Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
11
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Yuridis tentang Tindak Pidana dan Tindak Pidana Penyelundupan
1. Pengertian Tindak Pidana
Dari berbagai literature tindak pidana merupakan istilah yang berasal dari
terjemahan strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Menurut Adami Chazawi di
Indonesia sendiri dikenal ada tujuh istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari
istilah strafbaarfeit. Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-
undangan yang ada maupun dalam berbagai literature hukum sebagai terjemahan
dari istilah strafbaar feit antara lain adalah:4
“Tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan
yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan yang terakhir
adalah perbuatan pidana”.
Secara doktrinal, dalam hukum pidana dikenal dua pandangan tentang perbuatan
pidana, yaitu:5
a. Pandangan Monitis
“Pandangan monitis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan
syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dan
perbuatan”.
Dalam pandangan monitis ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman,
bahwa di dalam pengertian dari perbuatan/tindak pidana didalamnya sudah
tercakup perbuatan yang dilarang (criminal act) dan pertanggung jawaban
4Adami Chazwi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta. PT. Raja Grafindo Perseda.
Halaman 67 5 Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Halaman 31-32
12
12
pidana/kesalahan (criminal responbility). Menurut D. Simons tindak pidana itu
sendiri adalah:6
“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-
jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.
Sedangkan menurut Simons, untuk adanya suatu tindak pidana harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:7
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)
maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);
2. Diancam dengan pidana;
3. Melawan hukum;
4. Dilakukan dengan kesalahan; dan
5. Oleh orang yang mampu bertanggunga jawab.
Strafbaarfeit secara harafiah merupakan suatu peristiwa pidana dan
dirumuskan oleh Simons yang berpandangan monitis sebagai kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, dimana perbuatan tersebut bersifat
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab. Andi Zainal Abidin menyatakan bahwa
kesalahan yang dimaksud oleh Simons meliputi dolus (sengaja) dan culpa (alpa,
lalai) dan berkomentar sebagai berikut:8
“Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act)
yang meliputi perbuatan serta sifat yang melawan hukum, perbuatan dan
pertanggungjawaban pidana (criminal responbility) dan mencangkup
kesengajaan, kealpaan, dan kelalaian dan kemampuan bertanggung
jawab”.
6 Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Citra
Aditya Bakti. Halaman 185 7 Tongat. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pem-
baharuan. Malang. UMM Pers. Halaman 95 8 Andi Zainal Abidin. 1987. Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana dan Beberapa
Pengupasan tentang Delik-Delik). Jakarta. Prapanca. Halaman 250
13
13
Van Hammel yang termasuk berpandangan monitis juga menerjemahkan
strafbaarfeit ke dalam tindak pidana adalah:9
“Perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang melawan
hukum, strafwaardig (patut atau dapat bernilai untuk dipidana), dan
dapat dicela karena kesalahan (en dan schould to wijten)”.
b. Pandangan Dualistis
Jika pandangan monistis ini melihat keseluruhan dari syarat adanya
pidana telah melekat pada perbuatan pidana, berbeda pula dengan pandangan
dualistis. Dalam pandangan dualistis ini memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan monistis dalam pengertian
tindakan pidana sudah tercakup di dalamnya baik criminal act maupun criminal
responbility, sedangkan menurut pandangan dualistis, yaitu:10
“Dalam tindak pidana hanya dicakup criminal act, dan criminal
responbility tidak menjadi unsur tindak pidana”.
Pandangan dualistis ini berpendapat bahwa yang termasuk tindak pidana
hanya berupa perbuatannya saja, sedangkan pertanggungjawaban dan
kesalahannya tidak termasuk pada tindak pidana. Menurut pandangan dualistis
yang diancam pidana itu adalah perbuatan pidana yang diancam pidana sesuai
dengan ketentuan undang-undang atau hanya berupa rumusan undang-undang
saja. Artinya terhadap suatu perbuatan pidana belum dapat dijatuhkan pidana bila
tidak ada orangnya dan pada orang yang dimaksud dan harus ada sifat melawan
hukum atau kesalahan pada orang itu.11
9 Ibid. 10 Opcit. Halaman 96 11 James Pardede. 2007. Diktat Hukum Pidana. Universitas Bung Karno. Halaman 22
14
14
Maka dari itu untuk adanya pidana tidak cukup hanya bila terjadi tindak
pidananya saja, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau per-
tanggungjawaban pidananya. Batasan yang dikemukakan tentang tindak pidana
oleh sarjana yang menganut pandangan dualistis ini yaitu Pompe berupa:12
“Dalam hukum positif strafbaarfeit tidak lain adalah feit (tindakan, pen),
yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, sehingga sifat
melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya
tindak pidana”.
2. Pengertian Tindak Pidana Penyelundupan
Tindak Pidana Penyelundupan ialah mengimpor, mengekspor,
mengantarpulaukan barang dengan tidak memenuhi peraturan perundang-
undangan yang berlaku, atau tidak memenuhi formalitas pabean
(douaneformaliteiten) yang ditetapkan oleh undang-undang13, pengertian
penyelundupan jika diterjemahkan secara harfiah menurut Baharuddin Lopa ialah
sebagai berikut:14
“Pengertian tindak pidana penyelundupan dari (bahasa inggris: smuggle,
bahasa belanda: smokkel) ialah mengimpor, mengekspor, mengantar
pulaukan barang dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau tidak memenuhi formalitas pabean (duoanefor-
maliteiten) yang diterapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Duoaneformaliteiten ialah syarat-syarat pabean yang harus dipenuhi
dalam hal memasukkan (mengimpor) atau mengeluarkan (mengekspor)
barang termasuk perdagangan (pengangkutan) interinsuler”.
Pengertian penyelundupan yang diungkapkan oleh Baharuddin Lopa
merupakan pengertian luas. Sedangkan pengertian sempit mengenai penye-
12 Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni. Halaman 31-32
13 Soufnir Chibro. 1992. Pengaruh Tindak Pidana Penyelundupan Terhadap Pem-
bangunan. Jakarta. Sinar Grafika. Halaman 5 14 Baharuddin Lopa. 1984. Tindak Pidana Ekonomi (Pembahasan Tindak Pidana
Penyelundupan). Yogyakarta. Halaman 24
15
15
lundupan terdapat di dalam Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1967 pada Pasal
1 ayat (2) tertanggal 27 Mei 1967 bahwa:
“Tindak pidana yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang
dari Indonesia ke luar negeri (ekspor) atau pemasukan barang atau uang
dari luar negeri ke Indonesia (Impor)”
Dari definisi yang diberikan berdasarkan Keputusan Presiden ini
menyimpulkan bahwa, tindak pidana yang berhubungan langsung dengan
pengeluaran atau pemasukan barang adalah merupakan tindak pidana
penyelundupan. Menurut Andi Hamzah perumusan tersebut diatas terlalu luas dan
tidak yuridis, karena semua tindak pidana itu berhubungan dengan ekspor dan
impor. Jadi, penipuan, pencurian, pemalsuan, penyuapan pejabat pabean yang
berhubungan dengan ekspor dan impor adalah penyelundupan. Namun maksud
pembuat peraturan tersebut tidak demikian, tetapi sejajar dengan pengertian
penyelundupan (smuggling) dalam The Lexicon Webster Dictionary, yang
berbunyi sebagai berikut:
“To import or export secretly and contrary to law, without payment of
legally required duties” (Memasukkan atau mengeluarkan barang-barang
dan uang secara rahasia bertentangan dengan dengan hukum tanpa
membayar bea yang diharuskan menurut peraturan).
Pengertian dari The Lexivon Webster Dictionary hampir mendekati
pengertian yuridis sebelumnya. Namun ada perbedaan sedikit, yaitu semua
peruatan yang melanggar ordonansi bea (rechten ordonnantie) dan diancam
pidana.
Penyelundupan itu sendiri dibagi menjadi dua bentuk, yaitu
penyelundupan administratif dan penyelundupan fisik:
16
16
a. Penyelundupan adminstratif
Yang dimaksud dengan penyelundupan administrasi adalah yang diatur
dalam Pasal 25 ayat (II) c Ordonansi Bea yang bunyinya sebagai berikut :
(II) Selanjutnya dapat dipidana barang siapa dengan sengaja atau bersalah karena
kelalaian :
a) Tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perlindungan
pengangkutan, kecuali ketentuan-ketentuan yang dibuat berdasarkan
ayat (2) Pasal 3 dalam jangka waktu yang ditetapkan tidak memasukkan
barang-barang ke dalam entrepot atau tidak menyerahkannya untuk
diperiksa atau dalam waktu yang ditetapkan tidak menyerahkan bukti
pengangkutan barang-barang ke luar daerah pabean atau
penimbunannya yang sah dalam daerah pabean, maka dalam ketiga hal
yang dimaksud terakhir barang siapa yang melakukan atau atas nama
siapa pemberitahuan dilakukan yang menyebabkan penetapan jangka
waktu itu, dianggap sebagai pelanggar.
b) Merintangi, mempersulit atau tidak memungkinkan pemeriksaan atau
pekerjaan lain-lain yang boleh atau harus dijalankan para pegawai.
c) Memberitahukan salah tentang jumlah, jenis atau harga barang-barang
dalam pemberitahuan-pemberitahuan impor, penyimpanan dalam
entepot, pengiriman ke dalam atau ke luar daerah pabean atau
pembongkaran atau dalam sesuatu pemberitahuan tidak menyebutkan
barang-barang yang dikemas dengan barang-barang lain.
17
17
Perlu diperhatikan tentang daerah pabean. Jika barang-barang tersebut
masih di daerah pabean, dikategorikan sebagai penyelundupan administrasi,
karena yang tidak sesuai adalah jumlah, jenis, atau harga barang yang dilaporkan,
dan masih ada kemungkinan untuk melunasi secara utuh kewajiban-kewajiban
membayar. Tetapi jika telah di luar pelabuhan, maka dikategorikan sebagai
penyelundupan fisik sebagaimana diatur Pasal 26b Ordonansi Bea.
b. Penyelundupan fisik
Penyelundupan fisik adalah bentuk perbuatan penyelundupan fisik ini biasa juga
disebut penyelundupan murni, yakni pemasukan (impor) atau mengeluarkan
(ekspor) dari dan dalam daerah pabean Indonesia tanpa dilindungi dokumen sama
sekali, baik melalui daerah pelabuhan atau tempat-tempat lain diluar daerah
pelabuhan.
Menurut Ali Said mengemukakan secara mendasar perbedaan
penyelundupan administratif dan penyelundupan fisik, yaitu:15
“Penyelundupan administratif memiliki dokumen resmi namun
opgavenya yang dipalsukan sedangkan penyelundupan fisik kaena
pemasukan mobil-mobil mewah itu dilakukan dengan memakai
dokumen-dokumen dipalsukan”.
Perlu diperhatikan tentang daerah Pabean. Jika barang-barang tersebut
masih di daerah Pabean, maka dikategorikan sebagai penyelundupan administrasi,
karena yang tidak sesuai adalah jumlah, jenis, atau harga barang yang dilaporkan,
dan masih ada kemungkinan untuk melunasi secara utuh kewajiban-kewajiban
15 Ibid.
18
18
membayar. Tetapi jika telah di luar pelabuhan, maka dikategorikan sebagai
penyelundupan fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 26 OB.16
B. Tinjauan Yuridis tentang Narkoba
Dalam pergaulan sehari-hari, narkotika dan psikotropika cenderung
disamakan. Masyarakat lebih mengenal pada zat tersebut sebagai Narkoba
(Narkoba dan obat-obatan terlarang/psikotropika) atau NAPZA.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika menyebutkan,
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman sintesis maupun semi
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan mengakibatkan
ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan
Menteri Kesehatan.17
Narkotika menurut Undang-Undang Nomer 35 Tahun 2010 dibagi
menjadi 3 (tiga) golongan yaitu:
a. Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta memiliki potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: Ganja, Heroin, Kokain, Morfim, dan Opium.
b. Golongan II : Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai
pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk
16 Marpaung Leden. 1991. Tindak Pidana Penyelundupan Masalah dan Pemecahan.
Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Halaman 6 17 Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal 1 ayat (1).
19
19
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Petidin, Benzetidin,
Betametadol.
c. Golongan III : Narkotika bersifat kesehatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh:
Kodein dan turunannya.
Didalam Undang-Undang Nomer 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
menjelaskan pengertian mengenai psikotropika, yaitu obat atau zat alamiah
sintesis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh efektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa antara narkotika dan
psikotropika adalah berbeda, walupun perbedaan tersebut tidak terlalu mendasar.
Pada umumnya masyarakat juga kurang memahami adanya perbedaan tersebut.
Zat narkotika bersifat menurunkan bahkan menghilangkan kesadaran seseorang
sedangkan zat psikotropika justru membuat seseorang semakin aktif dengan
pengaruh dari saraf yang ditimbulkan oleh pemakai zat psikotropika tersebut.18
Psikotropika menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 terbagi
menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
a. Golongan I: psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat menyebabkan sindroma
18 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pasal 1 ayat (1)
20
20
ketergantungan. Contoh: MDMA (Methylenedioxy– methylam-
phetamin/Ekstasi), LSD (Lycergic Alis Diethylamide), STP.
b. Golongan II : psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: Amfetamin, Metamfetamin, dan Metakualon.
c. Golongan III : prikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan untuk terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: Lumbibal, Buprenorsina, Fleenitarzeepam.
d. Golongan: IV: psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat
luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh: Nitrazepam (BK, Mogadon, Dumolid), dan
Diazepam.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 1 men-
jelaskan bahwa Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa sakit, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Prekursor
Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau kimia yang dapat digunakan
dalam pembuatan narkotika.19
19 F Asya, 2009. Narkotika dan Psikotropika, Asa Mandiri. Jakarta. Halaman 3
21
21
Narkotika sebagaimana yang diungkapkan farmakologi medis adalah
obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah
visceral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar namun harus
digertak) serta adiksi.20
Soedjono D menyatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah
sejenis zat, yang bila dipergunakan (dimasukan kedalam tubuh) akan membawa
pengaruh terhadap tubuh si pemakai. Pengaruh tersebut berupa: menenangkan,
merangsang, dan menimbulkan khayalan (halusinasi).21 Sedangkan menurut Elijah
Adams Narkotika terdiri dari zat sintesis dan semi sintesis yang terkenal adalah
heroin yang terbuat dari morphine yang tidak digunakan, tetapi banyak nampak
dalam perdagangan-perdagangan gelap, selain itu juga terkenal istilah dihydo
morfhine.22
Peraturan mengenai Narkotika telah diatur secara khusus dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Ini berarti bahwa untuk
menjerat pelaku kejahatan Narkotika harus menggunakan undang-undang yang
bersifat lebih khusus dari peraturan-peraturan yang lain. Hal tersebut berkaitan
dengan asas hukum yaitu lex spesialis derogate legi generalis atau ketentuan
khusus mengesampingkan ketentuan umum.
20 Wijaya A.W. 1985. Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika.
Armico, Bandung. Halaman 145 21 Sedjono D. 1977. Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia. Karya Nusantara.
Bandung. Halaman 5 22 Wilson Nadaek, 1983, Korban dan Masalah Narkotika, Indonesia Publishing House,
Bandung. Halaman 124
22
22
Selain beberapa definisi dari beberapa para ahli, definisi narkotika juga
terdapat didalam undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1979,
dimana pengertian Narkotika adalah sebagai berikut:
a. Bahan-bahan yang disebut dari angka 2 (dua) sampai angka 3 (tiga).
b. Garam-garam dan turunan-turunan dan morfhine dan kokaina.
c. Bahan-bahan lain namun alamiah sintesa maupun semi sintesa yang
belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfhine dan
kokaina yang ditetapkan oleh menteri kesehatan sebagai narkotika.
Bilamana disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan yang
merugikan, seperti morfhine dan kokaina.
d. Campuran-campuran yang sedian-sedian yang mengandung bahan
yang tersebut dalam huruf a, b, dan c.
Dalam hukum Indonesia terdapat asas lex specialis degorat legi
generalis yang artinya peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan
peraturan yang bersifat umum. Maksud dari asas tersebut adalah peraturan umum
tidak akan digunakan apabila ada aturan yang bersifat khusus. Tindak pidana
mengenai Narkotika telah diatur khusus didalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika. Berdasarkan asas lex specialis degorat legi
generalis tersebut untuk menjerat pelaku tindak pidana narkotika dapat digunakan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika karena undang-undang
tersebut bersifat khusus. Berikut adalah beberapa pasal yang dapat digunakan
23
23
untuk menjerat pelaku tindak pidana Penyelundupan Narkotika dengan cara
mengimpor. Pasal-Pasal tersebut adalah:23
Pasal 113
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidanapenjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).
Pasal 115
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 118
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, meng-
impor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00
23 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
24
24
(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya
melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidanapenjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 120
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau
mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 123
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
25
25
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimanadimaksud pada ayat (1)
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Berdasarkan beberapa pasal yang dapat menjerat pelaku tindak pidana
penyelundupan narkotika diatas, penulis berpendapat bahwa dibuatnya pasal
tersebut berupaya agar mengurangi bahkan mencegah terjadinya tindak pidana
penyelundupan narkotika itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat dari hukuman
berat yang diberikan pasal-pasal tersebut.
C. Tinjauan Yuridis Tugas dan Wewenang Bea dan Cukai
1. Pengertian Bea dan Cukai
Penerimaan pendapatan Negara dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk
diantaranya adalah melalui bea dan cukai. Dalam merealisasikan pajak-pajak
Negara, di Indonesia dikenal lembaga pelaksanaan pajak yang terdiri dari
Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai yang keduanya merupakan
bagian dari kementrian keuangan. Keberadaan kedua lembaga tersebut sangat
berhubungan erat terkait dengan upaya pengelolaan sumber penerimaan Negara.
Namun perlu diketahui, meskipun kedua lembaga tersebut berada dibawah
kementrian keuangan, namun secara umum pengaturan dilakukan secara terpisah.
Bea dan Cukai menurut Burhanuddin yaitu:24
24 Baharuddin. 2013. Proseur Hukum Pengurusan Bea dan Cukai. Yogyakarta: Yustisia.
Halaman 9
26
26
“Pengertian Bea dalam prosedur bea cukai adalah bea masuk dan bea
keluar daerah pabean. Bea masuk adalah pungutan Negara berdasarkan
undang-undang ini (kepabeanan) yang dikenakan terhadap barang yang
diimpor. Bea keluar adalah pungutan Negara berdasarkan undang-undang
ini (kepabeanan) yang dikenakan terhadap barang ekspor. Cukai adalah
pungutan Negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-
undang”.
Bea dan Cukai merupakan institusi global yang hamper semua Negara
didunia memilikinya. Di forum internasional bea dan cukai menggunakan sebutan
Administrasi Pabean (Costums Administration) yang ruang lingkup tugasnya
meliputi kepabeanan dan cukai atau hanya bidang kepabeanan saja. Lembaga bea
cukai setelah Indonesia merdeka dibentuk pada tanggal 1 Oktober 1945 dengan
nama Pejabatan Bea dan Cukai, yang kemudian pada tahun 1948 berubah menjadi
Jawatan Bea dan Cukai sampai dengan tahun 1965. Setelah tahun 1965 hingga
sekarang, nama lembaganya berubah lagi menjadi Direktorat Jendral Bea dan
Cukai (DJBC). DJBC merupakan unit eselon I di bawah kementrian keuangan
yang dipimpin oleh Direktur Jendral.25
2. Tugas Pokok Direktorat Bea dan Cukai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disingkat DJBC atau bea dan cukai
adalah nama dari sebuah instansi pemerintah yang melayani masyarakat di bidang
kepabeanan dan cukai. Pada masa penjajahan Belanda, bea dan cukai sering
disebut dengan istilah duane. Seiring dengan era globalisasi, bea dan cukai sering
menggunakan istilah customs.
Tugas dan fungsi Bea dan Cukai adalah berkaitan erat dengan
pengelolaan keuangan negara, antara lain memungut bea masuk berikut pajak
25 Ibid. halaman 18
27
27
dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPN Impor, PPh Pasal 22,PPnBM) dan
cukai. Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi
penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk
didalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC.26
Selain itu, tugas dan fungsi Bea dan Cukai adalah mengawasi kegiatan
ekspor dan impor, mengawasi peredaran minuman yang mengandung alkohol atau
etil alkohol, dan peredaran rokok atau barang hasil pengolahan tembakau lainnya.
Seiring perkembangan zaman, Bea dan Cukai bertambah fungsi dan tugasnya
sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau
bahkan pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu.
Tugas lain bea dan cukai adalah menjalankan peraturan terkait ekspor
dan impor yang diterbitkan oleh departemen atau instansi pemerintahan yang lain,
seperti dari Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen
Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Pertahanan dan
peraturan lembaga lainya.
Semua peraturan ini menjadi kewajiban bagi Bea dan Cukai untuk
melaksanakannya karena Bea dan Cukai adalah instansi yang mengatur keluar
masuknya barang di wilayah Indonesia. Esensi dari pelaksanaan peraturan-
peraturan terkait tersebut adalah demi terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam
pengawasan dan pelayanan, karena tidak mungkin jika setiap instansi yang
berwenang tersebut melaksanakan sendiri setiap peraturan yang berkaitan dengan
hal ekspor dan impor, tujuan utama dari pelaksanaan tersebut adalah untuk
26 Ismawati Septiningsi. 2014. Peran Direktorat Jendral Bea dan Cukai dalam
Menangani Penyelundupan Narkoba. Halaman 3
28
28
menghidari birokrasi panjang yang harus dilewati oleh setiap pengekspor dan
pengimpor dalam beraktivitas.
3. Wewenang Direktorat Jendral Bea dan Cukai
Tugas dari Direktorat Jendral Bea dan Cukai adalah penerimaan Negara
melalui cukai. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, pejabat bea dan cukai telah
diberikan kewenangan oleh Undang-Undang yang telah diatur dalam Pasal 33
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, yaitu:
a. Mengambil tindakan yang diperlukan atas barang kena cukai dan/atau
barang lainnya yang terkait dengan barang kena cukai berupa
penghentian, pemeriksaan, penegahan, dan penyegelan untuk
menjalankan undang-undang ini;
b. Mengambil tindakan yang diperlukan berupa tidak melayani
pemesanan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya;
c. Menegah barang kena cukai, barang lainnya yang terkait dengan
barang kena cukai, dan/atau sarana pengangkut.
Dalam melaksanakan kewenangannya, Pejabat Bea dan Cukai dapat
dilengkapi dengan senjata api yang jenis dan syarat-syarat penggunaanya telah
diatur dengan peraturan pemerintah. Mengingat besarnya bahaya penggunaan dari
senjata api itu sendiri maka penggunaannya sangat dibatasi. Menurut undang-
undang Pejabat Bea dan Cukai dalam menjalankan tugasnya diberi kesempatan
untuk meminta bantuan kepada Kepolisian Republik Indonesia, dan/atau instansi
lainnya yang bersifat mengikat bagi termohon.
Kewenangan melakukan penyidikan terhadap kasus dibidang kepabeanan
dan cukai oleh Pejabat Bea dan Cukai terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi bahwa Penyidik adalah:
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia;
29
29
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
Dalam hal ini Pejabat Bea dan Cukai merupakan Pegawai Negeri Sipil
(PNS) yang diberi kewenangan sesuai dalam undang-undang untuk melakukan
penyidikan terkait kejahatan kepabeanan dan cukai. Wewenang pejabat bea dan
cukai dalam melakukan penyidikan terdapat juga dalam Pasal 112 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeana, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jendral
Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
kepabeanan”.
Didalam Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan, Penyidikan Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud ayat (1) karena
kewajibannya berwenang:
a. Menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana di bidang Kepabeanan;
b. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
c. Meniliti, mencari, mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di
bidang Kepabeanan;
d. Melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang
disangka melakukan tindak pidana di bidang Kepabeanan;
30
30
e. Memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap
orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan
bukti adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan;
f. Memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut undang-
undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait;
g. Mengambil sidik jari orang;
h. Menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan;
i. Menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang
yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di
bidang Kepabeanan;
j. Menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang
dapat dijadikan sebagai barang bukti sehubungan dengan tindak
pidana di bidang Kepabeanan;
k. Memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat
dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang
Kepabeanan;
l. Mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang Kepabeanan;
m. Menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di
bidang kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
n. Menghentikan penyidikan;
31
31
o. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang Kepabeanan menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Selain itu didalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai ditegaskan
bahwa:
“Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jendral
Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
cukai”.
Dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, Penyidik
Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kewajibannya
berwenang:
a. Menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana di bidang Cukai;
b. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
c. Melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang
disangka melakukan tindak pidana di bidang Cukai;
d. Memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap
orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan
bukti adanya tindak pidana di bidang Cukai;
32
32
e. Memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut
Undang-Undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait;
f. Mengambil sidik jari orang;
g. Menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan;
h. Menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang
yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di
bidang Cukai;
i. Menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang
dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di
bidang Cukai;
j. Memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat
dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang
Cukai;
k. Mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang Cukai;
l. Menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di
bidang Cukai serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
m. Menghentikan penyidikan;
n. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana di bidang Cukai menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Namun menurut M. Yahya Harahap meskipun penyidik pegawai negeri
sipil memiliki kedudukan dan wewenang dalam melaksanakan tugas dan
33
33
penyidikan, tapi harus tetap berkoordinasi dengan penyidik polri, sebagai
berikut:27
a. Penyidik pegawai negeri sipil dalam hal ini penyidik bea dan cukai
kedudukannya berada di bawah koordinasi penyidik dan di bawah
pengawasan penyidik polri;
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik polri memberi petunjuk
kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan
bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1));
c. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada
penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang di
sidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ada
ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya
kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2));
d. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan
penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada
penuntut umum (Pasal 107 ayat (3));
e. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang
telah dilaporkan pada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu
harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal
109 ayat (3)).
27 M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta. Sinar Grafika. Halaman 113
34
34
Dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai
memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan, namun tetap harus melakukan
koordinasi dengan penyidik dari Polri.
28
28