Upload
tranthien
View
218
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pola Pangan Harapan (PPH)
Pola Pangan Harapan atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam
pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik
secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi
pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH adalah komposisi kelompok
pangan utama bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi
lainnya.
PPH pertama kali dikenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988 yang kemudian
dikembangkan oleh Indonesia melalui workshop yang diselenggarakan Departemen
Pertaniaan yang bekerja sama dengan FAO.
Tujuan utama penyusunan PPH adalah untuk membuat suatu rasionalisasi pola
konsumsi pangan yang dianjurkan, terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk
memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai citarasa.
Dalam aplikasinya PPH dikenal dengan pola konsumsi pangan yang beragam,
bergizi seimbang dan aman atau dikenal dengan istilah menu B2SA. Dengan
terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai dengan PPH
maka secara implisit kebutuhan zat gizi lainnya juga terpenuhi. Oleh karena itu skor
PPH mencerminkan mutu gizi konsumsi pangan dan tingkat keragaman konsumsi
pangan.
Sesuai dengan kegunaannya, makanan dikelompokkan dalam tiga kelompok (Tri
Guna Makanan) yaitu makanan sebagai sumber zat tenaga, zat pembangunan dan zat
pengatur. Oleh karena itu pangan yang dikonsumsi sehari-hari harus dapat
9
memenuhi fungsi makanan tersebut. Semua zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dapat
diperoleh dengan mengkonsumsi pangan yang beraneka ragam dalam jumlah yang cukup
dan seimbang. Hal ini disebabkan karena tidak ada satu jenis bahan makanan yang dapat
menyediakan zat gizi secara lengkap. Dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai
kelompok pangan sesuai PPH maka secara implisit kebutuhan zat gizi lainnya juga
terpenuhi.
Untuk tingkat Nasional telah disepakati susunan Pola Pangan Harapan (PPH)
berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004
sebagai acuan dalam pembagunan pangan dan gizi. Angka Kecukupan Energi (AKE)
di tingkat konsumsi sebesar 2.000 Kkal/kap/hari dan 2.200 Kkal/kap/hari di tingkat
ketersediaan.Sedangkan Angka Kecukupan Protein (AKP) di tingkat konsumsi
adalah sebesar 52 gram/kap/hari, dan 57 gram/kap/hari di tingkat ketersediaan.
Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun
2004. Susunan Pola Pangan Harapan adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Susunan Pola Pangan Harapan Nasional
Sumber : Harmonisasi PPH Nasional PPKP – BKP dan GMSK – IPB, 2002
No Kelompok Pangan Pola Pangan Harapan Nasional
Gram Energi (kkal) % AKG Bobot Skor PPH
(1) (2) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Padi- padian 275 1000 50.0 0.5 25.0
2 Umbi-umbian 100 120 6.0 0.5 2.5
3 Pangan Hewani 150 240 12.0 2.0 24.0
4 Minyak dan Lemak 20 200 10.0 0.5 5.0
5 Buah/Biji Berminyak 10 60 3.0 0.5 1.0
6 Kacang-kacangan 35 100 5.0 2.0 10.0
7 Gula 30 100 5.0 0.5 2.5
8 Sayur dan Buah 250 120 6.0 5.0 30.0
9 Lain-lain - 60 3.0 0.0 0.0
Jumlah 2000 100 - 100
10
Keterangan:
1. (Kolom 6) % AKG = (kolom 5)
2000 kkal x 100%
2. (Kolom 8) Skor pangan = (kolom 6) x (kolom 7). Hasil perkalian dari masing-
masing kelompok pangan dijumlahkan sehingga diperoleh total skor 100.
3. (Kolom 7) Penetapan rating atau bobot.
Dalam penghitungan skor PPH adapun beberapa langkah yang harus dilakukan
yaitu sebagai berikut :
1. Konversi bentuk, jenis, dan satuan
Pangan yang dikonsumsi rumah tangga terdapat dalam berbagai bentuk, jenis
dengan satuan yang berbeda. Oleh karena itu perlu dilakukan konversi ke dalam
satuan dan jenis komoditas yang sama (yang disepakati). Contoh : jika rumah
tangga mengonsumsi pangan dengan satuan URT (ukuran rumah tangga),
misalnya 5 butir telur ayam dan 3 potong tempe, maka berat telur dan tempe
dalam satuan gram diperoleh setelah dilakukan konversi satuan. Satu (1) butir
telur ayam = 60 gr dan satu (1) potong tempe = 25 gr.
2. Pengelompokan pangan menjadi 9 kelompok (pada tabel 2.2)
Makanan yang dikonsumsi rumah tangga terdapat dalam berbagai jenis yang
telah dikonversi dengan satuan sama yaitu gram/hari (langkah 1). Berbagai jenis
pangan tersebut misalnya dalam satu hari jenis pangan yang dikonsumsi rumah
tangga adalah beras 700 gram, beras ketan putih 200 gram, beras ketan hitam
100 gram. Untuk memudahkan maka semua jenis pangan tersebut digabungkan
ke dalam satu jenis pangan yang disepakati yang disebut sebagai pangan acuan
yaitu beras.
11
3. Menghitung konsumsi energi menurut kelompok pangan
Pada tahap ini perlu dilakukan : perhitungan kandungan energi setiap jenis
pangan yang dikonsumsi dengan bantuan Daftar Komposisi Bahan Makanan
(DKBM). Kolom energi dalam DKBM menunjukkan kandungan energi (kkal)
per 100 gram bagian yang dapat dimakan (BDD).
4. Menghitung total konsumsi energi dengan cara menjumlahkannya dari
kelompok pangan 1 sampai dengan 9.
5. Menghitung kontribusi energi tiap kelompok pangan ke 1 s.d ke 9
Kolom ini merupakan langkah untuk menilai pola/komposisi konsumsi
pangan dengan cara menghitung kontribusi energi menurut AKG (AKE
konsumsi untuk rata-rata nasional tahun 2004 adalah 2000 kkal/kap/hari) dari
setiap kelompok pangan. dalam bentuk persen (%). Contoh : kontribusi energi
dari kelompok padi-padian terhadap AKG adalah 1150/2000 x 100 % = 57.5%.
6. Menghitung skor PPH.
a. Tahap I : isi kolom 8 = (kolom 6) x (kolom 7). Contoh skor konsumsi
kelompok padi-padian adalah 57.5 x 0.5 = 28.8
b. Tahap II : isi kolom 10 sesuai hasil pada kolom 8 dengan memperhatikan
batas skor maksimum (kolom 9). Jika skor AKE lebih tinggi dari skor
maksimum maka yang diambil adalah skor maksimum. Jika skor AKE lebih
rendah dari skor maksimum maka yang diambil adalah skor AKE.
7. Menghitung total skor mutu konsumsi pangan
Total skor mutu konsumsi pangan adalah jumlah dari skor kelompok padi-
padian sampai dengan skor kelompok lain-lain. Angka ini disebut skor
konsumsi pangan aktual, yang menunjukkan tingkat keragaman konsumsi
pangan. Ringkasan cara penghitungan PPH dapat dilihat pada Tabel 2.2.
12
Tabel 2.2 Contoh Penghitungan Pola Pangan Harapan
Keterangan :
a. Energi Aktual : Konsumsi aktual (kkal/kap/hari)
b. % Aktual : % Terhadap Total (Energi Aktual)
c. % AKE : % Terhadap AKE (2000 kkal/kap/hari)
d. Skor aktual : % Aktual x bobot
e. Skor AKE : % AKE x bobot
f. Sama dengan skor AKE atau gunakan skor Maksimal jika Skor AKE > Skor Maksimal
No Kelompok Pangan Energi
Aktual
% Aktual % AKE Bobot Skor Aktual Skor AKE Skor Maksimal Skor PPH
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1 Padi- padian 1150 52.6 57.5 0.5 26.3 28.8 25.0 25.0
2 Umbi-umbian 75 3.4 3.8 0.5 1.7 1.9 2.5 1.9
3 Pangan Hewani 100 4.6 5.0 2.0 9.2 10.0 24.0 10.0
4 Minyak dan Lemah 600 27.5 30.0 0.5 13.7 15.0 5.0 5.0
5 Buah/Biji Berminyak 50 2.3 2.5 0.5 1.1 1.3 1.0 1.0
6 Kacang-kacangan 65 3 3.3 2.0 6.0 6.5 10.0 6.5
7 Gula 50 2.3 2.5 0.5 1.1 1.3 2.5 1.3
8 Sayur dan Buah 85 3.9 4.3 5.0 19.4 21.3 30.0 21.3
9 Lain-lain 10 0.5 0.5 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Jumlah 2185 100 109.3 73.2 132.7 100.0 71.9
13
Faktor yang Berhubungan dengan Skor PPH
Situasi pangan dan gizi di masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berkaitan satu sama lain dan sangat kompleks. Faktornya yaitu :
2.2.1 Jumlah Anggota Keluarga
Keluarga merupakan bagian terkecil dari suatu masyarakat. Dimulai dari
keluargalah kebiasan makan seseorang akan muncul.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilaksanakan di Kecamatan
Letti Kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku mengenai pengaruh
karakteristik sosial ekonomi keluarga terhadap keanekaragaman konsumsi pangan
yaitu adanya hubungan yang erat mengenai besar keluarga terdahap gizi keluarga.
Bagi mereka yang berpendapatan rendah akan lebih mudah memenuhi kebutuhan
makanannya jika anggota rumah tangga yang harus diberi makan jumlahnya sedikit
(Jomima&Rajab, 2014). Berdasarkan pemantauan konsumsi gizi tingkat rumah
tangga tahun 1995-1998 menyatakan bahwa anggota rumah tangga yang semakin
banyak akan semakin mengalami kecendrungan turunnya rata-rata asupan energi dan
protein per kapita per hari yang ditunjukkan dengan preverensi tertinggi pada rumah
tangga yang beranggotakan diatas 6 orang (Notoatmojo, 2003).
Namun pada penelitian yang lain mengenai analisis konsumsi pangan dan faktor
sosial ekonomi yang berhubungan dengan skor PPH pada model kawasan rumah
pangan lestari di Desa Dayamurni Kecamatan Tumijajur Kabupaten Tulang Bawang
Barat menyatakan tidak adanya hubungan yang seginifikan terhadap besar/jumlah
keluarga dengan kenaikan skor PPH. Penelitian lain yang menyatakan adanya
hubungan yang erat antara jumlah/besar keluaraga, pendapatan dan pendidikan
terhadap pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kabupaten Gianyar menurut
Erwin&Karmini (2015).
14
Dengan kondisi keluarga miskin dengan banyak anak, menyebabkan anak-anak
dapat menderita karena penghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak keluarga
terutama di Indonesia anak bungsu yang sering mengalami kekurangan asupa gizi
(Notoatmojo, 2007). Seharusnya anak bungsu lebih banyak mendapatkan nutrisi
demi tumbuh kembang yang optimal. Dibandingkan dengan anak yang lebih tua
walau memang harus tetap mendapatkan nutrisi yang sesuai untuk tubuhnya.
Kondisi yang paling rawan dalam masalah gizi adalah anak-anak, wanita hamil dan
menyusui. Perhatian yang lebih besar seharusnya diberikan guna mengurangi dalih
untuk mempunyai keluarga besar dengan jalan membantu yang miskin memperbaiki
keadaan sosial dan ekonominya (Achmad Djaeni S, 2000).
Indonesia sampai saat ini memiliki program yang berguna untuk membatasi
jumlah anggota keluarga, yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan peran
serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran,
pembinaan katahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk
mewujudkan keluarga kecil, bahagia, sejahtera. Program tersebut adalah KB yait
Keluarga Berencana dimana dalam program KB tersebut disarankan untuk memiliki
2 anak lebih baik, jarak antar kelahiran yang tidak berdekatan sekitar tiga tahun.
Agar kebutuhan akan konsumsi pangan yang baik dan bergizi dapat terpenuhi oleh
anak.
2.2.2 Pengetahuan Ibu Tentang Gizi
Pengetahuan gizi adalah sesuatu yang berhubungan dengan makanan dan
kesehatan yang optimal. Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan terhadap pemilihan
dan konsumsi sehari-hari yang dibutuhkan oleh tubuh. Status gizi baik atau status
gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang dibutuhkan tubuh.
Status gizi kurang apabila mengalami kekurangan satu atau lebih gizi esensial.
15
Sedangakan status gizi lebih apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang
berlebihan, sehingga menimbulkan efek yang membahayakan tubuh (Almatsier,
2004).
Bila seorang ibu memiliki pengetahuan gizi yang baik maka dapat memberikan
pilihan makanan yang optimal kepada keluarga. Dan dapat mencapai skor PPH yang
idel serta zat gizi yang tinggi. Bila pengetahuan gizi yang dimiliki ibu rendah maka
pemilihan makan hanya pada batas ketertarikan panca indra tanpa memikirkan status
gizi yang ada pada makanan (Achmad Djaeni S, 2000). Namun pada penelitian
sebelumnya mengenai pengaruh karakteristik sosial ekonomi keluarga terhadap
keanekaragaman konsumsi pangan di Kecamatan Letti Kabupaten Maluku Barat
Daya Provinsi Maluku menyatakan tidak adanya hubungan pengetahuan gizi
terhadap jenis pangan yang dikonsumsi (Jomima&Rajab, 2014). Hal ini disebabkan
oleh rendahnya tingkat pendapatan keluarga, kondisi iklim ekstrim sehingga sering
menyebabkan gagal panen dan keterbatasan untuk memperoleh bahan pangan.
Tetapi menurut Meitycorfrida Mailoal (2013) terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan formal dengan pengetahuan gizi. hal didukung oleh hasil penelitia yaitu
responden yang mencapai tingkat pendidikan SMA dan perguruan tinggi sebesar
47%. Dari hasil itu menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin
meningkat pengetahuan akan pangan dan gizi. Didukung juga oleh penelitian yang
dilakukan oleh Ryafal dkk (2014) penelitian yang dilakukan di Kota Pontianak
semakin tinggi pendidikan maka semakin baik konsumsi pangan suatu keluarga.
2.2.3 Tingkat pendapatan keluarga
Pendapatan merupakan penghasilan riil dari seluruh anggota keluarga yang
disumbangkan untuk kebutuhan perorangan atau keluarga.
16
Kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu
kebutuhan pangan dan bukan pangan. Dengan kata lain pada tingkat pendapatan
keluarga tertentu, rumah tangga akan menghabiskan pendapatan yang diperoleh
untuk memenuhi kebutuhan. Namun secara alamih kebutuhan pangan akan
mencapai titik jenuh sementara untuk kebutuhan non pangan dan kualitas pangan
tidak.
Berdasarkan Hukum Engel (Nicholson 1991 exp 2001 dalam Erwin&Karmini,
2015) menyatakan bahwa rumah tangga yang mempunyai upah atau pendapatan
rendah akan mengeluarkan sebagian besar pendapatannya untuk membeli kebutuhan
pokok. Sedangkan rumah tangga yang berpendapatan tinggi akan membelanjakan
sebagian kecil dari total pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan pokok keluarga.
Tingkat pendapatan keluarga dapat digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi
dan tabungan. Besar kecilnya pendapatan yang diterima seseorang akan
mempengaruhi pola konsumsi. Semakin besar tingkat pendapatan yang diperoleh
maka akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang tinggi, apabila tingkat tingkat
pendapatan rendah maka diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah pula (Hattas,
2011).
Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan
keluarga. Semakin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan makanan dapat
terpenuhi. Dengan demikian tingkat pendapatan keluarga memiliki faktor utama
dalam pemilihan bahan makanan yang berkualitas dan kuantitas. Besar kecilnya
pendapatan rumah tangga juga tidak lepas dari pekerjaan dari orangtua serta tingkat
pendidikan (Soekirman, 1991).
Menurut Ryafal dkk (2014) mengatakan bahwa adanya perbedaan di
Kecamatan Pontianak dimana semakin besar pendapatan maka semakin kecil skor
17
PPH, hal ini dikarenakan Kecamatan Pontianak merupakan daerah pertanian
sehingga tidak terdapat hubungan antara akses pangan pendapatan, tidak menjadikan
faktor utama karena masyarakat dapat mengakses pangan melalui produksi sendiri.
Menurut Erwin&Karmini (2015) menyatakan hal yang berbeda pada penelitian yang
mereka laksanakan, mengatakan bahwa adanya hubungan pendapatan, jumlah
anggota keluarga dan pendidikan terhadap pola konsumsi. Menurut Jomina & Rajab
(2014) pendapatan keluarga sebagian besar berasal dari sektor pertanian dan
pertenarkanan. Dengan perolehan hasil pendapatan rata-rata keluarga sebesar Rp.
808.177,17. Dari meningkatnya pendapatan maka kecukupan akan makanan
terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam
menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan.
2.2.4 Pengeluaran Pangan Rumah Tangga
Pengeluaran keluarga merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat
kesejahteraan keluarga dalam kemapuannya memenuhi kebutuhan pangan dan non
pangan (Salimar dkk 2009 dalam ). Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran
pangan 60% dikategorikan rawan pangan sedangkan rumah tangga dengan proporsi
pengeluaran pangan <60% dikategorikan tahan pangan. Kemampuan keluarga dalam
membeli bahan makanan dilihat dari besar kecilnya pendapatan keluarga, harga
makanan dan tingkat pengolahan bahan makan tersebut (Apriadji, 1986).
Menurut hukum Working proporsi pengeluaran rumah tangga untuk bermacan
jenis pengeluaran tidak bervariasi sesuai dengan tingkat pendapatan, ukuran
keluarga dan tabungan (Pakpahan, 2012). Dikatakan juga bahwa semakin kaya suatu
rumah tangga maka semakin kecil proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan.
Pengeluaran pangan merupakan titik masuk (entry point) yang bertujuan untuk
melihat akses pemanfataan pangan dalam rumah tangga. Dengan proses
18
transformasi, informasi mengenai pengeluaran pangan akan diubah menjadi
informasi konsumsi energi. Maka dari itu kecukupan energi akan berkolerasi dnegan
tingkat pengeluaran pangan.
Berdasarkan data Susenas pengeluaran penduduk Indonesia untuk makanan dan
non makanan selama tahun 2002-2013 menunjukan pergesaran dimana pada
awalnya pengeluaran untuk makanan lebih tinggi dari pada non makan, namun pada
tahun 2007 menunjukan peresentase pengeluaran non makanan seimbang dengan
pengeluaran makanan. Untuk persentase makanan pada tahun 202 sebesar 58,47%
dan non makanan sebesar 41,53%.
Pada tahun 2013 persentase untuk makanan menjadi 50,66% dan non makanan
49,34%. Dan untuk rata-rata pengeluaran per kapita per bulan tahun 2013 untuk
makanan sebesar Rp. 356.435,- dan non makanan sebesar Rp. 347.126,-. Secara rinci
persentase penduduk Indonesia tahun 2013 untuk makanan adalah yang paling tinggi
pengeluaran makanan dan minuman yaitu sebesar 25,88%, padi-padian 16,26%
tembakau dan sirih 12,32%, sayur-sayuran 8,74%, ikan 7,96%, telur dan susu 6,04%
dan untuk kelompok makanan yang lainnya kurang dari 5%.
Prsentase pengeluaran di Bali, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
Provinsi Bali. Total rata-rata per kapita per bulan pengeluaran tahun 2014 sebesar
Rp. 1.097.749 Untuk makanan sebesar Rp. 458.723 dan non makanan sebesar Rp.
639.026 (Badan Pusat Statistik, 2014).
Secara rinci pengeluaran makan di Provinsi Bali tahun 2014, posisi tertinggi
yaitu makanan dan minuman sebesar 36.20%, padi-padian 14,80%, tembakau dan
sirih 8,75%, sayur 7,09%, telur dan susu 6,04%, daging 5,75%, buah-buahan 5,32%,
ikan 5,08% dan untuk kelompok makanan lain kurang dari 3% (Bali Dalam Angka,
2014).
19
Berdasarakan hasil penelitian lain di Kecamatan Letti tahun 2014 mengenai rata-
rata pengeluaran rumah tangga untuk pangan pokok sebesar Rp. 338.515 per bulan
dengan persentase untuk membeli pangan pokok beras. Hal ini dikarenakan beras
memiliki harga yang mahal dibandingkan bahan pangan pokok lainnya seperti
jagung dan singkong kayu/ubi kayu. Pengeluran jagung dan singkong kecil
disebabkan sebagian besar rumah tangga telah menanam untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi keluarga secara pribadi. Menurut Rikha D.R (2007)
menyatakan bahwa adanya hubungan yang segnifikan antara pengeluran rumah
tangga dengan skor PPH. Dapat dilihat dari penelitian yang dilaksanakan pada
keluarga petani sawah tadah hujan. Dapat dilihat bahwa rumah tangga dengan
pengeluaran pangan kurang memiliki skor PPH kurang sebanyak 25 keluarga dan
skor PPH idel tinggi sebanyak 25 keluarga. Namun pada rumah tangga pengeluaran
cukup memilik skor PPH yang kurang terdapat 3 keluarga dan yang memiliki skor
PPH idea tinggi terdapat 34 keluarga. Menurut Jomina & Rajab (2014) rata- rata
pengeluran rumah tangga sebesar Rp. 637.156 per bulan dan untuk pengeluaran
rumah tangga konsumsi sebesar Rp. 438.072 per bulan. Hasil ini menunjukan
pengeluran rumah tangga sebagian besar lebih dialokasikan untuk konsumsi. Jadi
adanya hubunga yang mempengaruhi antara pengeluran rumah tangga dengan
tingkat konsumsi.
2.2.5 Pantangan Makanan
Dalam pantangan memilih makan ada hal yang paling mendasar yaitu faktor
sosial budaya. Pantangan dalam milih makanan dilihat dari kepercayaan yang akan
dianggap baik atau buruk yang lambat laun akan menjadi kebiasaan yang turun
menurun.
20
Kebudayaan mempunyai pengaruh yang kuat untuk menentukan seseorang
dalam memilih makanan dan bagaimana cara mengolahnya, untuk kebutuhan tubuh
yang mendasar. Serta kebudayaan juga mempengaruhi kapan makanan tersebut
boleh atau tidak dikonsumsi. Hal ini sering terjadi salah satu contohnya adalah di
negara Asia memiliki kepercayaan bahwa dengan mengkonsumsi makanan yang
mengandung protein hewani menyebabkan keracunan pada ASI (Suhardjo, 2003).
Hal ini merupakan hal yang merugikan untuk kesehatan. Sesungguhnya protein
hewani sangat baik kandungannya dalam ASI karena bagus untuk tumbuh kembang
dari bayi yang mengkonsumsi ASI.
Sering kali tiga kelompok ini dikaitkan dengan hal-hal yang tabu atau memiliki
pantangan makan yaitu balita, ibu hamil dan ibu menyususi. Sesungguhnya hal yang
dianggap tabu itu benar tapi sering malah merugikan karena banyak makanan yang
dikonsumsi sangat penting dan mempengaruhi kondisi tubuh.
Dalam hal agama pantangan yang khususya untuk Agama Islam disebutkan
haram dan seseorang yang melanggar hukum berdosa. Konsep halal dan haram
sangat mempengaruhi pemilihan makanan dan minuman yang akan dikonsumsi.
Menurut Rikha D.R (2007) tidak adanya hubungan pantangan makan dengan
skor PPH pada keluarga petani sawah tadah hujan yang diteliti. Dari hasil penelitian
yang dilakukan dengan responden keluraga yang memiliki pantangan makanan
dengn skor PPH yang idel dan tinggi 6 keluarga sedangkan keluarga yang tidak
memiliki pantangan makan dengan skor PPH yang idel dan tinggi sebanyak 50
keluarga. Berdasarkan hasil wanwancara makan-makanan yang menjadi pantangan
dalam penelitian ini adalah gula merah, daging kambing, buah melon, wortel,
kangkung, kopi, makanan yang digoreng, bayam, kacang panjang, cumi-cumi,
kerang, ketimun, terong, kacang tanah dan jeroan ayam. Dari beberapa makan yang
21
menjadi patangan tersebut seharusnya dikonsumsi karena sangat bagus untuk
kebutuhan tubuh.
Menurut Wahida Y.M (2006) berdasarkan penelitian yang dilaksanakan
menyatakan adanya hubungan pantangan makan yang dilihat dari aspek religi dan
tradisi dengan pengaruh terhadap pola konsumsi pangan, yaitu menunjukan bahwa
nilai religi 67,3% RT yang menganggap ada jenis makanan pokok bersifat religi dan
tradisi. Masyarakat Wamena sangat mengormati dan menjaga ubi jalar, hal ini
dilakukan karena masyarakat Wamena menganggap ubi jalar dibawa oleh nenek
moyang. Pada suatau upacara ubi jalur dapat digunakan sebagai salah satu (satu
bahan) yang digunakan untuk hidangan menu utama. Jadi menu utamanya hanya ubi
jalar saja tidak ada yang lain.
2.2.6 Kepemilikan Lahan
Petani di Indonesia rata kepemilikan lahan sangat kecil mengingat harga tanah
yang semakin mahal sedangakan kemampuan para petani untuk kebutuhan sehari-
hari saja sudah minim bagaimana cara untuk membeli lahan. Maka dari itu para
petani yang memungkinkan untuk menggarap lahan milik orang lain nanti hasil
panennya akan dibagi dua.
Semakin hari semakin banyak ada bangunan semakin sedikit tempat untuk
bercocok tanam. Hal ini menyebabkan mengurangi wilayah pertanian. Sedangakn
kebutuhan manusia akan bahan pokok makanan semakin meningkat yang tidak
diimbangi dengan ketersedian lahan dan pembangunan gedung-gedung yang tidak
terencana tanpa memperhatikan dampak lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ikeu, T&Eka, H (2009)
menyatakan bahwa hubungan kepemilikan lahan dengan ketahanan pangan,
22
memiliki hubungan yang saling berpengaruh, karena semakin luas lahan yang
dimiliki maka semakin besar peluang tercapainya ketahanan pangan rumah tangga.
Menurut Rikha D.R (2007) menyatakan bahwa tidak adanya hubungan skor PPH
dengan kepemilikan lahan. Dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan 67 keluarga
yang memiliki lahan pertanian sendiri dengan petani memiliki lahan sendiri
didapatkan hasil skor PPH idel dan tinggi 45 keluarga dan petani penggarap sebesar
14 keluarga. Petani penggarap mendapatkan hasil yang mereka kerjakan dengan cara
bagi hasil dengan pemilik setengah-setengah.
Menurut Zahara&Nina, M (2012) menyatakan tidak adanya hubungan
kepemilikan lahan dengan skor PPH. Dapat dilihat dari hasil penelitian yang
mengatakan nilai koefisian determinan kepemilikan lahan rendah dan negatif yang
artinya tidak ada pengaruhnya variabel luas pekarangan terhadap naik turunnya skor
PPH.
Teori BLUM
Menurut Hendrik L. Blum ada empat faktor yang mempengaruhi status dejarat
kesehatan masyarakat atau perorangan. Faktor-faktor tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Lingkungan memiliki pengaruh dan peranan terbesar diikuti perilaku,
fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat bervariasi,
umumnya dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan
dengan aspek fisik dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan
aspek fisik contohnya sampah, air, udara, tanah, iklim, perumahan dan
sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial merupakan hasil interaksi
antara manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi dan
sebagainya.
23
2. Perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat kesehatan
masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan
individu, keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku
manusia itu sendiri. Di samping itu juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat
istiadat, kepercayaan, pendidikan sosial ekonomi dan perilaku-perilaku
lain yang melekat pada dirinya.
3. Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi
derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas pelayanan
kesehatan sangat menentukan dalam pemulihan kesehatan, pencegahan
terhadap penyakit, pengobatan dan perawatan kesehatan. Ketersediaan
fasilitas dipengaruhi oleh lokasi apakah dapat dijangkau atau tidak, yang
kedua adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan, informasi dan
motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilitas dalam memperoleh
pelayanan serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai
dengan kebutuhan.
4. Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia
yang dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan
seperti diabetes melitus dan asma bronehil.
24
2.3.1 Kerangka Teori BLUM
Gambar 2.1 Kerangka Teori Hendrik L. Blum
Sumber : Notoatmojo (2007)
Sehat Fisik Mental
dan Sosial
GENETIK
PELAYANAN KESEHATAN
(kuantitas dan kualitas)
PERILAKU KESEHATAN
LINGKUNGAN (Sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, pekerjaan, dst)