7
Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian absorpsi asetosal secara in vitro dengan menggunakan metode usus terbalik. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH terhadap absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro. Asetosal merupakan turunan salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti inflamasi (peradangan) dan juga memiliki efek antikoagulan untuk mencegah serangan jantung dengan rumus struktur sebagai berikut : Struktur asetosal Konsentrasi asetosal yang digunakan adalah sebesar 0,1M. Pembuatan asetosal 0,1 M dilakukan dengan menimbang sebanyak 0,18 gram asetosal kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan dilarutkan dengan menggunakan pelarut etanol karena menurut Farmakope Indonesia, asetosal agak sukar larut dalam air, dan mudah larut dalam etanol(95%) P. Pembuatan asetosal ini dilakukan secara kuantitatif karena akan digunakan untuk pembuatan kurva baku dengan menggunakan spektrofotometri UV-VIS. Asam asetil salisilat dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer UV-Visible karena berdasarkan strukturnya asam asetil salisilat memiliki gugus kromofor benzena cincin aromatik yang dapat mengabsorpsi radiasi elektromagnetik yang dihasilkan oleh spektrofotometer UV-Visible. Untuk pembuatan kurva baku, dilakukan dengan membuat larutan asetosal dengan lima seri konsentrasi. Pertama, dibuat larutan stok asam asetil salisilat 1000 ppm dalam pelarut etanol. Pelarut etanol digunakan agar kondisi pengukuran sampel dengan baku adalah sama. Dibuat larutan dengan konsentrasi bertingkat dengan melakukan pengenceran terhadap larutan stok asam asetil salisilat, yaitu 120, 140, 160, 180 dan 200 ppm. Masing-masing konsentrasi larutan tersebut diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran absorbansi dari asetosal dengan spektrofotometer UV-Vis dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena pada panjang

Biofar in Vitro

Embed Size (px)

DESCRIPTION

biofar

Citation preview

Pada praktikum kali ini, dilakukan pengujian absorpsi asetosal secara in vitro dengan menggunakan metode usus terbalik. Pengujian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pH terhadap absorpsi obat melalui saluran pencernaan secara in vitro. Asetosal merupakan turunan salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri minor), antipiretik (terhadap demam), dan anti inflamasi (peradangan) dan juga memiliki efek antikoagulan untuk mencegah serangan jantung dengan rumus struktur sebagai berikut :

Struktur asetosalKonsentrasi asetosal yang digunakan adalah sebesar 0,1M. Pembuatan asetosal 0,1 M dilakukan dengan menimbang sebanyak 0,18 gram asetosal kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan dilarutkan dengan menggunakan pelarut etanol karena menurut Farmakope Indonesia, asetosal agak sukar larut dalam air, dan mudah larut dalam etanol(95%) P. Pembuatan asetosal ini dilakukan secara kuantitatif karena akan digunakan untuk pembuatan kurva baku dengan menggunakan spektrofotometri UV-VIS.Asam asetil salisilat dapat dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometer UV-Visible karena berdasarkan strukturnya asam asetil salisilat memiliki gugus kromofor benzena cincin aromatik yang dapat mengabsorpsi radiasi elektromagnetik yang dihasilkan oleh spektrofotometer UV-Visible.Untuk pembuatan kurva baku, dilakukan dengan membuat larutan asetosal dengan lima seri konsentrasi. Pertama, dibuat larutan stok asam asetil salisilat 1000 ppm dalam pelarut etanol. Pelarut etanol digunakan agar kondisi pengukuran sampel dengan baku adalah sama. Dibuat larutan dengan konsentrasi bertingkat dengan melakukan pengenceran terhadap larutan stok asam asetil salisilat, yaitu 120, 140, 160, 180 dan 200 ppm. Masing-masing konsentrasi larutan tersebut diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran absorbansi dari asetosal dengan spektrofotometer UV-Vis dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena pada panjang gelombang maksimum, kepekaannya juga maksimum karena pada panjang gelombang maksimum tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar. Di sekitar panjang gelombang maksimum juga, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert Beer terpenuhi. Selain itu, jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali ketika digunakan panjang gelombang maksimul (Gholib, 2007). Panjang gelombang maksimum yang didapat dari percobaan dan digunakan untuk pengukuran asetosal adalah 297 nm.Setelah kelima seri konsentrasi tersebut diukur absorbansinya, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi (sumbu y) dengan konsentrasi (sumbu x).Pada konsentrasi 120 ppm, absorbansi sampel rata-rata adalah 0,33067 , pada konsentrasi 140 ppm, absorbansinya 0,3773 , pada konsentrasi 160 ppm, absorbansi sampel 0,4626 , pada konsentrasi 180 ppm, absorbansi 0,5102 dan pada konsentrasi 200 ppm, absorbansinya 0,5187. Dari data absorbansi dan konsentrasi asetosal, didapatkan persamaan kurva yaitu :y= 0,0025448 x + 0,032726dimana y merupakan absorbansi dan x merupakan konsentrasi. Nilai r dari kurva yaitu 0,970. Persamaan yang didapatkan dari kurva baku ini digunakan selanjutnya dalam menghitung konsentrasi sampel.Pada percobaan ini hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan. Tikus putih biasa digunakan dalam percobaan laboratorium karena mudah dikembangbiakkan dan mudah dalam perawatannya, hewan ini juga memiliki struktur anatomi fisiologi yang hampir sama dengan manusia. Sehingga hasil uji yang dicobakan pada tikus putih yang menyangkut struktur fisiologi anatomi dapat diaplikasikan pada manusia.Sebelumnya, tikus percobaan dipuasakan dari makanan selama 20-24 jam, tapi diberi minum air masak. Tujuan dari tikus dipuasakan agar tidak ada faktor makanan lain yang mengganggu saat dilakukan percobaan serta untuk mengosongkan lambung dan usus.Lalu tikus dibunuh dengan eter. Eter biasa digunakan sebagai obat bius yang diberikan melalui pernapasan. Kemudian dibuka perutnya di sepanjang linea mediana (linea mediana adalah garis yang melintas tepat ditengah tubuh dengan arah lintasan atas bawah/vertikal) dan usus dikeluarkan. Usus sepanjang 15 cm dibawah pilorus (pilorus adalah daerah atau bagian lambung bawah yang berhubungan dengan bagian atas duodenum/usus duabelas jari) dibuang dan 20 cm dibawahnya dipotong untuk percobaan. Usus dibagi dua bagian sama panjang, kemudian dibersihkan. Ujung dari potongan usus tersebut diikat dengan benang, kemudian dengan menggunakan pinset kecil usus tersebut dibalik secara perlahan agar usus tidak sobek, sehingga bagian mukosa terletak diluar. Tujuan dari peletakan mukosa usus diluar karena ingin menyamakan pengondisian seperti dalam tubuh manusia, dimana mukosa usus adalah bagian yang lipofil, sehingga diharapkan nantinya akan dapat diukur seberapa besar kadar zat aktif obat yang bersifat lipofil yang dapat diabsorpsi oleh mukosa usus. Kanula dimasukkan ke ujung oral dari usus yang belum terikat. Usus diukur dengan panjang efektif 7 cm yang sebelumnya diisi dengan cairan serosal 1,4 ml yang terdiri dari larutan natrium klorida 0,9% b/v. Kantong usus yang sudah berisi cairan serosal ini dimasukkan ke dalam tabung yang sudah berisi cairan mukosal 75 ml (yang mengandung bahan obat yaitu asetosal) pada suhu 37C. Kantong usus untuk kontrol dilakukan dengan cara yang sama, tetapi dengan menggunakan cairan mukosal tanpa obat.Selama percobaan berlangsung, seluruh bagian usus dijaga agar dapat terendam dalam cairan mukosal dan selalu dialiri gas oksigen dengan kecepatan kira-kira 100 gelembung per menit.Pada waktu tertentu kadar obat dalam cairan serosal ditentukan. Untuk penentuan ini seluruh cairan serosal diambil melalui kanula dan segera dicuci dengan larutan 0,9% b/v natrium klorida, kemudian diisi lagi dengan 1,4 ml larutan 0,9% b/v natrium klorida.Usus tikus yang telah didapatkan direndam dalam larutan NaCl fisiologis 0,9% yang bersifat isotonis agar tidak kering dan rusak. Kemudian usus dipotong 20 cm dari bagian ujung dekat pilori (lambung) untuk dibuang, dan diambil 7 cm dari sisa usus untuk dibersihkan lalu dibalik sehingga bagian dalam usus berada diluar dan bagian luar usus berada didalam dengan pinset. Usus harus dibalik karena percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar absorpsi obat oleh filia bagian dalam usus pada perbedaan pH yang diatur sesuai pH lambung dan pH usus secara in vitro (menggunakan instrumen yang menyerupai bagian dalam tubuh).Setelah itu, salah satu ujung usus disambungkan ke pipa B pada instrument modifikasi crane&Wilson dan diikat dengan benang agar tidak mudah lepas sehingga instrument tersebut menjadi seperti gambar dibawah ini :

Kemudian, ujung usus yang lain diikat dengan benang dan dikaitkan ke ujung pipa C, lalu larutan NaCl fisiologis dimasukkan kedalam usus sebanyak 1,4 ml melalui pipa B agar usus tetap basah dan tidak rusak, digunakan larutan NaCl fisiologis yang isotonis karena menyerupai cairan tubuh tikus/ mamalia. Selanjutnya, kedalam tabung instrument dimasukkan larutan dapar pH 1,2 melalui pipa A sebanyak 75 ml menggunakan syringe, larutan dibuat pada pH 1,2 agar menyerupai kondisi dalam lambung tikus/ mamalia. Instument dipanaskan diatas water bath hingga mencapai suhu 37oC agar menyerupai suhu didalam tubuh tikus/ mamalia. Larutan asam salisilat 0,01 M kemudian dimasukkan sebanyak 10 ml melalui pipa A kedalam larutan dapar sehingga bercampur dan didiamkan dengan selalu diberikan oksigen melalui pipa C. Oksigen diberikan agar sel-sel usus tetap hidup. Setiap 5 menit, larutan NaCl fisiologis didalam usus diambil melalui pipa B menggunakan syringe dan dimasukkan kedalam vial yang telah diberi label, kemudian diganti dengan 1,4 ml larutan NaCl fisiologis yang baru. Hal ini dilakukan sampai 15 menit berlangsung. Larutan NaCl fisiologis diambil dari usus setiap rentang waktu 5 menit karena akan dihitung kadar asam salisilat yang terabsorpsi melalui filia usus dan masuk kedalam larutan untuk mengetahui absoprsi optimal dari asam salisilat pada perbedaan pengaturan pH yang disesuaikan kondisi dalam tubuh mamalia. Percobaan ini juga dilakukan dengan tabung instrumen diisi larutan dapar pH 7,4 yang disesuaikan dengan kondisi didalam usus, dengan ditambahkan pula 10 ml larutan asam salisilat 0,01 M. Kemudian dilakukan percobaan control negatif dengan prosedur yang sama menggunakan larutan dapar pH 1,2 dan pH 7,4 tanpa ditambahkan obat. Setelah itu, semua vial yang telah berisi larutan NaCl fisiologis diberi perlakuan awal untuk dianalisis menngunakan spektrofotometer UV.Setelah dilakukan pengambilan cuplikan dari setiap rentang waktu 5 menit(5, 10 dan 15 menit) pada masing-masing pH 1,2 dan 7,4 dari masing-masing tabung, maka masing-masing cuplikan tersebut dianalisis menggunakan spektrofotometri UV untuk menetapkan konsentrasi asetosal selama proses absorpsi di dalam usus hewan percobaan. Adapun panjang gelombang maksimum yang digunakan adalah 274 nm. Alasan memilih panjang gelombang maksimum adalah karena panjang gelombang maksimum memiliki kepekaan maksimal karena terjadi perubahan absorbansi yang paling besar dan pada panjang gelombang maksimum, bentuk kurva absorbansi terhadap konsentrasi memenuhi hukum Lambert-Beer. Sebelum dianalisis, masing-masing cuplikan dilarutkan kedalam larutan barium hidroksida 0,3 N dan sengsulfat 5% ( 5 gram dalam 100 ml). Fungsi barium hidroksida dan sengsulfat adalah untuk mengekstraksi asetosal dan memisahkan asetosal dari senyawa-senyawa lain yang mungkin terikut, sehingga hanya asetosal yang akan dianalisis menggunakan spektrofotometri UV. Pertama-tama harus dibuat larutan barium hidroksida 0,3 N dan sengsulfat 5%. Barium hidroksida (Ba(OH)2.8H2O) ditimbang sebanyak 4,732 gram, diperoleh dari rumus berikut:

(BM= 315,47) (FI IV, 1995 hal 1137) dan dilarutkan kedalam air panas sebanyak 100 ml. Sedangkan sengsulfat (ZnSO4. H2O) ditimbang sebanyak 5 gram dan dilarutkan kedalam 100 ml air (BM= 179,46) (FI IV, 1995 hal 836). Barium hidroksida agak sukar larut dalam air dingin, sehingga butuh pemanasan untuk melarutkannya, namun pada saat percobaan, barium hidroksida masih belum larut sempurna sekalipun dilarutkan dalam air panas sambil dipanaskan, sedangkan sengsulfat sangat larut dalam air. Setelah itu, sebanyak 2 ml dari larutan barium hidroksida dan 2 ml sengsulfat dicampurkan kedalam masing-masing 1 ml cuplikan, kemudian campuran larutan tersebut disentrifugasi untuk memisahkan endapan dengan filtratnya. Dimana filtrat yang berupa cairan jernih tersebut yang mengandung asetosal.Pada saat sentrifugasi, campuran larutan tersebut dimasukkan kedalam tabung sentrifugasi lalu tabungnya ditempatkan kedalam alat sentrifugasi secara berseberangan dan dengan jumlah yang sama, setelah itu diatur kecepatan pemutarannya, yaitu 3000 RPM (Revolutions Per Minute) (angka 30 dilayar dikali faktor pengali 100) selama 10 menit.Hasil sentrifugasi berupa larutan jernih di bagian atas dan endapan di bagian bawah. Bagian atas yang berupa larutan jernih diambil menggunakan pipet dan dimasukkan kedalam kuvet. Sebelum sampel diukur, alat spektrofotometer terlebih dahulu di-reference kedalam panjang gelombang yang sesuai menggunakan blanko yaitu blanko dari pH 1,2 dan 7,4 pada waktu = 0 menit. Selanjutnya masing-masing sampel cuplikan diukur absorbansinya. Adapun jumlah cuplikan yang diukur ada 6 buah (3 buah cuplikan (pada pengambilan 5, 10 dan 15 menit) pada pH 1,2dan 3 buah cuplikan dari pH 7,4. Absorbansi yang diperoleh dicatat.Berdasarkan data pengamatan, nilai absorbansi yang didapatkan tidak sesuai dengan hukum Lambert Beer, yaitu konsentrasi yang baik itu berada di rentang absorbansi 0,2-0,8 yang terdeteksi dengan spektro UV. Pada saat pengukuran, nilai absorbansi yang diperoleh yaitu kebanyakan bernilai minus yaitu pada pH 1,2: -0,0096 (15 menit), sedangkan pada pH 7,4: -1,164600 (5 menit), -1,2372 (10 menit) dan -1,0886 (15 menit), artinya larutan yang dianalisis tidak terbaca serapannya oleh alat spektrofotometer UV. Dan ada 2 nilai absorbansi yang bernilai positif yaitu pada pH 1,2 : 0,0633 (5 menit) dan 0,1757 (10 menit) namun nilai absorbansi ini tetap tidak memenuhi hukum Lambert Beer yaitu rentang absorbansi yang diizinkan adalah 0,2-0,8. Hal ini terjadi karena kemungkinan waktu yang tidak cukup bagi obat asetosal untuk terabsorpsi. Kemungkinan asetosal akan terabsorpsi pada rentang waktu setelah 15 menit. Hasil absorbansi dimasukkan kedalam perhitungan untuk mencari konsentrasinya. Nilai absorbansinya dimasukkan kedalam persamaan regresi linier dari kurva baku asetosal. Dari data pengamatan terlihat bahwa data yang didapatkan tersebut menyimpang dari yang seharusnya, misalnya seperti, hasil absorbansi yang dihasilkan sangat aneh, nilai absorbansinya menurun pada pertambahan waktu. Seharusnya semakin lama, maka absorbansinya semakin tinggi, karena seharusnya semakin banyak obat yang terabsorpsi. Namun data nilai absorbansi yang dihasilkan pada pH 1,2 lebih tinggi dibandingkan dengan pada pH 7,4 itu adalah benar dan sesuai dengan teori, yaitu bahwa suatu obat yang bersifat asam akan terabsorpsi optimum di pH asam (lambung) dan obat yang bersifat basa terabsorpsi optimum di pH basa(usus). Pada percobaan kali ini, senyawa obat yang digunakan adalah asetosal (asam asetil salisilat), dimana senyawa obat ini bersifat asam, sehingga obat ini akan terabsorpsi optimum di pH asam. Setelah dilakukan perhitungan konsentrasi berdasarkan persamaan regresi linier dari kurva baku asetosal, maka data-data absorbansi dan konsentrasi di plotkan kedalam grafik. Di mana sumbu-x nya adalah waktu dan sumbu y nya adalah konsentrasi. Jadi grafik yang terbentuk adalah grafik konsentrasi terhadap waktu. Dari grafik terlihat bahwa, pada pH 1,2 konsentrasi paling tinggi adalah pada waktu ke-10 menit, sedangkan pada pH 7,4 konsentrasi paling tinggi pada waktu ke -15 menit.