Lingkungan Diagenesa Batuan Karbonat (Tucker and Wright, 1990)

1. Zona Meteoric Vadose

Lingkungan ini berada diatas watertable dengan pori – pori yang terisi

oleh air dan udara. Kondisi air dalam pori tidak jenuh bertahan diantara

butiran akibat adanya gaya kapilaritas. Pelarutan yang terjadi sangat

intensif sedangkan sementasi sedikit. Semen yang terbentuk pada

lingkungan ini adalah kalsit dengan kandungan Magnesium rendah.

2. Zona Meteoric Phreatic

Lingkungan ini berada di bawah watertable dengan pori yang terisi

oleh air. Pada zona aktif, di bagian atas meteorik preatik, dicirikan oleh

pelarutan aragonit dan Magnesium-kalsit, presipitasi kalsit, pelarutan

butiran, adanya porositas vuggy dan moldic. Pada zona stagnan, dibagian

bawah meteorik preatik, dicirikan oleh sementasi yang sedikit dan

stabilnya aragonit dan Magnesium-kalsit. Semen yang dapat terbentuk

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

32

pada lingkungan ini adalah kalsit dengan kandungan Magnesium rendah

dengan bentuk semen blocky.

3. Zona Mixing

Lingkungan yang berada diantara marine preatik dan meteorik preatik.

Dapat dicirikan oleh air payau, namun bila kondisi lingkungan dalam

salinitas rendah dapat terjadi proses dolomitisasi, sementara kondisi

salinitas tinggi membentuk Magnesium-kalsit dengan bentuk menjarum.

4. Zona Marine Phreatic

Lingkungan yang dipengaruhi oleh air laut normal sehingga seluruh

ruang pori akan terisi oleh air laut. Terdiri dari dua sub zona yaitu (a) zona

stagnan, yaitu lingkungan dengan sirkulasi air sedikit, ditandai oleh

mikritisasi, dan (b) zona aktif, yaitu lingkungan dengan sirkulasi air yang

baik, ditandai oleh sementasi intergranular. Pada lingkungan ini, semen

yang terbentuk adalah kristal aragonit dan kalsit dengan kandungan

Magnesium tinggi.

5. Burial

Lingkungan ini ditandai dengan meningkatnya temperatur dan tekanan,

sehingga terjadi proses kompaksi secara fisika maupun kimia dan

perubahan mineralogi. Terdapat beberapa struktur yang mencirikan

lingkungan burial seperti stylolite dan fracture.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

33

2.2.9 Prinsip Reservoar Batuan Karbonat

Batuan karbonat merupakan salah satu reservoar ekonomis sebagai tempat

akumulasi hidrokarbon karena memiliki kualitas porositas dan permeabilitas yang

baik. Reservoar karbonat dicirikan oleh variasi porositas dan permeabilitas yang

sangat tinggi sebagai hasil dari fasies dan pengaruh diagenesa yang terjadi.

Diagenesa dapat membuat porositas karbonat menjadi sangat besar atau berkurang

sesuai dengan proses dan lingkungan tempat terjadinya. Secara umum, terdapat

tiga jenis reservoar karbonat (Reeckmann, et. al, 1981) :

a. Reservoar karbonat dengan porositas primer yang baik, umumnya reservoar

ini terbentuk pada lingkungan pengendapan dengan energi yang tinggi

seperti karbonat build up sebagai barrier yang berasosiasi pada tepi paparan.

Wilson (1975) menggunakan istilah build up untuk tubuh batuan yang

secara lokal, terbatas secara lateral, merupakan relief topografi, tanpa

mengaitkan pembentuk internalnya sebagai hasil pertumbuhan karbonat.

b. Reservoar karbonat yang dikontrol oleh porositas sekunder, porositas

sekunder merupakan hasil dari pelarutan batuan karbonat saat ekspos ke

permukaan oleh air meteorik atau fracture dari hasil pergerakan tektonik

atau pembebanan saat diagenesa.

c. Reservoar karbonat yang terdolomitisasi pada lingkungan peridital.

Dolomitisasi menghasilkan porositas interkristalin.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

34

2.3 Log Sumur

Log sumur (well log) adalah metode yang merekam data bawah

permukaan melalui peralatan elektronik secara berkesinambungan dan teratur,

selaras dengan pergerakan alat yang dipakai, sehingga diagram yang dihasilkan

akan merupakan gambaran hubungan kedalaman dengan karakter atau sifat – sifat

formasi batuan. Data hasil logging dapat digunakan untuk mengidentifikasi zona

produktif, kedalaman, ketebalan, dan membedakan fluida baik minyak, gas, dan

air, sehingga dapat menghitung cadangan hidrokarbon di dalam suatu reservoar.

Log terdiri dari beberapa jenis yang dapat dibagi berdasarkan sifatnya seperti log

gamma ray (GR), log resistivitas, log densitas, log neutron, log sonik dan

sebagainya.

2.3.1 Log Gamma Ray

Prinsip kerja log gamma ray (GR) adalah merekam radioaktif alami

seperti Thorium (Th), Potasium (K), Uranium (U) yang secara kontinu

memancarkan energi radiasi tinggi dari dalam suatu formasi. Serpih mempunyai

radiasi yang paling kuat karena kandungan radioaktif terendapkan dengan baik di

lapisan serpih yang tidak permeabel. Pada formasi permeabel seperti batupasir dan

batuan karbonat yang bebas serpih maka pembacaan log GR lebih rendah karena

kandungan radioaktif sedikit. Log GR memiliki beberapa fungsi yaitu :

a. Untuk membedakan lapisan permeabel dan impermeabel, bila log SP tidak

bisa digunakan karena formasi dan lumpur yang digunakan terlalu resistif.

b. Evaluasi kandungan serpih (Vsh) melalui log GR.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

35

c. Evaluasi kandungan mineral radioaktif dan nonradioaktif.

d. Dapat digunakan sebagai acuan korelasi pola motif log antar sumur,

karena berulang, tidak dipengaruhi kedalaman, memberikan beberapa

indikasi dari litologi dan juga mudah untuk diinterpretasikan.

2.3.2 Log Resistivitas

Prinsip kerja log resistivitas adalah mengukur tahanan jenis formasi

dengan mengalirkan arus listrik ke dalam formasi kemudian mengukur

kemampuan formasi tersebut untuk menghantarkan arus listrik. Selain itu, nilai

log resistivitas dapat diperoleh melalui induksi arus listrik ke dalam formasi dan

mengukur besarnya induksi tersebut.

Resistivitas formasi bergantung dari sifat dan karakter fisik batuan seperti

porositas, salinitas, dan jenis batuan, selain itu kandungan fluida juga

berpengaruh. Keberadaan fluida hidrokarbon akan menunjukkan resistivitas yang

besar, sedangkan kandungan air akan menunjukkan resistivitas yang bervariasi

tergantung kandungan garam. Kegunaan log resistivitas adalah :

a. Mengindentifikasi zona permeabel, porous, dan membantu interpretasi litologi

batuan.

b. Menentukan kandungan fluida dalam batuan permeabel, dengan melihat nilai

pada kurva log resistivitas dapat diketahui jenis fluida yang terkandung.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

36

2.3.3 Log Densitas

Log densitas adalah log porositas yang mengukur densitas elektron pada

formasi dalam satuan gram/cc. Kurva log densitas menunjukkan besarnya densitas

keseluruhan matriks batuan dan fluida dalam pori (bulk density) dari batuan yang

ditembus lubang bor.

Secara kuantitatif log densitas digunakan untuk menghitung porositas dan

secara tidak langsung untuk menentukan densitas hidrokarbon. Log dapat

membantu perhitungan akustik impedansi dalam kalibrasi pada seismik. Secara

kualitatif log ini berguna sebagai indikator penentuan litologi, dapat digunakan

untuk mengindentifikasi densitas mineral.

2.3.4 Log Neutron

Log neutron merupakan log porositas yang mengukur konsentrasi ion

hidrogen dalam formasi. Kandungan fluida hidrokarbon akan menunjukan nilai

log neutron yang relatif lebih kecil daripada air tawar atau air asin. Pori yang terisi

oleh gas menunjukan nilai log neutron rendah karena gas memiliki paling sedikit

kandungan hidrogen dibanding minyak.

Secara kuantitatif log neutron dapat digunakan untuk mengukur porositas

dan juga sebagai pembeda kandungan fluida antara air, minyak, dan gas. Jika

dikombinasikan dengan log densitas pada skala tertentu merupakan indikator

litologi yang baik.

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

37

2.3.5 Log Sonik

Log sonik pada prinsipnya mengukur waktu rambatan gelombang suara

dalam formasi pada jarak tertentu, sehingga memerlukan pemancar dan penerima

yang dipisahkan dalam jarak tertentu. Waktu yang dibutuhkan tersebut adalah

interval transit time (∆t) berbanding terbalik dengan kecepatan gelombang suara

yang bergantung pada jenis litologi, porositas, dan kandungan pori. Bila batuan

bersifat padu dan porositas rendah maka nilai waktu akan rendah, begitu pula

sebaliknya. Secara kuantitatif, log sonik digunakan untuk evaluasi porositas pada

pori yang terisi fluida, namun alat sonik hanya menghitung waktu tempuh.

2.3.6 Pola Log Batuan Karbonat

Pola – pola log merepresentasikan adanya perubahan energi saat

pengendapan (Walker dan James, 1992). Korelasi pola log GR dilakukan untuk

mengetahui arah persebaran dan karakteristik lapisan batuan, namun umumnya

korelasi lumrah dilakukan pada batuan silisiklastik. Faktanya, pola log tidak dapat

merepresentasikan dengan baik lingkungan pengendapan, karakteristik tekstur,

dan tipe porositas pada batuan karbonat. Hal ini disebabkan proses sekunder yang

terjadi setelah pengendapan karbonat seperti diagenesa sehingga diperlukan

kombinasi log GR dengan log resolusi tinggi serta perhitungan sifat fisik batuan

untuk memvalidasi interpretasi karakteristik karbonat bawah permukaan (Ahr,

2008). Bentuk – bentuk dasar pola log dapat berupa cylindrical, irregular, bell,

funnel, symmmetrical, dan asymmetrical (Kendall, 2003), dalam penelitian ini

digunakan sebagai interpretasi awal mekanisme eneri pengendapan karbonat.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

38

Tabel 2.1 Model Pola Log Batuan Karbonat (Kendall, 2003)

Pola Keterangan

Cylindrical

Diasosiasikan dengan endapan batuan karbonat laut dangkal dimana

karbonat dapat tumbuh dengan baik.

Funnel Diasosiasikan sebagai butir semakin kasar ke atas, dapat diperkiraan

sebagai kondisi karbonat dalam kondisi catch up untuk tetap tumbuh.

Bell Diasosiasikan sebagai butir semakin halus ke atas dengan energi menjadi

lebih rendah, namun dapat dipengaruhi oleh kehadiran mineral radioaktif

yang semakin meningkat keatas, bila pola ini semakin menebal dapat

mengindikasikan fase akhir tumbuhnya karbonat dan berubah litologi

menjadi shale.

Symmetrical Merupakan kombinasi bentuk funnel dan bell, kombinasi coarsening –

fining upward dapat diinterpretasikan sebagai hasil dari proses siklus

perubahan muka air laut regresi dan transgresi.

Irregular atau

Serrated

Pola log yang tidak beraturan menunjukkan adanya perubahan muka air

laut yang fluktuatif, terdapat sisipan litologi yang lebih kasar atau halus

dan dapat diinterpretasikan sebagai lapisan yang teracak diindikasikan

sebagai endapan hasil longsoran di slope dalam lingkungan laut dalam.

Gambar 2.9 Model Pola Log Batuan Karbonat (Kendall, 2003).

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

39

2.4 Evaluasi Formasi

Evaluasi formasi merupakan suatu proses analisis ciri dan sifat batuan di

bawah permukaan dengan menggunakan hasil pengukuran log sumur (Harsono,

1977). Evaluasi formasi dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif untuk

mengidentifikasi parameter sifat fisik bawah permukaan suatu batuan reservoar.

2.4.1 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan untuk menentukan sifat batuan reservoar

dengan data bawah permukaan seperti pengamatan konfigurasi kurva pada log

sumur kemudian dapat divalidasi dengan data batuan inti. Analisa kualitatif dalam

penelitian ini meliputi :

a. Penentuan jenis litologi, melalui log GR, neutron, densitas.

b. Penentuan lapisan poros, melalui log GR, neutron, densitas, sonik.

c. Penentuan jenis kandungan fluida, melalui log resistivitas, neutron,

densitas.

2.4.2 Analisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui sifat reservoar melalui

perhitungan parameter fisik batuan dari data log sumur dan dapat divalidasi

dengan data batuan inti. Parameter fisik batuan terdiri dari volume serpih (Vsh),

porositas (Φ), resistivitas, permeabilitas, dan saturasi hidrokarbon. Dalam

penelitian ini, identifikasi sifat fisik batuan terbatas pada volume serpih dan

porositas pada interval penelitian.

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

40

2.4.2.1 Volume Serpih (Vsh)

Volume serpih adalah jumlah total serpih yang terkandung dalam zona

reservoar. Kandungan serpih dapat mempengaruhi pembacaan nilai log sumur

seperti nilai porositas, permeabilitas, dan resistivitas. Sehingga, pemahaman

mengenai sifat serpih dan koreksi data log sumur dibutuhkan supaya tidak terjadi

kesalahan saat interpretasi.

Terdapat banyak metode untuk menentukan jumlah total volume serpih

yang terkandung dalam reservoar. Salah satu metode yang umum digunakan

dalam menentukan volume serpih (Vsh) adalah menggunakan log gamma ray

(GR) karena serpih lebih bersifat radioaktif dari batupasir dan batuan karbonat.

Perhitungan Index GR adalah tahap pertama dalam menentukan volume serpih

dari log GR, dengan rumus sebagai berikut (dalam Asquith, 2004) :

Keterangan,

IGR : Index Gamma Ray

GRlog : Nilai Gamma Ray yang terbaca di formasi

GRmin : Nilai Gamma Ray terendah di formasi

GRmax : Nilai Gamma Ray tertinggi di formasi

Estimasi volume serpih secara linier dari log GR merupakan pendekatan

yang umum dipakai dalam kalkulasi kandungan serpih. Secara linear, respon dari

log GR berbanding lurus dengan volume serpih, maka volume serpih (Vsh) sama

dengan nilai Index GR (IGR).

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

41

VSH = IGR ; ……….(2.1) Metode Linear

Namun, perhitungan volume serpih berdasarkan persamaan linear sering

menghasilkan estimasi volume serpih yang cukup tinggi yang akan berpengaruh

terhadap kualitas reservoar. Selain itu, para peneliti telah membuktikan bahwa log

GR memiliki beberapa respon non – linier yang dapat dipengaruhi beberapa faktor

umum seperti umur formasi ataupun kandungan mineral. Formula empiris dari

persamaan non – linier menunjukkan hasil yang lebih optimis dengan

menghasilkan volume serpih lebih rendah dibanding persamaan linier. Beberapa

persamaan tersebut adalah (dalam Asquith, 2004) :

a. Persamaan Clavier (1971),

Metode Clavier (1971) dihasilkan berdasarkan pengamatan

terhadap respon beberapa log seperti GR, densitas, neutron, sonik,

resistivitas, dan caliper pada zona shaly sand. Sehingga, parameter fisik

batuan secara kualitatif dan kuantitatif dapat diperoleh dari tiap log

tersebut. Pada perhitungan kandungan serpih (Vsh) melalui log GR dapat

dihitung melalui persamaan berikut :

VSH = 1.7 – [3.38 – (IGR – 0.7)2]1/2

……………. (2.2) Metode Clavier

b. Persamaan Stieber (1970),

Thomas Stieber mengembangkan suatu metode yang berhubungan

dengan respon log GR untuk menentukan kandungan serpih secara

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

42

kuantitatif dan distribusinya sebagai koreksi alternatif metode linier.

Metode ini dapat digunakan dengan baik pada litologi yang diasumsikan

memiliki mineralogi relatif sama, seperti batupasir dan shale, tidak seperti

batuan karbonat yang mineraloginya mudah terubah akibat diagenesa.

VSH = IGR ……………………………… (2.3) Metode Stieber

3 – 2 x IGR

c. Persamaan Larionov (1969),

Larionov (1969) telah melakukan uji laboratorium untuk

mengkalibrasi jumlah kandungan serpih dari nilai log GR dengan difraksi

sinar X. Melalui uji laboratorium, metode ini terbagi menjadi dua

persamaan yang secara garis besar dapat digunakan untuk batuan berumur

Tersier (unconsolidated rock) dan batuan lebih tua dari Tersier

(consolidated rock).

Untuk batuan berumur Tersier (unconsolidated rock)

VSH = 0.083 (2 (3.7 x I

GR

) – 1) ……………….. (2.4) Metode Larionov I

Untuk batuan yang berumur lebih tua (consolidated rock)

VSH = 0.33 (2 (2 x I

GR

) - 1) ……………….. (2.5) Metode Larionov II

Perbandingan hasil perhitungan kandungan serpih dapat dilihat pada

gambar berikut :

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

43

Gambar 2.10 Perbandingan Hasil Perhitungan Kandungan Serpih (Vsh) melalui

Metode Linier, Stieber, Clavier, dan Larionov. (Asquith, 2004).

Penggunaan metode perhitungan volume serpih harus didasarkan pada

kondisi batuan interval penelitian yang dapat divalidasi dengan data pemboran,

sehingga perolehan nilai volume serpih merupakan nilai yang sesuai dengan

kondisi batuan bawah permukaan. Hal ini dilakukan karena hasil perhitungan

volume serpih akan mempengaruhi perhitungan parameter fisik batuan lainnya.

2.4.2.2 Porositas

Porositas adalah perbandingan antara volume rongga pori dengan volume

total batuan yang dapat dinyatakan dalam persen (%). Umumnya, porositas yang

sering digunakan adalah porositas total dan porositas efektif . Porositas

efektif merupakan perbandingan antara pori yang saling berhubungan dengan

volume total batuan. Adanya pori – pori batuan yang saling berhubungan akan

mempermudah fluida untuk mengalir. Perhitungan porositas dapat menggunakan

log sonik, densitas, dan neutron.

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

44

a. Porositas melalui log densitas (PHID)

…………….... (2.6) Porositas Densitas

Keterangan,

ρma = densitas matriks (g/cm3)

ρf = bulk density dari formasi (g/cm3)

ρb = densitas fluida (g/cm3)

b. Porositas melalui log neutron (NPHI)

Pada formasi yang bersih dari serpih, nilai porositas dapat dibaca

dari log neutron kemudian dikoreksi terhadap jenis litologi. Namun,

pada formasi shaly sand harus dikoreksi terlebih dahulu.

c. Porositas melalui log neutron – densitas

Perhitungan nilai porositas total dapat dilakukan dengan

kombinasi porositas neutron dan porositas densitas dengan

menggunakan persamaan :

……(2.7) Porositas Total Densitas Neutron

Keterangan :

PHIT = porositas total (V/V)

PHID = porositas densitas (V/V)

NPHI = porositas neutron (V/V)

Selain itu, nilai porositas efektif dapat dihitung melalui porositas

neutron dan densitas dengan persamaan berikut :

PHIE = PHIT x (1 – Vsh) …………...(2.8) Porositas Efektif Densitas Neutron

Keterangan,

PHIE = porositas efektif (V/V)

PHIT = porositas total densitas - neutron (V/V)

Vsh = volume shale

PHIT = 𝑃𝐻𝐼𝐷2+𝑃𝐻𝐼𝑁2

2

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

45

d. Persamaan rata – rata waktu dalam penentuan porositas total

(PHIT) dan porositas efektif (PHIE) dari log sonik (DT) yaitu :

…(2.9)

Porositas Sonik

Keterangan,

PHIE = porositas efektif (V/V)

PHIT = porositas total (V/V)

DT = nilai waktu interval formasi

DTSH = nilai waktu interval shale

DTMA = nilai waktu interval matriks

DTFL = nilai waktu interval fluida

PHITSH = porositas shale

Vsh = volume shale

2.4.2.3 Nilai Pancung (Cut Off)

Secara harfiah, nilai pancung atau cut off adalah suatu nilai batas. Dalam

konteks zona reservoar, nilai pancung merupakan batasan nilai dari parameter

reservoar meliputi volume serpih, porositas, permeabilitas, dan saturasi air yang

telah disesuaikan dengan karakter fisik suatu reservoar. Dalam penelitian ini,

perhitungan parameter fisik batuan dibatasi pada volume serpih dan porositas.

Perhitungan nilai pancung dapat dilakukan melalui metode konvensional

dengan crossplot nilai volume serpih dan porositas pada interval penelitian yang

terbukti terdapat jejak atau trace hidrokarbon berdasarkan data tes.

…………………(2.10) Metode Nilai Pancung

Jika nilai volume serpih hasil evaluasi formasi lebih besar dari nilai

pancung volume serpih, maka nilai tersebut akan di eliminasi. Nilai porositas

N

Sw Sw ,

N ,

N

Vsh Vsh

PHIE = (DT – DTMA) – VSH* (DTSH – DTMA) / (DTFL – DTMA)

PHIT = PHIE + (VSH* PHITSH)

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan …media.unpad.ac.id/thesis/270110/2012/270110120127_2_9707.pdfTINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Bagian

46

yang lebih kecil dari nilai pancung porositas akan di eliminasi juga. Lapisan yang

dapat diinterpretasikan sebagai zona reservoar adalah interval yang memenuhi

syarat dari persamaan nilai pancung tersebut.

Bila salah satu kriteria tidak terpenuhi maka tidak dapat dinyatakan

sebagai zona reservoar. Hasil eliminasi volume parameter batuan dengan nilai

pancung dapat menghasilkan nilai rata – rata dari volume serpih dan porositas

batuan, ketebalan lapisan batuan reservoar, dan letak kedalamannya.

Hasil nilai parameter volume serpih dan porositas batuan yang telah di

eliminasi dengan nilai pancung, ditampilkan dalam suatu tabulasi nilai atau

disebut sebagai lumping. Nilai parameter tersebut dapat mendukung interpretasi

kualitas batuan reservoar di setiap interval kedalaman. Kualitas dari parameter

porositas batuan dapat di validasi dengan skala kualitas nilai porositas menurut

Koesomadinata (1978).

Tabel 2.2 Klasifikasi Porositas (Koesomadinata (1978).

Porositas (%) Keterangan

0 – 5 Dapat diabaikan (Neligible)

5 – 10 Buruk (Poor)

10 – 15 Cukup (Fair)

15 – 20 Baik (Good)

20 – 25 Sangat Baik (Very Good)

> 25 Istimewa (Excellent)