Upload
tranliem
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
37
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Telinga Tengah
1. Ruang Telinga Tengah (Kavum Timpani)
Ruang telinga tengah mempunyai batas sebelah lateral adalah
membran timpani, batas medialnya promontorium, batas superiornya
adalah tegmen timpani, batas inferiornya adalah bulbus jugularis dan
nervus fasialis, batas posterior pada bagian atasnya terdapat pintu (aditus)
yang menunjuk ke antrum mastoid dan batas anterior berbatasan dengan
arteri karotis dan muara tuba Eustachius. Kavum timpani dihubungkan
dengan nasofaring oleh tuba Eustachius. Kavum timpani secara vertikal
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: (1) epitimpanum yaitu rongga yang berada
disebelah atas batas atas membran timpani; (2) mesotimpanum yaitu
rongga yang terletak diantara batas atas dan bawah membran timpani; (3)
hipotimpanum yaitu rongga yang berada di bawah batas bawah membran
timpani. Tulang-tulang pendengaran terletak dalam ruang ini, dari luar
kedalam adalah maleus, inkus dan stapes. Struktur penting lainnya juga
terdapat di dalam kavum timpani seperti korda timpani, otot tensor timpani
dan tendon otot stapedius (Dhingra et al., 2014).
Kavum timpani dilapisi oleh mukosa saluran napas yang memiliki
silia pada permukaannya dan memiliki kelenjar mukus. Sekret telinga
tengah dihasilkan oleh sel-sel goblet dan kelenjar mukus, yang sebagian
8
besar berkumpul di sekitar muara tuba Eustachius. Mukosa kavum timpani
menutupi seluruh dinding tulangnya, tulang-tulang pendengaran dan
seluruh ligamen. Mukosa tersebut juga membentuk lipatan-lipatan
sehingga membagi kavum timpani menjadi beberapa ruangan yang telah
dijelaskan sebelumnya (Dhingra et al., 2014).
Kavum timpani mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri
karotis eksterna dan interna. Arteri timpani anterior (cabang dari
a.maksilaris) dan stilomastoid (cabang a.aurikularis posterior) merupakan
pembuluh utamanya (Dhingra et al., 2014).
2. Membran Timpani
Membran timpani (MT) merupakan lapisan cekung tipis berbentuk
oval, yang membentuk sudut 55° dengan dinding dasar liang telinga,
dengan diameter terbesar pada posterosuperior hingga anteroinferior. MT
membentuk penebalan cincin fibrokartilago pada sekelilingnya yang
disebut anulus timpanikus. Bagian MT di atas lipatan maleolus tersebut
disebut pars flaksida, sedangkan bagian bawahnya disebut pars tensa. MT
merupakan struktur berbentuk cekungan dengan bagian yang paling dalam
pada daerah umbo (Dhingra et al., 2014).
Membran timpani memiliki tiga lapisan, yaitu lapisan epitel paling
luar adalah epidermis, yang merupakan kelanjutan kulit liang telinga
bagian tengahnya terutama dibentuk oleh lapisan fibrosa yang disebut
lamina propria dan lapisan paling dalam yang dibentuk oleh mukosa
telinga tengah (Dhingra et al., 2014).
9
Epitel mukosa pada pars tensa memiliki ketinggian yang bervariasi,
dapat berupa lapisan skuamosa atau kuboid yang tipis, hingga terbentuk
epitel torak berlapis semu. Permukaan sel yang menghadap kavum timpani
memiliki mikrovili, dan pada daerah sel kuboid dan torak dapat ditemukan
adanya silia, namun silia ini tersebar tidak merata. Pada lapisan ini tidak
ditemukan adanya sel goblet, pada sel-sel yang tidak memiliki silia, dapat
ditemukan granul sekresi. Lapisan mukosa dipisahkan dari lamina propria
oleh membran basal. Mukosa pada pars flaksida dan pars tensa memiliki
gambaran yang sama (Dhingra et al., 2014).
3. Tuba Eustachius
Gambar 2.1. Perbedaan sudut Tuba Eustachius pada bayi dan dewasa
(Corbeel, 2007).
Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang terdiri dari mukosa,
kartilago, jaringan lunak, otot-otot perituba dan sulkus tulang sfenoid di
10
superiornya. Tuba Eustachius terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga
anterior ke arah nasofaring dan sepertiga posterior terdiri atas tulang ke
arah kavum timpani. Bentuk tuba Eustachius seperti dua buah kerucut
yang bertemu di bagian puncak. Tempat pertemuan ini disebut ismus yang
biasanya berlokasi pada pertemuan bagian tulang dan tulang rawan. Ismus
ini berukuran tinggi 2 mm dan lebar 1 mm. Saluran yang kearah
nasofaring tinggi lumen menjadi 8-10 mm, dengan lebar 1-2 mm
(Bluestone dan Klein, 2007).
Tuba Eustachius berkembang hingga mencapai ukuran seperti
dewasa pada usia 7 tahun dengan panjang sekitar 36 mm, sedangkan pada
bayi sekitar 18 mm. Pada orang dewasa, tuba Eustachius membentuk sudut
45° terhadap bidang horizontal, sedangkan pada bayi bervariasi dari
horizontal hingga membentuk sudut sekitar 10° terhadap bidang horisontal
serta tidak membentuk sudut pada ismus tetapi menyempit. Sudut yang
menghubungkan antara tensor veli palatini dan kartilago bervariasi pada
bayi, sedangkan relatif stabil pada dewasa (Bluestone dan Klein, 2007;
Corbeel, 2007).
Pada bagian inferolateral tuba terdapat lapisan lemak disebut lemak
Ostmann’s (Ostmann’s fat pad) yang ikut membantu proses menutupnya
tuba dan perlindungan telinga tengah terhadap sekret nasofaring. Lapisan
lemak ini pada bayi volumenya lebih kecil, tetapi lebarnya sama dengan
dewasa (Bluestone dan Klein, 2007).
11
Mukosa tuba Eustachius merupakan kelanjutan dari mukosa
nasofaring dan telinga tengah yaitu menyerupai epitel saluran napas, terdiri
atas epitel kolumnar bersilia, sel-sel goblet dan kelenjar mukus. Lapisan
paling luar adalah epitel bersilia yang bergerak ke arah nasofaring.
Semakin dekat ke telinga tengah terlihat sel-sel goblet dan kelenjar mukus
makin berkurang, mukosa bersilia juga menghilang. Sel-sel goblet dan
kelenjar serosa pada bayi lebih sedikit dibandingkan dewasa. Bayi juga
memiliki lumen dengan mukosa yang lebih berlipat-lipat dibandingkan
dewasa. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan compliance yang lebih
tinggi pada bayi (Bluestone dan Klein, 2007).
Otot pada tuba Eustachius terdiri atas m.tensor veli palatini, m.
levator veli palatini, m. salpingofaringeal dan m. tensor timpani. Otot-otot
tersebut berfungsi untuk membuka dan menutup tuba. Otot tensor veli
palatini paling berperan pada proses dilatasi aktif tuba (Bluestone dan
Klein, 2007).
Arteri faringeal ascenden dan arteri meningea media merupakan
arteri yang memperdarahi tuba Eustachius. Tuba Eustaschius dipersarafi
oleh cabang faringeal dari ganglion sfenopalatina yang berasal dari
n. maksilaris (nervus V2) pada bagian ostium tuba, nervus spinosus yang
berasal dari n. mandibularis (nervus V3) pada bagian tulang rawan dari
tuba dan pleksus timpani yang berasal dari nervus glossofaringeal pada
bagian tulang dari tuba. (Bluestone dan Klein, 2007)
12
4. Fisiologi Telinga Tengah
a. Fisiologi Tuba Eustachius
Tuba Eustachius memiliki tiga fungsi fisiologi terhadap telinga
yaitu sebagai: (a) ventilasi dari kavum timpani dan sel-sel udara
mastoid di telinga tengah; (b) drainase sekret telinga tengah; (c)
proteksi infeksi yang berasal dari daerah nasofaring (Bluestone dan
Klein, 2007).
1. Ventilasi kavum timpani dan sel-sel udara mastoid di telinga
tengah
Fungsi ventilasi mengatur agar tekanan udara di telinga
tengah sama dengan tekanan udara luar dengan cara kontraksi
dari otot tensor veli palatini pada saat menelan yang
menyebabkan tuba Eustachius terbuka secara periodik, sehingga
dapat mempertahankan tekanan udara di telinga tengah mendekati
normal. Fungsi ventilasi tuba Eustachius ini berkembang sesuai
usia dimana pada anak tidak sebaik pada orang dewasa
(Bluestone dan Klein, 2007).
2. Drainase sekret telinga tengah
Terdapat dua mekanisme drainase tuba Eustachius, yaitu
drainase mukosilia dan muskular. Drainase mukosilia yaitu
pergerakan silia bermula dari bagian telinga tengah kemudian
makin ke distal dan aktif menuju tuba Eustachius untuk
membersihkan sekresi di telinga tengah. Drainase muskular
13
disebut aksi pompa yaitu pemompaan drainase sekret dari telinga
tengah ke nasofaring yang terjadi pada saat tuba Eustachius
menutup secara pasif (Bluestone dan Klein, 2007).
3. Proteksi infeksi yang berasal dari daerah nasofaring
Proteksi ini dapat terjadi yaitu melalui anatomi fungsional
tuba Eustachius-telinga tengah, pertahanan mukosiliar dari
lapisan membran mukosa dan pertahanan imunologi lokal.
Sebagai contoh pada saat kita mengunyah maka bagian akhir
proksimal tuba Eustachius akan terbuka, namun sekret yang
berasal dari nasofaring tidak dapat masuk ke telinga tengah
karena terdapat ismus pada tuba Eustachius. Perlindungan telinga
tengah-mastoid juga dilakukan oleh epitel respiratori lumen tuba
Eustachius dengan cara pertahanan imunologi lokal maupun
pertahanan mukosilia, yaitu drainase (Bluestone dan Klein, 2007).
b. Fisiologi Sekret Mukus Telinga Tengah
Telinga tengah secara terus menerus menghasilkan sekret
mukus yang ditransportasi oleh silia melewati mukosa telinga tengah
menuju tuba Eustachius yang kemudian mukus tersebut akan tertelan.
Aliran mukus ini dipertahankan dengan tujuan mencegah bakteri dari
daerah nasofaring masuk ke daerah telinga tengah. Mukus ini juga
berfungsi sebagai pelindung untuk mencegah adesi bakteri ke epitel
mukosa, namun apabila perlindungan ini gagal, mukosa telinga tengah
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sekret mukus yang
14
mengandung immunoglobulin, lysozyme, lactoferrin dan komponen
komplemen sebagai benteng pertahanan terakhir. Apabila gagal juga
maka otitis media akut akan terjadi (Kubba et al., 2000)
B. Otitis Media Efusi
1. Definisi
Otitis media efusi adalah terdapatnya cairan di telinga tengah, tanpa
tanda dan gejala inflamasi akut dengan membran timpani yang utuh
(Rosenfeld et al., 2004; Casselbrant dan Mandel, 2014). Otitis media
efusi yang berlangsung lebih dari 3 bulan disebut otitis media efusi
kronis. Sifat cairan efusi yang terdapat dalam OME dapat bersifat serous,
mucoid atau purulent (Bluestone dan Klein, 2007).
2. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dan patogenesis OME bersifat multifaktorial. Kelainan
struktur dan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor penting yang
berhubungan dengan peningkatan insidensi OME pada bayi dan anak-
anak. Berbagai kondisi terkait penyebab disfungsi tuba Eustachius
adalah (1) Penurunan regulasi tekanan sebagai akibat dari obstruksi
anatomi (mekanik) atau kegagalan mekanisme pembukaan tuba
(obstruksi fungsional). (2) Hilangnya fungsi proteksi karena patensi
abnormal tuba Eustachius yaitu tuba terlalu pendek, terlalu terbuka,
tekanan gas abnormal antara telinga tengah dan nasofaring atau telinga
tengah dan mastoid tidak intak. (3) Hilangnya fungsi drenase karena
15
sistim drenase mukosiliar dan aksi pompa terganggu (Bluestone dan
Klein, 2007). Anatomi tuba Eustachius pada bayi dan anak dibawah 7
tahun lebih pendek dan lebih horizontal daripada dewasa serta sistim
imun yang belum sempurna menyebabkan risiko lebih tinggi terjadinya
otitis media pada bayi dan anak-anak (Casselbrant dan Mandel, 2014)
Otitis media efusi cenderung diawali oleh infeksi saluran
pernapasan atas yang biasanya disebabkan oleh virus, kemudian terjadi
kongesti pada mukosa hidung, nasofaring, dan tuba Eustachius. Kongesti
mukosa yang terjadi menimbulkan obstruksi mekanik pada bagian
tersempit dari tuba, yang berakibat disfungsi tuba Eustachius. Disfungsi
yang persisten menimbulkan tekanan negatif pada telinga tengah karena
difusi nitrogen dan oksigen dalam sel-sel mukosa telinga tengah,
kemudian memunculkan transudat dari mukosa. Pada awalnya efusi steril
namun adanya disfungsi tuba Eustachius, cairan efusi menjadi media
yang baik perkembangbiakan bakteri. Otitis media efusi dapat terjadi
sebagai kelanjutan OMA setelah resolusi inflamasi akut dari OMA.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa bakteri patogen yang sama
pada OMA terdapat dalam cairan efusi pada OME (Bluestone dan Klein,
2007).
Teori lama yang menyatakan bahwa adanya sumbatan di muara
tuba Eustachius di daerah nasofaring yang mengarah terjadinya tekanan
negatif di telinga tengah sehingga timbul transudat yang mengisi telinga
tengah tidak sepenuhnya benar. Teori lama mempunyai beberapa
16
kelemahan, yaitu: (1) Telah dibuktikan bahwa pada OME terjadi
peristiwa eksudasi dimana mukosa telinga tengah secara aktif
mengeluarkan sekret yang mengandung substansi dengan berat molekul
yang lebih besar dibandingkan dengan transudat pasif dari serum (2)
Teori tersebut gagal untuk menjelaskan inflamasi dan metaplasia yang
terjadi di telinga tengah. Cairan transudasi dan eksudasi bisa terjadi
sebagai bagian dari perjalanan penyakit yang keberadaanya tidak saling
menghilangkan satu sama lain (Kubba et al., 2000).
Secara histologis mukosa telinga tengah pada OME menujukkan
inflamasi. Keadaan inflamasi ini dapat disebabkan oleh infeksi virus,
bakteri atau produk pecahannya, alergi, dan iritasi yang ditandai oleh
proliferasi vaskular dengan infiltrasi dari sel plasma dan limfosit. Epitel
mukosa telinga tengah juga mengalami metaplasia menjadi tipe sekresi
dengan hiperplasia sel goblet dan kelenjar mukus. Terjadinya
penambahan jumlah sel sekresi pada OME secara paralel akan
mengurangi jumlah dan fungsi sel bersilia yang kemudian akan
mengganggu drainase. Mediator inflamasi yang dilepaskan menyebabkan
kerusakan silia dan peningkatan regulasi (upregulation) gen musin,
kemudian terjadi produksi efusi kaya musin. Efusi akan menetap karena
kegagalan mekanisme drainase yang melibatkan banyak faktor, meliputi
disfungsi silia, edema mukosa, hiperviskositas cairan efusi dan gradien
tekanan yang tidak menguntungkan sehingga terjadi akumulasi dan
17
stagnasi mukus di telinga tengah (Kubba et al., 2000; Steven et al.,
2008; Lin, et al., 2012).
Beberapa faktor lain yang terlibat dalam patogenesis OME antara
lain adanya pembentukan biofilm dari bakteri patogen pada mukosa
telinga tengah. Struktur dan karakteristik biofilm menyebabkan inflamasi
dan efusi yang kronis. Biofilm juga diidentifikasi pada nasofaring anak
dengan OME, ini menunjukkan biofilm pada nasofaring merupakan
reservoir bakteri patogen yang resisten terhadap antibiotika (Lambert,
2013; Nistico et al., 2011).
Beberapa penelitian melaporkan peran refluks laringofaringeal
pada OME. Crapko dkk. menunjukkan adanya pepsin di telinga tengah
60% dari anak-anak dengan OME (Crapko, 2007). O’ Reilly dkk.
menemukan sampel telinga dari 64 pasien OME dinyatakan positif
pepsin A, merupakan bukti terdapat aspirasi cairan lambung ke
nasofaring (O’Reilly, 2015).
3. Faktor risiko
Banyak faktor risiko yang diduga memiliki peran pada terjadinya
otitis media efusi. Faktor-faktor ini dapat digolongkan menjadi faktor
pejamu, faktor infeksi, faktor lingkungan, dan faktor sosiodemografi.
1. Faktor pejamu
a. Usia
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Auinger dkk
menemukan prevalensi OME dibawah usia 6 tahun adalah 68,2%.
18
Kepustakaan lain mengatakan prevalensi OME terbanyak pada usia
6 bulan sampai 4 tahun dan angka tersebut akan menurun pada usia
diatas 6 tahun. Angka kejadian OME akan menurun seiring dengan
peningkatan usia, karena perkembangan tuba Eustachius menjadi
lebih panjang dan lebih vertikal serta peningkatan daya tahan tubuh
terhadap infeksi (Munawaroh et al., 2008; Rosenfeld et al., 2004).
b. Jenis Kelamin
Sebagian peneliti telah melaporkan tidak ada perbedaan
statistik yang bermakna pada insidensi OME menurut jenis
kelamin, namun banyak penemuan yang menyatakan laki-laki
sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan (Bluestone dan
Klein, 2007).
c. Predisposisi genetik
Hubungan antara genetik dan otitis media telah dibuktikan
dalam beberapa studi, namun memisahkan faktor genetik dari
pengaruh lingkungan cukup sulit. Belum ditemukan gen spesifik
yang berhubungan dengan penyebab otitis media. Seperti
kebanyakan proses penyakit lainnya, efek dari pajanan lingkungan
pada ekspresi gen mungkin berperan penting pada patogenesis dari
otitis media (Kvestad et al., 2004).
d. Air susu ibu (ASI)
ASI memiliki sistem kekebalan tubuh yang terdiri atas
berbagai zat yang membantu mencegah infeksi langsung, sebagai
19
agen anti-inflamasi atau meningkatkan pertumbuhan zat lain yang
membantu mengurangi infeksi. Faktor utama yang berperan dalam
sistem kekebalan tubuh dalam ASI antara lain imunoglobulin (IgA,
IgM dan IgG) terhadap bakteri dan virus yang spesifik, komplemen,
faktor kemotaktik, laktoferin, lisozim, lactobacillus bifidus growth
factor, epithelial growth factors, sitokin termasuk interferon dan
interleukin, makrofag, limfosit T dan B, sel plasma dan neutrofil,
oligosakarida, dan prostaglandin. Saarinen (dikutip dari Bluestone)
menyebutkan bahwa pemberian ASI selama 6 bulan atau lebih
memberikan proteksi terjadinya otitis media rekuren, tidak hanya
selama pemberian ASI tetapi sampai umur 3 tahun (Bluestone dan
Klein, 2007).
e. Abnormalitas kraniofasial
Anak dengan abnormalitas anatomi pada palatum dan juga
otot-ototnya terutama tensor dan levator veli palatini,
mengakibatkan terjadinya obstruksi fungsional dari tuba
Eustachius. Anomali spesifik yang berhubungan dengan risiko OM
antara lain celah palatum, Sindrom Crouzon atau Apert, sindrom
Down dan sindrom Treacher Collins (Bluestone dan Klein, 2007).
f. Hipertrofi adenoid
Hipertrofi Adenoid adalah pembesaran dan multiplikasi
jaringan folikel adenoid yang disebabkan oleh proses alergi atau
infeksi. Secara fisiologik adenoid ini membesar pada anak usia 3
20
tahun dan kemudian akan mengecil pada usia 14 tahun. Peranan
adenoid dalam patogenesis terjadinya OME masih banyak
diperdebatkan oleh para ahli. Ada 3 cara adenoid dapat
mempengaruhi terbentuknya OME, yaitu: (1) Adenoid yang berada
sekitar torus tubarius menggangu fungsi drainase tuba Eustachius;
(2) Sel mast di dalam jaringan adenoid mengikat antigen dengan
IgE dan melepaskan histamin serta mediator inflamasi lainnya; (3)
Adenoid dapat bertindak sebagai reservoir infeksi telinga dan
menyebabkan inflamasi kronis. (Kubba, et al., 2000; Nistico et al.,
2011).
Hipertrofi adenoid dapat menimbulkan gejala sumbatan
jalan napas atas (obstructive sleep apnea) yaitu hidung tersumbat,
tidur mengorok dan bernafas melalui mulut. Pada anak dengan
hipertrofi adenoid dapat tampak adanya fasies adenoid yaitu gigi
insisivus ke depan, arkus faring tinggi dan hidung kecil. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gerakan velum palatum
mole tertahan pada saat fonasi. Pemeriksaan penunjang radiologik
dengan foto kepala lateral dapat dinilai rasio adenoid nasofaring
(rasio A/N). Berdasarkan kriteria Fujioka terdapat hipertrofi
adenoid bila rasio A/N lebih dari 0,8 (Marseglia et al, 2009; Feres
et al, 2012).
21
g. Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)
Infeksi saluran napas atas merupakan infeksi akut yang
terjadi pada hidung, sinus paranasal, faring, laring, trachea dan
bronchi. Virus adalah penyebab tersering dari ISPA antara lain
Rhinovirus, Parainfluenza, Coronavirus, Coxsackie, Adenovirus,
Respiratory syncitial virus, dan Influenza virus. Sedangkan bakteri
penyebab tersering adalah Beta-hemolytic streptococci,
Corynebacterium diphteriae, Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenzae, Bordatella pertusis, Moraxella
catarrhalis. Penyakit yang dikelompokkan dalam ISPA meliputi
nasopharyngitis (common cold), pharyngitis, tonsilitis, rhinitis,
rhinosinusitis, epiglotitis, laryngitis, laryngotracheitis dan
trachebrochitis. Umumnya ISPA merupakan penyakit ringan dan
dapat sembuh sendiri namun pada beberapa kasus dapat merupakan
penyakit berat yang mengancam jiwa. Gejala ISPA bervariasi
umumnya pilek, hidung tersumbat dan batuk dapat disertai nyeri
menelan dan demam. Gejala biasanya berlangsung selama 3 sampai
14 hari dengan onset < 2 minggu, atau berulang (kronik eksaserbasi
akut), > 4 kali dalam 3 bulan atau > 6 kali dalam 1 tahun dengan
menunjukkan tanda-tanda akut (Rohilla et al., 2013).
Infeksi virus maupun bakteri dapat menyebabkan
peradangan pada nasofaring dan tuba Eustachius sehingga
mengganggu fungsi tuba Eustachius diikuti masuknya bakteri dan
22
virus ke dalam telinga tengah yang mengakibatkan peradangan dan
efusi di telinga tengah (Chonmaitree et al., 2008).
Studi oleh Revai dkk menyatakan 30% dari ISPA pada
anak-anak di bawah 3 tahun menyebabkan OMA dan sekitar 45 %
terjadi efusi yang persisten setelah 1 bulan. Penelitian yang
dilakukan oleh Chonmaitree dkk menyatakan insiden terjadinya
otitis media pada anak-anak 6 bulan sampai 3 tahun yang
disebabkan oleh ISPA sebesar 61%, yaitu 37% OMA dan 24%
OME, dengan etiologi terbanyak adalah infeksi virus. (Chonmaitree
et al., 2008; Revai et al., 2007). Zhang dkk melakukan studi meta
analisis tentang faktor-faktor risiko terjadinya OM, dari 4 studi
yang meneliti tentang ISPA, data yang terkumpul memperlihatkan
bahwa ISPA secara signifikan meningkatkan risiko OM (OR, 6,59:
95 % CI, 3,13-13,89; P<0,00001) (Zhang et al., 2014).
h. Alergi
Rinitis alergi sering dihubungkan dengan OME, namun
perannya masih diperdebatkan. Sebuah penelitian menyebutkan
insidensi OME pada rhinitis alergi anak 17,2% (Munawaroh et al,
2008). Namun penelitian prospektif yang dilakukan Yeo dkk
menemukan prevalensi rinitis alergi, hitung jenis eosinofil dan
konsentrasi imunoglobulin E (IgE) tidak berbeda bermakna pada
OME dibandingkan dengan kontrol (Yeo et al., 2007). Pada rinitis
alergi terjadi pelepasan mediator dan sitokin oleh sel mast dan sel
23
radang lainnya menyebabkan edema mukosa hidung dan nasofaring
sehingga terjadi obstruksi tuba Eustachius yang pada akhirnya
terjadi akumulasi cairan di telinga tengah (Munawaroh et al., 2008).
International Study of Ashma and Allergies in Childhood
(ISAAC) merupakan suatu penelitian multisenter skala besar yang
dilakukan pada lebih dari 56 negara di seluruh dunia yang
menggunakan kuesioner baku (ISAAC core quesionnaire) untuk
menilai prevalensi dan derajat keparahan asma, rinitis alergi dan
dermatitis atopi pada anak pada berbagai kondisi demografis dan
geologis yang berbeda di seluruh dunia (Strachan D. et al., 1997).
Allergic Rhinitis and Its Impact on Ashma (ARIA) dalam
laporannya tahun 2001 merekomendasikan penggunaan ISAAC core
quesionnaire sebagai suatu kuesioner standar yang dapat digunakan
sebagai alat diagnosis untuk identifikasi gejala dan evaluasi
keparahan rinitis alergi terutama pada negara berkembang (Bosquet
et al., 2001).
2. Faktor Infeksi
Beberapa penelitian menemukan bakteri yang sama pada OMA
juga terdapat pada OME. Penemuan ini mengindikasikan bahwa efusi
tidak steril seperti yang diyakini sebelumnya. Pada penelitian
menggunakan polymerase chain reaction (PCR) assay untuk
mendeteksi DNA bakteri dalam sampel efusi telinga tengah (ETT),
40% dari sampel ETT positif patogen yang umum pada OMA.
24
Bakteri yang paling banyak ditemukan dari efusi pada OME adalah
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis dan Streptococcus
pneumoniae yaitu sebanyak 40%. Rayner dkk seperti dikutip oleh
Kubba dkk, melaporkan sebanyak 43% anak dengan efusi telinga
tengah terdapat H.influenzae mRNA dengan metode PCR meskipun
hanya 12% positif dengan kultur (Kubba et al., 2000; Bluestone dan
Klein, 2007).
Infeksi virus dapat menstimulasi inflamasi pada telinga tengah.
Virus penyebab infeksi pernapasan terutama oleh respiratory syncytial
virus, adenovirus dan virus influenza tipa A atau B dapat menjadi
predisposisi terjadinya OME. Beberapa penelitian telah menemukan
asam nukleat yang berasal dari rhinovirus, respiratory syncytial virus
dan adenovirus di dalam efusi telinga tengah, namun hubungan sebab
akibat terhadap OME belum dapat ditegakkan. Masih belum jelas
apakah virus ini bekerja sendiri untuk menyebabkan OME atau hanya
sebagai predisposisi terhadap superinfeksi bakteri (Kubba et al., 2000;
Casselbrant dan Mandel, 2014).
3. Faktor lingkungan
a. Faktor lingkungan tempat tinggal
Lingkungan tempat tinggal juga berperan sebagai risiko
terjadinya OM. Yang dkk, menunjukan bahwa tinggal di
lingkungan yang lembab, banjir, dan berjamur memiliki hubungan
yang signifikan terhadap terjadinya OM. Faktor kepadatan tinggi
25
dengan perbandingan luas rumah dan jumlah orang tidak memadai,
higiene dan sanitasi yang kurang baik akan mempermudah
timbulnya infeksi (Yang et al, 1999).
b. Metode pemberian makan dan minum pada bayi
Penggunaan susu botol merupakan faktor risiko OM baik
dalam hal penggunaan botol, susu formula, maupun posisi
pemberian. Alergi dan kontaminasi bakteri pada susu formula,
dapat menyebabkan gastroenteritis berulang sehingga menurunkan
gizi pada bayi. Posisi pemberian susu botol dengan cara berbaring
atau horisontal dapat menyebabkan refluks. Penghisapan dot dapat
meningkatkan refluks dari sekresi nasofaring ke telinga tengah,
sehingga pada saat flu, patogen dapat mudah masuk ke telinga
tengah melalui jalan ini. Penggunaan dot juga dapat menyebabkan
perubahan struktur gigi dan rongga mulut sehingga dapat
menyebabkan disfungsi tuba Eustachius (Casselbrant dan Mandel,
2014).
c. Pajanan Asap Rokok
Mekanisme asap rokok dapat mempengaruhi terjadinya
efusi telinga tengah pada anak, yaitu: (1) efek langsung dari iritasi
asap rokok tembakau pada mukosa telinga tengah dan tuba
Eustachius; (2) efek tidak langsung dari iritasi jaringan adenoid
yang menyebabkan peningkatan pelepasan histamin yang
menyebabkan suatu efusi telinga tengah; (3) efek tidak langsung
26
melalui sistem pernapasan yaitu asap rokok dapat menyebabkan
lebih sering terjadinya infeksi pernapasan pada anak yang berakibat
insiden yang lebih tinggi terhadap terjadinya efusi telinga tengah
(Lee et al., 2006)
Penelitian pada hewan telah memperlihatkan ketika epitel
saluran pernapasan terkena inhalasia berbahaya seperti asap rokok
akan terjadi kerusakan epitel. Pada percobaan Lee dkk terhadap
tikus yang diberi paparan asap rokok didapatkan perubahan pada
mukosa tuba Eustachius dan telinga tengah berupa hilangnya silia
dan metaplasia skuamous pada 28% epitel setelah paparan 1
minggu, selanjutnya pada minggu keempat kerusakan mencapai
35% disertai peningkatan jumlah sel goblet (Lee et al., 2006).
Kerusakan mukosa menyebabkan reaksi inflamasi dan
pelepasan berbagai mediator inflamasi yang mengakibatkan
hiperplasia sel goblet sehingga terjadi peningkatan produksi mukus
dan akumulasi mukus di telinga tengah. Reaksi inflamasi ini juga
menyebabkan kerusakan silia dan siliostasis yang mengakibatkan
menghilangnya fungsi transport mukosiliar. Agius dkk. dalam
penelitiannya mendapatkan ciliary beat frequency pada telinga
tengah pasien OME terpajan asap rokok secara signifikan menurun
dibandingkan pasien yang tidak terpajan asap rokok (p<0,01)
(Agius et al., 1995; Kubba et al., 2000; Lee et al., 2006; Lin et al.,
2012).
27
Efek tidak langsung paparan asap rokok akan mengurangi
pertahanan antibakterial fagositosis dan imun lokal sehingga
meningkatkan ikatan mikroorganisme pada permukaan epitel yang
akan menyebabkan invasi mikroorganisme nasofaring ke telinga
tengah (Bluestone dan Klein, 2007).
d. Penitipan anak
Pada tempat penitipan anak terjadi kontak dengan banyak
anak, sehingga meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran
pernapasan, kolonisasi nasofaring dengan mikroba patogen, serta
otitis media. Banyak peneliti telah menggunakan meta analisis
untuk mengkonfirmasi bahwa adanya pajanan dengan anak kecil
lainnya pada tempat penitipan anak merupakan faktor risiko yang
besar terhadap terjadinya OM. Penelitian meta analisis
memperlihatkan bahwa perawatan anak di luar rumah berisiko 2,5
kali terhadap OM. Pada studi lainnya terhadap OM dan tempat
penitipan anak, memperlihatkan risiko yang lebih tinggi 1,6-4 kali
pada tempat penitipan anak dibanding anak yang dirawat dirumah
(Froom et al., 2001; Chen dan Lin, 2003).
4. Faktor sosio-ekonomi
Faktor-faktor sosial yang dapat menyebabkan OME, yaitu
tingkat sosial ekonomi keluarga dan anak yang banyak memiliki
banyak saudara kandung di rumah dan kondisi tempat tinggal yang
padat atau kurang layak. Hal ini dikaitkan dengan semakin besarnya
28
pajanan individu terhadap infeksi terutama infeksi pernapasan (Froom
et al., 2001). Sebuah Penelitian di India menyatakan anak-anak dengan
status sosio-ekonomi rendah, memiliki prevalensi tinggi menderita
otitis media efusi (Siddartha et al., 2012)
4. Diagnosis
Penegakan diagnosis OME berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Otitis media efusi jarang menimbulkan keluhan
pada anak, karena anak belum dapat mengungkapkan gangguan di telinganya.
Keluhan biasanya disampaikan oleh orang tua atau guru adalah anak kurang
memberikan respon jika dipanggil, adanya keterlambatan bicara serta prestasi
belajar anak yang menurun di sekolah. Keluhan lain seperti telinga terasa
penuh, autofoni dan tinitus akan dikeluhkan pada anak yang usianya lebih
besar (Bluestone dan Klein, 2007).
Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan membran timpani utuh, dengan
gambaran yang sangat bervariasi, mulai tampak suram, berwarna kekuningan,
abu-abu, sampai terjadinya bulging tanpa tanda inflamasi akut. Jika cairan
telinga bersifat serosa maka membran timpani akan berwarna kekuningan,
kadang disertai gambaran gelembung udara. Namun jika cairan telinga bersifat
mukoid maka membran timpani tampak suram dan menebal. Mobilitas
membran timpani biasanya terganggu (Bluestone dan Klein, 2007; Casselbrant
dan Mandel, 2014).
Timpanometri merupakan pemeriksaan audiologi yang bersifat
obyektif dan tidak invasif. Jerger-Liden mengklasifikasikan timpanogram
29
menjadi tipe A, B dan C. Tipe A merupakan keadaan telinga tengah normal
memiliki puncak kurva dengan ketinggian normal, pada atau sekitar tekanan
atmosfer, yaitu 0 daPa. ASHA (The American Speech Language Hearing
Association) menentukan nilai normal compliance pada anak-anak adalah 0,2-
0,9 mmho, dan 0,3-1,4 mmho pada dewasa. Tipe A memiliki variasi yaitu tipe
Ad dan As (Fowler dan Shanks, 2002).
Tipe Ad memiliki puncak kurva yang jauh melebihi nilai normal. Hal
ini terjadi akibat compliance yang sangat tinggi terjadi pada tekanan udara
sekitar, dengan peningkatan kelenturan yang amat cepat saat tekanan
diturunkan mencapai tekanan udara sekitar normal. Tipe Ad ditemukan pada
keadaan diskontinuitas atau disartikulasi tulang pendengaran. Tipe As
memiliki compliance di bawah nilai normal, misalnya ditemukan pada
keadaan fiksasi atau kekakuan sistem tulang pendengaran. Tipe B memiliki
gambaran kurva datar, misalnya pada OME, oklusi akibat serumen dan
perforasi membran timpani. Masing-masing perbedaannya terletak pada nilai
Ear Canal Volume (ECV), dimana ECV yang lebih besar menunjukkan
adanya perforasi membran timpani dan ECV yang lebih kecil menunjukkan
adanya oklusi akibat serumen. Tipe C jika puncak kurva berada pada tekanan
negatif lebih dari -100 mmH2O, misalnya pada disfungsi tuba Eustachius.
Pada OME timpanogram umumnya kurva tipe B yang datar (Fowler dan
Shanks, 2002).
30
Gambar 2.2. Timpanogram menurut Jerger-Liden.
Pemeriksaan audiometri nada murni dapat membantu menentukan
jenis ketulian dan derajat ketulian. Selain itu pemeriksaan ini juga digunakan
untuk menilai kemajuan terapi yang telah diberikan. Pemeriksaan BERA
dilakukan pada anak yang belum kooperatif untuk dilakukan pemeriksaan
audiometri nada murni (Restuti, 1998; Bluestone dan Klein, 2007).
C. Kotinin sebagai Penanda Pajanan Asap Rokok
Asap rokok mengandung campuran substansi kimia dalam bentuk gas
dan partikel-partikel kecil terdispersi. Terdapat lebih dari 4000 senyawa pada
asap rokok. Sebagian besar senyawa tersebut bersifat toksik bagi berbagai
macam sel pada tubuh kita. Nikotin merupakan alkaloid tembakau utama yaitu
sekitar 95%. Alkaloid lain yang terkandung dalam tembakau berdasarkan urutan
terbanyak jumlahnya adalah nornicotine, anatabine dan anabasine (Hukkanen et
al., 2005, Benowitz et al., 2009).
31
Gambar 2.3. Skema kuantitatif metabolisme nikotin, berdasarkan estimasi
ekskresi metabolit (Hukkanen et al., 2005).
Absorpsi nikotin ke dalam sirkulasi sistemik melalui membran sel.
Nikotin dapat cepat menembus membran pada pH darah fisiologis karena pada
pH tersebut 31% nikotin tidak terionisasi. Nikotin mudah diserap dalam
lingkungan basa terutama melalui membran mukosa di mulut, hidung, saluran
gastrointestinal, epitel paru dan kulit. Absorpsi tercepat terjadi melalui epitel
paru karena luasnya permukaan alveolar, sistim kapiler yang ekstensif dan pH
yang bersifat basa. Nikotin terabsorpsi pada alveolus menuju kapiler paru,
selanjutnya masuk ke dalam ventrikel kiri melalui vena pulmonalis untuk
dipompakan ke seluruh tubuh. Nikotin didistribusi dengan cepat dan ekstensif ke
seluruh jaringan tubuh, afinitas tertinggi pada organ hati, ginjal, limpa dan paru
(Hukkanen et al., 2005, Benowitz et al., 2009).
32
Metabolisme nikotin sebagian besar di hati (80-90%) dan sebagian besar
akan dikonversi menjadi kotinin (70-80%). Kotinin merupakan metabolit utama
nikotin dan prekursor langsung dari sedikitnya tiga metabolit lain, cotinine N-
oxyde, trans-3' hydroxycotinine dan y-(3-pyridyl)-y-oxo-N-methylbutyramide.
Enzim-enzim di hati yang berperan pada metabolisme kotinin yaitu cytochrom
P450 (CYP2A6,CYP2B6,CYP2D6), aldehyde oxydase, Flavin-Containing
Monooxydase(FMO-3),Amin-N-Methyltranferase, UDP-Glucuronosytransferase
Metabolisme nikotin dipengaruhi beberapa hal diantaranya variasi genetik, ras,
obat-obatan seperti kontrasepsi (estrogen), anti konvulsan, rifampisin dan
polimorfisme genetik pada enzim-enzim tersebut diatas (Hukkanen et al, 2005;
Benowitz et al, 2009; Tang et al., 2012; Jung et al., 2012).
Kadar kotinin dalam darah perokok aktif yaitu berkisar 250-300 ng/ml
bahkan sampai 900 ng/ml. Setelah berhenti merokok kadar kotinin akan
berkurang dalam waktu paruh 37-160 jam, sementara nikotin hanya 30 hingga
110 menit. Waktu paruh kotinin yang sangat panjang ini yang menjadi dasar
dijadikannya kotinin sebagai penanda biokimia pajanan asap rokok. Kelebihan
lain, kotinin lebih stabil di dalam cairan tubuh dibandingkan dengan nikotin dan
terukur pada konsentrasi yang rendah (Ilicali et al, 2001; Behera et al., 2003;
Jarvis , 2008; Benowitz et al., 2009; Tang et al., 2012).
Ekskresi kotinin dan metabolit yang lain di ginjal melalui filtrasi
glomerular dan sekresi tubular. Kotinin akan diekskresikan dalam bentuk tidak
berubah dalam urin sebesar 15%, sisanya akan diekskresikan dalam urin dalam
bentuk trans-3’-hydroxycotinine (33-40%), cotinine glucoronide (12-17%), dan
33
trans 3’-hidroxycotinine glucoronide (7-9%). Pada keadaan gagal ginjal berat
dapat mempengaruhi ekskresi kotinin (Hukkanen et al., 2005).
Kotinin di tubuh manusia telah dibuktikan terdapat di dalam plasma, air
liur dan urin individu yang terpapar asap tembakau. Ada korelasi yang kuat
antara konsentrasi kotinin pada plasma, saliva, dan urin. Ketiga cairan tubuh ini
dapat digunakan sebagai penanda. Kadar normal kotinin plasma dalam tubuh
adalah kurang dari 20 ng/ml. Konsentrasi kotinin pada urin 4 sampai 5 kali lipat
kadar dalam plasma dan saliva sehingga pajanan dalam konsentrasi rendah
mudah terdeteksi. Dibandingkan dengan metode analisa kotinin plasma, metode
analisa kotinin urin dan saliva tidak bersifat invasif. Dibandingkan dengan
metoda analisa kotinin saliva, analisa kotinin urin didapatkan lebih sensitif, yaitu
sebesar 96% -97% dan spesifisitas sebesar 99% - 100%. Sehingga beberapa
penelitian mengindikasikan pemeriksaan kotinin dengan menggunakan urin
adalah pilihan utama (Ilicali et al., 2001; Moyer et al., 2002; Blackford et al.,
2006; Jarvis, 2008; Benowitz et al., 2009). Terdapat beberapa metode analisa
kotinin yaitu High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Liquid
Chromatography Tandem Mass Spectromerty (LC-MS), Gas Chromatography-
Nitrogen Phosphorus Detection (GC-NPD), Enzym-linked Immunosorbent Assay
(ELISA), Radioimmunoassay (RIA) dan Lateral Flow Chromatographic
Immunoassay (Benowitz et al., 2009; Tang et al., 2012; Yeh et al., 2011).
Pajanan asap rokok tembakau dapat dinilai dengan metode subyektif dan
obyektif. Banyak penelitian yang menyatakan metode subjektif (self-reports of
smoking status) tidak selalu mendapatkan informasi yang dapat diandalkan. Oleh
34
karena tingkat pajanan dapat dipengaruhi oleh jenis rokok, keadaan jarak
terhadap sumber asap rokok, lamanya pajanan dan kondisi ventilasi lingkungan
saat itu, sehingga diperlukan pengukuran pajanan secara obyektif, yaitu dengan
mengukur kadar kotinin. Beberapa penelitian telah menyimpulkan kotinin
merupakan penanda yang terbaik dan spesifik untuk menilai jumlah pajanan
asap rokok tembakau pada tubuh manusia dibandingkan dengan hasil metabolik
lainnya (Ilicali et al.; 2001; Behera et al., 2002; Tang et al., 2012).
Pada beberapa peneliti terdapat perbedaan dalam menetapkan angka
batas (cut-off) kadar kotinin urin dalam menilai status merokok seseorang antara
tidak terpajan asap rokok (bukan perokok) dan terpajan (perokok aktif/pasif).
Moyer dkk menetapkan hasil cut-off 20 ng/ml untuk batas antara bukan perokok
dan perokok pasif ringan menggunakan metode HPLC-tandem mass
spectrometry. Danch dkk menyimpulkan cut-off 50 ng/ml untuk membatasi
bukan perokok dan perokok pasif ringan, cut-off 170 ng/ml untuk membatasi
perokok pasif ringan dan perokok pasif berat dan cut-off 550 ng/ml untuk batas
antara perokok pasif berat dan perokok aktif ringan menggunakan teknik High
Performance Liquid Chromatography (HPLC). Yeh dkk mendapatkan cut-off
100ng/ml untuk membatasi status bukan perokok dan perokok (pasif/aktif)
menggunakan metode lateral flow chromatographic immunoassay (Moyer et al.,
2002; Danch et al., 2007; Yeh et al., 2011)
Perbedaan variasi cut-off dari beberapa studi dipengaruhi oleh beberapa
hal antara lain, perbedaan tehnik atau metode dalam pengukuran kotinin, variasi
rasial dan variasi genetik. Signorello dkk dalam penelitiannya menyimpulkan
35
perbedaan level kotinin pada status perokok dipengaruhi oleh variasi rasial
dalam metabolisme nikotin. Jung dkk mengemukakan perbedaan metode dalam
pengukuran analisis kotinin berpengaruh terhadap hasil akhir level kotinin
diantara peneliti. Kwon dkk menyatakan metabolisme kotinin dari nikotin
berhubungan dengan polimorfisme genetik dari sitokrom P450 (CYP) 2A6.
Kebanyakan orang Asia memiliki frekwensi allele CYP 2A6⃰1A dan CYP
2A6⃰1B yang lebih tinggi dari ras Kaukasian, hal tersebut dapat menurunkan
tingkat metabolisme nikotin (Kwon et al., 2001; Signorello et al., 2009; Jung et
al., 2012).
37
7
D. Kerangka Teori
Pajanan asap rokok
Nikotin
Absorpsi melalui paru, mukosa saluran napas, kulit
Masuk peredaran darah dan terdistribusi dalam jaringan tubuh
Metabolisme hepatik dan ekstrahepatik
Kotinin
Kotinin dieksresi di ginjal melalui urin
Iritasi mukosa tuba Eustachius dan telinga tengah
Reaksi Inflamasi
Hipersekresi mukus Kongesti mukosa Gangguan silia
Gangguan fungsi Tuba Eustachius
Otitis Media Efusi
Alergi
ISPA
Abnormalitas kraniofasial
36
Hipertrofi adenoid
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
37
36
E. Kerangka Konsep
F. Hipotesis
Kadar kotinin urin merupakan faktor risiko otitis media efusi pada
anak di kota Surakarta.
Otitis media efusi Kadar kotinin urin
ISPA