27
BAB III MENENTUKAN PRIORITAS DALAM AHP Pada bab ini dibahas mengenai AHP yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty di Wharton School of Business University of Pennsylvania pada sekitar tahun 1970-an dan baru dipublikasikan pada tahun 1980 dalam bukunya yang berjudul The Analy- tic Hierarchy Process Saaty [12]. Setelah membahas AHP kemudian dibahas tentang bagaimana menentukan bobot (prioritas) dalam AHP tersebut dengan menggunakan metode dekomposisi nilai singular. Pada akhir bab ini akan disajikan contoh perhi- tungan dari matriks perbandingan berpasangan yang ditentukan dekomposisi nilai singular nya untuk mendapatkan prioritas. III.1 Prinsip dan Tahapan AHP Secara umum terdapat tiga prinsip yang menjadi satu kesatuan di dalam meng- konstruksi AHP. Tiga prinsip yang dimaksud adalah: decomposition, comparative judgment, dan synthesis of priority. Decomposition Decomposition yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsur yang lebih sederhana. Selanjutnya, dibuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan kriteria-kriteria, kemudian sub-kriteria dengan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Jika ingin menda- patkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan pemecahan lagi. Pemecahan tersebut akan menghasilkan beberapa tingkatan dari suatu persoalan. Oleh karena itu proses analisis ini dina- makan hierarkhi. Contoh hierarkhi dalam AHP seperti pada gambar 3.1 : 31

BAB III MENENTUKAN PRIORITAS DALAM AHP - …digilib.itb.ac.id/files/disk1/694/jbptitbpp-gdl... · 2016-06-08 · Secara umum terdapat tiga prinsip yang menjadi satu kesatuan di dalam

  • Upload
    habao

  • View
    212

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB III

MENENTUKAN PRIORITAS DALAM AHP

Pada bab ini dibahas mengenai AHP yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty di

Wharton School of Business University of Pennsylvania pada sekitar tahun 1970-an

dan baru dipublikasikan pada tahun 1980 dalam bukunya yang berjudul The Analy-

tic Hierarchy Process Saaty [12]. Setelah membahas AHP kemudian dibahas tentang

bagaimana menentukan bobot (prioritas) dalam AHP tersebut dengan menggunakan

metode dekomposisi nilai singular. Pada akhir bab ini akan disajikan contoh perhi-

tungan dari matriks perbandingan berpasangan yang ditentukan dekomposisi nilai

singular nya untuk mendapatkan prioritas.

III.1 Prinsip dan Tahapan AHP

Secara umum terdapat tiga prinsip yang menjadi satu kesatuan di dalam meng-

konstruksi AHP. Tiga prinsip yang dimaksud adalah: decomposition, comparative

judgment, dan synthesis of priority.

Decomposition

Decomposition yaitu memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsur yang lebih

sederhana. Selanjutnya, dibuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum,

dilanjutkan dengan kriteria-kriteria, kemudian sub-kriteria dengan kemungkinan

alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Jika ingin menda-

patkan hasil yang akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsur sampai

tidak mungkin dilakukan pemecahan lagi. Pemecahan tersebut akan menghasilkan

beberapa tingkatan dari suatu persoalan. Oleh karena itu proses analisis ini dina-

makan hierarkhi. Contoh hierarkhi dalam AHP seperti pada gambar 3.1 :

31

32

Gambar 3.1: Contoh Hierarkhi AHP

Comporative Judgment

Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pa-

da suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya. Penilaian ini

merupakan inti dari AHP karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap prioritas

elemen-elemen. Hasil dan penilaian ini akan tampak lebih baik bila disajikan dalam

bentuk matriks perbandingan berpasangan ( pairwise comparison).

Misalkan kita mempunyai n obyek yang akan dibandingkan dari suatu tingkat hirar-

ki yang dinotasikan oleh C1, C2, C3, ..., Cn dengan bobot pengaruh masing-masing

w1, w2, ..., wn. Bila diketahui nilai perbandingan elemen Ci terhadap elemen Cj

adalah aij , i, j = 1, 2, 3, ..., n, maka kita dapat menuliskan matriks perbandingan

33

berpasangan A sebagai berikut:

A ∼=

C1 C2 · · · Cn

C1 a11 a12 · · · a1n

C2 a21 a22 · · · a2n

......

... . . . ...

Cn an1 an2 · · · a33

Matriks A merupakan matriks positif n×n yang reciprocal yaitu aji = 1aij

. Matriks

tersebut konsisten jika aij.ajk = aik, untuk i, j, k = 1, 2, 3, ..., n. Dengan demikian

aij = aik

ajk. Jika A konsisten dan aij = wi

wj, dengan i, j = 1, 2, 3, ..., n maka dengan

mengalikan A dengan vektor w = (w1, · · · , wn)T diperoleh:

Aw = nw. (3.1)

Ini menunjukkan bahwa w merupakan vektor eigen dari matriks A dengan nilai eigen

n.

Skala dasar yang digunakan untuk membandingkan elemen-elemen tersebut oleh

Saaty dibuat dalam bentuk skala perbandingan yang selanjutnya kita sajikan sebagai

berikut;

34

Tabel 1. Skala Perbandingan Berpasangan, berdasar Saaty [11]

Bobot Definisi

1 Sama pentingnya

3 Agak lebih penting yang satu dengan yang lainnya

5 Cukup penting

7 Sangat penting

9 Mutlak lebih penting

2,4,6,8 Nilai antara

Kebalikan Jika i mempunyai nilai lebih tinggi dari j,

maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibanding dengan i

Rasio Rasio yang didapat langsung dari pengukuran

Synthesis of Priority

Dari setiap matriks perbandingan berpasangan yang telah dibuat kemudian dicari

vektor eigennya untuk mendapatkan prioritas lokal. Karena matriks perbandingan

berpasangan terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan prioritas glo-

bal harus dilakukan sintesa di antara prioritas lokal. Prosedur melakukan sintesa

ini berbeda menurut bentuk hirarki. Dari prioritas global akhir itulah yang di-

gunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Adapun tahapan- tahapan proses

pengambilan keputusan dengan AHP adalah sebagai berikut:

1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.

2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan

dengan sub tujuan-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada ting-

katan kriteria yang paling bawah.

35

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi

relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kri-

teria yang setingkat di atasnya.

4. Menghitung prioritas dan menguji kekonsistenannya.

5. Mengulangi langkah 3, dan 4 untuk seluruh tingkat hirarki.

Disamping ketiga prinsip dasar tersebut, hal lain yang harus diperhatikan dalam

membuat suatu keputusan dengan AHP adalah konsistensi dari jawaban. Idealnya,

setiap orang menginginkan keputusan yang konsisten. Namun demikian banyak

kasus yang kita tidak dapat mengambil keputusan yang benar-benar konsisten.

Dalam menggunakan AHP ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan responden

memberikan jawaban yang tidak konsisten, yaitu: keterbatasan informasi, kurang

konsentrasi, ketidakkonsistenan dalam dunia nyata, struktur model yang kurang

memadai. Sebagai contoh ketika seseorang mengatakan madu dua kali lebih manis

dari pada gula, dan gula tiga kali lebih manis dari pada sirup, maka kita tidak

bisa memaksakan bahwa madu enam kali lebih manis dari pada sirup. Salah satu

hal yang perlu dicatat dalam hal inkonsistensi adalah bahwa tujuan utama proses

pengambilan keputusan bukanlah derajat inkonsistensi yang rendah. Inkonsistensi

rasio yang rendah bersifat perlu namun belum cukup untuk sebuah keputusan yang

baik.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka Saaty telah mendefinisikan kekonsistenan suatu

36

keputusan yang dikenal dengan Indeks konsistensi (CI) sebagai berikut:

CI =λmax − n

n− 1

Adapun batas ketidakkonsistenan suatu matriks, oleh Saaty diukur dengan meng-

gunakan Consistency Ratio (CR) Saaty [12] yaitu perbandingan antara indek kon-

sistensi (CI) dengan nilai Indeks Random (RI).

CR =CI

RI

Indeks Random tersebut bergantung pada ukuran suatu matriks. Jika nilai con-

sistency ratio (CR) yang diperoleh kurang dari 10 persen, maka keputusan yang

diambil dianggap konsisten, akan tetapi jika rasio konsistensi yang diperoleh ternya-

ta lebih dari 10 persen, maka si pembuat keputusan disarankan melakukan kajian

ulang terhadap matriks perbandingan yang diperoleh. Ini artinya keputusan yang

diambil kurang konsisten.

Tabel 2. Tabel Indeks Random (RI)

N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

RI 0 0 0.58 0.90 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49 1.51

III.2 Dekomposisi Nilai Singular

Selanjutnya pada pasal ini dibahas mengenai dekomposisi nilai singular. Teori ini

akan digunakan dalam menentukan bobot prioritas dalam AHP. Kajian mengenai

dekomposisi nilai singular dapat di lihat pula pada Leon,S.J [7].

37

Teorema III.2.1 Misalkan A ∈ Mn(R). Nilai eigen dari matriks AT A adalah non-

negatif.

Bukti: Misalkan λ nilai eigen dari AT A. Karena AT A simetri maka λ adalah bila-

ngan real dan terdapat x ∈ Rn vektor eigen yang bersesuaian dengan λ. Kemudian

kita hitung panjang vektor Ax, yaitu:

|Ax|2 = (Ax)T (Ax)

= xT AT Ax

= xT λx

= λxTx

= λ|x|2.

Karena AT Ax = λx, dan |Ax|2 ≥ 0 serta |x|2 > 0 maka nilai λ ≥ 0. 2

Teorema III.2.2 (Dekomposisi nilai singular)

Misalkan A matriks berukuran m×n maka ada matriks diagonal D berukuran r× r

dengan r ≤ min m,n , matriks orthogonal Um×m dan matriks orthogonal Vn×n,

sehingga berlaku :

A = UΣV T (3.2)

dengan∑

adalah matriks berukuran m× n yang mempunyai bentuk :

∑=

D 0

0 0

.

38

Bukti: Menurut Teorema III.2.1 matriks simetri AT A dapat didiagonalkan secara

orthogonal dengan nilai eigen yang tak negatif. Misalkan

λ1 ≥ λ2 ≥ · · · ≥ λn

merupakan nilai eigen dari AT A. Kemudian nilai singular dari A didefinisikan seba-

gai σj =√

λj, dimana j = 1, 2, ..., n.

Misalkan rank (A) = r , maka rank (AT A) = r dan nilai eigen tak nol dari AT A

juga sebanyak r buah. Jadi, misalkan

λ1 ≥ λ2 ≥ · · · ≥ λr > 0 dan λr+1 = λr+2 = · · · = λn = 0.

Hal yang sama juga berlaku untuk nilai singular tersebut, yaitu

σ1 ≥ σ2 ≥ · · · ≥ σr > 0 dan σr+1 = σr+2 = · · · = σn = 0.

Selanjutnya misalkan v1,· · · , vn vektor-vektor yang saling ortogonal dan merupakan

vektor eigen dari AT A yang berkaitan dengan nilai eigen λ.

λ1 ≥ λ2 ≥ · · · ≥ λr > λr+1 = · · · = λn = 0.

Kemudian bentuk matriks :

V1 = [v1 · · · vr], V2 = [vr+1 · · · vn] V = [V1 V2]

39

yaitu matriks dengan kolomnya merupakan vektor eigen . Misalkan D dan∑

adalah

matriks-matriks berikut

D =

σ1 0 · · · 0

0 σ2 · · · 0

...... . . . ...

0 0 · · · σr

∈ Rr×r dan Σ =

D 0

0 0

∈ Rn×n.

Diperoleh untuk j = r + 1, · · · , n

AT Avj = 0

vTj AT Avj = 0

|Avj|2 = 0

Avj = 0,

sehingga AV2 = 0. Matriks V merupakan matriks orthogonal, maka

I = V V T = V1VT1 + V2V

T2

A = AI = AV1VT1 + AV2V

T2 = AV1V

T1 . (3.3)

Perhatikan bahwa untuk i, j = 1, 2, · · · , r

AT Avj = λjvj

vTi AT Avj = λjv

Ti vj

40

vTi AT Avj =

λj , jika i = j

0 , jika i 6= j

Jadi diperoleh bahwa vektor-vektor Av1, Av2, · · · , Avr saling ortogonal dengan pan-

jang |Avj| = λj 6= 0, j = 1, 2, · · · , r.

Oleh karena itu U = (u1, u2, · · · , un) dapat didefinisikan sebagai berikut

uj =1

σj

Avj untuk j = 1, 2, · · · , r. (3.4)

ur+1, · · · , un dipilih dari Rn sehingga u1, u2, · · · , un membentuk basis ortonormal.

Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan proses Gram Schmidt.

Misalkan U1=[

u1 u2 · · · ur

]maka berlaku

AV1 = U1D dan AV = UΣ. (3.5)

Matriks U tersebut adalah matriks orthogonal. Sekarang akan ditunjukkan bahwa

UΣV T = A . Dari persamaan (3.5) diperoleh

UΣV T =

[U1 U2

] D 0

0 0

V T

1

V T2

= U1DV T

1

= A1V1VT1

= A. 2

41

Teorema III.2.3 Misalkan A ∈ Mn(R), u1, · · · , un dan v1, · · · , vn adalah kolom-

kolom dari U dan V dan σi adalah diagonal-diagonal dari D, maka persamaan (3.2)

ekuivalen dengan bentuk:

A =n∑

i=1

σiuiviT (3.6)

Bukti:

A = UΣV T

=

[u1 u2 · · · un

]

σ1 0 · · · 0

0 σ2 · · · 0

...... . . . ...

0 0 · · · σn

vT1

vT2

...

vTn

=

[σ1u1 σ2u2 · · · σnun

]

vT1

vT2

...

vTn

=

[σ1u1v

T1 + σ2u2v

T2 + · · ·+ σnunv

Tn

]=

n∑i=1

σiuivTi . 2

Jelas nilai singular σk∗+1, · · · , σn lebih kecil, dibanding σ1, · · · , σk∗ untuk k∗ < n,

maka dengan menghilangkan n− k∗ ruas kanan bentuk (3.6) merupakan hampiran

yang baik untuk matriks A.

Definisi III.2.1 Misalkan matriks A = (aij)n×n. Norm Frobenius dari matriks

A ∈ Cn×n didefinisikan sebagai ‖A‖F =(∑n

i

∑nj |a2

ij|) 1

2 .

42

Teorema tentang hampiran rank rendah pertama kali dikemukakan oleh Eckart dan

Young yang dapat dilihat pada Eckart,Carl [4].

Teorema III.2.4 Misalkan A =∑r

i=1 σiuivTi ∈ Mn(R) bentuk dekomposisi nilai

singular dari A dengan σ1 ≥ σ2 ≥ · · · ≥ σr > 0 adalah semua nilai singular tak nol

dari A.

ϕ = X ∈ Mn(R) | rank (X) = 1 atau X = 0.

Tulis A[1] = σ1u1vT1 . Maka A[1] memenuhi persamaan

‖A− A[1]‖F = minX∈ϕ‖A−X‖F (3.7)

Teorema III.2.4 mengatakan bahwa A[1] adalah matriks berrank 1 yang terdekat

dengan matriks A, berdasarkan norm Frobenius.

Bukti: Dalam bukti ini kita asumsikan bahwa nilai minX∈ϕ‖A − X‖ ada. Jadi

misalkan X0 ∈ ϕ sehingga ‖A − X0‖F = minX∈ϕ‖A − X‖F . Selanjutnya akan

dibuktikan ‖A−X0‖F = ‖A− A[1]‖F .

Jelas bahwa A[1] ∈ ϕ sehingga ‖A−X0‖F = minX∈ϕ‖A−X‖F ≤ ‖A− A[1]‖F .

Jadi ‖A−X0‖F ≤ ‖A− A[1]‖F

Misalkan bentuk dekomposisi nilai singular dari X0 adalah

X0 = Q

w 0

0 0

P T untuk suatu w ∈ R+, w > 0

= QΩP T .

43

Tulis B = QT AP yang berarti A = QBP T sehingga

‖A−X0‖F = ‖Q(B − Ω)P T‖F = ‖B − Ω‖F .

Misalkan B =

b11 B12

B21 B22

maka ‖A − X0‖2

F = ‖b11 − w‖2F + ‖B12‖2

F + ‖B21‖2F + ‖B22‖2

F . Andaikan B12 6= 0

maka ‖B12‖2F > 0.

Perhatikan bahwa terdapat Y = Q

w B12

0 0

P T ∈ ϕ sehingga

‖A− Y ‖2F =

∥∥∥∥∥∥∥B −

w B12

0 0

∥∥∥∥∥∥∥

2

F

=

∥∥∥∥∥∥∥ b11 − w 0

B21 B22

∥∥∥∥∥∥∥

2

F

= ‖b11 − w‖2F + ‖B21‖2

F + ‖B22‖2F

< ‖A−X0‖2F

kontradiksi dengan pemisalan bahwa X0 memenuhi persamaan

‖A−X0‖F = minX∈ϕ‖A−X‖F .

Jadi haruslah B12 = 0.

Dengan cara serupa dapat ditunjukkan bahwa B21 = 0. Jadi B =

b11 0

0 B22

.

44

Sekarang bentuk Z = Q

b11 0

0 0

P T maka Z ∈ ϕ dan diperoleh

‖A− Z‖2F = ‖B22‖2

F ≤ ‖b11 − w‖2F + ‖B22‖2

F = ‖A−X0‖2F .

Karena ‖A−X0‖F = minX∈ϕ‖A−X‖F dan Z ∈ ϕ maka

‖A− Z‖2F = ‖A−X0‖2

F

yang berarti ‖b11 − w‖2F = 0 atau b11 = w.

Jadi QT AP =

w 0

0 B22

dengan w adalah nilai singular tak nol dari X0.

Karena rank(A) = r maka rank (B22) = r − 1.

Misalkan B22 = U2ΛV T2 , bentuk dekomposisi nilai singular dari B22

dengan Λ =

λ1 0

. . .

λr−1

0 0

λ1 ≥ 0 · · · ≥ λr−1 > 0.

Diperoleh

A = Q

1 0

0 U2

w

λ1 0

. . .

0 λr−1

0

1 0

0 V T2

P

45

adalah bentuk dekomposisi nilai singular dari A, sehingga

‖A−X0‖2F = ‖B22‖2

F = ‖Λ‖2F =

r−1∑i=1

λ2i

dan λ1, · · · , λr−1, w adalah nilai singular dari A. Supaya nilai∑r−1

i=1 λ2i minimal

haruslah w = σ1 dan λ1 = σ2 ≥ λ2 = σ3 ≥ · · · ≥ λr−1 = σr.

Jadi

‖A− A[1]‖F = ‖r∑

i=2

σiuivTi ‖F =

(r∑

i=2

σ2i

) 12

=

(r∑

i=2

λ2i−1

) 12

=

(r−1∑i=2

λ2i

) 12

= minX∈ϕ‖A−X‖F . 2

Teorema III.2.5 Menurut Gass,S.I.,Rapcsak [6] Dekomposisi nilai singular pada

matriks positif yang konsisten A memenuhi:

A =c1

c2

c1w1

c2w2

...

cnwn

[

1c1w1

, 1c2w2

, · · · 1cnwn

]

dengan w = wi ∈ Rn+

dengan c1 dan c2 adalah konstanta positif sehingga c21 =

∑ni=1

(1wi

)2

, c22 = 1Pn

i=11

w2i

,

dengan c1c2

adalah nilai singular pada A.

46

Bukti: Berdasarkan Corolari II.1.15 rank matriks positif yang konsisten = 1, dengan

bentuk umum matriks A adalah:

A =

w1

w1

w1

w2· · · w1

wn

w2

w1

w2

w2· · · w2

wn

...... . . . ...

wn

w1

wn

w2· · · wn

wn

=

1

w1

w1

w2

...

wn

1

w2

w1

w2

...

wn

· · · 1

wn

w1

w2

...

wn

=

1

c1w1

c1w1

c2w2

...

cnwn

1

c1w2

c1w1

c1w2

...

c1wn

· · · 1

c1wn

c1w1

c1w2

...

c1wn

=

1

c1c2w1

c1c2w1

c1c2w2

...

c1c2wn

1

c1c2w2

c1c2w1

c1c2w2

...

c1c2wn

· · · 1

c1c2wn

c1c2w1

c1c2w2

...

c1c2wn

=

c1

c1c2w1

c2w1

c2w2

...

c2wn

c1

c1c2w2

c2w1

c2w2

...

c2wn

· · · c1

c1c2wn

c2w1

c2w2

...

c2wn

47

A =c1

c2

1

c1w1

c2w1

c2w2

...

c2wn

1

c1w2

c2w1

c2w2

...

c2wn

· · · 1

c1wn

c2w1

c2w2

...

c2wn

=c1

c2

c1w1

c2w2

...

cnwn

[

1c1w1

, 1c2w2

, · · · 1cnwn

]. 2

Misalkan matriks A[1] adalah matriks ukuran n×n yang mempunyai rank 1, dibentuk

dari nilai singular terbesar dan berkorespondensi dengan vektor singular kiri dan

kanan pada A. Matriks A akan didekati dengan matriks A[1].

III.3 Menentukan Prioritas AHP Menggunakan Dekomposisi Nilai Singular

Dalam subbab ini akan dibahas metode menentukan vektor bobot dari suatu matriks

perbandingan berpasangan A dengan memanfaatkan dekomposisi nilai singular dari

A. Secara umum yang akan dilakukan ada 2 langkah :

1. Menaksirkan A[1] matriks rank satu yang dekat dengan A.

2. Menaksirkan matriks perbandingan berpasangan yang transitif yang dekat

dengan matriks A[1].

Dari Teorema III.2.2 dan Teorema III.2.3 didapat A[1] = σ1u1vT1 , merupakan ham-

piran matriks rank satu yang terbaik pada matriks A dengan menggunakan norm

Frobenius, yaitu matriks A[1] adalah solusi optimal masalah meminimumkan jarak

48

dalam bentuk

‖A− A[1]‖ = min

n∑i=1

n∑j=1

(aij − xij)2 (3.8)

untuk semua matriks X = (xij) rank satu.

Lema III.3.1 Vektor singular kiri u dan vektor singular kanan v yang berasosiasi

dengan nilai singular terbesar σ1 dan merupakan vektor eigen matriks AAT dan

AT A; komponen- komponennya positif.

Bukti: Misalkan A = U∑

V T , berdasarkan Teorema II.1.17 ada vektor x positif

yang memenuhi AT Ax = σ21x,dengan vektor eigen yang berkaitan nilai eigen σ2

1.

Lebih lanjut setiap vektor eigen dari AT A yang berkaitan dengan σ21 adalah keli-

patan dari x. Artinya vektor singular dari A yang terkait dengan σ1 memenuhi

v1 = kx, untuk suatu k. Pilih untuk k > 0 dan karena x > 0 maka didapat v1 = x‖x‖

sehingga v1 > 0 dipenuhi, selanjutnya bentuk u1 = Av1

σ1=

A x‖x‖σ1

, karena x‖x‖ > 0,

A > 0 dan σ1 > 0 maka u1 > 0. 2

AHP tujuannya tidak untuk menemukan hampiran satu rank yang terbaik pada

A, tetapi untuk mendapatkan hampiran yang baik pada vektor prioritas. Pemeca-

han masalah ini diterjemahkan sebagai masalah meminimumkan suatu ukuran atau

jarak. Karena komponen vektor u1 dan v1 positif, Merujuk dari Kullback dan Leibler

I-divergence information theory approach for measuring the difference of two discrete

probability distributions yang bisa di lihat di Meszaros,Cs [8], maka ukuran terse-

but dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah di atas. Kullback dan Leibler

mendefinisikan jarak antara x dan y dengan x, y ∈ Rn+ adalah

D(x‖y) =n∑

i=1

xilnxi

yi

−n∑

i=1

xi +n∑

i=1

yi, (3.9)

49

Perhatikan fungsi real

f(t) = ulnu

t− u + t untuk setiap t ∈ R+ untuk suatu u ∈ R+

f ′(t) =−u

t+ 1

Jadi titik kritis f(t) adalah t = u.

Misalkan t0 = u maka,

f(t0) = ulnu

t0− u + t0

= ulnu

u− u + u

= uln1− 0

= 0

Untuk t > u maka nilai f(t) positif dan untuk t < u nilai f(t) juga positif. Jadi

u merupakan titik minimum. Walaupun f(t) ≥ 0, tetapi tidak memenuhi sifat

transitif dan ketaksamaan segitiga pada metrik. Dengan memanfaatkan fungsi f(t)

tersebut, dapat disimpulkan bahwa D(x‖y) ≥ 0 dan D(x‖y) = 0 jika dan hanya jika

x = y.

Karena A[1] bukan matriks perbandingan berpasangan, selanjutnya A[1] didekati

dengan suatu matriks perbandingan berpasangan yang transitif A = 1wwT .

50

Diperoleh

A[1] −1

wwT = u1v

T1 − u1(

1

u1

T

) + u1(1

u1

T

)− 1

wwT

= u1vT1 − (

1

v1

)vT1 + (

1

v1

)vT1 −

1

wwT .

Perhatikan bahwa:

Jika w dekat dengan 1u1

maka A = 1wwT dekat dengan A[1]. Begitu pula jika w dekat

dengan v1 maka A = 1wwT juga dekat dengan A[1]. Dari argumentasi ini maka dicari

vektor w =

w1

...

wn

dengan∑

wi = 1 sehingga

Berdasarkan (3.9) menentukan vektor w yang dekat 1u1

dan vektor w yang dekat v

dapat diterjemahkan sebagai masalah meminimumkan fungsi g(w) berikut:

g(w) = D(u‖w) + D(1

v‖w)

=n∑

i=1

uilnui

wi

−n∑

i=1

ui +n∑

i=1

wi +n∑

i=1

1

vi

ln1

viwi

−n∑

i=1

1

vi

+n∑

i=1

wi,

dengan kendala eT w = 1, w ∈ Rn+.

(3.10)

Diperoleh

min g(w) =n∑

i=1

uilnui

wi

+n∑

i=1

1

vi

ln1

viwi

(3.11)

karena∑n

i=1 ui,∑n

i=1 wi = 1 dan∑n

i=11vi

tidak bergantung pada w.

51

Diperoleh:

gw1(w1) = −u11

w1

− 1

v1

1

w1

= −(u1 +1

v1

)(1

w1

)

...

gwn(wn) = −(un +1

vn

)(1

wn

)

(3.12)

diperoleh:

∇g(w1, w2, · · · , wn) = (gw1(w1), gw2(w2), · · · , gwn(wn))

∇h(w1, w2, · · · , wn) = (hw1 , hw2 , · · · , hwn)

= (1, 1, · · · , 1)

Menggunakan metode pengali Lagrange titik kritis harus memenuhi persamaan :

∇g = λ∇h

h = 0

berarti

g′w1(w1) = λ.1

g′w2(w2) = λ.1

...

g′wn(wn) = λ.1

52

diperoleh

λ = gw1(w1)

= −(u1 +1

v1

)(1

w1

)

...

λ = gwn(wn)

= −(un +1

vn

)(1

wn

)

Jadi

λ = −(ui +1

vi

)(1

wi

)

n∑i=1

wi = 1, w ∈ Rn+

(3.13)

Untuk suatu indeks j λ = −(uj + 1vj

)( 1wj

). Selanjutnya kita bandingkan wj dengan

wi kita peroleh:

−(uj + 1vj

)( 1wj

)

−(ui + 1vi

)( 1wi

)=

λ

λ= 1

−(uj + 1vj

)( 1wj

)

−(ui + 1vi

)( 1wi

)= 1

uj + 1vj

wj

.wi

ui + 1vi

= 1

uj + 1vj

ui + 1vi

=wj

wi

Karena∑n

i=1 wj = 1 dengan menjumlahkan kolom j diperolehPn

j=1 uj+1

vj

ui+1vi

= 1wi

53

Jadi,

wi =ui + 1

vi∑nj=1 uj + 1

vj

(3.14)

Misalkan gi(wi) = uilnui

wi+ 1

viln 1

viwi, untuk i = 1, · · · , n, dan wi > 0.

Dari persamaan (3.12) diperoleh pula :

g”1(w1) =

u1 + 1v1

w21

...

g”n(wn) =

un + 1vn

w2n

Jadi

g”i (wi) =

ui + 1vi

w2i

> 0

∀i = 1, 2, · · · , n.

Jadi, karena penyebut > 0 dan ui + 1vi

> 0 maka

g”i =

ui + 1vi

w2i

> 0, i = 1, · · · , n. (3.15)

Hal tersebut menunjukkan bahwa gi(wi) cekung ke atas dan titik (wi, g(wi)) adalah

merupakan titik minimum. Selanjutnya untuk gi, i = 1, 2, · · · , n g mempunyai so-

lusi tunggal sesuai persamaan (3.14) yang komponen-komponennya positif. Artinya

bahwa jarak A = ( 1wwT ) dari matriks A[1] yaitu matriks yang mempunyai rank

satu dengan matriks A cukup dekat. Sehingga kita dapat menggunakan matriks

54

A = ( 1wwT ) untuk menentukan vektor prioritas dari matriks A.

Dengan demikian untuk menentukan vektor bobot dari suatu matriks perbandingan

berpasangan, dengan menggunakan metode dekomposisi nilai singular dapat dihi-

tung dengan menggunakan vektor singular kiri dan kanan yang berkorespondensi

dengan nilai singular terbesar diperoleh dengan rumus sebagai berikut

wi =ui + 1

vi∑nj=1(uj + 1

vj), (3.16)

dengan u = (u1, u2, · · · , un) dan v = (v1, v2, · · · , vn) adalah vektor singular kiri dan

kanan yang berasosiasi dengan nilai singular terbesar pada matriks perbandingan

berpasangan A.

III.4 Contoh Perhitungan Menentukan Prioritas

Untuk lebih jelasnya berikut akan disajikan contoh perhitungan menentukan prio-

ritas dalam matriks perbandingan berpasangan A menggunakan dekomposisi nilai

singular.

Misalkan

A =

1 0.5 1.25

2 1 2.5

0.8 0.4 1

, diperoleh AT =

1 2 0.8

0.5 1 0.4

1.25 2.5 1

dan AT A =

5.64 2.82 7.05

2.82 1.41 3.525

7.05 3.525 8.8125

.

55

Langkah selanjutnya dicari nilai eigen dari matriks AT A didapat λ1 = 15.863 dan

λ2 = 0 dan λ3 = 0. Vektor eigen yang bersesuaian dengan λ1 = 15.863 adalah

v1 = (0.596 0.298 0.745), vektor eigen yang bersesuaian dengan λ2 = 0 adalah

v2 = (0 0.928 − 0.371) dan vektor eigen yang bersesuaian dengan λ3 = 0 adalah

v3 = (0.803 − 0.222 − 0.554).

Vektor-vektor vi yang saling ortonormal adalah

V =

0.596 0.667 0.447

0.298 0.333 −0.894

0.745 −0.667 0

Selanjutnya akan ditentukan vektor u1, u2 dan u3

u1 =1

σ1

Av1 =1√

15.863

1 0.5 1.25

2 1 2.5

0.8 0.4 1

0.59628

0.29814

0.74536

=

0.421

0.842

0.337

serta vektor u2 dan vektor u3 diperoleh

u2 =

0.151

0.301

−0.942

u3 =

0.894

−0.447

0

.

56

Sehingga didapat dekomposisi nilai singular dari matriks A sebagai berikut:

A = U∑

V T

=

0.421 0.151 0.894

0.842 0.301 −0.447

0.337 −0.942 0

3.98 0 0

0 0 0

0 0 0

0.596 0.298 0.745

0.667 0.333 −0.667

0.447 −0.894 0

=

1 0.5 1.25

2 1 2.5

0.8 0.4 1

.

Kemudian akan ditentukan prioritas dari masing-masing alternatif. Untuk baris

ke-1, diperoleh

w1 =u1 + 1

v1∑nj=1 uj + 1

vj

=0.421 + 1

0.596

0.421 + 10.596

+ 0.151 + 10.298

+ 0.894 + 10.745

=2.099

7.842

= 0, 264

57

Untuk baris ke-2, diperoleh

w2 =u2 + 1

v2∑nj=1 uj + 1

vj

=0.842 + 1

0.298

0.421 + 10.596

+ 0.151 + 10.298

+ 0.894 + 10.745

=4, 117

7.842

= 0, 525.

Untuk baris ke-3,diperoleh

w3 =u3 + 1

v3∑nj=1 uj + 1

vj

=0.337 + 1

0.745

0.421 + 10.596

+ 0.151 + 10.298

+ 0.894 + 10.745

=1.655

7.842

= 0, 211.

Jadi urutan prioritas sebagai dasar pengambilan keputusan adalah : w2 = 0.525,

w1 = 0.264 kemudian w3 = 0.211.