49
Kekayaan Negara yang Dipisahkan di Badan Usaha Milik Negara, Khususnya Perusahaan Perseroan dan Kaitannya Tindak Pidana di Korupsi Oleh Ridwan Khairandy A. Pendahuluan Persoalan korupsi bagi Indonesia telah masalah bangsa yang sangat mengkhawatirkan. Ia telah merambah ke dalam berbagai sektor kehidupan negara. Walaupun telah banyak upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, namun hasilnya dirasakan belum terlalu menggembirakan. Hal tersebut diakui sendiri oleh Presiden . Di tengah upaya penyidikan dan penuntutan oleh aparat penegak terhadap kasus korupsi di berbagai BUMN, khususnya Perusahaan Perseroan (Persero) yang begitu gencar, ternyata menimbulkan banyak kritik. Aparat penegak hukum seringkali dikatakan tidak memahami konsep badan hukum, seperti Perseroan terbatas (PT) atau Perusahaan Perseroan (Persero). Juga tidak dipahami benar apa konsekuensi yuridis penyertaan modal oleh negara dalam bentuk kekayaan negara yang dipisahkan dan Badan Usaha 1

Badan Hukum

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Badan Hukum

Kekayaan Negara yang Dipisahkan di Badan Usaha Milik Negara, Khususnya Perusahaan Perseroan dan Kaitannya

Tindak Pidana di Korupsi

Oleh

Ridwan Khairandy

A. Pendahuluan

Persoalan korupsi bagi Indonesia telah masalah bangsa yang sangat

mengkhawatirkan. Ia telah merambah ke dalam berbagai sektor kehidupan negara.

Walaupun telah banyak upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut,

namun hasilnya dirasakan belum terlalu menggembirakan. Hal tersebut diakui sendiri

oleh Presiden .

Di tengah upaya penyidikan dan penuntutan oleh aparat penegak terhadap

kasus korupsi di berbagai BUMN, khususnya Perusahaan Perseroan (Persero) yang

begitu gencar, ternyata menimbulkan banyak kritik. Aparat penegak hukum seringkali

dikatakan tidak memahami konsep badan hukum, seperti Perseroan terbatas (PT) atau

Perusahaan Perseroan (Persero). Juga tidak dipahami benar apa konsekuensi yuridis

penyertaan modal oleh negara dalam bentuk kekayaan negara yang dipisahkan dan

Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Akibatnya, tindakan aparat untuk memberantas

korupsi di BUMN ternyata bertentangan UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas (dulu UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas) dan UU No. 19

Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menjadi dasar eksistensi dan

kegiatan perusahaan dimaksud.

B. Korporasi sebagai Badan Hukum

BUMN, khususnya Persero pada dasarnya adalah sebuah korporasi, sebuah

badan usaha berbadan hukum yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Dengan

1

Page 2: Badan Hukum

memahami makna dan konsekuensi badan hukum, akan didapat pemahaman yang utuh

tentang Persero.

Pada dasarnya badan hukum adalah suatu badan yang dapat memiliki hak-hak

dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan seperti manusia, memiliki

kekayaan sendiri, dan digugat dan menggugat di depan pengadilan.

Badan hukum ini adalah rekayasa manusia untuk membentuk suatu badan

yang memiliki status, kedudukan, kewenangan yang sama seperti manusia. Oleh karena

badan ini adalah hasil rekayasa manusia, maka badan ini disebut sebagai artificial

person.

Di dalam hukum, istilah person (orang) mencakup makhluk pribadi, yakni

manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (persona moralis, legal person, legal

entity, rechtspersoon). Keduanya adalah subjek hukum, sehingga keduanya adalah

penyandang hak dan kewajiban hukum. Dengan perkataan lain, sebagaimana yang

dikatakan oleh J. Satrio, mereka ia memiliki hak/dan atau kewajiban yang diakui

hukum.1

Oleh karena badan hukum adalah subjek, maka ia merupakan badan yang

independen atau mandiri dari pendiri, anggota, atau penanam modal badan tersebut.

Badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendirinya seperti

manusia. Bisnis yang dijalankan, kekayaan yang dikuasai, kontrak yang dibuat semua

atas nama itu sendiri. Badan ini seperti halnya manusia memiliki kewajiban-kewajiban

hukum, seperti membayar pajak dan mengajukan izin kegiatan bisnis atas nama dirinya

sendiri.2

Nindyo Pramono3 menyatakan bahwa filosofi pendirian badan hukum adalah

bahwa dengan kematian pendirinya, harta kekayaan badan hukum tersebut diharapkan

masih dapat bermanfaat oleh orang lain. Oleh karena itu, hukum menciptakan suatu

kreasi “sesuatu” yang oleh hukum kemudian dianggap atau diakui sebagai subjek

1 J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 13.

2 Robert W. Hamilton, The Law of Corporation, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1996, hlm 1.

3 Nindyo Pramono, “Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Menurut UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN”, dalam Sri Rejeki Hartono, et.al, ed, Permasalahan Seputar Hukum Bisnis: Persembahan kepada Sang Maha Guru, Tanpa Penerbit, Jogjakarta, 2006, hlm 142.

2

Page 3: Badan Hukum

mandiri seperti halnya orang (natuurlijk persoon atau natural person). Kemudian

“sesuatu” itu oleh ilmu hukum disebut sebagai badan hukum (rechtspersoon atau legal

person). Agar badan hukum itu dapat bertindak seperti halnya orang alamiah, maka

diperlukan organ sebagai alat bagi badan hukum itu untuk menjalin hubungan hukum

dengan pihak ketiga.

Secara teoritik, baik di negara common law maupun civil law dikenal beberapa

ajaran atau doktrin yang menjadi landasan teoritik keberadaan badan hukum. Ada

beberapa konsep terkemuka tentang personalitas badan hukum (legal personality),

yakni:4

1. Legal Personality as Legal Person5

Menurut konsep ini badan hukum adalah ciptaan atau rekayasa manusia, badan

merupakan hasil suatu fiksi manusia. Kapasitas hukum badan ini didasarkan pada

hukum positif. Oleh karena personalitas badan hukum ini didasarkan hukum

positif, maka negara mengakui dan menjamin personalitas hukum badan tersebut.

Badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban tersebut diperlakukan sama dengan

manusia sebagai “real” person.

2. Corporate Realism6

Menurut konsep ini personalitas hukum suatu badan hukum berasal dari suatu

kenyataan dan tidak diciptakan oleh proses inkorporasi, yakni pendirian badan

hukum yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Suatu badan hukum

tidak memiliki personalitas sendiri yang diakui negara. Personalitas hukum ini tidak

didasarkan pada fiksi, tetapi didasarkan pada kenyataan alamiah layaknya manusia.

3. Theory of the Zweckvermogen7

Menurut konsep ini suatu badan hukum terdiri atas sejumlah kekayaan yang

digunakan untuk tujuan tertentu. Teori ini dapat ditelusuri ke dalam sistem hukum

yang menentukan – seperti hukum Jerman – bahwa institusi dalam hukum publik

(Anstalten) dan endowment dalam hukum perdata (Stiftungen) adalah badan hukum

4 Daniel Zimmer, “Legal Personality”, dalam Ella Gepken Jager, et.al, eds, VOC 1602 – 2002: 400 Years of Company Law, Kluwer Legal Publisher, Deventer, 2005, hlm 267 – 269.

5 Konsep legal personality as legal person ini dikenal pula dengan istilah Teori Fiksi.6 Pendekatan ini corporate realism ini dikenal pula dengan istilah Teori Kenyataan Yuridis.7 Teori ini dikenal pula dengan istilah Teori Kekayaan Bertujuan.

3

Page 4: Badan Hukum

yang ditentukan oleh suatu objek dan tujuan, dan tidak ditentukan oleh individual

anggotanya.

4. Aggregation Theory

Teori aggregasi ini disebut juga sebagai teori “symbolist” atau teori “bracker”, dan

dalam versi modern dikenal sebagai “corporate nominalism” secara teoritik

berhubungan dengan teori fiksi. Pandangan individualistik ini menyatakan bahwa

makhluk (human being) dapat menjadi subjek atau penyandang hak dan kewajiban

timbul atau lahir dari hubungan hukum dan oleh karenanya benar-benar menjadi

badan hukum. Menurut konsep personalitas korporasi, badan hukum ini adalah

semata-mata suatu nama bersama (collective name), suatu simbol bagi para anggota

korporasi.

5. Modern Views on Legal Personality

Hukum nasional modern dewasa ini menggabungkan antara realist and fictionist

theory dalam mengatur hubungan bisnis domestik dan internasional, di satu sisi

mengakui realitas sosial yang ada di belakang di belakang personalitas hukum, dan

sisi lain, memperlakukan badan hukum dalam sejumlah aspek sebagai suatu fiksi.

Konsep perusahaan sebagai badan yang hukum yang kekayaannya terpisah

dari para pemegang sahamnya merupakan sifat yang dianggap penting bagi status

korporasi sebagai suatu badan hukum yang membedakan dengan bentuk-bentuk

perusahaan yang lain. Sifat terbatasnya tanggung jawab secara singkat merupakan

pernyataan dari prinsip bahwa pemegang saham tidak bertanggungjawab secara pribadi

atas kewajiban perusahaan sebagai badan hukum yang kekayaannya terpisah dari

pemegang sahamnya. Prinsip “continuity of existence”8 menegaskan tentang pemisahan

kekayaan korporasi dengan pemiliknya. Badan hukum itu sendiri tidak dipengaruhi

oleh kematian ataupun pailitnya pemegang saham. Badan hukum juga tidak

8 Prinsip continuity of existence merupakan prinsip di mana perusahaan akan tetap eksis walaupun terjadi pergantian pemilik saham. Jadi, jika pemilik saham perusahaan meninggal atau berhenti dari perusahaan dengan cara mengalihkan saham-sahamnya, perusahaan akan tetap eksis dan tidak bubar. Prinsip ini merupakan salah prinsip yang membedakan bentuk korporasi dengan bentuk badan usaha lainnya. Di dalam persekutuan perdata, termasuk firma, semestinya dengan meninggalnya salah seorang, persekutuan harus bubar.

4

Page 5: Badan Hukum

dipengaruhi oleh perubahan struktur kepemilikan perusahaan. Sebagai akibatnya,

saham-saham perusahaan diperdagangkan secara bebas.9

H.M.N Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu badan dapat

dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat dikatakan

berstatus badan hukum meliputi keharusan:10

1. Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang terpisah

dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan itu. Tegasnya ada

pemisahan kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu;

2. Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama;

3. Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.

Ketiga unsur di atas merupakan unsur material (substantif) bagi suatu badan

hukum. Kemudian persyaratan lainnya adalah persyaratan yang bersifat formal, yakni

adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu badan adalah badan hukum.

Perseroan terbatas sebagai korporasi (corporation), yakni perkumpulan yang

berbadan hukum memiliki beberapa ciri substantif yang melekat pada dirinya, yakni: 11

1. Terbatasnya Tanggung Jawab

Pada dasarnya, para pendiri atau pemegang saham atau anggota suatu korporasi

tidak bertanggungjawab secara pribadi terhadap kerugian atau utang korporasi.

Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas jumlah maksimum nominal saham

yang ia kuasai. Selebihnya, ia tidak bertanggungjawab.

2. Perpetual Succession

Sebagai sebuah korporasi yang eksis atas haknya sendiri, perubahan keanggotaan

tidak memiliki akibat atas status atau eksistensinya. Bahkan, dalam konteks PT,

pemegang saham dapat mengalihkan saham yang ia miliki kepada pihak ketiga.

Pengalihan tidak menimbulkan masalah kelangsungan perseroan yang

bersangkutan. Bahkan, bagi PT yang masuk dalam kategori PT Terbuka dan

9 Erik P.M. Vermuelen, The Evolution of Legal Business Forms in Europe and the United States: venture Capital, Joint Venture, and Partnership Structures, Kluwer Law International, Deventer, 2002, hlm 189.

10 H.M.N. Purwosutjipto, Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jilid 2, Djambatan, Jakarta, 1982.

11 Perhatikan David Kelly, et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002, hlm 343 – 345.

5

Page 6: Badan Hukum

sahamnya terdaftar di suatu bursa efek (listed), terdapat kebebasan untuk

mengalihkan saham tersebut.

3. Memiliki Kekayaan Sendiri

Semua kekayaan yang ada dimiliki oleh badan itu sendiri. Kekayaan tidak dimiliki

oleh pemilik oleh anggota atau pemegang saham. Ini adalah suatu kelebihan utama

badan hukum. Dengan demikian, kepemilikan kekayaan tidak didasarkan pada

anggota atau pemegang saham.

4. Memiliki Kewenangan Kontraktual serta Dapat Menuntut dan Dapat Dituntut atas

Nama Dirinya Sendiri

Badan hukum sebagai subjek hukum diperlakukan seperti manusia yang memiliki

kewenangan kontraktual. Badan itu dapat mengadakan hubungan kontraktual atas

nama dirinya sendiri. Sebagai subjek hukum, badan hukum dapat dituntut dan

menuntut di hadapan pengadilan.

Reiner R. Kraakman menyebutkan bahwa suatu korporasi biasanya memiliki 5

(lima) karakteristik yang penting, yaitu mempunyai personalitas hukum, terbatasnya

tanggung jawab, adanya saham yang dapat dialihkan, manajemen terpusat di bawah

struktur dewan direksi, dan kepemilikan saham oleh penanam modal. Setiap korporasi

pada umumnya didirikan berdasarkan undang-undang yang mencakup 5 (lima)

karakteristik tersebut kecuali jika pendiri korporasi tersebut (dan diperbolehkan oleh

undang-undang) membuat aturan khusus tersendiri yang meniadakan salah satu dari

karakteristik tersebut di atas.12

Tidak semua pendirian korporasi mencakup 5 (lima) karakteristik tersebut.

Banyak pula perusahaan yang tidak memenuhi 5 (lima) karakteristik itu. Seringkali

korporasi didirikan berdasarkan undang-undang negara tertentu yang memberikan

keuntungan bagi perusahaan tersebut mengenai fleksibilitas bagi pendirian korporasi

untuk meniadakan satu atau lebih karakteristik tersebut. Kelima karakteristik korporasi

akan diuraikan secara rinci sebagai berikut:13

1. Personalitas Hukum (legal personality)

12 Reiner R. Kraakman, et.al, The Anatomy of Corporate Law: A Comparative and Functional Approach, Oxford University Press, Oxford, 2005, hlm 5

13 Ibid, hlm 6 - 14.

6

Page 7: Badan Hukum

Sebagai suatu entitas ekonomi, korporasi pada dasarnya berperan sebagai

nexus of contracts, yaitu merupakan pihak tunggal yang mengkoordinasikan

kegiatan pemasokan untuk perusahaan dan sekaligus konsumen sebagai pengguna

produk dan jasa. Kontribusi hukum perusahaan yang paling utama dan penting yaitu

untuk mengijinkan perusahaan menjalankan kegiatannya sebagai subjek hukum.

Subjek hukum di sini berbeda dengan subjek hukum individu yang memiliki atau

mengelola korporasi, atau pihak supplier dan konsumen korporasi.

Elemen utama dari personalitas hukum ini adalah apa yang disebut dalam

hukum perdata sebagai “pemisahan harta kekayaan” (separate patrimony). Hal ini

merupakan kemampuan perusahaan untuk memiliki aset-aset yang terpisah dengan

kekayaan orang lain, seperti perusahaan investor, dan juga perusahaan memiliki

kebebasan tidak hanya untuk menggunakan dan menjual kekayaannya, tetapi juga

dapat menggadaikan kekayaan kepada kreditor. Akibat dari penggadaian aset dalam

personalitas hukum disebut dengan istilah “affirmative asset partitioning” untuk

menekankan bahwa istilah ini mencakup perlindungan aset badan hukum, yaitu

korporasi, baik dari kreditor manajer perusahaan dan pemilik.

2. Terbatasnya Tanggung Jawab (limited liability)

Bentuk korporasi biasanya secara efektif membebankan ingkar janji dalam

kontrak yang dibuat korporasi dengan kreditornya supaya kreditor dibatasi dalam

membuat tuntutan terhadap aset yang merupakan kekayaan korporasi itu sendiri.

Selain itu, hal ini juga bertujuan supaya kreditor tidak dapat menuntut lebih lanjut

terhadap aset perseorangan yaitu pemegang saham atau manajer korporasi.

Pembatasan pertanggungjawaban ini membedakan bentuk korporasi ini dengan

bentuk perusahaan lain, seperti persekutuan perdata.

Tanggung jawab terbatas berperan sebagai “defensive asset partitioning” yang

berbeda dari “affirmative asset partitioning” dalam personalitas hukum. Defensive

asset partitioning mencadangkan aset pribadi pemegang saham untuk kreditor

perorangan perusahaan. “Affirmative asset partitioning” dalam personalitas hukum

mengijinkan perusahaan untuk memiliki aset-aset, dan kemudian menjadikan aset

7

Page 8: Badan Hukum

tersebut sebagai floating lien14 untuk kreditor bisnis daripada untuk kreditor

individual seperti investor dan manajer.

Tanggung jawab terbatas ini memberikan fleksibilitas dalam mengalokasikan

risiko dan keuntungan antara equity holders dan debt holders, mengurangi biaya

pengumpulan transaksi-transaksi dalam perkara insolvensi, dan mempermudah dan

secara substansial menstabilkan harga saham. Tanggung jawab terbatas juga

berperan penting dengan memberikan kemudahan dalam pendelegasian manajemen.

Selain itu, dengan mengalihkan risiko bisnis dari pemegang saham ke kreditor,

maka tanggung jawab terbatas memasukkan kreditor sebagai pengawas manajer

perusahaan. Tugas pengawasan ini lebih baik dijalankan oleh kreditor daripada oleh

pemegang saham dalam perusahaan yang kepemilikan sahamnya tersebar secara

luas.

3. Adanya Saham yang dapat Dialihkan (transferable shares)

Pengalihan saham secara penuh dalam kepemilikan merupakan salah satu

karakteristik korporasi yang membedakan korporasi dari persekutuan perdata dan

badan hukum lain yang sejenis. Sifat dapat dialihkan (transferability) ini membuat

perusahaan mampu melakukan kegiatan bisnisnya tanpa adanya gangguan ketika

pemilik perusahaan itu berganti. Hal ini pada gilirannya dapat meningkatkan

likuiditas kepentingan pemegang saham dan memberikan kemudahan bagi

pemegang saham untuk membangun dan mempertahankan diversifikasi investasi

portofolio mereka.

Pengalihan saham secara penuh (fully transferable shares) tidak sama dengan

saham yang diperdagangkan secara bebas (freely tradable shares). Sekalipun saham

tersebut dapat dialihkan, saham tersebut tidak dapat diperdagangkan tanpa adanya

pembatasan dalam pasar publik. Saham tersebut hanya dapat dialihkan di antara

kelompok individu yang terbatas atau dengan persetujuan pemegang saham

korporasi yang ada. Sifat dapat diperdagangkan dengan bebas memaksimalkan

14 Floating lien adalah hak memegang barang jaminan yang diperluas cakupannya meliputi benda-benda tambahan lainnya yang didapatkan oleh debitor ketika utangnya belum dilunasi. Floating lien juga bermakna sebagai hak memegang barang jaminan yang tetap masih ada walaupun jaminan tersebut sifatnya, klasifikasinya, atau tempatnya berubah. Lihat Bryan A. Garner, et.al, ed, Black’s Law Dictionary, 8th Edition, Thomson-West, St. Paul Min, 2004, hlm 942.

8

Page 9: Badan Hukum

likuiditas kepemilikan saham dan kemampuan pemegang saham untuk

mendiversifikasi investasi mereka. Sifat tersebut juga memberikan perusahaan

fleksibilitas yang maksimal dalam meningkatkan modalnya. Untuk itu, semua

negara menetapkan sifat dapat diperdagangkan dengan bebas tidak baik untuk salah

satu bentuk korporasi (seringkali untuk korporasi terbuka). Sifat dapat

diperdagangkan dengan bebas dapat pula membuat perusahaan kesulitan dalam

mempertahankan kontrol penyusunan perundingan. Akibatnya, semua negara

menetapkan mekanisme untuk membatasi sifat dapat dialihkan. Seringkali hal ini

dilakukan dengan pembuatan undang-undang yang terpisah, seperti undang-undang

Eropa khusus bagi korporasi tertutup. Negara lain menetapkan untuk

mengendalikan sifat dapat dialihkan sebagai suatu pilihan berdasarkan undang-

undang korporasi negara tersebut.

4. Pendelegasian Manajemen

Pendelegasian manajemen merupakan sifat yang hampir ada di semua

perusahaan besar dengan jumlah pemilik besar yang nominal kepemilikan

sahamnya kecil. Pendelegasian memperbolehkan adanya pemusatan manajemen

untuk mengkoordinasikan kegiatan produksi. Hal ini juga sama pentingnya dengan

pendelegasian kewenangan dalam membuat keputusan kepada individu tertentu

memberitahukan pihak ketiga sebagaimana kepada seseorang yang ada dalam

perusahaan yang memiliki kewenangan untuk membuat perjanjian yang mengikat.

Setiap bentuk organisasi mempunyai cara tersendiri untuk mendelegasikan

kewenangan dan kekuasaan manajemen. Dalam limited partnership dan common

law private trust biasanya memberikan hak penguasaan secara penuh kepada

general partner15 atau trustee dan hal ini tidak digantikan kepada orang lain tanpa

adanya alasan yang jelas. Sebaliknya, hukum perusahaan biasanya memberikan

kewenangan atas urusan perusahaan kepada dewan direksi atau organ yang sejenis

yang dipilih secara periodik oleh pemegang saham perusahaan. Dengan demikian,

15 General partner adalah sekutu dalam bidang usaha yang tanggung jawabnya dalam utang piutang tak terbatas. Lihat I.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm 307.

9

Page 10: Badan Hukum

kewenangan pembuatan keputusan perusahaan berada di tangan dewan direksi yang

memiliki empat ciri khas.

Pertama, direksi dipisahkan dari manajer operasional perusahaan. Bentuk

pemisahan ini bervariasi tergantung dari struktur dewan itu sendiri, apakah dewan

itu menggunakan one tier board atau two tier boards. Dalam two tier boards,

pejabat tinggi perusahaan (top corporate officer) menempati dewan tingkat kedua

(subordinat), tetapi secara umum dia tidak aktif dalam dewan tingkat pertama

(pengawasan). Pejabat ini mempunyai independensi dari pegawai perusahaan yang

disewa (firm’s hired officer), yaitu pegawai manajerial senior perusahaan. Dalam

single-tier board, pegawai yang disewa (firm’s hired officer) merupakan anggota,

atau bahkan mendominasi dewan itu sendiri. Dengan kata lain, pegawai yang

disewa perusahaan (firm’s hired officer) mempunyai kewenangan di bidang

pengajuan dan pelaksanaan keputusan bisnis. Dewan direksi mempunyai

kewenangan di bidang pengawasan, pengesahan keputusan, dan penyewaan

pegawai.

Kedua, dewan secara formal berbeda dari pemegang saham perusahaan.

Keanggotaan dewan ini memberikan sarana bagi pemegang saham minoritas atau

konstituen yang lain, seperti pegawai atau kreditor, untuk mendapatkan akses atas

informasi yang terpercaya. Selain itu, mereka juga dapat berpartisipasi langsung

dalam pembuatan keputusan perusahaan. Pendelegasian kewenangan pembuatan

keputusan kepada individu atas nama perusahaan, dapat meningkatkan probabilitas

individu tersebut untuk merespon perkembangan terbaru demi kepentingan seluruh

konstituen perusahaan.

Ketiga, dewan perusahaan itu dipilih oleh pemegang saham perusahaan.

Untuk itu dewan harus merespon kepentingan pemegang saham perusahaan. Hal ini

dikarenakan pemegang saham perusahaan merupakan pihak yang menanggung

keuntungan dan kerugian atas pembuatan keputusan perusahaan. Selain itu, dewan

juga harus mampu merespon kepentingan para pihak, seperti konstituen perusahaan

lain, yang tidak terlindungi dengan kuat oleh perjanjian.

10

Page 11: Badan Hukum

Keempat, dewan biasanya mempunyai anggota yang besar. Struktur ini

memberikan pengawasan secara bersama-sama oleh anggota dewan. Aturan ini ada

pengecualiannya, misalnya sebagian undang-undang tentang korporasi tertutup,

seperti aturan yang mengatur GmbH di Jerman atau SARL di Perancis, mengijinkan

perusahaan untuk meniadakan adanya dewan kolektif dan mengganti dewan

tersebut menjadi direksi umum tunggal atau dewan tunggal (one-person board).

5. Kepemilikan Investor

Ada dua elemen penting dalam kepemilikan perusahaan, yaitu hak untuk

mengendalikan perusahaan dan hak untuk menerima pendapatan bersih perusahaan.

Hukum perusahaan pada pokoknya dibuat untuk memudahkan investor-owned

firms, yaitu perusahaan yang kedua elemen kepemilikannya terikat pada investasi

modal dalam perusahaan. Lebih khusus, dalam investor-owned firms, baik hak

untuk berpartisipasi dalam pengendalian – yang secara umum mencakup hak voting

dalam pemilihan direksi dan hak voting untuk menyetujui transaksi yang penting –

dan hak untuk menerima penghasilan residual perusahaan, atau keuntungan, sesuai

dengan proporsi jumlah modal yang dimasukkan investor ke perusahaan.

Dominasi kepemilikan saham dalam perusahaan-perusahaan besar

merefleksikan beberapa efisiensi keuntungan yang menarik perhatian. Salah satunya

yaitu, di antara banyaknya partisipan dalam perusahaan, investor seringkali

merupakan pihak yang sulit untuk mendapatkan perlindungan melalui sarana

kontraktual. Selain itu, investor yang memiliki modal, secara khusus memiliki

kepentingan homogen di antara mereka sendiri, sehingga meminimalkan potensi

konflik yang membutuhkan biaya besar di antara para pihak yang bersama-sama

mengelola perusahaan.

Menjalankan bisnis dengan wadah korporasi khususnya PT memiliki beberapa

keuntungan yang jelas kelihatan, yakni adanya tanggung jawab tidak terbatas bagi

perseroan, tetapi tidak bagi pemegang saham. Pemegang saham hanya bertanggung

jawab sejumlah nominal saham yang ia miliki. Pemilik saham menikmati terbatasnya

tanggung jawab tersebut.16

16 Robert W. Hamilton, loc.cit.

11

Page 12: Badan Hukum

Ketika seseorang membeli saham perusahaan, maka orang tersebut menjadi

pemegang saham. Tidak seperti anggota persekutuan perdata, struktur pemegang saham

dapat berubah terus menerus tanpa mempengaruhi keberadaan korporasi tersebut.

Pemegang saham dapat menggugat perusahaan. Sebaliknya, korporasi dapat pula

menuntut pemegang saham. Dalam keadaan tertentu, pemegang saham dapat menuntut

atas nama korporasi.17

Penjelasan tentang PT sebagai badan hukum di atas secara singkat dapat

digambarkan melalui skema di bawah ini. 18

Utang atau kewajiban yang dimiliki

Investasi Modal

Keterangan: Pemegang saham menanamkan modalnya dalam perseroan terbatas. Pada

dasarnya tidak ada tanggung jawab pribadi atas utang dan kewajiban

perusahaan.

Agar badan hukum dapat berinteraksi dalam pergaulan hukum seperti

membuat perjanjian, melakukan kegiatan usaha tertentu diperlukan modal. Modal awal

badan hukum itu berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Modal awal itu

menjadi kekayaan badan hukum, terlepas dari kekayaan pendiri. Oleh karena itu, salah

satu ciri utama suatu badan hukum seperti PT (termasuk PT Persero) adalah kekayaan

yang terpisah itu, yaitu kekayaan terpisah kekayaan pribadi pendiri badan hukum itu.19

17 Roger Leroy Miller dan Gaylord A. Jentz, Fundamentals of Business Law, Sixth Edition, Thompson, Ohio, 2005, hlm 319.

18 Henry R. Cheeseman, Business Law: Ethical, International and E-Commerce Environment, Fourth Edition, Prentice Hall, New Jersey, 2001, hlm 678.

19 Nindyo Pramono, loc.cit.

12

Perseroan Terbatas Pihak Ketiga

Pemegang Saham

Pemegang Saham

Pemegang Saham

Pemegang Saham

Page 13: Badan Hukum

C. Pengertian dan Tujuan Badan Usaha Milik Negara

Menurut Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2003, BUMN adalah badan usaha yang

seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara

langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, ada beberapa unsur yang

menjadi suatu perusahaan dapat dikategorikan sebagai BUMN:

1. Badan usaha atau perusahaan20;

2. Modal badan usaha tersebut seluruhnya atau sebagian besar dimiliki oleh negara.

Jika modal tersebut tidak seluruhnya dikuasai negara, maka agar tetap dikategorikan

sebagai BUMN, maka negara minimum menguasai 51 % modal tersebut.

3. Di dalam usaha tersebut, negara melakukan penyertaan secara langsung;

Mengingat di sini ada penyertaan langsung, maka negara terlibat dalam

menanggung risiko untung dan ruginya perusahaan. Menurut Penjelasan Pasal 4

ayat (3) UU No. 19 tahun 2003, pemisahan kekayaan negara untuk dijadikan

penyertaan modal negara ke dalam BUMN hanya dapat dilakukan dengan cara

penyertaan langsung negara ke BUMN, sehingga setiap penyertaan tersebut harus

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP).

4. Modal penyertaan tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Kekayaan yang dipisahkan di sini adalah pemisahan kekayaan negara dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan

modal negara pada BUMN untuk dijadikan modal BUMN. Setelah itu selanjutnya

pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun

pembinaan dan pengelolaannya pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.21

Suatu badan usaha dapat dikategorikan sebagai BUMN harus merupakan

perusahaan yang modalnya berasal dari penyertaan langsung dari negara. Jika ada

sebuah PT yang didirikan oleh BUMN, ia tidak dapat dikatakan sebagai BUMN, karena

20 Oleh karena BUMN merupakan sebuah badan usaha perusahaan, maka sesuai dengan makna perusahaan atau badan, ia harus bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau profit, bukan untuk tujuan sosial. Lebih lanjut lihat Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Jogjakarta, 2006, hlm 66.

21 Perhatikan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003.

13

Page 14: Badan Hukum

penyertaan modalnya bukan berasal dari negara, tetapi dari BUMN. Misalnya PT

Pupuk Kalimantan Timur (PT PKT) tidak dapat disebut sebagai BUMN, karena dari

Anggaran Dasar PT tersebut, terlihat bahwa modal perseroan berasal dari penyertaan

PT Pupuk Sriwijaya (Persero) dan koperasi karyawan.

Dalam putusan perkara korupsi Direktur Utama PT PKT, Omay K

Wiriatmadja, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat, bahwa PT PKT bukan

BUMN. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa saham PT PKT tidak dimiliki oleh

pemerintah. 99,99 % saham PT PKT dimiliki oleh PT Pupuk Sriwijaya (Persero).

Penyertaan modal PT Pupuk Sriwijaya tidak dapat dikategorikan sebagai penyertaan

langsung negara pada PT PKT. Penyertaan tersebut tidak berasal dari APBN.22

UU No. 19 Tahun 2003 secara tegas menyebut bahwa modal BUMN adalah

penyertaan langsung dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan pemisahan ini,

maka begitu negara melakukan penyertaan di perusahaan tersebut, penyertaan tersebut

demi hukum menjadi kekayaan badan usaha. Pemisahan kekayaan ini merupakan

konsekuensi hukum bagi sebuah badan hukum. Dengan demikian, secara yuridis modal

tadi sudah menjadi kekayaan perusahaan, bukan kekayaan negara lagi.

Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada

BUMN menurut Pasal 4 jo Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Huruf b UU No. 19 Tahun 2003,

bersumber dari:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

Termasuk dalam APBN yaitu meliputi proyek-proyek APBN yang dikelola oleh

BUMN dan/atau piutang negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan

modal.

b. Kapitalisasi cadangan;

Kapitalisasi cadangan ini adalah penambahan modal disetor yang berasal dari

cadangan.

c. Sumber lainnya

Termasuk dalam kategori sumber lainnya ini antara lain keuntungan revaluasi aset.

22 Lihat Kompas, Sabtu 24 Februari 2007.

14

Page 15: Badan Hukum

Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 menentukan bahwa maksud dan

tujuan didirikannya BUMN adalah:

1. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada

umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;

Di sini BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat

sekaligus memberikan konstribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi

nasional dan membantu penerimaan keuangan negara.

2. mengejar keuntungan;

Menurut Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf a, meskipun maksud dan tujuan Persero

adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan

pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan

prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan

pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan

perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya

menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya

harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik.

3. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa

yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;

Dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap usaha BUMN, baik barang maupun

jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

4. menjadi perintis kegiatan-kegiatan yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor

swasta dan koperasi; dan turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada

pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

Menurut Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf d, kegiatan perintisan merupakan suatu

kegiatan usaha untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang dibutuhkan oleh

masyarakat, namun kegiatan tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta dan

koperasi karena secara komersial tidak menguntungkan. Oleh karena itu, tugas

tersebut dapat dilakukan melalui penugasan kepada BUMN.

Dalam hal adanya kebutuhan masyarakat luas yang mendesak, pemerintah dapat

pula menugasi suatu BUMN yang mempunyai fungsi pelayanan kemanfaatan

15

Page 16: Badan Hukum

umum untuk melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan

ekonomi lemah.

D. Perusahaan Perseroan

Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 19 Tahun 2003, Perusahaan Perseroan

(Persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi

dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen)

sahamnya dimiliki negara Republik Indonesia yang tujuannya mengejar keuntungan.

Berdasarkan definisi atas, dapat ditarik unsur-unsur yang melekat di dalam

Persero, yakni:

1) Persero adalah badan usaha

2) Persero adalah Perseroan Terbatas

Mengingat Persero adalah PT, pendiriannya dan pengelolaan Persero juga harus

tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1995, dengan beberapa pengecualian. Pasal 3 dan

Penjelasan Pasal 3 UU No 19 Tahun 2003 menyebutkan bahwa BUMN, dalam hal

ini Persero tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1995 (sekarang UU No. 40 tahun 2007)

termasuk perubahannya (jika ada) dan peraturan pelaksanaan. Salah satu

pengecualian ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 terhadap Persero adalah

penyimpangan terhadap ketentuan jumlah pemegang saham. UU No. 40 Tahun

2007 mensyaratkan minimal ada dua orang pemegang saham. Ketentuan ini

dikecualikan terhadap Persero, karena di dalam Persero adakalanya negara

memegang atau menguasai 100 % (seratus persen) saham Persero.

3) Modalnya terbagi dalam saham;

Negara menguasai 100 % atau paling sedikit 51 % saham perusahaan yang

bersangkutan.

Dalam kasus privatisasi “PT Indosat (Persero) Tbk”, negara melepaskan mayoritas

kepemilikan saham Persero tersebut kepada pihak swasta asing. Konsekuensinya,

Persero tersebut telah menjadi perusahaan swasta atau PT Biasa, sehingga

perusahaan tersebut menjadi PT Indosat Tbk.

4) Tujuan didirikannya Persero adalah untuk mengejar keuntungan.

16

Page 17: Badan Hukum

Persero dapat berbentuk Persero (Tertutup) dan Persero Terbuka. Persero

Terbuka menurut Pasal 1 Angka 3 UU No. 19 Tahun 2003 adalah Persero yang modal

dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang

melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Jadi, Persero dapat terjadi dari kemungkinan. Pertama, Persero tersebut

memiliki modal dan jumlah pemegang tertentu yang diisyaratkan peraturan perundang-

undangan tertentu. Menurut Pasal 1 Angka 22 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar

Modal, suatu perusahaan dapat disebut sebagai perusahaan publik (terbuka) bilamana

pemegang sahamnya paling sedikit berjumlah 300 (tiga ratus) pemegang saham dan

perusahaan tersebut memiliki modal yang disetor sekurang-kurangnya Rp

3.000.000.000, 00 (tiga milyar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal

disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Kedua, Persero telah melakukan

penawaran umum di pasar modal (go public). Di Indonesia, Persero yang masuk

kategori ini diantaranya PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Telekomunikasi

Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Persero (tertutup) adalah Persero yang tidak termasuk dalam kategori Persero

terbuka. Persero yang demikian ini antara lain PT Pertamina (Persero).

E. Pemisahan Kekayaan Negara dalam Perusahaan Perseroan

Dari penjelasan di atas secara jelas terlihat Persero adalah PT. Walaupun ada

unsur negara di dalam perusahaan tersebut, tetapi oleh karena badan usaha ini adalah

PT, maka badan usaha tersebut harus tunduk kepada UU No. 40 Tahun 2007 yang

menjadi dasar substantif pengaturan eksistensi PT.

PT oleh hukum dipandang memiliki kedudukan mandiri terlepas dari orang

atau badan hukum lain dari orang yang mendirikannya. Di satu pihak PT merupakan

wadah yang menghimpun orang-orang yang mengadakan kerjasama dalam PT, tetapi di

lain pihak segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerjasama dalam PT itu oleh

hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu sendiri. Oleh karena itu,

17

Page 18: Badan Hukum

segala keuntungan yang diperoleh dipandang sebagai hak dan harta kekayaan badan itu

sendiri. Demikian pula sebaliknya, jika terjadi suatu utang atau kerugian dianggap

menjadi beban PT sendiri yang dibayarkan dari harta kekayaan PT.23

Penyetoran modal pada saat pendirian maupun pada saat penambahan modal

PT dalam bentuk saham merupakan suatu penyertaan. Suatu penyertaan adalah

keikutsertaan seseorang mengambil bagian dalam suatu badan hukum. Penyertaan itu

diwujudkan melalui lembaga saham.24

Wujud penyertaan itu adalah penyetoran sejumlah nilai nominal saham yang

telah ditentukan dalam anggaran dasar. Penyetoran atas saham itu sendiri menurut Pasal

34 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 dapat berwujud uang atau bentuk lainnya.

Secara yuridis, modal yang disertakan ke dalam perseroan bukan lagi menjadi

kekayaan orang menyertakan modal, tetapi menjadi kekayaan perseroan itu sendiri. Di

sini terjadi pemisahan kekayaan antara kekayaan pemegang saham dan perseroan.

Dengan karakteristik yang demikian, tanggung jawab pemegang saham atas kerugian

atau utang perseroan juga terbatas. Utang atau kerugian tersebut semata-mata dibayar

secukupnya dari harta kekayaan yang tersedia dalam perseroan.

Dengan konsep yang demikian itu, maka ketika negara menyertakan

modalnya dalam bentuk saham ke dalam Persero dari kekayaan negara yang

dipisahkan, demi hukum kekayaan itu menjadi kekayaan Persero. Tidak lagi menjadi

kekayaan negara. Konsekuensinya, segala kekayaan yang didapat baik melalui

penyertaan negara maupun yang diperoleh dari kegiatan bisnis Persero, demi hukum

menjadi kekayaan Persero itu sendiri.

Persoalan kemudian muncul jika konsep tersebut dikaitkan dengan pengertian

keuangan negara dan dikaitkan pula dengan praktik tuduhan dan sanksi pidana korupsi

yang dikenakan terhadap tindakan direksi Persero dalam menjalankan transaksi bisnis

yang didalilkan dapat merugikan keuangan negara.

23 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, Alumni, Bandung, 1995, hlm 9.

24 Ibid, hlm 14.

18

Page 19: Badan Hukum

Menurut Erman Rajagukguk25, sebenarnya tidak ada yang salah dengan

perumusan mengenai keuangan negara dalam Penjelasan UU No. 31 Tahun 1999

tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:

“Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak yang timbul karena:a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat

lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan

Usaha Miliki Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasar perjanjian dengan Negara”.

Kekayaan negara yang dipisahkan dalam Persero secara fisik berbentuk saham

yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan milik Persero itu.

Menurut Pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun

1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa seseorang baru dikenakan

tindak pidana korupsi bila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga

dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena

jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain

atau membantu melakukan perbuatan tersebut.

Erman Rajagukguk26 menambahkan, dalam kenyataannya sekarang ini

tuduhan korupsi juga dikenakan terhadap tindakan Direksi BUMN dalam transaksi-

transaksi yang didalilkan dapat merugikan kerugian negara. Dapat dikatakan telah

terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara.

Begitu juga tidak ada yang salah dengan pengertian keuangan negara dalam

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 1 Angka 1 UU No. 17 Tahun

2003 menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat

dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat

dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

25 Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum Demokratis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Depok, 2006, hlm 386.

26 Ibid

19

Page 20: Badan Hukum

Selanjutnya Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa keuangan

negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 Angka 1 di atas mencakup:

1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan

melakukan pinjaman;

2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan

negara dan membayar tagihan kepada pihak ketiga;

3. penerimaan negara;

4. pengeluaran negara;

5. penerimaan daerah;

6. pengeluaran daerah;

7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dipisahkan yang dikelola sendiri atau pihak

lain berupa surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai

dengan uang, termasuk kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan

negara/perusahaan daerah;

8. kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas

pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan

pemerintah.

Konsisten dengan konsep pemisahan kekayaan di atas, Erman Rajagukguk

juga berpendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN dalam

lahirnya berbentuk saham yang dimiliki negara, bukan harta kekayaan BUMN

tersebut.27

Kerancuan kata Erman Rajagukguk28 mulai terjadi dari Penjelasan UU No. 17

Tahun 2003 berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang

menyatakan:

“Pengertian yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta

27 Ibid, hlm 387.28 Ibid.

20

Page 21: Badan Hukum

segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka pemerintahan negara.Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang. Pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan”.

Dalam pengamatan Nindyo Pramono29, dari definisi keuangan negara yang

dirumuskan kedua undang-undang di atas dapat dilihat adanya definisi keuangan negara

yang di dalamnya memasukkan kekayaan negara sebagai bagian keuangan negara,

namun kedua undang-undang itu tidak memberikan tolok ukur yang sama tentang

unsur-unsur apa dari keuangan negara. UU 31 Tahun 1999 memberikan batasan atau

tolok pengertian yang sangat luas yaitu meliputi seluruh kekayaan negara dalam bentuk

apapun …, sedangkan UU No. 17 Tahun 2003 memberikan batasan keuangan negara

yang lebih sempit yaitu semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan

sejumlah uang …

Dari dua definisi itu saja orang dapat berdebat. Jika mengacu kepada UU No.

31 Tahun 1999, keuangan negara berarti seluruh keuangan negara …, sedangkan jika

mengacu kepada UU No. 17 Tahun 2003, keuangan negara berarti hak dan kewajiban

Samakah makna hukumnya “seluruh kekayaan negara” dengan “hak dan kewajiban

negara”? Jawabannya pasti benda. Di satu sisi wujudnya atau unsurnya adalah seluruh

kekayaan atau dapat diperluas dengan istilah seluruh harta kekayaan negara. Di sisi

yang lain wujud atau unsurnya adalah hak dan kewajiban. Jika dikaji lebih lanjut, hak

dan kewajiban itu erat kaitannya dengan subjek hukum. Menurut hukum, hanya subjek

hukum menyandang hak dan kewajiban. PT (Persero) adalah subjek hukum, karena PT

29 Nindyo Pramono, op.cit, hlm 136.

21

Page 22: Badan Hukum

(Persero) adalah badan hukum. Harta kekayaan adalah sesuatu atau objek yang dapat

dimiliki atau dikuasai oleh subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban itu.30

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU 31 Tahun 1999 mengartikan

keuangan negara dari sudut objeknya, sedangkan UU No. 17 tahun 2003 mengartikan

keuangan negara dari subjeknya. Dari sisi ini siapapun yang terlibat dalam pelaksanaan

hukum tidak menggunakan pendekatan atau kriteria yang sama, dapat dipastikan dalam

pelaksanaannya akan menimbulkan permasalahan.31

Erman Rajagukguk32 menyatakan, kesalahan terjadi lagi dalam PP No. 14

Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Pasal 19

menyatakan bahwa penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak

piutang Perusahaan Negara/Daerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 20 menyatakan bahwa tata cara

dan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang

Perusahaan Negara/Daerah yang pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN diatur

lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, peraturan ini tidak

memisahkan kekayaan BUMN Persero dan kekayaan negara sebagai pemegang saham.

Pemerintah menyadari kesalahan pemikiran tersebut ketika menghadapi kredit

bermasalah (non performing loan) PT Bank Rakyat (Persero), PT Bank Negara

Indonesia, dan PT Bank Mandiri (Persero).

Ketika pemerintah melalui mengambil inisiatif untuk menghapus Pasal 19

dan 20 PP No. 14 Tahun 2005 Menteri Keuangan menyatakan:

“Selanjutnya, pengurusan piutang perusahaan negara/daerah dilakukan berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan UU badan Usaha Milik Negara. Jadi, disebutkan bahwa aturan yang mengatur bank-bank BUMN adalah UU Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara.”33

Usulan perubahan tersebut sempat mengundang perdebatan di dalam Komisi

XI Dewan Perwakilan Rakyat karena dianggap membatalkan Pasal 2 Butir g UU No.

17 tahun 2003 tentang Keuangan negara. Untuk itu kemudian diusulkan untuk meminta

30 Ibid.31 Ibid, hlm 137.32 Erman Rajagukguk, op.cit, hlm 388.33 Ibid, hlm 389 mengutip Media Indonesia, 11 Juli 2006.

22

Page 23: Badan Hukum

fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung sendiri dalam

fatwanya membenarkan alasan Menteri keuangan di atas.

Akhirnya, pemerintah melalui PP No. 33 Tahun 2006 menghapus Pasal 19

dan Pasal 20 PP 14 Tahun 2005. Selanjutnya Pasal II ayat (1) PP No. 33 Tahun 2006

menentukan pada saat berlakunya PP ini mulai berlaku:

a. Pengurusan Piutang Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya;

b. Pengurusan … Dengan ketentuan ini terlihat jelas piutang-piutang BUMN, Persero tidak dapat

dikategorikan sebagai piutang negara, tetapi piutang-piutang BUMN sendiri. Oleh

karena piutang merupakan bagian kekayaan perseroan, maka keseluruhan kekayaan

yang dimiliki BUMN adalah BUMN itu sendiri, bukan kekayaan negara.

Permasalahannya sekarang peraturan perundang-undangan mana yang harus

dipakai menyelesaikan permasalahan yang menyangkut keuangan negara dikaitkan

kekayaan negara. Kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN harus diperlakukan

sebagai aturan khusus (lex specialis), sehingga berdasar adagium lex specialis derogat

legi generale, maka UU No. 19 Tahun 2003 harus menjadi dasar penyelesaiannya.

Kemudian dikaitkan dengan waktu pengundangannya atau pemberlakuannya, UU No.

19 Tahun 2003 diundangkan lebih belakangan, maka berdasar adagium lex posteriori

derogat legi priori, UU 19 Tahun 2003 harus menjadi dasar hukumnya.

Ada satu hal yang harus diingat, jika aparat penegak hukum masih menganut

paham kekayaan BUMN adalah kekayaan negara, negara juga harus bertanggungjawab

terhadap seluruh utang yang dimiliki BUMN. APBN akan terkuras untuk membayar

utang-utang BUMN yang begitu besar.

F. Fiduciary Duty: Kewajiban dan Tanggung Jawab Direksi Persero

Pasal 5 ayat (1) dan (20) UU No. 19 Tahun 2003 menyatakan bahwa

pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi. Direksi bertanggungjawab secara penuh

atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN

23

Page 24: Badan Hukum

baik di dalam maupun di luar pengadilan. Mengingat Persero adalah PT, maka

pembahasan kewajiban dan tanggung jawab direksi Persero harus didasarkan Undang-

Undang Perseroan Terbatas.

PT sebagai badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum mesti melalui

pengurusnya, dalam hal ini direksi. Tanpa adanya pengurus, badan hukum itu tidak

akan dapat berfungsi. Ketergantungan antara badan hukum dan pengurus menjadi sebab

mengapa antara badan hukum dan direksi lahir hubungan fidusia (fiduciary duties) di

mana pengurus selalu pihak yang dipercaya bertindak dan menggunakan wewenangnya

hanya untuk kepentingan perseroan semata.34 Fiduciary duties di dalam PT pada

hakikatnya berkaitan dengan kedudukan, wewenang, dan tanggung jawab direksi.35

Fidusia (fiduciary) yang dalam bahasa Latin dikenal sebagai fiduciarius

bermakna kepercayaan. Secara teknis istilah dimaknai sebagai “memegang sesuatu

dalam kepercayaan atau seseorang yang memegang sesuatu dalam kepercayaan untuk

kepentingan orang”. Seseorang memiliki tugas fiduciary (fiduciary duty) manakala ia

memiliki kapasitas fiduciary (fiduciary capacity). Seseorang dikatakan memiliki

capacity fiduciary jika bisnis yang ditransaksikannya, harta benda atau kekayaan yang

dikuasainya bukan untuk bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk

kepentingan lain. Orang yang memberinya kewenangan tersebut, memiliki kepercayaan

yang besar kepadanya. Pemegang amanah pun wajib memiliki iktikad baik dalam

menjalankan tugasnya.36

Prinsip umum dalam hukum perseroan menyatakan bahwa fiduciary duty ini

bagi direksi berlaku dalam kedudukannya baik untuk menjalankan fungsi manajemen

maupun fungsi representasi.37

Selanjutnya, manakala dipakai tingkat tanggung jawab sebagai kriteria, maka

tugas direksi perseroan dapat dibeda-bedakan sebagai berikut:38

34 Bambang Kesowo, “Fiduciary Duties Direksi Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1995”, artikel di Newsletter, edisi No. 23/VI/Desember 1995, hlm. 1

35 Ibid.36 Lihat Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law. Eksistensinya dalam

Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm 33. 37 Ibid, hlm 49. 38 Ibid. Perhatikan juga Denis Keenan, Smith and Keenan’s, Company Law, Pearson

Longman, Harlow, 2002, hlm 334 – 340.

24

Page 25: Badan Hukum

1. Fiduciary Duty

Dalam hal ini yang dimaksud adalah tugas yang terbit dari hubungan fidusia antara

direksi dan perseroan yang dipimpinnya, yang menyebabkan direksi berkedudukan

sebagai trustee dalam pengertian hukum trust. Seorang direktur harus memiliki

kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), iktikad baik. loyalitas, dan

kejujuran terhadap perseroan dengan derajat tinggi (high degree).

2. Tugas Mempedulikan (duty of care)

Tugas mempedulikan yang diharapkan dari direksi adalah duty of care sebagaimana

dimaksud dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. dalam arti, direksi

berbuat atau bertindak secara hati-hati agar terhindar dari kelalaian (negligence).

Menurut Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007, direksi menjalankan

pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud tujuan

perseroan. Selanjutnya Pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 menentukan, bahwa

direksi bertugas mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian,

dapat dikatakan, bahwa direksi memiliki tugas dan wewenang ganda, yakni

melaksanakan pengurusan dan perwakilan perseroan.39

Kewenangan pengurusan meliputi semua perbuatan hukum yang tercakup

dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang telah ditentukan

anggaran dasar perseroan tersebut. Dengan demikian direksi adalah organ yang di

dalam perseroan yang mengambil bagian dalam lalu lintas sesuai dengan maksud dan

tujuannya. Ini pula yang menjadi sumber kewenangan direksi untuk melakukan

perbuatan hukum dengan pihak ketiga. Dengan perkataan lain, direksi mewakili

perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.40

Pengurusan perseroan oleh direksi tidak hanya terbatas pada memimpin dan

menjalankan kegiatan rutin, tetapi juga mencakup pengelolaan kekayaan perseroan.

Berdasarkan prinsip fiduciary duties tersebut, Pasal 97 ayat (2) UU No. 40

Tahun 2007 menentukan, bahwa setiap anggota direksi wajib dengan iktikad baik dan

penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.

39 Bambang Kesowo, op.cit, hlm. 240 I bid

25

Page 26: Badan Hukum

Apabila direksi bersalah baik karena kesengajaan maupun lalai dalam

menjalankan kewajibannya atau dengan kata lain melakukan pelanggaran terhadap

kewajiban fidusia berakibat pada timbulnya tanggung jawab pribadi direksi.

Sehubungan hal ini, Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 menentukan, bahwa

setiap anggota direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang

bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha

perseroan.

Terhadap kejadian seperti itu, hukum memberikan kewenangan kepada pihak

ketiga yang dirugikan melakukan gugatan tanggung jawab pribadi terhadap tindakan

tersebut. Tidak hanya itu Pasal 97 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 juga memberikan

kewenangan kepada pemegang saham perseroan bertindak untuk dan atas nama

perseroan. Pasal tersebut secara lengkap menyatakan sebagai berikut:

“Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan”.

Sepanjang direksi bertindak dengan iktikad dan tindakan tersebut semata-mata

untuk kepentingan perseroan, tetapi ternyata perseroan tetap menderita kerugian, tidak

serta merta kerugian tersebut menjadi beban tanggung jawab pribadi direksi.

Di dalam hukum perseroan, dikenal doktrin business judgment rule yang

mengajarkan bahwa direksi perseroan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang

timbul dari suatu tindakan pengambilan putusan, apabila tindakan tersebut didasarkan

pada iktikad baik dan hati-hati. Direksi mendapat perlindungan hukum tanpa perlu

memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang

diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan.41

Business judgment rule mendorong direksi untuk lebih berani mengambil

risiko daripada terlalu berhati-hati, sehingga perseroan tidak jalan. Prinsip ini

mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang lebih

41 Angela Scheeman, The law of Corporations, Partnerships, and Sole Proprietorship, Delmar Publisher, Albany, 1997, hlm 245.

26

Page 27: Badan Hukum

baik dalam bidang bisnis daripada direksi. Para hakim umumnya tidak memiliki

keterampilan bisnis dan mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.42

Dengan demikian, tindakan yang dilakukan beberapa direksi Persero yang

menjalankan perusahaan, termasuk melakukan investasi yang dianggap merugikan

negara dan kemudian dituduh melakukan tindak pidana korupsi patut dipertanyakan

kebenaran atau ketepatannya. Apalagi, jika hal yang dituduhkan kepada direksi itu

adalah kerugian yang terjadi suatu transaksi bisnis akibat kesalahan direksi dapat

dimintakan tanggung jawab kepada dirinya.

Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi iktikad

baik, maka ia dapat dikategorikan sebagai pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan

tanggung jawab pribadi. Misalnya, jika direksi menginvestasikan dana yang dimiliki

perseroan yang dilandasi iktikad baik dan semata-mata untuk kepentingan dan

keuntungan perseroan, tindakan investasi itupun atas dasar pertimbangan ahli analisis

investasi yang bekerja sesuai dengan standar profesinya, tetapi ternyata menimbulkan

kerugian bagi perseroan tidak dengan sendirinya timbul tanggung jawab pribadi direksi.

Kerugian dalam suatu transaksi bisnis tertentu tidak dengan sendirinya

menimbulkan kerugian bagi perseroan. Harus ada terlebih dahulu perhitungan laba rugi

dalam neraca keuangan tahunan perseroan. Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1995 menentukan

bahwa dalam waktu sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan setelah tahun buku perseroan

ditutup, direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS yang antara

lain memuat perhitungan laporan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru

lampau dan perhitungan laba rugi dari tahun yang bersangkutan serta penjelasan atas

dokumen tersebut. Dari laporan perhitungan itu tercermin keadaan finansial yang

sebenarnya dari aktiva, kewajiban, modal, dan hasil usaha perseroan selama satu tahun

berjalan.43

Dengan demikian, kerugian yang diderita dalam suatu transaksi tertentu tidak

lantas berarti kerugian bagi perseroan, karena mungkin ada transaksi-transaksi yang

menguntungkan.

42 Erman Rajagukguk, op,cit, hlm 245.43 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

1999, hlm 87.

27

Page 28: Badan Hukum

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak benar kerugian terjadi dari

suatu transaksi bisnis tertentu dengan sendirinya menjadi kerugian perseroan, apalagi

kerugian negara. Menurut Erman Rajagukguk ada hal yang salah dalam praktik

peradilan di Indonesia di mana direksi Persero dikenakan tuntutan tindak pidana

korupsi atas kerugian dalam suatu transaksi tertentu.44

G. Alternatif Upaya Hukum

Terhadap kenyataan di atas, tidak berarti bahwa direksi Persero yang karena

tindakannya dalam transaksi bisnis menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dapat

dimintakan tanggungjawabnya atau dilakukan upaya hukum. Sebenarnya terhadap

direksi dua tindakan hukum sekaligus, yakni baik melalui gugatan perdata maupun

tuntutan pidana.

Gugatan secara perdata dapat dilakukan berdasarkan ketentuan UU No. 40

Tahun 2007. Sebagaimana dijelaskan di atas, apabila direksi melanggar kewajiban

fiduciary duty, maka lahir tanggung jawab pribadi. Negara sebagai pemegang saham

dapat melakukan gugatan perdata sebagaimana dimaksud Pasal 97 UU No. 40 Tahun

2007.

Tuntutan pidana pun dapat dilakukan terhadap direksi yang bersangkutan. Hal

ini dapat saja dilakukan apabila direksi tersebut melakukan penggelapan, pemalsuan

data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang-Undang Perbankan, pelanggaran

Undang-Undang Pasar Modal, pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli, dan

undang-undang lain yang memiliki sanksi pidana.

H. Kesimpulan

Secara yuridis penyertaan negara dalam suatu badan usaha yang berbentuk

Persero merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Begitu negara menyertakan

kekayaan tersebut, kekayaan itu demi hukum menjadi kekayaan Persero. Persero

sebagai badan hukum memiliki kedudukan mandiri. Secara fisik kekayaan negara

dalam Persero itu berwujud saham, bukan kekayaan Persero yang bersangkutan.

44 Erman Rajagukguk, loc.cit.

28

Page 29: Badan Hukum

Upaya hukum yang dapat dilakukan negara terhadap direksi yang karena

tindakannya menimbulkan kerugian bagi Persero mestinya tidak dilakukan atas dasar

tindak pidana korupsi. Negara sebagai pemegang saham dapat melakukan gugatan

perdata terhadap direksi tersebut karena melanggar kewajiban fiduciary duty. Direksi

yang bersangkutan dapat pula dituntut secara pidana misalnya atas tuduhan melakukan

penggelapan, pemalsuan data atau laporan keuangan, dan tindak pidana perbankan.

Daftar Pustaka

Ali, Chidir, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987.

Cheeseman, Henry R., Business Law: Ethical, International and E-Commerce

Environment, Fourth Edition, Prentice Hall, New Jersey, 2001.

Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam

Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Garner, Bryan A, et.al, ed, Black’s Law Dictionary, 8th Edition, Thomson-West, St.

Paul Min, 2004.

Hamilton, Robert W, The Law of Corporation, West Publishing Co, St. Paul, Minn,

1996.

Hartono, Sri Rejeki, et.al, ed, Permasalahan Sekitar Hukum Bisnis: Persembahan

kepada Sang Maha Guru, Tanpa Penerbit, Jogjakarta, 2006.

Jager, Ella Gepken, et.al, eds, VOC 1602 – 2002: 400 Years of Company Law, Kluwer

Legal Publisher, Deventer, 2005

Kelly, David et.al, Business Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002.

Keenan, Denis, Smith and Keenan’s Company Law, Pearson Longman, Harlow, 2002.

29

Page 30: Badan Hukum

Kesowo, Bambang “Fiduciary Duties Direksi Perseroan Terbatas Menurut Undang-

undang No. 1 Tahun 1995”, Newsletter, edisi No. 23/VI/Desember 95.

Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Jogjakarta, 2006.

Kraakman, Reiner R. et.al, The Anatomy of Corporate Law: A Comparative and

Functional Approach, Oxford University Press, Oxford, 2005.

Miller, Roger Leroy dan Gaylord A. Jentz, Fundamentals of Business Law, Sixth

Edition, Thompson, Ohio, 2005

Prasetya, Rudhi, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertai Dengan Ulasan

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, Alumni, Bandung, 1995.

Purwosutjipto, H.M.N., Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jilid 2,

Djambatan, Jakarta, 1982.

Rajagukguk, Erman, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum

Demokratis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum

dan Ekonomi, Depok, 2006.

Ranuhandoko, P.M, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

2003.

Satrio, J, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1999.

Scheeman, Angela The law of Corporations, Partnerships, and Sole Proprietorship,

Delmar Publisher, Albany, 1997.

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 1999.

Kompas, Sabtu 24 Februari 2007.

Vermuelen, Erik P.M., The Evolution of Legal Business Forms in Europe and the

United States: venture Capital, Joint Venture, and Partnership Structures,

Kluwer Law International, Deventer, 2002.

.

.

30