52
22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri Istri dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Harga Diri Konstruk harga diri pertama kali dijelaskan oleh William James (Hill, 2013) sebagai evaluasi diri terhadap penghargaan positif pada diri sendiri yang berkembang ketika individu secara konsisten memenuhi atau melampaui tujuan penting dalam hidup mereka. Definisi harga diri menurut James ini kemudian terus berkembang dan relevan, sehingga harga diri umumnya dianggap sebagai aspek evaluatif pengetahuan diri yang mencerminkan sejauh mana orang-orang menyukai diri mereka sendiri dan percaya bahwa mereka memiliki kemampuan ( oleh Brown, 1998; Tafarodi & Swann, 1995. Dalam Hill, 2013). Harga diri atau self-esteem, sebagaimana yang dijelaskan oleh Worchel (Dayaksini & Hudaniah, 2003) ialah komponen evaluatif dari konsep diri yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang. Kemudian menurut James (Baron & Byrne, 2003) mendefinisikan self-esteem atau harga diri sebagai bentuk evaluasi diri yang dibentuk oleh setiap individu, hal tersebut dalam rentang dimensi positif- negatif. Evaluasi diri tersebut merupakan umpan balik seseorang dari waktu ke waktu tentang kualitas performance, apakah itu kesuksesan atau kegagalan akan mempengaruhi harga diri seseorang. Individu memperoleh harga diri dari pengalaman dirinya sendiri sebagai agen penyebab yang aktif terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Harga Diri Istri dengan ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/963/3/BAB II.pdf · A. Harga Diri Istri dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Harga

Embed Size (px)

Citation preview

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Harga Diri Istri dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Harga Diri

Konstruk harga diri pertama kali dijelaskan oleh William James (Hill,

2013) sebagai evaluasi diri terhadap penghargaan positif pada diri sendiri

yang berkembang ketika individu secara konsisten memenuhi atau melampaui

tujuan penting dalam hidup mereka. Definisi harga diri menurut James ini

kemudian terus berkembang dan relevan, sehingga harga diri umumnya

dianggap sebagai aspek evaluatif pengetahuan diri yang mencerminkan

sejauh mana orang-orang menyukai diri mereka sendiri dan percaya bahwa

mereka memiliki kemampuan ( oleh Brown, 1998; Tafarodi & Swann, 1995.

Dalam Hill, 2013).

Harga diri atau self-esteem, sebagaimana yang dijelaskan oleh

Worchel (Dayaksini & Hudaniah, 2003) ialah komponen evaluatif dari

konsep diri yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri

yang dimiliki seseorang. Kemudian menurut James (Baron & Byrne, 2003)

mendefinisikan self-esteem atau harga diri sebagai bentuk evaluasi diri yang

dibentuk oleh setiap individu, hal tersebut dalam rentang dimensi positif-

negatif. Evaluasi diri tersebut merupakan umpan balik seseorang dari waktu

ke waktu tentang kualitas performance, apakah itu kesuksesan atau kegagalan

akan mempengaruhi harga diri seseorang. Individu memperoleh harga diri

dari pengalaman dirinya sendiri sebagai agen penyebab yang aktif terhadap

23

apa yang terjadi di dunia ini dan dalam pengalaman untuk mencapai tujuan

serta mengatasi rintangan-rintangan atau kesulitan. Kemudian Coopersmith

(Mruk, 2006) menjelaskan bahwa harga diri (self esteem) merupakan evaluasi

yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap

menerima, menolak dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap

kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan.

Harga diri merupakan suatu hal yang sangat penting bagi individu,

seperti yang dijelaskan oleh Maslow (Alwisol, 2004) bahwa harga diri

merupakan salah satu kebutuhan hidup seseorang. Maslow (Alwisol, 2004)

juga menjelaskan bahwa harga diri pada diri seseorang ada dua jenis, yakni

menghargai diri sendiri (self-respect) mencakup kebutuhan kekuatan,

penguasaan, kompetensi, prestasi, kepercayaan diri, kemandirian dan

kebebasan. Seseorang membutuhkan pengetahuan tentang dirinya sendiri,

bahwa dirinya berharga, mampu menguasai tugas dan tantangan hidup.

Kemudian jenis harga diri yang kedua adalah mendapat penghargaan dari

orang lain (respect from others), kebutuhan prestise, penghargaan dari orang

lain, status, ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan,

diterima dan apresiasi. Hal ini menjelaskan bahwa seseorang membutuhkan

pengetahuan bahwa dirinya dikenal baik dan dinilai baik oleh orang lain.

Dengan kualitas harga diri yang bagus, individu akan menjadi orang yang

tidak rentan terhadap stres dan emosi negatif. Kemudian di samping itu

potensi untuk membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain juga

semakin baik.

24

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

harga diri merupakan evaluasi atau penilaian yang dibuat individu dan

kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak dan

indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian,

kesuksesan dan keberhargaan yang dimilikinya.

2. Proses Pembentukan Harga Diri

Harga diri bukan merupakan suatu hal yang dibawa individu dari

lahir, namun terbentuk dari proses psikologi yang dilewati individu dalam

rentang kehidupannya. Coopersmith (Mruk, 2006) menjelaskan bahwa proses

pembentukan harga diri mencakup dua proses psikologi mendasar yaitu :

a. Proses dari evaluasi diri (self-evaluation)

Ada tiga faktor utama yang berhubungan dengan self-evaluation atau

evaluasi diri.

1) Perbandingan self-image dengan ideal image

Perbandingan gambaran diri dari keadaan diri yang seseorang

kenal atau kenyataan yang dirasakan dan gambaran diri yang seseorang

inginkan. Self-image individu berkenaan dengan karakteristik fisik dan

mentalnya. Proses perkembangan self-image telah ditunjukan Cooley

(Mruk, 2006) sebagai gambaran diri yang dimiliki individu melalui

interaksinya dengan lingkungan. Individu mendapat feed back dan

pengesahan mengenai perilakunya dari orang-orang sekitarnya.

Interpretasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap penilaian lingkungan

akan mempengaruhi dan membentuk harga diri. Ideal-self adalah suatu

25

set interpretasi dari individu sebagai pernyataan akan keinginan-

keinginan dan aspirasi-aspirasi sebagai bagian dari kebutuhannya.

2) Internalisasi dari society’s judgement.

Dalam pengertian ini self-evaluation ditentukan oleh keyakinan-

keyakinan individu mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi

dirinya. Disini individu menilai dirinya sendiri sejak ia berinteraksi

dengan lingkungannya. Standar nilai yang terinternalisasikan menjadi

suatu kendala tingkah laku yang diperoleh dari lingkungan sosial sesuai

dengan tahap perkembangan.

3) Evaluasi terhadap kesuksesan dan kegagalan

Individu melakukan evaluasi terhadap kesuksesan dan kegagalan

dalam melakukan sesuatu sebagai bagian dari identitas diri, hal ini tidak

hanya individu melakukan sesuatu dari apa yang membuat dirinya

merasa berarti tetapi juga secara sosial, hal ini memberikan suatu

kekuatan yang dapat meningkatkan rasa penghargaan terhadap diri.

b. Proses dari penghargaan diri (self –worth)

Proses psikologis kedua yaitu self-worth, adalah perasaan bahwa diri

atau self itu penting dan efektif serta melibatkan pribadi yang sadar akan diri

sendiri, self-worth ini akan lebih mendasar dari self-evaluation karena

melibatkan suatu pandangan dari diri seseorang dalam menguasai suatu

tindakannya, perasaan kompetisi yang muncul dalam diri (intrinsik) tidak

sekedar bergantung pada lingkungan atau pandangan yang sifatnya

eksternal. Masing-masing proses tersebut saling melengkapi satu sama lain.

26

Dari uraian mengenai pembentukan harga diri tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa pembentukan harga diri seseorang mencakup dua proses

psikologi mendasar yakni proses dari evaluasi diri (self-evaluation) dan

proses dari penghargaan diri (Self-Worth).

3. Aspek-aspek Harga Diri

Komponen atau aspek harga diri merupakan hal-hal yang sangat

penting bagi terbentuknya harga diri pada individu, adapun menurut

Coopersmith (dalam Mruk, 2006), aspek-aspek harga diri mencakup power

(kekuatan), significance (keberartian), virtue (kebajikan) dan competence

(kemampuan).

a. Power (Kekuatan)

Power ialah kemampuan individu untuk mempengaruhi aksinya

dengan mengontrol tingkah lakunya sendiri dan mempengaruhi orang

lain. Dalam situasi tertentu, power tersebut muncul melalui pengakuan

dan penghargaan yang diterima oleh individu dari orang lain, dan melalui

kualitas penilaian terhadap pendapat-pendapat dan hak-haknya. Efek dari

pengakuan tersebut adalah menumbuhkan perasaan penghargaan (sense

of appreciation) terhadap pandangannya sendiri dan mampu melawan

tekanan untuk melakukan konformitas tanpa mempertimbangkan

kebutuhan-kebutuhan dan pendapat-pendapatnya sendiri. Masing-masing

perlakuan tersebut bisa mengembangkan control sosial, kepemimpinan,

dan kemandirian yang mampu memunculkan sikap asertif, energik,

tingkah laku, eksplorasi.

27

b. Significance (keberartian)

Keberartian dalam hal ini dilihat dari penerimaan, perhatian, dan

kasih sayang yang ditunjukkan oleh orang lain. Ekspresi dari

penghargaan dan minat terhadap individu tersebut termasuk dalam

pengertian penerimaan (acceptance) dan popularitas (popularity), yang

merupakan kebalikan dari penolakan dan isolasi. Penerimaan ditandai

dengan kehangatan, responsifitas, minat, dan menyukai individu apa

adanya. Dampak utama dari masing-masing perlakuan dan kasih sayang

tersebut adalah menumbuhkan perasaan berarti (sense of importance)

dalam dirinya. Makin banyak orang menunjukkan kasih sayang, maka

makin besar kemungkinan memiliki penilaian diri yang baik.

c. Competence (kompetensi)

Keberhasilan pada area ini ditandai dengan tingkat pencapaian

yang tinggi, dengan tingkatan dan tugas yang bervariasi untuk tiap

kelompok usia. Coopersmith (dalam Mruk, 2006) menunjukkan bahwa

pengalaman-pengalaman seorang anak mulai dari masa bayi yang

diberikan secara biologis dan rasa mampu (sense of efficacy) yang

memberikannya kesenangan, membawanya untuk selalu berhadapan

dengan lingkungan dan menjadi dasar bagi pengembangan motivasi

instrinsik untuk mencapai kompetensi yang lebih tinggi lagi.

d. Virtue (Kebajikan)

Kebajikan dalam hal ini ditandai oleh tingkah laku patuh pada

kode etik, moral, dan prinsip-prinsip agama. Orang yang mematuhi kode

28

etik dan agama dan kemudian menginternalisasikannya, menampilkan

sikap diri yang positif dengan keberhasilan dalam pemenuhan terhadap

tujuan-tujuan pengabdian terhadap nilai-nilai luhur. Perasaan berharga

yang muncul diwarnai dengan sentiment-sentiment keadilan dan

kejujuran, dan pemenuhan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.

Buss (1995) menjelaskan bahwa komponen dari self-esteem atau harga

diri tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama pada aspek penampilan,

kemampuan dan kekuatan berkaitan dengan aspek percaya diri. Kemudian

aspek penghargaan sosial, apresiasi, dan moralitas, berkaitan dengan kecintaan

pada diri dan aspek harga diri.

Penelitian ini menggunakan pendapat Coopersmith sebagai acuan

dalam melakukan penelitian lebih lanjut. Adapun komponen tersebut yaitu,

power (kekuatan), significance (keberartian), virtue (kabajikan) dan

competence (kemampuan).

4. Ciri-ciri Harga diri

Coopersmith (Mruk, 2006) menjelaskan ciri-ciri individu sesuai dengan

tingkatan harga dirinya, sebagai berikut:

a. Harga Diri Tinggi

1) Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya

dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya dan menghargai orang lain

(aspek significance)

2) Dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat

menerima kritik dengan baik (aspek power)

29

3) Menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu

berjalan di luar rencana. (aspek competence)

4) Berhasil atau berprestasi di bidang akademik, aktif dan dapat

mengekpresikan dirinya dengan baik. (aspek competence)

5) Tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan

mengharapkan adanya pertumbuhan dalam dirinya.

6) Memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang

realistis. (aspek virtue)

7) Lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan. (aspek

power)

b. Harga Diri Rendah

1) Menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak sesuai,

sehingga takut gagal untuk melakukan hubungan sosial. Hal ini sering kali

menyebabkan individu yang memiliki harga diri yang rendah, menolak

dirinya sendiri dan tidak puas akan dirinya. (aspek significance)

2) Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya tehadap dunia luar dirinya dan

kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain. (aspek power)

3) Tidak menyukai segala hal atau tugas yang baru, sehingga akan sulit

baginya untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas

baginya. (aspek comepetence)

4) Tidak yakin akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga

kurang berhasil dalam prestasi akademis dan kurang dapat

mengekspresikan dirinya dengan baik. (aspek competence)

30

5. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Harga Diri

Teori-teori dan penelitian yang telah dilakukan Coopersmith (Mruk,

2006) mengenai harga diri mengarahkannya untuk menyimpulkan 4 faktor

utama yang memberi kontribusi pada pembentukan dan perkembangan harga

diri, yakni:

a. Respectful, penerimaan, dan perlakukan yang diterima individu dari

Significant Others.

Significant Others merupakan orang yang penting dan berarti bagi

individu, dimana ia menyadari peran mereka dalam memberi dan

menghilangkan ketidaknyamanan, meningkatkan dan mengurangi

ketidakberdayaan. Serta meningkatkan dan mengurangi keberhargaan diri.

Harga diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir, tetapi

merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu

ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, dalam berinteraksi

tersebut akan terbentuk suatu penilaian atas dirinya berdasarkan reaksi

yang ia terima dari orang lain. Seseorang yang merasa dirinya dihormati,

diterima dan diperlakukan dengan baik akan cenderung membentuk harga

diri yang tinggi, dan sebaliknya seseorang yang diremehkan, ditolak dan

diperlakukan buruk akan cenderung akan membentuk harga diri yang

rendah.

b. Sejarah keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai individu.

Keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai individu

tersebut akan membentuk suatu penilaian terhadap diri individu,

31

berdasarkan dari penghargaan yang diterima dari orang lain. Status

merupakan suatu perwujudan dari keberhasilan yang diindikasikan dengan

pengakuan dan penerimaan dirinya oleh masyarakat.

c. Nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi.

Pengalaman-pengalaman individu akan diinterpretasi dan

dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi yang dimilikinya.

Individu akan memberikan penilaian yang berbeda terhadap berbagai

bidang kemampuan dan prestasinya. Perbedaan ini merupakan fungsi dari

nilai-nilai yang mereka internalisasikan dari orang tua dan individu lain

yang signifikan dalam hidupnya. Individu pada semua tingkat harga diri

mungkin memberikan standar nilai yang sama untuk menilai

keberhargaannya, namun akan berbeda dalam hal bagaimana mereka

menilai pencapaian tujuan yang telah diraihnya.

d. Cara individu merespon devaluasi atau kegagalan terhadap dirinya.

Individu dapat mengurangi, mengubah, atau menekan dengan kuat

perlakuan yang merendahkan diri dari orang lain atau lingkungan, salah

satunya adalah ketika individu mengalami kegagalan. Pemaknaan individu

terhadap kegagalan tergantung pada caranya mengatasi situasi tersebut,

tujuan, dan aspirasinya. Cara individu mengatasi kegagalan akan

mencerminkan bagaimana ia mempertahankan harga dirinya dari perasaan

tidak mampu, tidak berkuasa, tidak berarti, dan tidak bermoral. Individu

yang dapat mengatasi kegagalan dan kekurangannya dapat

mempertahankan harga dirinnya.

32

Hill (2013) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

terbentuknya dan berubahnya harga diri seseorang, yakni:

a. Menanggapi situasi dalam lingkungan

Individu yang responsif dalam menanggapi umpan balik dari lingkungan

dalam beberapa penelitian psikologi sosial berdampak pada harga diri

dalam jangka pendek, seperti yang diungkapkan oleh Dandeneau &

Baldwin, 2004 (dalam Hill, 2013) dalam kehidupan sehari-hari banyak

situasi atau kenyataan terkait dengan peran sosial tertentu, misalnya anak-

anak dan remaja dihargai dan dihukum karena perilaku tertentu di sekolah

dan di rumah. Hal ini merupakan situasi yang dapat membentuk diri,

misalnya anak yang sering gagal di tugas utama perkembangan dapat

menginternalisasikan hukuman atau umpan balik yang diterima sehingga

mengembangkan citra diri yang negatif.

b. Refleksi diri

Refleksi diri dapat menjadi salah satu faktor berubahnya harga diri pada

seseorang, perubahan kognitif seseorang menjadi salah satu faktor yang

dapat merubah harga diri. Seiring perkembangan individu dari remaja,

dewasa dan menjadi tua maka kemampuan individu secara kognitif dapat

meningkat, hal ini lah yang kemudian juga dapat mempengaruhi perubahan

dari harga diri (Hill, 2013).

c. Penilaian dari orang lain

Hill (2013) menjelaskan juga bahwa persepsi atau penilaian dari orang lain

terhadap diri seseorang dapat mempengaruhi naik dan turunnya harga diri

33

orang tersebut, misalnya penilaian dari pasangan akan mempengaruhi

penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Ketika seseorang mendapat

penilaian negatif dari pasangannya maka individu tersebut juga akan

memandang dirinya negatif begitu juga sebaliknya. Penilaian dan persepsi

negatif dari orang di luar individu itulah yang juga dapat merubah harga

diri seseorang.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas mengenai Faktor-faktor yang

mempengaruhi harga diri, maka dapat diperjelas bahwa ada beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi terbentuk dan berkembangnya harga diri pada

seseorang yaitu, penerimaan dari orang lain, keberhasilan yang pernah dicapai,

nilai-nilai dan harapan yang dimiliki, refleksi diri dan cara individu merespon

kegagalan dalam hidupnya.

6. Cara-cara Peningkatan Harga Diri

Ada beberapa macam teknik intervensi yang dapat digunakan untuk

meningkatkan harga diri (Guindon, 2010), yaitu:

a. Social support

Harga diri berespon terhadap kehadiran dukungan sosial. Berdasarkan sudut

pandang ini, terapi terhadap harga diri seharusnya membantu klien

membentuk dan mempertahankan relasi yang suportif sekaligus

meningkatkan kemampuan dalam menghargai diri sendiri. Selain diberikan

oleh terapis melalui pendekatan client centered, social support juga dapat

diberikan oleh teman dan orangtua. Mereka dapat membantu dengan

menawarkan bantuan, memberikan waktu dan dukungan. Mereka juga dapat

34

memberikan kesempatan bagi individu untuk menyelesaikan masalahnya

sendiri. Penelitian Herdiyanto (2014) hubungan antara dukungan sosial dan

harga diri pada remaja penyalahguna napza.

b. Strategi cognitive behavioral

Strategi cognitive behavioral merupakan strategi yang paling sering

digunakan untuk meningkatkan harga diri dan terbukti efektif untuk

diaplikasikan ke berbagai usia. Penelitian Sarandria (2012) tentang

efekifitas cognitive behavioral therapy (CBT) untuk meningkatkan self

esteem pada dewasa muda, hasilnya menunjukkan peningkatan harga diri

pada klien dewasa muda yang sebelumnya memiliki harga diri rendah.

c. Strategi keluarga atau kelompok

Melalui terapi keluarga, isu-isu yang berkaitan dengan berfungsinya

keluarga yang kurang baik dan pola asuh yang tidak efektif dapat diatasi.

Strategi ini dapat menjadi pilihan bagi masalah harga diri yang

dimanifestasikan dalam gangguan tidur, ADHD, dan gangguan lain yang

melibatkan peran keluarga. Konseling kelompok memberikan kesempatan

bagi klien untuk berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang tepat dan

sehat. Penelitian Nugrahawati & Nugraha (2011) tentang dukungan keluarga

terbukti meningkatkan harga diri pada ODHA.

d. Strategi kemantapan fisik

Olahraga dan bentuk aktivitas fisik lainnya dapat meningkatkan harga diri,

terutama apabila aktivitas tersebut membutuhkan pengembangan

kemampuan tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Ratri Nurwati (2010)

35

kepuasan citra tubuh dengan harga diri pada laki-laki yang melakukan

fitnes.

Pada dasarnya banyak terapi yang dapat digunakan untuk meningkatkan

harga diri selama terapis memiliki pengetahuan yang baik mengenai harga diri

dan mampu memilih terapi yang tepat dan sesuai dengan permasalahan subjek.

Harga diri merupakan sebuah evaluasi diri dan memiliki esensi yang terletak

pada keyakinan dasar yang negatif mengenai dirinya. Keyakinan dasar ini

melibatkan kognisi individu (Coopersmith, dalam Mruk 2006). Oleh karena itu

peneliti memilih menggunakan forgiveness therapy sebagai intervensi yang

juga sesuai untuk membantu meningkatkan harga diri pada individu.

Forgiveness therapy merupakan salah satu terapi yang menggunakan

pendekatan kognitif perilakuan, di mana rangkaian proses pemaafan lebih

banyak menggunakan pendekatan kognitif perilakuan yang menghubungkan

prinsip pemrosesan informasi dan teori belajar (Enright, Freedman & Reque,

dalam Enright & North, 1998). Asumsi dasar terapi kognitif perilakuan adalah

terdapat hubungan timbal balik antara apa yang difikirkan dengan apa yang

dirasakan, fisiologi dan perilaku.

Pendekatan kognitif perilakuan menjadi pendekatan yang paling

empiris untuk menghasilkan metode intervensi untuk harga diri. Teknik-teknik

di dalamnya dapat meningkatkan harga diri dalam berbagai cara. Pertama,

terapis menginterupsi kaitan antara pikiran, perasaan dan perilaku individu

yang negatif, yang dapat mempertahankan harga diri yang rendah. Kedua,

membuat individu merasa memiliki kelebihan dan kemampuan. Ketiga, melatih

36

kebiasaan-kebiasaan baru sehingga terbentuk hubungan antara pikiran,

pengalaman dan tindakan yang lebih baik (Mruk, 2006). Hal ini sesuai dengan

tujuan dari setiap tahapan forgiveness therapy, yakni tahap membongkar, tahap

memutuskan untuk memaafkan, tahap bekerja dan tahap memperdalam. Oleh

sebab itu penulis menggunakan forgiveness therapy untuk peningkatan harga

diri pada istri dengan kekerasan dalam rumah tangga.

7. Harga Diri Istri dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Soeroso (2011) merupakan

sebuah pelanggaran hak salah satu anggota keluarga, yang merugikan korban

baik secara fisik, mental, ekonomi dan sosial, dapat berupa penyiksaan,

penelantaran, pemaksaan dan ancaman yang terjadi dalam lingkup rumah

tangga. Kekerasan terhadap perempuan atau wanita termasuk di dalamnya ialah

istri diperjelas oleh pasal 2 deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan

terhadap perempuan ialah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin

yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual,

psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan

kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau

dalam kehidupan peribadi (Soeroso, 2011).

Berbagai macam bentuk kekerasan yang terjadi di dalam lingkup rumah

tangga, seperti yang dijelaskan oleh Nurhayati (2012) bentuk kekerasan

tersebut mencakup kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan ekonomi,

kekerasan dengan pengasingan sosial, kekerasan seksual, mengerdilkan atau

menyepelekan dan mengintimidasi. Nurhayati (2012) dan Soeroso (2011) juga

37

menjelaskan bahwa berdasarkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga

yang mereka temui, pada umumnya yang menjadi korban dalam hal tersebut

ialah wanita termasuk di dalamnya istri. Pelaku kekerasan di dalam rumah

tangga, sebagian besar yang menjadi pelaku ialah laki-laki yang berkedudukan

lebih dominan, kuat dan menguasai, termasuk di dalamnya sosok suami.

Dampak dari sebuah kekerasan sangat beragam, termasuk kekerasan di

dalam rumah tangga yang memiliki dampak secara langsung terhadap korban.

Seperti yang dijelaskan oleh Cascardi dkk: O’leary: Shalev, Yehuda &

McFarlance: Watson dkk (dalam Nevid, 2003), selain resiko luka fisik,

kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan dalam lingkup domestik dapat

mengakibatkan gangguan stres pascataruma (post-traumatic stress disorder,

PTSD) dan efek-efek psikologis lain terutama depresi dan harga diri rendah.

Paula & Shelly (2006) menjelaskan bahwa kekerasan yang dialami wanita baik

secara emosional maupun secara fisik menimbulkan dampak buruk bagi

psikologis korban, dampak tersebut seperti kehilangan harga diri dan

kepercayaan diri, perasaan tidak berdaya, perasaan bersalah, trauma mendalam,

PTSD dan depresi hingga munculnya keinginan menyakiti diri sendiri.

Kemudian Soeroso (2011) menjelaskan bahwa penderitaan yang

dialami korban KDRT biasanya berupa kerugian baik secara materiil atau

immateriil, kerugian materiil dapat berupa kehilangan barang-barang yang

menjadi milik korban, kerugian ini lebih bersifat ekonomis. Sedangkan

kerugian immateriil lebih bersifat psikis/mental yang mana lebih berkaitan

dengan kondisi kejiwaan korban. Selain kerugian materiil atau immateriil,

38

korban juga mengalami penderitaan yang lain. Penderitaan tersebut terbagi

menjadi 2 macam yakni penderitaan jangka pendek dan penderitaan jangka

panjang. Penderitaan jangka pendek artinya suatu penderitaan yang dapat

segera hilang dan jangka waktu yang singkat, yang mana korban dapat segera

melupakan peristiwa yang dialaminya. Hal tersebut berbeda dengan

penderitaan jangka panjang, penderitaan korban berlangsung berkepanjangan,

bahkan sampai mengganggu segala aktivitas dan kesehatan baik itu kesehatan

fisik maupun psikologis.

Penderitaan seseorang yang mengalami KDRT akibat berbagai

perlakuan dan kondisi tidak menyenangkan yang telah dia hadapi

menimbulkan berbagai macam emosi negatif, afek dan keyakinan negatif pada

dirinya. Menurut Baron & Byrne (2004) peristiwa negatif dalam hidup

seseorang memiliki efek negatif terhadap harga diri orang tersebut, sebagai

contoh ketika masalah muncul di sekolah, di dalam keluarga, di tempat kerja

atau di antara teman, maka akan terjadi penurunan harga diri, meningkatnya

kecemasan dan individu tersebut akan mencoba mencari penguat melalui

berbagai macam cara. Begitu juga yang dialami wanita korban KDRT, korban

mengalami peristiwa negatif dan menyakitkan berupa kekerasan dari pasangan

hidup mereka di dalam rumah tangga. Peristiwa negatif yang terjadi

menimbulkan berbagai macam emosi negatif dan keyakinan negatif pada diri

korban, berbagai macam emosi negatif, afek negatif serta psikologis yang

terganggu menjadikan korban KDRT mengalami penurunan evaluasi diri atau

harga diri.

39

Poerwandari (2000) menguraikan dampak psikologis dari kekerasan

adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban. Ia akan melihat diri negatif,

banyak menyalahkan diri, menganggap diri menjadi penanggung jawab tindak

kekerasan yang dialaminya. Korban juga dapat menghayati depresi dan bentuk

bentuk gangguan lain sebagai akibat dari bertumpuknya tekanan, kekecewaan,

ketakutan dan kemarahan yang tidak dapat diungkap secara terbuka. Kemudian

Mukminin (2011) menjelaskan di dalam hasil penelitiannya bahwa istri yang

mengalami kekerasan di dalam rumah tangga cenderung mengalami penurunan

harga diri, hal tersebut dilihat dari sikap korban yang pesimis, tidak percaya

diri, merasa tidak berharga dan bersikap inferior. Penurunan harga diri yang

diakibatkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh keluarga atau pasangan

menurut Paula & Shelly (2006) memunculkan sikap pesimis, menarik diri dari

lingkungan sosial, merasa tidak berharga dan tidak berarti, perasaan tidak

mampu dan tidak berdaya dalam menghadapi kondisi, kesulitan dalam

mengungkapkan perasaan dan pendapat, serta kehilangan kemampuan untuk

menyelesaikan masalah.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dijelaskan bahwa dampak

kekerasan dalam rumah tangga sangat beragam, korban dapat mengalami sakit

fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami

rasa tidak berdaya, mengalami stres pascatrauma, mengalami depresi hingga

memiliki keinginan untuk bunuh diri. Salah satu permasalahan yang penting

yang dihadapi oleh istri dengan kekerasan dalam rumah tangga yakni

menurunnya harga diri, yang menyebabkan munculnya sikap-sikap negatif

40

seperti tidak percaya dengan diri sendiri, bersikap pesimis dan putus asa,

merasa tidak berharga dan tidak berarti, menarik diri dari lingkungan sosial

serta kehilangan kemampuan berkembang dan menghadapi masalah. Oleh

sebab itu dibutuhkan adanya penanganan atau intervensi yang dapat membantu

istri dengan kekerasan dalam rumah tangga untuk meningkatkan harga diri

yang menurun akibat peristiwa negatif atau kekerasan yang dialaminya,

sehingga penurunan harga diri tersebut tidak berkembang menjadi gangguan

psikologis yang lebih serius lagi.

B. Forgiveness Therapy

1. Pengertian Forgiveness Therapy

Gunarsa (2004), menjelaskan bahwa terapi adalah proses formal dari

interaksi antara dua pihak, setiap kemungkinan terdiri dari satu orang, tetapi

ada pada setiap pihak, dengan tujuan memperbaiki keadaan yang tidak

menyenangkan (distress) pada salah satu dari kedua pihak karena

ketidakmampuan atau malfungsi pada salah satu dari bidang-bidang berikut :

fungsi kognitif (kelainan dan fungsi berfikir), fungsi afektif (penderitaan atau

kehidupan emosi yang tidak menyenangkan) atau fungsi perilaku

(ketidaktepatan perilaku). Dilakukan oleh terapis yang memahami teori

tentang asal usul kepribadian, perkembangan, mempertahankan dan mengubah

bersama-sama dengan beberapa metode perawatan yang mempunyai dasar teori

dan profesinya diakui resmi untuk bertindak sebagai terapis.

41

Menurut McCullough dkk (Buletin Psikologi, 2006) mengemukakan

bahwa memaafkan merupakan seperangkat motivasi untuk mengubah

seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk

memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan

dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Kemudian

menurut Enright (Lamb & Murphy, 2002) mendefinisikan pemaafan sebagai

sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang

yang bersalah dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi dengan rasa

kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.

Enright (Enright, Freedman & Reque, 1998; Enright, 2012) sebagai

orang yang telah meneliti forgiveness sudah sejak lama dan menggeluti dalam

bidang ini, mendefinisikan forgiveness sebagai keinginan seseorang untuk

meninggalkan kemarahan, penilaian negatif dan perilaku acuh tidak acuh

terhadap orang yang telah menyakitinya dengan tidak adil. Ia menjelaskan

bahwa forgiveness lebih dari sekedar menerima apa yang terjadi, berhenti atau

tidak lagi merasakan marah, bersikap netral terhadap objek forgiveness,

membuat seseorang merasa lebih baik karena kesejahteraan dan kesehatan

emosional yang meningkat. Ia juga menyatakan bahwa forgiveness lebih

ditujukan kepada situasi pelanggaran interpersonal, termasuk memaafkan diri

karena telah menyakiti orang lain.

Memaafkan baik diri sendiri dan orang lain yang menjadi objek

pemaafan memiliki dimensi yang dilibatkan di dalam proses memaafkan yang

dilakukan individu, seperti yang telah dijelaskan oleh Baumeister dkk (dalam

42

Buletin Psikologi, 2006) menggambarkan dua dimensi dari pemaafan. Pertama

adalah dimensi intrapsikis, dimensi ini melibatkan aspek emosi dan kognisi

dari pemaafan. Kedua adalah dimensi interpersonal, dimensi ini melibatkan

aspek sosial dari pemaafan. Pemaafan yang total mensyaratkan dua dimensi di

atas. Kemudian menurut Fincham dkk (dalam Buletin Psikologi, 2006) dimensi

pemaafan ada dua, pertama adalah membuang motivasi pembalasan dendam

dan penghindaran. Kedua adalah meningkatkan motivasi kebaikan atau

kemurahan hati dan rekonsiliasi.

Philpot (2006) menjelaskan bahwa forgiveness merupakan suatu proses

(hasil dari proses) yang meliputi perubahan perasaan dan sikap terhadap

pelaku. Sejumlah peneliti memandangnya sebagai proses yang diniatkan dan

sengaja, didorong oleh keputusan untuk memaafkan. Hasil dari proses ini

adalah menurunnya dorongan untuk mempertahankan perasaan tuntutan

pelepasan negatif kepada pelaku. Pemaafan atau forgiveness tidak dapat

dipisahkan dari rekonsiliasi atau pemulihan hubungan dengan seseorang yang

telah menyakiti, dua hal ini sangat berhubungan karena tidak ada pemaafan

tanpa pemulihan dan tidak akan dapat memulihkan jika belum melalui proses

pemaafan (Philpot, 2006). Ciri-ciri seseorang telah berhasil melakukan proses

pemaafan menurut Warthington (Warthington & Scherer, 2004) ialah memiliki

emosi dan perasaan yang positif terhadap pelaku dan situasi yang pernah

menyakitinya, berpikir dan memandang pelaku dan situasi tersebut dari sudut

pandang yang lebih positif, dan tidak lagi menghindari orang atau hal-hal yang

berhubungan dengan rasa sakit tersebut.

43

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa forgiveness

therapy adalah metode atau proses terapi yang dilakukan dengan sengaja,

didorong oleh keputusan untuk menerima dan membebaskan emosi negatif,

mengurangi rasa sakit, menumbuhkan perasaan iba dan kemurahan hati kepada

pihak yang menyakiti.

2. Tahap dan Proses Forgiveness Therapy

Para pendukung terapi pemaafan memfokuskan penggunaan pemaafan

untuk individu yang terluka akibat ketidakadilan, sehingga beberapa ahli

seperti Enright, Freedman & Reque; McCullough & Warthington (Lamb,

2005) menyarankan pelaksanaan forgiveness therapy dalam 4 tahap, 8-12 sesi

atau 20 minggu program untuk mereka yang mengalami kesulitan memaafkan.

Enright (Rahmandani, 2011) juga menjelaskan pelaksanaan forgiveness

therapy dapat dilakukan dengan 4 tahapan dalam 6 sesi, waktu pelaksanaan

setiap sesi dapat berkisar antara 120-180 menit. Dari beberapa literatur baik

buku dan hasil penelitian yang ditemukan penulis, tidak ditemukan penjabaran

yang menjelaskan ketetapan baku mengenai banyaknya pertemuan pada terapi

pemaafan, hal yang paling ditekankan dalam pelaksanaan terapi ini ialah

tahapan yang digunakan dalam proses pemaafan serta sesi yang digunakan

dapat disesuaikan dengan keluhan, kondisi dan lingkungan serta homogenitas

atau banyaknya peserta terapi.

Penelitian ini menggunakan tahapan pemaafan yang dijabarkan Enright,

Freedman & Reque (Enright & North, 1998), dan juga dijelaskan kembali oleh

Enright (2012) bahwa proses pemaafan terdiri dari 4 tahap yakni:

44

a. Tahap membongkar atau menyingkap emosi negatif / uncovering phase

Fase pertama dalam proses pemaafan adalah mengungkap atau

membongkar emosi negatif, hal yang berkaitan atau yang mempengaruhi

emosi tersebut, dan berbagai bentuk emosi negatif yang pernah dirasakan

dalam kehidupan. Emosi negatif dalam hal ini ialah kemarahan akibat

perasaan terluka dan sakit hati sebagai hasil dari ketidakadilan. Seseorang

tidak dapat memulai pemaafan sebelum menemukan sifat alami dan

kedalaman dari emosi negatif yang dirasakan.

b. Tahap memutuskan / decision phase

Tahap ini merupakan tahap di mana klien memiliki keyakinan untuk

mengambil sikap atas pelanggaran dan ketidakadilan yang dirasakan.

Setelah melalui tahap mengungkap dan membongkar emosi negatif dan

hal-hal yang menyebabkannya, klien berhak mengambil keputusan untuk

mulai memaafkan atau berlanjut dengan perasaan terluka dan kungkungan

emosi negatif yang selama ini dirasakan. Ketika klien memutuskan untuk

memulai proses memaafkan, maka mereka telah meyakini bahwa mereka

tidak selalu harus menjadi lemah terhadap pelaku dan memaafkan tidak

menghalangi untuk mengekspresikan kemarahan atau mengejar keadilan.

c. Tahap bekerja dengan forgiveness / work phase

Pada tahap ini seseorang dituntun untuk membangun kognitif, perasaan,

dan perilaku yang positif sehingga dapat memperoleh perspektif dan

pandangan baru.

45

d. Tahap memperdalam / outcome phase.

Tahap memperdalam merupakan tahap terakhir dari proses pemaafan, tahap

ini menuntun seseorang untuk menemukan tujuan dan harapan baru setelah

terbebas dari kungkungan emosional, mengevaluasi kembali proses yang

sudah dilalui dan hasil dari proses tersebut terhadap perubahan dan

pertumbuhan yang baru.

Pelaksanaan terapi ini diaplikasikan menggunakan pendekatan kelompok,

yang mana menurut Harris dkk (2006) pelaksanaan terapi pemaafan dengan

pendekatan kelompok atau grup bertujuan agar peserta terapi mendapatkan

dukungan, informasi baru, dan dapat berbagi pengalaman atau keluhan kepada

sesama peserta terapi. Menurut Prawita (2012) terapi kelompok adalah suatu

bentuk terapi (psikoterapi) yang dilaksanakan pada kelompok yang

terorganisasi secara formal dan diperhitungkan serta bertujuan untuk perbaikan

kepribadian dan perilaku anggota kelompok melalui interaksi kelompok.

Terapi kelompok sangat efektif dan memiliki kelebihan setara dengan terapi

individual, bahkan kriteria keberhasilan terapi kelompok setara sama dengan

psikoterapi yaitu dapat menghilangkan stress, meningkatkan harga diri, insight,

dan memperbaiki perilaku serta hubungan sosial (Prawita, 2011).

Selain kriteria keberhasilan tersebut, terapi kelompok juga sangat cocok

digunakan untuk membantu peningkatan harga diri (Guindon, 2010). Hal

tersebut didukung oleh kelebihan-kelebihan pada terapi kelompok, seperti

menimbulkan insight dalam memperbaiki fungsi-fungsi kognitif dan afektif,

identifikasi diri, penyaluran emosi, serta meningkatkan keterampilan hubungan

46

sosial. Kemudian menurut Yalom (Prawita, 2011) mengidentifikasikan

beberapa faktor kuratif atau pendukung primer dalam terapi kelompok yakni,

penanaman harapan, universalitas, pertukaran informasi, altruiesme,

rekapitulasi korektif dari kelompok keluarga primer, pengembangan teknik

sosial, katarsis, perilaku imitatif, dan kohesivitas kelompok.

Forgiveness therapy dalam penelitian ini akan dilakukan dengan 4

tahapan pemaafan yang dilakukan dalam 4 kali pertemuan. Pertemuan pertama

digunakan sebagai pembuka atau mind opening sebelum memulai tahapan inti,

kemudian untuk pertemuan 2 diisi dengan tahapan mengungkap dan

membongkar emosi negatif dan tahap memutuskan. Pertemuan 3 digunakan

untuk melakukan tahap bekerja dengan pemaafan dan tahap memperdalam.,

sedangkan pertemuan ke 4 digunakan untuk debrief dan evaluasi. Empat tahap

dalam terapi pemaafan memang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan tahap

yang lainnya, rangkaian tahap tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh.

Pemisahan tahapan menjadi dua kali pertemuan karena mempertimbangkan

kondisi subjek penelitian, serta setiap tahapan akan lebih efektif jika dilakukan

tidak dengan terburu-buru.

Penelitian ini menggunakan modul forgiveness therapy yang disusun

oleh penulis berdasarkan beberapa penelitian-penelitian yang pernah dilakukan

oleh Reed & Enright (2006), Kang & Kim (2015), Kim & Lee (2014), Pratiwi

(2015) dan Oktarini (2014).

47

Penjabaran setiap tahapan forgiveness therapy seperti berikut ini:

1) Membongkar atau menyingkap emosi negatif. Fase pertama dalam proses

memaafkan adalah membongkar atau mengungkap emosi negatif.

Seseorang belum dapat memulai memaafkan sebelum menemukan sifat

alami dan kedalaman emosi yang dirasakan. Emosi negatif yang

dimaksudkan adalah kemarahan akibat perasaan terluka dan sakit hati

sebagai hasil dari ketidakadilan. Maksud dan tujuan umum dalam tahap ini

yaitu: a) Partisipan mampu menyampaikan beban emosional dan dapat

mengidentifikasikan emosi-emosi negatif akibat pengalaman yang

dirasakan dari peristiwa menyakitkan, b) Partisipan mampu

mengeksplorasi dan mengidentifikasikan dampak perasaan yang dialami

akibat pengalaman terdahulu, c) Partisipan mampu mengidentifikasikan

pertahanan diri yang digunakan selama ini dan mengetahui keefektifannya,

d) Partisipan dapat menentukan objek pemaafan yang terlibat dalam

peristiwa menyakitkan, e) Partisipan merasakan empati, penerimaan tanpa

syarat, dan dukungan dari terapis beserta partisipan lainnya, serta

mendapatkan umpan balik mengenai pengalaman yang dirasakan.

Terdapat 2 sesi dalam tahap ini:

Sesi 1. Mengenal emosi diri dan mengidentifikasikan emosi negatif

Mengenal emosi yang ada di dalam diri sehingga seseorang dapat

mengidentifikasikan emosi-emosi negatif yang dirasakannya. Mruk (2006)

menjelaskan bahwa harga diri dapat menurun ketika individu mengalami

tekanan emosional dalam waktu yang lama, tekanan emosional berupa rasa

48

marah, benci, sakit hati, kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.

Pembongkaran dan identifikasi emosi negatif dalam forgiveness therapy

menggunakan metode sharing, pengisian lembar kerja dan pemberian

umpan balik oleh terapis.

Sesi 2. Melihat strategi pemecahan masalah di masa lalu

Melihat strategi pemecahan masalah dimasa lalu atau pola perilaku yang

biasanya digunakan sebagai upaya menghadapi emosi negatif. Sesi

kegiatan ini mengajarkan partisipan untuk mengevaluasi pola perilaku atau

respon yang digunakannya selama ini dalam menghadapi atau merespon

situasi yang dihadapi, sehingga partisipan dapat mengetahui respon yang

dimunculkan selama ini efektif atau tidak untuk menghadapi situasi

tersebut dan partisipan dapat membuat respon yang lebih adaptif. Hal ini

sesuai dengan teori belajar pada pendekatan perilakuan, individu dapat

menggunakan respon lama atau respon baru yang dipelajari untuk

menghadapi situasi-situasi baru dalam hidupnya (Alwisol, 2004). Sesuai

dengan penjelasan Coopersmith (Mruk, 2006) bahwa individu dengan

harga diri yang baik mampu mengoreksi dan melakukan evaluasi terhadap

dirinya sendiri dan mampu berkembang menjadi peribadi yang lebih baik.

2) Memutuskan untuk memaafkan, pada tahap ini seseorang harus

memahami apa itu pemaafan dan hal-hal yang berkaitan dengan pemaafan

itu sendiri. Tahap ini menentukan apakah seseorang akan memaafkan

peristiwa, situasi atau objek pemaafan yang sudah menyakiti hatinya.

Keputusan untuk memaafkan atau tidak memaafkan akan menjadi suatu

49

komitmen yang tentunya membantu seseorang dalam melalui proses

pemaafan, termasuk upaya keras untuk bisa memulai proses pemaafan,

hingga pada akhirnya benar-benar terbebas dari emosi-emosi negatif yang

dirasakan selama ini. Maksud dan tujuan pada sesi ini ialah: a) Partisipan

memahami pengertian dan makna dari memaafkan, b) Partisipan

menyadari pemaafan sebagai salah satu usaha dan solusi untuk

membebaskannya dari kungkungan emosional yang selama ini dirasakan,

c) Partisipan dapat mengambil komitmen untuk melakukan pemaafan, d)

Partisipan dapat menentukan objek/peristiwa/situasi yang akan menerima

pemaafan, e) Partisipan merasakan empati, penerimaan tanpa syarat dan

dukungan dari terapis. Tahapan ini memiliki 2 sesi yakni:

Sesi 1. Berbagi pengalaman tentang memaafkan, dan memahami bahwa

memaafkan sebagai salah satu cara untuk terlepas dari kungkungan

emosional. Sesi kegiatan ini menggunakan metode brainstorming atau

diskusi dan pemberian umpan balik dari terapis. Partisipan dapat bercerita,

berdiskusi dan mengungkapkan pendapatnya mengenai pemaafan, dengan

kegiatan tersebut partisipan mampu melakukan proses belajar dari

pengalaman dan partisipan lain mengenai proses pemaafan. Hal tersebut

mendukung kemampuan partisipan dalam mengambil hikmah atau

pelajaran dari pengalaman-pengalaman masa lalu, dan membantu

partisipan memahami bahwa pemaafan merupakan salah satu cara untuk

terlepas dari kungkungan emosi negatif.

50

Sesi 2. Menentukan objek/peristiwa/situasi yang akan menerima

pemaafan. Setiap proses pemaafan harus memiliki objek yang jelas yang

akan mendapatkan pemaafan tersebut. Sesi kegiatan ini menggunakan

metode sharing, pengisian lembar kerja dan umpan balik, metode ini

membantu partisian untuk dapat mengambil keputusan dan menentukan

sikap terhadap objek yang pernah menyakiti. Ketika partisipan dapat

mengambil keputusan dan sikap untuk dirinya sendiri terhadap orang atau

lingkungannya, maka partisipan mampu menumbuhkan kepercayaan

dirinya dan perasaan yang positif karena mengambil sikap yang baik

dengan memaafkan objek yang pernah menyakiti.

3) Tahap bekerja dengan pemaafan. Tahap ini memiliki maksud dan tujuan

untuk membangun perasaan, pikiran dan perilaku positif, sehingga peserta

dapat memperoleh perspektif baru, kemudian memeriksa kembali apa

yang dirasakan, dipikiran dan dilakukan setelah melihat diri sendiri, orang

lain atau pelaku dan situasi (objek pemaafan) yang telah menyakiti hari

dari sudut pandang yang berbeda. Sesi kegiatan dalam tahap ini yaitu:

Sesi 1. Rekonstruksi kognitif. Merenkonstruksi kejadian masa lalu,

menemukan pikiran irrasional dan merubah pikiran dan melihat hal-hal

dalam perspektif baru.

Proses evaluasi yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri

berdasarkan penilaian dan perlakuan lingkungannya merupakan keyakinan

dasar baik positif maupun negatif, keyakinan dasar pada individu

melibatkan kognisi individu tersebut (Coopersmith, dalam Mruk, 2006).

51

Oleh sebab itu perlu dilakukan rekonstruksi kognitif pada istri dengan

KDRT untuk dapat meningkatkan harga dirinya, rekonstruksi kognitif

dalam hal ini dilakukan menggunakan metode sharing dan umpan balik.

Terapis meminta setiap partisipan bercerita mengenai pengalaman

menyakitkan yang pernah dialami, pikiran yang muncul saat itu, emosi

yang dirasakan serta respon terhadapnya. Setiap partisipan diharapkan

mampu menemukan pikiran irasional yang selama ini memperburuk

keadaan, emosi dan perilakunya, kemudian partisipan diharapkan mampu

merubah cara pandangnya dan melihatnya dalam perspektif yang baru.

Memperbaiki cara berpikir, emosi dan perilaku juga dilakukan dengan cara

mengajarkan partisipan untuk menerima rasa sakit. Proses pemaafan

dimulai dari meneriman rasa sakit sebagaimana adanya, tidak menyangkal

dan tidak membohongi diri sendiri. Ketika seseorang berhenti

bersembunyi dari rasa sakit, ia dapat mengatasi rasa sakitnya sehingga

dapat berkurang, menjadi diri yang lebih kuat dan tidak mengalihkan rasa

sakitnya pada orang lain. Kemudian partisipan diajarkan untuk merasakan

perasaan yang lebih positif yakni berempati terhadap objek pemaafan.

Merubah perasaan terhadap objek pemaafan sebagai alternatif yang lebih

baik dari pada “tidak memiliki perasaan” atau “memiliki perasaan benci”

karena hal ini berarti “tidak menyembuhkan”.

Sesi 4. Berkomitmen untuk memaafkan diri sendiri, situasi dan orang lain

dan siap menerima pemaafan dari orang lain.

52

Sesi 5. Menemukan makna dari proses memaafkan dan merasakan adanya

dukungan sosial. Ketika seseorang dapat menemukan makna dari proses

pemaafan yang dilakukannya maka ia akan menjadikan pemaafan sebagai

alternatif dalam membebaskan emosi nagatif untuk selanjutnya.

Untuk membantu partisipan dalam melakukan tahap 4 ini, dilakukan role

play relaksasi imagery. Teknik imagery dalam forgiveness therapy adalah

salah satu teknik yang bertujuan untuk menumbuhkan perasaan yang

positif seperti empati dan belas kasih terhadap objek pemaafan (Enright,

2012). Pemberian imagery sangat membantu objek dalam menghayati

proses pemaafan yang dilakukan, membantu partisipan dalam menemukan

pemahaman dan perasaan baru, menumbuhkan perasaan empati dan rasa

belas kasihan pada objek pemaafan dan perasaan relaks. Imagery

menggabungkan imaginasi atau khayalan tentang kata-kata dan afirmasi

yang menyebabkan kondisi relaks (Smith, 2005).

4) Tahap memperdalam. Maksud dan tujuan secara umum dari tahap ini

yaitu: a) Setelah menjalani proses memaafkan, partisipan mungkin

memikirkan hambatan yang akan dialami dan bisa berlatih teknik koping.,

b) Partisipan dapat berbagi dan mendapatkan umpan balik mengenai

tujuan hidupnya yang baru setelah melalui proses pemaafan, hambatan-

hambatan yang mungkin dialami, dan dapat melakukan teknik koping

untuk mengatasi hambatan tersebut., c) Partisipan menyadari

berkurangnya perasaan yang buruk dan meningkatnya perasaan yang baik

terhadap objek pemaafan., d) Partisipan memiliki kesadaran dalam diri

53

akan kebebasan emosional., e) Partisipan dapat berbagi dan mendapatkan

umpan balik mengenai perkembangannya dalam proses pemaafan,

perubahan emosi, perasaan dan pikiran yang positif terhadap objek

pemaafan dan peristiwa yang dialaminya., f) Partisipan merasakan empati,

penerimaan tanpa syarat dan dukungan dari terapis. Terdapat 2 sesi dalam

tahap ini yaitu:

Sesi 1. Membebaskan diri dari kungkungan emosional.

Sesi kegiatan ini menggunakan metode sharing, pemberian umpan balik

dan pengisian lembar kerja “perubahan yang dirasakan”, dalam sesi

kegiatan ini partisipan diharapkan dapat mengetahui perubahan dan

perkembangan yang dirasakannya setelah melakukan proses pemaafan.

Perubahan dari sisi kognitif, emosi dan perilaku dapat dilihat melalui

lembar kerja 4 , sehingga partisipan dapat menyadari sejauh mana dirinya

telah mengalami perubahan dan sejauh mana dirinya akan meneruskan

perubahan tersebut untuk lebih baik.

Sesi 2. Menentukan tujuan hidup yang baru

Enright (2012) menjelaskan bahwa individu dengan kungkungan

emosional pada dirinya memiliki orientasi pada masa lalu, dan kehilangan

kemampuan untuk memandang masa depan. Sedangkan individu dengan

emosi yang baik mampu bersikap otimis dan memiliki orentasi untuk masa

depannya. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa

setelah partisipan menyadari dirinya telah terbebas dari kungkungan

emosional dan merasakan emosi yang lebih positif, menemukan cara

54

pandang dan penilaian yang baru terhadap dirinya sendiri, situasi dan

orang yang pernah menyakiti, serta menemukan pola perilaku yang tepat

untuk menghapi situasi-situasi baru nantinya, maka partisipan akan dapat

menentukan tujuan dan harapan hidup yang baru. Kemudian Coopersmith

(Mruk, 2006) menjelaskan ciri-ciri individu dengan harga diri yang baik

ialah bersikap optimis dan memiliki tujuan hidup yang jelas.

Ketika seseorang menyelesaikan proses pemaafan, ia akan menemukan

cara-cara di mana proses pemaafan tersebut telah mengubahnya dalam

berbagai cara. Penemuan dan kesadaran mengenai diri sendiri dan

pemaafan yang dirasakan akan membebaskannya dari kungkungan

emosional dan mengubahnya di masa depan dengan menetapkan tujuan

dan harapan hidup yang baru.

Untuk menutup tahapan pemaafan, partisipan juga diberikan role play

relaksasi imagery untuk mempermudah partisipan dalam menghayati

perubahan-perubahan yang telah dialaminya, membantu partisipan untuk

berkomitmen dalam mencapai tujuan dan harapan hidupnya, serta

membuat partisipan lebih relaks dan nyaman.

Tahapan dan proses forgiveness therapy dapat dilihat pada Tabel 2

berikut ini:

Tabel 2

Tahap dan Proses Forgiveness Therapy Proses

tahapan

Materi / tujuan Kegiatan Desain / metode

Pertemuan 1

Mind opening - Pembukaan

- Menjalin keakraban

- Memahami terapi dan prosedur

terapi

- Menetapkan harapan

- Ceramah

- Ice breaking

- Sharing

- Penugasan

(informed

55

- Membuat persetujuan

- Penutup

consent)

Total alokasi waktu 60 menit

Pertemuan 2

Tahap 1

Membongkar atau

menyingkap

emosi negatif /

uncovering phase

- Mengenal emosi diri dan

mengidentifikasikan emosi

negatif

- Melihat strategi pemecahan

masalah di masa lalu

- Menggunakan teknik Relaksasi

imagery

- Sharing

- Role play

rileksasi

imagery

- Penugasan

(lembar kerja

1 dan 2)

- Pemberian

umpan balik

Tahap 2 Memutuskan /

decision phase

- Berbagi pengalaman tentang

memaafkan, dan pemahaman

bahwa memaafkan sebagai salah

satu cara untuk terlepas dari

kungkungan emosi negatif.

- Menentukan objek

/peristiwa/situasi yang akan

menerima pemaafan.

- Sharing

- Penugasan

(lembar kerja

3)

- Pemberian

umpan balik

Menyimpulkan

dan menutup

pertemuan 2

- debrief pertemuan 2

- Stabilisasi dengan relaksasi

pernafasan

- Penutup

- Debrief

- Relaksasi

Total alokasi waktu 120 menit

Pertemuan 3

Tahap 3

Bekerja dengan

pemaafan / work

phase

- Rekonstruksi kognitif

- Menerima rasa sakit hati

- Berempati terhadap objek

pemaafan

- Berkomitmen untuk

memaafkan diri sendiri, situasi

dan orang lain dan siap

menerima pemaafan dari orang

lain

- Menemukan makna dari proses

memaafkan dan merasakan

adanya dukungan sosial

- Review

pertemuan 1

- Role play

rileksasi

imagery

- Sharing

- Pemberian

umpan balik

Tahap 4 Memperdalam /

deepening phase

- Terbebas dari kungkungan

emosional

- Menentukan tujuan hidup yang

baru

- Review

- Sharing

- Pemberian

umpan balik

Menyimpulkan dan

menutup pertemuan

3

- Debrief pertemuan 3

- Stabilisasi dengan relaksasi

- Penutup

- Debrief

- Relaksasi

Total alokasi waktu 120 menit

Pertemuan 4

Mengakhiri

sesi pertemuan

forgiveness

therapy

Debrief - Mereview pengalaman dan

mengevaluasi kebaikan dan

keburukan

- Menganalisa keberhasilan dan

kegagalan

- Melihat ulang akibat-akibat

keputusannya atau

perbuatannya

- Membuat hal-hal antisipasi jika

kondisi yang sama muncul

- Sharing

- Refleksi

- Role play

- latihan koping

56

namun dalam bentuk yang

berbeda (latihan koping)

- Stabilisasi dengan relaksasi

Evaluasi - Evaluasi program dan kegiatan

terapi

- Evaluasi terapis

- Kesan dan saran

- Penugasan

(lembar

evaluasi terapi

dan terapis)

- Umpan balik

Penutup - Ucapan terimakasih

- Do’a

Total alokasi waktu 120 menit

Berdasarkan uraian di atas mengenai tahapan dan proses forgiveness

therapy, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan 4 tahapan

forgiveness therapy yang mengacu pada tahapan yang dijabarkan oleh Enright,

Freedman & Rique (Enright & North, 1998). 4 tahapan tersebut dilakukan

dalam 4 kali pertemuan. Pertemuan pertama digunakan sebagai pembuka atau

mind opening sebelum memulai tahapan inti, kemudian untuk pertemuan 2-3

diisi dengan 4 tahapan inti dalam pemaafan dan pertemuan ke 4 digunakan

untuk debrief dan evaluasi.

3. Manfaat Forgiveness Therapy

Walton (Oktarini, 2014) menjelaskan bahwa forgiveness semakin populer

sebagai psikoterapi atau sebagai suatu cara untuk menerima dan membebaskan

emosi nagatif seperti depresi, rasa marah, bersalah, malu akibat ketidakadilan,

memfasilitasi penyembuhan, perbaikan diri, dan perbaikan hubungan

interpersonal dengan berbagai permasalahan. Kemudian Philpot (2006)

menjabarkan mengenai manfaat forgiveness sebagai terapi yang membantu

penyembuhan psikologis dengan cara memberikan pengaruh dan perubahan

positif, meningkatkan kesehatan fisik dan mental, mengembalikan kemampuan

57

dan kekuatan diri korban, memulihkan hubungan korban dengan pelaku, dan

menumbuhkan kembali harapan korban.

Kemudian Enright (2012) menjelaskan banyak manfaat yang didapat

pada individu yang memaafkan, selain menghentikan perasaan ingin membenci

dan membalas dendam memaafkan juga memiliki manfaat dalam

mengembalikan rasa layak untuk mencintai diri sendiri dan juga orang lain

pada umumnya, mengembalikan hubungan baik dengan orang lain atau

lingkungan dan memulihkan kesehatan emosional.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai manfaat

atau efektifitas forgiveness therapy, seperti penelitian yang telah dilakukan

oleh Redd & Enright (2006) yang menjelaskan bahwa forgiveness therapy

tidak hanya dapat menurunkan gejala depresi, kecemasan dan stres pasca

trauma pada wanita yang mengalami kekerasan secara emosional baik dari

pasangan atau orang lain, namun juga forgiveness therapy dapat meningkatkan

harga diri dari wanita tersebut secara signifikan. Kemudian penelitian yang

dilakukan oleh Coyle & Enright, 1997 (Redd & Enright, 2006) juga

menjelaskan bahwa forgiveness therapy memiliki pengaruh dan hubungan

dengan memaafkan ketidakadilan dan perbaikan pada kecemasan, depresi serta

peningkatan harga diri.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa begitu banyak

manfaat forgiveness therapy, yang mana berhubungan dengan kesehatan

mental dan fisik sekaligus melalui kebaikannya dalam membantu seseorang

menjaga dan mengelola hubungan interpersonal yang stabil dan suportif.

58

Secara empiris forgiveness therapy dibuktikan berperan penting dalam

kesehatan fisik dan mental individu. Alasan mengapa forgiveness therapy

memiliki manfaat yang besar karena ketika seseorang tidak dapat atau kesulitan

untuk memaafkan, maka dirinya akan dipenuhi rasa amarah, dendam,

kebencian, ketidaknyamanan, sedih, kurangnya kendali, tidak mampu

berkembang karena energi negatif dalam dirinya, munculnya tanda-tanda

neurotik bahkan depresi.

C. Forgiveness Therapy untuk Peningkatan Harga Diri pada Istri dengan

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan

memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak dan indikasi besarnya

kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan

keberhargaan (Coopersmith, dalam Mruk, 2006). Coopersmith (Mruk, 2006) juga

menjelaskan bahwa harga diri terbentuk dari interaksi dan pengalaman sosial,

dalam interaksi terbentuk suatu penilaian dan evaluasi atas diri sendiri

berdasarkan reaksi dan penilaian yan diterima dari orang lain dan juga lingkungan

sosial. Berdasarkan penjelasan tersebut istri dengan KDRT mengalami perlakuan,

penilaian dan penerimaan yang negatif dari suami sebagai orang yang penting

dalam hidupnya. Berdasarkan penilaian, perilaku dan penerimaan negatif dari

suami kemudian istri dengan KDRT mengevaluasi dirinya sendiri dan

membentuknya sebagai core belief atau keyakinan dasar terhadap diri sendiri. Istri

dengan KDRT mengevaluasi dirinya secara negatif, merasa tidak berharga, tidak

berarti, tidak berdaya dan tidak kompeten untuk berkembang secara peribadi.

59

Penurunan harga diri pada istri dengan KDRT tidak hanya disebabkan oleh

proses evaluasi diri yang negatif, namun juga dipengaruhi oleh kungkungan

emosional yang dirasakannya selama mengalami kekerasan. Mruk (2006)

menjelaskan bahwa harga diri individu dapat menurun ketika individu tersebut

mengalami tekanan emosional dalam waktu yang lama. Reaksi emosional yang

muncul dapat berupa emosi-emosi negatif seperti rasa marah, benci, sakit hati dan

kekecewaan yang mendalam. Harga diri yang rendah pada istri dengan KDRT

menyebabkan munculnya sikap-sikap negatif seperti tidak percaya dengan diri

sendiri, bersikap pesimis dan putus asa, merasa tidak berharga dan tidak berarti,

menarik diri dari lingkungan sosial serta kehilangan kemampuan berkembang dan

menghadapi masalah.

Oleh sebab itu peneliti menggunakan forgiveness therapy untuk membantu

istri dengan KDRT melakukan proses evaluasi yang positif serta dapat terbebas

dari kungkungan emosional yang selama ini dirasakannya, sehingga istri dengan

KDRT dapat meningkatkan harga dirinya dan mengembangkan kemampuan

dirinya dengan lebih baik. Pemberian forgiveness therapy sesuai dengan modul

yang disusun mengacu kepada penelitian yang telah dilakukan oleh Reed &

Enright (2006), Kang & Kim (2015), Kim & Lee (2014), Pratiwi (2015) dan

Oktarini (2014). Dilaksanakan selama 1 minggu dalam 4 kali pertemuan, dengan

4 tahap inti dari forgiveness therapy subjek diharapkan dapat mengalami

peningkatkan harga diri yang ditandai dengan tumbuhnya emosi, perasaan, pikiran

dan perilaku yang lebih positif baik pada diri sendiri, orang lain sebagai pelaku

ketidakadilan atau kepada situasi dan lingkungan sosialnya. Mampu menyadari

60

kelebihan dan kemampuan yang dimilikinya, serta melatih kebiasaan-kebiasaan

baru sehingga terbentuk hubungan antara pikiran, pengalaman dan tindakan yang

lebih baik.

Tahap pertama ialah tahap membongkar dan mengungkap emosi negatif

yang bertujuan membantu subjek untuk mengungkapkan emosi-emosi negatif

yang selama ini dirasakannya akibat ketidakadilan, mengidentifikasikan dampak

dan akibat dari emosi-emosi negatif tersebut serta dapat berbagi kepada terapis

mengenai objek kebencian. Pembongkaran dan pengungkapan emosi negatif dapat

memulihkan kesehatan emosional subjek, sehingga subjek dapat merasakan emosi

yang lebih positif seperti penghargaan baik terhadap dirinya sendiri, pelaku

ataupun situasi yang menyakitkan. Seperti yang dijelaskan oleh Enright (2012)

forgiveness therapy memiliki cara dan manfaat untuk memulihkan kesehatan

emosional.

Forgiveness therapy dengan tahapan membongkar dan mengidentifikasi

emosi negatif membantu individu membebaskan dirinya dari kungkungan emosi

negatif yang selama ini dirasakannya, karena pada prinsipnya forgiveness therapy

dengan pendekatan kognitif perilakuan meyakini bahwa emosi negatif pada

individu berpengaruh terhadap cara berpikir dan caranya bersikap atau berperilaku

dan begitu juga sebaliknya (Enright, dalam Enright & North, 1998). Oleh sebab

itu Enright, Freedman & Reque (Enright & North, 1998) menyusun tahapan

forgiveness therapy dimulai dari tahap membongkar dan mengidentiifikasi emosi

negatif.

61

Individu yang mampu membebaskan dirinya dari kungkungan emosi

negatif, mampu mengenali bentuk dan dampaknya dan menumbuhkan emosi yang

lebih baik, maka individu tersebut akan lebih mudah dalam melakukan tahapan

selanjutnya yang berkaitan dengan proses belajar untuk merubah perilaku dan

rekonstruksi kognitif. Hal ini mendukung individu dalam meningkatkan aspek-

aspek harga diri pada dirinya, seperti penjelasan Coopersmith (Hill, 2003)

individu yang sehat secara emosional akan baik tingkat harga dirinya, karena

kemampuan dalam mengontrol dirinya sendiri. Salah satu ciri individu dengan

harga diri baik ialah memiliki aspek power atau kekuatan untuk mengendalikan

diri sendiri dan juga lingkungannya.

Tahap forgiveness therapy yang kedua ialah tahap memutuskan untuk

memaafkan. Memilih untuk melakukan pemaafan bukanlah pilihan yang mudah

bagi individu yang mengalami ketidakadilan dalam kehidupannya seperti istri

dengan KDRT, namun bukan berarti tidak dapat melakukannya, hanya saja

membutuhkan proses dalam melakukan pemaafan tersebut. Enright (Enright &

North, 1998) menjelaskan bahwa individu yang memutuskan untuk memaafkan

lebih merasakan perasaan yang positif dan tidak berfikir untuk membalas dendam

pada objek yang menyakiti. Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa

keputusan dan sikap seseorang untuk memaafkan memiliki dampak yang positif

terhadap emosi dan perasaanya, sehingga tidak berniat untuk membalas rasa

sakitnya. Hal ini dapat menumbuhkan aspek virtue (kebajikan), di mana seseorang

melakukan hal-hal baik yang sesuai dengan norma, nilai dan aturan agama

(Coopersmith dalam Mruk, 2006).

62

Pengambilan keputusan dan komitmen dalam tahap memutuskan juga

melatih subjek untuk dapat menentukan sikap dan mengambil keputusan untuk

dirinya sendiri. Individu dengan harga diri rendah seperti yang dijelaskan oleh

Coopersmith (Mruk, 2006) cenderung tidak dapat mengambil sikap dan keputusan

untuk dirinya sendiri, serta mengalami kesulitan dalam mengontrol tindakan dan

perilakunya dan dunia di luarnya. Oleh sebab itu dengan melakukan tahap

memutuskan untuk memaafkan, subjek dilatih untuk mengambil keputusan secara

mandiri terhadap apa yang akan dia lakukan terhadap pelaku atau peristiwa yang

menyakitinya. Hal ini mendukung tumbuhnya aspek power dan competence pada

diri subjek yakni memiliki kemampuan untuk menentukan sikap dan keputusan

secara mandiri, sehingga subjek merasa yakin dengan dirinya sendiri dan

menumbuhkan kembali harga dirinya (Coopersmith, dalam Mruk, 2006).

Kemudian tahap yang ketiga yakni tahap bekerja dengan pemaafan, tahap

ini merupakan tahap dimana individu akan bekerja dengan cara merubah kognitif

atau pikiran, emosi dan perasaan serta perilaku yang selama ini ada pada dirinya.

Selain mengalami reaksi negatif pada dimensi emosional, individu yang

mengalami penurunan harga diri yang disebabkan ketidakadilan atau peristiwa

negatif juga mengalami reaksi negatif pada dimensi kognitif/pikiran dan dimensi

perilaku (Mruk, 2006). Tahapan forgiveness therapy juga menitikberatkan

treatmen untuk perubahan reaksi negatif pada dimensi kognitif dan perilaku.

Thompson dkk (2005) menjelaskan bahwa melalui forgiveness therapy, individu

akan berlatih untuk mengubah emosi, pikiran dan perilaku negatifnya terhadap

kekecewaan, kemarahan ataupun luka hati yang dirasakan (diri sendiri atau orang

63

lain atau situasi di luar kendali) serta respon terhadapnya. Individu yang

memaafkan akan mengurangi rasa sakit hati dan ketidakadilan dengan berusaha

untuk mengurangi atau bahkan merubah reaksi kognitif, afeksi, dan perilaku

negatif yang berlangsung untuk selanjutnya memaafkan diri sendiri, orang lain

dan situasi tersebut.

Warthington (dalam, Reed & Enright, 2005) mengatakan forgiveness

mencakup tiga aspek dalam diri individu, yaitu afektif (berupa emosi positif

terhadap orang yang menyakiti), kognitif (mencakup pikiran positif terhadap

orang-orang yang menyakiti), dan perilaku (tidak lagi menghindari orang yang

berhubungan dengan rasa sakit ataupun menunjukkan perilaku damai kepada

orang tersebut). Ketiga aspek tersebut sangat sesuai dengan dimensi pada harga

diri, maka ketika individu telah melakukan proses pemaafan dirinya akan

mengalami perubahan emosi, kognitif dan perilaku. Begitu juga yang diharapkan

terjadi pada istri korban KDRT yang memiliki harga diri rendah, dapat merasakan

emosi positif pada pelaku, peristiwa atau pada diri sendiri, memunculkan pikiran

positif pada pelaku, peristiwa dan juga diri sendiri, serta tidak lagi menghindari

pelaku atau hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa menyakitkan.

Tahap yang ke 4 dari proses forgiveness therapy ialah tahap

memperdalam. Setelah menjalani proses memaafkan, subjek tentunya akan

memikirkan dan mengalami hambatan yang bisa saja mengganggu bahkan

menghentikan usahanya dalam baik dalam proses pemaafan atau dalam mencapai

tujuan hidupnya nanti. Oleh sebab itu pada tahap ini subjek diajarkan untuk

berlatih teknik koping atau pola perilaku baru, yang dapat digunakan ketika

64

dirinya mengalami hambatan-hambatan. Teknik koping ini tidak hanya membantu

subjek dalam mengatasi hambatan, namun juga melatih subjek untuk

menggunakan pola perilaku baru yang lebih adaptif, menumbuhkan

kemampuannya dalam mengolah kekurangan, hambatan dan masalah yang

dihadapinya. Hal ini dapat meningkatkan aspek power dan competence pada diri

subjek, dengan ciri-ciri yang dijabarkan oleh Coopersmith (Mruk, 2006) yakni

menyukai perubahan dan tugas baru, menyukai tantangan dan tidak cepat bingung

bila menghadapi hambatan dan masalah, mengetahui keterbatasannya namun tetap

berharap dan berusaha untuk berkembang.

Tahapan dalam forgiveness therapy memberikan kesempatan kepada

individu untuk mempelajari respon-repson dan perilaku baru yang lebih adaptif.

Hal ini sesuai dengan pandangan Skinner (Alwisol, 2004) mengenai teori belajar

di dalam pendekatan perilaku, teori belajar ialah bagaimana individu memiliki

tingkah laku baru, menjadi terampil, menjadi lebih tahu. Kehidupan yang terus-

menerus dihadapkan dengan situasi eksternal yang baru, dan individu harus

belajar merespon situasi baru tersebut menggunakan respon lama atau memakai

respon baru yang dipelajari. Kesalahan dalam merespon situasi dapat

menimbulkan berbagai masalah baru seperti penurunan harga diri pada istri

KDRT. Istri dengan KDRT merespon kekerasan yang dialaminya dengan cara

yang salah, seperti menyerah, menerima begitu saja, menghindari atau lari dari

masalah dengan menyimpan berbagai masalah baru. Oleh sebab itu di dalam

forgiveness therapy istri dengan KDRT melakukan proses belajar untuk

65

menemukan cara respon dan pola perilaku baru yang lebih adaptif dan efektif

untuk merespon situasi yang dialaminya.

Sebagai tahap terakhir dari proses pemaafan, tahap ini juga membantu

subjek untuk menyadari apa yang telah dilakukannya pada tahap sebelumnya dan

menyadari berkurangnya perasaan, pikiran dan perilaku negatif. Setelah subjek

menyadari bahwa dirinya telah terbebas dari kungkungan emosional dan

menyadari adanya peningkatan positif pada perasaan, pikiran dan perilaku, maka

subjek dapat mulai menentukan tujuan dan harapan hidup yang baru. Menentukan

tujuan dan harapan hidup yang baru menandakan bahwa subjek memiliki orientasi

masa depan, optimis dan mengharapkan adanya pertumbuhan dalam dirinya. Hal

ini sesuai dengan ciri-ciri individu dengan harga diri tinggi yang dijabarkan

Coopersmith (Mruk, 2006) yakni memiliki tujuan dan harapan hidup, optimis

dalam melakukan segala hal dan mengharapkan adanya perubahan dan

pertumbuhan dalam dirinya.

Tahapan dalam forgiveness therapy mendukung subjek untuk tumbuh dan

berkembang menjadi individu yang memiliki harga diri tinggi, selain itu di dalam

pelaksanaan terapi juga terdapat hal-hal yang mendukung subjek untuk

menumbuhkan kembali aspek significance (keberartian). Seperti adanya dukungan

dan penerimaan tanpa syarat dari terapis dan sesama subjek, adanya sesi berbagi

pengalaman dan memberikan umpan balik yang membuat subjek dapat merasakan

bahwa bukan hanya dirinya yang mengalami ketidakadilan. Penguatan dan

motivasi dan terapis dan sesama subjek juga dapat menumbuhkan perasaan

66

berharga dan berarti, hal ini tentu sangat mendukung peningkatan harga diri pada

subjek.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa forgiveness

therapy merupakan intervensi yang tepat untuk membantu istri korban KDRT

dalam membebaskan diri dari kungkungan emosi negatif dan menumbuhkan

emosi, kognisi dan perilaku yang lebih positif baik terhadap diri sendiri, pelaku

dan situasi yang dialami. Ketika individu dapat merasakan berpikir dan

berperilaku positif terhadap dirinya sendiri, pelaku dan kondisi tersebut maka ia

dapat mulai menilai dan meyakini (core belief) bahwa dirinya dan hidupnya

merupakan suatu hal yang sangat berharga terlepas dari kekurangan yang dia

miliki, kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan pelaku dan kondisi tidak

menyenangkan yang dihadapi.

Bagan 1 berikut menjelaskan alur pemikiran forgiveness therapy untuk

meningkatkan harga diri pada istri yang mengalami kekerasan dalam rumah

tangga:

67

Bagan 1. Alur pemikiran forgiveness therapy

untuk peningkatan harga diri

Pengalaman KDRT

- Verbal

- Fisik

- Ekonomi

- Seksual

Core belief

- Meyakini diri tidak

mampu

- Merasa tidak berdaya dan

lemah

- Merasa tidak berarti dan

berharga

- Meyakini diri tidak baik

HARGA DIRI RENDAH

Forgiveness therapy

1. Tahap membongkar dan menyingkap

emosi negatif

- Menumbuhkan emosi dan perasaan

baru yang positif, tenang dan nyaman

2. Tahap memutuskan untuk memaafkan

- Kemampuan mengambil keputusan

dan sikap untuk dirinya sendiri

- Menumbuhkan kepercayaan diri dan

sikap baik pada orang yang menyakiti

3. Tahap bekerja dengan pemaafan, merubah

pikiran, afektif dan perilaku

- Merubah keyakinan negatif terhadap

diri sendiri, penilaian terhadap orang

lain dan situasi yang dihadapi

- Menumbuhkan sikap optimis

- Mempelajari perilaku yang lebih

adaptif dan positif

4. Tahap memperdalam

- Menyadari bahwa dirinya dapat

terbebas dari kungkungan emosi

negatif, dapat mengambil sikap dan

perilaku yang lebih baik

- Menumbuhkan keyakinan dan cara

pandang baru terhadap masa depan

HARGA DIRI MENINGKAT

1. Power

- Dapat mengontrol tindakan dan perilakunya, dan dunia di luar dirinya

- Dapat memberikan dan menerima kritikan dan masukan dari orang lain

2. Significance

- Menganggap dirinya sebagai orang yang berharga, berarti, menerima dan merasa puas

dengan dirinya

- Memiliki hubungan sosial yang baik

3. Virtue

- Bersikap demokratis serta orientasi yang lebih realistis

4. Competence

- Merasa yakin dengan kemampuan diri, dan dapat mengekspresikan dirinya dimanapun

dan pada siapapun

- Menyukai hal yang baru, menyukai tantangan dan dapat menyesuaikan diri dengan hal

tersebut.

Membentuk Core belief baru

- Yakin dengan kemampuan diri

- Merasa berarti dan berharga

untuk diri sendiri

- Yakin dengan kekuatan dan

kelebihan yang dimiliki

- Menilai dan memandang baik

pada diri sendiri, orang lain

dan situasi yang dihadapi

68

D. Landasan teori

Asumsi dasar pendekatan kognitif perilakuan ini ialah hubungan timbal

balik antara pikiran dan keyakinan yang dimiliki individu dengan emosi dan

perilakunya (Nevid dkk, 2003). Pendekatan ini memandang perilaku dan kondisi

abnormal pada individu sebagai akibat yang ditimbulkan dari keyakinan yang

irasional, di mana pola-pola pikiran yang terdistorsi atau tidak rasional dapat

menyebabkan masalah emosional dan perilaku yang tidak adaptif. Kemudian para

teoritikus kognitif secara khusus meyakini bahwa interpretasi individu terhadap

peristiwa dalam kehidupannya, dan bukan peristiwa itu sendiri, menentukan

keadaan emosional individu tersebut (Nevid dkk, 2003). Pendekatan ini dapat

digunakan untuk menjelaskan dinamika terbentuknya harga diri, dan intervensi

yang sesuai untuk peningkatan harga diri pada istri dengan KDRT.

Harga diri (Self esteem) menurut Coopersmith (Mruk, 2006) merupakan

evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama

mengenai sikap menerima atau menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan

individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan.

Secara singkat self esteem adalah “personal judgment” mengenai perasaan

berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap

dirinya. Secara umum harga diri merupakan suatu komponen evaluatif dari

konsep diri, representasi diri yang lebih luas sehingga mencakup aspek kognitif

dan behavior yang bersifat menilai dan efektif (Blascovich & Tomaka, dalam

Mruk, 2006). Atwater (Hill, 2003) mengemukakan, sebenarnya harga diri adalah

cara seseorang merasakan dirinya sendiri, di mana seseorang akan menilai tentang

69

dirinya sehingga mempengaruhi perilaku dan kehidupannya sehari-hari.

Kemudian Rosenbreg (Mruk, 2006) mendefinisikan harga diri menjadi tiga

bagian, pertama harga diri termasuk kedalam komponen afektif dan kognitif,

kedua harga diri merupakan komponen yang mampu dievaluasi, dan ketiga harga

diri bukan hanya persoalan pribadi ataupun psikologis tetapi juga interaksi sosial.

Penurunan harga diri yang dialami oleh istri dengan KDRT merupakan

bentuk evaluasi dan penilaian negatif terhadap dirinya sendiri, hal ini disebabkan

karena peristiwa negatif yang dialaminya berupa kekerasan dan pengabaian dari

suaminya. Peristiwa negatif yang terjadi pada istri dengan KDRT merupakan

peristiwa yang menyakitkan bagi korban, pelanggaran hak-hak korban oleh pelaku

dan tidak diperolehnya perasaan aman, diperhatikan, kasih sayang, penghargaan

dan penilaian yang positif dari pelaku sebagai orang terdekat korban sehingga

korban mengalami penurunan harga diri (Paula & Shelly, 2006). Istri dengan

KDRT melakukan proses evaluasi dan penilaian terhadap dirinya berdasarkan

penilaian, sikap dan perilaku yang diterima dari suami dan lingkungan di

sekitarnya, ketika suami menilai istri sebagai individu yang tidak berdaya, lemah

dan pantas mendapatkan kekerasan, maka istri dengan KDRT juga melakukan

evaluasi dan penilaian yang demikian kepada dirinya sendiri.

Proses evaluasi yang negatif pada istri dengan KDRT tidak hanya

mempengaruhi cara pandang dan keyakinannya terhadap diri sendiri dan dunia

disekitarnya, namun juga mempengaruhi emosinya secara keseluruhan dan pola

perilakunya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan penjelasan mengenai pendekatan

kognitif perilakuan yang digunakan, sehingga dapat dijelaskan bahwa istri yang

70

mengalami KDRT mengalami proses evaluasi diri yang salah disebabkan

perlakuan negatif dari suami. Proses evaluasi diri individu berdasarkan

pengalaman yang dialami dalam hidupnya membentuk keyakinan dasar atau core

belief (Nevid, 2003).

Keyakinan dasar sebagai komponen kognitif mempengaruhi perubahan

emosi dan perilakunya, sehingga istri dengan KDRT mengalami reaksi emosional

yang buruk seperti rasa marah, benci, sakit hati dan kekecewaan yang mendalam.

Kemudian terbentuknya pola perilaku yang tidak adaptif seperti tidak percaya

dengan diri sendiri, bersikap pesimis dan putus asa, menarik diri dari lingkungan

sosial serta kehilangan kemampuan berkembang dan menghadapi masalah. Selain

menilai negatif pada diri sendiri, istri dengan KDRT juga menilai dan bersikap

negatif terhadap orang lain dan peristiwa-peristiwa yang dialaminya Enright

(Reed & Enright, 2006). Istri dengan KDRT yang mengalami perubahan pada sisi

kognitif, emosi dan perilaku kemudian menghilangkan aspek-aspek harga diri

pada dirinya. Hal ini perlu mendapatkan intervensi yang tepat dan sesuai yang

dapat merubah kognitif, emosi dan perilaku dengan sekaligus, untuk

menumbuhkan kembali aspek-aspek harga dirinya.

Penggunaan forgiveness therapy dirasakan tepat untuk membantu istri

dengan KDRT melakukan proses evaluasi yang positif serta dapat terbebas dari

kungkungan emosional yang selama ini dirasakannya, sehingga istri dengan

KDRT mampu meningkatkan harga dirinya dan mampu mengembangkan

kemampuan pribadinya. Forgiveness therapy merupakan salah satu terapi yang

menggunakan pendekatan kognitif perilakuan, di mana rangkaian proses

71

pemaafan lebih banyak menggunakan pendekatan kognitif perilakuan yang

menghubungkan prinsip pemrosesan informasi dan teori belajar (Enright,

Freedman & Reque, dalam Enright & North, 1998).

Pendekatan kognitif perilakuan menjadi pendekatan yang paling empiris

untuk menghasilkan metode intervensi untuk harga diri. Teknik-teknik di

dalamnya dapat meningkatkan harga diri dalam berbagai cara. Pertama, terapis

menginterupsi kaitan antara pikiran, perasaan dan perilaku individu yang negatif,

yang dapat mempertahankan harga diri yang rendah. Kedua, membuat individu

merasa memiliki kelebihan dan kemampuan. Ketiga, melatih kebiasaan-kebiasaan

baru sehingga terbentuk hubungan antara pikiran, pengalaman dan tindakan yang

lebih baik (Mruk, 2006).

Tahapan forgiveness therapy mengacu pada tahapan pemaafan oleh

Enright, Freedman & Reque (Enright & North, 1998) yakni tahapan membongkar

emosi negatif, tahap memutuskan untuk memaafkan, tahap bekerja dengan

pemaafan dan tahap memperdalam. Forgiveness therapy dengan pendekatan

kognitif perilakuan mengawali tahapannya dengan penggalian dan identifikasi

emosi negatif, menurut Enright (Enright & North, 1998) individu yang dapat

mengidentifikasi emosi-emosi negatifnya dan merasa lebih nyaman akan lebih

mudah melakukan tahapan-tahapan lain dalam pemaafan.

Selain pembongkaran emosi negatif, forgiveness therapy juga

menitikberatkan pada perubahan cara pandang dan rekonstruksi kognitif, serta

proses belajar untuk pembentukan pola perilaku baru yang lebih adaptif. Dengan

pemberian forgiveness therapy istri dengan KDRT diharapkan dapat

72

mengidentifikasikan emosi-emosi negatif terlebih dahulu dan mengetahui

pengaruh dan hubungannya dengan cara berpikir dan perilaku yang muncul.

Kemudian dapat menumbuhkan kesadaran akan kelebihan dan kemampuan yang

dimiliki serta melatih kebiasan-kebiasaan baru hingga membentuk pikiran, emosi

dan perilaku yang lebih baik. Mampu memberikan penilaian dan pemaknaan yang

positif terhadap dirinya sendiri, orang yang menjadi pelaku dan kondisi yang

dialami dan mengalami perubahan pada aspek-aspek harga diri yang lebih positif.

73

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Ada perbedaan tingkat harga diri antara kelompok eksperimen yang

mendapatkan forgiveness therapy dengan kelompok kontrol yang tidak

mendapatkan forgiveness therapy. Skor harga diri pada kelompok

eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.

2. Pada kelompok eksperimen, skor harga diri pasca pemberian forgiveness

therapy pada istri dengan kekerasan dalam rumah tangga lebih tinggi

daripada skor harga diri sebelum pemberian forgiveness therapy.