22
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Organizational Citizenship Behavior (OCB) 1. Pengertian Organiztional Citizenship Behavior (OCB) Organizational Citizenship Behavior merupakan perilaku karyawan terhadap pilihan dan inisiatif secara individual yang tidak berkaitan dengan sistem reward formal porganisasi, tetapi secara agregat atau luar biasa dapat meningkatkan efektivitas organisasi (Organ, 2006). Organizational Citizenship Behavior juga merupakan bentuk perilaku pilihan individual yang tidak secara formal ada dalam organisasi, melainkan perilaku sukarela yang ditunjukan karaywan untuk mensukseskan organisasinya. (Podsakoff, Bachrach, & Bendoly, 2001). Menurut Newstrom (2007) Organizational Citizenship Behavior adalah tindakan yang dipilih karyawan secara bebas dan melebihi panggilan tugas yang dapat meningkatkan kesuksesan organisasi. Lebih lanjut, Organizational Citizenship Behavior Sering ditandai dengan spontanitas, bersifat sukarela, berdampak pada hasil yang membangun, perilaku yang tak terduga berguna untuk orang lain, dan kenyataannya boleh memilih. Kaswan (2017) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku warga organisasi yang baik karena melebihi ketentuan formal tugas-tugas yang diberikan kepadanya, sehingga perilaku tersebut dapat menguntungkan bagi organisasi. Robbins (2008) mendefinisikan Organizational Citizenship Behavior sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Organizational Citizenship …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/3416/3/BAB II.pdf · 2018-08-20 · Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh

  • Upload
    doannga

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Organizational Citizenship Behavior (OCB)

1. Pengertian Organiztional Citizenship Behavior (OCB)

Organizational Citizenship Behavior merupakan perilaku karyawan

terhadap pilihan dan inisiatif secara individual yang tidak berkaitan dengan sistem

reward formal porganisasi, tetapi secara agregat atau luar biasa dapat

meningkatkan efektivitas organisasi (Organ, 2006). Organizational Citizenship

Behavior juga merupakan bentuk perilaku pilihan individual yang tidak secara

formal ada dalam organisasi, melainkan perilaku sukarela yang ditunjukan

karaywan untuk mensukseskan organisasinya. (Podsakoff, Bachrach, & Bendoly,

2001). Menurut Newstrom (2007) Organizational Citizenship Behavior adalah

tindakan yang dipilih karyawan secara bebas dan melebihi panggilan tugas yang

dapat meningkatkan kesuksesan organisasi. Lebih lanjut, Organizational

Citizenship Behavior Sering ditandai dengan spontanitas, bersifat sukarela,

berdampak pada hasil yang membangun, perilaku yang tak terduga berguna untuk

orang lain, dan kenyataannya boleh memilih. Kaswan (2017) menyatakan bahwa

Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku warga organisasi yang baik

karena melebihi ketentuan formal tugas-tugas yang diberikan kepadanya,

sehingga perilaku tersebut dapat menguntungkan bagi organisasi.

Robbins (2008) mendefinisikan Organizational Citizenship Behavior

sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal

17

seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara

efektif dan efisien. Lebih lanjut, Organizational Citizenship Behavior juga

merupakan bentuk perilaku pilihan dan inisiatif individual yang jika tidak

ditampilkan pun, maka karyawan tidak akan diberikan hukuman apapun oleh

organisasinya. Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa Organizational

Citizenship Behavior adalah suatu perilaku kerja yang ditampilkan karyawan di

dalam organisasi yang dilakukan dengan sukarela diluar deskripsi kerja yang telah

ditetapkan untuk meningkatkan kemajuan kinerja organisasi.

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli,

maka dapat disimpulkan bahwa Organizational Citizenship Behavior adalah

bentuk perilaku individual atau pilihan dari karyawan untuk secara sukarela

bekerja di luar deskripsi pekerjan yang telah ditetapkan, sehingga dapat

mensukseskan organisasinya.

2. Aspek-aspek Organiztional Citizenship Behavior (OCB)

Terbentuknya perilaku Organizational Citizenship Behavior ditandai

dengan lima aspek yang dikemukakan oleh Organ (2006), yaitu:

a. Altruism

Sikap menolong (altruism) yaitu perilaku berinisiatif untuk membantu atau

menolong rekan kerja dalam organisasi secara sukarela.

b. Sportsmanship

Sikap toleransi (sportsmanship) yaitu kesediaan individu menerima apapun

yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak

sewajarnya.

18

c. Conscientiousness

Sikap sukarela (conscientiousness) yaitu pengabdian atau dedikasi yang tinggi

pada pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap

aspek.

d. Courtesy

Sikap hormat (courtesy) yaitu perilaku individu yang menjaga hubungan baik

dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam

organisasi

e. Civic virtue

Sikap tanggung jawab (civic virtue) yaitu perilaku individu yang menunjukkan

bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat,

berpartisipasi, turut serta, dan peduli dalam berbagai kegiatan yang

diselenggarakan organisasi.

Aspek-aspek Organizational Citizenship Behavior selanjutnya dikemukakan

oleh Lepine (dalam Setyawan & Sahrah, 2012), yaitu:

a. Perilaku yang bersifat sukarela dan tidak termasuk dalam uraian jabatan,

artinya karyawan bekerja sukarela di luar dari deskripsi pekerjaannya.

b. Perilaku yang bersifat spontan dalam arti tidak diperintah atau disarankan

oleh orang lain, sehingga karyawan berinisiatif sendiri untuk melakukan

pekerjaan yang bukan termasuk dalam tugas formalnya.

c. Perilaku memiliki kontribusi terhadap keefektifan organisasi, yaitu perilaku

untuk merasa bertanggung jawab atas kelangsungan organisasi.

19

d. Perilaku yang tidak mudah diambil dan dihargai melalui evaluasi kinerja

karena perilaku tersebut tidak tercantum dalam uraian jabatan.

Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat lima aspek

Organizational Citizenship Behavior menurut Organ (2006) yaitu yaitu altruis,

sportsmanship, conscientiousness, courtesy, dan civic virtue, selain itu

Organizational Citizenship Behavior juga mencangkup empat aspek lainnya

menurut Lepine (dalam Setyawan & Sahrah, 2012) yaitu perilaku yang bersifat

sukarela, perilaku yang bersifat spontan, perilaku memiliki kontribusi terhadap

keefektifan organisasi, dan perilaku yang tidak mudah diambil.

Dari beberapa aspek-aspek Organizational Citizenship Behavior yang telah

dijabarkan, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan

oleh Organ (2006) yaitu altruis, sportsmanship, conscientiousness, courtesy, dan

civic virtue. Aspek tersebut dipilih sebagai acuan yang digunakan untuk

mengukur Organizational Citizenship Behavior pada karyawan. Peneliti memiliki

pertimbangan dalam memilih aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel yang di

gunakan peneliti, penjabarannya lebih konkrit, didukung berdasarkan hasil

wawancara, dan dilihat dari kodisi tempat akan dijadikan tempat penelitian

sehingga kelima aspek tersebut mampu mengungkap Organizational Citizenship

Behavior yang dimiliki oleh subjek.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organiztional Citizenship Behavior

Shweta dan Srirang (2010) menyajikan sebuah tinjauan yang komprehensif

berupa kerangka kerja untuk mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi

Organizational Citizenship Behavior, diantaranya:

20

a. Disposisi individu dan motif individu

Disposisi individu seperti positive affectivity, negative affectivity,

conscientiousness, agreeableness, dan juga locus of control

memainkanperanan penting dalam menentukan tingkat Organizational

Citizenship Behavior yang ditampilkan oleh pegawai. Selain disposisi

individu, pegawai didorong oleh motivasi baik intrinsik atau ekstrinsik untuk

menunjukkan Organizational Citizenship Behavior. Hal tersebut berkaitan

dengan Organizational Citizenship Behavior karena disposisi membuat

individu terdorong untuk melakukan suatu perilaku sukarela untuk

organisasinya.

b. Kohesivisitas individu

Pegawai pada umumnya berhubungan langsung dengan kelompok kerja dalam

pekerjaannya. Hal ini secara jelas memberikan pengaruh pada sikap dan

perilaku pegawai tersebut. Kohesivitas kelompok mendorong munculnya OCB

yang bertujuan untuk lebih mempererat hubungan agar kelompok menjadi

kuat dan efektif.

c. Sikap pegawai

Organizational Citizenship Behavior tergantung pada sikap positif karyawan

terhadap pekerjaan mereka serta terhadap organisasi, yang meliputi komitmen

organisasi dan kepuasan kerja. Karyawan yang memiliki sikap tersebut akan

menunjukan Organizational Citizenship Behavior karena merasakan kepuasan

dalam bekerja dan sulit meninggalkan organisasinya.

21

d. Kepemimpinan transformasional

Pegawai yang paling mungkin terlibat dalam Organizational Citizenship

Behavior adalah dalam kondisi manajer menampilkan perilaku kepemimpinan

transformasional seperti mempunyai visi, menjadi teladan, menyegarkan

intelektual bawahan, dan mengkomunikasikan harapan kinerja yang tinggi.

Jelas sekali bahwa perhatian pada munculnya Organizational Citizenship

Behavior pegawai bergantung pada efektivitas kepemimpinan yang berjalan

dalam organisasi.

e. Keadilan organisasi

Keadilan organisasi mencerminkan sejauh mana pegawai merasa

diperlakukan adil oleh organisasi. Organisasi yang mengikuti prinsip-prinsip

umum keadilan organisasi akan memastikan bahwa keadilan distributif,

keadilan prosedural, dan keadilan interaksional telah memiliki ukuran yang

baik dalam organisasi. Masing-masing komponen dalam keadilan organisasi

memberikan kontribusi yang sangat penting dalam membentuk

Organizational Citizenship Behavior pegawai dalam organisasi.

Bacrach, dkk. (2000) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi

Organizational Citizenship Behavior, yaitu :

a. Karakteristik individu

Karakteristik individu adalah karakter yang dimiliki dalam diri individu untuk

menunjukan performa kerja dalam organisasinya yang dapat mempengaruhi

terbentuknya Organizational Citizenship Behavior dengan sikap terhadap

22

pekerjaan, meliputi kepuasan kerja, komitmen organisasi, dukungan

kepemimpinan, serta persepsi akan keadilan, kepatuhan, keseimbangan,

sensifitas, dan kecenderungan untuk menyatakan sikap setuju atau tidak setuju

mengenai apa yang terjadi dalam suatu organisasi.

b. Karakteristik pekerjaan

Karakteristik pekerjaan adalah karakter yang melibatkan diri karyawan secara

aktif dalam organisasinya. Karakteristik pekerjaan cenderung menjadi

anteseden Organizational Citizenship Behavior dibandingkan karakteristik

pekerjaan yang rutin dan kurang mandiri karena pekerjaan yang rutin

menyebabkan karyawan merasa bosan dan tidak bisa mengembangkan

kreativitasnya.

c. Karakteristik organisasi

Karakteristik organisasi adalah karakter yang mendukung keberadaan dan

pengembangan diri karyawan secara positif melalui budaya organisasi, iklim

organisasi dan reward system (sistem hadiah) yang sesuai, dimana karyawan

akan menunjukkan Organizational Citizenship Behavior sebagai bentuk

timbal balik atas apa yang diberikan perusahaanya. Harapan yang sesuai

dengan keinginan karyawan akan menimbulkan Organizational Citizenship

Behavior sebagai bentuk timbal balik atas apa yang diberikan organisasi

kepada karyawan (Bacrach, dkk., 2000),

d. Karakteristik kepemimpinan organisasi

Karakteristik pemimpin dalam organisasi yang dapat menjadi anteseden

Organizational Citizenship Behavior dengan karakteristik kepemimpinan

23

transaksional melalui proses transaksi yang telah disepakati antara dirinya

dengan karyawan. Selanjutnya, karakteristik kepemimpinan transformasional

merupakan proses memotivasi pengembangan diri karyawan yang akan

menunjukan Organizational Citizenship Behavior karena merasa diperhatikan

dan termotivasi oleh pemimpinnya.

Berdasarkan uraian faktor-faktor yang sudah dipaparkan sebelumnya,

terdapat lima faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior

menurut Shweta dan Srirang (2010) yaitu disposisi individu dan motif individu,

kohesivisitas individu, sikap pegawai, kepemimpinan transformasional, dan

keadilan organisasi, selain itu Organizational Citizenship Behavior juga

mencangkup faktor lainnya menurut Bacrach, dkk. (2000) yaitu faktor

karakteristik individu, karakteristik pekerjaan, karakteristik organisasi, dan

karakteristik kepemimpinan organisasi.

Dari uraian yang telah dikemukakan, peneliti akan menggunakan faktor

yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior dari Shweta dan

Srirang (2010) yaitu kepemimpinan transformasional. Menurut Jahangir (2004)

gaya kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang kuat pada

kesediaan karyawan untuk terlibat dalam Organizational Citizenship Behavior,

hal tersebut karena pemimpin mampu mengubah sikap yang dimiliki anggotanya,

dapat memberikan arahan sesuai dengan kebutuhan angotanya, dan dapat

memberikan keadilan bagi setiap anggota yang dipimpinnya, sehingga karyawan

merasa didukung dan diperdulikan. Lebih lanjut, dukungan dari pemimpin yang

dirasakan karyawan akan menimbulkan Organizational Citizenship Behavior

24

dengan menunjukan perilaku-perilaku karyawan diluar dari deskripsi tugasnya

untuk memajukan organisasi yang ditempatinya. Shweta dan Srirang (2010) juga

menyatakan bahwa karyawan yang paling mungkin terlibat dalam Organizational

Citizenship Behavior adalah dalam kondisi pemimpin menampilkan perilaku

kepemimpinan transformasional seperti mempunyai visi, menjadi teladan,

menyegarkan intelektual bawahan, dan mengkomunikasikan harapan kinerja yang

tinggi, dengan begitu perhatian pada munculnya Organizational Citizenship

Behavior karyawan bergantung pada efektivitas kepemimpinan yang berjalan

dalam organisasi. Hal tersebut di dukung berdasarkan hasil penelitian Pratama

(2017) yang menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

kepemimpinan transformasional dengan Organizational Citizenship Behavior

karyawan. Selain itu, hasil penelitian Haryati, Mariatin, dan Supriyantini (2014)

menunjukan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transformasional dapat

mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior pada karyawan. Oleh karena

itu, persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional akan menjadi satu

faktor dominan dan variabel bebas dalam penelitian ini.

B. Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional

1. Pengertian Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional

Persepsi adalah suatu proses yang aktif, karena seluruh aspek dalam diri

individu seperti pengalaman dan kemampuan berfikir dapat mempengaruhi proses

persepsi tersebut. Keterlibatan seluruh aspek dalam diri individu dalam

melakukan pemaknaan menyebabkan stimulus yang sama dapat diartikan

25

berbeda-beda pada beberapa individu (Walgito, 2010). Persepsi merupakan reaksi

atau tanggapan yang diberikan seseorang, dimana seseorang hanya bisa

menggunakan sebagian kecil rangsangan kesadaran (sensory stimuli) terhadap

suatu objek maupun peristiwa yang diinterprestasikan sesuai dengan harapan,

nilai-nilai, dan keyakinannya. Lebih lanjut seseorang dapat mempresepsikan apa

saja yang dikehendakinya (Wexley & Yukl, 2003). Salah satunya persepsi

terhadap gaya kepemimpinan. Menurut Kaswan (2017) gaya kepemimpinan yang

dipilih seorang pemimpin akan dipersepsikan oleh karyawan sebagai

penghayatannya terhadap penerapan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh

pemimpinnya.

Siagian (2003) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan

keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja

untuk mempengaruhi perilaku anggotanya untuk berpikir dan bertindak

sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan sumbangsih nyata dalam

memperbaiki kelompok dan budayanya untuk pencapaian tujuan organisasi. Yukl

(2010) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan adalah proses yang dilakukan

pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya untuk memahami dan setuju dengan

apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif,

memfasilitasi upaya individu maupun kolektif untuk mencapai tujuan bersama

(Yukl, 2010). Menurut Kaswan (2017) seorang pemimpin memiliki gaya

kepemimpinannya masing-masing dan salah satunya adalah gaya kepemimpinan

transformasional.

26

Teori transformasional menyatakan bahwa suatu perilaku tertentu dari

pemimpin akan menarik minat pengikut ke dalam level pemikiran yang lebih

tinggi. Lebih lanjut, gaya kepemimpinan transformasional merupakan bentuk

perilaku pemimpin yang mendorong ketertariakan diantara pegawai untuk

memandang pekerjaan dari perspektif baru, membangkitkan kesadaran atas misi

dan visi organisasi, mengembangkan kemampuan dan potensi pegawai ketingkat

yang lebih tinggi, sehingga pemimpin dapat memotivasi pegawai untuk lebih

mengutamakan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan pribadi (Bass &

Avolio, 2003). Luthans (2006) menjelaskan bahwa pemimpin transformasional

lebih sering memakai taktik legitimasi dan melahirkan tingkat identifikasi maupun

internalisasi yang lebih tinggi, memiliki kinerja yang lebih baik, dan dapat

mengembangkan pengikutnya. Hughes, dkk. (2012) menjelaskan bahwa

kepemimpin transformasional merupakan gaya pemimpin yang memiliki visi,

keahlian retorika, pengelolaan kesan yang baik dan menggunakannya untuk

mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pengikutnya, sehingga

mendorong tergugahnya emosi pengikut serta kesediaanya untuk bekerja

mewujudkan visi sang pemimpin. kepemimpinan transformasional juga adalah

pemimpin yang mendorong para pengikutnya untuk merubah motif,

kepercayaaan, nilai, dan kemampuan sehingga minat dan tujuan pribadi dari para

pengikut dapat selaras dengan visi dan tujuan organisasi (Goodwin, dkk., 2001).

Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli,

maka dapat disimpulkan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transformasional

adalah penilaian karyawan bahwa pimpinanya memiliki visi dan misi yang dapat

27

memberikan dorongan dalam menjalankan pekerjaan, mampu memberikan

iakatan emosional, dan membantu mencapai tujuan organisasi dengan

memperlakukan setiap anggota sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

2. Aspek-aspek Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional

Bass dan Avolio (2003) mengemukakan bahwa terdapat empat aspek

kepemimpinan transformasional, yaitu:

a. Idealized influence

Pengaruh idealis (individualized influence) adalah perilaku pemimpin yang

menghasilkan rasa hormat (respect) dan rasa percaya diri (trust) dari

orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin juga menetapkan moral dan etika,

serta menggunakan kemampuan untuk menggerakkan individu maupun

kelompok untuk pencapaian bersama.

b. Inspirational motivation

Motivasi inspirational (inspirational motivation) adalah perilaku pemimpin

yang mampu menjadikan dirinya sebagai inspirasi untuk karyawannya serta

selalu memberikan motivasi. Karakter seperti ini akan membangkitkan

optimisme dan antuasisme yang tinggi dari para karyawan. Pemimpin

bertindak sebagai model atau panutan bagi pengikut, mengkomunikasikan

visi, komitmen pada tujuan organisasi, dan mengarahkan upaya-upaya

pengikut.

c. Intellectual stimulation

28

Stimulasi intelektual (intellectual stimulation) merupakan seorang pemimpin

yang memiliki karakter yang mampu mendorong karyawannya untuk

menyelesaikan permasalahan dengan cermat dan rasional. Pemimpin

merangsang para karyawannya untuk berpikir secara kreatif dan inovatif,

dengan memberikan asumsi pertanyaan, merancang kembali masalah yang

telah lampau untuk diselesaikan dengan cara baru, dan melakukan pencarian

gagasan dalam memecahkan masalah.

d. Individualized consideraion

Konsiderasi individual (individualized consideration) adalah perilaku

pemimpin yang selalu mendengarkan dan memberikan perhatian khusus

kepada kebutuhan prestasi dan kebutuhan dari orang-orang yang dipimpin

nya. Pemimpin yang memberikanperhatian pribadi, memperlakukan masing-

masing bawahan secara individual sebagai seorang individu dengan

kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi yang berbeda. Pemimpin juga

mendampingi bawahannya, memonitor, melatih dan memberikan saran.

Aspek-aspek kepemimpinan transformasional selanjutnya dikemukakan oleh

Luthans (2006) yaitu:

a. Karisma

Karisma yaitu memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga,

mendapatkan respek dan kepercayaan.

b. Inspirasi

29

Inspirasi yaitu mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan sImbol-

simbol untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan tujuan penting dalam

cara yang sederhana.

c. Stimulasi intelektual

Stimulasi intelektual yaitu menunjukkan inteligensi, rasional, pemecahan

masalah secara hati-hati.

d. Memperhatikan individu

Memperhatikan yaitu menunjukkan perhatian terhadap pribadi,

memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati.

Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat empat aspek

kepemimpinan transformasional menurut Bass dan Avolio (2003) yaitu Idealized

influence, Inspirational motivation, Intellectual stimulation, Individualized

consideration, selain itu kepemimpinan transformasional juga terbagi kedalam

empat aspek lainnya menurut Luthans (2006) yaitu Karisma, Inspirasi, Stimulasi

intelektual, dan Memperhatikan individu.

Dari beberapa aspek-aspek kepemimpinan transformasional yang telah

dijabarkan, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan

oleh Bass dan Avolio (2003) yaitu idealized influence, inspirational motivation,

intellectual stimulation, individualized consideration. Aspek tersebut dipilih

sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur persepsi kepemimpinan

transformasional pada karyawan. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih

aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel yang di gunakan peneliti,

penjabarannya lebih konkrit, dan dilihat dari kodisi tempat akan dijadikan tempat

30

penelitian sehingga kelima aspek tersebut mampu mengungkap persepsi

kepemimpinan transformasional yang dimiliki oleh subjek.

C. Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional

dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan

Pembangunan daerah merupakan bagian internal pembangunan nasional yang

dapat mewujudkan cita-cita nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amri, 2015). Menurut

Nurdin (2014) terpenuhinya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dapat menjadikan Indonesia sebagai Negara yang tertib dan tentram,

sehingga masyarakat merasakan kenyamanan hidup bernegara. Amri (2015)

menyatakan bahwa ketertiban dan ketentraman merupakan salah satu penangkal,

pencegah, dan penanggulangan segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-

bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Oleh karena itu,

aparatur berperan dalam upaya mewujudkan kondisi lingkungan yang tertib dan

nyaman yang didapatkan melalui peran penting Satuan Polisi Pamong Praja.

Menurut Polppjogja (2015) yang merupakan website resmi Polda

Yogyakarta menjelaskan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja yang disingkat

sebagai Satpol PP merupakan perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara

ketertiban umum dan menegakkan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat

berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten atau Kota. Salah satunya

juga berkedudukan di Daerah Istimewa Yogyakarta Yogyakarta. Suryana dan

Aminah (2018) menyatakan bahwa Satpol PP tidak hanya di tuntut untuk

31

melakasanan tugas dalam deskripsi pekerjaannya saja, melainkan di tuntut

senantiasa bertindak tegas, tapi dilakukan dengan tidak emosional. Sikap tegas

memiliki dua unsur yang terdiri atas keep on track atau sesuai regulasi dan aturan

yang ada, sehingga yang tidak sesuai dengan Undang-undang harus diluruskan.

Sedangkan, unsur kedua ketegasan itu merupakan teguh pendirian dengan apa

yang sudah ditegakkan seperti saat menutup suatu tempat hiburan dan penurunan

baliho rokok dan kukuh mempertahankan agar tidak hidup lagi.

Menurut Robbins dan Judge (2007) dalam dunia kerja yang dinamis seperti

saat ini, dimana tuntutan tugas-tugas semakin banyak dapat mengakibatkan

pegawai enggan mengeluarkan pendapat yang konstruktif, sulit membantu timnya,

lebih sering terjadi konflik, dan kurang berlapang dada memahami gangguan kerja

yang terkadang sulit diprediksi atau terjadi secara spontan. Hal-hal tersebut

tentunya tidak akan terjadi ketika pemimpin mampu memberikan gaya

kepemimpinan yang efektif (O’Leary, 2001). Menurut Jahangir (2004) gaya

kepemimpinan memiliki pengaruh yang kuat pada kesediaan karyawan untuk

terlibat dalam Organizational Citizenship Behavior yaitu menunjukan perilaku

sukarela dalam bekerja di luar dari deskripsi tugasnya. O’Leary (2001)

menyatakan bahwa karyawan yang mempersepsikan negatif terhadap

kepemimpinan transformasional, maka sulit menunjukan perilaku extra-roll yaitu

melakukan pekerjaan sesuai job description dan perilaku in-roll yaitu kontribusi

peran ekstra dalam bekerja, sehingga berakibat pada sulitnya pencapaian hasil

yang melebihi tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Bass dan Avolio (2003)

pemimpin transformasiona harus memenuhi empat aspek agar berpengaruh baik

32

bagi anggotanya yaitu aspek idealized influence, inspirational motivation,

intellectual stimulation, individualized consideration.

Aspek individualized influence adalah perilaku pemimpin yang

menghasilkan rasa hormat dan rasa percaya diri dari orang-orang yang

dipimpinnya (Bass & Avolio, 2003). Karyawan yang mempersepsikan positif

terhadap individualized influence akan memiliki keyakinan pada pemimpinnya,

merasa bangga bisa bekerja dengan pemimpinnya, dan mempercayai kapasitas

pemimpinnya dalam mengatasi setiap permasalahan (Robbins & Judge, 2008).

Kepercayaan kepada pemimpin membuat karyawan menunjukan Organizational

Citizenship Behavior-nya dengan perilaku dalam mematuhi segala peraturan, prosedur

yang berlaku, dan regulasi organisasi meskipun tidak ada pihak yang mengawasinya

dalam menjalankan pekerjaan (Podsakoff, dkk., 2001). Menurut Antonakis, dkk. (2003)

persepsi negatif terhadap individualized influence menjadikan karyawan menilai

pimpinannya sebagai pemimpin yang kurang bersifat proaktif, mementingkan

dirinya sendiri dibandingkan meningkatkan perhatian atas kepentingan bersama,

dan pemimpin sulit membantu para pengikut mencapai tujuan pada tingkatan yang

paling tinggi. Hal tersebut dapat menimbulkan Organizational Citizenship

Behavior yang rendah dengan ditandai melalui emosi negatif pada diri karyawan

yang membuat konflik dalam oranisasi sulit teratasi dengan baik dan kurang

adanya ikatan antara setiasp angota (Organ, dkk., 2006).

Ikatan setiap anggota organisasi dapat terjadi ketika pemimpin menerapkan

aspek inspirational motivation yaitu perilaku pemimpin yang mampu menjadikan

dirinya sebagai inspirasi untuk karyawannya, sehingga dapat membangkitkan

33

optimisme dan antuasisme yang tinggi dari para karyawan dalam melakukan

pekerjaannya (Bass & Avolio, 2003). Karaywan yang antusias dalam bekerja akan

menunjukan OCB-nya dengan menunjukan spontanitas dan memiliki sikap

sukarela, sehingga karyawan akan menunjukan hasil yang membangun

organisasinya (Newstrom, 2007). Menurut Bass dan Avolio (2003) inspirational

motivation yang dipandang negatif menyebabkan karyawan pesimis dalam

menjalani pekerjaan dan kurang bersemangat menyelesaikan pekerjaan dengan

optimal, sehingga karyawan sulit komitmen pada tujuan organisasi. Kurangnya

komitmen dalam diri karyawan berdampak pada perilaku Organizational

Citizenship Behavior-nya yaitu karyawan kurang bertanggungjawab, pasif dalam

hubungan keorganisasian dan tidak adanya inisiatif untuk merekomendasi

bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi yang dapat diperbaiki

(Organ, 2006).

Prosedur organisasi tentunya dapat diperbaiki melalui peran dari pemimpin

yang menerapkan aspek intellectual stimulation yaitu karakter pemimpin mampu

mendorong karyawannya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cermat dan

rasional, sehingga karyawan dapat berpikir secara kreatif serta inovatif dengan

memberikan asumsi pertanyaan, merancang kembali masalah yang telah lampau

untuk diselesaikan dengan cara baru, dan melakukan pencarian gagasan dalam

memecahkan masalah (Bass & Avolio, 2003). Masalah organisasi yang

terselesaikan menunjukan bahwa para anggotanya memiliki Organizational

Citizenship Behavior, sehingga mampu meningkatkan efektifitas dan kesuksesan

organisasi seperti biaya operasional rendah dan waktu penyelesaian pekerjaan

34

lebih cepat, karena dapat mengggunakan sumber daya secara optimal (Garay,

2006). Luthans (2006) menyatakan intellectual stimulation yang dipersepsikan

negatif membuat karyawan menilai bahwa pimpinannya tidak dapat

mengkomunikasikan harapan, kurang menunjukkan inteligensi serta rasional, dan

sulit pemecahan masalah secara hati-hati. Permasalahn yang sulit terpecahkan

dapat menimbulkan konflik dalam organisasi yaitu seseorang tetap bersikukuh

mempertahankan pendapatnya yang tidak disetujui anggota lainnya dan tidak

bersedia membantu anggota lain, atasan, serta organisasinya dalam memecahkan

permasalahan dan menyelesaikan masalah (Podsakoff, dkk., 2001).

Permasalahan dapat terselesaikan ketika aspek individualized consideration

diterapkan pemimpin dalam organisasinya. Lebih lanjut, aspek tersebut

merupakan perilaku pemimpin yang selalu mendengarkan dan memberikan

perhatian khusus kepada kebutuhan prestasi dan kebutuhan dari orang-orang yang

dipimpin nya. Individualized consideration yang dipersepsikan positif membuat

karyawan memandang atasannya dapat membantu pekerjaannya dengan

memberikan perhatian pribadi, mendampingi, memonitor, melatih dan mampu

memberikan saran kepada karyawannya (Bass & Avolio, 2003). Bantuan dari

pengawas yang diterima dapat menimbulkan Organizational Citizenship Behavior

dengan menunjukan ketaatan karyawan melalui kemauannya untuk mematuhi

peraturan, prosedur maupun instruksi organisasi. Perilaku yang mencerminkan

kepatuhan dalam organisasi dapat ditunjukkan dengan ketepatan waktu masuk

kerja, ketepatan penyelesaian tugas, dan tindakan karyawan terhadap sumber atau

aset organisasi (Graham, dalam Marlinda & Turnip). Kaswan (2017) menyatakn

35

bahwa kurangnya bantuan pengawas membuat karyawan tidak akan mencapai

kepuasan akhirnya menimbulkan emosi negatif yang dapat menurunkan

kinerjanya. Hal tersebut tejadi melalui Organizational Citizenship Behavior yang

dimilikinya, dengan demikian karyawan akan mengabaikan peraturan, prosedur,

dan regulasi organisasi jika tidak ada pihak yang mengawasi (Podsakoff, ddk.

(2001).

Menurut Robbins dan Judge (2008) karaywan yang mempersepsikan

positif terhadap gaya kepemimpinan transformasional akan memiliki keyakinan

pada pemimpinnya, merasa bangga bisa bekerja dengan pemimpinnya, dan

mempercayai kapasitas pemimpinnya dalam mengatasi setiap permasalahan.

Organ (2006) menyatakan bahwa permasalahan yang terselesaikan membuat

karyawan lebih berkontribusi lagi terhadap organisasinya dengan bekerja melebihi

tuntutan peran di tempat kerja yang dapat menimbulkan sikap Organizational

Citizenship Behavior, sehingga kayawan menunjukan perilaku sukarela untuk

mensukseskan organisasinya (Organ, 2006).

Menurut Antonakis, dkk. (2003) gaya kepemimpinan transformasional

yang dipersepsikan negatif menyebabkan karyawan memandangan pimpinannya

sebgai seorang pemimpin yang kurang bersifat proaktif, mementingkan dirinya

sendiri dibandingkan meningkatkan perhatian atas kepentingan bersama, dan

pemimpin sulit membantu anggotanya ketika terjadi permasalahan dengan

pekerjaannya. Karyawan yang merasakan kurangnya perhatian dari atasan akan

menunjukan Organizational Citizenship Behavior yang rendah dengan ditandai

melalui emosi negatif pada diri karyawan yang membuat konflik dalam oranisasi

36

sulit teratasi dengan baik dan kurang adanya ikatan antara setiap anggota,

sehingga karyawan sulit bekerja melebihi harapan organisasinya (Organ, dkk.,

2006). Hal tersebut di dukung berdasarkan hasil penelitian Haryati, Mariatin, dan

Supriyantini (2014) yaitu Pengaruh persepsi kepemimpinan transformasional dan

budaya organisasi terhadap organizational citizenship behavior. Hasil penelitian

tersebut menunjukan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transformasional dapat

mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior pada karyawan. Hasil

penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa semakin positif persepsi

karyawan terhadap gaya kepemimpinan transformasional maka semakin tinggi

pula Organizational Citizenship Behavior karyawan, sebaliknya semakin negatif

persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan transformasional maka semakin

rendah pula Organizational Citizenship Behavior karyawan. Selain itu, hasil

penelitian Pratama (2017) yaitu Hubungan kepemimpinan transformasional

dengan Organizational Citizenship Behavior pada perawat (studi pada perawat

RSIA Eria Bunda Pekanbaru) yang menunjukan bahwa terdapat hubungan positif

yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dengan Organizational

Citizenship Behavior karyawan.

D. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara

persepsi gaya kepemimpinan transformasional dengan Organizational Citizenship

Behavior pada Satuan Polisi Pamong Praja Yogyakarta. Semakin gaya

kepemimpinan transformasional dipersepsikan positif, maka semakin tinggi

37

Organizational Citizenship Behavior pada Satuan Polisi Pamong Praja.

Sebaliknya, semakin gaya kepemimpinan transformasional dipersepsikan negatif,

maka semakin rendah Organizational Citizenship Behavior pada Satuan Polisi

Pamong Praja.