Upload
vantram
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IV
PERKEMBANGAN INTELEKTUAL PADA MASA ABBASIYAH
Peradaban Islam masa Abbasiyah mengalami dinamika panjang dalam
perjalanannya, dimulai dari kemunculan, pertumbuhan, kejayaan dan
keruntuhannya. Dinamika ini selalu bertumpu pada aspek pendidikan dan
kemajuan intelektual sebagai tolak ukur. Titik kulminasi Dinasti Abbasiyah dalam
perkembangan intelektual yang didorong oleh kosmopolitanisme masyarakatnya,
merupakan suatu representasi tersendiri terhadap tingginya peradaban dan
kebudayaan Islam pada masa lalu. Akses berbagai gerakan intelektual dan proses
transmisi keilmuan selonggar-longgarnya, menumbuhkan perkembangan
intelektual yang signifikan pada masa ini, sehingga Muslim mampu meraih
puncak kemajuan intelektual.
A. Pendukung Perkembangan Intelektual Masa Abbasiyah
Sebagai tinjauan kritis dalam menelaah kemajuan intelektual yang
berlangsung pada masa Abbasiyah, perlu menyinggung faktor-faktor pendukung
kemajuan intelektual masa Abbasiyah selain faktor kosmopolitanisme
masyarakatnya. Yang perlu digaris bawahi, kosmopolitanisme masyarakat Islam
Abbasiyah menjadi faktor khusus yang tak bisa dipisahkan. Sikap keterbukaan
dan toleransi masyarakat Islam Abbasiyah sendiri untuk mempelajari dan
menerima budaya-budaya taklukan dan daerah lainnya, ikut andil dalam
menyemarakkan ilmu pengetahuan di lingkungan Islam.1
1 Naqiyah Mukhtar, “Helenisasi atau Islamisasi Ilmu Pengetahuan di Masa Klasik”, 115.
78
Faktor-faktor kemajuan intelektual masa Abbasiyah disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya motivasi internal Islam sendiri untuk menuntut ilmu
dengan tanpa batasan waktu. Sekaligus, adanya faktor eksternal, yaitu terjadinya
kontak antara orang-orang Islam dan kalangan non-Islam atau lebih tepatnya
dengan kebudayaan lain yang jauh lebih maju jika dibandingkan dengan
kebudayaan yang dimiliki Islam sendiri, seperti di Bizantium, Persia, dan India.
Stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, setelah kaum Muslimin mengembangkan
kekuasaannya ke daerah-daerah sekitarnya, juga turut menyumbangkan
semaraknya kondisi keilmuan ini.2
Faktor-faktor pendukung kemajuan intelektual Dinasti Abbasiyah
mempunyai dimensi yang sangat luas, oleh sebab itu, pembahasan mengenai
faktor-faktor pendukung kemajuan intelektual masa Abbasiyah akan dijelaskan
dalam beberapa faktor-faktor dominan yang mendukung tercapainya kemajuan
intelektual pada masa Abbasiyah. Faktor-faktor dominan tersebut merupakan
faktor-faktor yang bersifat khusus menjadi penentu majunya kemajuan intelektual
pada masa Abbasiyah dan secara khas hanya terjadi pada masa itu.
1. Dukungan Khalifah
Kemajuan intelektual Islam pada masa Abbasiyah sangat ditentukan
oleh dukungan maupun prioritas khalifah-khalifahnya. Namun, tidak serta-
merta ketiga puluh tujuh khalifah Abbasiyah yang pernah berkuasa,
memprioritaskan negara secara penuh dalam pengembangan intelektual
Muslim. Hanya beberapa khalifah yang mengapresiasi dan mendukung
secara serius kegiatan pengembangan intelektual.3
2 Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan, 172.
3 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 151.
79
Diantara ketiga puluh tujuh khalifah-khalifah Abbasiyah yang pernah
berkuasa, ada dua nama khalifah yang disebut-sebut sebagai khalifah yang
sangat memprioritaskan Abbasiyah dalam perkembangan intelektual.
Mereka ialah Khalifah Harun Al-Rasyid yang berkuasa antara tahun 170
s.d. 193 H/ 78 s.d 89 M dan putranya, Khalifah Al-Makmun yang berkuasa
antara tahun 198 s.d 218 H/ 813 s.d 833 M, dimana keduanya sama-sama
berkuasa pada era Abbasiyah pertama.4
Sebelum pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid yang berhasil
membawa Muslim dalam puncak keilmuan secara gemilang, Muslim telah
terlebih dahulu menemui ketertarikannya dalam kemajuan intelektual
sejak masa pemerintahan Khalifah Al-Manshûr. Peran Khalifah Al-
Manshûr tersebut, secara nyata terlihat pada pemindahan ibukota
Abbasiyah dari wilayah Arab ke Baghdad, yang berdekatan dengan
ibukota Persia, Ctesiphon pada tahun 762 Masehi.5
Pada awalnya, pemindahan tersebut tidak didasari atas inisiatif untuk
mengembangkan gerakan intelektual, akan tetapi pemindahan tersebut
menitik beratkan pada masalah keamanan yang kurang kondusif atas
berlangsungnya pemerintahan Abbasiyah di tengah orang-orang Arab
yang selalu berebut kekuasaan. Sehingga, langkah Khalifah Al-Manshûr
memindahkan ibukota Abbasiyah ke wilayah Baghdad merupakan suatu
upaya awal dalam membuka gerbang ketertarikan Muslim terhadap
budaya-budaya asing, khususnya Hellenisme, sebab, perpindahan ibukota
4 Kemajuan intelektual pada era Abbasiyah pertama, merupakan cermin kedaulatan penuh khalifah
dalam menjalankan kepemimpinannya, tanpa ada campur tangan kekuatan lain. Situasi ini secara
otomatis mendorong terciptanya kebijakan dan penentuan prioritas negara secara bebas. Abuddin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 153. Lihat juga Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 100. 5 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 28.
80
di dekat Persia, semakin mendekatkan orang-orang Muslim dengan
warisan Yunani yang sebelumnya telah akrab dengan Persia.
Khalifah Al-Manshûr lantas mengangkat tentara pengawal dan jabatan
penting pemerintahan dari orang-orang Persia, salah satunya ialah Khalid
bin Barmak yang berasal dari Balkh, Persia. Balkh (Bactra) merupakan
pusat ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Persia, sehingga sedikit
banyak, kontak Muslim dengan Persia menyebabkan Baghdad dipengaruhi
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani.6
Pengangkatan keluarga Khalid bin Barmak tidak terbatas pada
pengangkatannya sebagai akan tetapi juga pendidik anak-anak
khalifah di istana. Jadi, bisa dipastikan, ilmu-ilmu yang diajarkan oleh
keluarga Barmak akan banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu filsafat yang
memperoleh sentuhan budaya dari Yunani.
Khalifah Al-Manshûr merupakan khalifah yang mempunyai prioritas
tinggi dalam pemakaian tenaga-tenaga ahli spesialis untuk menyelesaikan
berbagai kehidupan pribadinya dan persoalan kenegaraan. Oleh sebab itu,
Khalifah Al-Manshûr mengaplikasikan bentuk kecintaannya pada ilmu
intelektual dengan mendukung segala bentuk-bentuk gerakan
intelektualisme yang tercermin dalam transfer karya-karya Yunani ke
Islam. Sebelum gerakan penerjemahan besar-besaran yang terjadi pada
masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun, Khalifah Al-Manshûr telah
mengakomodir gerakan serupa. Namun, niat tersebut mengalami kendala
yang disebabkan oleh kelangkaan penerjemah handal dan bahan-bahan
6 Ibid., 29.
81
ilmiah filosofi Yunani. Sehingga, gerakan penerjemahan tidak menemui
kemajuan seperti yang diharapkan, hingga permulaan abad ke 9 Masehi.7
Diceritakan, bahwa Khalifah Al-Manshûr mempunyai teks-teks filsafat
dan sains terjemahan dari Bahasa Yunani dalam jumlah besar, dan beliau
menggaji para penerjemah tersebut secara sukarela dan royal.8
Selanjutnya, pada kepemimpinan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang
dianggap sebagai khalifah yang cemerlang membawa Dinasti Abbasiyah
ke zaman keemasan selama kurang lebih 23 tahun.9 Baghdad muncul
sebagai pusat kekuatan di dunia dengan kemakmuran dan peran
internasional yang luar biasa. Abad ke 9, dunia dikuasai oleh dua nama
raja yang menguasai Barat dan Timur, masing-masing Raja Charlemagne
dan Khalifah Harun Al-Rasyid.10
Dari kebudayaan tinggi yang
ditampilkan oleh Dinasti Abbasiyah, jelas Khalifah Harun Al-Rasyid
memiliki kekuasaan yang lebih besar dari Raja Charlemagne.
Dibawah kepemimpinan Khalifah Harun Al-Rasyid, Baghdad berhasil
menapaki puncak intelektual Muslim. Bahkan, Khalifah Harun Al-Rasyid
tidak hanya mampu mendukung maupun mengapresiasi perkembangan
intelektual saja, tetapi ikut terlibat langsung dalam perkembangan
intelektual dan sangat mencintai ilmu-ilmu Islam, maupun ilmu-ilmu yang
mengadopsi dari luar Islam.11
Puncaknya, Khalifah Harun Al-Rasyid mendirikan
yang berfungsi menjadi perpustakaan, dan pada
7 Ibid., 30.
8 C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, 34.
9 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 149.
10 Philip K. Hitti, the History of Arabs, 370.
11 Ibid., 150.
82
akhirnya berkembang menjadi pada pemerintahan
putranya, Khalifah Al-Makmun. Khalifah Harun Al-Rasyid memanfaatkan
kekayaan untuk keperluan sosial, seperti pendirian rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter, dan laboratorium farmasi. Kesejahteraan rakyat
diperhatikan dalam bidang sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan sastra.12
Setelah Khalifah Harun Al-Rasyid, kepemimpinan selanjutnya jatuh ke
tangan putranya dari istri yang berdarah Persia, Khalifah Al-Makmun.
Khalifah Al-Makmun berhasil menjadi khalifah setelah merebut tahta dari
saudara tirinya, Al-Amin, putra Khalifah Harun Al-Rasyid yang berasal
dari istri berdarah Arab. Khalifah Al-Makmun merupakan pemimpin yang
berani, hebat, sabar dan cerdas.13
Tidak mengherankan, jika perebutan
kekuasaan antara Al-Makmun dan Al-Amin secara otomatis dimenangkan
oleh Al-Makmun yang dinilai sarat dengan kemampuan intelektual atas
ketangguhan watak Persia-nya.14
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Khalifah Al-Makmun
memelihara persamaan dan kedamaian kerajaan.15
Kecintaannya terhadap
ilmu pengetahuan mengantarkan pemerintahannya mencapai puncak
kemajuan intelektual, terutama setelah pendirian observatorium atau
12
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education (Colorado: University of
Colorado Press, 1964), 32. 13
PM. Holt, et.al., the Cambridge History of Islam, 120. 14 Pertikaian ini sebenarnya telah diprediksi oleh Khalifah Harun Al-Rasyid, dan mengantisipasi
kekhawatirannya tersebut dengan menulis surat wasiat yang ditulis tujuh tahun sebelum
kematiannya. Dalam surat wasiatnya, dia membagi kerajaan diantara kedua putranya. Putra
tertuanya, Al-Amin menerima gelar khalifahnya dan daratan Arab. Sedangkan Al-Makmun,
menerima daerah teritori Persia. Tetapi, pada kenyataannya pembagian ini mengalami intoleransi
dan tidak berjalan sebagaimana mestinya. G. E. Von Grunebaum, Classical Islam, A History 600-
1258, 90. 15
PM. Holt, et.al., the Cambridge History of Islam., 123.
83
perpustakaan fenomenal dalam sejarah pendidikan Islam,
yang merupakan pengembangan lanjut dari â.16
Gerakan penerjemahan masih tetap dilakukan dan didominasi oleh
penerjemah dari Aramaik. Gerakan penerjemahan tersebut sering
dilakukan secara bebas, tetapi jika menemui kasus pada bagian yang sulit,
penerjemahan kata per kata diusahakan, dan jika pada suatu kasus tidak
ditemukan suatu padanan kata atau terma yang tepat dari Bahasa Yunani,
maka kata “asli” dari Bahasa Yunani diadopsi dengan modifikasi kecil
yang disesuaikan dengan “warna” Bahasa Arab.17
Khalifah Al-Makmun merupakan penganut Mu’tazilah, bahkan,
Khalifah Al-Makmun menjadikan Mu’tazilah sebagai dasar negara.18
Mu’tazilah merupakan konsep keagamaan yang mana telah dikembangkan
pada kekhalifahan Harun Al-Rasyid dengan lima prinsip Mu’tazilah, yaitu
Mu’tazilah memungkinkan pengikutnya untuk
memandang mereka sendiri sebagai sebuah kesatuan yang lahir,
manifestasi dirinya sendiri yang tidak hanya sebagai sebuah pergerakan
teologi untuk penjagaan Islam terhadap doktrin-doktrin asing, tetapi juga
sebagai golongan yang mana menyampaikan sebuah solusi orisinal dari
masalah-masalah politik dengan menekankan kemasyhuran dari pemimpin
16
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, 177. 17
C. A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, 35. 18
Rasionalisme Mu’tazilah yang kuat mendominasi pada era Abbasiyah pertama, menyebabkan
kemajuan intelektual. Sebaliknya, pasca melemahnya masa-masa dominasi Mu’tazilah dan
menguatnya tradisionalisme, membawa dampak terhadap kemunduran kebudayaan dan pendidikan
Islam. Sholihan, Pernik-pernik Pemikiran Filsafat Islam, 24.
84
sebuah komunitas, dan kualitas yang mana bergantung dari pemimpin
tersebut.19
Wujud kecintaan Khalifah Al-Makmun terhadap Mu’tazilah,
ditunjukkan dengan aplikasi ajaran-ajaran Mu’tazilah dalam usaha-
usahanya memimpin Baghdad, terutama dalam pengembangan intelektual.
Khalifah Al-Makmun mendorong secara berkelanjutan pada
pengembangan sekolah Mu’tazilah yang secara khusus didirikannya.
didedikasikan pada gerakan penerjemahan dari filsafat
Yunani, dimana ajaran-ajaran Mu’tazilah sendiri merupakan metode-
metode yang sangat beralasan dan rasional.20
Peristiwa
menjadi peristiwa khas antara Mu’tazilah dengan
Khalifah Al-Makmun. Peristiwa memunculkan hal-hal negatif
berupa pemaksaan dan penyiksaan yang sarat akan konflik-konflik dan
kebencian. Akan tetapi, peristiwa sebagai ekses konflik politik
ternyata mampu merangsang munculnya integrasi sosial budaya dalam
bentuk komunitas keagamaan yang mempunyai kontrol sosial dan
agama.22
Sebab, komunitas yang terbentuk merupakan komunitas yang
direkatkan oleh tujuan-tujuan peribadatan, kekeluargaan, perniagaan,
pendidikan, dan hukum.23
19
PM. Holt, et.al., the Cambridge History of Islam, 123. 20
Ibid., 124. 21
merupakan kebijakan yang dilakukan oleh Khalifah Al-Makmun dengan melakukan
pemeriksaan terhadap pemuka masyarakat terkait dengan doktrin kemakhlukan Al-Qur’an, diikuti
pemaksaan dan penyiksaan bagi yang tidak menerima doktrin tersebut. Kebijakan Khalifah Al-
Makmun dalam memberlakukan, didasari oleh prinsip Mu’tazilah, tepatnya prinsip
dan M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, 23. 22
Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan, 174. 23
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, 83.
85
berlangsung selama kurang lebih 15 tahun, menimbulkan
kebencian terhadap Mu’tazilah. Karena Mu’tazilah menjadi dasar negara,
hal itu sama artinya dengan kebencian terhadap pemerintah Abbasiyah.
Pada akhirnya dihentikan pada kepemimpinan Khalifah Al-
Mutawakkil dan paham tradisionalis diterapkan.24
2. - Sebagai Perangsang Gerakan Intelektual
Keberadaan - dalam pentas gerakan intelektual, tidak
bisa diabaikan perannya. - merupakan wadah yang
memfasilitasi para ilmuwan-ilmuwan untuk mengeksplorasi dan
melakukan berbagai penelitian, sehingga keberadaan -
sedikit banyak menunjang dan melecut semangat ilmuwan-ilmuwan
Muslim untuk berkegiatan intelektual.25
Latar belakang didirikannya -salah satunya
berdasarkan penyiaran ilmu pengetahuan. Pada masa itu, buku-buku sulit
untuk dimiliki, karena masih belum tersedia percetakan, sehingga
penyebarannya melalui tulisan tangan. - dinilai sangat
membantu dan bermanfaat besar bagi orang-orang yang haus ilmu.
- yang didirikan Khalifah Al-Makmun merupakan
penggabungan fungsi perpustakaan, pusat pendidikan tinggi, sanggar
sastra, lingkaran studi, dan observatorium yang kesemuanya dibawah
pengawasan Khalifah Al-Makmun.26
Posisi - dinilai sangat
penting sebagai lembaga penerjemah demi kesinambungan dan pelestarian
24
Sholihan, Pernik-pernik Pemikiran Filsafat Islam, 29-30. 25
George Makdisi, the Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, 28. 26
Salahudin, “Bayt Al-Ḥikmah Dan Kontribusinya Dalam Perkembangan Tradisi Keilmuan Islam
Pada Era Abbasiyah” Hunafa Vol. 8 No. 1 (Juni 2011), 62.
86
prestasi budaya manusia. Dalam kedudukannya sebagai perpustakaan,
- merupakan perpustakaan yang pertama kali didirikan di
dunia Islam yang mempunyai kedudukan tinggi.
- pada dasarnya merupakan kelanjutan dari
yang didirikan Khalifah Harun Al-Rasyid, tetapi
sebagai perpustakaan yang profesional dibuka untuk umum, para penulis
sejarah sepakat, bahwa itu dimulai pada masa Khalifah Al-Makmun, dan
sebagai perpustakaan, fungsinya sangat terkait dengan -
sebagai lembaga penerjemahan. Kelak, - akan menjadi
“teladan” bagi dinasti-dinasti Islam lainnya untuk menciptakan konsep
serupa dalam memfasilitasi kegiatan intelektual.
Keberadaan - sangat didukung oleh faktor internal,
yaitu terciptanya stabilitas politik, kemakmuran ekonomi dan adanya
dukungan dari khalifah, adanya kebebasan intelektual dan interaksi yang
positif antara orang-orang Arab Muslim dan non-Muslim secara toleran
dan penuh keterbukaan, adanya respon umat Islam terhadap usaha
pengembangan ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat
keagamaan dan pemikiran rasional, pertentangan yang terjadi antara
Mu’tazilah dan tradisionalis, dimana demi keperluan untuk
mempertahankan diri, sehingga memerlukan bahan-bahan dalam
perdebatan, dan perpaduan antara fungsi-fungsi -sebagai
lembaga penerjemahan, akademi, perpustakaan dan observatorium,
87
menyebabkan lembaga ini secara optimal memainkan perannya dalam
transmisi ilmu pengetahuan.27
Keterlibatan berbagai bangsa-bangsa dalam berkegiatan intelektual di
-yang sangat menghargai persamaan di kalangan umat,
dipersepsikan sama dengan penanaman konsep multikulturalisme.
Keterlibatan ilmuwan-ilmuwan dan pelajar-pelajar non-Muslim dan non-
Arab menjadikan - lembaga pendidikan pertama dalam
Islam yang mengusung persamaan dalam perbedaan. Mereka datang dari
kawasan Timur Tengah, Asia, Afrika, bahkan Eropa. Keberadaan mereka
menyebabkan kota Baghdad menjadi masyarakat multi etnis yang
kosmopolit. Interaksi antar pelajar dengan latar belakang berbeda,
menyebabkan timbulnya atmosfer akademik dan tradisi ilmiah luar biasa.28
Konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kehidupan
sehari-hari termasuk dalam kegiatan pendidikan di institusi ini. Nilai-nilai
kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan kesetaraan dapat
dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip-manuskrip dan
penerjemahan buku-buku sains Yunani. Selain itu, Khalifah Al Makmun
memberikan kebebasan dan kesetaraan kepada sarjana muslim dan non-
Muslim. Perbedaan etnik kultural dan agama bukan menjadi halangan
dalam penerjemahan berbagai kitab dari Barat. Para penerjemah itu berasal
dari berbagai suku bangsa dan agama.29
Perpustakaan dibangun untuk umum yang terdiri atas ruangan-ruangan
yang dilengkapi dengan karpet-karpet dan meja-meja mewah, tinta dan
27
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1998), 57. 28
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 176. 29
Soewito, et. al. Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 30-31.
88
kertas yang tersedia bagi para ilmuwan dan mahasiswa. Manuskrip-
manuskrip ditata di rak-rak, sehingga para pengunjung dengan mudah
menemukannya. Perpustakaan-perpustakaan itu menyimpan buku-buku
dari semua bidang, dari buku-buku yang berasal dari bangsa Timur dalam
bahasa Sansekerta sampai karya-karya terjemahan bahasa Arab atas buku-
buku sains dan filsafat bangsa Yunani.
B. Kemajuan Intelektual yang Dicapai Muslim Pada Masa Abbasiyah
Pada masa klasik, diskursus keilmuan Islam mencapai tingkat yang tinggi,
sehingga kemudian dapat disumbangkan pada perkembangan ilmu pengetahuan di
masa-masa sesudahnya. Islam dinilai membuka tabir-tabir ilmu intelektual yang
belum pernah terungkap, meskipun dalam pencapaiannya, tabir-tabir intelektual
yang disingkap oleh Islam tersebut mengadopsi dari beberapa budaya-budaya
asing, terutama dari Yunani. Semangat humanisme yang dimiliki masyarakat
Islam Abbasiyah, pada akhirnya membangkitkan kembali warisan-warisan Yunani
yang telah lama tidur.30
Kemajuan intelektual tersebut, secara otomatis merangsang
berkembangnya lembaga atau institusi pendidikan Islam, sesuai dengan kebutuhan
dan perubahan masyarakat Muslim pada waktu itu. Menurut Maksum,
perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu ditandai oleh perkembangan ilmu
dan perkembangan kebutuhan. Perkembangan ilmu dibutuhkan kaum Muslim
pada masa awal membutuhkan pemahaman Al-Qur’an sebagai apa adanya, begitu
juga membutuhkan keterampilan membaca dan menulis. Pada masa Abbasiyah,
sangat mungkin masyarakat Muslim mulai berhubungan dengan
30
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 65.
89
atau ilmu alam, seperti kedokteran, filsafat dan
matematika.31
Sedangkan perkembangan kebutuhan, waktu itu lebih disebabkan
oleh kebutuhan utama Islam dalam berdakwah. Karena itu, sasaran pun pada
mulanya ditujukan pada orang-orang dewasa. Ketika keadaan semakin baik,
penganut Islam semakin banyak dan kuat, terdapatlah kebutuhan untuk melakukan
pendidikan untuk anak-anak. Selanjutnya timbul kebutuhan untuk mendidik guru,
untuk pengembangan ilmu, dan untuk kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
lebih maju.32
Perkembangan intelektual yang berhasil dicapai merupakan range atau
hasil dari berbagai kajian intelektual yang dilakukan oleh masyarakat Abbasiyah.
Perkembangan intelektual yang tercapai, tidak sebatas pada keberhasilan Muslim
dalam merespon ilmu-ilmu keislaman saja, akan tetapi ilmu-ilmu umum yang
mendapatkan sumbangan dari budaya asing, khususnya Yunani.
Peradaban Yunani merupakan peradaban dari Barat yang sengaja diimpor
umat Muslim. Yunani sebagai masyarakat paling awal dalam sejarah,
memisahkan lembaga-lembaga kebudayaan, seni dan berbagai cabang
pengetahuan lainnya dari agama. Bangsa Yunani merupakan bentuk masyarakat
yang sangat sekuler. Falsafahnya didasarkan pada opini, bahwa kesempurnaan,
masyarakat harmonis yang penuh dengan keindahan serta keadilan hanya dapat
dicapai dengen intelegensi dan tanpa ada campur tangan supranatural lain.33
Berbagai penyesuaian dan penyelarasan terhadap peradaban yang tidak
sesuai dengan Islam, dilakukan untuk menciptakan kultur baru yang lebih baik.
Penyelarasan dan penyesuaian terhadap peradaban asing yang diasimilasikan
31
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, 54. 32
Ibid., 56. 33
Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, 23.
90
dalam Islam, menghasilkan berbagai keilmuan-keilmuan yang kemudian
berkembang menjadi ilmu-ilmu baru. Ilmu-ilmu tersebut berkembang seiring
dengan kontribusinya dalam peradaban manusia.
Gerakan penerjemahan karya-karya Hellenisme tidak hanya meninggalkan
karya-karya terjemahan atau saduran saja, tetapi juga memunculkan ikhtisar atau
interpretasi buku-buku yang bersumber dari Yunani karya orang Muslim.34
Muslim tidak hanya melakukan penerjemahan, akan tetapi juga mengembangkan
dengan melakukan perenungan, pengamatan ilmiah, dan memadukan dengan
ajaran-ajaran Islam. Sehingga, penerjemahan tersebut tidak terbukti sebagai
carbon copy Hellenisme.
Terlepas dari beberapa faktor-faktor dominan pendukung kemajuan
intelektual dunia Muslim pada masa Abbasiyah, keadaan tersebut lantas tidak
menemui kontinuitasnya, akan tetapi berbanding terbalik dengan berujung pada
kemunduran intelektual Muslim yang telah dicapai. Kemunduran tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor politik yang akut, sehingga kejayaan intelektual
Muslim tidak bisa diselamatkan. Uraian singkat mengenai kemunduran kejayaan
intelektual Muslim, akan disinggung di akhir bagian pembahasan, yang
sebelumnya didahului dengan uraian mengenai perkembangan intelektual yang
telah dicapai Muslim pada masa Abbasiyah.
Perkembangan intelektual Muslim pada masa Abbasiyah, sedianya terjadi
secara masif dan mengisi berbagai sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Maka,
dengan berbagai pertimbangan dan sesuatu hal, penjabaran mengenai kemajuan
intelektual Muslim pada masa Abbasiyah akan dijelaskan secara garis besar dan
34
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, 34.
91
menjadi pokok penting dalam kemajuan intelektual Muslim. Penjabaran mengenai
kemajuan intelektual Muslim, menyinggung kemajuan-kemajuan intelektual
dalam bidang filsafat, kedokteran, farmasi, optalmologi, geografi, matematika,
kebahasaan, teologi, kimia, seni rupa, metodologi penelitian, dan lain-lain.
Kepercayaan orang Arab terhadap karya-karya Aristoteles yang
merupakan kodifikasi filsafat Yunani yang lengkap, seperti halnya karya milik
Galen yang mewakili ilmu kedokteran Yunani. Dengan demikian, sebenarnya
filsafat dan kedokteran Yunani merupakan ilmu milik Barat, sebagai Muslim,
orang Arab mempercayai bahwa Al-Qur’an dan teologi Islam merupakan
rangkuman dari hukum dan pengalaman agama. Oleh sebab itu, kontribusi orisinal
Arab terletak di antara filsafat dan agama di satu sisi, dan di antara filsafat dan
kedokteran di sisi lainnya. Diakui, ilmu filsafat memang mendapat masukan
berupa pengaruh dari budaya luar, yaitu Hellenisme atau orang-orang Yunani.35
Filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran dalam arti yang
sebenarnya, sejauh hal itu bisa dipahami oleh pikiran manusia. Perkembangan
filsafat berakar dari tradisi filsafat Yunani yang dimodifikasi dengan para
penduduk wilayah taklukan, serta pengaruh-pengaruh Timur lainnya, yang
disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, dan diungkapkan dalam Bahasa Arab.36
Ali ibn Sahl Rabban Al-Thabari yang hidup pada pertengahan abad ke 9,
merupakan penulis buku , salah satu kompendium obat-obatan
tertua dalam bahasa Arab, dimana karya ini bertitik pada cakupan kajian filsafat
dan astronomi dan didasarkan atas sumber-sumber Yunani dan Hindu.37
Ketika
Islam menaklukan kerajaan Sasania, Islam mengenal ilmu kedokteran Yunani di
35
Sholihan, Pernik-pernik Pemikiran Filsafat Islam, 4. 36
Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education, 79. 37
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 457.
92
pusat-pusat pendidikan Nestoris dan Neo-Platonisme di Mesopotamia Utara.
Kedokteran Yunani sebagai satu sistem teori dan praktik berasal dari Hippocrates
yang menggunakan pendekatan rasional terhadap penyembuhan melalui observasi
dan pengalaman.
Penggunaan obat-obatan untuk penyembuhan telah mengalami kemajuan
yang berarti, sehingga dibukalah apotek pertama, sekolah farmasi pertama, dan
menghasilkan buku daftar obat-obatan pertama. Untuk menghindari malpraktik,
maka para tenaga medis yang terlibat dalam bidang kesehatan dibekali dengan
ijazah atau sertifikat, yang diperoleh dengan mengikuti semacam ujian dan tes.
Concern pemerintah terhadap dunia kesehatan publik yang begitu besar,
diwujudkan lebih lanjut dengan pengembangan sistem administrasi rumah sakit
Baghdad yang efisien dan peningkatan standar ilmiah profesi kedokteran.
Pendirian rumah sakit Islam pertama dengan meniru model Persia pada abad ke 9
dibawah kepemimpinan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang dinamakan dengan
menjadi pionir bagi berdirinya rumah sakit serupa seantero Islam.38
Di tengah pembatasan pengembangan ilmu anatomi, bisa dipastikan
pengembangannya menemui sedikit kemajuan, kecuali pada kemajuan kajian
tentang struktur anatomi mata. Kemajuan tentang struktur anatomi mata dilatar
belakangi oleh cuaca panas yang ada di Baghdad dan daerah Timur Tengah
lainnya yang seringkali menyebabkan penyakit mata. Maka, fokus kedokteran
paling awal diarahkan untuk menangani penyakit tersebut. Yahya Ibn Mâsawaih
menulis sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua yang berisi tentang
optalmologi. Buku yang berjudul (Sepuluh Risalah
38
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 158.
93
Tentang Mata) tersebut kemudian diterbitkan dalam Bahasa Inggris sebagai buku
teks optalmologi yang paling awal dimiliki dalam perkembangan anatomi mata.39
Dalam bidang hukum, teologi, filologi, dan bahasa, sebagai orang Arab
dan Muslim, Dinasti Abbasiyah berhasil mengembangkan pemikiran dan
penelitian yang rasional.40
Karya-karya terjemahan yang dihasilkan, banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Arab selama beberapa abad, serta berbagai kontribusi
baru mereka, masuk melalui daratan Eropa melalui Suriah, Spanyol, Sisilia,
kemudian membangun dasar-dasar ilmu yang mendominasi pemikiran Eropa
Pertengahan. Transmisi pengetahuan ini, tidak kalah pentingnya dengan
penemuan ilmu baru.41
Terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dalam bidang
Bahasa Arab yang menentukan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan.
Berkembangnya Bahasa Arab tersebut, tidak terlepas dari masa Dinasti Umayyah
yang menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa administrasi maupun bahasa ilmu
pengetahuan.42
Perkembangan teologi kian mantap pada masa Dinasti Abbasiyah.
Terutama, setelah Mu’tazilah mendominasi dan mendapat sentuhan dari
pemikiran Yunani, sehingga membawa pemikiran yang rasional dalam Islam.
Perkembangan literatur Arab banyak dipengaruhi oleh karya-karya filsafat
Aristoteles, karya komentator Neo-Platonis, dan tulisan-tulisan kedokteran Galen,
juga karya-karya ilmiah Persia dan India. Estetisme masyarakat Iran, pada
gilirannya mempengaruhi pada bidang kesenian. Karya sastra yang paling awal
39
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 455. 40
Ibid., 454. 41
Ibid., 454. 42
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam 55.
94
ialah , karya terjemahan dari Bahasa Persia Tengah. Selain itu,
sebelum pertengahan abad ke 10, draf pertama dari sebuah karya yang dikenal
dengan (Seribu Satu Malam) yang disusun di Irak, menjadi
acuan utama penulisan sastra serupa lainnya. diterjemahkan
pertama kali dalam Bahasa Perancis, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
utama Eropa dan Asia. Sehingga, kemudian menjadi sangat
terkenal di Barat sebagai karya sastra Arab paling populer, melebihi
kepopulerannya sendiri di dunia Timur Islam sendiri.
Demikian halnya, perkembangan intelektual Muslim tidak terlepas dari
metode penelitian yang menjadi tonggak utama bagi perkembangan intelektual
Muslim. Secara tersirat, penelitian oleh Muslim dilakukan dengan mengusung
metode yang diadaptasi dari pengetahuan Yunani.43
Namun, Muslim secara
karakteristik berbeda sama sekali dengan pengetahuan Yunani. Sarjana Muslim
telah mengembangkan metodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dari
sumber tertinggi, dengan mendapatkan pengalaman dan hubungan langsung
dengan Tuhan sebagai realitas mutlak.44
Pengetahuan Yunani didasarkan pada hipotesis dan opini, sedangkan
Muslim mendasarkan investigasi mereka pada observasi dan eksperimen. Ilmu
pengetahuan Yunani disusun atas alasan dan menekankan intelektualisme
melebihi apapun. Hal ini dikarenakan Yunani tidak membangun laboratorium,
sehingga mereka cenderung untuk mengabaikan proses observasi dan eksperimen.
Sebagai pembeda dari ilmu pengetahuan Yunani, Muslim tidak pernah menyetujui
hasil akhir, kecuali sebelumnya disertai dengan proses observasi dan eksperimen.
43
W. Montgomery Watt, the Majesty that Was Islam, 201. 44
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 108.
95
Oleh sebab itu, Muslim melengkapinya dengan membangun laboratorium. Jabir
Ibn Hayyan mempunyai laboratorium pribadi, dimana beliau mempersiapkan
macam-macam asam mineral dan campuran kimia. Demikian juga, Al-Birûni,
Umar Khayyam, Ibn Sina, Ibn Yunus, Tusi, Al-Khazimi, dan ilmuwan Muslim
lainnya mempunyai laboratorium atau bekerja di dalamnya. Hasil dari penelitian
mereka dibangun berdasarkan atas hasil eksperimen dan tidak hanya berdasar
pada alasan-alasan intelektual.45
Perkembangan ilmu matematika dipengaruhi oleh budaya India. Seorang
pengembara India memperkenalkan naskah astronomi ke Baghdad yang berjudul
. Dengan perintah Al-Manshur, naskah tersebut diterjemahkan ke dalam
Bahasa Arab oleh Muhammad ibn Ibrahim Al-Fazari dan menjadikannya sebagai
astronom Islam pertama. Pengembara India tersebut juga membawa naskah
tentang matematika, yang darinya bilangan-bilangan yang di Eropa disebut
sebagai bilangan Arab, dan oleh orang Arab disebut bilangan Hindia, masuk ke
dunia Arab. Pengaruh India memberikan kontribusi lanjut pada matematika Arab,
yaitu sistem desimal pada abad ke 9.
Kontribusi besar lainnya ialah dalam bidang kimia. Orang Arab telah
memperkenalkan tradisi penelitian objektif, sebuah perbaikan penting terhadap
tradisi pemikiran spekulatif Yunani. Meskipun akurasinya dikenal akurat dalam
mengamati fenomena alam dan giat dalam menghimpun berbagai fakta, orang
Arab tetap saja sulit dalam memberikan hipotesis yang memadai. Menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang sangat ilmiah, dan menjelaskan sistem yang sudah
baku merupakan titik lemah tradisi intelektual Arab.46
45
C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, 110. 46
Philip K. Hitti, the History of the Arabs, 476.
96
Perkembangan ilmu geografi menjadi satu disiplin ilmu yang banyak
dipengaruhi oleh khazanah Yunani. Buku Geography karya Ptolomius yang
menyebutkan berbagai tempat berikut garis bujur dan lintang bumi, diterjemahkan
beberapa kali ke dalam Bahasa Arab dari bahasa aslinya secara langsung. Ahli
geografi Arab pertama telah mengadopsi dari budaya India mengenai sebuah
keyakinan tentang adanya pusat dunia yang disebut dengan
Larangan para teolog mengenai semua bentuk-bentuk senirupa, tidak
cukup kuat menghentikan perkembangannya pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal
ini tidak lepas dari penggunaan produk-produk seni rupa untuk menghiasi istana
yang indah dan mewah oleh khalifah-khalifah Abbasiyah. Perkembangan seni
rupa, sebenarnya belum berkembang penuh hingga abad 14. Perkembangan seni
rupa terjadi, kebanyakan mendapatkan pengaruh kuat dari gaya seni gereja-gereja
Kristen Timur, khususnya Gereja Yakobus dan Nestor.48
Perkembangan intelektual yang terjadi melahirkan banyak ilmuwan
Muslim yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu-ilmu rasional, bahkan
ilmuwan-ilmuwan Muslim tersebut dikenal di Barat dan menggunakan hasil karya
dan pemikiran mereka dalam perkembangan intelektual Barat. Filosof Al-Kindi,
bergelar filosof Bangsa Arab, karena memang keturunan asli Arab dan
merupakan representasi pertama dan terakhir dari seorang Aristoteles di dunia
Timur. Sistem pemikirannya yang ekletisme, menggunakan pola Neo-Platonis
untuk menggabungkan pemikiran Plato dan Aristoteles, serta menjadikan Neo-
Pythagorean sebagai landasan semua ilmu. Harmonisasi antara filsafat Yunani
47
Ibid., 480-481. 48
Ibid., 529.
97
dengan Islam, kemudian dilanjutkan oleh Al-Farabi berketurunan Turki, dan
disempurnakan oleh Ibn Sina seorang Suriah.
Al-Farabi yang pernah dididik sebagai seorang sufi, mengkombinasikan
sistem filsafatnya dengan Platonisme, Aristotelianisme, dan mistisisme. Sehingga,
Al-Farabi dijuluki sebagai guru kedua setelah Aristoteles. Dalam karya Al-Farabi
yang berjudul Politik Madani, Al-Farabi terilhami oleh karya Republic milik Plato
dan Politics karya Aristoteles yang mengungkap konsep tentang sebuah kota
ideal, yang dipandang sebagai organisme hirarkis, serupa dengan struktur tubuh
manusia. Dalam konsepnya tentang kota ideal, tujuan dari sebuah organisasi
adalah untuk kebahagiaan warganya, dan pemegang kedaulatan adalah pihak yang
paling sempurna dari sisi moral dan intelektual.
Dalam puncak kemajuan intelektual tersebut, Muslim meninggalkan
berbagai karya-karya berharga, terutama buku-buku yang ditulis oleh para
ilmuwan Muslim dengan jumlah ratusan, hingga ribuan buku-buku penting dari
bermacam-macam cabang ilmu pengetahuan. Ibnu Sina menulis sekitar 246 buku,
diantaranya bukunya yang berjudul terdiri dari 20 seri. Karya Al- Birûni
yang berjudul , dan . Karya Ibn Al-
Haitam yang berjudul merupakan karya terkenal dan abadi, serta
diakui baik oleh teman maupun musuh-musuhnya sebagai karya yang
monumental. Sebagian besar dari mereka, bahkan menjadikan karya Ibn Al-
Haitam tersebut sebagai buku rujukan utama.49
49
C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, 111.
98
C. Kemunduran Intelektual Muslim Masa Abbasiyah
Kemunduran dunia intelektual Muslim identik dengan peristiwa jatuhnya
kota Baghdad di tangan Hulagu Khan pada tahun 1258 Masehi. Peristiwa tersebut,
bukan saja pertanda yang awal dari berakhirnya supremasi Khilafah Abbasiyah
dalam dominasi politiknya, tetapi berdampak sangat luas bagi perjalanan sejarah
umat Islam yang dikenal sebagai titik awal kemunduran umat Islam di bidang
politik dan peradaban Islam yang selama berabad-abad lamanya menjadi
kebanggaan Muslim. Dengan dibumihanguskannya kota Baghdad berikut
kekayaan intelektual yang ada didalamnya, maka berakhirlah kebesaran
pemerintahan Islam masa lalu, baik dalam wilayah kekuasaan maupun
intelektual.50
Penghancuran pusat kebudayaan Islam itu juga berakibat hilangnya dan
putusnya akar sejarah intelektual yang telah dengan susah payah dibangun pada
masa awal-awal Islam.51
Adanya kekalahan politik itu berpengaruh besar pada
cara pandang dan berpikirnya umat Islam yang telah mulai mengalihkan
pandangan dan pemikiran umat Islam yang semula berpaham dinamis berubah
menjadi berpaham fatalis.52
Maka, diluar faktor-faktor eksternal sebagai penyebab kemunduran
intelektual Islam, ada faktor internal yang sangat mendasari kemunduran
intelektual Muslim, jauh sebelum penyerangan Bangsa Mongol ke Baghdad.
Adanya kemandegan dan kemunduran dalam segala bidang secara praktis sangat
mempengaruhi juga bidang kajian pendidikan Islam. Kalau pendidikan Islam di
50
Nasarudin Yusuf, “Sketsa Pendidikan Islam Pada Masa Kemunduran Islam Dan Kontribusinya
Bagi Kebangkitan Kembali Eropa”, Iqra Vol.2, (Juli-Desember 2006), 2. 51 Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan, 177. 52
Syafiq A. Mughni, Dinamika Intelektual Muslim di Abad Kegelapan (Surabaya: LPAM, 2004),
2.
99
masa kemajuannya telah berhasil memberikan sumbangan dalam melahirkan
sumber daya manusia unggulan melalui lembaga-lembaga pendidikannya yang
belum pernah dikenal di masa itu, maka pada masa kemunduran Islam semua itu
telah harus terhenti atau minimal beralih fungsi.53
Perubahan sistem pengajaran
dan materi pelajaran terjadi di lembaga-lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan
telah dibatasi oleh para syaikh yang hanya melahirkan dan mencetak seorang sufi
yang menyakini segala fatwa sang syaikh adalah suatu dogma.54
Literatur Islam sejak masa kemunduran ini sudah tidak lagi menonjolkan
sisi orisinalitasnya, atau melahirkan sesuatu yang “baru”, tetapi lebih banyak
menggambarkan pengulangan-pengulangan dari apa yang pernah ditulis
pendahulunya. Tidak terbatas pada itu saja, dalam cara bersikap terhadap hasil
dari tulisan-tulisan para ulama diyakini sekali sebagai kebenaran mutlak yang
tidak dapat digugat oleh sembarang orang. Tulisan para ulama itu mereka pandang
adalah sebagai fatwa yang baku dan mutlak.55
Faktor politis yang mengiringi mundurnya intelektual Muslim juga dilatar
belakangi oleh meredupnya paham rasionalisme dan menguatnya paham
tradisionalisme. Faktor ini pada gilirannya membawa dampak pada kemunduran
kebudayaan Islam, terutama aspek kajian intelektual Islam.56
Perkenalan filosof
dan teolog Muslim dengan tradisi pemikiran Yunani kuno, di satu sisi telah
merangsang timbulnya pemikiran rasional dalam mendekati teks-teks suci, dan di
53
Ibid., 3. 54
Nasaruddin Yusuf, “Sketsa Pendidikan Islam Pada Masa Kemunduran Islam Dan Kontribusinya
Bagi Kebangkitan Kembali Eropa”, 4. 55
Syafiq A. Mughni, Dinamika Intelektual Muslim di Abad Kegelapan, 4. 56
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, 31.
100
sisi lain, telah menimbulkan bangkitnya kalangan tradisionalis yang sangat
membela “kemurnian teks”.57
Pola pemikiran tradisional dan rasional yang senantiasa dalam sejarahnya
dibawa pada suatu pola dikotomis-antagonistik, yang akan sangat sulit mencari
titik temunya. Tradisionalisme memberikan tempat dan ruang yang sempit bagi
peranan akal dan peluang yang luas diberikan pada wahyu, sedangkan pola
pemikiran rasional bersifat sebaliknya, memberikan tempat dan ruang yang luas
bagi akal dan ruang yang sempit pada wahyu. Rasionalisme yang sangat dijunjung
tinggi oleh Mu’tazilah, secara otomatis mulai melumpuhkan rasionalitas Muslim
dalam melakukan kegiatan intelektual. Runtuhnya Mu’tazilah sama artinya
dengan mundurnya intelektual Muslim dalam kajian ilmu-ilmu rasional. Ilmu-
ilmu rasional tersebut terwakili dalam ilmu-ilmu yang secara penuh didukung oleh
Khalifah Al-Makmun dalam penyelenggaraan pendidikan di .58
Praktis, pasca wafatnya Khalifah Al-Makmun, keberadaan -
kurang mendapat perhatian dari khalifah-khalifah sesudahnya, terutama
setelah menguatnya tradisionalisme. Selain itu, dari sudut politik, madrasah
merupakan media efektif untuk memenangkan pengaruh ulama sebagai
representasi dari gerakan kaum tradisionalis untuk mengkristalkan pandangan dan
ajarannya, sebab, penyebaran madrasah-madrasah Nizhamiyah sebagai ancaman
ulama tradisionalis terhadap ilmu-ilmu falsafah yang diusung -.59
Bahkan, pada masa kebangkitan madrasah-madrasah Nizhamiyah pada kejayaan
tradisionalisme, ilmu-ilmu rasional sangat dicurigai, sehingga tidak hanya ilmu-
ilmu rasionalnya saja yang mengalami pengekangan, akan tetapi juga lembaga
57
Affandi Mochtar, Membedah Diskursus Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalimah, 2001), 83. 58
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, 59. 59
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, 11.
101
yang ikut mentransmisikan keilmuannya, yaitu -yang
keberadaannya seolah-olah ditindas pada waktu itu.60
Keruntuhan Mu’tazilah menyebabkan pengekangan, sebab hukum
mempelajari ilmu-ilmu tersebut dihukumi “makruh”. Sehingga, ilmu-ilmu
rasional tersebut dipelajari secara sembunyi-sembunyi. Sebab, dengan
“pemakruhan” penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu umum
atau filsafat yang sangat dicurigai tersebut, dihapus dari kurikulum madrasah yang
sebelumnya telah ada. Untuk memenuhi hasrat akan haus untuk mempelajari ilmu
umum-umum itu, terpaksa dipelajari secara sendiri-sendiri, atau bahkan secara
sembunyi-sembunyi, mengingat ilmu-ilmu tersebut dipandang sebagai ilmu-ilmu
subversif yang dapat menggugat kemapanan doktrin mapan aliran Sunni dalam
bidang teologi dan fiqih. Kemajuan sains tersebut, dikarenakan hasil dari
pengembangan dan penelitian individu ilmuwan Muslim yang didorong oleh
semangat penyelidikan ilmiah untuk membuktikan ajaran-ajaran Al-Qur’an.61
60
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: dari Abad Pertengahan Hingga Masa Klasik, 50. 61
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, ix-x.