Upload
dangbao
View
233
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Governance
Konsep governance berangkat dari istilah government. Government atau
pemerintah merupakan istilah yang digunakan pada organisasi atau lembaga yang
menyelenggarakan kekuasaan pemerintah pada suatu negara. Konsep government ini
dapat dikatakan sebagai konsep lama dalam penyelenggaraan pemerintahan karaena
hanya menekankan pada pemerintah (lembaga/institusi pemerintah) sebagai pengatur
dan pelaksana tunggal penyelenggaraan pemerintah. Oleh karena itu muncullah
konsep governance yang menggantikan konsep government dalam aspek maupun
kajian pemerintahan. Selanjutnya governance berasal dari kat “govern” dengan
definisi yakni mengambil peran yang lebih besar, yang terdiri dari semua proses,
aturan dan lembaga yang memungkinkan pengelolaan dan pengendalian masalah-
masalah kolektif masyarakat. Dengan demikian secara luas, governance termasuk
totalitas dari semua lembaga dan unsur masyarakat, baik pemerintah maupun non-
pemerintah.37
Untuk lebih jelasnya dalam memahami pergeseran makna antara government
dan governance, Leach dan Percy Smith dalam Hetifah mengungkapkan perbedaan
terkait dua konsep tersebut sebagai berikut:
bahwa goverment mengandung pengertian politisi dan pemerintah yang
mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan dan sementara sisa dari
elemen sebuah negara itu bersifat pasif. Sementara governance meleburkan
37 Dwiyanto, Agus. 2015. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif dan Kolaboratif.
Yogyakarta: UGM Press. Hal 1.
26
makna tersebut, dengan merenggangkan kekakuan antara pemerintah dan
yang diperintah (bagian negara yang pasif), sehingga bagian yang pasif
tersebut memiliki peranan dan andil dari bagian government.38
Berdasarkan pembedaan antara konsep government dan governance diatas,
dapat dinyatakan bahwa konsep government secara makna atau pengertian lebih
mengacu atau mengarah kepada politisi atau lembaga pemerintah. Government
mengarah kepada lembaga pemerintah atau birokrasi itu sendiri yang bertugas
memberikan pelayan kepada masyarakat. Selain itu, pada government masyarakat
hanya bersikap pasif atau hanya semata-mata sebagai pihak yang menerima
pelayanan begitu saja. Berbeda dengan government, governance disebutkan lebih
lunak, dalam artian tidak hanya lembaga pemerintahan/birokrasi yang mememiliki
peran dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi juga memberikan ruang dan
andil dari masyarakat dan pihak lain non-pemerintah.
Sebagai suatu konsep, governance memiliki beragam pemaknaan yang
diungkapkan oleh beberapa ahli sebagai berikut:
Dwiyanto menekankan mengenai konsep governance adalah keterlibatan
aktor-aktor di luar pemerintah yang merespon masalah publik. Praktik
governance ini, bertujuan dalam rangka menyediakan pelayanan publik
dengan melibatkan aktor dari unsur masyarakat dan mekanisme pasar.39
Menurut Chema dalam Keban, governance merupakan suatu sistem nilai,
kebijakan, dan kelembagaan dimana urusan-urusan ekonomi, sosial, politik
dikelola melalui interaksi masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta.40
Pendapat lebih signifikan dikemukan oleh Teguh Kurniawan yang
menerangkan bahwa konsep governance merupakan sebuah proses kebijakan
38 Hetifah Sj. 2009. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal
2. 39 Dwiyanto, Agus. 2008. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Hal. 22 40 Keban, Jeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu.
Yogyakarta : Penerbit Gava Media. Hal 38
27
yang dilaksanakan dengan melibatkan pemerintah, sektor private (swasta)
maupun masyarakat.41
Mengacu pada beberapa pendapat-pendapat diatas menunjukkan bahwa
governance merupakan model kepemerintahan yang sangat dinamis. Dengan kata
lain, governance membuka ruang untuk keterlibatan atau partisipasi sektor lain
dalam kepemerintahan. Pemerintah bukanlah aktor yang tunggal atau dominan dalam
kepemerintahan. Selain itu, pendapat tersebut menjelaskan bahwa terjadi
pengurangan terhadap otoritas pemerintah terkait dengan urusan publik. Pemaknaan
tesebut dapat ditinjau dari suaru kondisi yang terjadi ketika pemerintah dalam
penyelenggaraan urusan-urusan publik mengalami permasalahan di luar
kemampuannya, sehingga dalam penangan permasalahn tersebut perlu melibatkan
pihak lain yang memiliki kapasitas atau kemampuan lebih dan tentunya dapat
membantu pemerintah. kondisi tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh keterbatasan
kapabilitas pemerintah dalam hal sumberdaya dan finansial.
Bagan 2.1 Aktor Governance
Sumber : Abidarin Rosidi dan Anggraeni Fajriani, 2013
41 Kurniawan, Teguh. 2007. Pergeseran, Paradigma Administrasi Publik; Dari Perilaku Model Klasik
Dan NPM Ke Good Governance. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. No. 23A/Dikti/KEP/2004. ISSN.
141-948X, Vol. 7. Hal. 16-17
Pemerintah
Swasta Masyarakat
28
Rosidi dan Fajriani memetakan bahwa terdapat 3 aktor yang berpengaruh
dalam proses governance.42 Tiga aktor tersebut yakni pemerintah, swasta, dan
masyarakat. ketiga aktor tersebut saling berkolaborasi dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan. Pemerintah tidak lagi menjadi aktor tunggal yang memonopoli
penyelenggaraan pemerintah. melainkan memerlukan aktor lain karena karena
keterbatasan kemampuan pemerintah. Swasta dengan dukungan finansialnya harus
mampu membantu pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Swasta dalam
hal ini tidak diperbolehkan untuk mengurusi kepentingannya sendiri yakni hanya
semata-mata mencari keuntungan pribadi.
Selain itu, masyarakat juga harus berperan aktif. Masyarakat dan diberikan
ruang. Akan percuma apabila sebenarnya masyarakat memiliki niatan yang kuat
untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi tidak diberikan
ruang. Keterlibatan masyarakat ini mampu membuat masyarakat yang mandiri dan
meningkatkan kualitas masyarakat ke depannya.
B. Collaborative Governance
1. Definisi dan Konsep Collaborative Governance
Salah satu tipe dari konsep penyelenggaraan pemerintahan atau governance
yakni disebut konsep collaborative governance atau penyelenggaraan pemerintahan
yang kolaboratif. Menurut pendapat Ansell dan Grash “Collaborative governance is
therefore a type of governance in which public and private actor work collectively in
distinctive way, using particular processes, to establish laws and rules for the
42Abiradin Rosidi dkk. 2013. Reinventing Local Goverment, Demokrasi dan Reformasi Pelayanan
Publik. Yogyakarta: Cv. Andi Offset. Hal. 10
29
provision of public goods”.43 Collaborative Governance dapat dikatakan sebagai
salah satu dari tipe governance. Konsep ini menyatakan akan pentingnya suatu
kondisi dimana aktor publik dan aktor privat (bisnis) bekerja sama dengan cara dan
proses terentu yang nantinya akan menghasilkan produk hukum, aturan, dan
kebijakan yang tepat untuk publik atau,masyarakat. Konsep ini menunujukkan bahwa
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aktor publik yaitu pemerintah dan aktor privat
yaitu organisasi bisnis atau perusahaan bukanlah suatau yang terpisah dan bekerja
secara sendiri-sendiri melainkan bekerja bersama demi kepentingan masyarakat.
Kolaborasi dipahami sebagai kerjasama antar aktor, antar organisasi atau antar
institusi dalam rangka pencapain tujuan yang tidak bisa dicapai atau dilakukan secara
independent. Dalam bahasa Indonesia, istilah kerjasama dan kolaborasi masih
digunakan secara bergantian dan belum ada upaya untuk menunjukkan perbedaan dan
kedalaman makna dari istilah tersebut.Secara definisi, para ahli mendefinisikan
collaborative governance dalam beberpa makna yang ide utamanya sama, yakni
adanya kolaborasi antara sektor publik dan non publik atau privat dalam
penyelenggaraan pemerintahan atau governance. Ansell dan Gash mendefinisikan
collaborative governance sebagai berikut ini:
A Governing arrangement where one or more public agencies directly engage
non-state stakeholders in a collective decision-making process tahat is formal,
consensud oriented, and deliberative and that aims to make or implement
public policy or manage public program or assets. (Collaborative governance
adalah serangkainpengaturan dimana satu atau lebih lembaga publik yang
melibatkan secara langsung stakeholder non-state di dalam proses pembuatan
kebijakan yang bersifat formal, berorientasi consensus dan deliberative yang
43 Ansell, Chriss dan Alison Gash. 2 007. Collaborative Govetnance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Administration Research and Theory. Hal 545
30
bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik atau
mengatur program atau aset.)44
Disamping pendapat tersebut, pendapat lain mengenai collaborative
governance dikemukakan Agranoff dan McGuire yang menyatakan sebagai berikut:
In Particular, collaborative governance has put much emphasis on voluntary
collaboration and horizontal relationships among multi sectoral participants,
since demands from clents often transcend the capacity and role of a single
public organization, and require interaction among a wide range
organization that are linked and engage in public activities. Collaboration is
necessary to enable governance to be structured so as to effectively meet the
increasing demand that arises from managing across governmental,
organizational, and sectoral boundaries. (secara khusus, collaborative
gvernance telah menempatkan banyak penekanan pada kolaborasi horisontal
sukarela dan hubungan horizontal anatara partisipan multi sektoral, karena
tuntutan dari klien sering melampaui kapasitas dan peran organisasi publik
tunggal, dan membutuhkan interaksi di antara berbagai organisasi yang terkait
dan terlibat dalam kegiatan publik. kolaborasi diperlukan untuk
memungkinkan governance menjadi terstruktur sehingga efektif memenuhi
meningkatnya permintaan yang timbul dari pengelolaan lintas pemerintah,
organisasi, dan batas sektoral).45
Berdasarkan pada pendefinisian oleh dua ahli tersebut, sebenarnya telah
mendefinisakan collaborative governance dalam gagasan yang sama. Akan tetapi
pada penjelasan Ansell dan Gash dapat dlihat bahwa aspek kolaborasi
penyelenggaraan pemerintah lebih pada aspek perumusan dan impletasi kebijakan
publik atau program dari lembaga publik, dalam hal ini yakni pemerintah. Selain itu,
dalam praktiknya kolaboasi penyelenggaraan pemerintah haruslah menjunjung tinggi
nilai deliberatif atau musyawarah dan konsensus antar tiap aktor atau stakeholder ya
terlbat dalam kolaborasi tersebut.
44 Ibid Ansell, Chriss dan Alison Gash. Hal 544 45 Chang, Hyun Joo. 2009. Collaborative Governance In Welfare Service Delivery : Focusing On Local Welfare in Korea.Internasional Review of Publik Administration Vol. Hal 76-77
31
Sedangkan pada gagasan Agranoff dan McGuire menunjukkan bahwa
collaborative governance atau kolaborasi penyeggaran pemerintahan dalam lingkup
yang lebih general yakni penyelenggraan pemerintahan secara keseluruhan.
Collaborative governance dalam hal ini lebih menitik beratkan pada aspek sukarela
dalam praktik kolaborasi. Aspek kesukarelaan tersebut diharapkan setiap aktor yang
terlibat dalam kolaborasi bekerja secara optimal untuk tercapainya tujuan dalam
kolaborasi. Sehingga program atau kebijakan yang yang dilaksanakan akan terksana
lebih efektif karna melibatkan relasi oganisasi atau institusi.
2. Alasan Melaksanakan Collaborative Governance
Kolaborasi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan suatu hal yang
dibutuhkan dalam praktik pemerintahan sekarang ini. Ada berbagai alasan yang
melatarbelakangi adanya kolaborasi tiap lembaga atau institusi. Gal ini dapat dilihat
dari pendapat berikut ini:
Collaborative governance tidak muncul secara tiba-tiba karena hal tersebut
ada disebabkan oleh inisiatif dari berbagai pihak yang mendorong untuk
dilakukannya kerjasama dan koordinasi dalam menyelesaikan masalah yang
sedang dihadapi oleh publik.46 Collaborative Governance atau kolaborasi
penyelenggaraan pemerintahan muncul sebagai respon atas kegagalan
implementasi dan tingginya biaya dan adanya politisasi terhadap regulasi.47
Lebih positif lagi bahwa orang mungkin berpendapat bahwa kecenderungan
ke arah kolaborasi muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
kapasitas institusi atau lembaga.48
Pendapat di atas menyatakan bahwa collaborative governance muncul tidak
begitu saja melainkan dilatarbelakangi berbagai aspek. munculnya collaborative
46 Junaidi. 2015. Collaborative Governance dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Listrik di Kota Tanjungpinang. Naskah Publikasi Fisip Umrah. Hal 8 47 Ibid Ansell, Chriss dan Alison Gash. Hal 544 48 Ibid.
32
governance dapat dilihat dari aspek kebutuhan dari institusi untuk melakukan
kerjasama antarlembaga, karena keterbatasan kemampuan tiap lembaga untuk
melakukan program/kegiatannya sendiri. Selain itu, kolaborasi juga muncul lantaran
keterbatasan dana anggaran dari suatu lembaga, sehingga dengan adanya kolaborasi
anggaran tidak hanya berasal dari satu lembaga saja, tetapi lembaga lain yang terlibat
dalam kolaborasi. Kolaborasi pun juga bisa dikatakan sebagai aspek perkembangan
dari ilmu pemerintahan, terutama dengan munculnya konsep governance yang
menekankan keterlibatan beberapa aktor seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintah. Kolaborasi juga dapat sebagai alternatif dalam
mengembangkan keterlibatan kelompok kepentingan dan adanya kegagalan dalam
manajerialisme salah satu institusi atau organisasi. Kompleksitas yang muncul pada
peekembangannya berakibat pada kondisi saling ketergantungan antar institusi dan
berakibat pada meningkatnya permintaan akan kolaborasi.
Selanjutnya penjelasan lainnya yang lebih spesifik dikemukan oleh Ansell dan
Grash dalam Sudarmo bahwa collaborative governance muncul secara adaptif atau
dengan sengaja diciptakan secara sadar karena alasan-alasan dan pentingnya konsep
ini dilakukan sebagai berikut ini:
(1) kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi, (2) konflik antar
kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam, dan (3) upaya
mencarai cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik. (4) Kegagalan
implementasi kebijakan di tataran lapangan. (5) Ketidakmampuan kelompok-
kelompok, terutama karena pemisahan rezim-rezim kekuasaan untuk
menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk menghambat keputusan. (6)
Mobilisasi kelompok kepentingan. (7) Tingginya biaya dan politisasi
regulasi.49
49 Junaidi. 2015. Collaborative Governance Dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Listrik di Kota Tanjung Pinang Naskah Publikasi Fisip Umrah. Hal 10
33
Pendapat diatas menyatakan bahwa kolaborasi dikakukan karena
kompleksitas adanya saling ketergantungan dari tiap institusi. Kolaborasi juga
dianggap munucul akibat beragamnya kepentingan antar tiap kelompok sehingga
memunculkan adanya suatu kolaborasi. Sehingga dengan dilakukannya kolaborasi
dapat memobilisasi kelompok-kelompok kepentingan. Kolaborasi dianggap menjadi
solusi untuk buruknya suatu implementasi program atau kegiatan yang dilakukan oleh
satu lembaga saja, karena keterbatasan lembaga tersebut. Selain ini kolaborasi juga
dianggap sebagai solusi untuk mengatasi tingginya biaya dari suatu program atau
kegiatan.
3. Dimensi-Dimensi dalam Collaborattive Governance
Kolaborasi yang efektif diupayakan untuk pencapaian sasaran klien,
meningkatkan hubungan-hubungan antar organisasi dan pengembangan organisasi.
O’Leary, Gazley, McGuire and Bingham dalam Junadi menyebutkan mengenai tiga
dimensi yang berbeda ini merefleksikan jenis-jenis sasaran organisasi yang tidak
sama yang dicari dari kolaborasi antar organisasi sebagai berikut ini:.
“Dimensi pertama, pencapaian sasaran klien menunjuk pada tujuan utama dari
sebagian usaha sektor publik untuk meningkatkan kolaborasi, yaitu
mendapatkan sumber daya yang akan meningkatkan pelayanan. Kedua,
hubungan antar organisasi ditingkatkan untuk menangkap kedua hal yakni
manfaat kolektif dan potensi kolaborasi organisasi. Jika organisasi dalam
kegiatan kolaboratif sama baiknya, hal ini dapat meningkatkan modal social
pada masyarakat yang dilayani. Hubungan yang lebih baik antara organisasi
bekerja untuk meningkatkan kesempatan memecahkan masalah dan membuka
jalan bagi hubungan masa depan yang lebih baik. Dimensi ketiga,
pengembangan organisasi sebagian besar langsung menguntungkan
organisasi. Jika kolaborasi meningkatkan pengembangan organisasi, hal ini
dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bersaing secara efektif atas kontrak
34
masa depan dan dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencapai misi
dan tujuan.”50
Dalam konteks pengembangan pariwisata, dimensi-dimensi kolaborasi ini
perlu dijadikan acuan dalam pelaksanaan praktik kolaborasi. Dengan adanya
pelaksanaan kolaborasi, maka ada upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dari
suatu objek pariwisata karena adanya pengembangan dalam aspek sarana dan
prasarana pariwisata yang memang ditujukan untuk kenyamanan para wisatwan atau
pengunjung. Kolaborasi dalam pengembangan pariwisata pun juga dilakukan dalam
upaya menjaga hubungan antar organisasi atau institusi. Karena memang dalam
praktiknya kolaborasi membutuhkan lebih dari satu organisasi atau institusi yang
terlibat. Hubungan antar organisasi dalam kolaborasi dapat pula memcahkan masalah
pengembangan pariwisata yang dimungkinkan tidak mampu diselesaikan oleh satu
organisasi atau instansi semata, akan tetapi dimungkinkan dapat terselesaiakan oleh
peran institusi atau organisasi lain. Pelaksanaan kolaborasi ini pun akan saling
menguntungakan tiap organisasi atau institusi yang terlibat dalam pengembangan
pariwisata. Hal ini lantaran tiap intitusi atau organisasi saling mengembangkan
kapasitasnya dalam daya tarik kepariwisataannya dan mampu mecapai tujuannya
dalam pengembangan pariwisata.
C. Pariwisata
1. Pengertian
Secara etimologi pariwisata terdiri dari dua suku kata yaitu “pari” dan
“wisata” yang mana dapat dijelaskan bahwa pari artinya banyak, berkali-kali, dan
50 Ibid Hal 14
35
wisata dapat diartikan sebagai perjalanan dan berpergian. Atas dasar tersebut
sehingga pariwisata dapat diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan secara berkali-
kali dari suatu tempat ke tempat yang lain dalam waktu yang cukup lama51. Musanef
menerangkan bahwa pariwisata merupakan kegiatan berpergian yang bertujuan untuk
rekreasi dan bertamsaya52. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa parawisata
dapat dimaknai sebagai kegiatan yang sifatnya rekreasi dan bertamasya yang
dilakukan oleh individu atau banyak orang untuk melakukan perjalanan sari satu
tempat ke tempat yang lainnya demi tujuan menikmati keindahan tempat yang
dikunjungi dan bersenang-senang.
Sebagai suatu konsep, pariwisata memiliki beragam pemkanaan atau definisi
yang dinyatakan oleh beberapa ahli sebagai berikut ini:
Meyers (2009) menyatakann bahwa pariwisata adalah aktivitas perjalanan
yang dilakukan oleh sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah
tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan
hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau
libur serta tujuan-tujuan lainnya.53Pariwisata dapat diartikan bagai
keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan masuk, tinggal, dan
pergerakan penduduk asing dialam atau di luar suatu negara kota atau wilayah
tertentu54. Definisi luas dikemukakan oleh Herawati, pariwisata merupakan
perjalan di satu tempat ke tempat lain yang bersifat sementara, dilakukan oleh
perorangan atau kelompok, sebagai suatu usaha mencari keseimbangan dan
kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam
dan ilmu.55
51 Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit Angkasa, Bandung. Hal 103 52 Musanef. 1995. Manajemen Pariwisata di Indonesia. Jakarta: PT Gunung Harta. Hal 11 53 Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar – Dasar Pariwisata. Jakarta: Penerbit Andi. Hal: 29. 54 Muljadi, A.J. dan Siti Nurhayati. 2002. Pengertian Pariwisata. Kursus Tertulis Pariwisata Tingkat Dasar. Modul I. Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta Hal 80 55 Herawati, Niluh. 2015. Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Berbasis Subak Sebagai Bagian Warisan Budaya Unesco di Desa Mengesta Kabupaten Tanaban. Jurnal Master Pariwisata Vol 02 No 01 Hal 80.
36
Dengan demikian pariwisata dapat dimaknai sebagai suatu perjalanan yag
dilakukan oleh perorangan atau kelompok dengan tujuan hiburan, kesenangan, dan
kebahagiaan. Pariwisata juga dapat pula bersifat pendidikan dan pengenalan terhadap
budaya daerah atau tempat lain. Pariwisata juga bersifat sementara dan tidak
selamanya. Karena memang tujuan dari pariwisita itu sendiri yakni sebagai kegiatan
untuk memperoleh huburan dan kesenangan. Pariwisata juga merupakan upaya
sesorang untuk berhubungan secara langsung dengan alam dan lingkungan hidup baik
itu lingkungan hidup dalam dimensi sosial atau masyrakat, budaya setempat, dan
lingkungan alam.
Selanjutnya dalam aspek kriteria suatu pariwisata Yoeti menyatakan bahwa:
(1)Perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain. Perjalanan
dilakukan diluar tempat kediaman dimana orang itu itu biasanya tinggal. (2)
Tujuan perjalanan dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang tanpa
mencari nafkah di negara, kota, atau daerah tempat wisata yang dikunjungi.
(3) Uang yang dibelanjakan wisatawan tersebut dibawa dari negara asalnya,
dimana dia bisa tinggal untuk berdiam, dan bukan diperoleh karena hasil
usaha selama dalam perjalan wisata yang dilakukan. (4) Perjalanan dilakukan
minimal 24 jam atau lebih.56
Berdasarkan pendapat diatas, Yoeti bahwa suatu kegiatan dapat dinyatakan
sebagai pariwisata didasari oleh beberapa kriteria. Kriteria yang patut menajadi
perhatian yakni bahwa uang yang dimiliki oleh wisatawan merupakan uang saku
yang dibawah dari tempat asal dan bukan diperoleh hasil usaha atau bekerja di tempat
tujuan wisata. Pariwisata juga semata-mata bertujuan untuk senang-senang tanpa
adanya usaha untuk mencari nafkah di tempat tujuan wisata. Selain itu, suatu kegiatan
56 Yoeti, Oka A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: PT Pradaya Pratama. Hal 8
37
perjalan wisata dinyatakan sebagai pariwisata asalkan dilakukan selama minimal 24
jam/sehari atau lebih dari itu.
2. Macam-Macam Objek Wisata
Objek pariwisata atau wisata memiliki beragam jenis atau macamnya.
Musanef menjelasakan bahwa objek dan daya tarik wisata dapat digolongkan
menjadi57:
1) Objek wisata dan daya tarik wisata alam yang terdiri dari:
a) Obyek dan daya Tarik wisata terdapat dikawasan konvensional yaitu,
kawasan hutan atau kawasan pelestarian alam yang dikelola dan dibawah
naungan departemen kehutanan. Objek dan daya Tarik wisata seperti ini
meliputi Taman Nasional, Taan Wisata, Taman Laut, Taman Hutan Raya
dan lain-lainnya.
b) Objek dan daya Tarik wisata yang terdapat dilar kawasan konservasi.
Objek dan daya Tarik Wisata ini dikelola oleh pemerintah Daerah, Perum
Perhutani, Taman Safari, dan Perkebunan Nasional.
2) Objek dan daya Tarik wisata kategori budaya atau sejarah. Objek dan daya Tarik
wisata ini dapat berupa peninggalan sejarah, candi, keratin, monumen, dan
sebagainnya.
3) Objek dan daya Tarik wisata minat khusus. Hal ini yang termasuk di dalmnya
yakni wisata agro,wisata buru, wisata tirta, wisata kesehatan, dan sebagainnya.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa kekayaan nilayai budaya dan
keindahan alam sejatinya mampu menjadi daya tarik wisata bagi wisatwan lokal
57 Ibid Hal 175
38
maupun manca negara. Wisatawan-wisatawan tersebut berusaha untuk mecari
kesenangan dan bertujuan untuk rekreasi dan objek wisata dat menjadi salah satu obsi
untuk mencapai tujuan yang wisatawan inginkan.
3. Bentuk-bentuk Pariwisata
Parisawata dalam kenyataannya tentu memiliki bentuk-bentuk yang yang
sesuai dengan kategori atau klasifikasinya. Menurut Pendit (1994:37) bentuk-bentuk
pariwisata dikategorikan berdasarkan berikut ini58:
a. Menurut asal wisatawan. pertama-tama yakni perlu diketahui asal wisatawan
tersebut dari luar negeri atau dalam negeri. Kalau berasal dari dalam negeri
berarti sang wisatawan hanya pindah tempat sementara dalam lingkungan
wilayah negerinya sendiri dan selamanya mengadakan peralanan, maka dari itu
disebut pariwisata domestik. Sedangkan apabila berasal dari luar negeri disebut
pariwisata intersional.
b. Menurut akibatnya terhadap neraca pembayaran. Kedatangan wisatawan dari
luar negeri adalah membawa ata uang asing. Pemasukan valuta asing ini berarti
memberi dampak positif tehadaperaca pembayaran luar negeri suatu negara yang
dikunjunginya. Hal ini disebut pariwisata aktif. Sedangkan keperga seseorang
keluar negeri memberikan dampak negative terhadap neracapembayaran luar
negerinya, disebut pariwisata negatif.
c. Menurut jangka waktu kedatangan seorag wisatawan di suatu tempat atau
negara, diperhitungkan pula menurut waktu lamanya tinggal dtempat atau negara
58 Pendit, NS. 1994. Ilmu Pariwisata. Jakarta: PT Pradaya Paramita. Hal 37
39
yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan istilah-istilah pariwisata jangka
panjang dan jangka pendek yang man tergantung pada ketentuan-ketentuan yang
diberlakukan suatu negara untuk mengukur pendek atau panjangnya waktu yang
dimaksudkan.
d. Menurut jumah wisawan. Perbedaan ini diperhitungkan atas jumlah wisatawan
yang datang, apakah apakah wisatawan yang datang sifatnya sendian atau dalam
bentuk rombongan. Maka dari itutimullah istilah pariwisata tnggal dan
pariwisata rombongan.
e. Menurut alat angkut yang dipergunakan untuk wisata. Dilihat dari segi
penggunaan yang dipergunakan oleh sang wisatawan, maka kategori wisata
dapat dibagmenjadi pariwisata udara, pariwisata laut, pariwisata kerta api, dan
pariwisata mobil. Tergantung apakah sang wisatawan tiba dengan pesawat udara,
kapal laut, kereta api atau mobil.
Berdasarakan pendapat di atas, bentuk-bentuk pariwisata dikategorikan dalam
5 bentuk. Berdasarkan asal wisatawannya, pariwisata dikategorikan menjadi
pariwisata domestik yang mana wisatawannya berasal dari dalam negeri dan
pariwisata internasional yang mana wisatawannya berasal dari luar negeri. Bentuk
kedua yakni pariwisata postif dan pariwisata negatif. Pariwisata positif ini terjadi
apabila banyak wisatawan dari luar negeri yang berwisata di Indonesia dan
memberikan pemasukan bagi daerah di mana pariwisata tersebut berada. Sedangkan
pariwisata negatif terhadi justru apabila wisatawan dalam negeri berwisata ke luar
negeri dan tentunya mengurangi pemasukan pariwisata dalam negeri.
40
Bentuk pariwisata yang ketiga dikategorikan berdasarkan jangka waktu
kunjungan wisatawan yaitu pariwisata jangka panjang dan jangka pendek. Durasi
kunjungan pariwisata ini tergantung dari peraturan dari tempat pariwisata tersebut.
Selanjutnya, bentuk pariwisata yang keempat yakni pariwisata yang didasarkan pada
jumlah wisatawannya yakni pariwisata tunggal dan pariwisata rombongan. Bentuk
kelima dari pariwisata dikategorikan berdasarkan alat tranportasi yang digunakan
untuk berwisata yang mana terdiri dari pariwisata udara, pariwisata laut, pariwisata
kereta api, dan pariwisata mobil. Bentuk pariwisata ini sangat ditunjang prasana atau
infrastruktur tranportasi menuju lokasi pariwisata terkait.
4. Peranan Pariwisata dalam Pembangunan
Sektor pariwsata apabila dikelola dengan baik dapat menjadi aspek yang
menunjang pembangunan di suatu wilayah atau daerah. Wahab (2003:77)
berpendapat bahwa:
“wisatawan yang tiba disuatu negara baik secara individu atau kelompok tentu
akan membelanjakan uangnya selama berada di sana untuk membayar jasa-
jasa atau barang wisata. Seluruh jumlah uang yang dibelanjakan ini akan
merupakan jumlah penerimaan dari sektor wisata dan menjadi pola konsumsi
di negara tersebut. semakin bertambah konsumsi wisatawan, semakin banyak
pula jasa-jasa wisata, hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata dapat
menjadi sumber pendapatan”.59
Menurut pendapat tersebut, pariwisata dalam konteks seperti sekarang ini
sangatlah menjanjikan dalam aspek ekonomi. Hal ini patut disadari bahwa pariwisata
dapat mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi negara, daerah, atau wilayah di
mana wisata tersebut berada. Oleh karena itu, potensi pariwisata di suatu negara atau
59 Wahab, Salah. 1997. Pemasaran Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita. Hal 77
41
daerah haruslah dikembangkan secara optimal. Agar manfaat ekonomis dari
pariwisata tersebut dapat dicapai.
Selain itu, untuk meningkatkan sektor pariwisata diperlukan udaha yang nyata
dari pemerintah untuk meningkatkan aspek lain yang menunjang pengembangan
pariwisata. Yoeti mengungkapkan empat hal yang harus dipenuhi, yakni sebagai
berikut60:
a. Transportation
Yang melayani angkutan para wisatawan dari satu tempat ke tempat lain,
dari daerah tujuan wisata ke daerah tujuan wisata wisata yang lain yang
berjarak cukup jauh.
b. Accomodation
Yang melani wisatawan untuk kebutuhan akomodasi bagi wisatwan
seperti: hotel, motel, cottage, villa, atau apartemen.
c. Restaurants
Yaitu melayani wisatawan dalam kebutuhan dalam kebutuhan makan
minum selama di daerah kunjungan wisata.
d. Shopping Center
Yang dimaksud adalah kelompok toko cenderamata, toko barang kesenian
dan lukisan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sektor pariwisata memiliki
peranan yang sangat penting dalam pembangunan daerah. Hal tersebut dikarena dari
sektor pariwasata mampu pula membuka dan menigkatkan lapangan kerja,
menambah pendapatan masyarakat, meningkatkan pembangunan infrastruktur daerah,
dan meingkatkan pendapatan asli daerah tersebut. Sehingga terjadilah pembangunan
daerah yang berbasis pengembangan pariwisata.
D. Pengembangan Pariwisata
Alasan utama dilakukannya pengembangan pariwisata di suatu daerah baik itu
secara lingkup lingkup lokal, regional, nasional, dan internasional yakni karena
60 Ibid Yoeti. 2008 Hal 24.
42
adanya upaya untuk pembangunan perekonomian daerah tersebut. pengembangan
pariwisata sangatlah potensial bagi kebermanfaatn masyarakat sekitar. Menurut
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata (2002:29) strategi pengembangan pariwisata
yakni terdiri sebagai berikut ini61:
1. Strategi Pengembangan Produk wisata.
Menunjukkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk pembangunan obyek
dan daya tarik wisata, pengembangan sarana akomodasi pengembangan
aksesibilitas atau angkutan wisata, usaha makan minum dan lain-lain.
2. Strategi Pengembangan Pasar dan Promosi
a. Strategi pengembangan pasar dalam strategi ini orientasi pasar yang akan
diperloleh dan langkah-langkah yang ada perlu dilakukan untuk menarik pasar
tersebut dengan mempertimbangkan jenis dan potensi obyek, daya tarik
potensial
yang ada dan jenis atau bentuk pariwisata yang dikembangkan.
b. Strategi promosi, langkah-langkah yang perlu dilakukan daerah dalam
mempromosikan daerahnya. Strategi ini dilakukan dengan
memeprtimbangkan
sasaran dan target wisata yang akan dicapai.
3. Strategi pemanfaatan ruang
a. Strategi pengembangan ruang pariwisata pada lingkup kabupaten/kota
memberikan gambaran dan indikasi lokasi-lokasi prioritas pengembangan,
61 Amajida, Dini Lali. 2015. Strategi Perum Perhutani KPH Malang da;am Mengembangankan Objek Wisata Coban Talun Kota Batu. Diakses dari http://jurnalmahasiswaunesa.ac.id pada 27 Maret 2017
43
berdasarkan analisis terhadap potensi dan daya tarik wisata yang ada di
wilayah tersebut, meliputi: penetapan pusat-pusat pengembangan, penetapan
kawasan prioritas pengembangan, penetapan jalur wisata, dan lain-lain.
4. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Yang dimaksud dengan sumber daya masnusia pariwisata potensial menurut
konsep nasional adalah sumberdaya manusia pariwisata sebagai aset daerah yang
mempunyai standar kemampuan menurut kompentensi keahlian yang diakui dan
diterima oleh masyarakat pariwisata serta dilandasi oleh dedikasi kebangsaan yang
tinggi sehingga memiliki niali kompetitif dan kemampuan untuk berkiprah disekolah
nasional maupun internasional. Pengembangan sumberdaya manusia dibidang
pariwisata sangat diperlukan supaya daerah yang akan mengembangkan pariwisata
daerahnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan akan tenaga-tenaga pariwisata yang
terlatih, sehingga dapat menyerap tenaga lokal dan meningkatkan apresisasi dan
pengertian terhadap pariwisata sehingga dapat memberikan pelayanan sesuai standar.
1. Strategi pengembangan sumber daya manusia antara lain:
a. Penyiapan tenaga terampil dibidang perhotelan, restoran, biro perjalanan
atau travel dan pemandu wisata.
b. Peningkatan kemampuan teknis di bidang manajemen kepariwisataan.
c. Peningkatan kemampuan di bidang pemasaran dan promosi pariwisata
daerah.
44
1. Dasar dan Tujuan Pengembangan Pariwisata
Penyelenggaraan pengembangan pariwisata dilaksanakan dengan tetap
mengacu pada upaya untuk memelihara kelestarian lingkungan dan mendorong
peningkatan kualitas lingkungan hidup serta daya tarik dari wisata itu sendiri.
Berdasar pada Undang-undang No 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan, dikatakan
bahwa yang dapat dijadikan onjek dan daya tarik berupa keadaan alam, flora, dan
fauna hasil karya manusia, serta peninggalan sejarah dan budaya yang merupakan
model bagi perkembangan dan peningkatan kepariwisataan di Indonesia.62 Model ini
tentunya harus terus dimanfaatnkan dengan optimal agar pengembangan pariwisata
yang dilakukan memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat.
Selain itu, Mulyadi63 menambahkan untuk mewujudkan pengembangan
pariwisata harus memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan
ekonomi dan sosial budaya.
2. Nilai-nilai agama. Adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarkat.
3. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup.
4. Kelanjutan dari usaha pariwisata itu sendiri.
Penyelenggaraan pengembangan kepariwisataan di Indonesia dimaksudkan
agar daya tarik pariwisata yang sedimikian banyak disuatu tempat atau daerah dapat
dikenal oleh masyarakat luas, baik itu masyarakat lokal, nasional, maupun
62 Mulyadi, A.J. 2009. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta: Raja Grafindo. Hal 31 63
45
internasional. Pengembangan pariwisata pun sangat berhubungan dengan aspek sosial
menyangkut kegiatan perekonomian masyarakat, sehinga dengan dilakukan
pengembangan pariwisata maka ada upaya peningkatanekonomi masyarakat.
Selain itu, tujuan pengembangan pariwisata sendiri apabila mengacu pada
pasal 4 Undang-undang No 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan
bahwa:
a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
c. Menghapus kemiskinan.
d. Mengatasi pengangguran.
e. Melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya
f. Memajukan kebudayaan
g. Mengangkat citra bangsa
h. Memupuk rasa cinta tanah air
i. Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa
j. Mempererat persahabatan bangsa.