Upload
doannga
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
1. Pengertian Organiztional Citizenship Behavior (OCB)
Organizational Citizenship Behavior merupakan perilaku karyawan
terhadap pilihan dan inisiatif secara individual yang tidak berkaitan dengan sistem
reward formal porganisasi, tetapi secara agregat atau luar biasa dapat
meningkatkan efektivitas organisasi (Organ, 2006). Organizational Citizenship
Behavior juga merupakan bentuk perilaku pilihan individual yang tidak secara
formal ada dalam organisasi, melainkan perilaku sukarela yang ditunjukan
karaywan untuk mensukseskan organisasinya. (Podsakoff, Bachrach, & Bendoly,
2001). Menurut Newstrom (2007) Organizational Citizenship Behavior adalah
tindakan yang dipilih karyawan secara bebas dan melebihi panggilan tugas yang
dapat meningkatkan kesuksesan organisasi. Lebih lanjut, Organizational
Citizenship Behavior Sering ditandai dengan spontanitas, bersifat sukarela,
berdampak pada hasil yang membangun, perilaku yang tak terduga berguna untuk
orang lain, dan kenyataannya boleh memilih. Kaswan (2017) menyatakan bahwa
Organizational Citizenship Behavior adalah perilaku warga organisasi yang baik
karena melebihi ketentuan formal tugas-tugas yang diberikan kepadanya,
sehingga perilaku tersebut dapat menguntungkan bagi organisasi.
Robbins (2008) mendefinisikan Organizational Citizenship Behavior
sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal
17
seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara
efektif dan efisien. Lebih lanjut, Organizational Citizenship Behavior juga
merupakan bentuk perilaku pilihan dan inisiatif individual yang jika tidak
ditampilkan pun, maka karyawan tidak akan diberikan hukuman apapun oleh
organisasinya. Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa Organizational
Citizenship Behavior adalah suatu perilaku kerja yang ditampilkan karyawan di
dalam organisasi yang dilakukan dengan sukarela diluar deskripsi kerja yang telah
ditetapkan untuk meningkatkan kemajuan kinerja organisasi.
Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli,
maka dapat disimpulkan bahwa Organizational Citizenship Behavior adalah
bentuk perilaku individual atau pilihan dari karyawan untuk secara sukarela
bekerja di luar deskripsi pekerjan yang telah ditetapkan, sehingga dapat
mensukseskan organisasinya.
2. Aspek-aspek Organiztional Citizenship Behavior (OCB)
Terbentuknya perilaku Organizational Citizenship Behavior ditandai
dengan lima aspek yang dikemukakan oleh Organ (2006), yaitu:
a. Altruism
Sikap menolong (altruism) yaitu perilaku berinisiatif untuk membantu atau
menolong rekan kerja dalam organisasi secara sukarela.
b. Sportsmanship
Sikap toleransi (sportsmanship) yaitu kesediaan individu menerima apapun
yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak
sewajarnya.
18
c. Conscientiousness
Sikap sukarela (conscientiousness) yaitu pengabdian atau dedikasi yang tinggi
pada pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap
aspek.
d. Courtesy
Sikap hormat (courtesy) yaitu perilaku individu yang menjaga hubungan baik
dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam
organisasi
e. Civic virtue
Sikap tanggung jawab (civic virtue) yaitu perilaku individu yang menunjukkan
bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat,
berpartisipasi, turut serta, dan peduli dalam berbagai kegiatan yang
diselenggarakan organisasi.
Aspek-aspek Organizational Citizenship Behavior selanjutnya dikemukakan
oleh Lepine (dalam Setyawan & Sahrah, 2012), yaitu:
a. Perilaku yang bersifat sukarela dan tidak termasuk dalam uraian jabatan,
artinya karyawan bekerja sukarela di luar dari deskripsi pekerjaannya.
b. Perilaku yang bersifat spontan dalam arti tidak diperintah atau disarankan
oleh orang lain, sehingga karyawan berinisiatif sendiri untuk melakukan
pekerjaan yang bukan termasuk dalam tugas formalnya.
c. Perilaku memiliki kontribusi terhadap keefektifan organisasi, yaitu perilaku
untuk merasa bertanggung jawab atas kelangsungan organisasi.
19
d. Perilaku yang tidak mudah diambil dan dihargai melalui evaluasi kinerja
karena perilaku tersebut tidak tercantum dalam uraian jabatan.
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat lima aspek
Organizational Citizenship Behavior menurut Organ (2006) yaitu yaitu altruis,
sportsmanship, conscientiousness, courtesy, dan civic virtue, selain itu
Organizational Citizenship Behavior juga mencangkup empat aspek lainnya
menurut Lepine (dalam Setyawan & Sahrah, 2012) yaitu perilaku yang bersifat
sukarela, perilaku yang bersifat spontan, perilaku memiliki kontribusi terhadap
keefektifan organisasi, dan perilaku yang tidak mudah diambil.
Dari beberapa aspek-aspek Organizational Citizenship Behavior yang telah
dijabarkan, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan
oleh Organ (2006) yaitu altruis, sportsmanship, conscientiousness, courtesy, dan
civic virtue. Aspek tersebut dipilih sebagai acuan yang digunakan untuk
mengukur Organizational Citizenship Behavior pada karyawan. Peneliti memiliki
pertimbangan dalam memilih aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel yang di
gunakan peneliti, penjabarannya lebih konkrit, didukung berdasarkan hasil
wawancara, dan dilihat dari kodisi tempat akan dijadikan tempat penelitian
sehingga kelima aspek tersebut mampu mengungkap Organizational Citizenship
Behavior yang dimiliki oleh subjek.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organiztional Citizenship Behavior
Shweta dan Srirang (2010) menyajikan sebuah tinjauan yang komprehensif
berupa kerangka kerja untuk mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
Organizational Citizenship Behavior, diantaranya:
20
a. Disposisi individu dan motif individu
Disposisi individu seperti positive affectivity, negative affectivity,
conscientiousness, agreeableness, dan juga locus of control
memainkanperanan penting dalam menentukan tingkat Organizational
Citizenship Behavior yang ditampilkan oleh pegawai. Selain disposisi
individu, pegawai didorong oleh motivasi baik intrinsik atau ekstrinsik untuk
menunjukkan Organizational Citizenship Behavior. Hal tersebut berkaitan
dengan Organizational Citizenship Behavior karena disposisi membuat
individu terdorong untuk melakukan suatu perilaku sukarela untuk
organisasinya.
b. Kohesivisitas individu
Pegawai pada umumnya berhubungan langsung dengan kelompok kerja dalam
pekerjaannya. Hal ini secara jelas memberikan pengaruh pada sikap dan
perilaku pegawai tersebut. Kohesivitas kelompok mendorong munculnya OCB
yang bertujuan untuk lebih mempererat hubungan agar kelompok menjadi
kuat dan efektif.
c. Sikap pegawai
Organizational Citizenship Behavior tergantung pada sikap positif karyawan
terhadap pekerjaan mereka serta terhadap organisasi, yang meliputi komitmen
organisasi dan kepuasan kerja. Karyawan yang memiliki sikap tersebut akan
menunjukan Organizational Citizenship Behavior karena merasakan kepuasan
dalam bekerja dan sulit meninggalkan organisasinya.
21
d. Kepemimpinan transformasional
Pegawai yang paling mungkin terlibat dalam Organizational Citizenship
Behavior adalah dalam kondisi manajer menampilkan perilaku kepemimpinan
transformasional seperti mempunyai visi, menjadi teladan, menyegarkan
intelektual bawahan, dan mengkomunikasikan harapan kinerja yang tinggi.
Jelas sekali bahwa perhatian pada munculnya Organizational Citizenship
Behavior pegawai bergantung pada efektivitas kepemimpinan yang berjalan
dalam organisasi.
e. Keadilan organisasi
Keadilan organisasi mencerminkan sejauh mana pegawai merasa
diperlakukan adil oleh organisasi. Organisasi yang mengikuti prinsip-prinsip
umum keadilan organisasi akan memastikan bahwa keadilan distributif,
keadilan prosedural, dan keadilan interaksional telah memiliki ukuran yang
baik dalam organisasi. Masing-masing komponen dalam keadilan organisasi
memberikan kontribusi yang sangat penting dalam membentuk
Organizational Citizenship Behavior pegawai dalam organisasi.
Bacrach, dkk. (2000) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi
Organizational Citizenship Behavior, yaitu :
a. Karakteristik individu
Karakteristik individu adalah karakter yang dimiliki dalam diri individu untuk
menunjukan performa kerja dalam organisasinya yang dapat mempengaruhi
terbentuknya Organizational Citizenship Behavior dengan sikap terhadap
22
pekerjaan, meliputi kepuasan kerja, komitmen organisasi, dukungan
kepemimpinan, serta persepsi akan keadilan, kepatuhan, keseimbangan,
sensifitas, dan kecenderungan untuk menyatakan sikap setuju atau tidak setuju
mengenai apa yang terjadi dalam suatu organisasi.
b. Karakteristik pekerjaan
Karakteristik pekerjaan adalah karakter yang melibatkan diri karyawan secara
aktif dalam organisasinya. Karakteristik pekerjaan cenderung menjadi
anteseden Organizational Citizenship Behavior dibandingkan karakteristik
pekerjaan yang rutin dan kurang mandiri karena pekerjaan yang rutin
menyebabkan karyawan merasa bosan dan tidak bisa mengembangkan
kreativitasnya.
c. Karakteristik organisasi
Karakteristik organisasi adalah karakter yang mendukung keberadaan dan
pengembangan diri karyawan secara positif melalui budaya organisasi, iklim
organisasi dan reward system (sistem hadiah) yang sesuai, dimana karyawan
akan menunjukkan Organizational Citizenship Behavior sebagai bentuk
timbal balik atas apa yang diberikan perusahaanya. Harapan yang sesuai
dengan keinginan karyawan akan menimbulkan Organizational Citizenship
Behavior sebagai bentuk timbal balik atas apa yang diberikan organisasi
kepada karyawan (Bacrach, dkk., 2000),
d. Karakteristik kepemimpinan organisasi
Karakteristik pemimpin dalam organisasi yang dapat menjadi anteseden
Organizational Citizenship Behavior dengan karakteristik kepemimpinan
23
transaksional melalui proses transaksi yang telah disepakati antara dirinya
dengan karyawan. Selanjutnya, karakteristik kepemimpinan transformasional
merupakan proses memotivasi pengembangan diri karyawan yang akan
menunjukan Organizational Citizenship Behavior karena merasa diperhatikan
dan termotivasi oleh pemimpinnya.
Berdasarkan uraian faktor-faktor yang sudah dipaparkan sebelumnya,
terdapat lima faktor yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior
menurut Shweta dan Srirang (2010) yaitu disposisi individu dan motif individu,
kohesivisitas individu, sikap pegawai, kepemimpinan transformasional, dan
keadilan organisasi, selain itu Organizational Citizenship Behavior juga
mencangkup faktor lainnya menurut Bacrach, dkk. (2000) yaitu faktor
karakteristik individu, karakteristik pekerjaan, karakteristik organisasi, dan
karakteristik kepemimpinan organisasi.
Dari uraian yang telah dikemukakan, peneliti akan menggunakan faktor
yang mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior dari Shweta dan
Srirang (2010) yaitu kepemimpinan transformasional. Menurut Jahangir (2004)
gaya kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh yang kuat pada
kesediaan karyawan untuk terlibat dalam Organizational Citizenship Behavior,
hal tersebut karena pemimpin mampu mengubah sikap yang dimiliki anggotanya,
dapat memberikan arahan sesuai dengan kebutuhan angotanya, dan dapat
memberikan keadilan bagi setiap anggota yang dipimpinnya, sehingga karyawan
merasa didukung dan diperdulikan. Lebih lanjut, dukungan dari pemimpin yang
dirasakan karyawan akan menimbulkan Organizational Citizenship Behavior
24
dengan menunjukan perilaku-perilaku karyawan diluar dari deskripsi tugasnya
untuk memajukan organisasi yang ditempatinya. Shweta dan Srirang (2010) juga
menyatakan bahwa karyawan yang paling mungkin terlibat dalam Organizational
Citizenship Behavior adalah dalam kondisi pemimpin menampilkan perilaku
kepemimpinan transformasional seperti mempunyai visi, menjadi teladan,
menyegarkan intelektual bawahan, dan mengkomunikasikan harapan kinerja yang
tinggi, dengan begitu perhatian pada munculnya Organizational Citizenship
Behavior karyawan bergantung pada efektivitas kepemimpinan yang berjalan
dalam organisasi. Hal tersebut di dukung berdasarkan hasil penelitian Pratama
(2017) yang menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kepemimpinan transformasional dengan Organizational Citizenship Behavior
karyawan. Selain itu, hasil penelitian Haryati, Mariatin, dan Supriyantini (2014)
menunjukan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transformasional dapat
mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior pada karyawan. Oleh karena
itu, persepsi terhadap gaya kepemimpinan transformasional akan menjadi satu
faktor dominan dan variabel bebas dalam penelitian ini.
B. Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional
1. Pengertian Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional
Persepsi adalah suatu proses yang aktif, karena seluruh aspek dalam diri
individu seperti pengalaman dan kemampuan berfikir dapat mempengaruhi proses
persepsi tersebut. Keterlibatan seluruh aspek dalam diri individu dalam
melakukan pemaknaan menyebabkan stimulus yang sama dapat diartikan
25
berbeda-beda pada beberapa individu (Walgito, 2010). Persepsi merupakan reaksi
atau tanggapan yang diberikan seseorang, dimana seseorang hanya bisa
menggunakan sebagian kecil rangsangan kesadaran (sensory stimuli) terhadap
suatu objek maupun peristiwa yang diinterprestasikan sesuai dengan harapan,
nilai-nilai, dan keyakinannya. Lebih lanjut seseorang dapat mempresepsikan apa
saja yang dikehendakinya (Wexley & Yukl, 2003). Salah satunya persepsi
terhadap gaya kepemimpinan. Menurut Kaswan (2017) gaya kepemimpinan yang
dipilih seorang pemimpin akan dipersepsikan oleh karyawan sebagai
penghayatannya terhadap penerapan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh
pemimpinnya.
Siagian (2003) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan
keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja
untuk mempengaruhi perilaku anggotanya untuk berpikir dan bertindak
sedemikian rupa, sehingga dapat memberikan sumbangsih nyata dalam
memperbaiki kelompok dan budayanya untuk pencapaian tujuan organisasi. Yukl
(2010) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan adalah proses yang dilakukan
pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya untuk memahami dan setuju dengan
apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif,
memfasilitasi upaya individu maupun kolektif untuk mencapai tujuan bersama
(Yukl, 2010). Menurut Kaswan (2017) seorang pemimpin memiliki gaya
kepemimpinannya masing-masing dan salah satunya adalah gaya kepemimpinan
transformasional.
26
Teori transformasional menyatakan bahwa suatu perilaku tertentu dari
pemimpin akan menarik minat pengikut ke dalam level pemikiran yang lebih
tinggi. Lebih lanjut, gaya kepemimpinan transformasional merupakan bentuk
perilaku pemimpin yang mendorong ketertariakan diantara pegawai untuk
memandang pekerjaan dari perspektif baru, membangkitkan kesadaran atas misi
dan visi organisasi, mengembangkan kemampuan dan potensi pegawai ketingkat
yang lebih tinggi, sehingga pemimpin dapat memotivasi pegawai untuk lebih
mengutamakan kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan pribadi (Bass &
Avolio, 2003). Luthans (2006) menjelaskan bahwa pemimpin transformasional
lebih sering memakai taktik legitimasi dan melahirkan tingkat identifikasi maupun
internalisasi yang lebih tinggi, memiliki kinerja yang lebih baik, dan dapat
mengembangkan pengikutnya. Hughes, dkk. (2012) menjelaskan bahwa
kepemimpin transformasional merupakan gaya pemimpin yang memiliki visi,
keahlian retorika, pengelolaan kesan yang baik dan menggunakannya untuk
mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pengikutnya, sehingga
mendorong tergugahnya emosi pengikut serta kesediaanya untuk bekerja
mewujudkan visi sang pemimpin. kepemimpinan transformasional juga adalah
pemimpin yang mendorong para pengikutnya untuk merubah motif,
kepercayaaan, nilai, dan kemampuan sehingga minat dan tujuan pribadi dari para
pengikut dapat selaras dengan visi dan tujuan organisasi (Goodwin, dkk., 2001).
Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli,
maka dapat disimpulkan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transformasional
adalah penilaian karyawan bahwa pimpinanya memiliki visi dan misi yang dapat
27
memberikan dorongan dalam menjalankan pekerjaan, mampu memberikan
iakatan emosional, dan membantu mencapai tujuan organisasi dengan
memperlakukan setiap anggota sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
2. Aspek-aspek Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional
Bass dan Avolio (2003) mengemukakan bahwa terdapat empat aspek
kepemimpinan transformasional, yaitu:
a. Idealized influence
Pengaruh idealis (individualized influence) adalah perilaku pemimpin yang
menghasilkan rasa hormat (respect) dan rasa percaya diri (trust) dari
orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin juga menetapkan moral dan etika,
serta menggunakan kemampuan untuk menggerakkan individu maupun
kelompok untuk pencapaian bersama.
b. Inspirational motivation
Motivasi inspirational (inspirational motivation) adalah perilaku pemimpin
yang mampu menjadikan dirinya sebagai inspirasi untuk karyawannya serta
selalu memberikan motivasi. Karakter seperti ini akan membangkitkan
optimisme dan antuasisme yang tinggi dari para karyawan. Pemimpin
bertindak sebagai model atau panutan bagi pengikut, mengkomunikasikan
visi, komitmen pada tujuan organisasi, dan mengarahkan upaya-upaya
pengikut.
c. Intellectual stimulation
28
Stimulasi intelektual (intellectual stimulation) merupakan seorang pemimpin
yang memiliki karakter yang mampu mendorong karyawannya untuk
menyelesaikan permasalahan dengan cermat dan rasional. Pemimpin
merangsang para karyawannya untuk berpikir secara kreatif dan inovatif,
dengan memberikan asumsi pertanyaan, merancang kembali masalah yang
telah lampau untuk diselesaikan dengan cara baru, dan melakukan pencarian
gagasan dalam memecahkan masalah.
d. Individualized consideraion
Konsiderasi individual (individualized consideration) adalah perilaku
pemimpin yang selalu mendengarkan dan memberikan perhatian khusus
kepada kebutuhan prestasi dan kebutuhan dari orang-orang yang dipimpin
nya. Pemimpin yang memberikanperhatian pribadi, memperlakukan masing-
masing bawahan secara individual sebagai seorang individu dengan
kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi yang berbeda. Pemimpin juga
mendampingi bawahannya, memonitor, melatih dan memberikan saran.
Aspek-aspek kepemimpinan transformasional selanjutnya dikemukakan oleh
Luthans (2006) yaitu:
a. Karisma
Karisma yaitu memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga,
mendapatkan respek dan kepercayaan.
b. Inspirasi
29
Inspirasi yaitu mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan sImbol-
simbol untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan tujuan penting dalam
cara yang sederhana.
c. Stimulasi intelektual
Stimulasi intelektual yaitu menunjukkan inteligensi, rasional, pemecahan
masalah secara hati-hati.
d. Memperhatikan individu
Memperhatikan yaitu menunjukkan perhatian terhadap pribadi,
memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati.
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat empat aspek
kepemimpinan transformasional menurut Bass dan Avolio (2003) yaitu Idealized
influence, Inspirational motivation, Intellectual stimulation, Individualized
consideration, selain itu kepemimpinan transformasional juga terbagi kedalam
empat aspek lainnya menurut Luthans (2006) yaitu Karisma, Inspirasi, Stimulasi
intelektual, dan Memperhatikan individu.
Dari beberapa aspek-aspek kepemimpinan transformasional yang telah
dijabarkan, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan
oleh Bass dan Avolio (2003) yaitu idealized influence, inspirational motivation,
intellectual stimulation, individualized consideration. Aspek tersebut dipilih
sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur persepsi kepemimpinan
transformasional pada karyawan. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih
aspek tersebut yaitu sejalan dengan variabel yang di gunakan peneliti,
penjabarannya lebih konkrit, dan dilihat dari kodisi tempat akan dijadikan tempat
30
penelitian sehingga kelima aspek tersebut mampu mengungkap persepsi
kepemimpinan transformasional yang dimiliki oleh subjek.
C. Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional
dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan
Pembangunan daerah merupakan bagian internal pembangunan nasional yang
dapat mewujudkan cita-cita nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amri, 2015). Menurut
Nurdin (2014) terpenuhinya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dapat menjadikan Indonesia sebagai Negara yang tertib dan tentram,
sehingga masyarakat merasakan kenyamanan hidup bernegara. Amri (2015)
menyatakan bahwa ketertiban dan ketentraman merupakan salah satu penangkal,
pencegah, dan penanggulangan segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-
bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Oleh karena itu,
aparatur berperan dalam upaya mewujudkan kondisi lingkungan yang tertib dan
nyaman yang didapatkan melalui peran penting Satuan Polisi Pamong Praja.
Menurut Polppjogja (2015) yang merupakan website resmi Polda
Yogyakarta menjelaskan bahwa Satuan Polisi Pamong Praja yang disingkat
sebagai Satpol PP merupakan perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara
ketertiban umum dan menegakkan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat
berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten atau Kota. Salah satunya
juga berkedudukan di Daerah Istimewa Yogyakarta Yogyakarta. Suryana dan
Aminah (2018) menyatakan bahwa Satpol PP tidak hanya di tuntut untuk
31
melakasanan tugas dalam deskripsi pekerjaannya saja, melainkan di tuntut
senantiasa bertindak tegas, tapi dilakukan dengan tidak emosional. Sikap tegas
memiliki dua unsur yang terdiri atas keep on track atau sesuai regulasi dan aturan
yang ada, sehingga yang tidak sesuai dengan Undang-undang harus diluruskan.
Sedangkan, unsur kedua ketegasan itu merupakan teguh pendirian dengan apa
yang sudah ditegakkan seperti saat menutup suatu tempat hiburan dan penurunan
baliho rokok dan kukuh mempertahankan agar tidak hidup lagi.
Menurut Robbins dan Judge (2007) dalam dunia kerja yang dinamis seperti
saat ini, dimana tuntutan tugas-tugas semakin banyak dapat mengakibatkan
pegawai enggan mengeluarkan pendapat yang konstruktif, sulit membantu timnya,
lebih sering terjadi konflik, dan kurang berlapang dada memahami gangguan kerja
yang terkadang sulit diprediksi atau terjadi secara spontan. Hal-hal tersebut
tentunya tidak akan terjadi ketika pemimpin mampu memberikan gaya
kepemimpinan yang efektif (O’Leary, 2001). Menurut Jahangir (2004) gaya
kepemimpinan memiliki pengaruh yang kuat pada kesediaan karyawan untuk
terlibat dalam Organizational Citizenship Behavior yaitu menunjukan perilaku
sukarela dalam bekerja di luar dari deskripsi tugasnya. O’Leary (2001)
menyatakan bahwa karyawan yang mempersepsikan negatif terhadap
kepemimpinan transformasional, maka sulit menunjukan perilaku extra-roll yaitu
melakukan pekerjaan sesuai job description dan perilaku in-roll yaitu kontribusi
peran ekstra dalam bekerja, sehingga berakibat pada sulitnya pencapaian hasil
yang melebihi tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Bass dan Avolio (2003)
pemimpin transformasiona harus memenuhi empat aspek agar berpengaruh baik
32
bagi anggotanya yaitu aspek idealized influence, inspirational motivation,
intellectual stimulation, individualized consideration.
Aspek individualized influence adalah perilaku pemimpin yang
menghasilkan rasa hormat dan rasa percaya diri dari orang-orang yang
dipimpinnya (Bass & Avolio, 2003). Karyawan yang mempersepsikan positif
terhadap individualized influence akan memiliki keyakinan pada pemimpinnya,
merasa bangga bisa bekerja dengan pemimpinnya, dan mempercayai kapasitas
pemimpinnya dalam mengatasi setiap permasalahan (Robbins & Judge, 2008).
Kepercayaan kepada pemimpin membuat karyawan menunjukan Organizational
Citizenship Behavior-nya dengan perilaku dalam mematuhi segala peraturan, prosedur
yang berlaku, dan regulasi organisasi meskipun tidak ada pihak yang mengawasinya
dalam menjalankan pekerjaan (Podsakoff, dkk., 2001). Menurut Antonakis, dkk. (2003)
persepsi negatif terhadap individualized influence menjadikan karyawan menilai
pimpinannya sebagai pemimpin yang kurang bersifat proaktif, mementingkan
dirinya sendiri dibandingkan meningkatkan perhatian atas kepentingan bersama,
dan pemimpin sulit membantu para pengikut mencapai tujuan pada tingkatan yang
paling tinggi. Hal tersebut dapat menimbulkan Organizational Citizenship
Behavior yang rendah dengan ditandai melalui emosi negatif pada diri karyawan
yang membuat konflik dalam oranisasi sulit teratasi dengan baik dan kurang
adanya ikatan antara setiasp angota (Organ, dkk., 2006).
Ikatan setiap anggota organisasi dapat terjadi ketika pemimpin menerapkan
aspek inspirational motivation yaitu perilaku pemimpin yang mampu menjadikan
dirinya sebagai inspirasi untuk karyawannya, sehingga dapat membangkitkan
33
optimisme dan antuasisme yang tinggi dari para karyawan dalam melakukan
pekerjaannya (Bass & Avolio, 2003). Karaywan yang antusias dalam bekerja akan
menunjukan OCB-nya dengan menunjukan spontanitas dan memiliki sikap
sukarela, sehingga karyawan akan menunjukan hasil yang membangun
organisasinya (Newstrom, 2007). Menurut Bass dan Avolio (2003) inspirational
motivation yang dipandang negatif menyebabkan karyawan pesimis dalam
menjalani pekerjaan dan kurang bersemangat menyelesaikan pekerjaan dengan
optimal, sehingga karyawan sulit komitmen pada tujuan organisasi. Kurangnya
komitmen dalam diri karyawan berdampak pada perilaku Organizational
Citizenship Behavior-nya yaitu karyawan kurang bertanggungjawab, pasif dalam
hubungan keorganisasian dan tidak adanya inisiatif untuk merekomendasi
bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi yang dapat diperbaiki
(Organ, 2006).
Prosedur organisasi tentunya dapat diperbaiki melalui peran dari pemimpin
yang menerapkan aspek intellectual stimulation yaitu karakter pemimpin mampu
mendorong karyawannya untuk menyelesaikan permasalahan dengan cermat dan
rasional, sehingga karyawan dapat berpikir secara kreatif serta inovatif dengan
memberikan asumsi pertanyaan, merancang kembali masalah yang telah lampau
untuk diselesaikan dengan cara baru, dan melakukan pencarian gagasan dalam
memecahkan masalah (Bass & Avolio, 2003). Masalah organisasi yang
terselesaikan menunjukan bahwa para anggotanya memiliki Organizational
Citizenship Behavior, sehingga mampu meningkatkan efektifitas dan kesuksesan
organisasi seperti biaya operasional rendah dan waktu penyelesaian pekerjaan
34
lebih cepat, karena dapat mengggunakan sumber daya secara optimal (Garay,
2006). Luthans (2006) menyatakan intellectual stimulation yang dipersepsikan
negatif membuat karyawan menilai bahwa pimpinannya tidak dapat
mengkomunikasikan harapan, kurang menunjukkan inteligensi serta rasional, dan
sulit pemecahan masalah secara hati-hati. Permasalahn yang sulit terpecahkan
dapat menimbulkan konflik dalam organisasi yaitu seseorang tetap bersikukuh
mempertahankan pendapatnya yang tidak disetujui anggota lainnya dan tidak
bersedia membantu anggota lain, atasan, serta organisasinya dalam memecahkan
permasalahan dan menyelesaikan masalah (Podsakoff, dkk., 2001).
Permasalahan dapat terselesaikan ketika aspek individualized consideration
diterapkan pemimpin dalam organisasinya. Lebih lanjut, aspek tersebut
merupakan perilaku pemimpin yang selalu mendengarkan dan memberikan
perhatian khusus kepada kebutuhan prestasi dan kebutuhan dari orang-orang yang
dipimpin nya. Individualized consideration yang dipersepsikan positif membuat
karyawan memandang atasannya dapat membantu pekerjaannya dengan
memberikan perhatian pribadi, mendampingi, memonitor, melatih dan mampu
memberikan saran kepada karyawannya (Bass & Avolio, 2003). Bantuan dari
pengawas yang diterima dapat menimbulkan Organizational Citizenship Behavior
dengan menunjukan ketaatan karyawan melalui kemauannya untuk mematuhi
peraturan, prosedur maupun instruksi organisasi. Perilaku yang mencerminkan
kepatuhan dalam organisasi dapat ditunjukkan dengan ketepatan waktu masuk
kerja, ketepatan penyelesaian tugas, dan tindakan karyawan terhadap sumber atau
aset organisasi (Graham, dalam Marlinda & Turnip). Kaswan (2017) menyatakn
35
bahwa kurangnya bantuan pengawas membuat karyawan tidak akan mencapai
kepuasan akhirnya menimbulkan emosi negatif yang dapat menurunkan
kinerjanya. Hal tersebut tejadi melalui Organizational Citizenship Behavior yang
dimilikinya, dengan demikian karyawan akan mengabaikan peraturan, prosedur,
dan regulasi organisasi jika tidak ada pihak yang mengawasi (Podsakoff, ddk.
(2001).
Menurut Robbins dan Judge (2008) karaywan yang mempersepsikan
positif terhadap gaya kepemimpinan transformasional akan memiliki keyakinan
pada pemimpinnya, merasa bangga bisa bekerja dengan pemimpinnya, dan
mempercayai kapasitas pemimpinnya dalam mengatasi setiap permasalahan.
Organ (2006) menyatakan bahwa permasalahan yang terselesaikan membuat
karyawan lebih berkontribusi lagi terhadap organisasinya dengan bekerja melebihi
tuntutan peran di tempat kerja yang dapat menimbulkan sikap Organizational
Citizenship Behavior, sehingga kayawan menunjukan perilaku sukarela untuk
mensukseskan organisasinya (Organ, 2006).
Menurut Antonakis, dkk. (2003) gaya kepemimpinan transformasional
yang dipersepsikan negatif menyebabkan karyawan memandangan pimpinannya
sebgai seorang pemimpin yang kurang bersifat proaktif, mementingkan dirinya
sendiri dibandingkan meningkatkan perhatian atas kepentingan bersama, dan
pemimpin sulit membantu anggotanya ketika terjadi permasalahan dengan
pekerjaannya. Karyawan yang merasakan kurangnya perhatian dari atasan akan
menunjukan Organizational Citizenship Behavior yang rendah dengan ditandai
melalui emosi negatif pada diri karyawan yang membuat konflik dalam oranisasi
36
sulit teratasi dengan baik dan kurang adanya ikatan antara setiap anggota,
sehingga karyawan sulit bekerja melebihi harapan organisasinya (Organ, dkk.,
2006). Hal tersebut di dukung berdasarkan hasil penelitian Haryati, Mariatin, dan
Supriyantini (2014) yaitu Pengaruh persepsi kepemimpinan transformasional dan
budaya organisasi terhadap organizational citizenship behavior. Hasil penelitian
tersebut menunjukan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transformasional dapat
mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior pada karyawan. Hasil
penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa semakin positif persepsi
karyawan terhadap gaya kepemimpinan transformasional maka semakin tinggi
pula Organizational Citizenship Behavior karyawan, sebaliknya semakin negatif
persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan transformasional maka semakin
rendah pula Organizational Citizenship Behavior karyawan. Selain itu, hasil
penelitian Pratama (2017) yaitu Hubungan kepemimpinan transformasional
dengan Organizational Citizenship Behavior pada perawat (studi pada perawat
RSIA Eria Bunda Pekanbaru) yang menunjukan bahwa terdapat hubungan positif
yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dengan Organizational
Citizenship Behavior karyawan.
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara
persepsi gaya kepemimpinan transformasional dengan Organizational Citizenship
Behavior pada Satuan Polisi Pamong Praja Yogyakarta. Semakin gaya
kepemimpinan transformasional dipersepsikan positif, maka semakin tinggi