Upload
trinhnga
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
75
BAB III
Hasil Penelitian dan Analisis
A. Hasil Penelitian
1. Kasus-kasus Kecil yang Dijatuhi Vonis oleh Hakim
Akhir-akhir ini dunia hukum diperhadapkan dengan realita putusan
pengadilan yang mengadili kasus-kasus pidana yang sifatnya kecil, kasus
pencurian kakao, sandal, kayu, dan piring mengundang keprihatinan banyak
pihak. Bagaimana tidak, acap kali penegak hukum terlihat “garang” ketika
menangani kasus seperti ini, ketimbang menangani kasus-kasus besar yang
melibatkan pejabat, perusahaan,atau aparat pemerintahan. Padahal, secara
ekonomis, kerugian yang diderita akibat tindak pidana tersebut tidak terlalu
signifikan dibanding dengan tindak pidana lain, seperti korupsi. Bahkan, kasus-
kasus kecil seperti ini, seharusnya dapat diupayakan perdamaian, sehingga tidak
sampai ke pengadilan. Pendapat seperti itu tidak hanya datang dari masyarakat
umum. Jaksa Agung Basrief Arief juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya,
kasus-kasus wong cilik seperti ini memang mengundang keprihatinan
masyarakat, termasuk aparat penegak hukum. “Untuk itu, ke depan, hal-hal
begitu tidak perlu ke pengadilan. Ini harus ada pengertian dari semua lini aparat
penegak hukum. Baik dari penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim,”
katanya, Jumat.1
1 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f2f6e043cf4d/kasus-kecil-diharapkan-tidak-
sampai-pengadilan di unggah Senin, 06 Pebruari 2012, dibaca 31-05-2017
76
“Selama ini kita selalu fokus pada penegakan hukum, tapi lupa
untuk menegakkan keadilan”.pernyataan yang dilontarkan oleh Antasari Azhar
ini kerap terjadi dalam proses dan dinamika hukum di Indonesia. Bahwa
penegakan hukum diteriakkan dengan keras namun hukum yang dimaksud tidak
lain adalah undang-undang.
Ada sebuah kasus yang menarik beberapa tahun silam yang mungkin
masih hangat sampai saat ini, Kisah seorang nenek tua bernama Minah ini
berawal dari pencurian tiga butir buah kakao seberat tiga kilogram di kebun
PT RSA 4 yang dituduhkan kepadanya. Saat itu Minah berkeinginan
menambah tanaman kakao miliknya yang berjumlah 200 batang sehingga
dia memetik tiga butir kakao di kebun PT RSA dan meletakkannya di atas
tanah. Akan tetapi, apa yang dilakukan Minah diketahui mandor PT RSA 4,
Tarno alias Nono. Dia pun menegur Minah dan menanyakan perihal kakao yang
dicurinya.
Minah pun mengatakan jika buah kakao yang dipetiknya akan
dijadikan bibit. Setelah mendengar penjelasan Minah, Tarno mengatakan,
kakao di kebun PT RSA 4 dilarang dipetik oleh masyarakat. Dia juga
menunjukkan papan peringatan yang terpasang pada jalan masuk perkebunan.
Dalam papan tersebut tertulis petikan Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, yang menyatakan bahwa setiap
orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga
mengganggu produksi usaha perkebunan. Minah yang buta huruf itupun
segera meminta maaf kepada Tarno sembari menyerahkan tiga butir buah
77
kakao tersebut untuk dibawa mandor itu. Kendati telah meminta maaf, dia
sama sekali tidak menyangka jika perbuatannya justru berujung ke pengadilan.
Akhir Agustus 2009, Minah dipanggil Kepolisian Sektor Ajibarang
untuk menjalani pemeriksaan terkait tiga butir buah kakao yang dipetiknya
di kebun PT RSA 4. Atas tuduhan tersebut, Minah dijerat Pasal 362 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman enam bulan penjara.
Dalam putusan hakim, Nenek Minah terbukti bersalah melanggar Pasal 362
KUHP yang berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah".
Jika melihat dari kacamata dogmatif-normatif, maka tidak dipungkiri bahwa
si nenek telah bersalah melanggar Undang-undang, dengan delik mengambil
barang orang lain, dengan maksud untuk dimiliki.
Lain hal dengan Nenek Mina, Nenek Rasmina yang diputuskan bebas
oleh PN Tangeran, ternya diputuskan bersalah oleh MA mencuri enam piring dan
barang lain milik mantan majikannya. MA pun mengganjar Rasminah hukuman
penjara 4 bulan 10 hari. Dan menetapkan masa penahanan yang telah dijalani
terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Namun, putusan ini
ternyata tidak bulat. Ketua Majelis Hakim, Artidjo Alkostar, menyatakan nenek
Rasminah tidak bersalah melakukan pencurian terhadap barang-barang milik
majikannya itu. Menurut Artidjo, alasan kasasi yang diajukan jaksa tidak dapat
dibenarkan, karena Pengadilan Negeri Tangerang telah menerapkan hukum
78
dengan benar, yaitu barang bukti di persidangan tidak semuanya berasal dari
majikan Rasminah. Selain itu, Artidjo juga menilai tidak ada unsur mengambil
barang milik orang lain. Artidjo menilai, jaksa juga tidak dapat membuktikan
bahwa putusan PN Tangerang tidak bebas murni. "Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka permohonan kasasi dari jaksa tidak dapat diterima," ujar Artidjo.
Namun apa daya, dua hakim lainnya bersikukuh Rasminah bersalah. Ia kalah
suara.
Suparman Marzuki mengatakan putusan kasasi tersebut juga menyesakkan
dada karena dari nilai kerugian dan jenis harta yang diambil, itu termasuk jenis
perkara yang tidak patut masuk pengadilan dan tidak patut dipersalahkan. Sejak
awal, keanehan tercium dalam kasus Rasminah. Ia ditangkap 5 Juni 2010, atas
tuduhan mencuri barang senilai Rp 300, 000, 000 (tiga ratus juta). Ia pun sempat
mendekam di sel selama empat bulan, di Polsek Ciputat dan di LP Wanita
Tangerang. Kasus ini pun menjadi perhatian publik, yang meminta ia dibebaskan.
Namun, bahkan pejabat selevel menteri pun, tak bisa berbuat banyak terhadap
kasus tersebut. "Kita tidak bisa intervensi sama sekali. Apalagi sudah di tangan
hakim. Saya yakin, hakim mempunyai rasa keadilan dalam memberikan
putusan," kata mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar,
di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Selasa 12 Oktober 2010.
Seharusnya menurut Patrialis, kasus seperti ini tidak perlu ada upaya penahanan.
Apalagi, melibatkan orangtua miskin seperti nenek Rasminah ini. "Yang saya
sayangkan, kenapa kasus kecil seperti ini orangnya harus ditahan," kata
79
Patrialis.2 Di Palu Hakim Pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah, Romel
Tampubolon memvonis AAL (15), seorang pelajar Sekolah Menengah Kejuruan
di Palu, terbukti mencuri sandal. Hakim tetap menyatakan AAL bersalah
walaupun berdasarkan fakta persidangan menunjukkan sandal jepit yang
diperkarakan oleh anggota polisi di Polda Sulawesi Tengah ternyata bukan milik
yang bersangkutan."Terlepas siapa pemilik sandal tersebut, tetapi terdakwa
terbukti mengambil sandal yang bukan miliknya," kata hakim Romel
Tampubolon pada sidang pembacaan putusan kasus sandal jepit itu, Rabu malam
(4/1).
Menurut hakim, tindakan terdakwa mengambil barang yang bukan
miliknya adalah unsur melawan hukum dari sebuah pencurian. Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) kecewa dengan putusan hakim. Sebab
walaupun tidak dihukum, namun di sisi lain hakim tetap menyatakan AAL
terbukti mencuri. kata Sofyan Farid Lembah dari Komnas PA Bidang Kapasitas
dan Jaringan Kelembagaan, di Palu, kejanggalan putusan hakim karena barang
bukti bukan milik saksi pelapor, namun hakim tetap memutuskan terdakwa
terbukti bersalah. Kalau tidak ada pemiliknya berati pelapor tidak dirugikan.
Dengan sendirinya gugur sebagai pelapor karena bukan miliknya. Seharusnya
dakwaan terhadap terdakwa digugurkan," katanya. Menurut Sofyan, dengan
mencap terdakwa sebagai orang yang mencuri berdasarkan keyakinan hakim,
2 http://fokus.news.viva.co.id/news/read/284443-rasminah-melawan-putusan-kasasi-ma.
(diposting Selasa, 31 Januari 2012 | 21:05 WIB- dibaca kamis, 1 juni 2017)
80
padahal barang bukti yang diambil tidak ada pemiliknya, sehingga bisa saja
dilakukan oleh orang lain.3
Pasutri Supriyono, 19, dan Sulastri, 19, terdakwa pencurian setandan
pisang divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro Jawa Timur 3,5
bulan pada Februari 2010. Peristiwa diatas terjadi saat suami istri tersebut,
karena merasa tidak punya makanan di rumah yang bisa dimakan, mereka
berboncengan motor mau mencari hutangan uang untuk membeli makanan, saat
melewati pekarangan tetangganya tergiur untuk mengambil setandan pisang dan
sialnya ketahuan oleh tetangganya tersebut, yang kemudian melaporkannya ke
kepolisian. Dalam kasus ini, sebenarnya bisakah kepolisian ataupun kejaksaaan
melepas si terdakwa, karena alasan kemanusiaan dan kecilnya barang yang
dicuri? Karena kalau melihat dari aspek keadilan sungguh ironis sekali hanya
mencuri setandan pisang, hukumannya 3,5 bulan.
Perbuatan-perbuatan tersebut memang memenuhi unsur pidana, dalam hal
ini pasal 362 KUHP, akan tetapi ada hal yang lebih penting dari terpenuhinya
unsur pidana dalam peraturan tersebut, hal tersebut adalah keadilan dalam
putusan pengadilan yang dijatuhkan. Semua orang ingin memiliki keadilan.
23 OKTOBER 2002 Hamdani bin Ijin, seorang buruh pabrik sandal PT
Osaga Mas Utama, divonis hukuman kurungan selama 2 bulan 24 hari oleh
Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Hamdani dituduh mencuri sandal bolong
milik perusahaan. Awal kasusnya, pada 4 September 2000, Hamdani hendak
3 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f0486c16639d/terdakwa,(diunggah Kamis, 05
Januari 2012- dibaca kamis 1 Juni 2017)
81
menjalankan salat Asar. Seperti biasanya, Hamdani bersama rekan buruh lainnya
secara bergantian menggunakan sandal apkiran, yang tersimpan di sebuah
gudang, untuk mengambil air wudu. Anehnya, manajemen pabrik melaporkan
Hamdani kepada Kepolisian Sektor Jatiuwung, Tangerang dengan tuduhan
mencuri. Padahal kebiasaan meminjam sandal sebelum salat juga kerap
dilakukan karyawan di pabrik itu. Selama ini Hamdani dikenal sebagai pengurus
serikat buruh di Karya Utama dan aktif memperjuangkan hak-hak karyawan di
pabrik sandal yang terletak di Kilometer 5 kawasan Tangerang, Banten.
Kasus pencurian dua ekor ayam atas nama Arman. putusan no. 1104
K/Pid/2010. Kasus pencurian hasil hutan (kayu) atas nama Doni Setyo Jatmiko.
No putusa perkara, 132/Pid.sus/2011/PN.MLG. kasus pencurian kayu bakar
dengan putusan no 2615 K/Pid.Sus/201. Atas nama Muhammd Mufid.
2. Tanggung Jawab Negara Terhadap Kesejahteraan Rakyat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34
“ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.4
Ayat (2) Negara mengembangkan sistem sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dab tidak mampu sesuai dengan
martabak kemanusiaan.5 Melihat pada pasal ini maka sudah seharusnya kasus-
kasus kecil seperti ini tidak dipebolehkan sampai pada meja hijau, negara
memiliki peran penting dalam mensjahterakan rakyat, kasus kasus kecil diatas
dilakukan oleh orang-orang miskis yang hanya untuk berthan hidup atau untuk
4 Lihat Pasal 34 ayat 1 UUD 1945
5 Ibid,.ayat 2
82
memiliki sesuatu yang sebtulnya tidak bernilai yang besar, orang-orang miskin
yang melakukan perbuatan tersebut hanya ingin diperlakukan adil secara sosial
dan ekonomi.
Keadilan sosial sudah dijamin dan tertuang secara eksplisit dalam
Pancasila yang disebut sebagai staats fundamental norm/ rechtsidee sekaligus
berfungsi sebagai norma dasar dalam keseluruhan peraturan hukum yang
berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Oleh sebab itu putusan yang dibuat
oleh hakim wajib menjiwai nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.
Pancasila yang merupakan norma fundamental dalam proses penegakan
hukum seharusnya menjadi guiding star dalam setiap putusan hakim, artinya
bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim tidak seharusnya hanya melihat
pada apa yang dikatakan oleh undang-undang saja tetapi hakim juga harus
menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam Pancasila. Hakekat dari norma
dasar adalah syarat bagi berlakunya suatu Kontitusi, norma dasar terlebih dahulu
ada sebelum adanya konstitusi atau Undang-undang Dasar.6 dalam sila ke-lima,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki cita hukum
(rechtsidee) bahwa keadilan yang dihadirkan oleh hukum Indonesia hendaknya
dapat diakses oleh seluruh lapisan masayarakat.7 Dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 34 ayat 1 “ fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara”.
6 Teguh Praseryo, Hukum Dan System Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa,
Yogyakarta, 2013, hal. 69. 7 Muhamad Erwin, Op.cit, hal. 384
83
Konsep keadilan sosial telah menjadi salah satu pemikiran filosofis
Soekarno. Keadilan sosial menurut Soekarno adalah suatu masyarakat atau sifat
suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada
penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Menurutnya keadilan
sosial haruslah lebih berorientasi pada kaum masyarakat kecil. Soekarno ingin
mencanangkan keadilan sosial sebagai warisan dan etika bangsa Indonesia yang
harus diraih. Upaya agar keadilan sosial dapat terwujud, maka keadilan sosial itu
harus dimulai dari hidup bermasyarakat.8
Moh, Hatta memberi masukan terkait dengan keadilan dan kesejahteraan
sosial secara lengkap sebagai berikut:
a. Orang Indonesia hidup dalam tolong menolong;
b. Tiap-tiap orang Indonesia berhak mendapat pekerjaan dan
mendapat penghidupan yang layak bagi manusia. Pemerintah
menanggung dasar hidup minimum bagi seseorang;
c. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, menurut dasar
kolektif;
d. Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak,
dikuasai oleh pemerintah
e. Tanah adalah kepunyaan masyarakat, orang-seorang berhak
memakai tanah sebanyak yang perlu baginya sekeluarga;
8 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial Dua Pemikiran Indonesia Soekarno dan Hatta, Jurnal Wacana,
Vol.2, No.1, 2000, hal. 108
84
f. Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang
lain;
g. Fakir miskin dipelihara oleh pemerintah.
Menurut Mahfud MD, keadilan sosial sebagaimana dimaksudkan dalam
sila ke lima Pancasila mempunyai makna, pendistribusian sumber daya ditujukan
untuk menciptakan kesejahteraan sosial terutama bagi kelompok masyarakat
terbawah atau masyarakat lemah sosial ekonominya.
selain itu keadilan sosial juga menghendaki upaya pemerataan sumber
daya agar kelompok masyarakat yang lemah dapat dienteskan dari kemiskinan
dan agar kesenjangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat dapat dikurangi,
dengan demikian distribusi sumber daya yang ada dapat dikatakan adil secara
sosial jika dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi kelompok yang miskin
sehingga tingkat kesenjangan sosial antar kelompok masyarakat dapat dikurangi.9
Orang miskin ditolak dari perlindungan hukum, institusi dan kebijakan
yang menyangkut bidang ekonomi, sosial dan politik. Kebanyakan orang
miskin tidak hidup dalam perlindungan hukum. Mereka tidak punya
kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan
hukum. Mereka tidak hanya terabaikan dari sistem hukum, tetapi sering malahan
ditindas oleh sistem hukum. Dengan demikian, lingkup kemiskinan haruslah
mencakup ketiadaan pengetahuan dan kesadaran hukum, mekanisme bantuan
dan dampingan hukum ketika mereka membutuhkannya, dan akses kepada
9 Moh, Mahfud, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandeman Konstitusi, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hal 10-11
85
proses politik pengambilan kebijakan di berbagai tingkat daerah dan pusat. Jika
orang miskin diberdayakan secara hukum, maka mereka mendapat
perlindungan hukum. Disinilah pentingnya untuk melihat keadialn sosial dari
perspektif hukum.
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam pancasila pada
prinsipnya menegaskan bahwa seyogyanya tidak aka ada kemiskinan dalam
Indonesia merdeka. Indonesia harus memiliki keadilan sosial (keadilan
ekonomi). Indonesia harus memiliki keadilan kehidupan yang adil dan makmur
bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara khusus, keadilan sosial dalam sila kelima
Pancasila menekankan prinsip keadilan dan kesejahteraan ekonomi, atau apa
yang dikatakan Soerkano sebagai prinsip sociale rechtvaardigheid. Sila kelima
merupakan perwujudan yang paling konkrit dari prinsip-prinsip Pancasila.10
Keadiln sosial secara umum menyangkut selururuh kebutuhan masyarkata, baik
jasmani maupun rohani.
Negara memiliki peran penting dalam perlindungan hukum kepada
mereka yang melakukan perbuatan melawan hukum yang hanya untuk bertahan
hidup, seperti kasus pencurian tiga biji kakao, 6 piring, sandal, pisang, dan sabun
yang dilakukan oleh orang-oang yang satatus sosialnya rendah atau miskin.
Kedudukan negara dijamin dalam Konstitusi Indonesia, yang mana pasal 34 ayat
(1) dan (2) menjelaskan secara explisit, bahwa fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara. Negara sudah seharusnya melindungi bahkan
menjamin kehidupan yang layak bagi orang-orang miskin.
10
Materi sosialisasi empat pilar MPR RI. hal 78-79
86
Setiap aparat kepolisian harus dapat mencerminkan kewibawaan negara
dan menunjukan disiplin yang tinggi dikarenakan polisi pada hakekatnya adalah
sebagai pengatur dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini sesuai dengan
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, Tentang Kepolosian Negara Republik
Indonesia. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta meberikan perlindungan
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharnya
keamanan dalam negeri, didalam pasal 13, disebutkan bahwa tugas pokok
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah;
a. Memelihara keamana dan ketertiban masyarakat
b. Menegakan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.
Tugas dan tanggung jawan polisi yang di atur didalam pasal 16 ayat (1)
dan (2) UU No 2 tahun 2002
Ayat (1)
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepadapenyidik dalam rangka
penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
87
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang
disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri
sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Ayat (2)
tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah
tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi
syarat sebagai beriku:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. Menghormati hak asasi manusia.11
Dari serangkaian tugas kepolisian, salah satu tugas yang mendap
perhatian adalah penegak hukum, sebagai penegak hukum polisi masuk dalam
jajaran Sistem Peradilan Pidana (SPP), sebagai salah satu sub sistem. Didalam
SPP polisi merupakan pintu gerbang bagi para pencari keadilan. Dari sinilah
segala sesuat dimulai, sebagai penyidik polisi harus melakukan penangkapan dan
bila perlu dilakuka penahanan, yang berarti polisi harus mempunyai dugaan yang
kuat bahwa orang tersebut adalah pelaku kejahatan. Satjipto Raharjo menyebut,
tugas kepolisian sebagai Multi Fungi, yaitu tidak sebagai polisi saja, tetapi juga
sebagai jaksa dan hakim sekaligus.12
11
Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 16,
Ayat (1) Dan (2) 12
Satjipto Raharjo, Study Kepolisian Indonesia: Metodologi Dan Subtansi, Makalah
Disampaikan Pada Symposium Nasional Polisi Indoensia, Diselenggarakan Oleh Pusat Studi
88
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang
melaksanakan kekuasaan negara, khususnya dibidang penuntutan. Penuntutan
yang dimaksud adalah tindakan jaksa untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwewenang dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim sebagai mana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 16
tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.13
Pada ayat 2 menyatakan
bahwa, kejakasaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-
undang.14
Kekuasaan tersebut dilaksanakan secara merdeka, artinya dalam
melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.15
Berdasarkan Undang-undang tersebut, kejaksaan sebagai salah satu
lembaga pengak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegahkan
supermasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan HAM, serta
pemberantasan KKN. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa
senangtiasa bertindak berdasarkan hukum, artinya selalu berpedoman pada asas
legalitas, namun juga wajib mengindahkan norma-norma agama, kesopanan dan
kesusilaan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidp dalam
masyarakat, dan juga menjaga kehormatan profesinya.16
Kepolisian FH UNDIP Bekerja Sama Dengan Akademi Kepolisian Negara (AKPO) Dan Mabes Polri
Semarang, 19-20 Juli 1993 13
Lihat, Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia 14
Lihat Pasal 2 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia 15
Rusli Muhammad, Op,cit., hal 20 16
Ibid., hal 21-22
89
Sudah seharusnya Polisi maupun Jaksa yang merupakan kaki tangan
negara memperhatikan apa yang diamanatkan oleh dasar negara dan konstitusi
Indonesia, yang mana kasus-kasus kecil seperti ini sudah seharusnya tidak
sampai pada tingkat pengadilan, sebab mereka mewakili negara untuk
melindungi secara hukum, jika kasus-kasus kecil seperti ini dilaporkan, maka
tugas negara adalah menyelesaikan, negara harus melindungi, negara harus
bertanggung jawab jika kasus-kasus seperti ini terjadi, negara harus mengakui
kegagalannya dalam memenuhi hak-hak masyarakat seperti yang tertuang dalam
pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Putusan pengadilan diyakini bisa memberikan rasa keadilan bagi pencari
keadilan, mewakili negara dalam memberikan keadilan, sudah sepatutnya hakim
mengamalkan Pancasila dan UUD sebagai landasan berpikir dalam memberikan
putusan, jika kasus-kasus seperti ini yang sudah barang tentu menggambarkan
kegagalan negara dalam menjalankan amanat konsitusi, maka hakim juga harus
bisa memberikan apa yang telah diperintahkan oleh Pancasila dan Konstitusi, jika
orang miskin yang melakukan pencurian hanya untuk makan dan bertahan hidup,
dan kemudian diputusan bersalah, maka Pancasila sebagai dasar negara dan UUD
sebagai payung bagi hukum di Indonesia tidak dipertimbangkan oleh hakim.
90
3. Kasus posisi Rasmina dan Nenek Minah: Pertimbangan Hakim Dalam
Proses Mengadili Perkara.
Kasus Posisi Rasmina Kasus Posisi Mina
Kasasi Nomor 653K/Pid.2011 diterima
MA pada 24 Januari 2011. Putusan MA
itu dibuat pada 31 Mei 2011 dengan amar
putusan mengabulkan permohonan kasasi
jaksa penuntut umum (JPU) Kejari
Tangerang dan membatalkan putusan PN
Tangerang 1364/Pid.B/2010/PN. TNG.
Bermula dari Rasmina yang bekerja
sebagai pembantu dirumah majikannya
Aysah di tangerang, ketika itu menurut
Rusmina, majikannya tersebut membrikan
kepada dia 6 piring, akan tetapi
dikemudian hari rasmina dilaporkan ke
kepolisian dengan tuduhan pencurian.
Rasmina mengaku bahwa piring tersebut
diberikan majikannya pada saat terjadi
banjir. bahwa piring tersebut diberikan
majikannya pada saat terjadi banjir.
Namun, begitu sampai di rumah
kontrakannya, Rasminah tidak jadi
memasak bahan-bahan olahan tersebut
menjadi sop buntut. Karena, ia melihat
bahan-bahan olahan tersebut sudah
kadaluarsa atau tidak layak
Putusan yang menjadi objek kajian
kali ini adalah putusan atas kasus
pencurian tiga buah kakao (cokelat) yang
dilakukan oleh seorang wanita tua
bernama Mina. Mina memetik tiga buah
cokelat yang ada di kebun itu, lalu
meletakkannya di tempat. “Inyong seq
teng kebon, enten kopi- coklat mateng
inyong pendhet digletakaken eng siti
(Saya di kebun, ada kakao matang saya
ambil dan diletakkan di tanah.)18
Tak lama berselang, lewat seorang
mandor perkebunan kakao PT RSA.
Mandor itu pun bertanya, siapa yang
memetik buah kakao itu. Dengan polos,
Mina mengaku hal itu perbuatannya,. 3
buah kakao yang dipetiknya pun dia
serahkan kepada mandor tersebut.
Sepekan kemudian, Min dipanggil dan
diperiksa polisi di Polsek Ajibarang.
Dari hasil pemeriksaan, polisi
menyimpulkan bahwa perbuatan Mina
sepenuhnya memenuhi unsur-unsur
yang disebutkan dalam Pasal 362 KUHP
18
Wawancara dilakukan oleh widodo dwi putro 10 Maret 2010
91
konsumsi.Enam buah piring dan bahan
olahan sop buntut itulah yang kemudian
dijadikan sebagai barang bukti oleh
Polsek Ciputat. Kemudian, Rasminah
ditahan selama dua bulan di Polsek
Ciputat dan dilakukan pemeriksaan.
"Namun, saya lupa kapan kejadian itu
terjadi, yang jelas itu bulan Juni 2010
kemarin," ungkapnya. Rasminah dituduh
melanggar Pasal 362 KUHP tentang
pencurian dengan hukuman penjara
maksimal lima tahun.
Rasminah pun harus menghuni sel
dingin di Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Tangerang. Dalam putusan kasasi
ini, satu orang anggota majelis kasasi,
Artidjo Alkostar, mengajukan beda
pendapat (dissenting opinion).17
yang secara legal-formal dikategorikan
sebagai tindak pidana pencurian.19
Tanpa
menyadari apa yang sebenarnya tengah
terjadi, Nenek Minah yang tak hanya
buta huruf, tetapi juga buta hukum, tanpa
didampingi pengacara Min mengiyakan
saja apa yang ditulis polisi dalam BAP-
nya dan apa yang ditulis jaksa dalam
surat dakwaannya. Min juga harus
menjalani tahanan rumah sehingga
sebagai petani ia tidak bisa lagi bekerja
ke ladangnya.
Mina dinyatakan hakim terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah.
Hakim menjatuhkan vonis pidana satu
bulan 15 hari, dengan masa percobaan
tiga bulan.20
Pertimbangan Hakim dalam kasus
Rasmina
Pertimbangan Hakim dalam kasus
Nenek Mina
Dalam memutuskan kasus Rasmina, MA
membatalkan putusan pegadilan Negeri
dengan alasan bahwa bukti-bukti
persidangan sudah jelas perbuatan
Rasmina melanggar hukum. Dengan
Berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan bahwa terdakwa Min pada
hari minggu, tanggal 2 Agustus 2009
sekitar pukul 13.00 WIB telah
mengambil 3 (tiga) buah kakao/ cokelat
17
http://www.gresnews.com/berita/hukum/205301-ma-hukum-nenek-rasminah-pencuri-piring-
4-bulan-10-hari/0/#sthash.WkxgRwhP.dpuf 19
URNAL YUDISIAL Vol-III/No-03/Desember/2010 hal 221 20
Ibid.,
92
menimbang.
Bahwa dalam kenyataannya ada barang-
barang berupa 1 (satu) buah piring
keramik merek Anchor Hocking,1(satu)
buah piring Geshen Kartikel, 2 (dua)
buah piring merek Royal Province,1(satu)
buah piring merek Taichi Cinadan 3
(tiga) buah piring kecil, Tempat
Tisu,1(satu) buah piring biasa,1(satu)
buah gelas,1(satu)buah mangkok, 1(satu)
buah Hairtonic Hadi Suwarno serta
shamponya, Baju Muslim, Sapu Tangan,
Listerin obat kumur,Force Magic dan 1
(satu) bungkus plastik daging buntut sapi
(yang telah diganti dengan foto) dan
beberapa pakaian bekas adalah
seluruhnya ditemukan di rumah
kontrakan Terdakwa dan benar
seluruhnya adalah barang-barang milik
majikannya (saksi Pelapor HJ. SITI
AISYAH MR SOEKARNO PUTRI)
yang telah diambil Terdakwa tanpa seijin
saksi Pelapor.
Bahwa Pemohon Kasasi/Jaksa/ Penuntut
Umum berhasil membuktikan bahwa
putusan judex facti (Pengadilan Negeri)
adalah putusan bebas tidak murni;
Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut
dengan cara memetik dari pohon pada
perkebunan PT. RSA dan hingga
tertangkap tangan oleh saksi mandor
Tarno Bin Sumanto dan saksi Rajiwan,
dan bagi Rasmina diakui bahwa
dimengambil bumbu masak. Berdasarkan
keterangan saksi- saksi yang
dihubungkan dengan petunjuk yang
diperkuat oleh keterangan terdakwa
dimuka persidangan maka diperoleh
fakta yang bersesuaian bahwa benar
terdakwa telah mengambil 3(tiga) buah
kakao atau coklat seluruhnya milik PT.
RSA bukan milik terdakwa Mina
Berdasarkan keterangan saksi-saksi,
terdakwa telah mengambil 3 (tiga) buah
kakao atau cokelat seberat +-3kg yang
seluruhnya milik PT. RSA dan
terdakwa mengambil barang tersebut
diatas tanpa ijin dan sepengetahuan
pemiliknya yaitu PT. RSA dengan
maksud akan dimiliki untuk bibit
tanaman dan perbuatan terdakwa tersebut
mengakibatkan PT. RSA menderita
kerugian sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh
ribu rupiah). Karena semua unsur-unsur
yang terkandung dalam pasal-pasal
362 KUHP telah terpenuhi, hakim
berkeyakinan bahwa terdakwa Mina
93
Mahkamah Agung berpendapat
Terdakwa terbukti telah bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam dakwaan Pemohon
Kasasi/Jaksa/ Penuntut Umum, oleh
karena itu Terdakwa harus dihukum;
dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dalam dakwaan,
melanggar pasal 362 KUHP karena
itu terdakwa harus dihukum sesuai
dengan perbuatannya tersebut.21
Dalam pertimbangan hakim di atas ditemukan bahwa unsur perbuatan
pidanalah yang dicari, sejatinya dalam putusan hakim, ia harus melihat kepada,
landasan filosofis, sosiologis, yuridis ke tiga landasan ini sudah seharusnya dimuat
dalam mempertimbangkan perbuatan Mina dan Rasmina oleh hakim, jika dilihat dari
lasndasan yuridis, maka Nenek Mina dan Rasmina telah melakukan perbuatan
pidana, dan perbuatan mereka telah memenuhi unsure pidana yang termuat dalam
pasal 362 KUHP, sementara lasndasan folosofis dan sosiologis terabaikan. Nilai
materil yang dirugikan oleh perbuatan mereka pun tidak besar, hal ini berbanding
terbalik dengan apa yang mereka pertanggung jawabkan.
4. Landasan Filosofis.
Hakim perlu melihat hal diluar dari undang-undang itu sendiri, nenek Mina
dan Nenek Rasmina merupakan orang miskin yang tidak tau apa-apa tentang
hukum, sudah seharusnya hakim sebagai abdi negara juga melihat hal ini,
Pancasila sebagai dasar negara menginginkan keadilan sosia bagi seluruh Rakyat
21
Ibid., Hal 223-225
94
Indonesia, akan tetapi ada yang untuk makan saja dia harus mencuri, Nenek mina
dan Rasmina sudah seharusnya dibebaskan, sebab negara dianggap gagal
memenuhi kebutuhan mereka.
Pancasila dan Alinea kedua Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung
jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan
umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kata melindungi disini mempunyai pengertian yang sangat jelas, haruslah orang-
orang seperti Mina dan Rasmina ini dilindungi oleh negara, fungsi negera harus
terwujud kepada orang-orang seperti ini.
Dalam pasal 34 UUD 1945, negara memberikan jaminan kepada orang-
orang seperti ini, orang miskin dipelihara oleh negara, pelihara bukan dalam hal
kebutuhan pokok saja, akan tetapi perlindungan hukum pun perlu diberikan
kepada mereka, Hakim sudah seharusnya menjadikan Pancasila sebagai dasar
dalam mengambil dan memutuskan suatu perkara, Keadilan sosial berarti suatu
hirarkhi, bahwa keadilan untuk rakyat banyak dan lebih penting dibandingkan
kedilan untuk kelompok tertentu. Seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa keadilan
sosial berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, dimanapun tanpa terkecuali. Tidak
boleh ada diskriminasi keadilan terhadap siapapun, terhadap kelompok manapun,
juga terhadap minoritas. Diskriminasi akan memicu perpecahan dalam masyarakat,
yang bisa menggerus nilai-nilai luhur yang dimiliki rakyat Indonesia sejak dahulu.
95
Pancasila yang merupakan fundamental norma dalam proses penegakan
hukum seharusnya menjadi guiding star dalam setiap putusan hakim, artinya
bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim tidak seharusnya hanya melihat
pada apa yang dikatakan oleh undang-undang saja tetapi hakim juga harus
menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam pancasila. Hakekat dari norma dasar
adalah syarat bagi berlakunya suatu kontitusi, norma dasar terlebih dahulu ada
sebelum adanya konstitusi atau Undang-undang Dasar.22
Sila ke-lima (5) Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang memiliki cita hukum (Rechtsidee)
bahwa keadilan yang dihadirkan oleh hukum Indonesia hendaknya dapat diakses
oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.23
Tujuan hukum adalah keadilan,
kemanfaatan dan kepastian, idealnya hukum memang harus mengakomodasikan
ketiganya. Putusan hakim merupkan hukum. Oleh sebab itu pentingnya landasan
filosofis bagi hakim sangat munjunjung meraka dalam memberikan keadilan bagi
pencari keadilan. Undang-undang memberikan kewenangan bagi hakim dalam
menemukan hukum. Jadi tidaklah salah apabila hakim memutuskan dengan
pertimbangan status sosial dari kedua nenek ini.
Mina yang disidang tanpa didampingi pengacara mengaku tidak tahu liku-
liku acara pengadilan, dengan prosedur-prosedur yang diatur secara formal
dalam bahasa Indonesia yang sepanjang hidup tinggal di desa dan hanya
,menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Yang dipikirkan
22
Teguh Praseryo, Hukum Dan System Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa,
Yogyakarta, 2013, hal 69. 23
Erwin Muhamad, Filsafat Hukum, Op.cit., hal 123
96
hanyalah bagaimana kasusnya cepat selesai. Karena jika tidak, ia harus pulang-
pergi dari rumah ke kantor jaksa dan kantor pengadilan berjarak 40 kilometer,
sehingga terpaksa mengutang uang angkot dan ojek Rp. 50 ribu kepada tetangga
setiap kali menjalani pemeriksaan.
Melihat biaya transportasi tersebut, maka pertanyaan yang timbul, apakah
perbuatan Mina tersebut merugikan orang lain?, mina yang miskin karena ingin
mematuhi hukum yang berlaku maka dia harus mengutang pada tetangganya, lalu
diamana kedudukan negara? Yang sudah mestinya menjamin hal-hal seperti ini,
sudah seharusnya jaksa dapat berpean aktif pada saat menghadirkan Mina ke
pengadilan, maka jaksa sudah harus menanggung beban pulang pergi Mina ke
Kampungnya, oleh sebab itu diperlukan hakim dapat melihat hal-hal seperti ini,
apakah sebuah kasus itu layak diputuskan hanya dengan mempertimbangkan
factor yuridis saja.
5. Politik Hukum.
Posisi Norma Sanksi Pidana dalam Undang-Undang
Sejatinya, masalah sanksi menjadi isu penting dalam hukum pidana karena
dipandang sebagai pencerminan sebuah norma dan kaidah yang mengandung tata
nilai yang ada di dalam sebuah masyarakat. Adanya pengaturan dan penjatuhan
sanksi muncul akibat adanya reaksi dan kebutuhan masyarakat terhadap
pelanggaran/kejahatan yang terjadi. Untuk itu, Negara sebagai perwakilan dari
masyarakat menggunakan kewenangannya dalam mengatasi permasalahannya
melalui kebijakan pidana (criminal policy). Salah satu kebijakan pidana yang
97
digunakan Negara adalah pemberian sanksi pidana melalui undang-undang.
Namun dalam pelaksanaannya penetapan sanksi pidana melalui undang-undang
sekarang ini lebih digunakan sebagai primum remedium daripada sebagai ultimum
remedium. Hal ini dapat dilihat dari beberapa undang-undang yang ada dimana
hampir sebagian besar undang-undang mencantumkan sanksi pidana.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum yang berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia dalam penegakannya harus memperhatikan 3 (tiga)
unsur fundamental hukum, antara lain: kepastian hukum (Rechtssicherheit),
kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Oleh karena itu, dalam
menentukan pemberian sanksi pidana dalam suatu undang-undang perlu
memperhatikan ketiga unsur fundamental hukum tersebut karena pada dasarnya
itulah yang menjadi hakikat dari tujuan hukum.
Dalam undang-undang lainnya, konstruksi norma sanksi pidana dalam bagian
Ketentuan Pidana dalam sebuah Undang-undang dari perspektif penafsiran
sistematis, sanksi pidana selalu ditempatkan lebih dahulu ketimbang sanksi
administratif maupun sanksi denda. Misalnya dalam ketentuan Pasal 104 UU
Perdagangan, pada frasa,”pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun) dan/atau denda
paling banyak Rp.5000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Selain itu frasa “dan/atau”
memuat makna kumulatif dan alternatif. Artinya dapat dijatuhi pidana penjara saja,
pidana denda saja, atau bahkan keduanya.
98
Penerapan sanksi hukum pidana juga tidak selalu menyelesaikan masalah
karena ternyata dengan sanksi pidana tidak terjadi pemulihan keadilan yang
rusak oleh suatu perbuatan pidana. Oleh karena itu konsep keadilan restoratif perlu
menjadi pertimbangan dalam pemulihan keadilan terhadap suatu tindakan pidana.24
Konsepsi hukum pidana menempatkan hukum pidana sebagai ultimum
remedium. Suatu perbuatan yang pada dasarnya bukan merupakan suatu tindak
pidana, sepatutnya tidak dijatuhi sanksi pidana. Sanksi denda ataupun sanksi
administratif merupakan solusi tepat agar kedudukan hukum pidana tetap sebagai
ultimum remedium dan bukan menjadi primum remedium. Artinya penetapan suatu
perbuatan itu dikategorikan suatu tindak pidana, maka perlu dilihat terlebih dahulu
apakah perbuatan itu merupakan mala in se25
atau mala prohibita26
. Jika perbuatan
itu termasuk kategori mala prohibita, maka penetapan status sebagai perbuatan
pidana merupakan politik hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-
undang. Dengan demikian dalam membuat suatu produk hukum, konsepsi hukum
pidana sebagai ultimum remedium dan konsepsi mala in se dan mala prohibita,
24
Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015 25
Mala in se atau malum in se atau biasa disebut mala per se berasal dari bahasa latin yaitu
suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat bukan karena diatur demikian atau dilarang
hukum positif atau Undang-Undang (UU), melainkan pada dasarnya perbuatan tersebut bertentangan
dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat yang beradab. Artinya tanpa sebuah UU
menentukan perbuatan tersebut sebagai kejahatan atau delik, perbuatan tersebut merupakan kejahatan
yang natural. Dalam terminologi bahasa Inggris disebut natural crime. Mala in se adalah “acts wrong
in themselves/ acts morally wrong/offenses against conscience”. 26
Mala prohibita atau malum prohibitum, mengacu kepada perbuatan yang tergolong kejahatan
karena diatur demikian oleh hukum positif atau oleh Undang-Undang. Mala prohibita merupakan “
acts wrong because they are prohibited/prphibited wrongs or offenses/ acts which are made offenses by
positive laws”. Pada umumnya mala in prohibita dirumuskan tanpa mensyaratkan niat jahat (mens rea)
pelakunya.
99
dan konsepsi hak asasi manusia harus menjadi pertimbangan dalam membuat produk
hukum yang humanis.
Pencantuman sanksi pidana dalam suatu undang-undang bukanlah suatu
kewajiban atau keharusan seperti yang selama ini terjadi. Pencantuman sanksi pidana
hampir di setiap Undang-undang atau menjadikan sanksi pidana sebagai primum
remedium merupakan pandangan keliru yang sebaiknya mulai diperbaiki. Selain
dipandang tidak efektif, perlu diingat kembali bahwa seiring dengan perkembangan
zaman dan perubahan sosial yang dinamis, pemikiran-pemikiran yang berasal dari
teori absolut atau teori relatif sudah tidak sesuai dengan keadaan Negara Indonesia
sekarang. Untuk itu, hendaknya Indonesia sudah meninggalkan pemikiran-pemikiran
aliran klasik dan mulai menerapkan hukum pidana modern yang lebih sesuai dengan
perkembangan zaman.
Idealnya, pencantuman sanksi pidana dalam Undang-undang mengacu
pada prinsip ultimum remedium, yakni penggunaan sanksi pidana merupakan sarana
terakhir dalam mengatasi masalah kejahatan di masyarakat. Untuk itu pembentuk
Undang-undang perlu menyadari bahwa dalam pencantuman sanksi pidana dalam
Undang-undang diperlukan rasionalitas dan proporsionalitas. Rasionalitas maksudnya
yaitu hanya dapat diberikan dengan alasan yang dapat dibenarkan. Sementara itu
proporsionalitas yaitu pemberian sanksi pidana perlu diseimbangkan dengan
kebutuhan Negara dalam rangka menjaga, melindungi dan mempertahankan
100
ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Menyitir pendapat Bassioni27
Dalam
buku Teguh Prasetyo, pidana hanya dapat dibenarkan apabila ada kebutuhan yang
bermanfaat bagi masyarakat dan sebaliknya pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat
dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat.
Dalam kasus Minah dan Rasmina, maka sudah seharusnya hakim
mempertimbangkan asas keadilan dan asas kemanfataan juga, Mina dan Rasmina
merupakan orang miskin yang buta hukum, dan membutuhkan perlindungan negara,
jika orang miskin sperti mereka dipidanakan hanya dengan mempertimbangkan
Undang-undang semata, maka keadilan sebagai tujuan dari hukum akan sulit dicapai,
pemidanaan sudah seharusnya dijadikan sebagai titik akhir, bukan langkah awal
dalam kasus ini, pada saat mereka dipanggil ke kantor polisi, itu sudah merupakan
sanksi terberat bagi mereka.
B. Analisis
1. Kedudukan hakim dalam Sistem peradilan Pidana
a. Pengertian sistem peradilan pidana
Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dikenal di Indonesia sebenarnya
merupakan terjemahan sekaligus penjelmahan dari “Crimanl Justice System”.
Untuk pertama kalinya istilah ini diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan
parah ahli dalam Crimanl Justice Science karena ketidak puasaan terhadap
mekanisme kerja aperatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum
yang dibuktikan dengan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada
27
Teguh Prasetyo., Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media,2011, hal 47.
101
tahun 1960-an. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System
diartikan sebagai ”the network of court and tribunals which deal with criminal
law and it’s enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu
pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada
fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan
semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan
lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut dengan
membangun suatu jaringan.
Menurut Neil C. Chalin, pada mulanya di Amerika Serikat komponen
SPP hanyalah terdiri atas, Polisi, Pengadilan dan Lembag Permasyarakatan
yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan yang timbul didalam tata
kehidupan mayarakat pada tingkat local government. Ia menyatakan:
“Basically the American Criminal Justice System is composed of
police, Courts and corrections in local, state and Federal levels. These
criminal justice component function separately and together with
majority of activities accuring at the local level of government ( City
and Country)”.28
(Pada dasarnya Sistem Peradilan Pidana Amerika
terdiri dari polisi, Pengadilan dan koreksi di tingkat lokal, negara
bagian dan federal. Komponen peradilan pidana ini berfungsi secara
terpisah dan bersamaan dengan sebagian besar kegiatan yang
dilakukan di tingkat pemerintah daerah (Kota dan Negara).
28
Neil C. Chalin Et.Al., Introduction To Criminal Justice, New Jersey; Pretince-Hall, 1975, hal
1
102
Dalam kurung waktu akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970,
criminal justice sebagai disiplin studi tersendiri telah menggerser posisi law
enforcement atau police studies, yang di Amerika Serikat dan beberapa negara
Eropa menjadi model dominan dengan menitikberatkan pada the
administration of justice dan memberikan perhatian yang sama terhadap
semua komponen dalam penegakan.29
Pendekatan yang dipergunakan dalam
penegakan hukum adalah pendekatakn hukum dan ketertiban (law and order
approach). Adapun penegakan hukum dalam konteks pendekatannya dikenal
dengan istilah law enforcemen.30
Yang mengedepankan aspek hukum dalam
melakukan penanggualngan kejahatan dengan kepolisian sebagai pendukung
utama. Efektivitas maupun efesiensi kerja organisasi kepolisian sangat
menentukan berhasil atau tidaknya penanggulanga kejahatan, karena dalam
praktiknya, pihak kepolisian banyak dihadapkan pada berbagai kendala, baik
yang bersifat operasional maupun prosedur-legal.31
salah satu dari tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban
masyarakat, salah satu unsur untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat
adalah adanya penegakan hukum atau peradilan yang bebas, mandiri, adil, dan
konsisten dalam melaksanakan atau menerapakan peraturan hukum yang ada
dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu struktur badan yang
29
Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik Hukum Acara Pidana Khusus,
Cv Pustaka Setia, Bandung, 2016, hal 285 30
Romli Atmasadmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionism,
Binacipta, Bandung, 1996, hal 7 31
Indrianto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara Konsultan Hukum
Prof, Umar Seno Adji Dan Rekan, Jakarta, 2001, hal 4
103
mandiri (pengadilan).32
Struktur lembaga-lembaga SPP yang terbentuk
sebagai suatu tata urutan mulai penyidikan, penuntutan, pengadilan dan
lembaga Permasyarakatan, menunjukan bahawa SPP terangkai dalam unsur-
unsur (sub) yang mempunyai peran masing-masing secara utuh untuk
menunjukan adanya mata rantai yang terpadu untuk memperoleh tujuan akhir,
oleh karena itu kegiatan salah satu unsur tersebut hanya merupakan tahapan
atau bagian dari kegiatan yang utuh untuk mencapai tujuan bersama.33
Dalam perkembangan SPP di Indonesia mengalami perluasan arti dan
tujuannya, dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa SPP (criminal
justice sistem) adalah operasionalisasi atau sistem yang bertujuan untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
yang dapat diterima.34
Norval Morris Menyatakan:
The Criminal Justice System is best seen as a crime containment
system, one of the methods thad society uses to keep crime at whatever
level each particular culture is willing to acep. But, to a degree, the
criminal justice system is also involved in the secondary prevention of
crime, that is to say, in trying to reduka criminality among those who
have been convicted of crimes and trying by deterrent processe os
detections, conviction, and punishment to reduce the commission of
crime by those who are so minded and so acculturated.35
(Sistem Peradilan Pidana paling baik dipandang sebagai sistem
penahanan kejahatan, salah satu metode yang digunakan masyarakat
untuk menjaga kejahatan pada tingkat apapun yang diinginkan setiap
budaya tertentu. Namun, sampai pada tingkat tertentu, sistem peradilan
pidana juga terlibat dalam pencegahan kejahatan sekunder, artinya
32
Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik………Op Cit., hal 286 33
Ibid. 34
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Di Inonedia (Pran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan, HAM Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan Dan
Pengabdian Hukum UI, 1994, hal 84-85 35
UNAFEI, Criminal Justice System, The Reguest For An Integrated Approach, UNAFEI,
1982, hal 5
104
mencoba mengulang kejahatan di antara mereka yang telah dihukum
karena melakukan kejahatan dan berusaha melakukan deteksi,
penghukuman, dan hukuman pencegahan. Mengurangi komisi
kejahatan oleh mereka yang begitu berpikiran dan berakulturasi).
Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan
dan dikeluhkan masyrakat dapat diselesaikan dengan diajukan ke pengadilan
dan menerima sanksi, selain itu juga termasuk bagian tugas sistem adalah:
1) Mencegah masyarakt menjadi korban kejahatan;
2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadlan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana
3) Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan untuk
tidak mengulangi lagi perbuatannya. 36
Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) dapat dalihat dari elemen kata yang melekat dalam sistem peradilan
pidana tersebut;
“Sistem berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan
ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang
merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem,
makna susunan ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu
keteraturan dan penataan yang hierarkis dan sistematis pada suatu sistem”
Samodra Wibawa mengemukakan bawa sistem merupakan hubungan
antara beberapa unsur, dan unsur yang satu bergantung pada unsur lain.
36
Mardjino Reksodiputro, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka
Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1994, Lihat Juga Mardjono R, Sistem Peradilan
Pidana, hal 84-85
105
Apabila salah satu unsure hilang, sistem tidak dapat berfungsi.37
Memperhatikan dasar pemahaman tersebut. Maka SPP tidak hanya berbicara
tentang putusan lembaga peradilan di dalam memberikan sanksi pidana,
tetapi lebih dari itu, yaitu berbicara tentang persoalan mekanisme ataupun
menajemen dari bekerjanya pengadilan tersebut, untuk melahirkan suatu
keputusan yang adil.38
Dengan demikian dapat pula dikemukan bahwa
Sistem Peradilan Pidana merupakan mekanisme dan/atau manajemen proses
peradilan (justice Processes) dalam melahirkan suatu keputusan dan dalam
menjatuhkan sanksi pidana.39
Muladi juga berpendapat bahwa, Sistem Peradilan Pidana merupakan
suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum
pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, namun jika sifat yang
terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja
akan membawa bencana berupa ketidakadilan.40
Menurut Romli
Atmasasmita; apabila SPP diartikan sebagai alat penegakan hukum atau law
Enforcement, didalamnya harus mengandung aspek hukum yang
menitikberatkan pada operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam
upaya menanggulangi kejahatan untuk mencapai kepastian hukum.41
SPP
didalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem pendukungnya, yakni
37
Samodra Wibawa, Kebijakan Public, (Proses Dan Analisis), Jakarta, Intermedia, 1994, hal
50-51 38
Romli Atmasamira, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksestensialisme Dan Abolisionism,
Bandung, Bina Cipta, 1996, hal 38 39
Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik………Op Cit., hal 287 40
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP. UNDIP, 1995, hal 1-2 41
Romli, Op Cit, hal 15
106
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga Permasyarakatan, yang
secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan (totalitas) berusahan
mentransformasikan masukan menjadi luaran yang menjadi tujuan SPP
yaitu, menangulangi kejahatan atau mengandalikan terjadinya kejahatan agar
berada dalam batas-batas teleransi yang dapat diterima masyarakat.42
b. Tujuan Sistem peradilan Pidana.
Dari beberapa pengertian sistem peradilan pidana sebegaimana yang
telah penulis paparkan terkait dengan istilah Sistem Peradilan Pidana, pada
dasarnya dapat diketahui tujuan dari Sistem Peradilan Pidana Pidana,
walaupun masih terdapat ahli hukum yang tida secara gamblang dan lugas
dalam menjelaskan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana. Mardjono
Reksodiputro menjelaskan secara terperinci terkait dengan tujuan Sistem
Peradilan Pidana, Yaitu;
1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah
dipidanakan;
3) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatannya.43
Begitupun, sebagai mana diungkapkan oleh Romli Atmasasmita. Bahwa
tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah terciptanya mekanisme kerja antar
masing-masing sub-sistem untuk terciptanya tolok ukur kerbahasilan dalam
42
Rusli Muhammad, Sistem Pradilan Pidana, Yogyakarta, UUI Pres, 2011, hal 13 43
Mardjono Reksodiputro, HAM Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan, Jakarta, Pusat
Pelayanna Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 2007, hal 84-85
107
penanggulangan kejahatan.44
Muladi membagi tujuan dari Sistem Peradilan
Pidana dalam beberapa tujuan.45
1) Tujuan jangka pendek berupa rasiolisasi pelaku tindak pidana,
tujuannya lebih kepada pelaku tindak pidana dan mereka yang
berpotensi melakukan kejahatan, yaitu diharapkan pelaku sadar
akan perbuatannya sehingga tida melakukan kejahatan lagi,
demikian pula orang lain tidak melakukan kejahatan sehingga
kejahatan semakin berkurang.46
2) Tujuan jangkah menengah berupa mencegah kejahatan. Tujuannya
adalah terwujudnya suasana tertib, aman dan damai dalam
masyarakat, tujuan ini dapat tercapai jika tujuan jangka pendek
tercapa, sebab tidak mungkin akan tercipta rasa aman dan damai
dalam masyarakat jika kejahatan masih saja terjadi.47
3) Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial. Tujuannya
adalah terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh
dikalangan masyarakat. Tujuan ini merupakan konsekuensi dari
tujuan jangka pendek dan menengah sehingga keberhasilan juga
bergantung pada tujuan-tujuan sebelumnya.48
Adapun Barda Nawawi Arief menjelaskan tentang makna sistem
peradilan pidana pada dasarnya identik dengan sistem penegakan hukum,
meneyebutkan tujuan dari sistem peradilan pidana adalah terciptanya
terciptanya penegakan hukum (law enforcemenr).49
Tolib Effendi
menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana memiliki dua tujuan besar, yaitu
melindungi masyarakat dan menegahkan hukum. Ia juga menjelaskan bahwa
sistem perdilan pidana memiliki beberap fungsi penting antara lain;
1) Mencegah kejahatan;
2) Menindak pelaku kejahatan dengan memberikan pengertian kepada
palaku tindak pidana dimana pencegahan tidak efektif;
44
Romli Atmasamira, Sistem Peradilan…. Op Cit,. hal 16-18 45
Fransiska Avianti, Kebijakan Perundang-Undangan Mengenai Badan Penyidik Dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu Indonesia, Semarang, MIH UNDIP, 2008, hal 49 46
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta, UII Pres, 2011, hlm 3-4 47
Ibid. 48
Ibid 49
Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik………Op Cit., hal 291
108
3) Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahzan dan
penindakan
4) Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tida bersalah
terhadap orang yang ditahan;
5) Disposisi yang sesuai terhadap seseorang yang dinyatakan
bersalah;
6) Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh
masyarakat terhadap perilaku mereka yang melanggar hukum
pidana.50
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang ada baik yang terdapat
di dalam maupun diluar KUHAP dapat diterangkan bahwa SPP di Indonesia
mempunyai perangkat struktur atau sub-sistem kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, lembaga permasyarakatan sebagai quasi sub-sistem.
c. Asas-asas dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
1. Asas Legalitas (Legality Principle)
Yaitu asas yang mendasari beroperasinya SPP dan sebagai jaminan
bahwa SPP tidak akan berkerja tanpa landasan hukum tertulis, asas ini
berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan
sebagai kepentingan tertib hukum, dengan asas ini maka SPP hanya dapat
menyentuh dan menggelindingkan suatu perkara pidana jika terdapat aturan-
aturan hukum yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilanggar.
Adanya asas legalitas ini tidak hanya berlaku pada masing-masing sub-
sistem dari SPP, melainkan pada keseluruhan sub sistem yang ada. Ini berarti
50
Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen Dan Proses Sistem
Peradilan Pidana Dibeberapa Negara, Yogyakarta, Pustaka Yustitia, 2013, hal 13-14
109
pihak penyidik ketika melakukan penyedikan sudah harus berpedoman pada
ketentuan-ketentuan yang ada dan menghindarkan diri dari tindakan yang
berlawanan atau bertentangan dengan hukum. Demikian pula Jaksa Penuntut
Umum (JPU) ketika akan melimpahkan berkas ke pengadilan senantiasa
mendasarkan diri pada ketentuan hukum yang ada, kejahatan atau perbuatan
pidana terlebih dahulu sudah dirumuskan dalam Perundag-undangan. Hal
yang sama harus dilakukan hakim di sidang pengadilan senantiasa
tindakannya harus menyesuaikan diri dan berpedoman dengan ketentuan
yang telah diatur dalam sebelumnya dalam hukum pidan baik formil maupun
materiil.51
Makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro,
bahwa sanksi pidan hanya dapat ditentukan dengan Undang-undang dan
bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.52
Menurut Moeljatno, ada
tiga penegrtian yang terkandung dalam asas legalitas;
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu belum terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan Undang-
undang;
b. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana, tidak boleh digunakan
analogi
c. Aturan hukum pidana tidak berlaku surut.53
Dalam kasus Mina dan Rasmina, Penulis menemukan bahwa
penerapan asas legalitas pada kedua kasus di atas sangatlah jelas, pasal 362
51
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta , UII Pres, 2011, hal 10-11 52
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesiam Refika Aditama, Bandung,
2003, hal 42 53
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta,2000, hal 25
110
yang menjerak Mina dan Rasmina ke pengadilan. Tiga biji kakao dan 6
piring merupakan memang bukan merupakan sesuatu dengan nilai jual yang
besar, akan tetapi berdasarkan Pasal 1 KUHP, maka dengan jelas, perbuatan
kedua Nenek ini merupakan perbuatan melawan hukum.
2. Asas kelayakan atau kegunaan (expediency principle)
Asas yang menghendaki bahwa dalam beroperasinyan SPP
menseimbangkan antara hasil yang diharapkan dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan. Bekerjanya SPP dimulai dengan memperhitungkan bahwa
apakah yang dilakukan itu sebuah aktivitas yang layak dan berguna untuk
dilakukan sehingga terkesan lebih memberikan kemanfaatan ketimbang
kerugian.
Sistem Peradilan Pidana tentu banyak menghadapi kejahatan yang
sangat bervariasi, ada kejahatan yang tergolong berat sedang dan ringan. Ada
kejahatan yang pengaruhnya berdampak berbahaya bagi masyarakt maupun
negara. SPP secara yuridis formal mengharuskan mengambil bagian dalam
menghadapi berbagai kejahatan yang terjadi. Meskipun demikian SPP dalam
mensikapi dan menindak lanjuti dengan mempertimbangkan kelayakan dan
kegunaannya sehingga ada kemungkinan berbagai kejahatan itu tidak harus
dilanjutkan dengan melibatkan seluruh sub-sub sitem dalam SPP, melainkan
diselesaikan oleh sub sistem tertentus saja.54
54
Ibid.,
111
Pada kasus nenek Mina dan Rasmina, sudah seharusnya tidak
melibatkan Sub-sub sistem yang lain, hanya sub sistem kepolisian saja, untuk
menyelesaikan kasus tersebut, polisi merupakan sub sistem yang terlibat
langsung dalam interaksi dengan masyarakat bagitupun juga dengan kasus-
kasus yang layak untuk dilanjutkan ke Penuntut Umum, jika nenek Mina dan
Rasmina yang mengambil Tiga Biji Kakao dan 6 Piring yang tidak besar
nilainya, menurut penulis sudah seharusnya di selesaikan oleh penyidik.
3. Asas Prioritas (priority principle)
Asas yang menghendaki agar SPP mempertimbangkan aktivitas-
aktivitas yang perlu dudahukukan, misalnya menyelesaikan perkara-perkara
yang dinilai membahayakan masyarakta atau yang menjadi kebutuhan
mendesak. Asas ini didasarkan pada semakin beratnya beban SPP, sementara
kondisi kejahatan cenderung semakin meninggi. Perioritas ini tidak hanya
berkaitan dengan berbagai katagori tindak pidana, tetapi juga bisa berbagai
kejahatan dalam katagori yang sama dan juga berkaitan dengan pemilihan
jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan kepada pelaku.55
Kasus pencurian 3 Biji Kakao dan 6 piring merupakan kasus-kasus
kecil yang terjadi, yang seharusnya kasus-kasus seperti ini diselesaikan oleh
penyidik saja, agar supaya kasus-kasus yang sifatnya besar bisa diselesaikan
dengan baik. Tingkat kejahatan semakin tinggi, dibutuhkan keteladanan untuk
menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Dengan demikian penyidik harus bisa
memperioritaskan kasus-kasus yang sifatnya besar.
55
Ibid.,
112
4. Asas Proporsionalitas (proporsionality principle).
Asas yang menghendaki agar SPP dalam penegakan hukum pidana
hendaknya mendasarkan pada proporsional antara kepentingan masyarakat,
kepentingan negara dan kepentingan pelaku tindak pidana serta kepentingan
korban. Dengan asas ini maka SPP bukan sekedar menjalankan dan
melaksanakan hukum, melainkan seberapa jauh penerapan hukum cukup
beralasan dan memenuhi sasaran-sasaran yang diinginkan.
Putusan pengadilan terhadap nenek Mina dan Rasmina, mendapat
perhatian dari masyarakat, diamana putusan tersebut dilihat jauh dari nilai
keadilan yang ada. Masyarakat menilai bahwa penerapan hukum terhadap
kasus tersebut tidak beralasan. Dampak terhadap lingkungan sosialnyapun
tidak terlihat. Yang ada hanyalah kurangnya kepercayaan dari masyarakat
terhadap sistem penegakan hukumdi Indonesia.
5. Asas Subsidair (subsidairity principle)
Asas yang menerangkan bahwa penerpan hukum pidana bukan yang
utama dalam menanggulangi kejahatan tapi hanya merupakan alternative
second. Dengan asas ini berarti SPP baru dapat berbuat menerapkan hukum
pidana jika hal itu sudah tidak ada pilihan lai, namun jika masih ada sasaran
lainnya yang dapat digunakan menanggulangi kejahatan maka sarana hukum
pidana sedapat mungkin dihindari.56
Nenek Mina dan Rasmina merupakan orang miskin. Yang sudah
seharusnya mendapat perlindungan dari negara. Dengan begitu penyelesaian
56
Ibid.,
113
kasus kedua orang ini tidak perlu diputuskan di pengadilan, penerapan hukum
pidana bisa saja dihindari, jika kepolisian mampu menyelesaikan kasus ini,
dengan pertimbangan yang matang.
6. Asas kesamaan didepan hukum (equality before the law)
Asas ini menerangkan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama
didepan hukum, tida ada pilih kasih, semuanya mendapat perakuan yang
sama, dengan asas ini SPP selalu mengedepankan kesamaan sehingga
siapapun dan bagaimanapun kondisi setiap subyek hukum yang menghendaki
pelayanan dalam penyelesaian permasalahan hukum harus dipandang sama
dan dengan perlakuan yang sama pula, harus menghindari diskriminatif
dengan tidak mendahulukan dan mengutamakan yang beruang atau berkuasa
sementara mengabaikan atau meninggalkan yang tidak atau kurang berdaya.57
Lembaga pengadilan adalah pelaksanaan atau penerapan hukum
terhadap suatu perkara dengan sutau putusan hakim yang bersifat melihat
putusan mana dapat berupa pemidanaan, pembebasan maupun pelepasan dari
hukum terhadap pelaku tindak pidana. Lembaga pengadilan sangat penting,
dikarenakan pada hakekatnya pengadilan merupakan tempat pengujian dan
perwujudan negara hukum, merupakan barometer daripada kemampuan
bangsa melaksanakan norma-norma hukum dalam negara, sehingga tampa
pandang bulu siapa yang melanggar hukum akan menerima hukuman yang
57
Ibid.,
114
setimpal dengan perbuatannya, dan semya kewajiban yang berdasarkan
hukum akan terpenuhi.58
Berbicara tentang lembaga pengadilan maka sudah pasti akan
berbicara tentang hakim, hakim dengan kekuasaan kehakiman yang dimiliki
mempunyai peranan yang sangat besar juga menentukan dalam pelaksanaan
sistem peradilan pidana dan akses public pencari keadilan keperadilan pidana.
Peranan yang besar dan menentkan tersebut tidak hanya terkait dengan
pelaksanaan dari sistem peradilan pidana itu, tapi yang utama juga adalah
usaha dari sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu; usaha
yang rasional dari masyarakat dalam upaya penanggulangan atau pencegahan
kejahatan.59
Hakim memiliki kedudukan demi tegaknya hukum, oleh karena itu
ada beberapa nilai yang dianut wajib dihormati oleh hakim dalam
menjalankan tugas dan kewajiban. Nilai-nilai tersebut sebagai berikut;60
a. Profesi hakim adalah profesi yang bebas guna menegakan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia.61
58
Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana,
Jakarta, Bina Aksa, 1987 59
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Undip, 1995, hal
Vii 60
C.S.T. Kansil Dan Chritine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta, Pradnya
Pramita, 1996, hal 46-48 61
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum, Bandung, Pustka Setia, 2011, hal 314
115
b. Nila keadilan tercermin dari kewajiban hakim dalam
meneyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat dan biaya
ringan agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang.
Dalam mengadili, hakim yang sedang menjalani persidangan tidak
boleh mebeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak
bersalah. Menegakan keadilan tidak hanya dipertanggungjwabkan secara
horissontal, yaitu ditujukan kepada sesama manusia, tetapi juga ditujukan
pada lembaga peradilan yang tinggi maupun kepada masyaakat luas dan
secara vertical, menegakan keadilan dapat dipertanggungjawabkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.62
a. Hakim tida boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalil hukumnya tidak ada atau kurang
jelas.63
Apabila melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada
atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, hakim wajib
menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan
sebagai nilai keterbukaan.64
b. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan. Prinsip
menjunjung tinggi harga diri hakim dinilai mampu mendorong dan
membentuk pribadi yang kuat dan tangguh sehingga terbentuk pribadi
yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aperatur
peradilan.65
c. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai objektivitas.
Profesi hakim sering digambarka sebagai pemberi keadilan. Oleh
karena itu hakim dapat digolongkan sebagai profesi luhur (officium
nobile) yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat
selaku pencari keadilan. Selain itu hakim dituntut untuk memiliki
keahlian khusus sekaligis memahami secara mendalam ruang lingkup
tugas , kewajiban, serta tanggung jawabnya sebagai wakil Tuhan
dengan menyempurnakan takaran dan timbangan yang adil,
62
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Prespektif Hukum Profresif, Jakarta, Sinar
Grafika, 2010, hal 3 63
Lihat Pasal 10 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 64
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Op,.Cit, hal 7 65
Ibid, hal 7
116
kendatipun tersangka yang telah melanggar hukum adalah saudara,
kerabat dekat, ataupun atasannya.66
Pengertian tanggung jawab sangat bervariatif, adakalahnya tanggung
jawab dikaitkan dengan keharusan unntuk berbuat sesuati dan tanggung jawab
dihubungkan dengan kesedihan untuk menerima konsekuensi dari suatu
perbuatan. Namun pengertian tanggung jawab lebih berkisar pada kesadaran
untuk melaukan, kesediaan untuk melakukan, dan kemampuan untuk
melakukan. Tanggung jawab dalam profesi hukum dapat menjadi tiga jenis,
yaitu;
a. Tanggung jawab moral
Tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan,
baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu
lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan.67
b. Tanggung jawab hukum
Diartikan sebagi tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk
melaksanakan tugasnya dengan tida melanggar rambu-rambu
hukum
c. Tanggung jawab profesi
Merupakan tuntutan bagi aparat penegak hukum untuk
melaksanakan tuganya secara professional sesuai dengan criteria
66
Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik………Loc.Cit., hal 303-304 67
Muhammad Nuh, Etika Profesi Hukum. Op.Cit, hal 80-82
117
teknis yang berlaku dalam bidang profesi, baik bersifat umum
maupun khusus dalam lembaganya.68
Tanggung jawab tidak terlepas dari kewajiban seseorang yang tidak
dapat dipisahkan dari kapasitas dan kapabilitas sebagai pribadi ataupun
anggota masyarakat dalam berinteraksi. Tanggung jawab dapat melahirkan
tuntutan hukum, tuntutan moral dan etika bersifat pribadi, seperti
penyalagunaan jabatan atau wewenang yang erat dengan kualitas moral dan
etika, oleh karena itu perlu dipertegas kembali asas-asas moraltas yang
mendasari profesi hakim sebagai pegangan dalam bersikap dan bertindak
selama mengemban profesi sebagai hakim peradilan.69
2. Tanggung Jawab Moral Hakim
Secara filosofi, tujuan akhir dari profesi hakim adalah menegakan
keadilan. Cita hukum keadilan yang terdapat dalam kenyataan normative (das
sollen) harus diwujudkan dalam kenyataan alamiah (das sein) melalui nilai-
nilai yang terdapat pada etika profesi, termasuk etika profesi hakim.70
Salah
satu etika profesi yang menjadi pedoman profesi hakim dilihat dari perspektif
hukum dalam peradaban manusia adalah, the four commandments for judges
dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri atas empat butir, sebagai
berikut;
1) Mendengar dengan sopan dan beradab (hear corteosly)
2) Menjawab dengan arif dan bijaksana (answer wisely)
68
Ibid. 69
Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik………Loc.Cit., Hal 304 70
Ibid., Hal 305
118
3) Mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun (consider soberly)
4) Memutus tidak berat sebelah (decide impartially)
Hukum di dunia Barat dilambangkan dengan Dewi Yustitia (mata
tertutup dengan pedang di tangan kanan dan timbangan di tangan kiri).
Sedangkan hukum di Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin yang
melambangkan bahwa hukum itu mengayomi cita-cita negara, bangsa, dan
rakyatnya. Sewaktu hakim belum lepas dari Departemen Kehakiman, hakim
tetap dilambangkan dengan pohon beringin, namun setelah lepas dari
Departemen Kehakiman, lambang hakim pun berubah dengan Simbol Panca
Dharma Hakim.
3. Tanggung Jawab Hukum Hakim
Sesungguhnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, hukum mempunyai peran sentral
dalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa
terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya di
dunia. Keberadaan hakim juga tidak kalah penting. Sebagai pihak yang diberi
kewenangan untuk menegakkan hukum, hakim mempunyai posisi vital dalam
pembangunan peradaban umatmanusia. Tanpa adanya hakim, hukum tidak
bisa ditegakkan. Tanpa adanya hukum, maka tidak akan mungkin peradaban
manusia bisa tercipta, karena yang akan berlaku adalah hukum rimba, di mana
yang kuat akan membinasakan yang lemah, tanpa mempertimbangkan benar-
salahnya. Oleh sebab itu, hukum dan hakim adalah bagaikan dua sisi mata
119
uang yang tidak bisa dipisahkan. Hukum diperlukan untuk mengatur interaksi
antar individu dalam masyarakat.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari kebutuhannya
berinteraksi dengan orang lain. Interaksi antar individu dalam suatu
masyarakat seringkali menimbulkan gesekan yangsaling berbenturan. Oleh
karena itu, diperlukan suatu tatanan dalam masyarakat yang mampu
menciptakan keteraturan, ketertiban dan ketenteraman. Tatanan yang
dimaksudkan adalah sebuah perangkat yang berisi petunjuk-petunjuk tingkah
laku berupa kaedah hukum. Hukum merupakan seperangkat kaedah atau
norma yang tersusun dalam suatu sistem yang berisikan petunjuk bertingkah
laku, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dan disertai dengan
sanksi. Hukum bisa bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari
sumberlain yang diakui keberlakuannya oleh masyarakat. Jika hukum
dilanggar maka akan diberikan sanksi. Dengan sanksi itu, masyarakat
diharapkan selalu berada dalam koridor yang baik serta menghindarkan diri
dari perbuatan melanggar hukum, guna menciptakan kedamaian dalam
masyarakat.
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh
hakim, yaitu:
a) bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
120
b) bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
c) bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai,
dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau
Panitera.71
Dalam kasus Mina dan Rasmina, maka sudah seharusnya hakim
mempertimbangkan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat, seperti yang
tercantum dalam Undang-undang pokok kehakiman. Apakah adil, jika mereka
diputuskan bersalah, karena mengambil sesuatu yang sebtulnya nilai
materiilnya tidak besar. Bahkan sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat,
untuk melakukan penanam kembali biji kakao. Hakim seharusnya tidak hanya
mempertimbangkan nilai-nilai yuridis semata, melaikan keadilan dan juga
kemanfaatan dalam pertimbangkan putusannya.
4. Sikap Hakim Yang Legalistik (legisme)
Aliran legisme merupakan garis yang paling ektrim dari positivisme, para
penganut aliran legisme mereka mengidentifikasi hukum hanya sebagai hukum
positif, tidak ada norma hukum diluar hukum positif, menyebabkan hakim
hanya sebagai corong Udang-undang.72
Hakim apabila hendak mengejar
71
Ibid., Hal 308 72
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Op cit, hal 121
121
kebenaran objektif, harus menafsirkan hukum positif secara monotafsir, yaitu
metode tafsir yang hanya bersumber pada teks hukum positif secara ketat agar
tidak enyimpang dari original teks.73
Kelsen menjelaskan dalam bukunya the pure theory of law tentang
penafsiran, bahwa meragukan penafsiran yang dikembangkan selama ini karena
hanya mengarah pada hasil yang mungkin tidak pasti dan tidak pernah
mengarah pada hasil yang langsung benar, Kalsen monalak argument bahwa a
contrario dan analogi sebagai sara penafsiran. keduanya sama-sama mengarah
pada hasil yang berlawanan dan tidak ada criteria untuk menentukan kapan
norma yang satu dan kapan norma yang lain harus diterapkan.74
Dalam
penafsiran Kelsen juga menolak prinsip menimbang bobot kepentinagn. Alasan
Kalsen prinsip menimbang bobot tidak menyediakan standar objektif untuk
membandingkan kepentinagn-kepentinagn yang saling bertentangan sehingga
tidak meberikan solusi. Kalsen juga mengingatkan bahwa moral, keadilan yang
melekat dalam nilai-nilai yang hidup dalam masyarkat, yang biasanya
ditunjukan dengan frasa semisal “kebaikan masyarakat, kepentingan negara,
kemajuan, dari sudut hukum positif semua itu hanya negative, itu semua bukan
norma dari hukum positif. 75
hal ini dilakukan Kalsen semata-mata untuk
penemuan hukum mencapai derajat tertinggi atas kepastian hukum.
73
Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap paradikma positivisme hukum. Yogyakarta, Genta
Publishing, 2011, hAl 142 74
Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan. Op cit. hal 93 75
Ibid.,
122
Pemikiran Kalsen ini ditantang oleh Ronal Dworkin, ia mengingatkan
bahwa seorang hakim jika dihadapkan dengan kasus konkrit tidak saja
berurusan dengan masalah teknis (prosudural semata), tetapi juga berurasan
dengan subtansi hukum, ketika hakim mempersoalkan etika, bukan lagi
bertanya tentang prosedur teknik penyelesaian hukum, melainkan juga
mempersoalkan subtansi hukum apakah adil atau tidak.76
Dworkin
menyarankan bahwa apabila menghadapi kasus rumit, tidaklah cukup meyalin
pasal-pasal tertentu, tetapi harus melakukan interpretasi konstruktif dari praktik
hukum.77
Pada hakekatnya hakim dalam menjatuhkan putusannya dipengaruhi oleh 2
(dua) Aliran yakni:
1) Aliran Konservatif: yaitu putusan hakim yang didasarkan semata-mata ada
ketentuan hukum tertulis ( Peraturan Perundang-undangan). Karakter ini
dipengaruhi oleh aliran legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan
yang tidak mengakui hukum yang tidak tertulis/Undang-undang. Menurut
aliran ini hukum identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan
ilmu pengetahuan hukum lainnya dapat diakui sebagai hukum apabila
undang-undang menunjuknya.78
Selanjutnya aliran ini menyatakan pula
bahwa undang-undang (kodifikasi), Justru diadakan untuk membatasu hakim,
yang kerena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenangan-wenangan
76
Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap paradikma…..Op cit. hal 144 77
Ibid., hal 148 78
Sudikno Mertokusumo & A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta: Citra
Aditya Bakti, hal 10.
123
atau tirani.79
Berdasarkan hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan
putusannya harus mengikuti apa yang tertulis dalam hukum ( Lex dura tamest
suntscripta), biarpun in Concreto menurut rasa keadilan masyarakat, putusan
hakim tersebut dinilai merupakan suatu ketidak adilan.
2) Aliran Progresif yaitu: putusan hakim yang tidak semata-mata mendasarkan
pada ketentuan hukum tertulis tetapi hakim harus pula mendasarkan pada
pengetahuan dan pengalaman empiris. Oleh sebab itu hakim tidak lagi sebagai
corong undang-undang tetapi hakim harus menemukan nilai-nilai keadilan
yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini hakim harus menjadi otonom,
bukan lagi heteronom.80
Berbicara mengenai Legisme maka tentu kita tidak bisa lepas dari aliran
Positivisme hukum. Positif yang dimaksudkan adalah poenere yang artinya
ditetapkan, istilah positive untuk memberikan maksud bahwa hukum itu ditetapkan
dengan pasti, tegas dan nyata, dan pengunaan istilah ini juga untuk membedakannya
dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan Moral yang bersifat abstrak dan tidak
nyata. Karena telah begitu dibedakannya maka positivisme sendiri memandang
perlunya memisahkan antara hukum dan moral atau antara hukum yang berlaku (das
sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen).81
Dalam kacamata aliran hukum
positif, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa atau inti dari aliran positivisme
adalah norma hukum adalah sah apabila ia ditetapkan oleh lembaga atau otoritas yang
79
J.A Pontiner, Penemuan Hukum ( Rechtsvinding). Diterjemahkan oleh Arief Sdharta,
Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katoloik Parahayangan. 2000.hal 52 80
Van Eikeme Hommes, 1999, Logica en Rechtsvinding(reneografie), Vrije Universiteit, hal 26 81
Erwin Muhamad, Op.cit, 2000. 234
124
berwewenang dan didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, bukan digantungkan
pada nilai atau moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain adalah undang-
undang yang adalah sumber hukum, diluar undang-undang bukan hukum, teori
hukum positif mengakui adanya norma hukum yang bertentangan dengan nilai dan
moral tetapi tidak mengurangi keabsahan norma hukum tersebut.
Aliran positivisme sangat mengagungkan hukum tertulis, semua persoalan
dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis, pada hakekatnya merupakan
penghargaan kepada kekuasaan yang mencipatakan hukum tertulis itu, sehingga
dianggap hukum.82
Dalam positivisme hukum, pandangan yang paling berpengaruh
adalah Hans Kalsen dengan teori hukum murni. Kalsen mangatakan bahwa hukum
dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda sehingga keadilan itu harus dipisahkan
dari hukum law and justice are two different). Tidak mungkin memakai keadilan,
karena keadilan itu bukan urusan hukum tetapi urusan politik.83
Aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu
pelajaran yang menyatakan bahwa tidak ada hukum diluar Peundang-
undangan.Hakim legisme merupakan hakim yang dipengaruhi oleh mazhab atau
aliran positivisme hukum. H. L. A. Hart, yang berpandangan sebagai berikut.84
1) Hukum adalah perintah.
2) Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi
sosiologis, historis, dan penilaian kritis.
82
Ibid, hal 235 83
Ibid, hal 242 84
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hal.57-58.
125
3) Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-
peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada
tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
4) Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan
oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
5) Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan positum, harus
senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan
diinginkan.85
Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum
adalah Undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan
Undang-undang pada peristiwa yang konkrit.86
Undang-undang dan hukum
diidentikkan.87
Hakim positivis juga dapat dikatakan sebagai corong Undang-
undang. Hakim yang menganut positivisme hukum sejalan dengan pengutamaan
kepastian hukum, yang beranggapan bahwa apabila hakim diberikan wewenang
menafsirkan undang-undang atau menemukan hukum sendiri langsung ke
masyarakat, maka kepastian hukum akan terganggu.88
Hakim dalam memutus
perkara dapat dianggap tidak perlu memperhatikan tujuan penegakan hukum
untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan. Anggapan legisme hukum sesuai
dengan trias politica-nya Monstequie yang mengajarkan hanya apa saja yang
dibuat bdan legislative saja yang dapat memuat hukum, jadi sesuatu kaidah yang
tidak ditentukan oleh badan legislative bukanlah merupakan kaidah hukum.
85
Muhamad Erwin, Op.,Cit, hal. 249-250. 86
Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum , Citra Aditya Bakti,
Yogyakarta, 1993, hal. 5. 87
Ibid., hal. 120.
88Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Sapta Artha Jaya, Jakarta,1996, hal. 114.
126
5. Pemikiran Positivisme Hukum.
Ketika kaum positivisme mengamati hukum sebagai obyek kajian, ia
menganggap hukum hanya sebagai gejala sosial. Kaum positivisme pada
umumnya hanya mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula
positivisme hukum hanya mengenal satu jenis hukum, yakni hukum positif.
Positivisme hukum selanjutnya memunculkan analytical legal positivism,
analytical jurisprudence, pragmatic positivism,dan Kelsen‟spure theory of law.89
Oleh aliran positivis hukum hanya dikaji dari aspek lahiriahnya,apa yang
muncul bagi realitas kehidupan sosial, tanpa memandang nilai-nilai dan norma-
norma seperti keadilan, kebenaran,kebijaksanaan, dan lain-lain yang melandasi
aturan-aturan hukum tersebut, maka nilai-nilai ini tidak dapat ditangkap oleh
panca indera. Sebenarnya positivisme hukum juga mengakui hukum di luar
undangundang, akan tetapi dengan syarat: “hukum tersebut ditunjuk atau
dikukuhkan oleh undang-undang”. Di samping itu, pada dasarnya kaum
positivisme hukum tidak memisahkan antara hukum yang ada atau
berlaku(positif) dengan hukum yang seharusnya ada, yang berisi norma-norma
ideal, akan tetapi kaum positivis menganggap, bahwa kedua hal tersebut harus
dipisahkan dalam bidang-bidang yang berbeda.
Oleh karena mengabaikan apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa
nilai-nilai kebenaran,kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada dalam
hukum, makapositvisme hanya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
89
Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja Rosda Karya,
1994, hal. 51
127
1) Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human
being).
2) Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum
yang ada (das sein) dengan hukumyang seharusnya (das sollen).
3) Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan
harus dibedakandari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab
atau asal-usul dari undangundang, serta berlainan pula dari suatu
penilaian kritis.
4) Keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari
peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk
kepadatujuan-tujuan sosial,kebijaksanaan, dan moralitas.
5) Penghukuman (judgement) secara moral tidakdapat ditegakkan dan
dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian.90
Dari keterangan di atas berikut prinsip-prinsip yang dijadikan pegangan
kaum positivisme hukum, makaterlihat dengan jelas, bahwa aliran positivisme
mempunyai pengaruh terhadap filsafat hukum, yang berwujud dengan nama
positivisme hukum. Sebelum positivisme hukum terlebih dahulu ada aliran
pemikiran dalam ilmu hukum yaitu legisme. Pemikiran hukum ini berkembang
semenjak abad pertengahan dan telah banyakberpengaruh di berbagai negara,
tidak terkecuali di Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-
undang, tidak ada hukum di luar undang-undang tertulis. Satusatunya sumber
hukum adalah undang-undang.91
Aliran legisme, menganggap undang-undang sebagai „barang keramat‟, dan
mendorong para penguasa untuk memperbanyak undang-undang sampai seluruh
kehidupan diatur secarayuridis. Mereka berpikir, bila terdapat peraturan-
peraturan yangbaik, hidup bersama akan berlangsung dengan baik. Aliran
positivismedan legisme, yang mengedepankan undangundang tertulis, mendapat
90
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali, 1996, hlm. 147. Lihat juga
Satjipto Raharjo. IlmuHukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal.148. 91
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 59.
128
dukungan kuat di wilayah hukum kontinental, yang memiliki kecenderungan
akan adanya kodifikasi hukum. Semangat kodifikasi ini sebenarnya diilhami pula
oleh hukum Romawi. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja
adalah membuat peraturan melalui dekrit, yang dari berbagai dekrit ini dijadikan
rujukan oleh para administrasi negara dalam menjalankan dan memutus berbagai
perkara. Meskipun kaum positivis hukum dengan tegas memisahkan hukum yang
ada dengan hukum yang seharusnya ada, pemisahan antara wilayah kontemplatif
dan wilayah empiris,akan tetapi dalam kerangka pemikiran hukum aliran
positivis tetap dikategorikan sebagai aliran filsafat dalam hukum, dengan metode
mereka sendiri yang khas dan dipengaruhi oleh cara berpikir empirisme.
Hukum dan peraturan perundang-undangan pada dasarnya hanyalah
merupakan sarana atau lambang yang secara intrinsik dan ideal mengandung
kebenaran dan keadilan. Namun menerjemahkan idealitas hukum dalam bahasa
masyarakat ternyata tidak mudah. Tidak sedikit orang memandang hukum an
sich, sebagai realitas obyektif tanpa makna, bahkan ada sarjana yang menggagas
“teori hukum murni”, dan menganggap hukum steril dari elemen-elemen non-
yuridis seperti etika, moral, agama, dan lain-lain. Dalam kaitan ini dapatlah
dikatakan, bahwa menganggap hukum itu bebas dari unsur-unsur non-hukum
adalah khayalan belaka. Friedman menunjukkan bahwa agama mempengaruhi
pandangan filsafat dan pandangan politik dari ajaran skolastik, prinsip-prinsip
etika mempengaruhi filsafat hukum Kant, ekonomi mendasari filsafat hukum
129
Marxisme, sedangkan ilmu pengetahuan empiris memberikan inspirasi terhadap
pendekatan fungsional gerakan realis.92
Selain itu, jauh sebelumnya, Hegel juga pernah menyebutkan, bahwa hukum
merupakan pencerminan dari roh (moralitas). Secara ideal, setiap jenis peraturan
perundangan-undangan harus memuat aspek yuridis, sosiologis,dan filosofis.
Aspek yuridis antara lain,berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1) Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-
undangan.
2) Keharusan adanya kesesuaian bentukatau jenis peraturan perundang-
undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh
peraturan yang lebih tinggi atau sederajat.
3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu.
4) Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
tingkatannya.
Aspeksosiologis berkaitan dengan ajaran Sociological jurisprudence, yang
menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hukum atau undang-undang akan
memilikilegitimasi sosial, ketika hukum tersebut sesuai dan dapat diterima oleh
masyarakat yang bersangkutan, selain itu terdapat kesesuaian antara keinginan
atau kebutuhan masyarakat dengan kehendakpembentuk undang-undang.
92
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum,Jakarta: Rajawali, 1996, hal 2
130
Sedangkan aspekfilosofis, berkaitan dengan isi dari undang-undang tersebut
ialah yang memuat nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Apabila dalam pertimbangan hakim menyampingkan moral, maka sudah
barang tentu putusan itu akan jauh dari keadilan, sebagaimana sudah dibahasa
sebelumnya, bahwa dalam memutuskan sebuah perkara pidana, maka moralitas
yang baik akan membawa kualitas yang baik bagi putusan itu, keadilan yang
menjadi tujuan utama dalam hukum, akan tidak bermakna, sebab kepastia
hukum diutamakan, penulis melihat pada Undang-undang No 48 tahun 2009
pasal 1 butir satu menyatakan „’Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasiladan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.
Dari kutipan ayat ini, dapat dilihat bahwa kepastian hukum dalam hal ini
lebih diutamakan, tampa mempertimbangkan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Savigny berpendapat bahwa
1) Hukum itu lahir dari kebiasaan;
2) Hukum itu ditemukan bukan dibuat;
3) Hukum itu berasal dari perasaan rakyat
4) Hukum itu merupakan produk dari bangsa yang jenius
5) Hukum itu hadir sebagai ekspresi jiwa bangsa
131
Roncoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu
lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sosial. Selain itu juga dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses
(law in action) yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis (law in books).
Pond juga mengatakan bahwa hukum itu merupakan a tool of social engineering
(hukum sebagai pranata sosial atau hukum sebagai alat membangun masyarakat).
Menurut Pound, pada saat terjadi keseimbangan antara kepentingan dalam
masyarakat maka yang akan muncul adalah kemajuan hukum. Ia mengadakan
tingga penggolangan utama,terhadap kepantingan-kepetingan yang dilindungi
oleh hukum
a. Public interest, yang meliputi kepentinan negara sebagai badan hukum
dala tugasnya untuk memelihara hakekat negara dan kepentingan negara
sebagai penjaga dari kepentingan sosial.
b. Kepentingan orang-perorangan
1) Kepentingan pribadi
2) Kepentingan-kepentingan dalam hubungan dirumah tangga
3) Kepentingan mengenai harta benda
c. Kepentingan sosial yang meliputi keamanan umum, keamanan dari
institusi-institusi sosial, moral umum, pengamanan sumberdaya sosial,
kemajuan sosial dan kehidupan individual.
Rasa empati tidak dapat disembunyikan Ketua Majelis Hakim sewaktu
membacakan putusan dengan menangis tersedu-sedu. Dalam kasus Mina,
132
menunjukan bahwa hakim juga manusia bahwa faktor psikologis juga ikut
mempengaruhi. Hakim juga terlihat menangis saat membaca putusannya.
Mengapa menangis ketika membaca putusan kasus Mina? alam teori
penalaran klasik, bernalar dengan argumentasi rasa kasihan atau iba
bertentangan dengan logika. Dalam konsep logika, dianggap kesesatan
dalam penalaran atau disebut argumentum ad Misericordiam. (B. Arief
Sidharta, 2008, hal. 61). Rasa kasihan dianggap tidak logis, dikhawatirkan
.terjadi pencampuradukan antara perasaan dan jalan pikiran hakim, sehingga
mempengaruhi hakim dalam putusannya. Menurut ajaran Positivisme
Hukum, hakim dilarang menggunakan perasaan dan faktor-faktor non
hukum, tetapi harus dengan rasio atau nalar murni. Apakah pada waktu
memeriksa perkara “kepala” dan “hati” hakim benar-benar bisa dikosongkan?
Tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan Hans Kelsen dalam “The
Pure Theory of Law” bahwa hukum tidak boleh terkontaminasi anasir
nonhukum.( Hans Kelsen, 1976).
Dalam pengadilan, yang mengadili dan diadili bukan benda mati,
sesungguhnya bukan totalitas kognitif dan logika tetapi juga tak terhindarkan
hubungan kemanusiaan. Hukum adalah pergulatan manusia tentang manusia.
Pertimbangan hakim dalam putusan kasus Min menunjukan sisi kemanusiaan
hakim menanggapi sisi kemanusiaan pihak yang berperkara. Selama
hakim manusia, ia tidak bisa lepas dari faktor psikologis (empati, emosi, iba,
marah, dan sebagainya)
133
Fantasi dan imajinasi suatu yang diharamkan oleh aliran legisme yang
merupakan varian paling ekstrem dari Positivisme Hukum. Legisme
mengindentikkan hukum hanya sebagai hukum positif, sehingga hakim
dilarang menggunakan fantasi dan imajinasi karena dikhawatirkan keluar dari
tawanan Undang-undang.
Ronald Dworkin kurang sepakat dengan cara pandang klasik itu Dworkin
mengingatkan bahwa seorang hakim ketika dihadapkan pada kasus konkrit
tidak saja berurusan dengan masalah teknis (prosedural semata) tetapi juga
berhadapan dengan substansi hukum. Ketika seorang hakim mempersoalkan
masalah etika, bukan lagi bertanya tentang prosedur teknis penyelesaian
hukum tetapi juga mempersoalkan substansi hukum apakah adil atau tidak.
(Ronald Dworkin, 1999 : 1)
Upaya hakim berusaha keras mencari berbagai sumber, tidak hanya
membaca teks hukum formal melainkan juga sumber-sumber non hukum
patut dihargai. Kasus Mina dan rasmina sekilas memang kelihatan remeh
temeh (hanya 3 kakao dan 6 piring) tetapi sesungguhnya ”hard cases” yang
sarat dengan perselisihan paradigma.
Tamanaha melihat “hard cases” sebagai suatu yang sangat dilematis,
sebagai berikut (Brian Z. Tamanaha, 2010 : 192.);
“What jurists refer to as “hard cases” usually fall into one of the
two preceding categories: cases involving gaps, conflicts, or
ambiguities in the law, and cases involving bad rules or bad results. It
confuses matters to lump the two together under same label because
they raise distinct dilemmas. The former asks what a judge should do
when the law is unclear; the latter asks what a judge should do when a
134
clear law or its consequences is deemed objectionable. Both situations
are “hard” in the sense that there is no easy course for the judge. They
sometimes merge, for instance, when a bad result encourages a judge to
see the law as less clear than initially thought, paving the way for a
different result. But the distinction between these types of hard cases is
generally marked. The former is continous with legal analysis in which
the judge engage in difficult search for the correct legal answer,
whereas the latter raises questions about the extent of the judge’s
obligation to follow the law.”
(Terjemahan bebasnya sebagai berikut: Apa yang ahli hukum sebut
sebagai “kasus-kasus berat” biasanya jatuh ke salah satu dari dua
kategori sebelumnya: kasus-kasus yang melibatkan kesenjangan,
konflik, atau ambiguitas dalam hukum, dan kasus-kasus yang
melibatkan aturan yang buruk atau hasil buruk. Masalah ini
membingungkan untuk menyatukan di bawah label yang sama karena
mereka menimbulkan dilema-dilema yang berbeda. Hakim pertama
bertanya apa yang harus dilakukan ketika hukum tidak jelas, hakim
kedua bertanya apa yang harus dilakukan bila hukum yang jelas
atau konsekuensinya dianggap pantas. Kedua situasi adalah “keras
atau rumit” dalam arti bahwa tidak ada yang mudah bagi hakim. Mereka
(kadangkala bergabung, misalnya, ketika akibat buruk mendorong
hakim untuk melihat hukum sebagai kurang jelas dari pemikiran
awalnya, membuka jalan bagi hasil yang berbeda. Namun perbedaan
antara jenis kasus yang sulit umumnya ditandai. Yang pertama adalah
terus-menerus dengan analisis hukum di mana hakim terlibat dalam
pencarian sulit untuk jawaban hukum yang benar, sedangkan yang
terakhir ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kewajiban
hakim untuk mengikuti hukum.)
Bagi para hakim konservatif hukum diandaikan sudah lengkap,
tidak ada celahnya, dan jelas. Pandangan semacam itu melukiskan
hukum mampu menghasilkan jawaban yang pasti terhadap semua kasus
sehingga tidak mengenal istilah “hard cases”
Berbeda dengan Dworkin yang melihat “hard cases” sebagai
laboratorium istimewa. Bagi Dworkin, bagaimanapun “hard cases” sangat
135
signifikan (sebagai kasus penting) yang menguji prinsip-prinsip
fundamental. Terobosan putusan hakim menjadi penting karena tidak semua
kasus hukum yang kompleks dan berat (hard cases) dapat secara
langsung ditemukan jawabannya dalam hukum positif yang tersedia. Dalam
“hard cases” diperlukan kemampuan menganalisis, menginterpretasi, dan
melakukan terobosan hukum untuk mendapat jawaban yang memadai.
Meskipun demikian, menurut Dworkin, para hakim bukan, dan seharusnya
tidak, menjadi pembuat hukum. Karena itu bagi Dworkin, tetap dibutuhkan
teori yang lebih memadai untuk menangani „kasus berat‟. Kalau hakim tidak
boleh membuat hukum sementara dia dihadapkan kasus berat, bagaimana
terobosan hukum bisa dimungkinkan?
Dworkin berpendapat,”I shall argue that even when no settled rule
disposes of the case, one party may nevertheless have a right to win.” Tanpa
peraturan yang ditentukan untuk kasus sekalipun, salah satu pihak yang
berperkara tetap berhak memenangkan perkara. Dengan demikian, tugas
hakim, menurut Dworkin, menemukan hak-hak dari pihak-pihak yang
berperkara. Pertanyaannya, kalau dalam kasus berat tidak tersedia prosedur
untuk menentukan apa yang menjadi hak hukum setiap pihak, lalu apakah
hakim memeriksa dan memutus perkara tanpa prosedur apa pun?
Dworkin menjawab pertanyaan itu dengan memberi perbedaan yang jelas
antara apa yan disebut argumen prinsip (argument of principles) dan
argumen kebijakan (argument of policies). Disebut argumen kebijakan
ketika hakim berusaha mempertanggungjawabkan keputusan dengan dengan
136
menunjukan manfaat bagi komunitas politik secara keseluruhan.
Sementara itu, argumentasi prinsip adalah argumen hakim yang
membenarkan putusan karena pada dasarnya menghormati atau melindungi
hak-hak individu atau kelompok, misalnya anti-diskriminasi di mana
minoritas mempunyai hak untuk mendapatkan penghargaan dan perhatian
yang sama. (Dworkin, 1978 : 81- 130)
Setiap kasus (baik “hard cases” maupun “clear cases”) pada
hakikatnya unik sehingga memerlukan interpretasi hukum yang baru, atau
dengan kata lain, tidak pernah ada dua perkara yang sepenuhnya serupa.
Karena itu, hakim harus mengambil “fresh judgement” untuk menemukan
hukum yang tepat. Setiap pasal dalam undang-undang pidana itu sebenarnya
selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai
perbuatan pidana apabila memenuhi unsur ”melanggar hukum”, yang di
dalam bahasa aslinya disebut wederechtelijk. Kebiasaan masyarakat adat
Bayumas, mengambil buah untuk dijadikan bibit, tidak melanggar hukum
adat setempat, atau tidak melanggar norma yang hidup dalam masyarakat.
Hakim dalam putusannya sebenarnya mempertimbangkan apakah ada
dasar pembenar dan alasan pemaaf yang dapat meniadakan tindak pidana
yang dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak hanya merujuk pada KUHP
tetapi juga hukum yang tidak tertulis, yakni; alasan pemaaf yang tidak
tertulis adalah “tidak tercela”.93
93
JURNAL YUDISIAL, Pergulatan Nalar & Nurani, Vol-III/No-03/Desember/2010 hal., 235
137
Nenek Mina dan Rasmina, dari keterangan mereka, barang yang diambil
sudah mereka akui, dan sudah mereka meminta maaf, seharusnya ini
menjadi pertimbangan dalam kasus ini. Kedua nenek tersebut tidak
mengakui bahwa memang betul, itu bukan milik mereka, nenek Mina
Berjanji tidak mengulanginya lagi, Nenek Rasmian mengaku diberikan oleh
majikannya, sudah sepatutnya hakim mempertimbangkan diluar Undang-
undang. Sebab menurut penulis, keadilan ditemukan dalam masyarakat.
6. Pandangan keadilan Jhon Rawls.
Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagai mana
kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan
ekonomisnya, harus ditolak dan direvisi jika ia tidak benar, begitupun juga
hukum dan konstitusi, tidak peduli betapapun`efesien dan rapinya, harus
direformasi atau dihapus jika tidak adil. setiap orang memiliki kehormatan
yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak bisa
membatlakannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan
bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal-hal lebih besar yang
didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang
dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagaian besar keuntungan
yang dinikmati banyak orang. Karena itu dalam masyarakat yang adil
kebebasan warga negara dianggap mapan, hak-hak yang dijamin oleh keadilan
tidan tunduk pada tawaran-tawaran politik atau kalkulasi kepentingan sosial.
Satu-satunya hal yang mengijinkan kita untuk menerima teori yang salah
adalah karena tidak adanya teori yang lebih baik, secara analogis, ketidak
138
adilan bisa dibiarkan hanya ketika ia butuh menghindari ketidak adilan yang
lebih besar. Sebagai kebajikan utama manusia, kebanaran dan keadilan tidak
bisa diganggu gugat. 94
Proposisi tersebut nampak menunjukan keayakinan intuitif kita
tentang keutamaan keadilan. Tak layak proposisi tersebut diutarakan
terlampau kuat. Dalam setiap kesempatan Rawls ingin mencari tahu apakah
penegasan tersebut atau penegasan yang sama adalah masuk akal, dan jika ya,
bagaimana proposisi tersebut dapat dibernarkan. Sekarang katakanlah sebuah
masyarakat tertata dengan baik ketika ia tidak hanya dirancang untuk
meningkatkan kesejahteraan anggotanya namun ketika ia juga secara efektif
diatur oleh konsepsi public mengenai keadilan, yakni masyarakat dimana;
1. Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut
prinsip keadilan yang sama
2. Institusi-institusi sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan
prinsip-prinsip tersebut
Sebagai warga negara, Rasmina dan Mina hanya ingin memenuhi
kebutuhan hidup mereka, kedua nenek ini sudah selayaknya dipelihara oleh
negara, sebagaiman termuat dalam dasar negara Indonesia Pancasila (sila ke-
lima) dan UUD 1945 pasal 34 ayat1 (1) dan Ayat (2). Negara memnpunyai
peran penting dalam menjaga dan melindungi, bukan hanya secara ekonomi
semata, tetapi pada saat mereka terjerak kasus hukum semacam ini, perbuatan
94
Jhon Rawls, Teori keadilan, Pustka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal 3-4.
139
mereka sebetulnya ini pukulan kepada negara yang bisa dikatakan gagal
memenuhi kewajiban mereka. Hakim seharusnya melihat tidak hanya pada
Undang-undang semata, tetapi harus juga mempertimbangkan keadilan sosial
sebagai jaminan dari negara. Dalam menyikapi nilai kerugian materill yang
terjadi, maka surat edaran Mahkama Agung No 2 Tahun 2012, Tentang
Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP,
menegeskan untuk memperhatikan nilai kerugian yang di alami, apabila nilai
kerugiannya Rp,2.500.000.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) maka
pelaku dapat dipidanakan.