51
24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di Pesantren 1. Pengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di Pesantren Beberapa ahli mendefinisikan resiliensi sebagai berikut. Seseorang disebut resilien apabila dia kebal secara fisik dan psikologis saat menghadapi tekanan tinggi (adversity) tanpa mengalami sakit ( Atri., Sharma, Cottrell, 2007). Konsep resiliensi disebut pula hardiness, ego resilience, ego strenght, stress-resistance. Karakter kepribadian resilien dapat dilihat dari tiga kecenderungan atau tendensi : (a) kontrol yaitu cara pandang atau keyakinan bahwa seseorang dapat mempengaruhi kehidupan, (b) Komitmen, yaitu keyakinan seseorang akan diri sendiri dan hal-hal yang dilakukannya, (c) tantangan, yaitu cara pandang seseorang untuk melihat ancaman sebagai kesempatan untuk berkembang ( Leiferman, dan Steinhardt, 2000). Menurut beberapa ahli di atas, resiliensi dianggap sebagai karakteristik kepribadian, namun beberapa ahli lain tidak sependapat. Dalam pendapat lain dinyatakan bahwa, tidak ada individu yang kebal terhadap tekanan atau kesusahan (adversity). Resilien bukan hanya dari karakteristik kepribadian melainkan melalui proses, berkembang dalam kesulitan atau tekanan hidup yang ditemui. Kesulitan atau tekanan hidup tersebut dimaknai, berlanjut,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di Pesantren

1. Pengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di

Pesantren

Beberapa ahli mendefinisikan resiliensi sebagai berikut. Seseorang

disebut resilien apabila dia kebal secara fisik dan psikologis saat menghadapi

tekanan tinggi (adversity) tanpa mengalami sakit ( Atri., Sharma, Cottrell,

2007).

Konsep resiliensi disebut pula hardiness, ego resilience, ego strenght,

stress-resistance. Karakter kepribadian resilien dapat dilihat dari tiga

kecenderungan atau tendensi : (a) kontrol yaitu cara pandang atau keyakinan

bahwa seseorang dapat mempengaruhi kehidupan, (b) Komitmen, yaitu

keyakinan seseorang akan diri sendiri dan hal-hal yang dilakukannya, (c)

tantangan, yaitu cara pandang seseorang untuk melihat ancaman sebagai

kesempatan untuk berkembang ( Leiferman, dan Steinhardt, 2000).

Menurut beberapa ahli di atas, resiliensi dianggap sebagai karakteristik

kepribadian, namun beberapa ahli lain tidak sependapat. Dalam pendapat lain

dinyatakan bahwa, tidak ada individu yang kebal terhadap tekanan atau

kesusahan (adversity). Resilien bukan hanya dari karakteristik kepribadian

melainkan melalui proses, berkembang dalam kesulitan atau tekanan hidup

yang ditemui. Kesulitan atau tekanan hidup tersebut dimaknai, berlanjut,

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

25

berubah, dinamis dan bukanlah sebuah karakter kepribadian yang menetap atau

stabil (Luthar, Cicchetti, & Becker, 2000; Schoon, 2006).

Pengertian berikut mendukung dari pendapat bahwa resiliensi

diperoleh dari belajar. Resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi,

mengatasi, memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan melalui

pengalaman, sehubungan dengan ujian atau cobaan yang dialami (Groberg,

1999).

Connor dan Davidson (2003) mengatakan bahwa resiliensi merupakan

kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan.

Resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas individu untuk bertahan/

survive dan mampu beradaptasi dengan keadaan, dengan merespon secara sehat

dan produktif untuk memperbaiki diri, sehingga mampu menghadapi dan

mengatasi tekanan hidup sehari-hari.

Menurut Revich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kapasitas untuk

merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma,

dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi

adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk mencari pengalaman

baru dan memandang kehidupan sebagai sebuah kemajuan. Resiliensi

menghasilkan dan mempertahankan sikap positif untuk digali. Individu

mengambil makna dari kesalahan dan menggunakan pengetahuan untuk meraih

sesuatu yang lebih tinggi. Individu mengolah dirinya dan memecahkan

persoalan dengan bijaksana, sepenuhnya, dan energik.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

26

Resiliensi seseorang dapat dilihat dari beberapa hal di antaranya adalah

kemampuan meregulasi emosi, mengendalikan impuls, optimis, empati,

menganalisis penyelesaian masalah, efikasi diri, dan meningkatkan aspek

positif yang ada pada dirinya. Resiliensi adalah hal yang penting ketika

membuat keputusan yang berat dan sulit di saat-saat terdesak. Seseorang yang

mempunyai resiliensi yang kuat, akan memilih solusi yang terbaik dan bangkit

dari masalah yang dihadapinya ( Reivich dan Shatte, 2002 ).

Dalam kehidupan, setiap individu memiliki kemampuan untuk belajar

menghadapi kesengsaraan hidup, resiliensi dapat dimiliki oleh setiap individu.

Resiliensi juga merujuk pada kemampuan individu untuk segar kembali

(bounce back) dari stres , trauma, dan resiko yang dialami dalam kehidupannya

serta mampu untuk mengembangkan kemampuan sosial, akademik, dan

kemampuan untuk menghadapi tekanan (Hendersen dan Milsten 2003; Reivich

dan Shatte 2002).

Menurut Schoon (2006) seseorang yang resilien mampu menghindari

dampak negatif akibat tekanan hidup yang ditemuinya, dan mampu melakukan

perubahan melalui pengalaman, terutama dalam kehidupan sehari-hari.

Seseorang yang mempunyai resiliensi mampu melompat lebih tinggi,

sebagaimana bola yang dipantulkan. Semakin keras untuk dilemparkan maka

akan semakin tinggi pantulannya. Sebagaimana gambar 2.1.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

27

Lahir Dewasa

Gambar 2. 1 Model kontekstual perkembangan resiliensi

Sumber : Schoon, 2006

Gambar di atas menjelaskan bahwa resiliensi seseorang terbentuk sejak

dia lahir hingga dewasa dan bukan merupakan karakteristik seseorang, namun

konsep resiliensi berbeda dengan konsep penyesuaian diri (adjustment).

Konsep resiliensi selalu berkaitan dengan kesusahan (adversity), atau faktor

resiko tinggi. Seseorang dikatakan resilien apabila dapat berkembang

melampaui resiko tinggi yang dihadapinya dan menghindari dampak negatif

Penyesuaian

diri

Penyesuaian

diri

Penyesuaian

diri

Penyesuaian

diri

Resiko

Resiko

Resiko

Resiko

Konteks sosial – sejarah

Institusi

Lingkungan sekitar

Keluarga

Individu

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

28

akibat tekanan hidup yang ditemuinya (Luthar et al, 2000; Schoon, 2006).

Begitu pula dengan siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren, mereka

memerlukan sikap resilien untuk dapat bertahan di pesantren.

Menurut Natsir (2008), pesantren berasal dari kata santri yang mendapat

awalan pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pesantrian, yang kemudian

pelafalannya menjadi pesantren yang memiliki arti tempat tinggal santri. Istilah

santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, namun ada juga yang

berpendapat berasal dari bahasa India, yaitu shastri yang berarti orang yang

tahu buku–buku suci agama hindu.

Sementara secara umum, pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan

Islam yang mempunyai ciri–ciri diantaranya adalah adanya hubungan yang

akrab antara santri dan kyai, santri taat dan patuh pada kyai, santri hidup secara

mandiri dan sederhana, adanya semangat gotong royong dan kekeluargaan,

serta diajarkan kitab–kitab klasik sebagai bahan pelajaran utama. Sementara

secara fisik pesantren minimalnya mempunyai sarana dasar berupa masjid atau

langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kyai dan keluarganya,

pondok sebagai tempat tinggal santri, dan ruangan–ruangan untuk belajar

(Ensiklopedi Islam jilid IV; 90-104 dalam Mohammad Natsir, 2008).

Pengertian lain menyebutkan bahwa pesantren merupakan suatu tempat

yang menyediakan rumah atau asrama dengan biaya rendah atau tanpa biaya

bagi santri yang menempatinya, dan merupakan tempat mempelajari ilmu-ilmu

agama atau tafaqquh fiddin (Mastuhu, 1996) Dari berbagai pengertian diatas

dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

29

terdapat hubungan antara kiai dan santri dan secara fisik minimalnya

mempunyai sarana dasar berupa masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan,

rumah tempat tinggal kyai dan keluarganya, dan asrama sebagai tempat tinggal

para santrinya.

Siswa yang tinggal di pesantren disebut santri, pesantren merupakan

komunitas tersendiri, dimana kiai, ustadz, santri, dan pengurus hidup bersama

dalam satu kampus. Peserta didik berasal dari berbagai daerah seluruh

Indonesia, bahkan ada juga yang berasal dari luar negeri, dengan latar belakang

budaya yang berbeda. Terdapat pesantren yang mengharuskan santrinya, untuk

tinggal di asrama dan sekolah formalnya juga berada di dalam pesantren.

Seluruh siswa berkumpul di sebuah area, sehingga pertemuan antar siswa yang

berbeda budaya terjadi selama 24 jam. Salah satu pesantren yang menerapkan

sekolah formal include dengan pesantren adalah Pondok pesantren X di

Yogyakarta. Berdasarkan wawancara dengan guru pembimbing MTs X di

Yogyakarta pada tanggal 12 Oktober 2015, diketahui dari agenda harian siswa,

aktivitas siswa dimulai pukul 03.00 - 21.30, siswa tinggal dalam lingkungan

yang sama selama 24 jam yang ada di pesantren, dan berinteraksi dengan

siswa yang sama, dalam hal ini akan menimbulkan tekanan pada siswa.

Dari berbagai uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, resiliensi

pada siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren adalah kemampuan

individu untuk merespon secara sehat dan produktif dalam menghadapi

kesulitan yang dihadapi agar dapat bertahan/ survive serta mampu beradaptasi

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

30

dalam menghadapi tekanan di pondok pesantren untuk menjadi santri yang

lebih baik.

2. Aspek - Aspek Resiliensi Pada Siswa yang mengikuti pendidikan di

pesantren.

Reivich dan Shatte (2002) juga menyatakan bahwa resiliensi dibangun

dari tujuh kemampuan yang berbeda. Tujuh kemampuan tersebut adalah:

a. Regulasi emosi

Kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Siswa yang mengikuti

pendidikan di pesantren hendaknya memiliki kemampuan meregulasi emosi

dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa

cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu

masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal

yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian

Reivich and Shatte (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait

dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing).

Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu

meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang

mengganggu dan mengurangi stress. Siswa yang mengikuti pendidikan di

pesantren mampu untuk mengatur emosi, keinginan dan perilaku, serta tetap

tenang di bawah kondisi yang menekan di pesantren.

b. Pengendalian impuls

Kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan

yang muncul dari dalam diri seseorang. Siswa dengan pengendalian impuls

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

31

rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung

mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali

mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif

pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan

sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya

permasalahan dalam hubungan sosial. Siswa yang mengikuti pendidikan di

pesantren mampu mengendalikan dorongan, kesukaan dan tekanan dalam

mengikuti peraturan di pesantren.

c. Optimisme

Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Siswa yang mengikuti

pendidikan di pesantren memiliki harapan di masa depan dan percaya

bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang

dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang

optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih

baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih banyak menang

dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya

bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang

akan datang. Begitu pula dengan siswa yang mengikuti pendidikan di

pesantren, mereka memandang masalah di pesantren secara positif dan

berpikir optimis dalam mengikuti pendidikan di pesantren.

d. Empati

Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda

psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

32

individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain

Selain itu, Werner dan Smith (1982) menambahkan bahwa individu yang

berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun

mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Siswa yang memiliki

kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif,

mereka mampu menempatkan diri pada posisi orang lain, ikut merasakan

apa yang dirasakan orang lain di lingkungan pesantren.

e. Analisis menyelesaikan masalah

Bahwa Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren mampu menganalisis

penyebab untuk penyelesaian masalah, kedalam faktor-faktor yang dapat

mereka kendalikan. Mereka dapat mengatasi tekanan dan bangkit kembali.

Konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyelesaian masalah yaitu

problem solving. Bagaimana individu dapat menyelesaikan setiap

permasalahan yang menekan, dan menjadi semakin kuat. Siswa yang

mengikuti pendidikan di pesantren mampu menyelesaikan masalah dengan

mengidentifikasi penyebab berkaitan dengan kehidupan di pesantren.

Semakin tinggi skor pada skala analisa penyelesaian masalah menunjukkan

semakin tingginya resiliensi siswa dan skor yang rendah menunjukkan

rendahnya resiliensi siswa.

f. Efikasi diri

Keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan

memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri

sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

33

memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan

menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu

tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri

yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak

merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan

kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat

menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.

Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren yakin mampu memecahkan

permasalahan yang ada di pesantren.

g. Peningkatan aspek positif

Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif

dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup,

mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu

membedakan resiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna

dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan.

Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah

dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan

kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi. Siswa yang mengikuti

pendidikan di pesantren mampu meningkatkan aspek-aspek positif dalam

kehidupan di pesantren, dan berani mengatasi ketakutan yang mengancam.

Wolin dan Wolin (1993) mengemukakan tujuh aspek utama resiliensi

yang hendaknya dimiliki oleh individu, yaitu:

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

34

a. Insight yaitu proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui, dan

mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang lebih

tepat.

b.Independence yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional

maupun fisik dari sumber masalah (lingkungan dan situasi yang

bermasalah).

c. Relationships. Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan

yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role

model yang baik.

d. Initiative yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap

hidupnya.

e. Creativity yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan

alternatif dalam menghadapi tantangan hidup.

f. Humor adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan

menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun.

g. Morality adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati

nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang

yang membutuhkan.

Grotberg (1995), mengemukakan aspek-aspek resiliensi yang

diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan

individu, dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, untuk dukungan eksternal

dan sumber-sumbernya, digunakan istilah I Have, sedangkan untuk

kemampuan interpersonal digunakan I Can.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

35

Berdasarkan dari uraian para ahli di atas penulis mengambil pendapat

dari Reivich dan Shatte (2002) yang menyatakan bahwa resiliensi dapat

dibangun dari 7 aspek, adapun aspek-aspek tersebut adalah: regulasi emosi,

pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyelesaian masalah, efikasi

diri, peningkatan aspek positif.

Alasan penggunaan teori dari Reivich dan Shatte (2002) adalah aspek

yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte dapat menggambarkan resiliensi

seluruh subyek, tidak terbatas hanya pada subyek tertentu yang memiliki

resiliensi sebagai karakteristik, dapat digunakan pada semua latar belakang

sosial, usia, tempat, baik pada laki-laki maupun pada perempuan.

3. Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Resiliensi

Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor

yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Menurut Masten dan

Coatsworth (dalam Davis, 1999). Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal

dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga,

lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan),

kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem,

a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan

sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).

Faktor-faktor yang turut berpengaruh terhadap penguatan resiliensi antara lain:

(a) Tingkat kecerdasan, yaitu kemampuan verbal dan ketrampilan

memecahkan masalah, juga mencakup kemampuan untuk belajar dari

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

36

sesuatu hal dan menyesuaikan diri terhadap pengalaman hidup sehari-hari

(Kitano, & Lewis, 2005; Hoge et al, 2007; Olsson at.al, 2002 )

Salah satu bentuk kecerdasan menurut Peterson (2004) adalah

kecerdasan berbudaya. Kecerdasan berbudaya, bersifat tidak permanen,

dalam hal ini kecerdasan berbudaya mempunyai karakter sama dengan

kecerdasan emosi yang dapat berkembang apabila diasah, berbeda dengan

IQ yang sifatnya lebih tetap.

Kecerdasan berbudaya sebagai salah satu bentuk kecerdasan yang

fokus pada kemampuan individu utuk memahami dan berperilaku dalam

situasi dengan budaya yang beragam (Ang dan Dyne, 2008).

Seseorang yang memiliki kecerdasan berbudaya maka akan dapat

beradaptasi secara efektif dalam konteks lingkungan dengan kebudayaan

yang baru dialaminya, konsep kecerdasan berbudaya menggambarkan

kemampuan individu untuk sukses dalam beradaptasi pada pengaturan

budaya baru yang tidak familiar, serta mampu berfungsi secara efektif

dalam situasi budaya yang berbeda (Kumar, 2008; Peterson, 2004; Ang

dan Dyne, 2008). Dari penjabaran di atas dapat memberikan suatu

gambaran bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan berbudaya maka

akan mampu berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan barunya

sehingga seseorang dengan kecerdasan budaya yang baik maka menjadi

individu yang resilien dalam kehidupannya.

(b) Identitas etnis, yaitu perasaan keanggotaan yang didasarkan pada bahasa,

agama, kebiasaan, nilai-nilai, sejarah, dan ras dari kelompok etnik (Miller,

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

37

dan maclntosh, 1999). Identitas etnis menjadi salah satu faktor protektif

bagaimana anak-anak menjadi resilien. Ketergantungan etnis, kelas sosial

dan batas-batas geografi seseorang dalam sebuah etnis tertentu merupakan

faktor proteksi yang menimbulkan dampak dalam perkembangan

kehidupan individu dan menjadikan seseorang lebih tangguh dalam

menyelesaikan beberapa faktor resiko. Proses lahirnya seorang anak akan

memberikan pengaruh tumbuhnya resiliensi seorang anak, bagaimana ia

mudah berdaptasi terhadap pengasuhnya, keluarga, sekolah dan

komunitas-komunitas yang lebih besar. Tidak ada jaminan bagi anak yang

pemalu untuk tidak sukses dalam resiliensi. Tumbuhnya resiliensi

seseorang tidak instan oleh seorang guru atau orang yang lebih tua, namun

berdasarkan interaksi seorang individu dengan orang yang lebih tua,

kesempatan serta tantangan yang dihadapi ( Werner, 2007). Identitas

budaya yang kuat dan kebanggaan terhadap etnis dapat menjadi seorang

anak yang resilien. Anak-anak yang mengalami tekanan, dan pengalaman

berkaitan dengan rasis deskriminasi dan latar belakang perceraian dalam

keluarga dapat memberikan pengaruh yang buruk pada anak (white,

2007).

(c) Kepribadian, yaitu karakteristik seseorang dan pola perilaku yang bersifat

tetap atau menetap (Kobasa 1981; Smith, 2006). Bernard (2004)

menjelaskan bahwa kapasitas resiliens ini ada pada setiap orang. Dalam

hal ini kapasitas resilien itu ada pada setiap orang yang ada sejak lahir,

artinya setiap orang mempunyai kemampuan untuk bertahan dari

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

38

penderitaan, kekecewaan, atau tantangan (Bobey, 1999). Karakteristik

dalam kepribadian seseorang adalah salah satu faktor protektif seseseorang

dalam menghadapi permasalahan, sebagaimana diungkapkan oleh Wolin

dan Wolin (1993) pada orang yang resilien di dalam dirinya terdapat

beberapa karakteristik yang menjadikannya tangguh dalam menghadapi

permasalahan yang menimpanya, adapun karakteristik tersebut adalah:

insight, kemandirian, kreativitas, humor, inisiatif, hubungan, dan

moralitas.

(d) Dukungan sosial, yaitu keberadaan orang lain yang mendukung,

mencintai, membimbing, merawat, dan berpengaruh positif terhadap

perkembangan resiliensi seseorang (Schoon, 2006; Grotberg, 1995;

Olsson at al, 2002; Bernard, 2004)

Resiliensi pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan

orang-orang terdekat. Keberadaan dukungan adalah sesuatu yang penting

karena dengan adanya dukungan tersebut akan menumbuhkan keyakinan

pada diri seseorang bahwa mereka mampu menghadapi permasalahan

yang ada. Seseorang merasa orang lain peduli dengan apa yang sedang

diihadapinya, dan mampu bertahan menghadapi berbagai permasalahan.

Dukungan sosial yang baik berupa sikap peduli dan mau mendengar akan

memberikan hasil positif sementara dukungan sosial yang buruk berupa

kesaksian anak akan kejadian buruk bisa memberi dampak buruk pada

penyesuaian kebiasaan anak ( White, 2007) . Menurut Henderson (2007)

mejelaskan bahwa hubungan teman sebaya merupakan salah satu aset

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

39

mengembangkan resiliensi, karena anak-anak menerima dukungan dari

teman sebaya tiga atau lebih banyak dibandingkan dari orang tua. Dari

penjabaran di atas dapat dilihat bahwa teman sebaya menjadi salah satu

sumber dukungan sosial yang penting bagi resiliensi seseorang.

Membentuk forum diskusi yang anggotanya adalah teman sebaya, dapat

membantu anak-anak yang mempunyai masalah kesehatan mental menjadi

resilien (Werner, 2007). Dukungan sosial teman sebaya sangat erat

kaitannya dengan teman santri di pesantren. Menurut Natsir (2008),

pesantren dalam pelafalannya adalah tempat tinggal santri. Istilah santri

berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji, namun ada juga yang

berpendapat berasal dari bahasa india, yaitu shastri yang berarti orang

yang tahu buku-buku suci agama hindu. Sehingga dukungan teman sebaya

di pesantren disebut dengan dukungan teman santri.

(e) Strategi koping, yaitu usaha kognitif dan perilaku untuk mengelola

tuntutan dari dalam diri dan luar diri yang membutuhkan sumber-sumber

di dalam diri untuk dapat menyelesaikannya (Lazarus, 1991; Bissonette,

1998: Dumont, dan Provost, 1998; Buckner, Mezzacappa, beardslee, 2003;

WHO, 2004; Yi, Smith, Vitalino, 2005; Ahem, Kiehl, Sole, Byers, 2006,

Smith, & Carlson, 2007)

Hal tersebut senada dengan Olsson et al. (2002) yang menyatakan, untuk

meningkatkan resiliensi pada remaja dapat menggunakan suatu pendekatan

yang berbasis sumber daya yang dimiliki individu itu sendiri. Seperti

kemampuan sosial kecerdasan, ketrampilan komunikasi, sifat-sifat pribadi

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

40

dukungan keluarga, status sosial ekonomi, pengalaman sekolah dan dukungan

komunitas

Berdasarkan dari uraian di atas tentang faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi resiliensi, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi resiliensi adalah: inteligesi, idetitas etnis, kepribadian,

dukungan sosial, dan strategi koping.

Dalam penelitian ini, ada 2 faktor yang akan dikaji dalam pengaruhnya

terhadap penguatan resiliensi pada siswa yang mengikuti pendidikan di

pesantren, yaitu : Yaitu faktor tingkat kecerdasan dan fator dukungan sosial.

Faktor kecerdasan, lebih spesifik dalam penelitian ini adalah kecerdasan

budaya,hal ini penting apabila seseorang yang mempunyai kecerdasan

berbudaya maka akan mampu berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan

barunya sehingga seseorang dengan kecerdasan budaya yang baik maka

menjadi individu yang resilien dalam kehidupannya. Tingkat kecerdasan

menjadi faktor resiliensi, dimana kemampuan verbal dan ketrampilan

memecahkan masalah, juga mencakup kemampuan untuk belajar dari sesuatu

hal dan menyesuaikan diri terhadap pengalaman hidup sehari-hari (Kitano, &

Lewis, 2005; Hoge et al, 2007; Olsson at.al, 2002 ). Dari penjabaran di atas

dapat memberikan suatu gambaran bahwa seseorang yang mempunyai

kecerdasan berbudaya maka akan mampu berakulturasi dan beradaptasi dengan

lingkungan barunya sehingga seseorang dengan kecerdasan budaya yang baik

maka menjadi individu yang resilien dalam kehidupannya. Sementara faktor

dukungan sosial teman santri menjadi faktor eksternal bagi seseorang untuk

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

41

menjadi resilien, di samping faktor kecerdasan budaya yang berasal dari dalam

diri. Dukungan sosial, menjadi faktor yang berpengaruh karena keberadaan

orang lain yang mendukung, mencintai, membimbing, merawat, dan

berpengaruh positif terhadap perkembangan resiliensi seseorang (Schoon,

2006; Grotberg, 1995; Olsson at al, 2002; Bernard, 2004). Dukungan sosial

teman santri adalah sesuatu yang penting karena dengan adanya dukungan

tersebut akan menumbuhkan keyakinan pada diri seseorang bahwa mereka

mampu menghadapi permasalahan yang ada. Sehingga dalam penelitian ini

Kecerdasan berbudaya di pesantren dan dukungan sosial teman santri, menjadi

faktori pesantren untuk menjadi resilien.

B. Kecerdasan Berbudaya di Pesantren

1. Pengertian Kecerdasan berbudaya di Pesantren

Beberapa ahli mengartikan kecerdasan berbudaya dari Cultural

Intelligence (Ang dan Dyne, 2008; Peterson, 2004) atau Cultural Quotient ( Ang

dan Dyne, 2008; Osborn, 2006; Plum, 2007; Earley dan Mosakowski, 2009; Rose,

Kumar dan Subramaniam, 2008; Thomas dan Inkson, 2004).

Menurut Ang dan Dyne (2008) kecerdasan berbudaya adalah kemampuan

yang dimiliki individu agar dapat berfungsi secara efektif diberbagai situasi

dengan berbagai budaya. Kecerdasan berbudaya merupakan pelengkap lain dari

kecerdasan yang dapat menjelaskan variabilitasnya dalam melakukan koping

dalam keragaman dan fungsinya dilingkungan budaya baru (Ang dan Dyne, 2008)

.Early dan Ang, (2008) mengartikan kecerdasan berbudaya merupakan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

42

kemampuan yang dimiliki individu supaya mampu berfungsi secara efektif di

berbagai situasi dengan beragam budaya. Kecerdasan berbudaya merupakan

kemampuan individu untuk bisa sukses beradaptasi dalam setting budaya baru

yang tidak biasa serta kemampuan berfungsi secara mudah dan efekif dalam

situasi-situasi keragaman budaya (Kumar, 2008). Sejalam dengan Kumar, Plum

(2007) juga mendefinisikan kecerdasan berbudaya sebagai kemampuan untuk

membuat orang lain paham serta mampu menciptakan kerjasama yang baik

dalam berbagai situasi dimana perbedaan budaya turut memainkan peran.

Kemampuan tersebut meliputi kemampuan untuk berperilaku dengan cara yang

tepat pada situasi yang multikultural yang bergabung dengan pemikiran terbuka

untuk menerima informasi baru serta keingintahuan akan perbedaannya. Hal

tersebut akan memudahkan satu sama lain untuk berkolaborasi (Plum, 2007).

Peterson (2004) mengartikan kecerdasan berbudaya adalah kemampuan

untuk menggunakan serangkaian tingkah laku yang menggunakan ketrampilan-

ketrampilan berbahasa atau ketrampilan interpersonal, dan kualitas-kualitas

seperti toleransi terhadap perbedaan (fleksibel) yang mengarah pada sikap-sikap

dan nilai-nilai dari orang-orang yang berbasis budaya dengan siapa dia

berinteraksi. Lebih lanjut lagi Peterson (2004) menjelaskan bahwa seseorang

dengan kecerdasan berbudaya yang tinggi akan mempunyai tekad yang besar agar

untuk mencapai tujuannya, dimana individu tersebut mempunyai insting bertahan

dan kebijaksanaan dalam berbuat. Sehingga seseorang dengan kecerdasan budaya

maka akan mampu bertahan dalam budaya yang berbeda. Kecerdasan berbudaya

mepunyai arti yang sangat komplek, pertama pengertian inteligensi sendiri yang

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

43

luas, seperti halnya menerjemah arti budaya sendiri yang luas. Kedua, banyak

kalangan yang tidak sepakat bahwa IQ (Intelligent Quotient) mengukur, dan

meski itu dapat ditingkatkan. Beberapa pertanyaan mengenai adanya bias budaya

dalam tes IQ (seperti penggunaan gambar yang digunakan atau kisah yang ada di

dalamnya). Ketiga, konsep inteligensi yang menggunakan skor dalam atau grade

akan menjadi sesuatu yang permanen dan hal terebut bisa menjadi sesuatu yang

menjadi label pada diri individu tersebut. Peterson menggunakan istilah Cultural

intelligent (CI) bukan Cultural Quotient (CQ), seperti halnya ahli yang lainnya.

Dari pernyataan-pernyataan di atas para ahli sepakat bahwa kecerdasan berbudaya

diperlukan dalam mengefektifkan diri beradaptasi dalam budaya yang baru, hal ini

menjadi barkaitan dengan keberhasilan siswa yang mengikuti pendidikan di

pesantren.

Menurut Natsir (2008), pesantren berasal dari kata santri yang mendapat

awalan pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pesantrian, yang kemudian

pelafalannya menjadi pesantren yang memiliki arti tempat tinggal santri. Istilah

santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, namun ada juga yang

berpendapat berasal dari bahasa India, yaitu shastri yang berarti orang yang tahu

buku–buku suci agama hindu.

Sementara secara umum, pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan

Islam yang mempunyai ciri–ciri diantaranya adalah adanya hubungan yang akrab

antara santri dan kyai, santri taat dan patuh pada kyai, santri hidup secara mandiri

dan sederhana, adanya semangat gotong royong dan kekeluargaan, serta diajarkan

kitab–kitab klasik sebagai bahan pelajaran utama. Sementara secara fisik

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

44

pesantren minimalnya mempunyai sarana dasar berupa masjid atau langgar

sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kyai dan keluarganya, pondok

sebagai tempat tinggal santri, dan ruangan–ruangan untuk belajar (Ensiklopedi

Islam jilid IV; 90-104 dalam Mohammad Natsir, 2008).

Pengertian lain menyebutkan bahwa pesantren merupakan suatu tempat

yang menyediakan rumah atau asrama dengan biaya rendah atau tanpa biaya bagi

santri yang menempatinya, dan merupakan tempat mempelajari ilmu-ilmu agama

atau tafaqquh fiddin (Mastuhu, 1996)

Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pesantren

merupakan lembaga pendidikan Islam terdapat hubungan antara kiai dan santri

dan secara fisik minimalnya mempunyai sarana dasar berupa masjid atau langgar

sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kyai dan keluarganya, dan asrama

sebagai tempat tinggal para santrinya.

Menurut Zuhriy (2011) sebagai bagian dari komunitas pesantren dengan

unsur utamanya yaitu, kiai, santri, masjid, pondok dan kitab kuning, telah menjadi

sub-kultur tersendiri, yang menjadi budaya khas pesantren. Dijelaskan oleh

Mansyur (1998) bahwa budaya khas pesantren dapat diartikan dari kegiatan yang

menjadi kebiasaan di pesantren tersebut. Kegiatan siswa di pondok pesantren X

dapat dilihat dalam tabel 2.2.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

45

Tabel 2. 1

Agenda harian siswa Madrasah X

WAKTU AKTIVITAS DI PESANTREN AKTIVITAS DI

RUMAH (sebelum di

pesantren)

KETERANGAN

03.30-Subuh Sholat tahajut, sholat hajat, sholat witir

(Dilakukan secara berjamaah, dan harus diikuti semua

siswa)

Sholat malam hanya

dilakukan oleh siswa

yang terbiasa

melakukan dan tidak

menjadi keharusan

Sholat malam di pesantren

menjadi agenda wajib,

sementara di rumah tidak semua

siswa mempunyai kebiasaan

tersebut

Subuh- 06.00 Pengajian Alquran (Kegiatan wajib diikuti untuk

mengulang hafalan alquran yang sudah di hafalkan di

sekolah)

Kegiatan setelah subuh

biasanya dilakukan

untuk mempersiapkan

diri ke sekolah

Kegiatan di pesantren lebih

padat dan lebih berat, karena ada

hafalan Al quran yang harus di

sampaikan pada ustadz

06.00-07.00 Persiapan ke sekolah dan makan pagi dilakukan dalam

waktu singkat, dengan cara mengantri, dan dilakukan

secara mandiri

Persiapan ke sekolah

dan makan pagi

dilakukan tanpa

mengantri dan dibatu

oleh orang tua dalam

menyiapkan pakaian

dan sarapan

Kegiatan persiapan sekolah di

pesantren memerlukan

kemandirian, kedisiplinan dan

kesabaran. kegiatan di rumah

merupakan kegiatan rutin biasa

yang dilakukan oleh semua anak

yang bersekolah

07.00-14.10 Sekolah-ishoma dhuhur, sekaloh Sekolah di pesantren

jam tatap muka perminggu 52, ditambah 8 jam untuk

tahfidz dan kitab

Sekolah pada umumnya

ada 46 jam tatap muka

perminggunya

Perlu persiapan materi dan psikis

yang lebih dalam mengikuti

pendidikan di pesantren

14.10-15.30 Pengajian dan sorogan kitab kuning (Senin, selasa,

rabu). Sorogan dilakukan dengan cara siswa maju satu

persatu membaca kitab kuning yang telah di salin

dengan tulisan tangannya sendiri pada ustadz. Perlu

ketekunan dalam menulis kitab kuning kemudian

menyiapkan diri untuk mengajukan bacaannya pada

ustadz

Belum mengikuti

pengajian kitab kuning

Membaca kitab kuning terutama

dengan system sorogan biasanya

dilakukan pada pendidikan di

pesantren saja, perlu persiapan

khusus bagi kelas VII yang baru

mengikutinya

Mujahadah (kamis) merupakan kegatan berdoa

bersama, di awali dengan membaca ayat suci alquran

(kelas VII membaca yasin, sementara yang hafal

alquran dengan melakukan simaan 30 juz pada malam

sebelumnya)

tidak semua siswa

pernah atau mengikuti

mujahadah

perlu latihan dan kemampuan

membaca dan melafadzkan

bacaanya, memerlukan

pembiasaan dan ketekunan bagi

kelas VII

Ekstrakurikuler merupakan agenda penyaluran dan

pengembangan kemampuan diri, namun siswa perlu

bisa membagi waktu yang tepat dengan tugas lain

seperti mencuci, menyetrika, mengerjakan PR

Pilihan kegiatan dan

waktu ekstrakurikuler

lebih fleksibel

untuk mengikuti ekstrakurikuler

siswa harus pintar membagi

waktu dengan tugas wajib

lainnya.

17.10-Isya’ Jamaah Sholat mghrib dilanjutkan pengajian deresan

Al-Quran, siswa mengulang dari awal kembali

kemampuan membaca dan menghafalkan alquran

dengan tujuan menguatkan hafalan

Banyak siswa yang

sudah melakukannya di

rumah, namun sebagian

belum melakukan.

perlu persiapan dan ketengan

pikiran untuk merangkai hafalan

yang sudah dikuasai.

Isya’-03.30 Jamaah isya’, makan malan, belajar istirat sudah menjadi rutinitas -

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

46

Melihat aktivitas siswa Madrasah X di atas, dapat disimpulkan bahwa

siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren mempunyai jadwal yang sangat

padat dengan penambahan materi dan metode pembelajaran agama yang berbeda

dengan aktivitas siswa di luar atau sebelum di pesantren.

Agenda di atas merupakan merupakan budaya khas di pesantren X, yang

bertujuan mengembangkan nilai-nilai pesantren. Hal ini sependapat dengan

Zuhriy (2011) budaya pesantren itu ditengarai dapat menumbuhkan karaketer

pada siswa, untuk lebih mandiri, disiplin, dan berakhlak mulia. Dalam

perkembangannya pondok pesantren X memiliki nilai-nilai pesantren yang

dikembangkan dalam menjalanankan kehidupan di pesantren, di mana nilai

tersebut telah ditanamkan oleh pendiri pondok pesantren dan masih

dikembangkan hingga sekarang. Nilai-nilai pesantren X adalah:

a. Kemandirian, adalah Sikap dan mental para santri untuk dapat mengatur

dirinya sendiri, sesuai dengan hak dan kewajibannya, sehingga dapat

menyelesaikan masalah yang dihadapinya serta dapat mempertanggung

jawabkannya.

b. Keihlasan, adalah tulus hati dan memurnikan niat dalam segala hal.

c. Kealqur’anan adalah, sikap mengembangkan nilai-nilai Alqur’an dalam

segala aspek kehidupan

d. Menjadikan santri sebagai anak, adalah meletakkan kedudukan santri dan

kyai sebagai orang tua dan anak, meski santri tersebut telah lulus dan

mandiri.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

47

e. Selalu menjaga silaturahmi, adalah menjaga hubungan baik dengan guru,

wali murid, dan meletakkan santri sebagai amanah bukan sekedar statistik.

Dari berbagai kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya pesantren

adalah kegiatan yang menjadi kebiasan siswa di pesantren dalam rangka mengkaji

ilmu-ilmu agama, sehingga dapat menumbuhkan karakter mulia pada diri siswa

yang tergambar dari penerapan nilai-nilai pesantren dalam kehidupan sehari-hari.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perubahan bentuk

sesuai dengan perkembangan zaman, terutama dampak perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Secara nyata menurut Ghazali (2003), beberapa tipe

pesantren yang berkembang di masyarakat diantaranya adalah :

a. Pesantren tradisional

Kurikulum tergantung seluruhnya kepada kyai pengasuh pesantren.

Santrinya adanya yang menetap didalam pondok (santri mukim) dan santri

yang tidak menetap dipondok (santri kalong).

b. Pesantren modern

Penerapan sistem belajar modern tampak pada penggunaan kela–kelas

belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang

dipakai di madrasah atau sekolah merupakan kurikulum madrasah yang

berlaku secara nasional. Santri ada yang menetap namun juga ada yang

tersebar di sekitar desa. Kedudukan Kyai sebagai koordinator pelaksana

proses belajar mengajar dan sebagai pengajar langsung di kelas.

Perbedaannya dengan sekolah terletak pada porsi pendidikan agama dan

bahasa Arab yang lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

48

c. Pesantren komprehensif

Pondok pesantren dikatakan komprehensip karena sistem pendidikan dan

pengajaran gabungan dari sistem tradisional dan modern.

Dari berbagai tipe pesantren di atas, pesantren komprehensip akan menjadi

setting dalam penelitian ini, di mana para siswa tinggal di asrama dan tetap

mengikuti pendidikan formal. Pesantren ini mengadopsi sistem pendidikan

modern, di mana pendidikan formal yang dianut diakui oleh departemen

pendidikan maupun departemen agama, namun kehidupan pesantren yang

salafiyah (tradisional) yang menjadi nilai pesantren pada masa awal berdirinya,

masih dipertahankan.

Dari berbagai uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, kecerdasan

berbudaya di pesantren adalah serangkaian perilaku yang dimiliki individu untuk

bisa mengefektifkan dirinya dalam menerapkan nilai pesantren, sehingga mampu

bertahan di pesantren dalam situasi dengan budaya yang baru dan berbeda, di

mana individu yang mempunyai kecerdasan berbudaya di pesantren yang tinggi

akan berfungsi secara efektif mempunyai insting bertahan dalam setting budaya

baru dan berbeda di pesantren.

2. Aspek-Aspek Kecerdasan Berbudaya di Pesantren

Ang dan Dyne (2008) mengemukakan aspek-aspek Kecerdasan berbudaya

(Cultural Quotient/ CQ) sebagai berikut:

a. Metakognitive. Istilah metakognitif, menujukkan tingkat kesadaran

individu terhadap cultural awareness pada saat melakukan interaksi lintas

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

49

budaya. Berfokus pada proses kognitif yang lebih tinggi, yang

menggambarkan tentang norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, ketentuan-

ketentuan dalam budaya yang berbeda-beda yang dipelajari dari

pendidikan dan pengalaman personal. Individu dengan kemampuan

metakognitif sadar akan budaya yang dimilikinya dan menyesuaikan

pengetahuan tentang budaya yang dimilikinya saat berinteraksi dengan

orang lain yang berbeda budaya. Metakognitif memberikan arti sebuah

proses mental individu yang digunakan untuk menerima dan memahami

pengetahuan kebudayaan, mencakup pengetahuan dan batas proses

penguasaan pikiran individu terkait dengan budaya. Kemampuan yang

sebanding terkait metakognitif meliputi perencanaan, pengaturan, sera

merevisi model mental selama dan setelah menemukan pengalaman yang

sebanding. Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren dapat

memahami dan menyesuaikan konteks budaya yang ada di pesantren.

Siswa mempunyai kesadaran akan adanya budaya yang baru yang syarat

dengan nilai-nilai kepesantrenan yang harus diikuti. Siswa menyadari

budaya berinteraksi denga teman di pesantren berbeda dengan budaya di

rumah, menganggap bahwa teman-teman di pesantren adalah seperti

keluarga sendiri, mengetahui bagaimana cara untuk menyesuaikan saat

berdiskusi atau berbicara dengan teman di pesantren dan serta mampu

ihlas memaafkan apabila ada hal yang tidak sesuai dengan budaya yang

selama ini sudah diterapkan di rumah.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

50

b. Kognitive. Istilah kognitif kecerdasan berbudaya, menunjukkan tingkatan

pengetahuan kebudayaan individu atau tingkatan pengetahuan

kebudayaan. Kognitif menggambarkan tentang pengetahuan norma-norma,

kebiasaan, ketentuan-ketentuan dalam budaya yang berbeda yang

dipelajari dari pendidikan dan pengalaman personal. Kognitif kecerdasan

berbudaya mengindikasikan pengetahuan dari keuniversalan budaya

sebagaimana pengetahuan tentang keragaman berbudaya. Menggambarkan

tentang pengetahuan siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren

mengenai norma, atau kebiasaan, dan ketentuan-ketentuan di pesantren. Di

mana siswa mengetahui apa saja budaya baru atau kebiasaan baru

memiliki kemampuan gambaran mengenai bagaimana budaya di

pesantren. Apa saja aturan, kebiasaan, kendala, sikap kepada teman atau

ustadz dan strategi yang harus dijalankan saat memilih untuk tetap tinggal

di pesantren. Mengetahui kosakata atau istilah yang sering digunakan di

pesantren.

c. Motivational. Mencerminkan kemampuan untuk mengarahkan perhatian

dan kekuatan ke arah pembelajaran serta keberfungsian sebagai situasi

yang ditandai dengan perbedaan budaya. Motivasional yang tinggi

mengarahkan perhatian dan energi kearah situasi lintas budaya atas dasar

minat dari dalam diri serta kepercayaan dalam keefektivan lintas budaya.

Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren mampu mengarahkan

dirinya memotivasi untuk bisa nyaman, bersosialisasi, menikmati hidup

pada budaya pesantren yang berbeda dengan budaya ketika di rumah,

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

51

meskipun tidak menutup kemungkinan adanya tekanan dalam

menyesuaikan diri. Siswa akan memiliki kepercayaan dan keyakinan pada

kemampuannya untuk menghadapi berbagai situasi dimasa depan.

d. Behavioral. Mencerminkan pengetahuan untuk menunjukkan perilaku

yang tepat dalam budaya yang multikultur. Aspek ini mencerminkan

perilaku yang tepat, baik secara verbal maupun non verbal saat

berinteraksi dengan orang lain dari budaya yang berbeda. Siswa dengan

behavioral cultural quotient yang tinggi cenderung fleksibel dan mampu

menyesuaikan perilakunya terhadap pokok-pokok interaksi antar budaya

di pesantren. Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren mampu

mengikuti kebiasaan yang ada di pesantren.

Dari pendapat ahli lain, Peterson (2004) juga menyimpulkan bahwa

kecerdasan berbudaya merupakan gabungan tiga aspek yaitu:

1. Pengetahuan mengenai budaya.

Menunjukkan pengetahuan individu mengenai berbagai kenyataan dan

perilaku berbudaya pada lingkungan tempat individu berada.

2. Kesadaran.

Menunjukkan tingkat kesadaran individu mengenai diri sendiri dan cara

berinteraksi dengan orang lain serta dapat mengarahkan perilaku dalam

budaya yang berbeda.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

52

3. Kemampuan-kemampuan khusus (perilaku).

Merupakan penerapan dari pengetahuan yang dimiliki individu serta

kesadaran diri dalam mengarahkan perilaku, sehingga mucul suatu

kemampuan perilaku yang tepat dalam suatu lingkungan tertentu.

Ketiga hal tersebut merupakan aspek-aspek terpenting dalam kecerdasan

berbudaya. Peterson (2004), mengemukakan bahwa tiga aspek di atas seperti

halnya sebuah tripot, yang mana ketiga aspek tersebut mempunyai peranan

penting dalam tumbuhnya kecedasan berbudaya. Tiga proses di atas sangat

berkaitan dalam proses peningkatan kecerdasan berbudaya seseorang, ketika

kemampuan seseorang ( perilaku) meningkat maka, seseorang akan mempunyai

kesadaran lebih sehingga pengetahuannya akan bertambah. Pengetahuan yang

bertambah akan menjadikan seseorang memiliki kemampuan berperilaku, dan

seterusnya. Menurut peterson (2004) seperti proses mendaki, setahap demi

setahap.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian aspek kecerdasan berbudaya

di pesantren dalam penelitian ini menggunakan aspek dari Ang dan Dyne (2008).

Alasan menggunakan aspek dari Ang dan Dyne (2008) adalah karena dapat

digunakan pada semua latar belakang sosial, usia, tempat, baik pada laki-laki

maupun pada perempuan.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

53

C. Dukungan Sosial Teman Santri

1. Pengertian Dukungan Sosial Teman Santri

Dukungan sosial merupakan suatu bentuk hubungan interpersonal yang

memberikan bantuan kepada individu berupa perhatian emosi, bantuan

instrumental, pemberian informasi dan penghargaan atau penilaian kepada

individu oleh lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan karena manusia

membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya.

Cohen (1985) menjelaskan dukungan sosial sebagai transaksi interpersonal yang

meliputi perhatian emosional, bantuan instrumental, bantuan informasi dan

penilaian (informasi yang berhubungan dengan self-evaluation).

Johnson dan Johnson, (1999) menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah

pemanfaatan sumber-sumber di lingkungan individu untuk membuat kehidupan

agar menjadi lebih baik dengan cara meningkatkan kemampuan pada diri

seseorang dengan memberikan bantuan berupa dorongan, peralatan dan

penerimaan. Pengertian di atas didukung oleh pendapat Saranson dkk, (1983)

mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu keadaan yang bermanfaat bagi

individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya individu, dengan

demikian individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai

dan mencintai dirinya.

Menurut Pearson (1999) tingkat dukungan sosial individu tidak sama

antara satu dengan yang lainnya. Keadaan ini disebabkan karena terdapat

perbedaan persepsi dalam menerima atau merasakannya, hal ini juga dipengaruhi

oleh karakteristik individu. Dukungan akan dirasakan artinya apabila diperoleh

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

54

dari orang-orang yang sangat berarti dalam kehidupan setiap individu dan orang-

orang yang dipercayainya.

Salah satu sumber dukungan sosial yang penting adalah dukungan

bersumber dari teman (Thoits,1986; Colhoun dan Acocella, 1995; Pearson, 1999)

Dukungan yang diberikan oleh teman sebaya memberikan peran secara psikis

terhadap anak (Newman dan Newman, 2007; Furrer dan skinner, 2003).

Teman sebaya adalah agen sosial yang sangat kuat. Istilah teman sebaya

(peers) mengacu pada anak-anak yang tingkat usia atau kematangannya kurang

lebih sama. Teman sebaya merupakan suatu sumber informasi dan perbandingan

tentang dunia di luar keluarga (Santrock, 2003). Teman sebaya di sekolah juga

mempunyai arti penting dalam memberikan dukungan sosial. Teman sebaya bagi

remaja mempunyai arti psikologis yang penting karena,selain sebagai wadah

diskusi teman sebaya juga dapat merupakan sumber dukungan sosial yang

penting bagi proses pembentukan identitas diri remaja. (Johnson dan Johnson,

1999). Hubungan yang berkualitas antara individu dengan teman-temannya

memiliki memiliki hubungan yang erat terhadap performansi akademiknya

(Wentzel, 1994). Berada bersama teman-teman merupakan lingkungan kedua

siswa setelah keluarga. Pada masa remaja awal hingga memasuki masa dewasa,

pergaulan siswa dengan teman-teman baik di lingkungan akademik maupun

masyarakat jauh lebih sering dan lebih intensif dibandingkan keluarga. Teman-

teman memberikan pengaruh yang besar terhadap sikap, pembicaraan, minat,

penampilan dan perilaku (Hurlock, 2002). Teman sebaya dapat memberikan

motivasi untuk meningkatkan perannya dalam program-program yang positif,

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

55

aktivitas, kesempatan-kesempatan kepemimpnan, sebagai protektif atau model

prososial dan dukungan emosional. Program-program dan intervensi dalam

pendidikan harus melibatkan dukungan antar teman sebaya (Hartup dalam

White,2007)

Remaja membutuhkan afeksi dari remaja lainnya, dan membutuhkan

kontak fisik yng penuh rasa hormat. Remaja juga membutuhkan perhatian dan

rasa nyaman ketika mereka menghadapi masalah, dibutuhkan orang yang mau

mendengarkan dengan penuh simpati, serius dan memberikan kesempatan untuk

berbagi kesulitan dan perasaan seperti perasaan marah, takut, cemas dan keraguan

(Suwarjo, 2008). Bantuan dari teman-teman meningkatkan persahabatan,

kehangatan berteman, saling membantu dan saling menerima merupakan

pengaruh yang sangat positif dan sangat dibutuhkan siswa dalam upaya

memperoleh keberhasilan akademik. Sebagaimana dikatakan oleh Conger (1977)

bahwa remaja memerlukan pergaulan, support dan guidance dari teman-

temannya.

Dukungan sosial teman sebaya sangat erat kaitannya dengan teman santri

di pesantren. Menurut Natsir (2008), pesantren dalam pelafalannya adalah tempat

tinggal santri. Istilah santri berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji,

namun ada juga yang berpendapat berasal dari bahasa india, yaitu shastri yang

berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dari pengertian di atas

maka diketahui bahwa siswa yang tinggal di pesantren disebut dengan santri,

sehingga dukungan teman sebaya di pesantren disebut dengan dukungan teman

santri

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

56

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan

sosial teman santri adalah bentuk bantuan atau pertolongan yang diterima dan

dirasakan oleh siswa, berupa perhatian emosi, bantuan instrumental, pemberian

informasi dan penghargaan atau penilaian, yang diperoleh dari teman santrinya

untuk keberhasilan dalam menjalankan program di pesantren.

2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Teman Santri

Cohen (1992) menetapkan adanya tiga aspek dalam dukungan sosial, yaitu:

(1) dukungan emosional yang melibatkan adanya keakraban dan penerimaan yang

memberikan keyakinan, (2) dukungan instrumental yang berbentuk pemberian

layanan dan bantuan secara langsung, dan (3) dukungan informasional yang

meliputi pemberian nasehat, pemecahan masalah yang dihadapi oleh individu, dan

penilaian terhadap perilaku individu. House dalam Smet (1994) menjelaskan

bahwa dukungan sosial sebagai sebuah transaksi interpersonal yang akan muncul

dengan melibatkan satu atau lebih aspek-aspek berikut :

a. Dukungan Emosional; dukungan ini mengacu pada bantuan teman santri

yang berbentuk dorongan yang membesarkan hati, kehangatan dan kasih

sayang. Dukungan secara emosional dari teman santri dapat berupa kehangatan,

kepedulian dan empati yang diberikan oleh teman santri yang dapat meyakinkan

dia bahwa dirinya diperhatikan oleh orang lain dan tidak merasa sendiri di saat-

saat yang sulit membuat siswa dapat resilien dalam menghadapi masa-masa yang

dianggapnya sulit saat di pesantren. Dukungan dari teman santri di atas

menjadikan siswa merasa ringan dalam menghadapi masa sulit, saat harus jauh

dari keluarga

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

57

b. Dukungan penghargaan; dukungan penghargaan dari teman santri yang

terjadi lewat ungkapan penghargaan atau penilaian yang positif untuk

individu, dorongan untuk maju dan bersemangat. Siswa yang mendapatkan

pujian dan umpan balik dari teman santrinyanya akan lebih yakin dalam

menyelesaiakan permsalahaan yang sedang dihadapi atau saat mengambil

keputusan yang sulit di pesantren.

c. Dukungan Informatif; dalam hal ini teman sebaya memberikan informasi

kepada siswa atau mengajarkan ketrampilan yang dapat memberikan

solusi atas masalah yang dihadapi. Dalam kehidupan di lingkungan dan

kebudayaan yang baru, adanya teman santri yang membantu memahami pelajaran

sangatlah dirasakan siswa, apalagi pelajaran tersebut baru diperoleh di pesantren.

Dukungan informasi dari teman santri ini menjadikan siswa lebih mudah untuk

menyelesaikan tugasnya selama mengikuti pendidikan di pesantren.

d. Dukungan instrumental; dukungan ini mengacu pada adanya penyediaan

barang atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-

masalah secara praktis. Dukungan instrumental merupakan bantuan langsung

yang berupa dorongan materi seperti layanan, barang-barang dan finansial,

fasilitas atau sarana yang mungkin dapat membantu dalam memecahkan masalah.

Dukungan yang diperoleh dari teman santri oleh siswa yang mengikuti

pendidikan di pesantren tersebut sangat berarti bagi siswa yang mengikuti

pendidikan di pesantren sehingga permasalahan-permasalahan yang sifatnya

materi teratasi.

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

58

Menurut Cutrona (1994) aspek dukungan sosial adalah:

a. Instrumental support yaitu, dukungan yang bersifat langsung dalam hal ini

adanya keberadaan seseorang yang dapat diandalkan untuk bergantung dan

adanya bimbingan untuk mendapat saran dan nasihat dalam menghadapi

permasalahan.

b. Emmotional Support yaitu dukungan yang sifatnya tidak langung dalam hal

ini adanya pengakuan atau penghargaan sehingga individu merasa diterima,

kedekatan emosional, pengakuan dalam kelompok, dan perasaan bahwa

dirinya dibutuhkan.

Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian aspek dukungan sosial teman

santri yang akan digunakan dalam penelitian ini merangkum aspek-aspek yang

dikemukakan oleh House dalam Smet (1994) yaitu: dukungan emosional,

dukungan penghargaan, dukungan informatif, dan dukungan instrumental. Alasan

menggunakan aspek dari House dalam Smet (1994) adalah karena aspek-aspeknya

telah mewakili pengertian dukungan sosial teman santri, telah banyak digunakan

dalam penelitian serupa dan dapat digunakan pada semua latar belakang sosial,

usia, tempat, baik pada laki-laki maupun pada perempuan.

D. Hubungan Antara Kecerdasan Berbudaya di Pesantren dengan

Resiliensi pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan Pesantren

Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai siswa di pesantren, maka

diperlukan serangkaian perilaku khusus yang dimiliki individu untuk dapat

mengefektifkan dirinya dalam budaya yang berbeda. Siswa dituntut memiliki

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

59

serangkaian perilaku yang bisa mengefektifkan dirinya agar mampu bertahan

dalam situasi dengan keragaman budaya yang berbeda, di mana individu yang

mempunyai kecerdasan berbudaya di pesantren yang tinggi akan berfungsi secara

efektif mempunyai insting bertahan dalam setting budaya baru dan berbeda. (Ang

dan Dyne,2008).

Adapun aspek kecerdasan berbudaya menurut Ang dan Dyne (2008)

adalah: Metakognitive, Kognitive, Motivational, Behavioral.

Metakognitif dalam kecerdasan berbudaya menunjukkan tingkat kesadaran

individu terhadap cultural awareness pada saat melakukan interaksi lintas budaya.

Individu dengan dengan kemampuan metakognitif sadar akan budaya yang

dimilikinya dan menyesuaikan pengetahuan tentang budaya yang dimilikinya saat

berinteraksi dengan orang lain yang berbeda budaya. Metakognitif memberikan

arti sebuah proses mental individu yang digunakan untuk menerima dan

memahami pengetahuan kebudayaan, mencakup pengetahuan dan batas proses

penguasaan pikiran individu terkait dengan budaya (Ang dan Dyne, 2008).

Menurut Dyne dkk (2012) kurangnya kesadaran berbudaya akan

menimbulkan sikap acuh tak acuh terhadap perkembangan budaya, hal ini.dapat

diasumsikan bahwa kesadaran seseorang akan kebudayaannya dapat menjadikan

seseorang lebih empati terhadap lingkungannya. Individu yang berempati mampu

mendengarkan dan memahami orang lain sehingga dapat mendatangkan reaksi

positif dengan lingkungannya, seseorang yang memiliki kemampuan berempati

cenderung memiliki hubungan sosial yang positif sehingga ditengarai akan

mampu resilien (Reivich dan Shatte, 2002). Hal di atas di dukung oleh penelitian

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

60

Ihsan (2015) yang mengatakan bahwa metakognisi adalah kemampuan untuk

membangun pemecahan masalah pada siswa. Dapat diasumsikan bahwa

menganalisi dan menyelesaikan permasalahan adalah salah aspek dari resiliensi

(Reivich dan Shatte,2002).

Connor dan Davidson (2003) mengatakan bahwa resiliensi merupakan

kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan.

Resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas individu untuk bertahan/

survive dan mampu beradaptasi dengan keadaan, dengan merespon secara sehat

dan produktif untuk memperbaiki diri, sehingga mampu menghadapi dan

mengatasi tekanan hidup sehari-hari. Singkat kata, dengan memiliki kemampuan

metakognisi yang baik, seorang siswa akan mampu memahami lingkungan

barunya, beradaptasi dengan keadaan, mampu menganalisis dan menyelesaikan

masalahnya sehingga dapat dikatakan bahwa siswa tersebut menjadi resilien,

karena ia mempunyai kecerdasan berbudaya.

Kemampuan motivasional dalam kecerdasan berbudaya mencerminkan

kemampuan untuk mengarahkan perhatian dan kekuatan kearah pembelajaran

serta keberfungsian sebagai situasi yang ditandai dengan perbedaan budaya.

Motivasi yang tinggi mengarahkan perhatian dan energy ke arah situasi lintas

budaya atas dasar minat dalam diri serta kepercayaan dalam keefektifan lintas

budaya ( Ang dan Dyne, 2008). Hal tersebut dapat tercermin dalam perilaku

siswa dalam menerima, ihlas, dan rela, dalam mengikuti kegiatan-kegiatan di

pesantren, menjadikan siswa lebih tangguh dalam menghadapi permasalahan-

permasalahan yang muncul, ketika kondisi di pesantren tidak senyaman di rumah,

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

61

sebagaimana yang diungkapkan oleh Shaumi (2012), yang melakukan penelitian

bahwa adanya pemahaman dan penerapan budaya dalam perilaku yang baik

seperti nrima, ihlas, rila terkait dengan kemampuan resiliensi seseorang dalam

menghadapi bencana.

Menurut Schoon (2006) seseorang yang resilien mampu menghindari

dampak negatif akibat tekanan hidup yang ditemuinya, dan mampu melakukan

perubahan melalui pengalaman, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian

ini mendukung dan mengembangkan temuan yang menunjukkan bahwa motivasi

perilaku penting dalam adaptasi budaya (Dagher, 2010). Individu yang resilien

adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan dan

percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang

dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang

optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di

sekolah (Reivich and Shate, 2002). Menurut Revich dan Shatte (2002), resiliensi

adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi

kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup

sehari-hari.

Berdasarkan pendapat para ahli dan hasil penelitian di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan berbudaya mempunyai

kemampuan untuk dapat menghadapi tekanan hidup sehari-hari sehingga dapat

dikatakan bahwa ia resilien. Sebagaimana pendapat para ahli bahwa tingkat

kecerdasan mempengaruhi resiliensi seseorangi (Kitano, & Lewis, 2005; Hoge et

al, 2007; Olsson at.al, 2002 ). Sehingga dapat diduga adanya hubungan yang

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

62

positif antara kecerdasan berbudaya di pesantren dengan resiliensi. Semakin tinggi

kecerdasan berbudaya di pesantren semakin tinggi resiliensi seseorang,

sebaliknya semakin rendah kecerdasan berbudaya di pesantren maka semakin

rendah resiliensi sesorang.

E. Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Santri dengan Resiliensi

pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di Pesantren

Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren harus bisa bertahan berada

dalam lingkungan pesantren, dengan segala peraturan, aktivitas, serta keterbatasan

yang ada. Namun, tidak jarang siswa yang merasa tidak betah dan memilih untuk

pindah sekolah. Agar dapat survive bertahan dalam berbagai permasalahan, maka

siswa perlu adanya sikap yang resilien. Salah satu faktor yang mempengaruhi

resiliensi adalah keberadaan orang lain untuk mendukung, mencintai,

membimbing, merawat, dan berpengaruh positif dalam hal ini adalah dukungan

sosial dan salah satunya adalah dukungan sosial teman sebaya (Bernard, 2007).

Adapun aspek dari dukungan sosial teman sebaya ada empat, yaitu

dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informatif, dukungan

instrumental (Smet, 1994). Dalam menghadapi situasi yang menekan dan jauh

dari orang tua, dukungan teman sebaya menjadi faktor penting bagi siswa yang

mengikuti pendidikan di pesantren. Hubungan teman sebaya yang suasananya

hangat, menarik dan tidak memaksakan kehendak adalah wujud dari dukungan

emosional yang diberikan yang dapat membantu individu memperoleh

pemahaman tentang konsep diri, perasaan berharga dan optimis terhadap masa

depan. Kondisi demikian juga dapat membantu individu dalam mengungkapkan

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

63

emosinya dengan tepat. Individu dapat belajar mengendalikan emosinya dengan

bantuan teman sebaya dan mencoba menyelesaikan setiap masalah dengan cara

halus tanpa adanya kekerasan (Santrock, 2003). Seorang siswa baru yang

mengikuti pendidikan di pesantren membutuhkan dukungan sosial dari

lingkungannya untuk dapat beradaptasi dengan budaya yang baru dan diharapkan

mampu untuk menghadapi setiap permasalahan yang muncul sehingga mampu

bertahan unttuk mengikuti pendidikan di pesantren. Sebagaimana penelitian

Woferst, dkk (2014) menyatakan bahwa siswa baru yang tinggal di panti asuhan

membutuhkan dukungan dari teman sebayanya, adanya kepedulian, penghargaan,

dorongan dan nasehat dari teman sebaya sebagai individu yang memiliki

pengaruh yang kuat bagi remaja, akan membuat remaja tersebut lebih mudah

beradaptasi, terhadap berbagai masalah remaja walaupun berada dalam kondisi di

panti asuhan atau disebut sebagai remaja yang resilien, tingginya dukungan teman

sebaya berpengaruh pada tingginya resiliensi seseorang. Singkat kata, dukungan

emosional, dukungan penghargaan, dukungan informatif dan dukungan

instrumental yang diberikan oleh teman santri akan menjadi siswa memiliki

resiliensi tinggi, karena tingginya dukungan sosial yang diterimanya

Dalam kehidupan di sekolah, siswa dituntut untuk aktif dan kreatif, tak

jarang siswa mendapatkan kesulitan dalam menjalani proses belajar mengajar di

sekolah yang menyebabkan siswa tertekan, agar prestasi lebih optimal maka

diperlukan resiliensi pada diri siswa. Pengaruh teman sebaya dan self esteem

sangat diperlukan untuk membantu ketahanan siswa. Semakin tinggi peer group

support yang berupa dukungan emosional, instrumental dan informasi diberikan

maka semakin tinggi juga tingkat resiliensi siswa (Ekasari dan Andriyani,

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

64

2013).Kebiasaan dan metode berbeda, seperti kajian kitab klasik yang di peroleh

di pesantren, tentu akan menjadi kendala bagi siswa bagi siswa tertentu.

Dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam menghadapi stress akademik yang

muncul, sehingga siswa mempunyai solusi agar dapat resilien, dukungan sosial

yang tinggi terutama pada dukungan emosional, penghargaan, dan informasional

akan memberikan pengaruh pada tinnginya resiliensi terutama pada aspek regulasi

emosi, optimisme, efikasi diri ( Seswita, 2013)..

Beberapa penelitian tentang resiliensi menunjukkan bahwa dukungan sosial

mempunyai pengaruh terhadap resiliensi individu (Werner, 2007; Dumont dan

Provost, 1999; grotberg, 1999). Secara umum hasil penelitian menunjukkkan

bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan resiliensi individu. Menurut Bernard

(2007) faktor dukungan keluarga, sekolah dan lingkungan dapat membantu dan

mengembangkan resiliensi seseorang. Lebih diperjelas lagi oleh Henderson

(2007) menjelaskan bahwa dukungan teman sebaya dapat mengembangkan

resiliensi, karena anak-anak menerima dukungan dari teman sebaya tiga atau

lebih banyak dibandingkan dari orang tua.

Dukungan sosial teman sebaya sangat erat kaitannya dengan teman santri di

pesantren. Menurut Natsir (2008), pesantren dalam pelafalannya adalah tempat

tinggal santri. Istilah santri berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji,

namun ada juga yang berpendapat berasal dari bahasa india, yaitu shastri yang

berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Sehingga dukungan teman

sebaya di pesantren disebut dengan dukungan teman santri. Dari penjabaran di

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

65

atas dapat bahwa teman santri menjadi salah satu bentuk dukungan sosial yang

penting bagi resiliensi seseorang.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diduga adanya hubungan yang

positif antara dukungan sosial teman santri dengan resiliensi. Semakin tinggi

dukungan sosial teman santri semakin tinggi resiliensi seseorang, sebaliknya

semain rendah dukungan sosial teman santri maka semakin rendah resiliensi

sesorang.

F. Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Santri dan Kecerdasan

Berbudaya di Pesantren dengan Resiliensi

Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kapasitas untuk

merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma,

dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi

adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk mencari pengalaman baru

dan memandang kehidupan sebagai sebuah kemajuan.

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk merespon secara sehat dan

produktif dalam menghadapi kesulitan yang dihadapi agar dapat bertahan/ survive

serta mampu beradaptasi dalam menghadapi tekanan hidup sehari-hari untuk

menjadi individu yang lebih baik. Adapun aspek resiliensi menurut Reivich dan

Shatte (2002) adalah: regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati,

analisis penyelesaian masalah, efikasi diri, peningkatan aspek positif.

Untuk menjadi resilien siswa membutuhkan beberapa faktor pendukung,

baik itu dari dalam diri individu maupun dari luar individu itu sendiri. Hal tersebut

senada dengan Olsson et al. (2002) yang menyatakan, bahwa untuk meningkatkan

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

66

resiliensi pada remaja dapat menggunakan suatu pendekatan yang berbasis

sumber daya yang dimiliki individu itu sendiri. Seperti kemampuan sosial

kecerdasan, ketrampilan komunikasi, sifat-sifat pribadi dukungan keluarga, status

sosial ekonomi, pengalaman sekolah dan dukungan komunitas. Adapun faktor-

faktor yang turut berpengaruh pada penguatan resiliensi antara lain: Tingkat

kecerdasan (Kitano, & Lewis, 2005; Hoge et al, 2007; Olsson at.al, 2002 ),

Identitas etnis (Miller, dan maclntosh, 1999), kepribadian (Kobasa 1981; Smith,

2006), dukungan sosial (Schoon, 2006; Grotberg, 1995; Olsson at al, 2002;

Bernard, 2004), strategi koping (Lazarus, 1991; Bissonette, 1998: Dumont, dan

Provost, 1998; Buckner, Mezzacappa, beardslee, 2003; WHO, 2004; Yi, Smith,

Vitalino, 2005; Ahem, Kiehl, Sole, Byers, 2006, Smith, & Carlson, 2007).

Begitu pula dengan siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren, di

mana para siswa diharuskan hidup mandiri dan jauh dari orang tua dalam budaya

yang berbeda, resiliensi sangat dibutuhkan. Resiliensi siswa dalam konteks di

pesantren berupa kemampuan siswa untuk bertahan/ survive dalam lingkungan

dan budaya pesantren yang berbeda dari sebelumnya, di mana aktivitas siswa di

pesantren, di mulai pukul 03.30 - 21.30 WIB. Siswa juga belajar menyesuaikan

diri dengan gaya belajar berbeda, berupa pengajian Qur’an dan kitab kuning.

Setting tempat tinggal yang berbeda di mana siswa tinggal di pesantren selama 24

jam bersama dengan kyai, guru dan teman santri.

Terkait dengan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi, tingkat

kecerdasan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuhnya resiliensi

(Kitano, & Lewis, 2005; Hoge et al, 2007; Olsson at.al, 2002). Salah satu bentuk

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

67

dari kecerdasan adalah kecerdasan adalah kecerdasan berbudaya (Ang dan Dyne,

2008; Peterson, 2007). Ang dan Dyne (2008) menjelaskan bahwa, kecerdasan

berbudaya adalah kemampuan yang dimiliki individu agar dapat berfungsi secara

efektif diberbagai situasi dengan berbagai budaya. Kecerdasan berbudaya

merupakan pelengkap lain dari kecerdasan yang dapat menjelaskan variabilitasnya

dalam melakukan koping dalam keragaman dan fungsinya dilingkungan budaya

baru (Ang dan Dyne, 2008). Early dan Ang, (2008) mengartikan kecerdasan

berbudaya merupakan kemampuan yang dimiliki individu supaya mampu

berfungsi secara efektif di berbagai situasi dengan beragam budaya.

Kecerdasan berbudaya yang tinggi akan mempengaruhi tingginya

resiliensi seseorang, sebagaimana penelitian Engle dan Dolehery (2016), yang

mengatakan bahwa kecerdasan berbudaya akan mempengaruhi kemampuan

seseorang dalam menyelesaikan masalah, sehingga lebih resilien. Singkat kata,

semakin tinggi kecerdasan berbudaya di pesantren yang dimiliki siswa maka

semakin tinggi resiliensinya.

Selain faktor kecerdasan berbudaya di pesantren dukungan teman santri

menjadi faktor penting pada saat seseorang berada di luar jangkauan orang tua,

karena interaksi seseorang anak akan lebih banyak dengan teman santri. Menurut

Santrock (2003) ketika masa remaja beranjak dari masa anak-anak ke masa

dewasa, mereka pengaruhi dan dipengaruhi oleh orang-orang dalam berbagai

konteks sosial, yang meliputi keluarga dan teman-teman sebaya, pacar dan

sekolah. Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren membutuhkan dukungan

dari teman santri untuk menjadi resilien sebagaimana Henderson (2007) bahwa

dukungan teman sebaya dapat mengembangkan resiliensi, karena anak-anak

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

68

menerima dukungan dari teman sebaya tiga atau lebih banyak dibandingkan dari

orang tua. Sebagaimana penelitian Woferst, dkk (2014) yang menyatakan bahwa

dukungan teman sebaya mempengaruhi resiliensi pada siswa di panti asuhan.

Sehingga dapat di asumsikan bahwa semakin tinggi dukungan sosial teman santri

yang dirasakan oleh siswa maka semakin tinggi resiliensinya.

Dari penjelasan di atas, diketahui begitu pentingnya resiliensi bagi siswa

yang mengikuti pendidikan di pesantren, siswa yang mempunyai kecerdasan

budaya di pesantren yang tinggi akan lebih resilien dalam menghadapi

permasalahan dan adanya dukungan dari teman santri akan memberi pengaruh

dari lingkungan sekitar untuk dapat menyelesaikan permasalahn yang timbul.

Sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan berbudaya di pesantren dan

dukungan teman santri memiliki hubungan yang positif dengan resisilensi pada

siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren. Dalam hal ini semakin besar

dukungan sosial teman santri maka akan semakin tinggi resiliensi siswa yang

mengikuti pendidikan di pesantren, dan semakin tinggi kecerdasan berbudaya di

pesantren yang dimiliki, maka siswa tersebut maka semakin tinggi pula reslilien

siswa dalam mengikuti pendidikan di pesantren.

G. Landasan Teori

Sementara secara umum, pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan

Islam yang mempunyai ciri–ciri diantaranya adalah adanya hubungan yang akrab

antara santri dan kyai, santri taat dan patuh pada kyai, santri hidup secara mandiri

dan sederhana, adanya semangat gotong royong dan kekeluargaan, serta diajarkan

kitab–kitab klasik sebagai bahan pelajaran utama. (Natsir, 2008).

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

69

Pesantren, merupakan salah satu contoh dari pendidikan islam di

Indonesia. Dalam pondok pesantren tercipta suatu tuntutan sosial untuk

menyatukan berbagai kultur santri yang berasal dari berbagai daerah dengan suku,

bahasa, dan budaya yang berbeda.

Seorang siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren, akan berinteraksi

dengan siswa lain yang memiliki perbedaan budaya. Dengan adanya perbedaan,

dapat menjadikan seseorang mengalami konflik tersendiri dalam berinteraksi

karena mengalami situasi penuh tekanan atau situasi penuh resiko tinggi, yaitu

diharuskan untuk hidup mandiri, beradaptasi dengan lingkungan baru,

menghadapi proses berkembang menjadi remaja yang penuh fluktuasi emosi, dan

hidup di pesantren. Hal itu memungkinkan timbulnya skema negatif seperti

perasaan tidak berdaya (WHO, 2004), merasa terisolasi, tidak nyaman, banyak

pikiran negatif, cenderung lebih pesimis dan mudah menyerah (Lam dan Chang,

2007). (Buckner et al, 2003; Listyaningsih, 2004). Rembulan, (2009). Untuk itu

diperlukan adanya sikap yang resilien dalam menempuh pendidikan di pesantren,

dalam hal ini faktor dari dalam diri santri dan dari luar, sangat memberi andil

dalam tercapainya tujuan belajar santri. Menurut Revich dan Shatte (2002),

resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika

menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola

tekanan hidup sehari-hari. Seseorang dikatakan resilien apabila memiliki 7

kemampuan, yaitu; Adapun aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002)

adalah: regulasi emosi (kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan),

pengendalian impuls (kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan,

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

70

kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang), optimisme

(mereka memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat

mengontrol arah hidupnya), empati (empati merepresentasikan bahwa individu

mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain), analisis

penyelesaian masalah ( mampu menganalisis penyelesaian masalah ke dalam

faktor-faktor yang dapat nereka kendalikan), efikasi diri (keyakinan pada

kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan

efektif), peningkatan aspek positif (individu yang meningkatkan aspek positif

dalam hidup, mampu membedakan resiko yang realistis dan tidak realistis, dan

memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari

kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah

dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan

kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penguatan resiliensi

dalam penelitian ini adalah kecerdasan berbudaya di pesantren dan dukungan

sosial teman santri.

kecerdasan berbudaya di pesantren diperlukan karena siswa akan lebih

merasa nyaman, dapat menghargai adanya perbedaan. Menurut Ang dan Dyne

(2008) kecerdasan berbudaya adalah kemampuan yang dimiliki individu agar

dapat berfungsi secara efektif diberbagai situasi dengan berbagai budaya.

Kecerdasan berbudaya merupakan pelengkap lain dari kecerdasan yang dapat

menjelaskan variabilitasnya dalam melakukan koping dalam keragaman dan

fungsinya dilingkungan budaya baru Ang dan Dyne, (2008). Ang dan Dyne,

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

71

(2008) mengartikan kecerdasan berbudaya merupakan kemampuan yang dimiliki

individu supaya mampu berfungsi secara efektif di berbagai situasi dengan

beragam budaya. Kecerdasan berbudaya merupakan kemampuan individu untuk

bisa sukses beradaptasi dalam setting budaya baru yang tidak biasa serta

kemampuan berfungsi secara mudah dan efekif dalam situasi-situasi keragaman

budaya (Kumar, dkk, 2008). Sejalan dengan Kumar, Plum (2007) juga

mendefinisikan kecerdasan berbudaya sebagai kemampuan untuk membuat orang

lain paham serta mampu menciptakan kerjasama yang baik dalam berbagai

situasi dimana perbedaan budaya turut memainkan peran.

Selain faktor kecerdasan berbudaya di pesantren, resiliensi juga

dipengaruhi oleh faktor dukungan sosial teman sebaya juga penting untuk

diperhatikan. Smet (1994) menjelaskan bahwa dukungan sosial sebagai sebuah

transaksi interpersonal yang akan muncul dengan melibatkan satu atau lebih

aspek-aspek, dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan instrumental,

dukungan penilaian. Dukungan sosial teman sebaya sangat erat kaitannya dengan teman

santri di pesantren. Menurut Natsir (2008), pesantren dalam pelafalannya adalah tempat

tinggal santri. Istilah santri berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji, namun

ada juga yang berpendapat berasal dari bahasa india, yaitu shastri yang berarti orang yang

tahu buku-buku suci agama hindu. Sehingga dukungan teman sebaya di pesantren disebut

dengan dukungan teman santri

Adanya dukungan sosial teman santri yang diberikan dan faktor

kecerdasan berbudaya, dapat menjadi modal siswa dalam mengikuti pendidikan di

pesantren. Siswa yang mempunyai sikap resilien akan dapat menghadapai

permasalahan-permasalahan yang muncul dan mempunyai cara bagaimana

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

72

memecahkan permasalahan yang dimilikinya, dan dapat bertahan sampai

menyelesaikan tugas belajarnya, sedangkan siswa yang yang tidak resilien maka

akan memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah.

Berdasarkan yang telah dikemukakan di atas, ada keterkaitan antara

dukungan sosial teman santri dan kecerdasan berbudaya agar seorang siswa dapat

resilien dalam mengikuti pendidikan di pesantren. Olsson et al.(2002)

mengemukakan, untuk meningkatkan resiliensi pada anak muda dapat

menggunakan suatu pendekatan yang berbasis sumber daya yang dimiliki indvidu

itu sendiri. Sumberdaya individu, kemampuan sosial ,kecerdasan, ketrampilan,

komunikasi,sifat-sifat pribadi sumberdaya keluarga yang mendukung, status sosial

ekonomi, pengalaman sekolah, dan dukungan komunitas.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi

dukungan sosial teman santri diperoleh dan semakin tinggi kecerdasan berbudaya

di pesantren yang dimiliki maka akan semakin tinggi pula resiliensi seseorang.

Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.3

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

73

Dukungan teman santri:

Dukungan emosional,

Dukungan informasi, H-2

Dukungan instrumental,

Dukungan penilaian.

H-3

Kecerdasan berbudaya

di pesantren:

Metakognitif,

kognitif,

Motivasional,

Behavioral, H-1

Tabel 2. 2 Kerangka berpikir

Keterangan gambar:

H-1 Menunjukkan hubungan kecerdasan berbudaya di pesantren (X1) dengan

resiliensi (Y)

H-2 Menunjukkan hubungan dukungan teman santri (X2) dengan resiliensi (Y)

H-3 Menunjukkan hubungan antara kecerdasan berbudaya di pesantren (X1) dan

dukungan sosial teman santri (X2) dengan resiliensi (Y).

Resiliensi Pada siswa

yang mengikuti

pendidikan di pesantren:

Regulasi emosi,

Pengendalian impuls,

Optimisme,

Empati,

Analisis penyelesaian

masalah,

Efikasi diri,

Peningkatan aspek positif,

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - eprints.mercubuana-yogya.ac.ideprints.mercubuana-yogya.ac.id/958/4/BAB II.pdfPengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di ... dengan merespon

74

H. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori yang di atas, hipotesis

pada penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan positif antara kecerdasan berbudaya di pesantren dengan

resiliensi pada siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren. Semakin

tinggi kecerdasan berbudaya di pesantren siswa maka semakin tinggi

resiliensinya, sebaliknya semakin rendah kecerdasan berbudaya di pesantren

siswa, maka semakin rendah resiliensi siswa yang mengikuti pendidikan di

pesantren.

2. Ada hubungan positif antara dukungan sosial teman santri dengan resiliensi

pada siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren. Semakin tinggi

dukungan sosial sebaya siswa, maka semakin tinggi resiliensinya,

sebaliknya semakin rendah dukungan sosial teman sebaya siswa, maka

semakin rendah resiliensi siswa yang mengiku tipendidikan di pesantren.

3. Ada hubungan antara kecerdasan berbudaya di pesantren dan dukungan

sosial teman santri dengan resiliensi pada siswa yang mengikuti pendidikan

di Pesantren.