Upload
phungxuyen
View
224
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
81
BAB IV
ANALISIS PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DALAM
PERSPEKTIF PENDIDIKAN PEMBEBASAN MENURUT
PAULO FREIRE
A. Beberapa Permasalahan (Problematika) dalam Pendidikan Islam
Berbicara tentang problematika pendidikan Islam sebelumnya kita
harus tahu tentang Islam itu sendiri. Penulis mengajak tidak hanya potongan-
potongan ayat yang diambil untuk kepentingan egoisme dan nafsu
kesombongan. Banyak realitas yang ada dalam perkembangan Islam sehingga
muncul sejarah yang tidak sekedar cerita atau rekayasa.
Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama
sekali tidak mempunyai kausalitas sosial. Pemahaman yang utuh terhadap
Islam tentulah harus menyertakan pula dimensi sejarah (historis) yang
merupakan bangunan dasar atas situasi masa kini. Kita tahu yang banyak
terjadi “banyak orang yang belajar sejarah, tetapi tidak belajar dari sejarah”.
Islam sebagai sebuah agama tidak saja memiliki pendekatan teologis
sebagaimana kisah-kisah nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan
penggambaran yang jelas dalam al-Qur’an, tetapi lebih dari itu Islam juga
tidak mengabaikan kausalitas sosial, tidak salah kalau Asghar Ali Engineer
mencermati sejarah Islam memberi perimbangan antara pendekatan teologis
dan pendekatan sosiologis.
Sebelum penulis membidik apa yang menjadi problematika
pendidikan Islam, akan sedikit menyinggung tentang asal usul Islam.
Bagaimanapun juga asal usul Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial,
dengan Makkah sebagai settingnya, sebagaimana asbab al-nuzul penurunan
ayat-ayat al-Qur’an oleh Allah SWT.
Kesadaran yang tepat diperlukan untuk memahami sesuatu dan
mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan semata-mata
persepsi inderawi yang dimiliki setiap orang.
82
Kita tahu makkah adalah tempat kelahiran Islam, seperti dimaklumi
pada saat kedatangan Nabi (Muhammad) dikenal sebagai pusat perdagangan
internasional. Banyak pedagang elit di sana, mereka yang kaya ini membuat
konglomerat antar suku dan memonopoli perdagangan di kawasan kerajaan
Byzantium. Hal ini mereka lakukan demi mengeruk keuntungan tanpa
mendistribusikannya kepada suku yang miskin dan membutuhkan. Tentu saja
kelompok pedagang ini berbeda dengan suku asli Islam Makkah seperti Badui
misalnya yang memiliki cara pandang dan etika kesukuan tertentu, misal
watak egalitarian (kebersamaan) di sinilah benturan terjadi antara kaum
pedagang yang senantiasa mengembangkan kepemilikan pribadi,
memperbanyak keuntungan, menumbuhkan disparitas ekonomi dan
pemusatan kekayaan. Ini yang membuat berbeda dengan suku asli Makkah.
Maka Allah SWT. Mengutus Nabi Muhammad untuk menyelamatkan
Makkah. Dan dengan tegas Nabi Muhammad menentang praktek akumulasi
harta kekayaan dan mengingatkan bahaya dan konsekuensi dari tidak
membelanjakan harta di jalan Allah, kemudian bersama orang-orang lemah
dan tersingkir dari persaingan bebas di Makkah, Nabi Muhammad bergabung
dalam asosiasi yang dikenal atas dasar sebutan mereka terhadap persekutuan
ini dengan nama hilf al-fudul (tiga orang-orang tulus).
Dari latar historis, jelaslah bahwa Islam sebagai agama memiliki
potensi pembebasan atau yang biasa disebut sebagai agama pembebasan.
Islam pada kenyataannya tidak hanya gerakan keagamaan semata, namun
lebih dari itu merupakan gerakan transformasi yang tentu saja
mengembangkan paradigma transformasi.
Muhammad telah diutus untuk membimbing dan membebaskan
rakyat Arabia dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukan
kekayaan yang berlebihan, sehingga menyebabkan kebangkrutan dan
kesemrawutan sosial. Masa itu Islam merupakan tantangan serius bagi kaum
monopilis Makkah.1
1 Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam Pembebasan, (Jakarta: Penerbit Pena,2000).,
hlm. 81-85.
83
Dengan latar belakang inilah penulis ingin mengupas problematika
pendidikan Islam, tentunya penulis menelusuri buku-buku yang sudah ada dan
dikaitkan dengan realitas yang sudah nampak untuk dijadikan bahan penguat
analisis ini.
Berbicara tentang problem, khususnya pada pendidikan Islam
hakekatnya merupakan persoalan yang berhubungan langsung dengan
kehidupan manusia itu sendiri. dan persoalan (problem) itu mengalami
perubahan serta perkembangan sesuai dengan kehidupan tersebut baik teori
ataupun perkembangan sesuai dengan kehidupan tersebut baik teori ataupun
konsep operasionalnya. Tentunya di sini dibutuhkan kejelian dalam berfikir
dan menganalisis. Maka penulis ingin menginteraksikan literatur yang sudah
ada untuk diambil sebagai bahan untuk penunjang dan penguat analisis.
Setidak-tidaknya problematika pendidikan Islam meliputi:
1. Problem kerangka sistem dan metode pendidikan Islam
Dalam menghadapi masa depan negara maju dan berkembang telah
megidentifikasikan problema kependidikan masing-masing problema yang
mereka temukan pada dasarnya pada kerangka sistem (sistem yang
membelenggu kreativitas siswa atau guru) dan metode, apa dan bagaimana
pendidikan Islam yang mereka selenggarakan itu mampu berperan secara
efektif dan efisien dalam mempersiapkan generasi muda di masa depan.
Kualitas sumber daya manusia harus mampu memberdayakan sumber
daya alam dan lingkungan yang ada. Tentunya kreativitas serta berfikir
kritis merupakan langkah awal untuk membenahi sistem dan metode
dalam pembinaan, agar tunas-tunas bangsa memiliki kualitas hidup, dan
kehidupan lebih tinggi mutunya dalam segala bidang, tidak saja dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetapi dalam bidang mental
dan moralitas salah satu yang tidak boleh dinafikan.2
Ketika terjadi tawuran siswa antar sekolah, lembaga pendidikan
Islam menjadi sasaran kritik. Mereka (siswa) begitu tega dan berani saling
menyakiti bahkan saling bunuh (begitu naif). Menurut A. Qodri A. Azizy,
2 M. Arifin, Ilmu Perbandingan Pendidikan, ( Jakarta: PT Rineka Cipta,1994)., hlm. 65.
84
ada dua hal yang perlu dicermati a) Mengapa tega, dan b) Mengapa berani.
Yang pertama berkaitan dengan moral dan yang kedua berkaitan dengan
sistem hukum. Yang pertama erat sekali kaitannya dengan lembaga
pendidikan kita (pendidikan Islam), adapun yang kedua, di samping erat
dengan pendidikan Islam (agar mengajarkan taat terhadap hukum) terlebih
lagi erat kaitannya dengan materi ketentuan hukum dan penegakannya
(low enforcement). Demikian pula ada penegakan hukum namun materi
hukumnya jelek atau tidak mempunyai nilai keadilan (moral) sama saja
artinya dengan tidak ada penegakan hukum.3
2. Problem komersialisasi pada lembaga pendidikan Islam
Komersialisasi lembaga pendidikan merupakan salah satu problem
yang timbul pada pendidikan itu sendiri. di sini akan memunculkan
ketidakseimbangan (timbul persaingan tak sehat) antara si kaya dan si
miskin. Dengan adanya komersialisasi pendidikan justru itu akan lebih
memihak antara si kaya yang akan terus menjadi penguasa, mendominasi
segala sesuatu yang ada.4 “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin
miskin”.
Jika pendidikan Islam lebih mementingkan komersialisasi
pendidikan berarti pemerataan pendidikan hanya menjadi “slogan” belaka.
Yang terjadi penguatan terhadap yang sudah kuat sementara si miskin
dilarang untuk tidak sekolah sebab tidak mampu untuk membiayai
sekolah. Walaupun ada orang yang miskin yang sekolah di situ “melewati
jalan terjal”, kekurangan fasilitas, sarana, pasti akan tersingkir bahkan
putus sekolah (kuliah).
3. Problem pendidikan Islam memasuki abad ke 21
Memasuki abad ke-21, suatu bangsa dihadapkan perubahan global
menuntut adanya sistem keterbukaan politik, ekonomi dan budaya. Banyak
3 A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membanggun Etika Sosial, (Semarang:
Aneka Ilmu, 2003), hlm. 3. 4 Ainurrofiq Dawam, “Emoh Sekolah” Menolak Komersialisasi Pendidikan dan
Kanibalisme Intelektual Menuju Pendidikan Multikultural,(Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Pers, 2003)., hlm. 29-30.
85
orang mengatakan “era ini disebut dengan era persaingan bebas dan
keunggulan teknologi informasi”. Ini menyebabkan tatanan masyarakat
baru, akan melahirkan tuntutan dan tantangan baru pula. Tuntutan adanya
keterbukaan politik, pembagian keukasaan serta sumber daya alam,
menghargai hukum dan hak asasi manusia serta transparansi dalam
kebijakan pemerintah semakin kuat. Atas dasar inilah, maka untuk
memasuki era baru ini masyarakat menghendaki adanya desentralisasi
serta otonomi di segala bidang.5 Dalam bidang pendidikan, khususnya
pendidikan Islam apakah mampu bersaing untuk memenuhi tuntutan
masyarakat serta mampu menghadapi tantangan baru pula. Dengan adanya
desentralisasi serta otonomi pendidikan, apakah mampu membina dan
mempersiapkan generasi yang berkualitas di segala bidang. Ini merupakan
problem pendidikan Islam yang harus disikapi dan ditindak lanjuti.
Dalam bukunya A. Qodri A. Azizy dijelaskan abad 21 disebut pula
dengan millenium ketiga dan abad globalisasi. Konon, millenium ketiga
kelanjutan abad modern (dan modernisasi) yaitu antara lain kemajuan
Iptek, semakin besar materialisme, kompetisi global dan persaingan bebas
yang semakin ketat. Salah satu dampak negatif modernisasi adalah
menurunnya nilai agama. Sehingga pendidikan Islam di samping bayangan
tugas begitu berat menghadapi arus globalisasi, masih ada tugas yang lebih
berat lagi yaitu memperbaiki moralitas bangsa yang berpangkal dari
moralitas insan Indonesian melalui pendidikan agama (Islam).6
Mengantisipasi abad 21UNESCO (United Nations Educational
Scientific and Cultural Organization) telah merumuskan visi dasar
pendidikan yaitu learning to think (belajar bagaimana berfikir); learning to
do (belajar hidup atau belajar bagaimana berbuat/bekerja); learning to be
(belajar bagaimana tetap hidup, atau sebagai dirinya); learning to live
together (belajar untuk hidup bersama-sama). Ini artinya, pendidikan masa
depan menurut UNESCO haruslah mengacu pada empat dasar itu. Atau
5 Abdurrahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa,( Jakarta:PT Raja Grafindo Persada)., hlm. 79.
6 A. Qodri A. Azizy, op. cit., hlm. 28.
86
dapat dikatakan, jika tidak mengacu pada empat dasar tersebut maka
pendidikan tidak akan sesuai dengan tantangan kehidupan millenium
ketiga ini.7
Learning to think, membimbing siswa untuk berfikir secara
rasional, tidak semata-mata mengikuti “membeo” bahkan juga tidak
mandeg atau tumpul. Hasilnya akan menjadikan seseorang independen,
gemar membaca, mau selalu belajar, mempunyai pertimbangan rasional,
tidak semata-mata emosional, dan selalu curious untuk tahu segala
sesuatu. Learning to do, pendidikan dituntut untuk menjadikan anak didik
setelah selesai (lulus) mampu berbuat dan sekaligus mampu memperbaiki
kualitas hidupnya, sesuai dengan tantangan zaman. Ketatnya kompetisi
global, seseorang dituntut untuk semakin profesional, mempunyai skill
yang berkualitas untuk mampu berkompetisi. Learning to be, pendidikan
harus mampu membimbing peserta didik pada sikap tahu diri, sikap
memahami diri sendiri, sadar kemampuan diri sendiri dan nantinya akan
mampu menjadikan dirinya mandiri. Di samping itu, learning to be
(belajar untu hidup) juga memberi arti mengajarkan sadar lingkungan
untuk menjaga bumi yang dihuni dari kerusakan. Learning to live together,
pendidikan memiliki kemampuan untuk menyadarkan siswa akan
“pluralisme”. Hal ini dapat terwujud jika setiap orang bersedia menerima
kenyataan akan adanya perbedaan.8
4. Problem dikotomi dalam sistem pendidikan Islam
Masalah ini klasik namun tetap aktual sebab selama ini masih
sering dipersoalkan, para pakar pendidikan (Islam), padahal dualisme
dikotomik menjebak pada pemasungan diri atau pembelengguan diri
menuju pada kejumudan dan kemunduran. Dualisme dikotomi ini,
nampaknya sudah berkembang dan dianggap sebagai sistem pendidikan
modern yang sesuai dengan zaman, sebenarnya hal ini tidak semestinya
terjadi dalam pendidikan Islam, misal perbedaan dunia dan akhirat bukan
7 Ibid., hlm. 29-34. 8 Ibid.
87
berarti menafikan salah satu namun memperjelas satu sama lain agar
manusia tidak terjebak dalam kebodohan dan kelalaian.
Memang ada sementara pihak yang mengklaim bahwa pada
awalnya pihak Barat justru pernah belajar kepada Islam, tetapi sekarang
sejarah sudah terbalik yaitu orang Islam yang belajar di Barat. Ini
menunjukkan ilmuan Barat mampu mengolah epistimologi yang mereka
pelajari dari Islam. Jadi sekarang cendekiawan muslim harus mampu pula
mengolah kembali agar epistimologi Barat dapat bersahabat dengan
Islam.9
Seharusnya pendidikan Islam tidak menghendaki terjadinya
dikotomi keilmuan, sebab dengan adanya sistem dikotomi menyebabkan
sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalis-empiris, intuitif
dan matrealistis. Keadaan tersebut tidak mendukung tata kehidupan umat
yang mampu melahirkan peradaban Islam. Kita tahu Islam untuk semua,
bukan milik pribadi, kelompok bahkan Nabi sekalipun. Dengan kata lain
tidak ada yang “monopoli Islam”. Penulis tegaskan Islam adalah Islam
untuk semua makhluk.10
5. Problem lemahnya semangat iqra’ dalam pendidikan Islam
Pendidikan Islam harus mampu menumbuhkembangkan semangat
iqra’ serta menanamkan dalam jiwa, alam berfikir dan berperilaku
terhadap umat Islam.11 Iqra’ haruslah diartikan dengan lebih luas lagi
yaitu “membaca, melihat, observasi, atau meneliti”. Apa yang harus
dibaca? Apa yang harus diteliti atau diobservasi? Yang harus dibaca
adalah semua ayat-ayat Allah baik yang tertulis di dalam al-Qur’an yang
dikenal sebagai ayat-ayat qauliyah, seperti al-Qur’an, Injil, Zabur maupun
Taurat, dan juga ayat-ayat Allah yang tersebar di seluruh jagat raya ini,
yang merupakan fenomena-fenomena alam, dan ini dikenal sebagai ayat-
9 Muslih Usa, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta ,( Yogyakarta: Tiara
Wacana,1991)., hlm. 3-4. 10 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jilit 2, ( Jakarta Raja
Grafindo Persada)., hlm. 6-7. 11 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pusataka Pelajar Offset,
1996 )., hlm. 15-16.
88
ayat kauniyah/ ini menunjukkan bahwa perintah kepada semua umat
manusia, khususnya umat Islam untuk mencari ilmu pengetahuan.12
Mencari ilmu harus terkait erat dengan keyakinan akan eksistensi Allah
Sang Pencipta, dan dengan ilmu pengetahuan itulah dapat menjalankan
tugas kekhalifahan.13
Penulis menambahi semangat iqra’ di sini harus diimbangi dan
disertai dengan semangat menulis (al-qalam).14 Minimnya umat Islam
untuk menulis karya tulis ini merupakan bagian dari problem pendidikan
Islam, bagaimana pendidikan Islam menumbuhkan pada anak didik, tidak
ketinggalan juga para guru atau dosen harus menjadikan tulis menulis
suatu kewajiban, untuk memperkaya khasanah keilmuan dan penemuan
baru dalam penelitian.
6. Problem metodologis dalam pendidikan Islam
Problem metodologis juga persoalan dalam pendidikan Islam, di
samping perlu kajian mengenai filsafat dan pendidikan juga perlu kajian
secara mendalam mengenai Islam sebagai agama yang diwahyukan bagi
petunjuk hidup manusia. Sebagaimana fungsi substansial suatu agama
dalam membimbing gerak dinamis akan tetapi juga mengajak manusia
menemukan jati dirinya yang mulia.15
Banyak orang menjadi segan untuk mengkaji dan menelaah ulang
bagaimana sesungguhnya tata kerja dan mekanisme proses pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran Islam di lapangan karena terhalang oleh sikap
mental yang lebih mendahulukan isi keyakinan umat Islam yang tidak
dapat diganggu gugat. Karena itulah, sangat penting mempertimbangkan
konteks perubahan sosial yang begitu cepat. Demikian pula faktor historis
yang melatarbelakangi setiap konsepsi ilmu-ilmu keagamaan, termasuk
12 M. Amin abdullah, dkk., Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan
Umum¸(Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2003), hlm. 108. 13 Ibid. 14 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 172. 15 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: SIPRESS,1993).,
hlm. 1-5.
89
corak metodologi yang disusun dan digunakannya. Itulah sebabnya dalam
wilayah metodologi yakni wilayah bagaimana proses pendidikan
dilaksanakan di lapangan perlu diteliti dan ditelaah ulang. Jika tidak
dikhawatirkan justru misi utama yang hendak diemban oleh pendidikan
Islam yakni untuk mentransfer nilai-nilai agama kepada anak didik dan
masyarakat pada umumnya justru malah tidak atau kurang mencapai
sasaran.
Untuk maksud itulah ilmu pendidikan Islam tidak boleh hanya
bersikukuh pada metodologi ajar-mengajar agama dengan pola
konvensional-tradisional perlu dicari terobosan baru sehingga isi dan
metodologi pendidikan agama menjadi aktual-kontekstual. Dengan
demikian, pelaksanaan pendidikan Islam akan relevan dan sesuai dengan
gerak perubahan dan tuntutan zaman.16
7. Problem epistimologis pendidikan Islam
Epistimologis adalah satu cabang filsafat yang memperbincangkan
seluk beluk pengetahuan, seperti sudah dikenal bahwa memperbincangkan
epistimologi tidak dapat meninggalkan persoalan sumber ilmu
pengetahuan dan beberapa teori tentang kebenaran.
Persoalan pertama, terkait dengan pertanyaan: Dengan apa ilmu
pengetahuan dapat diperoleh? Apakah lewat akal pikiran semata seperti
yang tampak ditemukan dalam bahasan mengenai aliran rasionalisme, atau
lewat pengamatan semata seperti dalam aliran empirisme, atau juga
dimungkinkan lewat cara lain yakni instuisi seperti dalam aliran
intuisionisme.
Sedangkan persoalan kedua terkait dengan pertanyaan: Dengan
apakah kebenaran ilmu pengetahuan manusia itu dapat digambarkan?
Dengan pola korespondensi, koherensi, atau praktis-pragmatis?
Namun, patut disayangkan literatur yang dapat dijadikan
pembimbing ke arah perbincangan epistimologi terhadap kerangka bangun
16 Abdul Munir Mulkhan, Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998),
hlm. 51-52.
90
keilmuan pendidikan Islam tergolong langka. Hal ini mengakibatkan
sulitnya perbincangan dan diskursus mengenai dasar keilmuan pendidikan
Islam tersebut. Apalagi bila keilmuan pendidikan Islam hanya terbatas
pada sekumpulan “doktrin agama Islam” yang harus ditransmisikan begitu
saja kepada generasi penerus lewat jalur pendidikan formal atau informal.
Dalam pengertian itu keilmuan pendidikan Islam terkesan lebih
banyak memfokuskan pada isi muatan materi yang harus ditransfer kepada
orang lain dan bukannya pada proses dan metodologinya. Bagaimana
sesungguhnya pendidikan Islam dilaksanakan dalam situasi dan zaman
yang terus berkembang dan berubah, merupakan persoalan penting yang
perlu dikaji.17
Dengan demikian pendidikan Islam harus mampu
mengintegrasikan agama dan ilmu dalam praktek kependidikan. Jangan
sampai ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan di Perguruan Tinggi Agama
secara terpisah, yang sekarang berjalan, sedang sekarang terjangkit krisis
relevansi (tidak dapat memecahkan banyak persoalan) mengalami
kemandekan dan kebuntuan (tertutup untuk pencarian alternatif-alternatif
yang lebih mensejahterakan manusia) dan penuh bias-bias kepentingan
(keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban),
maka gerakan rappochment dapat juga disebut sebagai gerakan penyatuan
atau reintegrasi epistimologi. Keilmuan adalah suatu keniscayaan dan
mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan
yang serba kompleks dan tak terduga pada millenium ketiga serta
tanggung jawab kemanusiaan bersama secara global dalam mengelola
sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia yang
berkualitas sebagai khalifah Allah di bumi.18
8. Problem nilai (dekadensi moral) pendidikan Islam
Pendidikan Islam memiliki peranan penting dalam persoalan
akhlak atau moral, apakah dengan era kebebasan ini pendidikan Islam
17 Ibid., hlm. 49-50. 18 M. Amin Abdullah, Menyatukan Kembali Ilmu-ilmu Agama dan Umum, op. cit., hlm.
6.
91
mampu memberikan pengaruh terhadap jiwa insan yang beradab,
berperilaku manusiawi.
Sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa di antara faktor
terpenting yang memberi sumbangan terhadap merosotnya ekonomi dan
peradaban umat dengan segala pranta sejarahnya adalah mundurnya etika
dan nilai-nilai yang dijunjung oleh masyarakat atau dalam “bahasa” agama
sebagai akhlak. Tampaknya hipotesis ini dapat dibuktikan Qunar Mirdal,
peraih di bidang ekonomi yang berasal dari Swiss, mengadakan penelitian
di sebelas negara tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab
keterbelakangan bangsa di bidang ekonomi. Pada akhir kesimpulannya, ia
mengatakan bahwa faktor akhlaklah yang menjadi penyebab utama
keterbelakangan tersebut. Apalagi dekadensi moral ini didukung oleh
sistem pendidikan yang menjadi kebijakan nasional tampaknya kurang
memberi perhatian terhadap pengembangan akhlak, di samping
manajemen pendidikan yang masih kurang baik.19
Secanggih apapun teknologi, sekaya apapun negara apabila KKN
menjamur dari tingkat bawah sampai elit (atas) ini akan menggerogoti
keberhasilan yang sudah ada. Mampukah pendidikan Islam mensikapi
problem dekedensi moral yang sudah menasional dan bahkan kemerosotan
moral internasional.
9. Kurangnya relevansi program pendidikan di sekolah dengan kebutuhan
pembangunan dalam pendidikan Islam
Sekolah yang mendukung kepentingan elitis non populis (tidak
berpihak pada rakyat atau masyarakat), tidak demokratis, tidak
berorientasi kearah kepentingan pembangunan tidak akan
mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat.20
Dengan demikian pendidikan Islam harus mampu merancang dan
mengimplementasikan program yang dapat mencakup di segala bidang
baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya bahkan bidang keilmuan dan
19 Suwandi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 170-171. 20 Ibid., hlm. 179.
92
teknologi. Misal, manusia dalam kehidupan sangat memerlukan IPTEK
karena dengan jalan itu manusia bisa mencapai cita-citanya, contoh: untuk
makan saja kita memerlukan sokongan ilmu pengetahuan kedokteran,
kesehatan, kimia, dan banyak lagi lainnya, ini hanyalah contoh kecil saja.21
10. Problem modernisasi sebagai tantangan pendidikan Islam
Pendidikan Islam harus dapat tampil ke permukaan sejarah di
tengah laju modernisasi dirinya sendiri,22 bukan berarti mengajak terlalu
matrealistis. Menengok kesalahan utama yang dilakukan budaya modern,
yang berpijak pada budaya Barat zaman renaisans karena terlalu
matrealistis, jangan sampai pendidikan Islam terjebak pada sejarah yang
sama.
Perlu dimengerti Islam tidak menentang kemodernan, sejauh
kemodernan itu dimanfaatkan bagi kepentingan membangun kesejahteraan
umat manusia, bukan untuk kepentingan pribadi-pribadi sebagaimana yang
dianut oleh budaya Barat. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan
diakui oleh Islam sebagai ketentuan yang telah ditetapkan atas manusia.
Penyimpangan kemanfaatan kemajuan itu berarti penyelewengan terhadap
ketentuan yang ada karena Allah SWT. telah menetapkan sunnah-Nya
sebagai jalan yang lurus.23
Namun modernisasi memunculkan gejolak, lihat setiap modernis
dalam melontarkan gagasan-gagasannya senantiasa berangkat dari
keprihatinannya terhadap keterbelakangan umat Islam dibanding dengan
masyarakat modern Barat, dan seterusnya mencari jalan pemecahan untuk
membawa umat Islam kepada kemajuan. Penulis menambahi umat Islam
itu demikian terbelakang disebabkan tangan dan kakinya terikat oleh sikap
taklid pada pemahaman para pendahulu agama tanpa berfikir kritis dan
21 Farid Nasution (eds.), Aktualisasi Pemikiran Islam, (Medan: Pustaka Widya Sarana,
1993), hlm. 121. 22 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, op. cit., hlm. 15. 23 Ibnu Musthofa, Keluarga Islam Menyongsong Abad 21, (Bandung: Mizan, 1993), hlm.
91-92.
93
kreatif.24 Inilah sebuah fenomena yang menjadi problem pendidikan Islam,
apakah mampu menepis keterbelakangan dan mampu menciptakan
peradaban baru yang didukung dengan kualitas umat manusia, khususnya
umat Islam.
Modernisasi bukanlah sebuah ancaman akan tetapi sikap kebegoan
(kebodohan) terhadapnya merupakan ancaman serius dalam tubuh umat
pemeluk agama Islam itu sendiri (khususnya orang yang berperan dalam
pendidikan Islam).25
11. Problem proses belajar mengajar (interaksi guru – murid) dalam
pendidikan Islam
Dalam proses belajar mengajar dibutuhkan hubungan yang
harmonis antara guru dan murid. Tentunya tidak hanya memiliki ikatan
secara lahiriah, struktural namun lebih dalam lagi harus memiliki ikatan
batin untuk belajar dan mengajar bersama; bukan berarti meninggalkan
kredibilatas atau eksistensi sebagai guru. Guru bukan segala-galanya,
namun guru adalah pembimbing dengan kasih sayang bukan sebagai
monster (killer).26
Sebaliknya murid jangan menjadikan guru sebagai orang yang
ditakuti dan dijauhi sehingga belajar hanya berkutat pada ruangan
keseharian yang menjenuhkan. Di mana saja dan kapan saja dapat belajar
bersama tidak ada sekat yang membatasi bukan berarti bebas yang tak
punya aturan.
Proses belajar mengajar tidak hanya berkutat pada materi
pelajaran. Persoalan hidup dan persoalan yang dihadapi harus menjadi
persoalan yang harus dipecahkan serta direspon oleh guru. Kegagalan
dunia pendidikan dalam menyiapkan masa depan umat manusia adalah
merupakan kegagalan proses belajar mengajar oleh guru dan murid adalah
kegagalan pendidikan itu sendiri.
24 Syahrin Harahap, Islam Dinamis, Menegakkan Nilai-nilai Ajaran al-Qur’an dalam
Kehidupan Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 179. 25 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, op. cit., hlm. 1-5. 26 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2005)., hlm. 132.
94
Dalam teori pendidikan hal semacam ini tidak menjadi masalah
namun dalam realitas hal semacam ini menjadi problem pendidikan Islam.
12. Problem ketidakserasian kurikulum dalam pendidikan Islam
Kurikulum yang dipergunakan di sekolah-sekolah yang
melaksanakan pendidikan Islam sekarang ini, baik swasta maupun negeri,
hanya memuat mata pelajaran yang beraneka ragam, jumlah jam pelajaran,
dan nama buku-buku pegangan untuk setiap mata pelajaran itu. Dengan
demikian kurikulum yang terpakai hanya sebatas pengajaran saja. Dapat
dikatakan “sampai sekarang ini kurikulum hanya berlangsung pengajaran
teori-teori keagamaan saja”. Kiranya hal ini disebabkan oleh
pencampurbauran antara pengertian pendidikan dengan pengertian
pengajaran dan percampurbauran antara pengertian Islam dengan teori-
teori keagamaan sangat disayangkan. Tamatan-tamatan dari sekolah-
sekolah berpredikat Islam justru tidak tahu dengan jelas dan lengkap
seluruh isi Islam yang Allah paparkan di dalam al_Qur’an yang
pelaksanaan telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw. Tamatan sekolah-
sekolah berpredikat itu tidak bercorak diri sebagaimana yang Allah
maksudkan di dalam al-Qur’an.
Untuk dapat membuat kurikulum yang tepat dan serasi dengan
tujuan pendidikan, maka harus dimulai dari menganalisa tujuan
pendidikan itu. Tujuan pendidikan senantiasa berupa pengungkapan corak
diri bernilai tinggi (intelektual, kritis atau peka terhadap realitas sosial dan
bertakwa) yang dimaksudkan sebagai pengabdian terhadap Allah SWT.27
namun yang banyak kita lihat persoalan visi komitmen pemerintah dan
kontruksi kesadaran masyarakat yang masih bernuansa fatalistik membuat
keringnya kurikulum dari realitas sosial dengan segala perkembangan
perubahan dan kemajuannya.28
Inilah berbagai problem pendidikan Islam, tentunya ini akan terus ada
di setiap langkah dan proses dalam pendidikan. Yang terpenting bagaimana
27 Burlian Somad, Beberapa Persoalan dalam Pendidikan Islam, ( Bandung: al Ma’arif,1981)., hlm. 103-104.
28 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis,( Yogyakarta: IRCiSoD, 2005)., hlm. 24-27.
95
pendidikan Islam mensikapi perubahan baru yang tidak hanya berhenti pada
orientasi kekinian, akan tetapi juga masa depan.
B. Analisis Problematika Pendidikan Islam dalam Perspektif Pendidikan
Pembebasan Menurut Paulo Freire
Pada kenyataannya Islam adalah sebagai agama yang memiliki
potensi pembebasan atau yang biasa disebut sebagai agama pembebasan.
Islam tidak saja merupakan gerakan keagamaan, tetapi lebih dari itu
merupakan gerakan transformasi yang tentu saja mengembangkan paradigma
transformasi.29
Islam, oleh banyak penulis sejarah bukan saja dianggap sebagai
agama baru melainkan juga sebuah liberating force suatu kekuatan pembebas
lewat manusia.
Harap dicatat juga bahwa personifikasi muslim sejati dalam al-Qur’an
adalah pada diri Muhammad, yang hidup bersama dan merasakan penderitaan
kaum tertindas membangkitkan harga diri mereka dan membebaskan mereka.
Dialah Nabinya kaum tertindas, pemimpin Islam pembebas.30 Dalam segi
inilah yang menyebabkan Islam dahulu, begitu cepat menyebar di penjuru
dunia.
Dari sinilah penulis menganalisis problematika pendidikan Islam
dalam perspektif pendidikan pembebasan Paulo Freire.
Diawali dari latar belakang di atas, serta dari proses bedah pendidikan
pembebasan Paulo Freire problematika pendidikan Islam meliputi:
1. Problem demokrasi dalam pendidikan Islam
Dalam pemikiran Yunani demokrasi semula berarti bentuk politik
di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan
politik. Dasar pemikiran modern tentang demokrasi ialah ide politis
filosofis tentang kedaulatan rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa semua
29 Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire Islam Pembebasan, (jakarta: Penerbit Pena, 2000).,
hlm. 84. 30 Ibid., hlm. 90.
96
kedaulatan rakyat dikembalikan pada rakyat sebagai subyek asli otoritas
manusia.
Masyarakat yang selaras dengan tradisi demokrasi biasanya akan
menggemparkan semua kekuatan yang cenderung memproduksi
perbedaan-perbedaan sosial dan kelas-kelas. Dapat dikatakan, “masyarakat
demokratis berusaha menjalin kehidupan bersama”. Di mana setiap orang
memiliki martabat sebagai manusia yang bebas. Martabat sebagai manusia
bebas ini menyebabkan manusia berhak memilih keyakinan dan pendirian
yang tidak diubah secara paksa oleh siapapun.
Demokrasi dan pendidikan mempunyai hubungan yang saling
menunjang karena pendidikan yang sifatnya demokratis akan
menempatkan anak-anak sebagai pusat perhatian, melalui pendidikan
anak-anak ditempatkan sebagai manusia yang dimanusiakan. Pendidikan
hanya memberikan layanan yang kondusif, bagi pertumbuhan dan
perkembangan optimal pada anak.
Suatu di sekolah harus merasakan bahwa sekolah bagi mereka
sungguh merupakan surga kecil yang menggembirakan, di sekolah siswa
harus dihargai, dipahami dan tidak dibodoh-bodohkan maupun diejek-
ejek, khususnya anak dari masyarakat miskin biasanya anak dari
masyarakat miskin sering dibodoh-bodohi, dipojok, diejek, dihina atau
dibiarkan semaunya. Peran guru sangat penting dalam hal ini.
Dengan kata lain pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran
dan membekali pengetahuan pada peserta didik menjadi masyarakat yang
demokratis. Dalam diri setiap peserta didik harus ditanam dan
dikembangkan sikap politik, meskipun sekolah bukan lembaga politik,
namun memiliki dampak yang signifikan atas proses politik lewat
tanggung jawab sekolah dalam membekali peserta didik dengan
pengetahuan dasar tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik, serta
mengembangkan daya kritis dan kejujuran dalam berkomunikasi dengan
masyarakatnya. Lebih dari itu sekolah memiliki tanggung jawab
97
melengkapi peserta didik dengan kemampuan memerankan fungsinya
sebagai anak bangsa di likungan masyarakat yang demokratis.31
Freire mengatakan bahwa tradisi yang terjadi di Brazil bukan
merupakan pertukaran ide-ide, melainkan pendiktean ide-ide. Semestinya
upaya yang dilakukan adalah mendiskusikan semua problema yang ada,
bukan pendiktean mata pelajaran pada murid tanpa boleh dibantah yang
terpenting seharusnya melakukan kerjasama dengan murid dalam
meluruskan permasalahan.32
Di sinilah letak problem pendidikan Islam belum maksimal dalam
menyikapi sesuatu. Pendidikan dilaksanakan apa adanya (tanpa
manajemen yang baik), tanpa mengurangi harga diri guru. Guru masih
menganggap orang yang serba tahu. Penulis tekankan lagi, bukan berarti
meremehkan guru. Dalam mendiskusikan masalah “ujungnya” kesimpulan
guru menjadikan jawaban yang harus dihafal karena dalam ujian keluar.
Inilah yang dimaksud Freire “pendiktean ide-ide”. Semestinya harus
mendiskusikan semua problema yang ada bukan pendiktean mata
pelajaran pada murid tanpa dibantah, akan tetapi bagaimana bekerjasama
dengan murid meluruskan permasalahan yang ada kaitannya dengan
realitas sosial yang ada.
Contoh kecil, pernah seorang guru baru selesai menerangkan suatu
materi pelajaran dan mengatakan, “pada pertemuan berikutnya ulangan”.
Ketika itu ada seorang siswa mengatakan bahwa ia belum mengerti materi
yang baru saja disampaikan oleh guru tersebut. Guru tersebut dengan
enaknya menjawab, “kalau enggak tahu, cari sendiri jawabannya!”,
sebegitu cuekkah guru terhadap muridnya yang tidak mampu ...?33
Dengan demikian, pembebasan haruslah dijalankan secara dialogis
dan demokratis. Dengan kata lain, “Tidak ada dominasi satu dengan yang
lain”. Seperti dalam perjuangan Freire di Brazil, Freire telah memulainya
31 Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial, (Yogyakarta: Logung
Pustaka,2004)., hlm. 86-90. 32 Ibid., hlm. 87-88. 33 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, op. cit., hlm. 177.
98
dengan jalan yang dialogis dan demokratis, ia tidak menetapkan dirinya
sebagai pendidik murni bagi rakyat, sebaliknya ia juga tidak menganggap
rakyat sebagai terdidik murni. Baik terdidik maupun pendidik, keduanya
diletakkan sejajar dalam suatu proses yang dialogis yang bermakna
“belajar bersama”.34
2. Problem dehumanisasi lembaga pendidikan Islam (menyangkut nilai
manusiawi)
Kepedulian terhadap pemanusiaan seketika membawa kita
pengakuan terhadap “dehumanisasi”. Keduanya merupakan sebuah
alternatif, hanya pemanusiaan yang menjadi fitrah manusia. Fitrah ini
kadang selalu diinjak-injak namun justru tiap kali diinjak ia makin
diteguhkan.35
Kita tahu Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, membimbing manusia
kembali pada fitrahnya. Tentunya pendidikan Islam harus pula
mengembalikan manusia pada fitrahnya, yaitu menghilangkan
dehumanisasi dan memperjuangkan humanisasi (memanusiakan) manusia.
Seringkali kita bersikap tidak “manusiawi” namun tidak menyadari
karena, terbelenggu oleh kebiasaan.36 Dapat dikatakan “kemapanan yang
menindas atau tidak manusiawi”, dianggap sebagai takdir yang tak dapat
diperjuangkan. Sama halnya dengan gagasan Freire pada dasarnya
mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah “proses
memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu
analisis bahwa sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya, mebuat
masyarakat mengalami proses “dehumanisasi”.
Untuk itu pendidikan Islam harus mampu membangkitkan
kesadaran kritis, mengajak untuk memahami sistem sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang tidak manusiawi (dehumanisasi). Secara lebih
34 Muh. Hanif Mulkhan, Paulo Freire Islam Pembebasan, op. cit., hlm. 134-135. 35 Paulo Freire, dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Libera Anarkis,
( Yogyakarta: pustaka Pelajar,2001)., hlm. 434-435. 36 Muhammad Munir Mursa, at-Tarbiyatul Islamiyah, (Beirut: Ilmu al-Kitab, 1977), hlm.
25.
99
rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisa
tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka
sendiri. ini yang belum dilakukan pendidikan pendidikan Islam, yaitu
menganalisa atau pandangan hidup umat Islam dan bertindak untuk
mengadakan perubahan yang lebih baik, lebih jelasnya merubah sistem
atau memperbaiki sistem dalam pendidikan Islam itu sendiri baik
manajemennya, administrasi kurikulum, pendidik dengan murid,
hubungan dengan masyarakat, hubungan denga pemerintah, hubungan
dengan orang tua, hubungan dengan lingkungan, dan yang terakhir
hubungan dengan Tuhan (Allah). Semua ini harus mencerminkan
humanisasi (nguwongke), terhadap murid, mahasiswa dan sebaliknya. Satu
sama lain tidak saling menonjolkan diri (mendominasi) akan tetapi
bersama untuk yang terbaik (insan kamil).37
Dengan demikian pendidikan pembebasan terwujud yaitu mereka
yang tertindas (istilah Freire) atau terkungkung suatu keadaan, menjadi
merdeka, mandiri, tak terikat dalam keadaan yang mendominasi dirinya.
Maka pendidikan Islam harus mengarahkan dengan pengarahan
pendidikan untuk manusia bebas, manusia otonom yang menguasai dirinya
sendiri, juga bagaimana mengarahkan pendidikan agar manusia berfikir
kritis dan menganggap dirinya subyek atas dunia dan realitas.38
3. Problem kurikulum mengambang (kekaburan kurikulum dalam pendidikan
Islam)
Selama ini apa saja yang diajarkan pada sekolah-sekolah hanya
gagasan idealis tanpa mau menyentuh persoalan realitas. Orang kemudian
hafal dengan rumus-rumus kimia, fisika, matematika atau teori-teori lain
yang dihadapi peserta didik, seperti contoh, penulis adalah orang desa, tapi
tidak tahu menahu bagaimana memperdayakan memberdayakan desa yang
baik dan sebagainya. Desa, tidak asing lagi mayoritas “petani”, justru
37 Mansour Fakih, dkk., Raharjo, Toto (eds.), Pendidikan Populer; Panduan Pendidikan
untuk Rakyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) , hlm. xiv. 38 Abdul Malik Haramain, Pemikiran-pemikiran Revolusioner, ( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2003)., hlm. 148.
100
penulis tidak tahu bagaimana mengolah tanah yang baik, menanam dan
memelihara. Terkesan kalau apa yang diajarkan di sekolah-sekolah hanya
sebatas “memori” belaka dalam pikiran kita. Dan juga sebagai simbul atau
tanda-tanda seseorang itu pernah sekolah. Apakah pendidikan Islam harus
dibawa menuju seperti ini, “yang kering dengan realitas yang ada”. Ini
hanya gambaran kecil.
Untuk menjadikan atau membimbing insan-insan yang peka atau
tanggap pendidikan Islam harus peka dan tanggap terhadap persoalan
realitas. Jangan sampai semasa sekolah orang tidak merasakan kalau apa
yang dikerjakan di sekolah mampu menjadikan manusia secara utuh.
Tidak mampu mengajarkan suatu keahlian untuk bidang-bidang tertentu.
Wajar kalau ada selentingan “menyudutkan persoalan pendidikan kita ini”.
Pendidikan kita anti realitas, tidak bisa mengantarkan seseorang untuk
menghadapi persoalan yang dihadapinya.
Haruskah pendidikan Islam hanya dapat menghasilkan orang-orang
yang hafal hadits, al-Qur’an serta hafal fikih, tentu saja “tidak”.
Kurikulum harus mampu menyentuh persoalan yang dihadapi baik
kekinian dan masa depan. Di samping itu, al-Qur’an, hadits, dan keilmuan
Islam dapat diwujudkan dan dikembangkan dalam sebuah upaya untuk
mewujudkan kemanusiaan dan menghilangkan penindasan berbentuk
apapun.
Namun akhir-akhir ini terdapat sebuah gagasan segar dari hasil
diskusi-diskusi tentang pendidikan sampai melahirkan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK). Setidak-tidaknya ini menjadi sebuah loncatan yang
cukup jauh ke depan berkaitan dengan penulis menyebut siklus
pendidikan.39
Ketika seseorang terjun di kehidupan nyata yang ditanyakan tidak
sekedar “kamu lulus apa”, “ijazah kamu apa” , namun “kamu mampu apa”
dan bisa apa kamu”.
39 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, op. cit., hlm. 134-135.
101
Itulah sebuah fenomena problem yang ada pada pendidikan Islam.
Jangan sampai kurikulum itu “mengawang” akan tetapi mempunyai
“wajah” terhadap realitas sosial di berbagai bidang.
Kurikulum sendiri haruslah jelas tujuannya, “kata Freire”. Freire
berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk humanisasi diri
dan sesama yaitu melalui tindakan sadar untuk megubah dunia. Dalam arti
“pengenalan tentang realitas” yang dilakukan yang tidak hanya bersifat
subyektif tetapi juga obyektif untuk memperoleh pengetahuan tentang
realitas. Freire tetap eksis dalam menyuarakan pendidikan kaum tertindas,
demikian filsafat pendidikannya yang luas dikenal.40
4. Problem kepincangan dalam proses belajar mengajar dalam pendidikan
Islam
Gaya mengajar atau cara bagaimana suatu mata pelajaran
disampaikan masih dinilai memperlihatkan kondisi yang statis tidak ada
prinsip dialogis dan partisipatoris dalam tiap-tiap pembelajaran. Yang
terjadi siswa sebagai obyek yang tertekan untuk menerima transfer nilai
keilmuan dari guru. Malah peran guru semakin dioptimalkan dengan
sekaligus memberikan kesan kalau guru itu sosok “maha tahu”. Hal
semacam ini akan menciptakan jurang pemisah antara guru dan murid,
kesenjangan dalam pendidikan semakin menciptakan kondisi statis dalam
proses pembelajaran.
Proses pendidikan atau pembelajaran membawa kelesuan-kelesuan
bagi peserta didik. Akibat kepincangan pengajaran yang diciptakan oleh
guru atau dosen. Kelesuan itu dialami oleh peserta didik ketika: Pertama,
ketika siswa yang sebenarnya vokal atau aktif dalam perkuliahan, hanya
saja sentimen-sntimen dari dosen killer itu menjadikan dirinya tegang dan
was-was serta khawatir jika terjadi yang tidak dinginkan. Dalam hal ini,
unsur represivitas (bersifat menekan) sangat jelas. Kedua, ketika peserta
didik justru merasa aman atau enjoy dengan sikap dosen atau guru, akan
tetapi dalam proses belajar mengajar itu menunjukkan sikap pasif. Peserta
40 Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas, op. cit., hlm. 49.
102
didik tidak hanya menjadi obyek pengajaran yang statis tapi juga bisa
dibilang kalau dia tidak kreatif dan kering dengan idealisme.
Kalau bercermin dari pola pemikiran Paulo Freire, apa yang
disebut dengan pembungkaman kreatifitas secara terang-terangan itu lebih
identik dengan konsep “kesadaran naif” (naival consciousness), sedangkan
represivitas yang terselubung itu boleh dikatakan identik dengan konsep
kesadaran magic (magic consciousness). Yang pertama menunjukkan
ketidaktahuan guru atau dosen dalam penyampaian suatu mata kuliah.
Sementara kedua dilihat dari kekhawatiran seorang dosen atau guru yan
merasa prestisenya terancam, maka dengan dalih memenuhi aturan-aturan
atau norma-norma dalam pengajaran, represivitas itu semakin terbungkus
dengan rapi. Dengan demikian pendidikan Islam semacam ini berarti
meghantarkan peserta didik menjadi makin bungkam.
Demikianlah beberapa gejala yang harus segera diatasi bersama-
sama berkaitan dengan persoalan-persoalan pendidikan Islam. Maka dari
masing-masing gejala itulah seyogyanya mengajak kita untuk merubah
kondisi. Dengan bertahap kemudian merubahnya secara total, ini yang
dimaksud Freire salah satu dari manifestasi (perwujudan) atas konsep
kesadaran kritis Paulo Freire.41
5. Problem kapitalisme lembaga pendidikan Islam
Banyak kasus yang terjadi anak sekolah yang bunuh diri yang tidak
dapat bayar SPP padahal cuma 5000 perbulan, sudah tidak asing lagi di
media elektronik orang tua gantung diri dan anaknya diracun, mati
bersama karena tidak mampu menanggung beban yang berat untuk
menyekolahkan anak dan menghidupinya; sangat menyedihkan sekali.
Ada lagi kasus “Hariyanto” Sekolah Dasar Muara Sading IV Garut
yang bunuh diri gara-gara tidak mampu memberikan biaya kegiatan ekstra
kurikuler? Dia merasa malu dan putus asa karena orang tuanya tidak
mampu membayar biaya sebesar 2500 rupiah untuk kegiatan sekolah itu,
41 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, op. cit., hlm. 132-135.
103
namun nyawanya masih bisa diselamatkan. Entah kapan kasus ini
berlanjut bila pendidikan kapitalisme mengakar dengan kuat.
Maka sekolah saat ini ibarat seperti pabrik yang memproduksi
barang-barang pasar untuk dikonsumsi oleh khalayak umum. Produk
sekolah berupa insan-insan untuk dengan status terdidik yang memakai
title bermacam-macam.42
Pendidikan kapitalis ditandai mahalnya biaya pendidikan, gedung
megah hanya orang kaya yang dapat masuk di sana. Banyak pendidikan
tersebar namun pendidikan yang kuatlah akan merobohkan pendidikan
yang lain. Dan ini mulai terlihat dalam pendidikan Islam.
Kalau pendidikan semacam ini akan banyak lagi korban-korban
yang akan terus berlanjut, kriminalitas, bunuh diri, putus sekolah dan
masih banyak lagi. Dengan demikian pendidikan tidak membebaskan dan
memanusiakan kaum tertindas, namun malah membelenggu yang
menjeratnya. Kekerasan tidak hanya bentuk penyiksaan yang dapat dilihat,
mahalnya pendidikan merupakan kekerasan, penindasan yang
memprihatinkan.43 Inilah problem pendidikan kita, khususnya pendidikan
Islam (semakin mahalnya biaya pendidikan yang diselenggarakan oleh
pendidikan Islam).
6. Problem kurangnya usaha penanaman kesadaran terhadap siswa dalam
pendidikan Islam
Kita tahu program-program “penyadaran” kini telah menjadi
agenda di seluruh dunia, misal Freire, melakukan gerakan melek hurufnya
dalam arti “penyadaran” terhadap proses berlangsungnya penindasan
politik di Ekuador dan Amerika Serikat.44
Apakah pendidikan Islam tidak melakukan hal baru atau melebihi
Freire sebagai pejuang sejati. Sangat naif bila pendidikan Islam berhenti
dalam debat “boleh berpolitik” atau “tidak boleh politik”, menigkatkan
42 Ibid., hlm. 137. 43 Abdul Malik Haramain, dkk., Pemikiran-pemikiran Revolusioner, op. cit., hlm. 163. 44 William A. Smith, Concientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire,( Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2001)., hlm. xii.
104
pengamatan dan upaya untuk menghilangkan penindasan merupakan salah
satu problem tersendiri di dalam pendidikan Islam. Islam adalah agama
sempurna sangat kurang sempurna bila pendidikan Islam hanya
mengambil sepotong dari ajaran Islam. Menghilangkan kesempurnaan
sama halnya mengajak kepada kemunduran atau kemandekan (stagnan).
Penulis lihat dari tingkat kesadaran dari kacamata Freire
pendidikan Islam baru sampai tingkat kesadaran magic, seseorang tidak
mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. bahkan dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari ia lebih percaya pada kekuatan takdir,
bukan berarti tidak percaya takdir Tuhan (Allah), namun pemahaman yang
salah itu yang menjadikan sesuatu menjadi kepercayaan “mitos inferioritas
alamiah” (kepercayaan rendah). Dengan kata lain menyesuaikan kondisi
yang ada walau itu sebuah penindasan, ketidakadilan dan hal lain yang
sama “untuk tidak memanusiakan” manusia seutuhnya.45 Ini yang pertama.
Kedua, pendidikan Islam sampai pada kesadaran naif itu dicirikan. Freire
melukiskan sikap naif dengan kata-kata sebagai berikut:
“Kesadaran naif ditandai dengan penyederhanaan masalah .... penjelasan yang fantastis .... dan argumentasi yang rapuh.46 Kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti, namun kurang mampu menganalisa persoalan-persoalan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lain-lain, yang mendukung suatu upaya pembebasan dari penindasan, keterbelakangan sekaligus solusi dari problem yang ada”.
Ketiga, kesadaran ketiga ini yang menjadi problem pendidikan
Islam. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktural sebagai
sumber masalah dan lebih menganalisis baik dalam struktur dan sistem
sosial, politik, ekonomi, budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.
Kesadaran ketiga ini dinamakan “kesadaran kritis” (critical
consciousness).
Selama ini pendidikan Islam masih belum mampu memahami
persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta belum
45 Ibid., hlm. 60. 46 Ibid., hlm. 69.
105
mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Dan juga belum
mampu menawarkan solusi alternatif dari suatu problem sosial.
Pendidikan Islam terpecah-pecah sehingga dalam pelaksanaannya “apa
adanya” tanpa manajemen yang baik.
Bila dikaitkan dengan realitas sosial yang ada, baik dengan
kemajuan teknologi dan informasi, masih sangat ketinggalan jauh,
haruskah pendidikan kering dengan realitas sosial dengan perubahan dan
perkembangannya? Tentu saja harus mengupayakan kesadaran kritis untuk
mengadakan perubahan baru. Jenis kesadaran kritis merupakan paling
ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya.
Ada lagi yang disebut kesadaran transformatif adalah puncak dari
“kesadaran kritis”, orang makin praksis dalam merumuskan suatu
persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas (hasrat
untuk maju) berada dalam posisi seimbang. Walaupun dalam konsep Islam
ini sudah ada namun pendidikan Islam sendiri masih mengalami
kepincangan dalam hal ini.
Padahal untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas
khususnya dalam pendidikan. Freire menggagas gerakan “penyadaran”
(conscientizacao) sebagai usaha membebaskan manusia dari
keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang menakutkan.
Maksudnya agar manusia bisa mengenal realitas (lingkungan) sekaligus
dirinya sendiri serta mampu menganalisis persoalan-persoalan yang
menyebabkan dan memberikan solusi.47 Seharusnya pendidikan Islam
mampu mewujudkan itu.
47 Mu’arif, Wacana Pendidikan Kritis, op. cit., hlm. 81-82.