Upload
duonganh
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di Pesantren
1. Pengertian Resiliensi Pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di
Pesantren
Beberapa ahli mendefinisikan resiliensi sebagai berikut. Seseorang
disebut resilien apabila dia kebal secara fisik dan psikologis saat menghadapi
tekanan tinggi (adversity) tanpa mengalami sakit ( Atri., Sharma, Cottrell,
2007).
Konsep resiliensi disebut pula hardiness, ego resilience, ego strenght,
stress-resistance. Karakter kepribadian resilien dapat dilihat dari tiga
kecenderungan atau tendensi : (a) kontrol yaitu cara pandang atau keyakinan
bahwa seseorang dapat mempengaruhi kehidupan, (b) Komitmen, yaitu
keyakinan seseorang akan diri sendiri dan hal-hal yang dilakukannya, (c)
tantangan, yaitu cara pandang seseorang untuk melihat ancaman sebagai
kesempatan untuk berkembang ( Leiferman, dan Steinhardt, 2000).
Menurut beberapa ahli di atas, resiliensi dianggap sebagai karakteristik
kepribadian, namun beberapa ahli lain tidak sependapat. Dalam pendapat lain
dinyatakan bahwa, tidak ada individu yang kebal terhadap tekanan atau
kesusahan (adversity). Resilien bukan hanya dari karakteristik kepribadian
melainkan melalui proses, berkembang dalam kesulitan atau tekanan hidup
yang ditemui. Kesulitan atau tekanan hidup tersebut dimaknai, berlanjut,
25
berubah, dinamis dan bukanlah sebuah karakter kepribadian yang menetap atau
stabil (Luthar, Cicchetti, & Becker, 2000; Schoon, 2006).
Pengertian berikut mendukung dari pendapat bahwa resiliensi
diperoleh dari belajar. Resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi,
mengatasi, memperkuat diri, dan tetap melakukan perubahan melalui
pengalaman, sehubungan dengan ujian atau cobaan yang dialami (Groberg,
1999).
Connor dan Davidson (2003) mengatakan bahwa resiliensi merupakan
kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan.
Resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas individu untuk bertahan/
survive dan mampu beradaptasi dengan keadaan, dengan merespon secara sehat
dan produktif untuk memperbaiki diri, sehingga mampu menghadapi dan
mengatasi tekanan hidup sehari-hari.
Menurut Revich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma,
dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi
adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk mencari pengalaman
baru dan memandang kehidupan sebagai sebuah kemajuan. Resiliensi
menghasilkan dan mempertahankan sikap positif untuk digali. Individu
mengambil makna dari kesalahan dan menggunakan pengetahuan untuk meraih
sesuatu yang lebih tinggi. Individu mengolah dirinya dan memecahkan
persoalan dengan bijaksana, sepenuhnya, dan energik.
26
Resiliensi seseorang dapat dilihat dari beberapa hal di antaranya adalah
kemampuan meregulasi emosi, mengendalikan impuls, optimis, empati,
menganalisis penyelesaian masalah, efikasi diri, dan meningkatkan aspek
positif yang ada pada dirinya. Resiliensi adalah hal yang penting ketika
membuat keputusan yang berat dan sulit di saat-saat terdesak. Seseorang yang
mempunyai resiliensi yang kuat, akan memilih solusi yang terbaik dan bangkit
dari masalah yang dihadapinya ( Reivich dan Shatte, 2002 ).
Dalam kehidupan, setiap individu memiliki kemampuan untuk belajar
menghadapi kesengsaraan hidup, resiliensi dapat dimiliki oleh setiap individu.
Resiliensi juga merujuk pada kemampuan individu untuk segar kembali
(bounce back) dari stres , trauma, dan resiko yang dialami dalam kehidupannya
serta mampu untuk mengembangkan kemampuan sosial, akademik, dan
kemampuan untuk menghadapi tekanan (Hendersen dan Milsten 2003; Reivich
dan Shatte 2002).
Menurut Schoon (2006) seseorang yang resilien mampu menghindari
dampak negatif akibat tekanan hidup yang ditemuinya, dan mampu melakukan
perubahan melalui pengalaman, terutama dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang yang mempunyai resiliensi mampu melompat lebih tinggi,
sebagaimana bola yang dipantulkan. Semakin keras untuk dilemparkan maka
akan semakin tinggi pantulannya. Sebagaimana gambar 2.1.
27
Lahir Dewasa
Gambar 2. 1 Model kontekstual perkembangan resiliensi
Sumber : Schoon, 2006
Gambar di atas menjelaskan bahwa resiliensi seseorang terbentuk sejak
dia lahir hingga dewasa dan bukan merupakan karakteristik seseorang, namun
konsep resiliensi berbeda dengan konsep penyesuaian diri (adjustment).
Konsep resiliensi selalu berkaitan dengan kesusahan (adversity), atau faktor
resiko tinggi. Seseorang dikatakan resilien apabila dapat berkembang
melampaui resiko tinggi yang dihadapinya dan menghindari dampak negatif
Penyesuaian
diri
Penyesuaian
diri
Penyesuaian
diri
Penyesuaian
diri
Resiko
Resiko
Resiko
Resiko
Konteks sosial – sejarah
Institusi
Lingkungan sekitar
Keluarga
Individu
28
akibat tekanan hidup yang ditemuinya (Luthar et al, 2000; Schoon, 2006).
Begitu pula dengan siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren, mereka
memerlukan sikap resilien untuk dapat bertahan di pesantren.
Menurut Natsir (2008), pesantren berasal dari kata santri yang mendapat
awalan pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pesantrian, yang kemudian
pelafalannya menjadi pesantren yang memiliki arti tempat tinggal santri. Istilah
santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, namun ada juga yang
berpendapat berasal dari bahasa India, yaitu shastri yang berarti orang yang
tahu buku–buku suci agama hindu.
Sementara secara umum, pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan
Islam yang mempunyai ciri–ciri diantaranya adalah adanya hubungan yang
akrab antara santri dan kyai, santri taat dan patuh pada kyai, santri hidup secara
mandiri dan sederhana, adanya semangat gotong royong dan kekeluargaan,
serta diajarkan kitab–kitab klasik sebagai bahan pelajaran utama. Sementara
secara fisik pesantren minimalnya mempunyai sarana dasar berupa masjid atau
langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kyai dan keluarganya,
pondok sebagai tempat tinggal santri, dan ruangan–ruangan untuk belajar
(Ensiklopedi Islam jilid IV; 90-104 dalam Mohammad Natsir, 2008).
Pengertian lain menyebutkan bahwa pesantren merupakan suatu tempat
yang menyediakan rumah atau asrama dengan biaya rendah atau tanpa biaya
bagi santri yang menempatinya, dan merupakan tempat mempelajari ilmu-ilmu
agama atau tafaqquh fiddin (Mastuhu, 1996) Dari berbagai pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
29
terdapat hubungan antara kiai dan santri dan secara fisik minimalnya
mempunyai sarana dasar berupa masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan,
rumah tempat tinggal kyai dan keluarganya, dan asrama sebagai tempat tinggal
para santrinya.
Siswa yang tinggal di pesantren disebut santri, pesantren merupakan
komunitas tersendiri, dimana kiai, ustadz, santri, dan pengurus hidup bersama
dalam satu kampus. Peserta didik berasal dari berbagai daerah seluruh
Indonesia, bahkan ada juga yang berasal dari luar negeri, dengan latar belakang
budaya yang berbeda. Terdapat pesantren yang mengharuskan santrinya, untuk
tinggal di asrama dan sekolah formalnya juga berada di dalam pesantren.
Seluruh siswa berkumpul di sebuah area, sehingga pertemuan antar siswa yang
berbeda budaya terjadi selama 24 jam. Salah satu pesantren yang menerapkan
sekolah formal include dengan pesantren adalah Pondok pesantren X di
Yogyakarta. Berdasarkan wawancara dengan guru pembimbing MTs X di
Yogyakarta pada tanggal 12 Oktober 2015, diketahui dari agenda harian siswa,
aktivitas siswa dimulai pukul 03.00 - 21.30, siswa tinggal dalam lingkungan
yang sama selama 24 jam yang ada di pesantren, dan berinteraksi dengan
siswa yang sama, dalam hal ini akan menimbulkan tekanan pada siswa.
Dari berbagai uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, resiliensi
pada siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren adalah kemampuan
individu untuk merespon secara sehat dan produktif dalam menghadapi
kesulitan yang dihadapi agar dapat bertahan/ survive serta mampu beradaptasi
30
dalam menghadapi tekanan di pondok pesantren untuk menjadi santri yang
lebih baik.
2. Aspek - Aspek Resiliensi Pada Siswa yang mengikuti pendidikan di
pesantren.
Reivich dan Shatte (2002) juga menyatakan bahwa resiliensi dibangun
dari tujuh kemampuan yang berbeda. Tujuh kemampuan tersebut adalah:
a. Regulasi emosi
Kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Siswa yang mengikuti
pendidikan di pesantren hendaknya memiliki kemampuan meregulasi emosi
dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa
cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu
masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal
yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekpresian
Reivich and Shatte (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait
dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing).
Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini, dapat membantu
meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang
mengganggu dan mengurangi stress. Siswa yang mengikuti pendidikan di
pesantren mampu untuk mengatur emosi, keinginan dan perilaku, serta tetap
tenang di bawah kondisi yang menekan di pesantren.
b. Pengendalian impuls
Kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan
yang muncul dari dalam diri seseorang. Siswa dengan pengendalian impuls
31
rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung
mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu seperti itu seringkali
mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif
pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan
sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya
permasalahan dalam hubungan sosial. Siswa yang mengikuti pendidikan di
pesantren mampu mengendalikan dorongan, kesukaan dan tekanan dalam
mengikuti peraturan di pesantren.
c. Optimisme
Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Siswa yang mengikuti
pendidikan di pesantren memiliki harapan di masa depan dan percaya
bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang
dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang
optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih
baik di sekolah, lebih produktif dalam kerja, dan lebih banyak menang
dalam olahraga. Optimisme mengimplikasikan bahwa individu percaya
bahwa ia dapat menangani masalah-masalah yang muncul di masa yang
akan datang. Begitu pula dengan siswa yang mengikuti pendidikan di
pesantren, mereka memandang masalah di pesantren secara positif dan
berpikir optimis dalam mengikuti pendidikan di pesantren.
d. Empati
Empati merepresentasikan bahwa individu mampu membaca tanda-tanda
psikologis dan emosi dari orang lain. Empati mencerminkan seberapa baik
32
individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain
Selain itu, Werner dan Smith (1982) menambahkan bahwa individu yang
berempati mampu mendengarkan dan memahami orang lain sehingga ia pun
mendatangkan reaksi positif dari lingkungan. Siswa yang memiliki
kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif,
mereka mampu menempatkan diri pada posisi orang lain, ikut merasakan
apa yang dirasakan orang lain di lingkungan pesantren.
e. Analisis menyelesaikan masalah
Bahwa Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren mampu menganalisis
penyebab untuk penyelesaian masalah, kedalam faktor-faktor yang dapat
mereka kendalikan. Mereka dapat mengatasi tekanan dan bangkit kembali.
Konsep yang berhubungan erat dengan analisis penyelesaian masalah yaitu
problem solving. Bagaimana individu dapat menyelesaikan setiap
permasalahan yang menekan, dan menjadi semakin kuat. Siswa yang
mengikuti pendidikan di pesantren mampu menyelesaikan masalah dengan
mengidentifikasi penyebab berkaitan dengan kehidupan di pesantren.
Semakin tinggi skor pada skala analisa penyelesaian masalah menunjukkan
semakin tingginya resiliensi siswa dan skor yang rendah menunjukkan
rendahnya resiliensi siswa.
f. Efikasi diri
Keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan
memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri
sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi
33
memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan
menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu
tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri
yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak
merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan
kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat
menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren yakin mampu memecahkan
permasalahan yang ada di pesantren.
g. Peningkatan aspek positif
Resiliensi merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif
dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup,
mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu
membedakan resiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki makna
dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari kehidupan.
Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah
dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan
kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi. Siswa yang mengikuti
pendidikan di pesantren mampu meningkatkan aspek-aspek positif dalam
kehidupan di pesantren, dan berani mengatasi ketakutan yang mengancam.
Wolin dan Wolin (1993) mengemukakan tujuh aspek utama resiliensi
yang hendaknya dimiliki oleh individu, yaitu:
34
a. Insight yaitu proses perkembangan individu dalam merasa, mengetahui, dan
mengerti masa lalunya untuk mempelajari perilaku-perilaku yang lebih
tepat.
b.Independence yaitu kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional
maupun fisik dari sumber masalah (lingkungan dan situasi yang
bermasalah).
c. Relationships. Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan
yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role
model yang baik.
d. Initiative yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap
hidupnya.
e. Creativity yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan
alternatif dalam menghadapi tantangan hidup.
f. Humor adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan
menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun.
g. Morality adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati
nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang
yang membutuhkan.
Grotberg (1995), mengemukakan aspek-aspek resiliensi yang
diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan
individu, dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, untuk dukungan eksternal
dan sumber-sumbernya, digunakan istilah I Have, sedangkan untuk
kemampuan interpersonal digunakan I Can.
35
Berdasarkan dari uraian para ahli di atas penulis mengambil pendapat
dari Reivich dan Shatte (2002) yang menyatakan bahwa resiliensi dapat
dibangun dari 7 aspek, adapun aspek-aspek tersebut adalah: regulasi emosi,
pengendalian impuls, optimisme, empati, analisis penyelesaian masalah, efikasi
diri, peningkatan aspek positif.
Alasan penggunaan teori dari Reivich dan Shatte (2002) adalah aspek
yang dikemukakan oleh Reivich dan Shatte dapat menggambarkan resiliensi
seluruh subyek, tidak terbatas hanya pada subyek tertentu yang memiliki
resiliensi sebagai karakteristik, dapat digunakan pada semua latar belakang
sosial, usia, tempat, baik pada laki-laki maupun pada perempuan.
3. Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Resiliensi
Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan faktor
yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Menurut Masten dan
Coatsworth (dalam Davis, 1999). Faktor tersebut meliputi dukungan eksternal
dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga,
lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi perempuan),
kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem,
a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan
sosial (seperti mengatasi konflik, kemampuan-kemampuan berkomunikasi).
Faktor-faktor yang turut berpengaruh terhadap penguatan resiliensi antara lain:
(a) Tingkat kecerdasan, yaitu kemampuan verbal dan ketrampilan
memecahkan masalah, juga mencakup kemampuan untuk belajar dari
36
sesuatu hal dan menyesuaikan diri terhadap pengalaman hidup sehari-hari
(Kitano, & Lewis, 2005; Hoge et al, 2007; Olsson at.al, 2002 )
Salah satu bentuk kecerdasan menurut Peterson (2004) adalah
kecerdasan berbudaya. Kecerdasan berbudaya, bersifat tidak permanen,
dalam hal ini kecerdasan berbudaya mempunyai karakter sama dengan
kecerdasan emosi yang dapat berkembang apabila diasah, berbeda dengan
IQ yang sifatnya lebih tetap.
Kecerdasan berbudaya sebagai salah satu bentuk kecerdasan yang
fokus pada kemampuan individu utuk memahami dan berperilaku dalam
situasi dengan budaya yang beragam (Ang dan Dyne, 2008).
Seseorang yang memiliki kecerdasan berbudaya maka akan dapat
beradaptasi secara efektif dalam konteks lingkungan dengan kebudayaan
yang baru dialaminya, konsep kecerdasan berbudaya menggambarkan
kemampuan individu untuk sukses dalam beradaptasi pada pengaturan
budaya baru yang tidak familiar, serta mampu berfungsi secara efektif
dalam situasi budaya yang berbeda (Kumar, 2008; Peterson, 2004; Ang
dan Dyne, 2008). Dari penjabaran di atas dapat memberikan suatu
gambaran bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan berbudaya maka
akan mampu berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan barunya
sehingga seseorang dengan kecerdasan budaya yang baik maka menjadi
individu yang resilien dalam kehidupannya.
(b) Identitas etnis, yaitu perasaan keanggotaan yang didasarkan pada bahasa,
agama, kebiasaan, nilai-nilai, sejarah, dan ras dari kelompok etnik (Miller,
37
dan maclntosh, 1999). Identitas etnis menjadi salah satu faktor protektif
bagaimana anak-anak menjadi resilien. Ketergantungan etnis, kelas sosial
dan batas-batas geografi seseorang dalam sebuah etnis tertentu merupakan
faktor proteksi yang menimbulkan dampak dalam perkembangan
kehidupan individu dan menjadikan seseorang lebih tangguh dalam
menyelesaikan beberapa faktor resiko. Proses lahirnya seorang anak akan
memberikan pengaruh tumbuhnya resiliensi seorang anak, bagaimana ia
mudah berdaptasi terhadap pengasuhnya, keluarga, sekolah dan
komunitas-komunitas yang lebih besar. Tidak ada jaminan bagi anak yang
pemalu untuk tidak sukses dalam resiliensi. Tumbuhnya resiliensi
seseorang tidak instan oleh seorang guru atau orang yang lebih tua, namun
berdasarkan interaksi seorang individu dengan orang yang lebih tua,
kesempatan serta tantangan yang dihadapi ( Werner, 2007). Identitas
budaya yang kuat dan kebanggaan terhadap etnis dapat menjadi seorang
anak yang resilien. Anak-anak yang mengalami tekanan, dan pengalaman
berkaitan dengan rasis deskriminasi dan latar belakang perceraian dalam
keluarga dapat memberikan pengaruh yang buruk pada anak (white,
2007).
(c) Kepribadian, yaitu karakteristik seseorang dan pola perilaku yang bersifat
tetap atau menetap (Kobasa 1981; Smith, 2006). Bernard (2004)
menjelaskan bahwa kapasitas resiliens ini ada pada setiap orang. Dalam
hal ini kapasitas resilien itu ada pada setiap orang yang ada sejak lahir,
artinya setiap orang mempunyai kemampuan untuk bertahan dari
38
penderitaan, kekecewaan, atau tantangan (Bobey, 1999). Karakteristik
dalam kepribadian seseorang adalah salah satu faktor protektif seseseorang
dalam menghadapi permasalahan, sebagaimana diungkapkan oleh Wolin
dan Wolin (1993) pada orang yang resilien di dalam dirinya terdapat
beberapa karakteristik yang menjadikannya tangguh dalam menghadapi
permasalahan yang menimpanya, adapun karakteristik tersebut adalah:
insight, kemandirian, kreativitas, humor, inisiatif, hubungan, dan
moralitas.
(d) Dukungan sosial, yaitu keberadaan orang lain yang mendukung,
mencintai, membimbing, merawat, dan berpengaruh positif terhadap
perkembangan resiliensi seseorang (Schoon, 2006; Grotberg, 1995;
Olsson at al, 2002; Bernard, 2004)
Resiliensi pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari keberadaan
orang-orang terdekat. Keberadaan dukungan adalah sesuatu yang penting
karena dengan adanya dukungan tersebut akan menumbuhkan keyakinan
pada diri seseorang bahwa mereka mampu menghadapi permasalahan
yang ada. Seseorang merasa orang lain peduli dengan apa yang sedang
diihadapinya, dan mampu bertahan menghadapi berbagai permasalahan.
Dukungan sosial yang baik berupa sikap peduli dan mau mendengar akan
memberikan hasil positif sementara dukungan sosial yang buruk berupa
kesaksian anak akan kejadian buruk bisa memberi dampak buruk pada
penyesuaian kebiasaan anak ( White, 2007) . Menurut Henderson (2007)
mejelaskan bahwa hubungan teman sebaya merupakan salah satu aset
39
mengembangkan resiliensi, karena anak-anak menerima dukungan dari
teman sebaya tiga atau lebih banyak dibandingkan dari orang tua. Dari
penjabaran di atas dapat dilihat bahwa teman sebaya menjadi salah satu
sumber dukungan sosial yang penting bagi resiliensi seseorang.
Membentuk forum diskusi yang anggotanya adalah teman sebaya, dapat
membantu anak-anak yang mempunyai masalah kesehatan mental menjadi
resilien (Werner, 2007). Dukungan sosial teman sebaya sangat erat
kaitannya dengan teman santri di pesantren. Menurut Natsir (2008),
pesantren dalam pelafalannya adalah tempat tinggal santri. Istilah santri
berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji, namun ada juga yang
berpendapat berasal dari bahasa india, yaitu shastri yang berarti orang
yang tahu buku-buku suci agama hindu. Sehingga dukungan teman sebaya
di pesantren disebut dengan dukungan teman santri.
(e) Strategi koping, yaitu usaha kognitif dan perilaku untuk mengelola
tuntutan dari dalam diri dan luar diri yang membutuhkan sumber-sumber
di dalam diri untuk dapat menyelesaikannya (Lazarus, 1991; Bissonette,
1998: Dumont, dan Provost, 1998; Buckner, Mezzacappa, beardslee, 2003;
WHO, 2004; Yi, Smith, Vitalino, 2005; Ahem, Kiehl, Sole, Byers, 2006,
Smith, & Carlson, 2007)
Hal tersebut senada dengan Olsson et al. (2002) yang menyatakan, untuk
meningkatkan resiliensi pada remaja dapat menggunakan suatu pendekatan
yang berbasis sumber daya yang dimiliki individu itu sendiri. Seperti
kemampuan sosial kecerdasan, ketrampilan komunikasi, sifat-sifat pribadi
40
dukungan keluarga, status sosial ekonomi, pengalaman sekolah dan dukungan
komunitas
Berdasarkan dari uraian di atas tentang faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi resiliensi, maka dapat disimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi resiliensi adalah: inteligesi, idetitas etnis, kepribadian,
dukungan sosial, dan strategi koping.
Dalam penelitian ini, ada 2 faktor yang akan dikaji dalam pengaruhnya
terhadap penguatan resiliensi pada siswa yang mengikuti pendidikan di
pesantren, yaitu : Yaitu faktor tingkat kecerdasan dan fator dukungan sosial.
Faktor kecerdasan, lebih spesifik dalam penelitian ini adalah kecerdasan
budaya,hal ini penting apabila seseorang yang mempunyai kecerdasan
berbudaya maka akan mampu berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan
barunya sehingga seseorang dengan kecerdasan budaya yang baik maka
menjadi individu yang resilien dalam kehidupannya. Tingkat kecerdasan
menjadi faktor resiliensi, dimana kemampuan verbal dan ketrampilan
memecahkan masalah, juga mencakup kemampuan untuk belajar dari sesuatu
hal dan menyesuaikan diri terhadap pengalaman hidup sehari-hari (Kitano, &
Lewis, 2005; Hoge et al, 2007; Olsson at.al, 2002 ). Dari penjabaran di atas
dapat memberikan suatu gambaran bahwa seseorang yang mempunyai
kecerdasan berbudaya maka akan mampu berakulturasi dan beradaptasi dengan
lingkungan barunya sehingga seseorang dengan kecerdasan budaya yang baik
maka menjadi individu yang resilien dalam kehidupannya. Sementara faktor
dukungan sosial teman santri menjadi faktor eksternal bagi seseorang untuk
41
menjadi resilien, di samping faktor kecerdasan budaya yang berasal dari dalam
diri. Dukungan sosial, menjadi faktor yang berpengaruh karena keberadaan
orang lain yang mendukung, mencintai, membimbing, merawat, dan
berpengaruh positif terhadap perkembangan resiliensi seseorang (Schoon,
2006; Grotberg, 1995; Olsson at al, 2002; Bernard, 2004). Dukungan sosial
teman santri adalah sesuatu yang penting karena dengan adanya dukungan
tersebut akan menumbuhkan keyakinan pada diri seseorang bahwa mereka
mampu menghadapi permasalahan yang ada. Sehingga dalam penelitian ini
Kecerdasan berbudaya di pesantren dan dukungan sosial teman santri, menjadi
faktori pesantren untuk menjadi resilien.
B. Kecerdasan Berbudaya di Pesantren
1. Pengertian Kecerdasan berbudaya di Pesantren
Beberapa ahli mengartikan kecerdasan berbudaya dari Cultural
Intelligence (Ang dan Dyne, 2008; Peterson, 2004) atau Cultural Quotient ( Ang
dan Dyne, 2008; Osborn, 2006; Plum, 2007; Earley dan Mosakowski, 2009; Rose,
Kumar dan Subramaniam, 2008; Thomas dan Inkson, 2004).
Menurut Ang dan Dyne (2008) kecerdasan berbudaya adalah kemampuan
yang dimiliki individu agar dapat berfungsi secara efektif diberbagai situasi
dengan berbagai budaya. Kecerdasan berbudaya merupakan pelengkap lain dari
kecerdasan yang dapat menjelaskan variabilitasnya dalam melakukan koping
dalam keragaman dan fungsinya dilingkungan budaya baru (Ang dan Dyne, 2008)
.Early dan Ang, (2008) mengartikan kecerdasan berbudaya merupakan
42
kemampuan yang dimiliki individu supaya mampu berfungsi secara efektif di
berbagai situasi dengan beragam budaya. Kecerdasan berbudaya merupakan
kemampuan individu untuk bisa sukses beradaptasi dalam setting budaya baru
yang tidak biasa serta kemampuan berfungsi secara mudah dan efekif dalam
situasi-situasi keragaman budaya (Kumar, 2008). Sejalam dengan Kumar, Plum
(2007) juga mendefinisikan kecerdasan berbudaya sebagai kemampuan untuk
membuat orang lain paham serta mampu menciptakan kerjasama yang baik
dalam berbagai situasi dimana perbedaan budaya turut memainkan peran.
Kemampuan tersebut meliputi kemampuan untuk berperilaku dengan cara yang
tepat pada situasi yang multikultural yang bergabung dengan pemikiran terbuka
untuk menerima informasi baru serta keingintahuan akan perbedaannya. Hal
tersebut akan memudahkan satu sama lain untuk berkolaborasi (Plum, 2007).
Peterson (2004) mengartikan kecerdasan berbudaya adalah kemampuan
untuk menggunakan serangkaian tingkah laku yang menggunakan ketrampilan-
ketrampilan berbahasa atau ketrampilan interpersonal, dan kualitas-kualitas
seperti toleransi terhadap perbedaan (fleksibel) yang mengarah pada sikap-sikap
dan nilai-nilai dari orang-orang yang berbasis budaya dengan siapa dia
berinteraksi. Lebih lanjut lagi Peterson (2004) menjelaskan bahwa seseorang
dengan kecerdasan berbudaya yang tinggi akan mempunyai tekad yang besar agar
untuk mencapai tujuannya, dimana individu tersebut mempunyai insting bertahan
dan kebijaksanaan dalam berbuat. Sehingga seseorang dengan kecerdasan budaya
maka akan mampu bertahan dalam budaya yang berbeda. Kecerdasan berbudaya
mepunyai arti yang sangat komplek, pertama pengertian inteligensi sendiri yang
43
luas, seperti halnya menerjemah arti budaya sendiri yang luas. Kedua, banyak
kalangan yang tidak sepakat bahwa IQ (Intelligent Quotient) mengukur, dan
meski itu dapat ditingkatkan. Beberapa pertanyaan mengenai adanya bias budaya
dalam tes IQ (seperti penggunaan gambar yang digunakan atau kisah yang ada di
dalamnya). Ketiga, konsep inteligensi yang menggunakan skor dalam atau grade
akan menjadi sesuatu yang permanen dan hal terebut bisa menjadi sesuatu yang
menjadi label pada diri individu tersebut. Peterson menggunakan istilah Cultural
intelligent (CI) bukan Cultural Quotient (CQ), seperti halnya ahli yang lainnya.
Dari pernyataan-pernyataan di atas para ahli sepakat bahwa kecerdasan berbudaya
diperlukan dalam mengefektifkan diri beradaptasi dalam budaya yang baru, hal ini
menjadi barkaitan dengan keberhasilan siswa yang mengikuti pendidikan di
pesantren.
Menurut Natsir (2008), pesantren berasal dari kata santri yang mendapat
awalan pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pesantrian, yang kemudian
pelafalannya menjadi pesantren yang memiliki arti tempat tinggal santri. Istilah
santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, namun ada juga yang
berpendapat berasal dari bahasa India, yaitu shastri yang berarti orang yang tahu
buku–buku suci agama hindu.
Sementara secara umum, pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan
Islam yang mempunyai ciri–ciri diantaranya adalah adanya hubungan yang akrab
antara santri dan kyai, santri taat dan patuh pada kyai, santri hidup secara mandiri
dan sederhana, adanya semangat gotong royong dan kekeluargaan, serta diajarkan
kitab–kitab klasik sebagai bahan pelajaran utama. Sementara secara fisik
44
pesantren minimalnya mempunyai sarana dasar berupa masjid atau langgar
sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kyai dan keluarganya, pondok
sebagai tempat tinggal santri, dan ruangan–ruangan untuk belajar (Ensiklopedi
Islam jilid IV; 90-104 dalam Mohammad Natsir, 2008).
Pengertian lain menyebutkan bahwa pesantren merupakan suatu tempat
yang menyediakan rumah atau asrama dengan biaya rendah atau tanpa biaya bagi
santri yang menempatinya, dan merupakan tempat mempelajari ilmu-ilmu agama
atau tafaqquh fiddin (Mastuhu, 1996)
Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam terdapat hubungan antara kiai dan santri
dan secara fisik minimalnya mempunyai sarana dasar berupa masjid atau langgar
sebagai pusat kegiatan, rumah tempat tinggal kyai dan keluarganya, dan asrama
sebagai tempat tinggal para santrinya.
Menurut Zuhriy (2011) sebagai bagian dari komunitas pesantren dengan
unsur utamanya yaitu, kiai, santri, masjid, pondok dan kitab kuning, telah menjadi
sub-kultur tersendiri, yang menjadi budaya khas pesantren. Dijelaskan oleh
Mansyur (1998) bahwa budaya khas pesantren dapat diartikan dari kegiatan yang
menjadi kebiasaan di pesantren tersebut. Kegiatan siswa di pondok pesantren X
dapat dilihat dalam tabel 2.2.
45
Tabel 2. 1
Agenda harian siswa Madrasah X
WAKTU AKTIVITAS DI PESANTREN AKTIVITAS DI
RUMAH (sebelum di
pesantren)
KETERANGAN
03.30-Subuh Sholat tahajut, sholat hajat, sholat witir
(Dilakukan secara berjamaah, dan harus diikuti semua
siswa)
Sholat malam hanya
dilakukan oleh siswa
yang terbiasa
melakukan dan tidak
menjadi keharusan
Sholat malam di pesantren
menjadi agenda wajib,
sementara di rumah tidak semua
siswa mempunyai kebiasaan
tersebut
Subuh- 06.00 Pengajian Alquran (Kegiatan wajib diikuti untuk
mengulang hafalan alquran yang sudah di hafalkan di
sekolah)
Kegiatan setelah subuh
biasanya dilakukan
untuk mempersiapkan
diri ke sekolah
Kegiatan di pesantren lebih
padat dan lebih berat, karena ada
hafalan Al quran yang harus di
sampaikan pada ustadz
06.00-07.00 Persiapan ke sekolah dan makan pagi dilakukan dalam
waktu singkat, dengan cara mengantri, dan dilakukan
secara mandiri
Persiapan ke sekolah
dan makan pagi
dilakukan tanpa
mengantri dan dibatu
oleh orang tua dalam
menyiapkan pakaian
dan sarapan
Kegiatan persiapan sekolah di
pesantren memerlukan
kemandirian, kedisiplinan dan
kesabaran. kegiatan di rumah
merupakan kegiatan rutin biasa
yang dilakukan oleh semua anak
yang bersekolah
07.00-14.10 Sekolah-ishoma dhuhur, sekaloh Sekolah di pesantren
jam tatap muka perminggu 52, ditambah 8 jam untuk
tahfidz dan kitab
Sekolah pada umumnya
ada 46 jam tatap muka
perminggunya
Perlu persiapan materi dan psikis
yang lebih dalam mengikuti
pendidikan di pesantren
14.10-15.30 Pengajian dan sorogan kitab kuning (Senin, selasa,
rabu). Sorogan dilakukan dengan cara siswa maju satu
persatu membaca kitab kuning yang telah di salin
dengan tulisan tangannya sendiri pada ustadz. Perlu
ketekunan dalam menulis kitab kuning kemudian
menyiapkan diri untuk mengajukan bacaannya pada
ustadz
Belum mengikuti
pengajian kitab kuning
Membaca kitab kuning terutama
dengan system sorogan biasanya
dilakukan pada pendidikan di
pesantren saja, perlu persiapan
khusus bagi kelas VII yang baru
mengikutinya
Mujahadah (kamis) merupakan kegatan berdoa
bersama, di awali dengan membaca ayat suci alquran
(kelas VII membaca yasin, sementara yang hafal
alquran dengan melakukan simaan 30 juz pada malam
sebelumnya)
tidak semua siswa
pernah atau mengikuti
mujahadah
perlu latihan dan kemampuan
membaca dan melafadzkan
bacaanya, memerlukan
pembiasaan dan ketekunan bagi
kelas VII
Ekstrakurikuler merupakan agenda penyaluran dan
pengembangan kemampuan diri, namun siswa perlu
bisa membagi waktu yang tepat dengan tugas lain
seperti mencuci, menyetrika, mengerjakan PR
Pilihan kegiatan dan
waktu ekstrakurikuler
lebih fleksibel
untuk mengikuti ekstrakurikuler
siswa harus pintar membagi
waktu dengan tugas wajib
lainnya.
17.10-Isya’ Jamaah Sholat mghrib dilanjutkan pengajian deresan
Al-Quran, siswa mengulang dari awal kembali
kemampuan membaca dan menghafalkan alquran
dengan tujuan menguatkan hafalan
Banyak siswa yang
sudah melakukannya di
rumah, namun sebagian
belum melakukan.
perlu persiapan dan ketengan
pikiran untuk merangkai hafalan
yang sudah dikuasai.
Isya’-03.30 Jamaah isya’, makan malan, belajar istirat sudah menjadi rutinitas -
46
Melihat aktivitas siswa Madrasah X di atas, dapat disimpulkan bahwa
siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren mempunyai jadwal yang sangat
padat dengan penambahan materi dan metode pembelajaran agama yang berbeda
dengan aktivitas siswa di luar atau sebelum di pesantren.
Agenda di atas merupakan merupakan budaya khas di pesantren X, yang
bertujuan mengembangkan nilai-nilai pesantren. Hal ini sependapat dengan
Zuhriy (2011) budaya pesantren itu ditengarai dapat menumbuhkan karaketer
pada siswa, untuk lebih mandiri, disiplin, dan berakhlak mulia. Dalam
perkembangannya pondok pesantren X memiliki nilai-nilai pesantren yang
dikembangkan dalam menjalanankan kehidupan di pesantren, di mana nilai
tersebut telah ditanamkan oleh pendiri pondok pesantren dan masih
dikembangkan hingga sekarang. Nilai-nilai pesantren X adalah:
a. Kemandirian, adalah Sikap dan mental para santri untuk dapat mengatur
dirinya sendiri, sesuai dengan hak dan kewajibannya, sehingga dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapinya serta dapat mempertanggung
jawabkannya.
b. Keihlasan, adalah tulus hati dan memurnikan niat dalam segala hal.
c. Kealqur’anan adalah, sikap mengembangkan nilai-nilai Alqur’an dalam
segala aspek kehidupan
d. Menjadikan santri sebagai anak, adalah meletakkan kedudukan santri dan
kyai sebagai orang tua dan anak, meski santri tersebut telah lulus dan
mandiri.
47
e. Selalu menjaga silaturahmi, adalah menjaga hubungan baik dengan guru,
wali murid, dan meletakkan santri sebagai amanah bukan sekedar statistik.
Dari berbagai kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya pesantren
adalah kegiatan yang menjadi kebiasan siswa di pesantren dalam rangka mengkaji
ilmu-ilmu agama, sehingga dapat menumbuhkan karakter mulia pada diri siswa
yang tergambar dari penerapan nilai-nilai pesantren dalam kehidupan sehari-hari.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perubahan bentuk
sesuai dengan perkembangan zaman, terutama dampak perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Secara nyata menurut Ghazali (2003), beberapa tipe
pesantren yang berkembang di masyarakat diantaranya adalah :
a. Pesantren tradisional
Kurikulum tergantung seluruhnya kepada kyai pengasuh pesantren.
Santrinya adanya yang menetap didalam pondok (santri mukim) dan santri
yang tidak menetap dipondok (santri kalong).
b. Pesantren modern
Penerapan sistem belajar modern tampak pada penggunaan kela–kelas
belajar baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum yang
dipakai di madrasah atau sekolah merupakan kurikulum madrasah yang
berlaku secara nasional. Santri ada yang menetap namun juga ada yang
tersebar di sekitar desa. Kedudukan Kyai sebagai koordinator pelaksana
proses belajar mengajar dan sebagai pengajar langsung di kelas.
Perbedaannya dengan sekolah terletak pada porsi pendidikan agama dan
bahasa Arab yang lebih menonjol sebagai kurikulum lokal.
48
c. Pesantren komprehensif
Pondok pesantren dikatakan komprehensip karena sistem pendidikan dan
pengajaran gabungan dari sistem tradisional dan modern.
Dari berbagai tipe pesantren di atas, pesantren komprehensip akan menjadi
setting dalam penelitian ini, di mana para siswa tinggal di asrama dan tetap
mengikuti pendidikan formal. Pesantren ini mengadopsi sistem pendidikan
modern, di mana pendidikan formal yang dianut diakui oleh departemen
pendidikan maupun departemen agama, namun kehidupan pesantren yang
salafiyah (tradisional) yang menjadi nilai pesantren pada masa awal berdirinya,
masih dipertahankan.
Dari berbagai uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, kecerdasan
berbudaya di pesantren adalah serangkaian perilaku yang dimiliki individu untuk
bisa mengefektifkan dirinya dalam menerapkan nilai pesantren, sehingga mampu
bertahan di pesantren dalam situasi dengan budaya yang baru dan berbeda, di
mana individu yang mempunyai kecerdasan berbudaya di pesantren yang tinggi
akan berfungsi secara efektif mempunyai insting bertahan dalam setting budaya
baru dan berbeda di pesantren.
2. Aspek-Aspek Kecerdasan Berbudaya di Pesantren
Ang dan Dyne (2008) mengemukakan aspek-aspek Kecerdasan berbudaya
(Cultural Quotient/ CQ) sebagai berikut:
a. Metakognitive. Istilah metakognitif, menujukkan tingkat kesadaran
individu terhadap cultural awareness pada saat melakukan interaksi lintas
49
budaya. Berfokus pada proses kognitif yang lebih tinggi, yang
menggambarkan tentang norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, ketentuan-
ketentuan dalam budaya yang berbeda-beda yang dipelajari dari
pendidikan dan pengalaman personal. Individu dengan kemampuan
metakognitif sadar akan budaya yang dimilikinya dan menyesuaikan
pengetahuan tentang budaya yang dimilikinya saat berinteraksi dengan
orang lain yang berbeda budaya. Metakognitif memberikan arti sebuah
proses mental individu yang digunakan untuk menerima dan memahami
pengetahuan kebudayaan, mencakup pengetahuan dan batas proses
penguasaan pikiran individu terkait dengan budaya. Kemampuan yang
sebanding terkait metakognitif meliputi perencanaan, pengaturan, sera
merevisi model mental selama dan setelah menemukan pengalaman yang
sebanding. Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren dapat
memahami dan menyesuaikan konteks budaya yang ada di pesantren.
Siswa mempunyai kesadaran akan adanya budaya yang baru yang syarat
dengan nilai-nilai kepesantrenan yang harus diikuti. Siswa menyadari
budaya berinteraksi denga teman di pesantren berbeda dengan budaya di
rumah, menganggap bahwa teman-teman di pesantren adalah seperti
keluarga sendiri, mengetahui bagaimana cara untuk menyesuaikan saat
berdiskusi atau berbicara dengan teman di pesantren dan serta mampu
ihlas memaafkan apabila ada hal yang tidak sesuai dengan budaya yang
selama ini sudah diterapkan di rumah.
50
b. Kognitive. Istilah kognitif kecerdasan berbudaya, menunjukkan tingkatan
pengetahuan kebudayaan individu atau tingkatan pengetahuan
kebudayaan. Kognitif menggambarkan tentang pengetahuan norma-norma,
kebiasaan, ketentuan-ketentuan dalam budaya yang berbeda yang
dipelajari dari pendidikan dan pengalaman personal. Kognitif kecerdasan
berbudaya mengindikasikan pengetahuan dari keuniversalan budaya
sebagaimana pengetahuan tentang keragaman berbudaya. Menggambarkan
tentang pengetahuan siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren
mengenai norma, atau kebiasaan, dan ketentuan-ketentuan di pesantren. Di
mana siswa mengetahui apa saja budaya baru atau kebiasaan baru
memiliki kemampuan gambaran mengenai bagaimana budaya di
pesantren. Apa saja aturan, kebiasaan, kendala, sikap kepada teman atau
ustadz dan strategi yang harus dijalankan saat memilih untuk tetap tinggal
di pesantren. Mengetahui kosakata atau istilah yang sering digunakan di
pesantren.
c. Motivational. Mencerminkan kemampuan untuk mengarahkan perhatian
dan kekuatan ke arah pembelajaran serta keberfungsian sebagai situasi
yang ditandai dengan perbedaan budaya. Motivasional yang tinggi
mengarahkan perhatian dan energi kearah situasi lintas budaya atas dasar
minat dari dalam diri serta kepercayaan dalam keefektivan lintas budaya.
Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren mampu mengarahkan
dirinya memotivasi untuk bisa nyaman, bersosialisasi, menikmati hidup
pada budaya pesantren yang berbeda dengan budaya ketika di rumah,
51
meskipun tidak menutup kemungkinan adanya tekanan dalam
menyesuaikan diri. Siswa akan memiliki kepercayaan dan keyakinan pada
kemampuannya untuk menghadapi berbagai situasi dimasa depan.
d. Behavioral. Mencerminkan pengetahuan untuk menunjukkan perilaku
yang tepat dalam budaya yang multikultur. Aspek ini mencerminkan
perilaku yang tepat, baik secara verbal maupun non verbal saat
berinteraksi dengan orang lain dari budaya yang berbeda. Siswa dengan
behavioral cultural quotient yang tinggi cenderung fleksibel dan mampu
menyesuaikan perilakunya terhadap pokok-pokok interaksi antar budaya
di pesantren. Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren mampu
mengikuti kebiasaan yang ada di pesantren.
Dari pendapat ahli lain, Peterson (2004) juga menyimpulkan bahwa
kecerdasan berbudaya merupakan gabungan tiga aspek yaitu:
1. Pengetahuan mengenai budaya.
Menunjukkan pengetahuan individu mengenai berbagai kenyataan dan
perilaku berbudaya pada lingkungan tempat individu berada.
2. Kesadaran.
Menunjukkan tingkat kesadaran individu mengenai diri sendiri dan cara
berinteraksi dengan orang lain serta dapat mengarahkan perilaku dalam
budaya yang berbeda.
52
3. Kemampuan-kemampuan khusus (perilaku).
Merupakan penerapan dari pengetahuan yang dimiliki individu serta
kesadaran diri dalam mengarahkan perilaku, sehingga mucul suatu
kemampuan perilaku yang tepat dalam suatu lingkungan tertentu.
Ketiga hal tersebut merupakan aspek-aspek terpenting dalam kecerdasan
berbudaya. Peterson (2004), mengemukakan bahwa tiga aspek di atas seperti
halnya sebuah tripot, yang mana ketiga aspek tersebut mempunyai peranan
penting dalam tumbuhnya kecedasan berbudaya. Tiga proses di atas sangat
berkaitan dalam proses peningkatan kecerdasan berbudaya seseorang, ketika
kemampuan seseorang ( perilaku) meningkat maka, seseorang akan mempunyai
kesadaran lebih sehingga pengetahuannya akan bertambah. Pengetahuan yang
bertambah akan menjadikan seseorang memiliki kemampuan berperilaku, dan
seterusnya. Menurut peterson (2004) seperti proses mendaki, setahap demi
setahap.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian aspek kecerdasan berbudaya
di pesantren dalam penelitian ini menggunakan aspek dari Ang dan Dyne (2008).
Alasan menggunakan aspek dari Ang dan Dyne (2008) adalah karena dapat
digunakan pada semua latar belakang sosial, usia, tempat, baik pada laki-laki
maupun pada perempuan.
53
C. Dukungan Sosial Teman Santri
1. Pengertian Dukungan Sosial Teman Santri
Dukungan sosial merupakan suatu bentuk hubungan interpersonal yang
memberikan bantuan kepada individu berupa perhatian emosi, bantuan
instrumental, pemberian informasi dan penghargaan atau penilaian kepada
individu oleh lingkungan sosialnya. Hal ini disebabkan karena manusia
membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya.
Cohen (1985) menjelaskan dukungan sosial sebagai transaksi interpersonal yang
meliputi perhatian emosional, bantuan instrumental, bantuan informasi dan
penilaian (informasi yang berhubungan dengan self-evaluation).
Johnson dan Johnson, (1999) menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah
pemanfaatan sumber-sumber di lingkungan individu untuk membuat kehidupan
agar menjadi lebih baik dengan cara meningkatkan kemampuan pada diri
seseorang dengan memberikan bantuan berupa dorongan, peralatan dan
penerimaan. Pengertian di atas didukung oleh pendapat Saranson dkk, (1983)
mendefinisikan dukungan sosial sebagai suatu keadaan yang bermanfaat bagi
individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya individu, dengan
demikian individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai
dan mencintai dirinya.
Menurut Pearson (1999) tingkat dukungan sosial individu tidak sama
antara satu dengan yang lainnya. Keadaan ini disebabkan karena terdapat
perbedaan persepsi dalam menerima atau merasakannya, hal ini juga dipengaruhi
oleh karakteristik individu. Dukungan akan dirasakan artinya apabila diperoleh
54
dari orang-orang yang sangat berarti dalam kehidupan setiap individu dan orang-
orang yang dipercayainya.
Salah satu sumber dukungan sosial yang penting adalah dukungan
bersumber dari teman (Thoits,1986; Colhoun dan Acocella, 1995; Pearson, 1999)
Dukungan yang diberikan oleh teman sebaya memberikan peran secara psikis
terhadap anak (Newman dan Newman, 2007; Furrer dan skinner, 2003).
Teman sebaya adalah agen sosial yang sangat kuat. Istilah teman sebaya
(peers) mengacu pada anak-anak yang tingkat usia atau kematangannya kurang
lebih sama. Teman sebaya merupakan suatu sumber informasi dan perbandingan
tentang dunia di luar keluarga (Santrock, 2003). Teman sebaya di sekolah juga
mempunyai arti penting dalam memberikan dukungan sosial. Teman sebaya bagi
remaja mempunyai arti psikologis yang penting karena,selain sebagai wadah
diskusi teman sebaya juga dapat merupakan sumber dukungan sosial yang
penting bagi proses pembentukan identitas diri remaja. (Johnson dan Johnson,
1999). Hubungan yang berkualitas antara individu dengan teman-temannya
memiliki memiliki hubungan yang erat terhadap performansi akademiknya
(Wentzel, 1994). Berada bersama teman-teman merupakan lingkungan kedua
siswa setelah keluarga. Pada masa remaja awal hingga memasuki masa dewasa,
pergaulan siswa dengan teman-teman baik di lingkungan akademik maupun
masyarakat jauh lebih sering dan lebih intensif dibandingkan keluarga. Teman-
teman memberikan pengaruh yang besar terhadap sikap, pembicaraan, minat,
penampilan dan perilaku (Hurlock, 2002). Teman sebaya dapat memberikan
motivasi untuk meningkatkan perannya dalam program-program yang positif,
55
aktivitas, kesempatan-kesempatan kepemimpnan, sebagai protektif atau model
prososial dan dukungan emosional. Program-program dan intervensi dalam
pendidikan harus melibatkan dukungan antar teman sebaya (Hartup dalam
White,2007)
Remaja membutuhkan afeksi dari remaja lainnya, dan membutuhkan
kontak fisik yng penuh rasa hormat. Remaja juga membutuhkan perhatian dan
rasa nyaman ketika mereka menghadapi masalah, dibutuhkan orang yang mau
mendengarkan dengan penuh simpati, serius dan memberikan kesempatan untuk
berbagi kesulitan dan perasaan seperti perasaan marah, takut, cemas dan keraguan
(Suwarjo, 2008). Bantuan dari teman-teman meningkatkan persahabatan,
kehangatan berteman, saling membantu dan saling menerima merupakan
pengaruh yang sangat positif dan sangat dibutuhkan siswa dalam upaya
memperoleh keberhasilan akademik. Sebagaimana dikatakan oleh Conger (1977)
bahwa remaja memerlukan pergaulan, support dan guidance dari teman-
temannya.
Dukungan sosial teman sebaya sangat erat kaitannya dengan teman santri
di pesantren. Menurut Natsir (2008), pesantren dalam pelafalannya adalah tempat
tinggal santri. Istilah santri berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji,
namun ada juga yang berpendapat berasal dari bahasa india, yaitu shastri yang
berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Dari pengertian di atas
maka diketahui bahwa siswa yang tinggal di pesantren disebut dengan santri,
sehingga dukungan teman sebaya di pesantren disebut dengan dukungan teman
santri
56
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan
sosial teman santri adalah bentuk bantuan atau pertolongan yang diterima dan
dirasakan oleh siswa, berupa perhatian emosi, bantuan instrumental, pemberian
informasi dan penghargaan atau penilaian, yang diperoleh dari teman santrinya
untuk keberhasilan dalam menjalankan program di pesantren.
2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Teman Santri
Cohen (1992) menetapkan adanya tiga aspek dalam dukungan sosial, yaitu:
(1) dukungan emosional yang melibatkan adanya keakraban dan penerimaan yang
memberikan keyakinan, (2) dukungan instrumental yang berbentuk pemberian
layanan dan bantuan secara langsung, dan (3) dukungan informasional yang
meliputi pemberian nasehat, pemecahan masalah yang dihadapi oleh individu, dan
penilaian terhadap perilaku individu. House dalam Smet (1994) menjelaskan
bahwa dukungan sosial sebagai sebuah transaksi interpersonal yang akan muncul
dengan melibatkan satu atau lebih aspek-aspek berikut :
a. Dukungan Emosional; dukungan ini mengacu pada bantuan teman santri
yang berbentuk dorongan yang membesarkan hati, kehangatan dan kasih
sayang. Dukungan secara emosional dari teman santri dapat berupa kehangatan,
kepedulian dan empati yang diberikan oleh teman santri yang dapat meyakinkan
dia bahwa dirinya diperhatikan oleh orang lain dan tidak merasa sendiri di saat-
saat yang sulit membuat siswa dapat resilien dalam menghadapi masa-masa yang
dianggapnya sulit saat di pesantren. Dukungan dari teman santri di atas
menjadikan siswa merasa ringan dalam menghadapi masa sulit, saat harus jauh
dari keluarga
57
b. Dukungan penghargaan; dukungan penghargaan dari teman santri yang
terjadi lewat ungkapan penghargaan atau penilaian yang positif untuk
individu, dorongan untuk maju dan bersemangat. Siswa yang mendapatkan
pujian dan umpan balik dari teman santrinyanya akan lebih yakin dalam
menyelesaiakan permsalahaan yang sedang dihadapi atau saat mengambil
keputusan yang sulit di pesantren.
c. Dukungan Informatif; dalam hal ini teman sebaya memberikan informasi
kepada siswa atau mengajarkan ketrampilan yang dapat memberikan
solusi atas masalah yang dihadapi. Dalam kehidupan di lingkungan dan
kebudayaan yang baru, adanya teman santri yang membantu memahami pelajaran
sangatlah dirasakan siswa, apalagi pelajaran tersebut baru diperoleh di pesantren.
Dukungan informasi dari teman santri ini menjadikan siswa lebih mudah untuk
menyelesaikan tugasnya selama mengikuti pendidikan di pesantren.
d. Dukungan instrumental; dukungan ini mengacu pada adanya penyediaan
barang atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-
masalah secara praktis. Dukungan instrumental merupakan bantuan langsung
yang berupa dorongan materi seperti layanan, barang-barang dan finansial,
fasilitas atau sarana yang mungkin dapat membantu dalam memecahkan masalah.
Dukungan yang diperoleh dari teman santri oleh siswa yang mengikuti
pendidikan di pesantren tersebut sangat berarti bagi siswa yang mengikuti
pendidikan di pesantren sehingga permasalahan-permasalahan yang sifatnya
materi teratasi.
58
Menurut Cutrona (1994) aspek dukungan sosial adalah:
a. Instrumental support yaitu, dukungan yang bersifat langsung dalam hal ini
adanya keberadaan seseorang yang dapat diandalkan untuk bergantung dan
adanya bimbingan untuk mendapat saran dan nasihat dalam menghadapi
permasalahan.
b. Emmotional Support yaitu dukungan yang sifatnya tidak langung dalam hal
ini adanya pengakuan atau penghargaan sehingga individu merasa diterima,
kedekatan emosional, pengakuan dalam kelompok, dan perasaan bahwa
dirinya dibutuhkan.
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian aspek dukungan sosial teman
santri yang akan digunakan dalam penelitian ini merangkum aspek-aspek yang
dikemukakan oleh House dalam Smet (1994) yaitu: dukungan emosional,
dukungan penghargaan, dukungan informatif, dan dukungan instrumental. Alasan
menggunakan aspek dari House dalam Smet (1994) adalah karena aspek-aspeknya
telah mewakili pengertian dukungan sosial teman santri, telah banyak digunakan
dalam penelitian serupa dan dapat digunakan pada semua latar belakang sosial,
usia, tempat, baik pada laki-laki maupun pada perempuan.
D. Hubungan Antara Kecerdasan Berbudaya di Pesantren dengan
Resiliensi pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan Pesantren
Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai siswa di pesantren, maka
diperlukan serangkaian perilaku khusus yang dimiliki individu untuk dapat
mengefektifkan dirinya dalam budaya yang berbeda. Siswa dituntut memiliki
59
serangkaian perilaku yang bisa mengefektifkan dirinya agar mampu bertahan
dalam situasi dengan keragaman budaya yang berbeda, di mana individu yang
mempunyai kecerdasan berbudaya di pesantren yang tinggi akan berfungsi secara
efektif mempunyai insting bertahan dalam setting budaya baru dan berbeda. (Ang
dan Dyne,2008).
Adapun aspek kecerdasan berbudaya menurut Ang dan Dyne (2008)
adalah: Metakognitive, Kognitive, Motivational, Behavioral.
Metakognitif dalam kecerdasan berbudaya menunjukkan tingkat kesadaran
individu terhadap cultural awareness pada saat melakukan interaksi lintas budaya.
Individu dengan dengan kemampuan metakognitif sadar akan budaya yang
dimilikinya dan menyesuaikan pengetahuan tentang budaya yang dimilikinya saat
berinteraksi dengan orang lain yang berbeda budaya. Metakognitif memberikan
arti sebuah proses mental individu yang digunakan untuk menerima dan
memahami pengetahuan kebudayaan, mencakup pengetahuan dan batas proses
penguasaan pikiran individu terkait dengan budaya (Ang dan Dyne, 2008).
Menurut Dyne dkk (2012) kurangnya kesadaran berbudaya akan
menimbulkan sikap acuh tak acuh terhadap perkembangan budaya, hal ini.dapat
diasumsikan bahwa kesadaran seseorang akan kebudayaannya dapat menjadikan
seseorang lebih empati terhadap lingkungannya. Individu yang berempati mampu
mendengarkan dan memahami orang lain sehingga dapat mendatangkan reaksi
positif dengan lingkungannya, seseorang yang memiliki kemampuan berempati
cenderung memiliki hubungan sosial yang positif sehingga ditengarai akan
mampu resilien (Reivich dan Shatte, 2002). Hal di atas di dukung oleh penelitian
60
Ihsan (2015) yang mengatakan bahwa metakognisi adalah kemampuan untuk
membangun pemecahan masalah pada siswa. Dapat diasumsikan bahwa
menganalisi dan menyelesaikan permasalahan adalah salah aspek dari resiliensi
(Reivich dan Shatte,2002).
Connor dan Davidson (2003) mengatakan bahwa resiliensi merupakan
kualitas seseorang dalam hal kemampuan untuk menghadapi penderitaan.
Resiliensi digunakan untuk menyatakan kapabilitas individu untuk bertahan/
survive dan mampu beradaptasi dengan keadaan, dengan merespon secara sehat
dan produktif untuk memperbaiki diri, sehingga mampu menghadapi dan
mengatasi tekanan hidup sehari-hari. Singkat kata, dengan memiliki kemampuan
metakognisi yang baik, seorang siswa akan mampu memahami lingkungan
barunya, beradaptasi dengan keadaan, mampu menganalisis dan menyelesaikan
masalahnya sehingga dapat dikatakan bahwa siswa tersebut menjadi resilien,
karena ia mempunyai kecerdasan berbudaya.
Kemampuan motivasional dalam kecerdasan berbudaya mencerminkan
kemampuan untuk mengarahkan perhatian dan kekuatan kearah pembelajaran
serta keberfungsian sebagai situasi yang ditandai dengan perbedaan budaya.
Motivasi yang tinggi mengarahkan perhatian dan energy ke arah situasi lintas
budaya atas dasar minat dalam diri serta kepercayaan dalam keefektifan lintas
budaya ( Ang dan Dyne, 2008). Hal tersebut dapat tercermin dalam perilaku
siswa dalam menerima, ihlas, dan rela, dalam mengikuti kegiatan-kegiatan di
pesantren, menjadikan siswa lebih tangguh dalam menghadapi permasalahan-
permasalahan yang muncul, ketika kondisi di pesantren tidak senyaman di rumah,
61
sebagaimana yang diungkapkan oleh Shaumi (2012), yang melakukan penelitian
bahwa adanya pemahaman dan penerapan budaya dalam perilaku yang baik
seperti nrima, ihlas, rila terkait dengan kemampuan resiliensi seseorang dalam
menghadapi bencana.
Menurut Schoon (2006) seseorang yang resilien mampu menghindari
dampak negatif akibat tekanan hidup yang ditemuinya, dan mampu melakukan
perubahan melalui pengalaman, terutama dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian
ini mendukung dan mengembangkan temuan yang menunjukkan bahwa motivasi
perilaku penting dalam adaptasi budaya (Dagher, 2010). Individu yang resilien
adalah individu yang optimis. Mereka memiliki harapan di masa depan dan
percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah hidupnya. Dalam penelitian yang
dilakukan, jika dibandingkan dengan individu yang pesimis, individu yang
optimis lebih sehat secara fisik, dan lebih jarang mengalami depresi, lebih baik di
sekolah (Reivich and Shate, 2002). Menurut Revich dan Shatte (2002), resiliensi
adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi
kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup
sehari-hari.
Berdasarkan pendapat para ahli dan hasil penelitian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan berbudaya mempunyai
kemampuan untuk dapat menghadapi tekanan hidup sehari-hari sehingga dapat
dikatakan bahwa ia resilien. Sebagaimana pendapat para ahli bahwa tingkat
kecerdasan mempengaruhi resiliensi seseorangi (Kitano, & Lewis, 2005; Hoge et
al, 2007; Olsson at.al, 2002 ). Sehingga dapat diduga adanya hubungan yang
62
positif antara kecerdasan berbudaya di pesantren dengan resiliensi. Semakin tinggi
kecerdasan berbudaya di pesantren semakin tinggi resiliensi seseorang,
sebaliknya semakin rendah kecerdasan berbudaya di pesantren maka semakin
rendah resiliensi sesorang.
E. Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Santri dengan Resiliensi
pada Siswa yang Mengikuti Pendidikan di Pesantren
Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren harus bisa bertahan berada
dalam lingkungan pesantren, dengan segala peraturan, aktivitas, serta keterbatasan
yang ada. Namun, tidak jarang siswa yang merasa tidak betah dan memilih untuk
pindah sekolah. Agar dapat survive bertahan dalam berbagai permasalahan, maka
siswa perlu adanya sikap yang resilien. Salah satu faktor yang mempengaruhi
resiliensi adalah keberadaan orang lain untuk mendukung, mencintai,
membimbing, merawat, dan berpengaruh positif dalam hal ini adalah dukungan
sosial dan salah satunya adalah dukungan sosial teman sebaya (Bernard, 2007).
Adapun aspek dari dukungan sosial teman sebaya ada empat, yaitu
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informatif, dukungan
instrumental (Smet, 1994). Dalam menghadapi situasi yang menekan dan jauh
dari orang tua, dukungan teman sebaya menjadi faktor penting bagi siswa yang
mengikuti pendidikan di pesantren. Hubungan teman sebaya yang suasananya
hangat, menarik dan tidak memaksakan kehendak adalah wujud dari dukungan
emosional yang diberikan yang dapat membantu individu memperoleh
pemahaman tentang konsep diri, perasaan berharga dan optimis terhadap masa
depan. Kondisi demikian juga dapat membantu individu dalam mengungkapkan
63
emosinya dengan tepat. Individu dapat belajar mengendalikan emosinya dengan
bantuan teman sebaya dan mencoba menyelesaikan setiap masalah dengan cara
halus tanpa adanya kekerasan (Santrock, 2003). Seorang siswa baru yang
mengikuti pendidikan di pesantren membutuhkan dukungan sosial dari
lingkungannya untuk dapat beradaptasi dengan budaya yang baru dan diharapkan
mampu untuk menghadapi setiap permasalahan yang muncul sehingga mampu
bertahan unttuk mengikuti pendidikan di pesantren. Sebagaimana penelitian
Woferst, dkk (2014) menyatakan bahwa siswa baru yang tinggal di panti asuhan
membutuhkan dukungan dari teman sebayanya, adanya kepedulian, penghargaan,
dorongan dan nasehat dari teman sebaya sebagai individu yang memiliki
pengaruh yang kuat bagi remaja, akan membuat remaja tersebut lebih mudah
beradaptasi, terhadap berbagai masalah remaja walaupun berada dalam kondisi di
panti asuhan atau disebut sebagai remaja yang resilien, tingginya dukungan teman
sebaya berpengaruh pada tingginya resiliensi seseorang. Singkat kata, dukungan
emosional, dukungan penghargaan, dukungan informatif dan dukungan
instrumental yang diberikan oleh teman santri akan menjadi siswa memiliki
resiliensi tinggi, karena tingginya dukungan sosial yang diterimanya
Dalam kehidupan di sekolah, siswa dituntut untuk aktif dan kreatif, tak
jarang siswa mendapatkan kesulitan dalam menjalani proses belajar mengajar di
sekolah yang menyebabkan siswa tertekan, agar prestasi lebih optimal maka
diperlukan resiliensi pada diri siswa. Pengaruh teman sebaya dan self esteem
sangat diperlukan untuk membantu ketahanan siswa. Semakin tinggi peer group
support yang berupa dukungan emosional, instrumental dan informasi diberikan
maka semakin tinggi juga tingkat resiliensi siswa (Ekasari dan Andriyani,
64
2013).Kebiasaan dan metode berbeda, seperti kajian kitab klasik yang di peroleh
di pesantren, tentu akan menjadi kendala bagi siswa bagi siswa tertentu.
Dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam menghadapi stress akademik yang
muncul, sehingga siswa mempunyai solusi agar dapat resilien, dukungan sosial
yang tinggi terutama pada dukungan emosional, penghargaan, dan informasional
akan memberikan pengaruh pada tinnginya resiliensi terutama pada aspek regulasi
emosi, optimisme, efikasi diri ( Seswita, 2013)..
Beberapa penelitian tentang resiliensi menunjukkan bahwa dukungan sosial
mempunyai pengaruh terhadap resiliensi individu (Werner, 2007; Dumont dan
Provost, 1999; grotberg, 1999). Secara umum hasil penelitian menunjukkkan
bahwa dukungan sosial dapat meningkatkan resiliensi individu. Menurut Bernard
(2007) faktor dukungan keluarga, sekolah dan lingkungan dapat membantu dan
mengembangkan resiliensi seseorang. Lebih diperjelas lagi oleh Henderson
(2007) menjelaskan bahwa dukungan teman sebaya dapat mengembangkan
resiliensi, karena anak-anak menerima dukungan dari teman sebaya tiga atau
lebih banyak dibandingkan dari orang tua.
Dukungan sosial teman sebaya sangat erat kaitannya dengan teman santri di
pesantren. Menurut Natsir (2008), pesantren dalam pelafalannya adalah tempat
tinggal santri. Istilah santri berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji,
namun ada juga yang berpendapat berasal dari bahasa india, yaitu shastri yang
berarti orang yang tahu buku-buku suci agama hindu. Sehingga dukungan teman
sebaya di pesantren disebut dengan dukungan teman santri. Dari penjabaran di
65
atas dapat bahwa teman santri menjadi salah satu bentuk dukungan sosial yang
penting bagi resiliensi seseorang.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diduga adanya hubungan yang
positif antara dukungan sosial teman santri dengan resiliensi. Semakin tinggi
dukungan sosial teman santri semakin tinggi resiliensi seseorang, sebaliknya
semain rendah dukungan sosial teman santri maka semakin rendah resiliensi
sesorang.
F. Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Santri dan Kecerdasan
Berbudaya di Pesantren dengan Resiliensi
Menurut Reivich dan Shatte (2002), resiliensi adalah kapasitas untuk
merespon secara sehat dan produktif ketika menghadapi kesulitan atau trauma,
dimana hal itu penting untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi
adalah seperangkat pikiran yang memungkinkan untuk mencari pengalaman baru
dan memandang kehidupan sebagai sebuah kemajuan.
Resiliensi adalah kemampuan individu untuk merespon secara sehat dan
produktif dalam menghadapi kesulitan yang dihadapi agar dapat bertahan/ survive
serta mampu beradaptasi dalam menghadapi tekanan hidup sehari-hari untuk
menjadi individu yang lebih baik. Adapun aspek resiliensi menurut Reivich dan
Shatte (2002) adalah: regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme, empati,
analisis penyelesaian masalah, efikasi diri, peningkatan aspek positif.
Untuk menjadi resilien siswa membutuhkan beberapa faktor pendukung,
baik itu dari dalam diri individu maupun dari luar individu itu sendiri. Hal tersebut
senada dengan Olsson et al. (2002) yang menyatakan, bahwa untuk meningkatkan
66
resiliensi pada remaja dapat menggunakan suatu pendekatan yang berbasis
sumber daya yang dimiliki individu itu sendiri. Seperti kemampuan sosial
kecerdasan, ketrampilan komunikasi, sifat-sifat pribadi dukungan keluarga, status
sosial ekonomi, pengalaman sekolah dan dukungan komunitas. Adapun faktor-
faktor yang turut berpengaruh pada penguatan resiliensi antara lain: Tingkat
kecerdasan (Kitano, & Lewis, 2005; Hoge et al, 2007; Olsson at.al, 2002 ),
Identitas etnis (Miller, dan maclntosh, 1999), kepribadian (Kobasa 1981; Smith,
2006), dukungan sosial (Schoon, 2006; Grotberg, 1995; Olsson at al, 2002;
Bernard, 2004), strategi koping (Lazarus, 1991; Bissonette, 1998: Dumont, dan
Provost, 1998; Buckner, Mezzacappa, beardslee, 2003; WHO, 2004; Yi, Smith,
Vitalino, 2005; Ahem, Kiehl, Sole, Byers, 2006, Smith, & Carlson, 2007).
Begitu pula dengan siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren, di
mana para siswa diharuskan hidup mandiri dan jauh dari orang tua dalam budaya
yang berbeda, resiliensi sangat dibutuhkan. Resiliensi siswa dalam konteks di
pesantren berupa kemampuan siswa untuk bertahan/ survive dalam lingkungan
dan budaya pesantren yang berbeda dari sebelumnya, di mana aktivitas siswa di
pesantren, di mulai pukul 03.30 - 21.30 WIB. Siswa juga belajar menyesuaikan
diri dengan gaya belajar berbeda, berupa pengajian Qur’an dan kitab kuning.
Setting tempat tinggal yang berbeda di mana siswa tinggal di pesantren selama 24
jam bersama dengan kyai, guru dan teman santri.
Terkait dengan faktor yang berpengaruh terhadap resiliensi, tingkat
kecerdasan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuhnya resiliensi
(Kitano, & Lewis, 2005; Hoge et al, 2007; Olsson at.al, 2002). Salah satu bentuk
67
dari kecerdasan adalah kecerdasan adalah kecerdasan berbudaya (Ang dan Dyne,
2008; Peterson, 2007). Ang dan Dyne (2008) menjelaskan bahwa, kecerdasan
berbudaya adalah kemampuan yang dimiliki individu agar dapat berfungsi secara
efektif diberbagai situasi dengan berbagai budaya. Kecerdasan berbudaya
merupakan pelengkap lain dari kecerdasan yang dapat menjelaskan variabilitasnya
dalam melakukan koping dalam keragaman dan fungsinya dilingkungan budaya
baru (Ang dan Dyne, 2008). Early dan Ang, (2008) mengartikan kecerdasan
berbudaya merupakan kemampuan yang dimiliki individu supaya mampu
berfungsi secara efektif di berbagai situasi dengan beragam budaya.
Kecerdasan berbudaya yang tinggi akan mempengaruhi tingginya
resiliensi seseorang, sebagaimana penelitian Engle dan Dolehery (2016), yang
mengatakan bahwa kecerdasan berbudaya akan mempengaruhi kemampuan
seseorang dalam menyelesaikan masalah, sehingga lebih resilien. Singkat kata,
semakin tinggi kecerdasan berbudaya di pesantren yang dimiliki siswa maka
semakin tinggi resiliensinya.
Selain faktor kecerdasan berbudaya di pesantren dukungan teman santri
menjadi faktor penting pada saat seseorang berada di luar jangkauan orang tua,
karena interaksi seseorang anak akan lebih banyak dengan teman santri. Menurut
Santrock (2003) ketika masa remaja beranjak dari masa anak-anak ke masa
dewasa, mereka pengaruhi dan dipengaruhi oleh orang-orang dalam berbagai
konteks sosial, yang meliputi keluarga dan teman-teman sebaya, pacar dan
sekolah. Siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren membutuhkan dukungan
dari teman santri untuk menjadi resilien sebagaimana Henderson (2007) bahwa
dukungan teman sebaya dapat mengembangkan resiliensi, karena anak-anak
68
menerima dukungan dari teman sebaya tiga atau lebih banyak dibandingkan dari
orang tua. Sebagaimana penelitian Woferst, dkk (2014) yang menyatakan bahwa
dukungan teman sebaya mempengaruhi resiliensi pada siswa di panti asuhan.
Sehingga dapat di asumsikan bahwa semakin tinggi dukungan sosial teman santri
yang dirasakan oleh siswa maka semakin tinggi resiliensinya.
Dari penjelasan di atas, diketahui begitu pentingnya resiliensi bagi siswa
yang mengikuti pendidikan di pesantren, siswa yang mempunyai kecerdasan
budaya di pesantren yang tinggi akan lebih resilien dalam menghadapi
permasalahan dan adanya dukungan dari teman santri akan memberi pengaruh
dari lingkungan sekitar untuk dapat menyelesaikan permasalahn yang timbul.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kecerdasan berbudaya di pesantren dan
dukungan teman santri memiliki hubungan yang positif dengan resisilensi pada
siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren. Dalam hal ini semakin besar
dukungan sosial teman santri maka akan semakin tinggi resiliensi siswa yang
mengikuti pendidikan di pesantren, dan semakin tinggi kecerdasan berbudaya di
pesantren yang dimiliki, maka siswa tersebut maka semakin tinggi pula reslilien
siswa dalam mengikuti pendidikan di pesantren.
G. Landasan Teori
Sementara secara umum, pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan
Islam yang mempunyai ciri–ciri diantaranya adalah adanya hubungan yang akrab
antara santri dan kyai, santri taat dan patuh pada kyai, santri hidup secara mandiri
dan sederhana, adanya semangat gotong royong dan kekeluargaan, serta diajarkan
kitab–kitab klasik sebagai bahan pelajaran utama. (Natsir, 2008).
69
Pesantren, merupakan salah satu contoh dari pendidikan islam di
Indonesia. Dalam pondok pesantren tercipta suatu tuntutan sosial untuk
menyatukan berbagai kultur santri yang berasal dari berbagai daerah dengan suku,
bahasa, dan budaya yang berbeda.
Seorang siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren, akan berinteraksi
dengan siswa lain yang memiliki perbedaan budaya. Dengan adanya perbedaan,
dapat menjadikan seseorang mengalami konflik tersendiri dalam berinteraksi
karena mengalami situasi penuh tekanan atau situasi penuh resiko tinggi, yaitu
diharuskan untuk hidup mandiri, beradaptasi dengan lingkungan baru,
menghadapi proses berkembang menjadi remaja yang penuh fluktuasi emosi, dan
hidup di pesantren. Hal itu memungkinkan timbulnya skema negatif seperti
perasaan tidak berdaya (WHO, 2004), merasa terisolasi, tidak nyaman, banyak
pikiran negatif, cenderung lebih pesimis dan mudah menyerah (Lam dan Chang,
2007). (Buckner et al, 2003; Listyaningsih, 2004). Rembulan, (2009). Untuk itu
diperlukan adanya sikap yang resilien dalam menempuh pendidikan di pesantren,
dalam hal ini faktor dari dalam diri santri dan dari luar, sangat memberi andil
dalam tercapainya tujuan belajar santri. Menurut Revich dan Shatte (2002),
resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika
menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola
tekanan hidup sehari-hari. Seseorang dikatakan resilien apabila memiliki 7
kemampuan, yaitu; Adapun aspek resiliensi menurut Reivich dan Shatte (2002)
adalah: regulasi emosi (kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan),
pengendalian impuls (kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan,
70
kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang), optimisme
(mereka memiliki harapan di masa depan dan percaya bahwa mereka dapat
mengontrol arah hidupnya), empati (empati merepresentasikan bahwa individu
mampu membaca tanda-tanda psikologis dan emosi dari orang lain), analisis
penyelesaian masalah ( mampu menganalisis penyelesaian masalah ke dalam
faktor-faktor yang dapat nereka kendalikan), efikasi diri (keyakinan pada
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan
efektif), peningkatan aspek positif (individu yang meningkatkan aspek positif
dalam hidup, mampu membedakan resiko yang realistis dan tidak realistis, dan
memiliki makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari
kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan lebih mudah
dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan
kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap penguatan resiliensi
dalam penelitian ini adalah kecerdasan berbudaya di pesantren dan dukungan
sosial teman santri.
kecerdasan berbudaya di pesantren diperlukan karena siswa akan lebih
merasa nyaman, dapat menghargai adanya perbedaan. Menurut Ang dan Dyne
(2008) kecerdasan berbudaya adalah kemampuan yang dimiliki individu agar
dapat berfungsi secara efektif diberbagai situasi dengan berbagai budaya.
Kecerdasan berbudaya merupakan pelengkap lain dari kecerdasan yang dapat
menjelaskan variabilitasnya dalam melakukan koping dalam keragaman dan
fungsinya dilingkungan budaya baru Ang dan Dyne, (2008). Ang dan Dyne,
71
(2008) mengartikan kecerdasan berbudaya merupakan kemampuan yang dimiliki
individu supaya mampu berfungsi secara efektif di berbagai situasi dengan
beragam budaya. Kecerdasan berbudaya merupakan kemampuan individu untuk
bisa sukses beradaptasi dalam setting budaya baru yang tidak biasa serta
kemampuan berfungsi secara mudah dan efekif dalam situasi-situasi keragaman
budaya (Kumar, dkk, 2008). Sejalan dengan Kumar, Plum (2007) juga
mendefinisikan kecerdasan berbudaya sebagai kemampuan untuk membuat orang
lain paham serta mampu menciptakan kerjasama yang baik dalam berbagai
situasi dimana perbedaan budaya turut memainkan peran.
Selain faktor kecerdasan berbudaya di pesantren, resiliensi juga
dipengaruhi oleh faktor dukungan sosial teman sebaya juga penting untuk
diperhatikan. Smet (1994) menjelaskan bahwa dukungan sosial sebagai sebuah
transaksi interpersonal yang akan muncul dengan melibatkan satu atau lebih
aspek-aspek, dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan instrumental,
dukungan penilaian. Dukungan sosial teman sebaya sangat erat kaitannya dengan teman
santri di pesantren. Menurut Natsir (2008), pesantren dalam pelafalannya adalah tempat
tinggal santri. Istilah santri berasal dari bahasa tamil yang berarti guru mengaji, namun
ada juga yang berpendapat berasal dari bahasa india, yaitu shastri yang berarti orang yang
tahu buku-buku suci agama hindu. Sehingga dukungan teman sebaya di pesantren disebut
dengan dukungan teman santri
Adanya dukungan sosial teman santri yang diberikan dan faktor
kecerdasan berbudaya, dapat menjadi modal siswa dalam mengikuti pendidikan di
pesantren. Siswa yang mempunyai sikap resilien akan dapat menghadapai
permasalahan-permasalahan yang muncul dan mempunyai cara bagaimana
72
memecahkan permasalahan yang dimilikinya, dan dapat bertahan sampai
menyelesaikan tugas belajarnya, sedangkan siswa yang yang tidak resilien maka
akan memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah.
Berdasarkan yang telah dikemukakan di atas, ada keterkaitan antara
dukungan sosial teman santri dan kecerdasan berbudaya agar seorang siswa dapat
resilien dalam mengikuti pendidikan di pesantren. Olsson et al.(2002)
mengemukakan, untuk meningkatkan resiliensi pada anak muda dapat
menggunakan suatu pendekatan yang berbasis sumber daya yang dimiliki indvidu
itu sendiri. Sumberdaya individu, kemampuan sosial ,kecerdasan, ketrampilan,
komunikasi,sifat-sifat pribadi sumberdaya keluarga yang mendukung, status sosial
ekonomi, pengalaman sekolah, dan dukungan komunitas.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
dukungan sosial teman santri diperoleh dan semakin tinggi kecerdasan berbudaya
di pesantren yang dimiliki maka akan semakin tinggi pula resiliensi seseorang.
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.3
73
Dukungan teman santri:
Dukungan emosional,
Dukungan informasi, H-2
Dukungan instrumental,
Dukungan penilaian.
H-3
Kecerdasan berbudaya
di pesantren:
Metakognitif,
kognitif,
Motivasional,
Behavioral, H-1
Tabel 2. 2 Kerangka berpikir
Keterangan gambar:
H-1 Menunjukkan hubungan kecerdasan berbudaya di pesantren (X1) dengan
resiliensi (Y)
H-2 Menunjukkan hubungan dukungan teman santri (X2) dengan resiliensi (Y)
H-3 Menunjukkan hubungan antara kecerdasan berbudaya di pesantren (X1) dan
dukungan sosial teman santri (X2) dengan resiliensi (Y).
Resiliensi Pada siswa
yang mengikuti
pendidikan di pesantren:
Regulasi emosi,
Pengendalian impuls,
Optimisme,
Empati,
Analisis penyelesaian
masalah,
Efikasi diri,
Peningkatan aspek positif,
74
H. Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori yang di atas, hipotesis
pada penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan positif antara kecerdasan berbudaya di pesantren dengan
resiliensi pada siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren. Semakin
tinggi kecerdasan berbudaya di pesantren siswa maka semakin tinggi
resiliensinya, sebaliknya semakin rendah kecerdasan berbudaya di pesantren
siswa, maka semakin rendah resiliensi siswa yang mengikuti pendidikan di
pesantren.
2. Ada hubungan positif antara dukungan sosial teman santri dengan resiliensi
pada siswa yang mengikuti pendidikan di pesantren. Semakin tinggi
dukungan sosial sebaya siswa, maka semakin tinggi resiliensinya,
sebaliknya semakin rendah dukungan sosial teman sebaya siswa, maka
semakin rendah resiliensi siswa yang mengiku tipendidikan di pesantren.
3. Ada hubungan antara kecerdasan berbudaya di pesantren dan dukungan
sosial teman santri dengan resiliensi pada siswa yang mengikuti pendidikan
di Pesantren.