27
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi. Melihat pentingnya pengetahuan tentang disolusi, khususnya dalam pembuatan sediaan maka diadakanlah percobaan ini. 1.2 Rumusan Masalah a. Apakah dengan adanya tambahan bahan pembawa yaitu susu skim dapat meningkatkan kecepatan disolusi obat piroksikam ? b. Berapa perbandingan yang baik antara piroksikam dan susu skim yang dapat meningkatkan kecepatan disolusi dari piroksikam ? 1.3 Tujuan Menentukan kecepatan disolusi piroksikam dengan adanya susu skim sebagai bahan pembawa dispersi padat.

Review Jurnal Biofar

Embed Size (px)

DESCRIPTION

vf

Citation preview

Page 1: Review Jurnal Biofar

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam

media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat

sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap

ke dalam tubuh.

Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut dalam air

untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat dilarutkan mungkin

memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu sehingga menghasilkan respon

terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari senyawa-senyawa ini mungkin

dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut, seperti garam dan ester dengan

teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.

Melihat pentingnya pengetahuan tentang disolusi, khususnya dalam pembuatan sediaan maka

diadakanlah percobaan ini.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apakah dengan adanya tambahan bahan pembawa yaitu susu skim dapat meningkatkan

kecepatan disolusi obat piroksikam ?

b. Berapa perbandingan yang baik antara piroksikam dan susu skim yang dapat meningkatkan

kecepatan disolusi dari piroksikam ?

1.3 Tujuan

Menentukan kecepatan disolusi piroksikam dengan adanya susu skim sebagai bahan

pembawa dispersi padat.

Page 2: Review Jurnal Biofar

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DISOLUSI

Disolusi adalah  proses pelepasan senyawa obat dari sediaan  dan melarut  dalam media

pelarut, sedangkan  laju disolusi adalah jumlah zat aktif yang dapat larut dalam waktu tertentu pada

kondsisi antar permukaan cair-padat, suhu dan komposisi media yang dibakukan. Tetapan laju

disolusi merupakan suatu besaran  yang menunjukkan  jumlah bagian senyawa obat yang larut  dalam

media  per satuan  waktu. Uji disolusi yang diterapkan pada sediaan obat bertujuan untuk mengukur 

serta mengetahui jumlah zat aktif yang terlarut dalam media pelarut yang diketahui volumenya pada

waktu dan suhu tertentu, menggunakan alat  tertentu  yang didesain  untuk uji  parameter   disolusi

(Martin, 1993).

Tahap disolusi meliputi proses pelarutan obat pada permukaan partikel padat  yang

membentuk larutan jenuh di sekeliling  partikel  yang dikenal sebagai lapisan diam (stagnant  layer).

Kemudian obat yang terlarut dalam lapisan diam ini berdifusi ke dalam pelarut dari daerah

konsentrasi obat  yang tinggi  ke daerah konsentrasi obat yang rendah. Disolusi didefinisikan sebagai

proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana,

disolusi adalah proses dimana zat padat melarut. Secara prinsip dikendalikan oleh afinitas antara zat

padat dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai bentuk sediaan padat terlibat

berbagai proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan

sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses

ddisintegrasi, dan degradasi sediaan, merupakan sebagaian dari faktor yang mempengaruhi

karakteristik disolusi obat dari sediaan (Martin, 1993).

Lepasnya suatu obat dari sistem pemberian meliputi faktor disolusi dan difusi. Laju disolusi

adalah sebagai salah satu faktor yang meliputi dan mempengaruhi pelepasan obat. Dalam USP cara

pengujian disolusi tablet dinyatakan dalam masing-masing monografi obat. Pengujian merupakan alat

yang objekif dalam menetapkan sifat disolusi suatu obat yang berada dalam tubuhsangat besar

tergantung pada adanya obat dalam keadaan melarut. Karakteristik disolusi biasa merupakan sifat

yang penting dari produk obat yang memuaskan. Setiap tablet harus memenuhi persyaratan seperti

yang terdapat di dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ansel, 2005).

Uji disolusi memperhatikan fasilitas modern untuk mengontrol kualitas, digunakan untuk

menjaga terjaminnya standar dalam produksi tablet. Uji disolusi untuk mengetahui terlarutnya zat

Page 3: Review Jurnal Biofar

aktif dalam waktu tertentu menggunakan alat disolution tester. Kriteria penerimaan menurut FI IV

adalah (Depkes RI, 1995) :

TINGKAT

PENGUJIAN

JUMLAH

YANG DIUJI

KRITERIA PENERIMAAN

S1 6 Tiap unit ≥ Q +5%

S2 6 Rata-rata dari ke 12 unit sediaan (S1+S2) ≥ Q dan tidak satu unit

pun < Q-15%

S3 12 Rata-rata dari 24 unit sediaan (S1+S2+S3)≥ Q tidak lebih dari 2

unit sediaan < Q-15% dan tidak satu unit pun <Q-25%

2.1.1 KECEPATAN PELARUTAN

Secara sederhana kecepatan pelarutan didefinisikan sebagai jumlah zat yang terlarut dari

bentuk sediaan padat dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu. Dapat juga diartikan sebagai

kecepatan larutan bahan obat dari sediaan farmasi atau granul atau partikel-partikel sebagai hasil

pecahannya bentuk sediaan obat tersebut setelah berhubungan dengan cairan medium. Dalam hal

tablet biasanya diartikan sebagai mass transfer, yaitu kecepatan pelepasan obat atau kecepatan larut

bahan obat dari sediaan tablet kedalam medium penerima. Penelitian tentang disolusi telah dilakukan

oleh Noyes Whitney dan dalam penelitiannya diperoleh persamaan yang mirip hokum difusi dari Fick

(Martin,1993) :

dc/dt = DAK (Cs-C)

h

Dimana :

dc/ct : laju pelarutan obat

D : tetapan laju difusi

A : luas permukaan partikel

Cs : kadar obat dalam “stagnant layer”

C : konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut

K : koefisien partisi munyak/air

h : tebal “stagnant layer”

Page 4: Review Jurnal Biofar

2.1.2 TEORI DISOLUSI

Di dalam pembahasan untuk memahami mekanisme disolusi, kadang-kadang digunakan salah

satu model atau gabungan dari beberapa model antara lain adalah (Banakar, 1992):

1. Model Lapisan Difusi (Diffusion Layer Model)

Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat

satu lapisan tipis cairan dengan ketebalan ℓ, merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah

yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat – cair berlangsung cepat.

Begitu model solut melewati antar muka liquid film – bulk film, pencampuran secara cepat akan

terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi

gerakan Brown dari molekul dalam liquid film.

2. Model Barrier Antar Muka (Interfacial Barrier Model)

Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi

difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan

– larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka

padat – cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif

cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant).

3. Model Dankwert (Dankwert Model)

Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara

paket makroskopik pelarut mencapai antar muka – cair karena terjadi pusaran difusi secara acak.

Paket pelarut terlihat pada permukaan padatan. Selama berada pada antar muka, paket mampu

mengabsorpsi solut menurut hukum difusi biasa, dan kemudian digantikan oleh paket pelarut segar.

Jika dianggap reaksi pada permukaan padat terjadi segera, prosex pembaharuan permukaan tersebut

terkait dengan kecepatan transpor solut ataudengan kata lain disolusi.

2.1.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DISOLUSI

Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah

(Shargel dan Yu, 1999) :

a. Suhu

Semakin tinggi suhu maka akan memperbesar kelarutan suatu zat yang bersifat endotermik serta akan

memperbesar harga koefisien zat tersebut.

b. Viskositas

Turunnya viskositas suatu pelarut juga akan memperbesar kelarutan suatu zat.

c. PH

Page 5: Review Jurnal Biofar

pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat asam maupun basa lemah. Zat yang bersifat

basa lemah akan lebih mudah larut jika berada pada suasana asam sedangkan asam lemah akan lebih

mudah larut jika berada pada suasana basa.

d. Ukuran Partikel

Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat sehingga

akan mempercepat kelarutan suatu zat.

e. Polimorfisme dan Sifat Permukaan Zat

Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat, adanya

polimorfisme seperti struktur internal zat yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut

dimana kristal metastabil akan lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya. Dengan adanya surfaktan

dan sifat permukaan zat yang hidrofob, akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel

menurun sehingga zat mudah terbasahi dan lebih mudah larut.

Selain faktor-faktor tersebut adan juga faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi obat secara

in vitro antara lain adalah (Shargel dan Yu, 1999):

a. Sifat Fisika Kimia Obat

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat

diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan

terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat

berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa

bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang

berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras,

kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat

bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk Kristal.

b. Faktor Formulasi

Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika

pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan

bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang

bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan

medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat,

misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan

tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula

terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan tambahan dan cara pengolahan. Pengaruh

bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang

terkandung di dalamnya. Cara pengolahan dari bahan baku, bahan tambahan dan prosedur yang

dilakukan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh terhadap laju disolusi.

Page 6: Review Jurnal Biofar

Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan granul-granul besar,

keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi

yang lama. Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi di antaranya kecepatan

disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan dan porositas.

c. Faktor alat dan kondisi lingkungan

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan

pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat

pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan

pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel

juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

2.1.4 METODE PENGUJIAN DISOLUSI

Untuk mengetahui kecepatan pelarutan suatu zat atau sediaan dapat dilakukan uji disolusi

dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut (Khan,1975):

a. Metode Klasik

Metode ini dapat menunjukkan jumlah zat aktif yang terlarut pada waktu t, yang kemudian dikenal

dengan T-20, T-50, T-90, dan sebagainya. Karena dengan metode ini hanya menyebutkan 1 titik saja,

maka proses yang terjadi di luar titik tersebut tidak diketahui. Titik terebut menyatakan jumlah zat

aktif yang terlarut pada waktu tertentu.

b. Metode Khan

Metode ini kemudian dikenal dengan konsep dissolution efficiency (DE)area di bawah kurva disolusi

di antara titik waktu yang ditentukan. Dirumuskan dengan persamaan sebagi berikut :

DE = 0t ∫Y dt x 100%

Y100.t

Beberapa peneliti mensyaratkan bahwa penggunaan DE sebaiknya mendekati 100% zat yang terlarut.

Keuntungan metode ini adalah :

1. Dapat menggambarkan seluruh proses percobaan yang dimaksud dengan harga DE

2. Dapat menggambarkan hubungan antara percobaan in vitro dan in vivo karena penggambaran

dengan cara DE ini mirip dengan cara penggambaran pecobaan in vivo

c. Metode Wagner

Metode ini dapat menghitung tetapan kecepatan pelarutan (k) dengan berdasarkan pada asumsi bahwa

kondisi percobaan dalam keadaan sink, proses pelarutan mengikuti orde satu, luas permukaan spesifik

turun secara eksponensial terhadap waktu.

Metode Wagner dapat diungkapkan dengan persamaan sebagai berikut :

ln 100 ( W~ - W ) = A – ( k.t )

Jumlah zat aktif yang melarut pada waktu tertentu, misalnya C30 adalah dalam waktu 30 menit zat

aktif yang melarut sebanyak x mg atau x mg/ml.

Page 7: Review Jurnal Biofar

2.1.5 ALAT UJI DISOLUSI

Pengujian disolusi hampir di semua negara telah mengikuti kriteria dan peralatan yang sama.

Sedangkan metode dan peralatan secara rinci dinyatakan dalam masing-masing Farmakope, seperti

kecepatan pengadukan, komposisi volume media dan ukuran mesh dapat bervariasi untuk monografi

individu obat dan masing-masing Farmakope. Cara pertama yang diuraikan dalam Farmakope

Indonesia adalah cara keranjang yang menggunakan pengaduk jenis keranjang dan cara yang kedua

adalah cara dayung yang menggunakan pengaduk berbentuk dayung. Dalam Farmakope Indonesia

kedua cara ini dikenal dengan cara keranjang dan dayung. Berikut uraian kedua alat tersebut (Depkes

RI,1979) :

1. Alat 1 (Metode Basket)

Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert,

dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah tercelup sebagian dalam penangas

sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah 37° ± 0,5° C selama pengujian berlangsung.

Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan,

goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah

disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter

dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu

sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti.

Suatu alat pengatur mempertahankan kecepatan alat.

2. Alat 2 (Metode Dayung)

Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas daun dan batang

sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak lebih dari 2 mm dan berputar dengan

halus tanpa goyangan yang berarti. Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan

selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu

kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar

wadah sebelum dayung mulai berputar.

2.1.6 Media Disolusi

1.Air Suling

Pelarut air digunakan untuk uji penetapan pelarutan beberapa tablet. Pengujian menggunakan cairan

air memberikan hasil yang sangat berbeda dengan cairan fisiologik, terutama untuk senyawa ionik

yang sangat dipengaruhi oleh pH (Martin,1993).

2.Larutan Ionik

Larutan ionik banyak digunakan untuk menyesuaikan pH organ tubuh (Martin,1993) :

Page 8: Review Jurnal Biofar

Larutan asam (pH 1,2) dibuat dari asam klorida encer baik ditambah atau tidak ditambah

dengan larutan natrium atau kalium klorida, sehingga pH cairan mendekati komposisi cairan

lambung.

Larutan dapar alkali (pH 7-8) paling sering digunakan untuk meniru pH usus dalam

pengujian sediaan dengan aksi diperpanjang atau aksi terjaga setelah melewati cairan yang

asam.

2.1.7 TEKNIK MENINGKATKAN KECEPATAN DISOLUSI

Peningkatan bioavailabilitas suatu zat aktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya

dengan peningkatan disolusi/kelarutan zat aktif. Terdapat bermacam-macam teknik untuk peningkatan

kelarutan. Pemilihan tehnik yang tepat harus mempertimbangkan banyak faktor seperti sifat fisika-

kimia bahan obat/zat aktif, stabilitas / shelf – life, kemudahan dalam pemprosesan/penanganan, serta

besarnya kelarutan yang diinginkankan. sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan

Kecepatan disolusi/kelarutan dari suatu obat, diantaranya (Ansel, 2005):

a. Pendekatan Pro-drug (Pro-drug approach)

b. Sintesis bentuk garam (Salt synthesis)

c. Pengecilan ukuran partikel (Particle size reduction)

d. Pembentukan komplek (Complexation)

e. Perubahan bentuk fisik (Change in physical form)

f. Dispersi padat (Solid dispersions)

g. Pengeringan semprot (Spray dryng)

h. Hot-melt extrusion

2.2 DISPERSI PADAT

2.2.1 Latar Belakang Sejarah dan Definisi Dispersi

Pengaruh ukuran partikel obat terhadap laju disolusi dan bioavailabitas ditinjau ulang secara

komprehensif memperlihatkan bahwa obat-obat yang laju absorpsi pada saluran pencernaan dibatasi

oleh disolusi, pengurangan ukuran partikelnya umumnya meningkatkan laju absorpsi dan

bioavailabilitas total. Hal ini umum terjadi pada obat yang sukar larut dalam air. Sebagai contoh, dosis

terapi griseofulvin menurun sampai 50% dengan mikronisasi dan juga menghasilkan level darah yang

lebih konstan dan tepat. Dosis komersial spironolakton juga menurun sampai setengahnya hanya

dengan sedikit pengurangan ukuran partikel (Levy, 1963).

Menurut Chiou dan Riegelman (1971) pengurangan ukuran partikel dapat dilakukan dengan:

a) triturasi konvensional dan pengerusan, b) bola-bola penggiling (balmilling), c) mikronisasi energi

cairan, d) pengendapan terkontrol dengan perubahan pelarut atau suhu, aplikasi gelombang ultrasonik,

Page 9: Review Jurnal Biofar

dan semprot kering (spray drying), e) pemberian cairan ketika dilusi dengan cairan lambung, dan f)

pemberian garam yang larut air dari senyawa yang sukar larut sehingga bentuk netral akan

mengendap dalam bentuk yang sangat halus dalam cairan saluran pencernaan ( Chiou dan Riegelman,

1971).

Sistem dispersi adalah sistem dimana suatu zat tersebar merata (fase terdispersi) di dalam zat

lain (fase pendispersi atau medium). Atau dispersi pangan adalah sistem pangan yang terdiri dari satu

atau lebih fase terdispersi atau fase diskontinyu dalam suatu fase kontinyu. Larutan adalah keadaan

dimana zat terlarut (molekul, atom, ion) terdispersi secara homogen dalam zat pelarut. Larutan

bersifat stabil dan tak dapat disaring. Diameter partikel zat terlarut lebih kecil dari 10-7 cm. Contoh :

larutan gula, larutan garam. Dalam larutan dikenal juga kelarutan (solubility) yaitu jumlah

maksimum zat yang dapat larut dalam sejumlah tertentu pelarut/larutan pada suhu tertentu. Jadi jika

suatu zat dilarutkan pada suatu pelarut/ larutan dan ternyata telah melewati batas kelarutan larutan

tersebut maka sebagian zat akan terlarut dan sebagian lagi akan mengendap (Chiou dan Riegelman,

1971).

Bahan obat yang relatif tidak larut air memiliki kecepatan disolusi dan ketersediaan hayati yang rendah.

Berbagai upaya untuk meningkatkan ketersediaan hayati bahan obat yang sukar larut air pada pemberian oral telah

banyak dilakukan dalam bentuk dispersi padat. Teknik dispersi padat pertama kali diperkenalkan oleh Sekiguchi dan

Obi pada tahun 1961 dengan tujuan untuk memperkecil ukuran partikel, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi obat

yang tidak larut dalam air. Pada tahun 1965, konsep tersebut dikembangkan Tachibana dan Nakamura dengan

menggunakan polivinil pirolidon (PVP) sebagai pembawa dan dispersi dibuat melalui metode pelarutan (Leuner dan

Dressman 2000).

Salah satu polimer yang umum digunakan dalam pembuatan dispersi padat adalah polietilenglikol (PEG).

PEG disebut juga makrogol, merupakan polimer sintetik dari oksietilen. PEG umumnya memiliki bobot molekul antara

200-300000. Konsistensinya sangat dipengaruhi oleh bobot molekul. UmumnyaPEG dengan bobot molekul antara

1500-20000 yang digunakan untuk pembuatan dispersi padat. Polimer ini mudah larut dalam berbagai pelarut,titik lelek

dan toksisitasnya rendah. Kebanyakan PEG yang digunakan memiliki bobot molekul antara 4000-20000,khususnya

PEG 4000 dan PEG 6000. Proses pembuatan dispersi padat dengan PEG 4000 umumnya mengguanakan metode

peleburan karena lebih mudah dan murah. Disolusi sistem dispersi padat dengan obat hidrofobik dapat ditingkatkan dengan

meningkatkan kelarutan obat dalam pembawa. Dalam hal ini, penambahan surfaktan dapat meningkatkan laju disolusi obat

yang sukar larut dalam air. Salah satu surfaktan yang biasa digunakan dalam dispersi padat adalah natrium lauril sulfat

(Leuner dan Dressman, 2000).

Page 10: Review Jurnal Biofar

2.2.2 Metode Persiapan Dispersi Padat

2.2.2.1 Metode Pelelehan

Metode ini pertama kali diusulkan Sekiguchi dan Obi tahun 1961. Untuk membuat bentuk

sediaan dispersi padat. Campuran obat dan pembawa yang larut air dilebur secara langsung sampai

meleleh. Campuran tersebut didinginkan dan dibekukan pada penangas berisi es (ice bath) dengan

pengadukan kuat. Masa padat dihancurkan, diserbuk dan diayak (Goldberg, et al., 1966). Massa padat

tersebut biasanya membutuhkan penyimpanan satu hari atau lebih dalam desikator pada suhu kamar

untuk pengerasan dan kemudahan diserbuk (Levy, 1963).

Keuntungan utama metode ini adalah sederhana dan ekonomis. Sebagai tambahan dapat

dicapai supersaturasi zat terlarut atau obat pada sistem dengan mengkristalkan lelehan langsung

secara cepat dari temperatur tinggi Dibawah kondisi seperti itu, molekul zat terlarut tertahan pada

matriks pelarut dengan proses pemadatan langsung. Sehingga didapat dispersi kristalit yang lebih

halus dari sistem campuran eutetis sederhana bila metode ini digunakan. Kekurangannya adalah

banyak zat baik obat atau pembawa, dapat terurai atau menguap selama proses peleburan pada suhu

tinggi (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.2.2.2 Metode Pelarutan

Metode ini telah lama digunakan dalam pembuatan dispersi padat atau kristal campuran

senyawa organik dan anorganik (Chiou dan Riegelman, 1971). Dispersi padat dibuat dengan

melarutkan campuran dua komponen padat dalam suatu pelarut umum, diikuti dengan penguapan

pelarut. Metode ini digunakan untuk membuat dispersi padat ß- karoten-polivinilpirolidon,

sulfathiazol-polivinilpirolidon. Salah satu syarat penting untuk pembuatan dispersi padat dengan

metode pelarutan adalah bahwa obat dan pembawa cukup larut dalam pelarut. Suhu yang digunakan

untuk penguapan pelarut biasanya terletak pada kisaran 23-65º C (Leuner dan Dressman, 2000).

Keuntungan utama dari metode ini adalah penguraian obat atau pembawa dapat dicegah

karena penguapan pelarut terjadi pada suhu rendah. Kekurangannya adalah biaya mahal, kesukaran

memisahkan pelarut secara sempurna, kemungkinan efek merugikan dari pelarut yang jumlahnya

dapat diabaikan terhadap stabilitas obat, pemilihan pelarut umum yang mudah menguap, dan

kesukaran menghasilkan kembali bentuk kristal (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.1.2.2.3 Metode Pelarutan-Pelelehan

Sistem dispersi padat dibuat dengan melarutkan dahulu obat dalam pelarut yang sesuai dan

mencampurnya dengan lelehan polietilen glikol, dapat dicapai dibawah suhu 70º C, tanpa

memisahkan pelarut (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.1.3 Klasifikasi dan Mekanisme Lepas Cepat

Page 11: Review Jurnal Biofar

Sistem dispersi padat dapat digolongkan berdasarkan mekanisme lepas cepatnya. Sistem ini

dapat digolongkan menjadi enam kelompok sebagai berikut (Chiou dan Riegelman, 1971; Leuner dan

Dressman, 2000);

1. Campuran eutetik sederhana.

2. Larutan padat.

3. Larutan kaca dan suspensi kaca.

4. Endapat amorf obat dalam pembawa kristal.

5. Pembentukan senyawa atau kompleks antara obat dan pembawa.

6. Berbagai kombinasi dari kelompok 1 sampai 5.

Campuran Eutetik Sederhana

Campuran ini dibuat dengan pemadatan cepat dari cairan yang melebur dari dua komponen

yang menunjukkan ketercampuran cairan sempurna dan kelarutan padat-padat yang dapat diabaikan

(Chiou dan Riegelman, 1971). Sifat ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Ketika eutetis yang terdiri dari obat yang sukar larut terpapar pada air atau cairan saluran

pencernaan, obat dapat dilepas ke dalam medium cairan dalam bentuk kristal halus (Sekiguchi dan

Obi, 1961). Hal ini berdasarkan asumsi bahwa kedua komponen dapat terkristalisasi menjadi ukuran

partikel kecil secara bersamaan (Chiou dan Riegelman, 1971). Peningkatan area spesifik karena

pengurangan ukuran partikel ini, meningkatkan laju disolusi dan absorpsi oral dari obat yang sukar

larut. Sebagai tambahan atas pengurangan ukuran partikel, faktor berikut dapat membantu

meningkatkan laju disolusi obat yang terdispersi dalam eutetik:

1. Peningkatan kelarutan obat dapat terjadi jika sebagian obat kristalnya sangat kecil (Martin, et

al., 1969).

2. Efek pelarutan oleh pembawa mungkin terjadi pada lapisan difusi yang menyelubungi

partikel obat pada tahap awal disolusi karena pembawa larut sempurna dalam waktu yang

singkat (Goldberg, et al., 1966)

Page 12: Review Jurnal Biofar

3. Tidak adanya agregasi dan aglomerasi antara kristal halus obat hidrofobik murni, memainkan

peranan penting dalam peningkatan laju disolusi dan absorpsi (Chiou dan Riegelman,

1971).

4. Keterbasahan dan dispersibilitas obat dari sistem eutetik atau sistem dispersi padat lain yang

dibuat dari matriks yang larut air menghasilkan peningkatan laju disolusi obat dalam media

cair. Hal ini dikarenakan setiap kristal obat dikelilingi oleh pembawa larut yang siap larut

dan menyebabkan air bersentuhan dan membasahi partikel obat (Sekiguchi dan Obi, 1961).

5. Peningkatan laju disolusi dan juga dapat terjadi jika obat terkristalisasi dalam bentuk

metastabil setelah pemadatan larutan. Bentuk metastabil memiliki kelarutan yang lebih

tinggi sehingga laju disolusi menjadi lebih cepat (Chiou dan Riegelman, 1971).

2.2.2.3 Pembawa Dispersi Padat

Pembentukan sistem dispersi padat dalam pembawa yang mudah larut telah luas digunakan

diantaranya: polivinilpirolidon (PVP), polietilen glikol (PEG), polivinilalkohol (PVA), derivat

selulosa, poliakrilat dan polimethakrilat, urea, gula, poliol dan polimernya, dan emulsifier (Leuner dan

Dressman, 2000).

Polietilen glikol (PEG) disebut juga makrogol, merupakan polimer tambahan dari etilen oksida

dengan rumus struktur H(OCH2CH2)nOH, dimana n adalah jumlah rata-rata gusus oksietilen (Ditjen

POM, 1995). PEG umumnya mempunyai bobot melekul antara 200-300.000, konsistensinya sangat

dipengaruhi oleh berat molekulnya. PEG dengan bobot molekul 200-600 berbentuk cair, PEG dengan

bobot molekul 800-1500 konsistensinya seperti vaselin, PEG dengan bobot molekul 2000-6000

menyerupai lilin dan bobot molekul diatas 20.000 berbentuk kristal keras dan kaku pada temperatur

kamar (Leuner dan Dressman, 2000). Umumnya PEG dengan bobot molekul 1500-20.000 digunakan

untuk pembuatan dispersi padat. PEG dengan bobot molekul 4000-6000 paling sering digunakan

untuk pembuatan sistem dispersi padat. Titik lebur PEG untuk setiap tipenya dibawah 65º C (misalnya

PEG 1000 mempunyai titik lebur 30-40º C, PEG 4000 mempunyai titik lebur 50-58º C dan PEG

20.000 mempunyai titik lebur 60-63º C). Titik lebur yang relatif rendah menguntungkan untuk

pembuatan dispersi padat dengan metode peleburan (Price, 1994).

2.3Susu Skim

Susu adalah cairan dari ambing sapi, kerbau, kuda, kambing atau domba, baik segar

maupun yang dipanaskan melalui proses pasteurisasi, Ultra High Temperature (UHT) atau

sterilisasi. Komponen utama dari susu terdiri dari air, protein, lemak, karbohidrat, mineral dan

vitamin. Komponen-komponen lainnya yang jumlahnya relatif sedikit namun sangat penting

adalah lesitin, kolesterol dan asam-asam organik (Buckle,2009).

Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian atau

seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin-

Page 13: Review Jurnal Biofar

vitamin yang larut dalam lemak. Susu skim seharusnya tidak digunakan untuk makanan bayi

tanpa adanya pengawasan gizi karena tidak adanya lemak dan vitamin-vitamin yang terlarut

dalam lemak.Krim adalah bagian susu yang banyak mengandung lemak yang timbul ke

bagian atas dari susu pada waktu didiamkan atau dipisahkan dengan alat pemisah. Pemisahan

krim atau susu skim dapat terjadi karena kedua bahan tersebut mempunyai berat jenis yang

berbeda (Buckle,2009).

Susu skim merupakan salah satu bahan yang mengandung asam amino yang

merupakan bahan alternatif untuk digunakan sebagai bahan pembawa dispersi padatdan juga

dapat mengurai gangguan saluran cerna yang disebabkan penggunaan obat antiinflamasi non

steroid (Murti,2003).

2.4Piroksikam

Piroksikam merupakan salah satu obat dengan kelarutan sangat kecil (0,01%),dan

variasi antar produk yang beredar sangat bervariasi. Piroksikam adalah anti inflamasi non

steroid yang mempunyai aktifitas  anti inflamasi , analgesik dan antipiretik aktifitas kerja

piroksikam belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan melalui interaksi beberapa tahap

respon imun dan inflamasi, antara lain : penghambatan enzim siklo-oksigenase pada

biosintesa prostaglandin, penghambatan agregasi netrofil dalam pembuluh darah,

penghambatan migrasi polimorfonuklear (PMR) dan monosit ke daerah inflamasi (Sari dkk,

2004).

Pada pemberian oral, piroksikam diabsorbsi dengan baik, berikatan dengan protein

plasma sebanyak 99%.  Konsentrasi puncak dalam plasma tercapai 3 - 5 jam setelah

pemberian dan waktu paruh lebih kurang 50 jam.Metabolisme terjadi dalam hati dan

diekskresi terutama melalui urin, 5% diantaranya dalam bentuk utuh dalam urin dan feses.

Pemberikan piroksikam dengan antikoagulan oral, sulfonil urea atau hidantoin harus hati-hati

dan dimonitor. Aspirin dan piroksikam tidak boleh diberikan secara bersama-sama.

Pemberian bersama-sama litium dan piroksikam meningkatkan kadar litium dalam darah

(Ronny,2005).

2.5Kromatografi Lapis Tipis

Menurut Rohman (2007), Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan

Schraiber pada tahun 1983. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan

elektroforesis. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada

permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Fase gerak

yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada

Page 14: Review Jurnal Biofar

pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara

menurun (descending) (Rohman,2007).

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaanya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan

kromatografi kolom. Demikian juga dengan peralatan yang digunakan, dalam kromatografi ini peralatan yang

digunakan lebih sederhana. Prinsip kromatografi mengemukakan kaidah dasar kromatografi jerap yaitu

Hidrokarbon jenuh terjerap sedikit atau tidak sama sekali, karena itu ia bergerak paling cepat (Stahl, 1985).

Keuntungan kromatografi planar adalah:

1. Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis

2. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, atau dengan radiasi

menggunakan sinar ultra violet

3. Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi

4. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang

tidak bergerak.

Teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan suatu adsorben yang disalutkan pada suatu

lempeng kaca sebagai fase stasionernya dan pengembangan kromatogram terjadi ketika fase mobil tertapis

melewati adsorben itu. Seperti dikenal baik, kromatografi lapis tipis mempunyai kelebihan yang nyata

dibandingkan kromatografi kertas karena nyaman dan cepatnya, ketajaman pemisahan yang lebih besar dan

kepekaannya tinggi (Pudjaatmaka, 1994).

KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida

– lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk

mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi

senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil. Pelarut yang dipilih untuk pengembang

disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis seperti silika gel adalah

senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi - pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat. Data yang

diperoleh dari KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni

dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang

ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh

karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0 (Stahl, 1985).

2.5.1 Fase Gerak KLT

Menurut Rohman (2007), Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan

mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. System yang paling sederhana ialah campuran

Page 15: Review Jurnal Biofar

2 pelarut organic karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga

pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi

fase gerak (Rohman, 2007) :

1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang

sensitif

2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk

memaksimalkan pemisahan

3. Untuk pemisahan denga menggunakan fase diam polar seperti silica gel, polaritas fase gerak akan

menentukan kecepatan migrasi solute yang berarti juga menentukan nialai Rf. Penambahan pelarut

yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar

seperti metal benzene akan meningkatkan harga Rf secara signifikan

4. Solute-solut ionic dan solute-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase

geraknya, seperti campuran air dan methanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam

etanoat atau amonia masing-masing akan meningkatkan solute-solut yang bersifat basa dan asam.

2.5.2 Fase Diam KLT

Lapisan dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT yang dihasilkan oleh

berbagai perusahaan. Panjang lapisan 200 mm dengan lebar 200 atau 100 mm. Untuk analisis totalnya 0,1-

0,3 mm, biasanya 0,2 mm. Sebelum digunakan, lapisan disimpan dalam lingkunga yang baik lembab dan

bebas dari uap laboratorium (Stahl, 1985).

Penjerap yang umum ialah silica gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya,

poliamida, dan lain-lain. Dapat dipastikan silica gel paling banyak digunakan. Silica gel ini menghasilkan

perbedaan dalam efek pemisahan yang terganyung kepada cara pembuatannya sehingga silica gel G Merck,

menurut spesifikasi Stahl, yang diperkenalkan tahun 1958, telah diterima sebagai bahan standar. Selain itu

harus diingat bahwa penjerap seperti aluminium oksida dan silica gel mempunyai kadar air yang

berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985).

2.5.3 Pengembangan

Pengembangan ialah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat

naik dalam lapisan. Jarak pengembangaan normal, yaitu jarak antara garis awal dan garis depan, ialah 100 mm

disamping pengembangan sederhana, yaitu perambatan satu kali sepanjang 10 cm ke atas, pengembangan

ganda dapat juga digunakan untuk memprbaiki efek pemisahan yaitu dua kali merambat 10 cm ke atas

beturut-turut pada pengembangan dua kali. Lapisan KLT harus dalam keadaan kering diantara kedua

pengembangan tersebut, ini dilakukan dengan membiarkan pelat diudara selama 5-10 menit (Stahl, 1985).

Page 16: Review Jurnal Biofar

2.5.4 Deteksi Bercak

Bercak pemosahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk

penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah

dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas.

Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan

fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi,

membuat bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan

diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnyaa

akan kelihatan berfluoresensi (Rohman, 2007)

Page 17: Review Jurnal Biofar

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, Howard C. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

Banakar. S. Gilbert. 1992. Teori dan praktek Farmasi Industri. Bandung: ITB Press.

Buckle, K.A.1987. Ilmu Pangan. Jakarta : UI Press.

Chiou, W.L. and S. Riegelman. 1971. Pharmaceutical Applications of Solid Dispersion

System. J. Pharm. Sci.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ketiga.Jakarta : Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi keempat.Jakarta : Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

Khan, K.A. 1975. The Concept of Dissolution Efficiency. J. Pharm. Pharmacol.

Leuner, C and Dressman, J. 2000. Improving Drug Solubility for Oral Delivery Using

Solid Dispersions. Eur. J. Pharm. Biopharm.

Martin Afred. 1993. Farmasi Fisik. Jakarta: UI Press.

Murti, E Sawitri. 2003. Kajian Penggunaan Ekstrak Susu Kedelai Terhadap Kualitas Kefir

Susu Kambing. Malang : Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan UB.

Pudjaatmaka Suminar. 1994. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Jakarta: Erlangga.

Rohman, Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ronny. 2005. Perbandingan Laju Disolusi Piroksikam – PVP K-30 Dalam Bentuk Dispersi

PadatTerhadap Campuran Fisisnya. Makassar : Jurusan FarmasiFakultasi

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin.

Page 18: Review Jurnal Biofar

Sari R, Radjaram A, Setiawan D. 2004. Peningkatan Laju Disolusi Piroksikam Dengan

Sistem Dispersi Padat Piroksikam-HPMC 3 Cps. Jurnal Penelitian Medika

Eksakta. Vol 5 Nomor 3. 238-244.

Shargel, L, dan Yu, A.1999. Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 4th

Ed. Appleton & Lange.

Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi. diterjemahkan oleh

KosasihPadmawinata dan Iwang Soediro. Bandung : ITB Press.