4
TINJAUAN PUSTAKA Ekofisiologi dan Botani Tanaman Teh Tanaman teh (Camellia sinensis (L) O. Kuntze) merupakan tanaman subtropis yang berasal dari pegunungan Assam, China, Burma, Thailand dan Vietnam. Tanaman teh tidak terdapat di setiap daerah. Di Indonesia tanaman teh tumbuh baik di daerah-daerah dengan ketinggian 400 m -1 200 meter di atas permukaan laut. Teh tidak tahan terhadap kekeringan yang lama, karenanya teh terpusat di daerah bagian barat Indonesia antara 2 500 mm per tahun sampai 3 500 mm per tahun merata sepanjang tahun (Spillane, 1992). Teh secara umum berakar dangkal, peka terhadap keadaan fisik tanah dan cukup sulit untuk dapat menembus lapisan tanah. Daunnya berwarna hijau tua dan agak bergerigi, ukuran panjangnya bisa mencapai tinggi hingga 10 - 15 cm. Bunganya berbentuk bulat, berwarna keputih-putihan menyerupai bunga yasmin dan dilapisi lilin. Buah teh termasuk buah kotak yang umumnya terdiri atas tiga butir biji. Biji tanaman teh mengandung minyak dengan kadar yang tinggi , yaitu 20 % berat biji (Spillane, 1992). Tanaman teh mempunyai dua fase pertumbuhan pucuk pada masa pertumbuhannya, yaitu periode peko dan burung. Kedua periode tersebut berselang-seling pertumbuhannya. Ritme pertumbuhan tersebut yang dinamakan flushing (periode peko) untuk pertumbuhan intensif / aktif dan periode dorman (periode burung) untuk pertumbuhan inaktif. Lama masa flushing ke flushing berikutnya ± 35 hari . Lamanya stadium peko dan burung untuk tanaman yang satu tidak sama dengan tanaman lainnya, bahkan masa bertunas dalam satu tanaman pun berbeda (Setyamidjaja, 2000). Periode istirahat dan aktif berhubungan erat dengan keadaan hara tanaman secara keseluruhan maupun setiap tunas secara individual. Semakin baik keadaan hara tanaman, maka periode aktif makin lama. Begitu pula sebaliknya, semakin buruk keadaan hara tanaman, maka periode dorman makin lama.

Bab II Tinpus A10nsa1-4

Embed Size (px)

Citation preview

  • 3TINJAUAN PUSTAKA

    Ekofisiologi dan Botani Tanaman Teh

    Tanaman teh (Camellia sinensis (L) O. Kuntze) merupakan tanaman

    subtropis yang berasal dari pegunungan Assam, China, Burma, Thailand dan

    Vietnam. Tanaman teh tidak terdapat di setiap daerah. Di Indonesia tanaman teh

    tumbuh baik di daerah-daerah dengan ketinggian 400 m -1 200 meter di atas

    permukaan laut. Teh tidak tahan terhadap kekeringan yang lama, karenanya teh

    terpusat di daerah bagian barat Indonesia antara 2 500 mm per tahun sampai 3 500

    mm per tahun merata sepanjang tahun (Spillane, 1992).

    Teh secara umum berakar dangkal, peka terhadap keadaan fisik tanah dan

    cukup sulit untuk dapat menembus lapisan tanah. Daunnya berwarna hijau tua dan

    agak bergerigi, ukuran panjangnya bisa mencapai tinggi hingga 10 - 15 cm.

    Bunganya berbentuk bulat, berwarna keputih-putihan menyerupai bunga yasmin

    dan dilapisi lilin. Buah teh termasuk buah kotak yang umumnya terdiri atas tiga

    butir biji. Biji tanaman teh mengandung minyak dengan kadar yang tinggi , yaitu

    20 % berat biji (Spillane, 1992).

    Tanaman teh mempunyai dua fase pertumbuhan pucuk pada masa

    pertumbuhannya, yaitu periode peko dan burung. Kedua periode tersebut

    berselang-seling pertumbuhannya. Ritme pertumbuhan tersebut yang dinamakan

    flushing (periode peko) untuk pertumbuhan intensif / aktif dan periode dorman

    (periode burung) untuk pertumbuhan inaktif. Lama masa flushing ke flushing

    berikutnya 35 hari . Lamanya stadium peko dan burung untuk tanaman yang

    satu tidak sama dengan tanaman lainnya, bahkan masa bertunas dalam satu

    tanaman pun berbeda (Setyamidjaja, 2000).

    Periode istirahat dan aktif berhubungan erat dengan keadaan hara tanaman

    secara keseluruhan maupun setiap tunas secara individual. Semakin baik keadaan

    hara tanaman, maka periode aktif makin lama. Begitu pula sebaliknya, semakin

    buruk keadaan hara tanaman, maka periode dorman makin lama.

  • 4Menurut Setyamidjaja (2000) tanah yang baik dan sesuai dengan kebutuhan

    tanaman adalah tanah yang cukup subur dengan kandungan bahan organik cukup,

    tidak bercadas, serta mempunyai derajat keasaman (pH) antara 4.5 - 6.0. Di

    Indonesia jenis tanah utama yang digunakan untuk perkebunan teh adalah tanah

    Andosol (di Pulau Jawa pada ketinggian 800 m dpl.) dan tanah Podsolik

    (Sumatera).

    Pemetikan

    Pemetikan merupakan suatu cara pengambilan daun yang dilakukan secara

    terus menerus berupa daun yang masih muda dan tunas yang sesuai dengan

    persyaratan dalam pengolahan teh. Pemetikan harus dilakukan berdasarkan

    ketentuan-ketentuan sistem petikan dan syarat-syarat pengelolaan yang berlaku.

    Pemetikan berfungsi pula sebagai usaha untuk membentuk kondisi tanaman agar

    mampu berproduksi tinggi secara berkesinambungan (Setyamidjaja, 2000).

    Pucuk yang dipetik mengakibatkan tanaman kehilangan salah satu alat

    fotosintesis untuk pembuatan zat pati yang sangat penting bagi kehidupan atau

    pertumbuhan tanaman. Kehilangan zat pati akibat pemetikan pucuk sekitar 7.5%,

    semakin kasar pucuk yang dipetik, maka semakin tinggi kehilangan zat patinya

    (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

    Pemetikan pucuk p+2, p+3 akan lebih kecil kehilangan zat patinya dari pada

    pucuk p+4 atau lebih. Kehilangan zat pati akibat dipetik tidak akan menyebabkan

    pertumbuhan tanaman terganggu, asalkan daun-daun yang tertinggal pada perdu

    (lapisan daun pemeliharaan) cukup memadai untuk melakukan asimilasi

    (fotosintesis).

    Ketebalan daun pemeliharaan yang efektif melakukan fotosintesis 4 - 5 lapis

    dengan ketebalan 15 - 20 cm. Lebih tebal atau lebih tipis dari angka tersebut hasil

    fotosintesis tidak optimal, akibatnya pertumbuhan pucuk terhambat dan produksi

    menurun. Apabila terlalu tipis maka pemetikan harus dinaikkan satu daun atau

    meninggalkan satu daun di atas kepel (k+1). Kalau terlalu tebal pemetikan harus

    menurunkan daun di atas kepel (k+0) secara terus-menerus dan dilakukan selama

  • 5enam bulan atau lebih sampai daun pemeliharaan menjadi ideal (15 20 cm),

    sebab daun teh akan gugur setelah daun berumur enam bulan (Pusat Penelitian

    Teh dan Kina, 2006).

    Daun pemeliharaan yang terlalu tebal lebih dari lima lapis daun (>20 cm)

    maka lapisan daun yang keenam dan seterusnya akan menjadi beban, karena

    daun-daun ini tidak lagi dapat melakukan fotosintesis bahkan hanya dapat

    menggunakan hasil fotosintesisnya untuk respirasi. Akibatnya hasil untuk

    fotosintat untuk pertumbuhan pucuk atau tunas berkurang berarti produksi juga

    akan berkurang. Sebaliknya apabila daun pemeliharaan terlalu tipis kurang dari

    empat lapis daun, maka proses fotosintesis akan berkurang dan pertumbuhan

    pucuk atau tunas juga berkurang, yang berarti produksi pucuk juga berkurang

    (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

    Pemetikan harus memperhatikan gilir petik dan hanca petik karena akan

    menentukan produksi dan mutu teh. Gilir petik adalah jangka waktu antara satu

    pemetikan dengan pemetikan berikutnya pada blok yang sama, yang dinyatakan

    dalam hari. Panjang pendeknya gilir petik dipengaruhi oleh kecepatan

    pertumbuhan pucuk. Kecepatan pertumbuhan pucuk ini dipengaruhi oleh beberapa

    faktor antara lain yaitu umur pangkas, iklim, ketinggian tempat dan keadaan

    tanam (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

    Hanca petik adalah luas areal yang pemetikannya harus diselesaikan dalam

    satu hari oleh pemetik. Pengaturan hanca dan gilir petik harus memperhatikan

    keseragaman pucuk karena akan berpengaruh pada mutu pucuk yang dipanen.

    Hanca petik diatur berdasarkan kapasitas rata-rata pemetik, luas areal blok kebun

    dan daur petik. Semakin pendek gilir petik maka semakin luas hanca petiknya

    (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

    Analisis Hasil Petikan

    Hasil teh diperoleh dari daun-daun pucuk tanaman teh yang dipetik.

    Kualitas teh jadi sangat ditentukan oleh kualitas pucuk hasil olahan. Pucuk teh

    tersebut harus diperiksa dan dianalisis sebelum teh diolah yang akan menentukan

  • 6kualitas dan mutu teh. Pemeriksaan pucuk tersebut sering disebut dengan analisis

    hasil petikan. Analisis hasil petikan terdiri atas dua macam yaitu (1) analisis petik,

    dan (2) analisis pucuk (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

    Analisis petik. Analisis petik adalah pemisahan pucuk yang didasarkan

    pada jenis pucuk atau rumus petik yang dihasilkan dari pemetikan yang telah

    dilakukan dan dinyatakan dalam persen. Tujuan dilaksanakannya analisis petik

    adalah untuk melihat kondisi kesehatan tanaman, menilai ketepatan pelaksanaan

    pemetikan, menilai sistem pemetikan yang dilakukan, siklus petik dan

    keterampilan pemetik (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

    Analisis pucuk. Analisis pucuk adalah kegiatan pemisahan pucuk yang

    didasarkan pada bagian tua dan muda yang dinyatakan dalam persen. Selain itu,

    pemisahan pucuk juga didasarkan pada kerusakan dan dinyatakan dalam persen.

    Tujuan dilaksanakanya analisis pucuk yaitu dapat menilai pucuk yang akan

    diolah, dapat digunakan untuk menentukan harga pucuk (khususnya bagi teh

    rakyat) dan dapat memperkirakan persentase mutu teh produk yang akan

    dihasilkan (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

    Kualitas pucuk segar sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, iklim, tinggi

    tempat, dan cara bercocok tanam. Kualitas produk teh yang baik akan diperoleh

    dari daun muda/ pucuk yang mengandung senyawa polifenol, cafein dan aktivitas

    enzim yang tinggi (Suryatmo, 1984). Zat kimia terutama berperan dalam kualitas

    teh adalah senyawa polifenol golongan catechin. Zat ini terdapat dalam jumlah

    besar pada bagian pucuk yang muda, dan semakin kecil jumlahnya dengan makin

    tuanya daun. Kualitas teh ditentukan dari pucuk hingga daun ketiga saja, semakin

    ke atas maka hasil olahan teh akan semakin baik. Pucuk teh tersebut dapat

    menghasilkan teh dengan kualitas nomor satu dan memiliki nilai jual yang tinggi

    (Pusat Penelitian Teh dan Kina, 2006).

    Sasaran angka analisis pucuk adalah 70% atau lebih merupakan bagian yang

    muda dengan kerusakan pucuk kurang dari 10%, sehingga diharapkan dapat

    dihasilkan teh dengan produk yang bermutu tinggi (Setyamidjaja, 2000).