Upload
trannhan
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
WACANA TENTANG
TRANSFORMASI SOSIAL DAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Transformasi Sosial
Istilah transformasi sosial adalah gabungan dari dua kata
‘transformasi’ dan ‘sosial’. Kata ‘transformasi’ dalam ensiklopedi umum
merupakan istilah ilmu eksakta1 yang kemudian diintrodusir ke dalam ilmu
sosial yang memiliki maksud perubahan bentuk2 dan secara lebih rinci
memiliki arti perubahan fisik maupun nonfisik (bentuk, rupa, sifat, dan
sebagainya).3
Sementara kata ‘sosial’ memiiliki pengertian; pertama, segala sesuatu
yang mengenai masyarakat; kemasyarakatan, dan kedua, suka memperhatikan
kepentingan umum (suka menolong, menderma dan sebagainya).4
Terminologi transformasi sosial dalam ensiklopedi nasional Indonesia
memiliki pengertian, perubahan menyeluruh dalam bentuk, rupa, sifat, watak,
dan sebagainya, dalam hubungan timbal balik sebagai individu-individu
maupun kelompok-kelompok.5
Timbulnya tranformasi sosial bukanlah tanpa sebab tetapi dipengaruhi
oleh ragam faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan adalah timbunan
kebudayaan, kontak dengan kebudayaan lain, penduduk yang heterogen,
kekacauan sosial dan perubahan sosial itu sendiri. Dalam transformasi sosial
akan melibatkan penduduk, teknologi, nilai-nilai kebudayaan dan gerakan
1 Di dalamnya terdapat pembagian istilah seperti; transformasi Linier, transformasi Affin
dan transformasi Orthogonal serta terdapat juga istilah transformator. Selanjutnya lihat; Prof. Mr. A.G Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), hlm. 1354.
2 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 801.
3 Mas’ud Khasan abdul Qohar, Kamus Ilmiah Populer, (t.tpt: Penerbit Bintang Pelajar, 1998), hlm. 418-419.
4 W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 961.
5 Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 16, (t.tpt, Cipta Adi Pustaka, 1991) hlm. 422.
11
sosial.6 Dalam ensiklopedi nasional Indonesia disebutkan pula, seringkali
istilah transformasi sosial diartikan sama dengan perubahan sosial.7
Sementara dalam penjelasan Agus Salim, terdapat pembedaan dalam
proses perubahan sosial. Dia membagi proses perubahan sosial menjadi dua;
proses reproduksi dan proses transformasi. Proses reproduksi adalah proses
mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai
warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Dalam hal ini meliputi
bentuk warisan budaya dalam kehidupan sehari-hari meliputi; material
(kebendaan, teknologi), immaterial (non-benda, adat, norma, nilai-nilai).
Sementara proses transformasi adalah suatu proses penciptaan suatu ha yang
baru (somethig new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agus menjelaskan yang berubah adalah apek budaya yang sifatnya material
sedangkan sifatnya immaterial sulit sekali diaadakan perubahan.8
Membahas istilah transformasi jika tanpa dikaitkan dengan sesuatu
yang lain menurut Ryadi Gunawan, merupakan upaya pengalihan dari sebuah
bentuk kepada bentuk yang lebih mapan. Sebagai sebuah proses, transformasi
merupakan tahapan, atau titik balik yang cepat bagi sebuah makna perubahan.9
Munculnya konsep transformasi tidak lepas dengan tokoh Karl Max dan Max
Weber. Bagi Marx, transformasi masyarakat dibayangkan melalui proses
dialektika transformasi kontinyu dengan hadirnya pertentangan kelas yang
memperebutkan penguasaan berbagai alat reproduksi dan saat mencapai
puncak dialektika akan tercipta “masyarakat yang tak berkelas”. Gagasan ini
bersumber dari filsafat dialektikanya Hegel yang mengajarkan tentang siklus
tesis dan antitesis.
Sementara bagi Weber, bayangan transformasi itu tidaklah lewat suatu
proses dialektika linear sebagaimana pikiran Marx, namun proses transformasi
6 ibid. 7 loc. cit. 8 Agus Salim, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 20-21. 9 Ryadi Gunawan, Transformasi Sosial Politik: Antaran Demokratisasi dan Stabilitas,
dalam M. Masyhur Amin (ed) Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: KPSM, 1993) hlm. 228.
12
dan perubahan itu melalui proses evolusioner yang mana berbagai unsurnya
saling berpengaruh atau saling mempengaruhi dalam sebuah tipe ideal
masyarakat. Dari pemaparan tersebut, sebenarnya pengertian transformasi itu
dikenakan pada sejumlah objek sehingga sebagai konsep, sering merupakan
sebuah dikusi yang panjang. Dari rintisan para pemikir besar itulah, lahirlah
berbagai pendukung dan pemrotes. Namun, transformasi itu mengabsahkan
pendapat masing-masing pendukung atau pemrotes dalam konteks teori-teori
besar yang memiliki ideologi.10
Dalam perkembangan selanjutnya teori-teori sosial yang dibangun oleh
dua tokoh di atas semakin berkembang yang kemudian melahirkan pendukung
seperti Talcot Parsons yang kemudian melahirkan teori kapitalisme di pihak
Weber. Kemudian dari pihak Marx muncul para pemikir sosial berhaluan
kritis yang menganjurkan model sosialisme seperti Antonio Gramsci,
Habermas dan Foucoult yang senantiasa mempersoalkan relasi sosial sebagai
biang keladi munculnya ketidakadilan.11
Dari pemaparan di atas mengenai teori transformasi sosial, banyak
terdapat perbedaan konsep yang melandasi teori tersebut. Seperti ada yang
menganggap bahwa transformasi sosial sama dengan perubahan sosial,
sementara ada penjelasan lain yang menyebutkan bahwa proses dari
perubahan sosial adalah reproduksi dan transformasi. Meskipun terdapat
perbedaan, peneliti dalam bagian ini tidak bermaksud menyelesaikan
permasalahan silang pendapat mengenai terminologi transformasi sosial.
Dalam bagian ini peneliti hanya bertujuan untuk memperkenallkan tentang
teori transformasi sosial. Sehingga yang bisa diambil dari bagian ini adalah
sebuah teori yang mengusung perubahan dalam khidupan sosial masyarakat.
B. Pendidikan Islam
Ketika membicarakan pendidikan Islam, maka ada dua hal yang
menjadi fokus perhatiannya. Dua hal tersebut menurut Qodri adalah; pertama,
mendidik siswa atau siswi untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau
10 ibid. hlm. 229-230. 11 Untuk uraian secara lengkap dalam perkembangan teori-teori sosial bisa dibaca Ian
Craib, Teori-teori sosial Modern dari Parsons Sampai Habermas, (Jakarta: Rajawali, 1986).
13
akhlak Islam. Kedua, mendidik siswa atau siswi untuk mempelajari materi
pelajaran Islam atau subyek berupa pengetahuan tentang ajaran Islam.12
Perhatian akan pemaknaan pendidikan Islam tentunya tidak seragam dari satu
pemikir dengan pemikir yang lain, karena bergantung pada penekanan akan
maksud pendidikan Islam serta tujuan yang ingin dicapai.
Sebelum masuk ke pembahasan secara definitif tentang pendidikan
Islam, ada beberapa istilah dalam Islam yang menjadi acuan awal dalam
mendudukkan makna pendidikan dalam Islam. Hal ini penting sebagai
penguat untuk menjelaskan bahwa Islam memiliki dasar-dasar ajaran yang
jelas tentang pendidikan. Dan juga untuk menjelaskan bahwa Islam disebarkan
oleh Muhammad SAW bermula dan berangkat dari pembaharuan pendidikan.
1. Istilah-istilah Pendidikan dalam Islam
Pentingnya pendidikan merupakan sebagai syarat menjadikan Islam
sebagai agama sekaligus sebagai sistem peradaban. Jaluddin melihat bahwa
Islam sebenarnya sarat akan nilai-nilai yang berhubungan erat dengan
pendidikan. Salah satunya adalah dengan mengkaji makna kata Islam yang
memiliki arti sulam (tangga), memiliki kesetaraan makna untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Di samping itu bisa juga dimaknai sebagai
istislam (penyerahan diri) juga salama (keselamatan) serta salima
(kesejahteraan).13 Sehingga bila pemaknaan kata tersebut dikaitkan dengan
pendidikan maka memiliki pengertian sebagai upaya peningkatan diri untuk
semakin dekat kepada Allah sehingga dapat memperoleh keselamatan dan
kesejahteraan.
Berdasar uraian di atas, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan
makna dengan pendidikan. Berdasarkan rangukaman Jalaluddin dan juga
Moh. Shofan ada tiga istilah yakni; tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.14 Istilah
12 Qodri Azizy, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial [Mendidik Anak
Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat], (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 22. 13 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 68. 14 Uraian lengkapnya bisa dilbaca buku Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma
Profetik; Upaya Konstruktif Membaongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ircisod, 2004), hlm. 38-48. dan Jalaluddin, op. cit., hlm. 70-71.
14
tarbiyah berasal dari kata rabba-yarbu (bertambah dan tumbuh), kata al-Rabb
juga dari kata tarbiyah yang memiliki arti, mengantarkan sesuatu kepada
kesempurnaan secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna
secara berangsur-angsur. Kata taribyah, dengan demikian memiliki arti yang
sangat luas dan bermacam-macam dalam penggunannya, dan dapat
mempunyai makna pendidikan, pemeliharaan, perbaikan, peningkatan,
pengembangan, penciptaan dan keagungan yang kesemuanya dalam rangka
menuju kesempurnaan sesuatu sesuai dengan kedudukannya.
Yang kedua adalah kata ta’lim yang berasal dari kata alama yang
berarti mengajar, atau dari kata allama-ya’lamu (mengecap atau memberi
tanda) dan dari kata alima-ya’lamu (mengerti atau memberi tanda). Dengan
demikian kata ta’lim sama dengan kata pengajaran yang hanya sekedar
memiliki arti memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti
pembinaan kepribadian.
Istilah selanjutnya adalah ta’dib yang merujuk pada kata adab, secara
terminologis, ta’dib berasal dari kata aduba-ya’dubu (melatih, mendisiplin diri
berperilaku baik dan sopan) atau dari kata addaba (mendidik, melatih,
memperbaiki, mendisiplin, dan memberi tindakan) yang dalam kehidupan
sehari-hari adab sering diartikan sebagai sopan santun yang mencerminkan
kepribadian. Sehingga bisa dibilang pendidikan dalam pengertian yang hakiki
sangat tepat bila merujuk dari kata ta’dib.
Di samping tiga istilah di atas, kata iqra’ juga bisa dimasukkan sebagai
istilah dalam Islam yang memiliki maksud mendidik. Iqra’ adalah bentuk kata
perintah (fi’il amr) dari kata qara’a dan dari kata masdhar qira’atan atau
qur’anan. Qara’a berarti membaca, sedangkan qira’atan atau qur’anan
berarti bacaan, dengan demikian iqra’ berarti bacalah. Iqra’ dalam arti bacalah
adalah perintah untuk mendalami, mengalami, menyelami, memahami dan
menghayati apa yang dibaca.15 Mengapa kemudian kata ini memiliki kaitan
dengan istilah pendidikan, karena membaca adalah salah satu aktifitas utama
15 H. Endang Saefuddin Anshari, Iqra’ Sebagai Mabda’ dalam Chabib Thoha dkk (ed)
Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996), hlm. 86 dan 88.
15
dalam proses pendidikan. Tanpa proses membaca tersebut, sesungguhnya
terdapat potensi peserta didik yang tidak tergali dalam proses pendidikan.
2. Definisi Pendidikan Islam
Setelah mendeskripsikan istilah-istilah dalam Islam yang secara
mendasar memiliki maksud atau orientasi sama dengan pendidikan, penjelasan
selanjutnya adalah tentang arti atau definisi pendidikan Islam yang lebih
teknis dan konseptual. Definisi tentang pendidikan Islam sangat banyak
sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pemikir pendidikan Islam.
Namun sebelum melangkah lebih jauh, pendidikan Islam (PI) dan
pendidikan agama Islam (PAI) terlebih dulu harus dibedakan. Secara tekhnis
Munir Mulkhan menjelaskan, pembelajaran agama Islam di sekolah umum
lebih tepat disebut pendidikan agama Islam (PAI), namun sekali waktu sering
disebut sebagai pendidikan Islam (PI). Sedangkan sekolah Islam seperti
pesantren dan madrasah lebih tepat disebut sebagai pendidikan Islam (PI),
acap kali disebut juga pendidikan agama Islam (PAI).16 Sehingga dengan
demikian menjadi jelas perbedaan antara PAI dengan PI dan kerancuan yang
kadang ada tidak terjadi lagi.
Sebagaimana terdapat dalam rangkuman Moh. Shofan ada banyak
defnisi pendidikan Islam dari para tokoh pendidikan. Ahmad Tafsir misalnya
menjelaskan, ‘pendidikan Islam ialah bimbingan yang diberikan oleh
seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai
dengan ajaran Islam’. Sementara Zuhairini memaknai ‘pendidikan Islam
adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang
sesuai dengan ajaran Islam atau sesuai atau sesuatu upaya dengan ajaran
Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta
bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam’.17
Dan dalam konsepsi Jalaluddin, ‘pendidikan Islam secara umum dapat
diartikan sebagai usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara
optimal sesuai dengan statusnya, dengan berpedoman kepada syariat Islam
16 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 54-55.
17 Moh. Shofan, op. cit., hlm.52-53.
16
yang disampaikan oleh Rasul Allah agar manusia dapat berperan sebagai
pengabdi Allah yang setia dengan segala aktivitasnya guna tercipta kondisi
kehidupan islami yang ideal, selamat, aman, sejahtera dan berkualitas serta
memperoleh jaminan (kesejahteraan) hidup di dunia dan akhirat’.18
Sementara dari sudut pandang Chabib Thoha tampak pemaknaan
pendidikan dalam konteks ke-Indonesia-an, ‘pendidikan Islam menurutnya
adalah sebagai suatu proses pengembangan potensi kreatif peserta didik untuk
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt,
berkepribadian Pancasila, cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi,
berbudi luhur, mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, bangsa,
negara serta agama’.19
Dari beberapa definisi pendidikan Islam yang dikemukakan di atas,
terlihat bahwa penekanan makna pendidikan Islam adalah pada upaya atau
usaha menjadikan manusia berkepribadian baik (akhlaqul karimah), yang bisa
diterjemahkan secara lebih luas. Misalnya, cerdas, terampil, etos kerja tinggi,
berbudi luhur, mandiri dan bertanggung jawab. Dan dalam usaha menuju ke
arah pembentukan kepribadian yang baik itu, ajaran-ajaran Islam dijadikan
sebagai landasannya. Sementara kalau dikontekskan ke dalam Indonesia,
pendidikan Islam harus juga melandasinya dengan Pancasila.
3. Tujuan Pendidikan Islam
Sistem pendidikan Islam tidak akan menemukan hasil yang diinginkan
bila tidak ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan secara implisit sudah terdapat
di dalam definisi pendidikan Islam, namun karena tujuan itu harus jelas maka
mesti ada perumusan tersendiri tentang tujuan pendidikan Islam. Seperti Nana
Sudjana yang merinci tujuan pendidikan menjadi; tujuan umum dan tujuan
khusus; yang terbagi menjadi tujuan lembaga, tujuan kurikuler, dan tujuan
instruksional.20
18 Jalaluddin, op. cit., hlm. 72. 19 Chabib Thoha, Epistemologi dalam Pendidikan Islam, dalam Chabib Thoha dkk (ed)
op. cit., hlm. 199. 20 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 2002), hlm. 56-59.
17
Munir Mulkhan secara umum dan filosofis menyatakan, bahwa
maksud utama pendidikan adalah pengembangan pemahaman dan penyadaran
peserta didik atas dunia empirik yang mereka alami dan dunianya di masa
mendatang.21 Dan secara lengkap Jalaluddin mencantumkan tujuh dimensi
utama dalam tujuan pendidikan Islam; pertama, dimensi hakikat penciptaan
manusia, kedua, dimensi tauhid, ketiga, dimensi moral, keempat, dimensi
perbedaan individu, kelima, dimensi sosial, keenam, profesional, dan ketujuh,
dimensi ruang dan waktu.22
Banyaknya aspek dalam sebuah tujuan pendidikan memungkinkan
setiap proses pembelajaran untuk mengarahkan peserta didik menjalankan
salah satu aspek tujuan tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi logis
mengingat banyaknya isi pelajaran dalam pendidikan Islam, sehingga
pemilahan aspek tujuan tersebut menjadikan orientasi setiap pelajaran menjadi
jelas pula.
Sementara tujuan pendidikan Islam dalam konteks ke-Indonesia-an
adalah mewujudkan nilai-nilai keislaman di dalam pembentukan manusia
Indonesia. Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang takwa
dan produktif dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan
demikian pendidikan Islam tidak sekedar menjadi ‘cagar budaya’ yang
mempertahankan paham-paham keagamaan tertentu tetapi sebagai agent of
cange tanpa menghilangkan ciri khasnya yaitu ciri keislaman.23 Bila
pendidikan Islam mampu melangkah ke arah tersebut maka pendidikan
mampu untuk menjadi pendidikan alternatif, juga responsif terhadap tuntutan
masa depan, yaitu bukan hanya mendidik peserta didik menjadi saleh tetapi
juga produktif.
C. Transformasi Sosial dalam Pendidikan Islam
Untuk memulai bagian ini, ada ayat Al-Qur’an yang relevan untuk
dijadikan sandaran yaitu surat al-Ra’d ayat 11;
21 Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 215. 22 Lihat secara lengkap Jalaluddin, op. cit., hlm. 91-96. 23 H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),
hlm. 150.
18
له معقبات من بين يديه ومن خلفه يحفظونه من أمر الله إن الله ال يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم وإذا أراد الله بقوم سوءا فال مرد له وما لهم من دونه
11: الرعد (المن و( “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung selain Dia.”24
Inti dari ayat tersebut di atas adalah kalimat “sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri’. ‘Keadaan’ yang dimaksud salah satunya adalah,
Tuhan tidak akan merubah keadaan mereka selama mereka tidak merubah
sebab-sebab kemunduran mereka.25 Jadi, Islam memiliki nilai yang secara
universal mengajarkan umatnya untuk senantiasa berubah dari kejelekan
menuju kebaikan (transformatif).
Perubahan dalam Islam merupakan keniscayaan, sesuai dengan konsep
tauhid Islam yang mengajarkan hanya Allah yang kekal. Tauhid berasal dari
kata Arab, wahid atau ahad yang berarti satu, dan ia merujuk kepada apa yang
bagi kita merupakan kenyataan yang paling fundamental.26 Segala sesuatu
baik itu pemikiran, bangunan arsitektur, serta budaya akan senantiasa berubah
dari masa ke masa.
Sebagaimana pemaparan M. Masyhur Amin yang menjelaskan
terjadinya gelombang perubahan sampai tiga kali dalam sejarah kebudayaan
Islam. Gelombang pertama menggambarkan masyarakat Arab sebelum
diutusnya Muhammad sebagai Rasul. Sehingga disebut sebagai masyarakat
Jahiliyah, masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai berhalaisme,
perbudakan manusia atas manusia, permusuhan dan penuh kedzaliman.
24 Al-Qur’an wa Tarjamatu Maanihi ilal Lughotil Indonesia, (Saudi Arabia: Mujamma’
al-Malik Fahd li Thia’at al-Mushaf asy-Syarif, 1415 H), hlm. 370. 25 loc. cit. 26Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies (ed), Wajah-wajah Islam; Suatu Perbincangan
Tentang Isu-isu Kontemporer, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 24.
19
Gelombang perubahan kedua pada masa Khulafaur Rasyidin, para
khalifah pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah dengan
melanjutkan perjuangan-nya dengan menyebarkan (difusi) nilai-nilai islam ke
luar Jazirah Arab, yang pada saat itu menjadi ajang pertarungan antara dua
kekuatan besar, Romawi dan Persia. Dan gelombang yang ketiga dapat dilihat
dari sudut perkembangan pengetahuan, seni, filsafat dan ekonomi sehingga
Islam menjadi pusat peradaban dunia pada saat itu.27
Fenomena perubahan yang terjadi dalam dunia Islam seperti
pemaparan di atas, tentunya memberikan sebuah kesimpulan bahwa mengapa
Islam sekarang mundur adalah karena spirit atau jiwa untuk selalu berubah
sudah hilang. Hal itu tercermin dalam pernyataan Fazlur Rahman;
Penutupan pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil dan bebas) selama abad ke-4 H/ 10
M dan 5 H/ 11M telah membawa pada kemacetan umum dalam ilmu, hukum, intelektual,
khususnya yang pertama, ilmu-ilmu intelektual yakni teologi dan pemikiran keagamaan
sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang
disengaja dari intelektualisme sekuler dan karena kemunduran yang disebut sekarang ini,
khususnya filsafat dan pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti
yang dibawa oleh sufisme.28
Kenyataan yang terjadi pada masa sekarang ini merupakan pekerjaan
rumah seluruh umat Islam. Karena Islam dewasa ini tidak ditampilkan sebagai
perbuatan sosial tetapi hanya sebagai hiasan untuk diperjual-belikan. Eko
Prasetyo menuturkan;
Terkoyaknya otoritas agama ini yang membuat semangat keagamaan kemudian bergerak
sebatas di permukaan. Ritualisme yang menggebu-gebu dibuktikan tidak hanya melalui
penampilan melainkan juga kebijakan. Islam tidak dilihat sebagai misi pembebasan atas
umat yang tertindas melainkan manifestasi dari kesalehan yang egoistis dan individual.
Tampaknya gejala keagamaan semacam ini menguntungkan sistem sosial yang ada saat
ini. Sebuah sistem yang sebenarnya mengekalkan nilai-nili perbudakan dan diskriminasi.
27 Baca lengkap M. Masyhur Amin, Dinamika Islam Sejarah Transformasi dan
Kebangkitan, (Yogyakarta: LKPSM (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), 1993), hlm. 39-53.
28 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1984), hlm. 270.
20
Islam kemudian disuap ajarannya untuk sekedar menjadi ornamen ketimbang menjadi
sebuah sistem yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat.29
Melihat pentingnya semangat transformatif dalam membawa
kehidupan umat Islam yang lebih baik, tentunya menjadi keharusan bagi
setiap generasi Islam untuk selalu memelihara nuansa perubahan serta
kebebasan berkarya. Sehingga nilai perubahan dalam Islam termasuk sebagai
nilai yang secara mendasar merupakan sebuah nilai positif baik ke dalam
maupun ke luar.
Karena menurut Komaruddin Hidayat, barangkali Islam memiliki akar
tradisi yang paling kuat dan terus berkembang. Di dalam jantung tradisi itu
terdapat al-Qur’an yang memiliki daya gerak ke luar (sentrifugal), memasuki
dan berdialog dengan berbagai budaya yang dijumpainya. Sebaliknya, umat
Islam yang tinggal dan tumbuh dalam berbagai asuhan budaya baru berusaha
mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama (sentripetal).30
Islam, agama yang dibawa Muhammad merupakan ajaran yang
mengajak umat manusia untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan yakni
masyarakat yang berkeadaban. Masyarakat yang beradab adalah sebuah
masyarakat yang pernah dibangun oleh Rasulullah tatkala beliau di Madinah.
Jadi parameter realitas masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang
memiliki nilai-nilai yang sama dengan agenda pembangunan kota Madinah.
Nilai-nilai dalam Islam secara normatif menegaskan bahwa Islam
mengajarkan kepada pemeluknya untuk secara aktif melakukan perubahan.
Perubahan yang diharapkan adalah perubahan kepada kebaikan, sesuai dengan
prinsip Islam yakni barang siapa yang hari ini labih baik dari hari kemarin dia
termasuk orang yang beruntung. Membangun masyarakat yang lebih baik
adalah anjuran dalam Islam.
Masyarakat Arab yang waktu diturunkannya Islam sedang dalam
kondisi kemerosotan moral sehingga menciptakan sistem kehidupan yang
29 Eko Prasetyo, Assalamu’alaikum, Islam itu Agama Perlawanan, (Yogyakarta: Resist
Book, 2005), hlm. 51. 30 Komaruddin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat, Menangkap Makna-makna Tersembunyi di
Balik Perintah Bribadah, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 130.
21
timpang, bejat, berlaku hukum rimba. Sebagaimana yang dituturkan Dr.
Ahmad A. Galwash, “Arabia during the pre Islamic days was in a very low
state of civilization. Awful superstition and idolatry prevailed everywhere.
Gross licentiousness was indulged in crime of infanticide and human
sacrifices were common”.31 (Arab selama masa pra Islam dalam keadaan
peradaban yang sangat lemah. terjadi penyembahan takhayul dan berhala yang
sangat hebat. Perbuatan moral yang kotor diperturutkan di sini. Kejahatan
berupa pembunuhan anak dan pengorbanan manusia menjadi hal yang biasa.)
Dengan latar belakang itulah, Muhammad datang membawa agenda
besar untuk memperbaiki sistem kehidupan yang tidak berkeadilan tersebut.
Islam datang dengan ajaran baru untuk menyadarkan kesesatan orang
Jahiliyah.32 Seperti diketahui di Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah
satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini
melahirkan Mekkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses
korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan
Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan
memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma
suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme
tersebut, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni
semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Dalam konteks inilah
sesungguhnya Muhammad lahir.33
31 Ahmad A. Galwash, The Religion Of Islam, (Cairo, Studies in Islam Series, 1966), hlm.
53. 32 Jahiliyah atau the age of ignorance adalah “In the time of the prophet youth, religion
meant numerous gods and goddesses, often worshipped through trees and stones. While the tribal code encouraged the notion of muruwwa, manhood, which was the glorification of tribal chivalry, the treatment of women was abominable. Female infanticide was common. Society was on the verge of anarchy and disorder” (adalah dalam masa muda rasul, agama memiliki banyak dewa dan dewi, bahkan pemujaan lewat pohon dan batu. Sementara aturan mengenai suku menganjurkan ide kejantanan yang memuja kekesatriaan, perlakuan terhadap perempuan sangat buruk. Pembunuhan anak perempuan adalah hal yang biasa. Masyarakat dalam ambang kekerasan dan ketidakteraturan), baca Akbar S. Ahmed, Living Islam: From Samarkand to Stornoway, (New York: BBC Books, 1994), hlm. 22.
33 Alam Tulus, “Muhammad Mengajarkan Sosialisme Jauh Sebelum Karl Marx”, http://media.isnet.org/islam/index.html. Tanggal akses 3 Februari 2006.
22
Ketidakadilan sistem sosial dalam kehidupan masyarakat Jahiliyah
adalah penyulut atas keprihatinan Muhammad. Hal ini tidak lepas atas agenda
diciptakannya manusia adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Menjadi
khalifah merupakan tanggung jawab yang maha berat yang harus ditanggung
manusia, sehingga harus mampu menciptakan kehidupan yang berlandaskan
persamaan dan keadilan tanpa paksaan.
Islam melihat kenyataan sosial bukan sebagai apa adanya tetapi
sebagai yang seharusnya. Karena Islam tidak sekedar sebagai agama tetapi
juga jalan hidup, maka Islam memiliki nilai-nilai normatif dan aplikatif untuk
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang didasarkan pada sebuah gagasan
universal (tawhid) dan sejumlah tujuan bersama: mencapai kedilan (‘adl) dan
ilmu (‘ilm) dalam upaya memenuhi kewajiban sebagai pengemban amanah
(khalifah) Tuhan.34 Karena sesungguhnya kehidupan yang memiliki makna
adalah sebuah bentuk kehidupan yang masyarakatnya memiliki landasan atau
tauhid kuat serta memiliki inisiatif atau ilmu untuk merancangnya.
Salah satu sifat dari masyarakat yang islami adalah masyarakat yang
berkasih sayang.35 Karena apabila orang Islam yang satu menyayangi orang
Islam yang lain bahkan umat non Islam, niscaya aturan-aturan semacam
undang-undang tidak lagi diperlukan. Sikap kasih sayang inilah yang harus
menjadi inti dalam ajaran Islam. Sehingga manifestasi dari rasa sayang
tersebut bisa tereskpresikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
kehidupan yang tinggi nilainya akan bisa dinikmati bersama. Orang kaya
sayang dengan orang miskin sehingga tidak ada lagi penggusuran. Antara
kaum pria dan wanita yang memiliki rasa kasih sayang tidak akan ada lagi
eksploitasi. Rasa sayang terhadap generasi selanjutnya akan menciptakan
pendidikan yang benar-benar berkualitas tanpa harus terbebani dengan biaya
yang tinggi.
Untuk itulah dibutuhkan sebuah model pendidikan yang baik. Tanpa
pendidikan yang baik mustahil sebuah usaha menuju transformasi sosial dapat
34 Ziauddin Sardar dan Merryl Davies (ed), op. cit., hlm. 115. 35 Ahmad Shalaby. Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, (t.tpt: Penerbit Amzah.
2001), hlm. 336.
23
terwujud. Begitu pula Islam, karena ayat yang pertama turun adalah iqra’
(perintah membaca) yang kemudian disusul dengan al-Muddatsir (perintah
untuk bangkit). Dan secara historis, Muhamamd memang telah melakukan
revolusi dalam bidang pendidikan, beliau melakukan pemberantasan buta
huruf secara besar-besaran. Hal ini didasarkan atas perseimbangan bahwa
agama tidak akan berkembang apabila jatuh di tangan orang-orang bodoh dan
terbelakang (jahiliyah).36
Perubahan sosial (transformasi sosial) adalah sebuah tema besar yang
mengangkat realitas masyarakat yang sangat komplek mulai dari pola berfikir,
budaya, agama sampai pada status sosial individu. Tema besar berupa
perubahan sosial tersebut tidak luput dari pandangan Islam yang mempelopori
adanya perubahan sosial di Makkah dan Madinah. Inilah relevansi wacana
transformasi sosial dalam pendidikan Islam yang mengusung ideologi
perubahan.
Pendidikan dalam sejarah penyebaran Islam merupakan pondasi.
Sehingga ayat pertama yang turun yang dimulai dengan kata iqra’ kemudian
menjadi mabda’ dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.
Iqra’ adalah fi’il amr (kata perintah) dari kata kerja qara’a dan dari masdhar
qira’atan dan qur’anan (bacaan). Iqra’ dalam arti ‘bacakanlah’ adalah
perintah untuk menyampaikan, memberitakan, memberitahukan, mewariskan,
memanfaatkan dan mengamalkan yang dibaca.37
Pendidikan dalam seluruh komponen kehidupan umat manusia
barangkali memang memiliki signifikansi yang sangat kuat. Tanpa
pendidikan, pelatihan untuk mengembangkan pola pikir manusia tidak akan
terpenuhi. Sebagaimana terangkum dalam tulisan Maulana Wahiduddin Khan;
36 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 4. 37 Sementara sesuatu yang dibaca itu adalah; al-Qur’an, ma yuha ilaika (apa yang
diwahyukan padamu, ma yutla amamaka wa ‘stami’ ma yutla (apa-apa yang diliwatkan di depanmu dan menyimak apa yang telah diliwatkan itu, ma unzila ilaika minal Qur’an (apa yang telah dinuzulkan kepadamu dari al-Quran). Selengkapnya baca H. Endang Saefudin Anshari, M.A., Iqra’ Sebagai Mabda’, dalam Cahbib Thoha, dkk, Reformulasi Filsafat pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996), hlm. 86-89.
24
Education makes man a right thinker and a correct decision maker. It achieves this by
bringing him knowledge from the external world, teaching him to reason, and
acquainting him with past history, so that he may be a better judge of the present.
Without education, man, as it were, is shut up in a windowless room. With education, he
finds himself in a room its windows open to the out side world.38 (pendidikan membuat manusia menjadi pemikir dan pembuat keputusan yang benar.
Untuk mencapainya adalah dengan memberinya pengetahuan dari dunia luar,
mengajarnya untuk berpikir, dan memperkenalkannya dengan sejarah masa lal, sehingga
menjadi pemkir atau hakim yang lebih baik di masa sekarang. Tanpa pendidikan, manusia
telah menutup diri dalam ruangan yang tidak berjendela. Dengan pendidikan, dia akan
menemukan dirinya sendiri berada di dalam ruangan yang terbuka terhadap dunia luar).
Pentingnya ilmu dalam Islam sebagai manifestasi dari pendidikan
tersebar dalam istilah-istilah seperti uthlubul ‘ilma atau tholabul ‘ilmi
faridhotun. Muhammad mampu melakukan dialektika dengan kondisi riil di
masyarakat sehingga mampu membangun paradigma baru yang menggelitik
cara pandang lama. Dari cara berfikir jahili ka arah pencerahan, Islam
membuktikan dirinya sebagai ajaran yang sanggup memberikan solusi baik
praktis maupun strategis yang benar-benar efektif dalam konteks itu.39
Sehingga out put dari proses pendidikan berupa ketrampilan membaca
dan menulis, yang telah ada sejauh tertentu di Arabia sebelum Islam,
meningkat dengan datangnya Islam, terutama sekali dengan ekspansinya.40
Namun dalam era dewasa ini pendidikan Islam khususnya di Indonesia
mengalami keterpurukan seperti yang ditulis Eko Prasetyo;
Di bidang pendidikan kita menyaksikan banyaknya anak yang tak bisa ditampung di
sekolah. Sekolah menjadi urusan pribadi bukan bagian dari tanggung jawab publik. Itu
sebabnya tak semua orang kemudian bisa bersekolah. Yang menyebut diri sebagai
sekolah Islam sekalipun, tak bisa dijangkau oleh semua anak muslim. Label Islam
malahan digunakan untuk ‘memeras’ uang peserta didik. Pendidikan berkualitas itu
mahal. Dan kredo ini ditafsirkan, apalagi pendidikan Islam pastilah jauh lebih mahal.
Karena selain berkualitas juga mendidik anak untuk menjadi seorang yang beriman.
38 Maulana Wahiduddin Khan, Principles of Islam, (New Delhi: GOODWORD BOOK,
2000), hlm. 21. 39 Akhmad Efendi, “Wacana Kritis dalam Historisitas Pendidikan Islam”, dalam jurnal
Edukasi “Pendidikan Islam Kritis”, Volume II No. 1 Januari 2004, hlm. 27. 40 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 263.
25
Latihan menjadi orang yang beriman bukanlah sesuatu yang murah. Bahkan beberapa
pesantren kini juga membuka fasilitas berdasar atas kemampuan seseorang menyetor
uang. Pesantren yang dulu hendak menjawab kebutuhan rakyat akan pendidikan yang
murah kini berbalik menjauh dari mandat sebenarnya. Memang ada beberapa pesantren
yang masih menjalankan mandat idealis, tapi itu kian lama kian sedikit.41
Pendidikan Islam dewasa ini tidak mampu melakukan perubahan-
perubahan mendasar atas kebutuhan umat. Juga terdapat kritikan, pendidikan
agama telah menjauhkan peserta didik untuk menjadi pribadi yang matang dan
kritis. Agama dipahatkan hanya dalam perilaku yang distandarkan dan hafalan
doa yang dibacakan berulang-ulang.42 Padahal sudah jelas bahwa pendidikan
yang berfondasi kalimat iqra’ memiliki agenda untuk mengamalkan ajaran-
ajaran yang ada di dalam al-Quran untuk menghilangkan kezaliman di muka
bumi ini.
Dan sekarang ini, kehidupan manusia juga telah mengalami banyak
perubahan mulai dari gaya hidup sampai pada perubahan nilai. Nilai kasih
sayang adalah salah satu hal yang sudah mulai hilang dalam kehidupan ini.
Gus Mus menyatakan, kasih sayang tidak dihargai lagi. Manusia lebih
mementingkan ‘daging’ ketimbang ‘ruh’. Hingga karena pendewaan orang
terhadap ‘daging’ inilah semuanya lenyap: tidak ada kejujuran, keadilan,
toleransi dan seterusnya, orang terbentuk dalam nuansa materialistik-
kapitalistik.43
Dengan demikian peran penting pendidikan adalah untuk memberikan
petunjuk (hudan) bagi para peserta didik.44 Pada gilirannya, pendidikan dalam
konteks keislaman memiliki tugas untuk tidak sekedar mengarahkan peserta
didik untuk memiliki kesalehan secara ritual tetapi juga mampu memiliki
kesalehan sosial. Kesalehan sosial inilah yang kemudian harus terus
41 Eko Prasetyo, op. cit., hlm. 69. 42 ibid., hlm, 92. 43 Abu Asma Anshari dkk, Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus, Refleksi 61 Tahun K.H.A.
Mustofa Bisri, (Semarang: HMT Foundation, 2005), hlm. 188. 44 Namun pemikiran tersebut masih menjadi pro kontra “apakah seseorang atau peserta
didik menjadi muslim karena petunjuk (hudan) Allah atau karena peran pendidikan?” baca Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 56.
26
diupayakan untuk menciptakan masyarakat yang memiliki pola relasi yang
berkeadilan.
Pendidikan Islam merupakan media dakwah untuk menyampaikan
amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga para cendekiawan Islam harus memiliki
gagasan-gagasan yang senantiasa berpihak pada kaum atau lapisan masyarakat
yang didzalimi. Demikian juga pendidikan Islam semestinya memiliki
landasan pengajaran yang selalu memberikan pengetahuan bahwa mencari
ilmu tidak sekedar ibadah tetapi memiliki konskekuensi untuk membawa
nilai-nilai perubahan dalam masyarakat.
Menuju ke penciptaan kesalehan sosial sebagai upaya terciptanya
masyarakat yang berlandaskan nilai persamaan dan keadilan juga sebagai
upaya mencipatakan kemaslahatan umat. Dalam terminologi Islam, keadilan
adalah antitesis dari kezaliman dan kesewenang-wenangan. Dalam kisah
perjalanan Rasul, Abdurrahman asy Syarqowi menuturkan dalam buku roman
sejarah Muhammad bahwa sangat sedih hati Muhammad melihat ketimpangan
dan intimidasi. Sekumpulan budak-budak digiring seperti kambing, manusia
dimiliki oleh manusia lainnya. Orang-orang yang lemah dalam cengkraman
para saudagar serta masih banyak lagi penggambaran kehidupan sosial di
Makkah dan sekitarnya yang tidak beradab.45
Keadilan dalam Islam adalah ketentuan yang wajib, dan salah satu
unsur penting kehidupan sosial dan kemanusiaan. Ia tidak semata “hak” dari
sekalian hak yang pemiliknya dapat merelakannya jika ia mau, atau ia tidak
perhatikan dengan sengaja tanpa mendapat celaan dan dosa. Namun ia adalah
ketentuan yang wajib yang ditetapkan oleh Allah swt bagi semua manusia
tanpa pengecualian. Sehingga di jadikan al’adlu ‘keadilan’ sebagai salah satu
nama dari nama-namanya yang indah (Asma’ul Husna).46
Dalam al-Qur’an surat asy-Syuura: 15, Allah memerintahkan untuk
berlaku adil.
45 Secara lengkap baca Abdurrahman asy Syarqowi, Roman Sejarah; Muhammad Sang
Pembebas, judul asli Muhammad Rasulul Hurriyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) 46 Muhammad Imaroh, Islam dan Keamanan Sosial, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998),
hlm. 116.
27
فلذلك فادع واستقم كما أمرت ولا تتبع أهواءهم وقل آمنت بما أنزل الله من
)15: الشورى ....(كتاب وأمرت لأعدل بينكم
“Maka, karena itu serulah mereka kepada agama itu dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, dan katakanlah: ‘aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kamu…”47
Untuk mewujudkan transformasi sosial juga harus memperhatikan
nilai persamaan. Persamaan adalah kesamaan dalam kedudukan sosial, di
depan hukum, dalam menanggung beban responsibilitas dan dalam
mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri di tengah
masyarakat, dalam kadar yang setara di antara seluruh anggota masyarakat.
Sementara dalam terminologi Arab kata sama adalah sawa (nusawwiya) itu
menunjukkan makna keseimbangan dan keadilan.48
Mengenai ajaran persamaan, di dalam al-Qur’an surat an-Nisa' ayat 1
dijelaskan mengenai realitas penciptaan manusia yang sebenarnya adalah
sama atau satu.
يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث
)1: النساء ....(منهما رجاال كثريا ونساء
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…” (Q.S. an-Nisa’: 1)49
Sementara Dr. Fuad Abdul Mun’im Ahmad50 menerangkan bahwa
sawa atau al-musawah secara etimologi berarti; املماثلـة و املعادللـة (sama dan
seimbang) sementara secara terminologis berarti;
47 Al-Qur’an wa Tarjamatu Maanihi ilal Lughotil Indonesia, op. cit., hlm. 785-786. 48 Muhammad Imaroh, op. cit., hlm. 120. 49 Al-Qur’an wa Tarjamatu Maanihi ilal Lughotil Indonesia, op. cit., hlm. 114. 50 Fu’ad abdul Mun’im Ahmad, Ushulun Nidhomil Hukmi fil Islam ma’a Bayani Tathbiq
fil Mamlakah al-‘Arabiyah Assa’udiyah, (Arab Saudi: Muassasah Sabab al-Jami’ah, 1991 M/ 1411 H).
28
ان مجيع االفراد امام شرع اهللا سواء دون متييز بينهم بسبب االصل او االجنس
والتحمل بااللتزامات وادا ئهااواللغة اواملركز االجتماعي فىاكتساب احلقوق
(terjemahan bebasnya adalah, sesungguhnya seluruh pribadi manusia di depan
syariat Allah adalah sama, bukan perbedaan di antara mereka disebabkan oleh
asalnya (keturunan) atau jenisnya (ras atau kelamin) atau bahasa atau daerah
dalam memperoleh hak-hak dan berkumpul dalam kewajiban dan larangan)
yang mencakup persamaan antara yang kaya dan yang miskin kesamaan ,االخوةاال سالمية persaudaraan Islam المساوة بين الفقراء والمساآين
perintah bagi semua manusia وحد ة التكا ليف للجميع.
Persamaan dalam pandangan Islam adalah kesamaan dan kesetaraan
utuh di depan hukum dan kesamaan secara penuh dalam mendapatkan
kesempatan, serta keseimbangan antara orang-orang yang berbeda-beda
bagiannya dari kesempatan yang terbuka bagi seluruh orang itu. Dan Islam
dalam memandang segala fenomena kemasyarakatan tersebut senantiasa
mendasarkan pada prinsip kemaslahatan.
Kemaslahatan dalam perspektif Islam—dari al-Ghazali—adalah
mengambil manfaat dan menolak kemudharatan (dampak negatif) dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syarak. Adapun tujuan syarak yang harus
dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.51 Sehingga bisa disimpulkan bahwa orang yang
melakukan sesuatu untuk memelihara kelima aspek tersebut, maka
perbuatannya dinamakan maslahat. Disamping itu, upaya untuk menolak
segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima tujuan syarak
tersebut juga disebut maslahat.
51 Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999) cet 3, hlm. 1143-
1144.
29
Kemaslahatan tersebut adalah untuk mencapai aturan hidup yang baik,
dan aturan hidup dalam Islam menurut Aabid Taufiq al-Hashimy52 adalah;
ما اختطه اهللا تعاىل لالنسان يف افاق احلياة الروحية واخللقية واالجتماعية واال قتصادية والسياسية والتربوية مبا انزله ىف كتابه الكرمي وشرح رسوله
ىف احلديث واجتهاد العلماء واملفسرين
(terjemahan bebasnya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah bagi
manusia dalam bidang-bidang kehidupan seperti kejiwaan, penciptaan,
kemasyarakatan, ekonomi, politik dan pendidikan, sebagaimana yang
dijelaskan Allah dalam al-Qur’an dan penjelasan Rasulullah dalam hadis serta
ijtihad para ulama dan ahli tafsir).
Jadi, perubahan sosial atau transformasi sosial yang diharapkan dalam
pendidikan Islam adalah perubahan yang membawa misi kemaslahatan ummat
dengan rumusan yang telah ada di dalam al-Qur’an, hadis dan hasil ijtihad dan
penafsiran para ulama’. Ketika muncul perubahan dalam kehidupan
masyarakat yang memunculkan ketidakadilan, ketidakseimbangan dan
perbudakan maka pendidikan Islam harus menentang kenyataan sosial yang
seperti itu. Kenyataan sosial yang ada harus senantiasa dibaca dan dikritisi
untuk menjaga agar nilai-nilai keadilan selalu tertanam dalam kehidupan
masyarakat.
52 Aabid Taufiq al-Hashimy, Thuruqu Tadris al-Din, (Baghdad: Muassasah Risalah, 1981
M/ 1401 H), hlm. 259.