38
BRONKOPNEUMONIA 2.2. Definisi Bronkopneumonia Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral. Konsolidasi Universitas Sumatera Utara

Bronko Pneumonia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

yaa

Citation preview

Page 1: Bronko Pneumonia

BRONKOPNEUMONIA

2.2. Definisi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah

peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang

berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak

berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya

bilateral. Konsolidasi

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Bronko Pneumonia

pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis

atau bronkiolitis.18,19

2.3. Morfologi Bronkopneumonia18

Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang

menyebar menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal

sebab ada kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi

yang telah berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah,

sampai kuning, dan memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi

antara 3 sampai

4 cm. pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid)

yang terlihat sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat

terlihat di antara daerah yang terkena.

Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak hipermi

dan edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal.

Pleur itis fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan

dengan pleura, tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi

dapat larut bila tidak ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi

meninggalkan sisa fokus fibrosis.

Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi

bronki, bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan

dalam eksudasi ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin.

Seperti yang diharapkan, abses ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar.

Page 3: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Bronko Pneumonia

2.4. Etiologi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim

paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.20 Bakteri seperti

Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus,

Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia),

dan Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory

syntical virus, Virus influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti

Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices

dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, dan

Mycoplasma pneumonia.5

Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan

bronkopneumonia, penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H.

influenza, Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa.18 Keadaan ini dapat

disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda dengan patogenitas

yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme dengan patogenisitas

yang rendah dapat juga menyebabkan

bronkopneumonia, namun gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.19

2.5. Patogenesis Bronkopneumonia19,21

Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.

Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya

tahan tubuh sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat

timbulnya infeksi penyakit.

Page 5: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Bronko Pneumonia

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui

jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan

jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk

suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :

2.5.1. Stadium I/Hiperemia (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon

peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal

ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di

tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator

peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.

Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel

mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan

histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan

peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat

plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema

antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus

meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka

perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan

penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2.5.2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus

terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu

(host)

Page 7: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Bronko Pneumonia

sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru

menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak

ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini

berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

2.5.3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 – 8 hari)

Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah

putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin

terakumulasi di seluruhdaerah yang cedera dan terjadi

fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli

mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,

warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

2.5.4. Stadium IV/Resolusi (7 – 11 hari)

Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan

peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh

makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Page 9: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Bronko Pneumonia

2.6. Epidemiologi Bronkopneumonia

2.6.1. Distribusi Bronkopneumonia

a. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Orang

Berdasarkan hasil SKRT 2001, angka prevalensi ISPA 2% dari lima

penyakit yang disurvei (ISPA, infeksi saluran nafas kronik, hipertensi, kulit,

dan sendi), dengan prevalensi tinggi pada golongan bayi (39%) dan balita (42%).

ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita dengan CFR

masing- masing (27,6%), dan (22,8%). Angka kematian bayi dan balita menjadi

indikator derajat kesehatan masyarakat. 13

Prevalensi ISPA di Indonesia berdasarkan Surkesnas (Survei Kesehatan

Nasional) 2001 masih sangat tinggi yaitu 38,7% pada umur dibawah 1 tahun dan

42,2% umur 1-4 tahun. Cause Specific Death Rate (CSDR) pneumonia pada anak

umur <1 tahun laki-laki 940 per 100.000 penduduk dan perempuan 652 per

100.000 penduduk, pada anak umur 1-4 tahun laki-laki 44 per 100.000

penduduk dan perempuan 40 per 100.000 penduduk. Proporsi kematian balita

akibat ISPA 28% artinya dari 100 balita yang meninggal 28 disebabkan oleh

penyakit ISPA.22

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA tinggi pada

perempuan (24%) daripada laki-laki (23%).12 Menurut hasil penelitian Taisir

(2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan

dengan menggunakan desain Cross Sectional, berdasarkan jenis kelamin IR ISPA

balita pada laki-laki (43,3%) lebih tinggi daripada perempuan (33,7%).23

Menurut hasil penelitian Barus (2005) di tiga Kelurahan Kecamatan Medan

Baru dengan menggunakan desain Cross Sectional, diketahui bahwa kelompok umur

Page 11: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Bronko Pneumonia

>19 tahun merupakan anggota rumah tangga terbanyak yaitu 568 jiwa

(66,7%), demikian juga kasus ISPA terbanyak pada kelompok umur ini, yaitu

280 kasus (65,6%). Namun bila dihitung angka Age Specific Morbidity Rate

tertinggi adalah pada kelompok ≤5 tahun (79,4%).24

b. Distribusi Bronkopneumonia Berdasarkan Tempat dan Waktu

Berdasarkan hasil Surkesnas 2001 proporsi kematian karena penyakit

sistem pernapasan pada bayi sebesar 23,9% di Jawa Bali, 15,8% di Sumatera, dan

42,6% di Kawasan Timur Indonesia. Pada balita sebesar 16,7% di Jawa Bali,

29,4% di sumatera, dan 30,3% di Kawasan Timur Indonesia.25

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2005, prevalensi ISPA di pedesaan (25%)

lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (22%). Prevalensi ISPA untuk

kawasan Sumatera 20%, sementara untuk kawasan Jawa-Bali adalah 23% dan

kawasan KTI (Kalimantan, Sulawesi, dan NTB/NTT/Papua) 29%.13

Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008, pneumonia yang terjadi pada balita

berdasarkan laporan 26 provinsi, tiga provinsi dengan cakupan tertinggi berturut-

turut adalah provinsi Nusa Tenggara Barat 56,50%, Jawa Barat 42,50% dan

Kepulauan Bangka Belitung 21,71%. Sedangkan cakupan terendah adalah

provinsi DI Yogyakarta 1,81%, Kepulauan Riau 2,08%, dan NAD

4,56%.3Profil Kesehatan Sulawesi Selatan tahun 2004 prevalensi ISPA (97,9

%) dan di kota Makasar (29,47%).22

Page 13: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Bronko Pneumonia

2.6.2. Determinan Bronkopneumonia

a. Faktor Host

a.1. Umur

ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak

di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta

perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak

dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (khususnya bayi muda). Hampir

seluruh kematian karena ISPA pada bayi dan balita disebabkan oleh Infeksi

Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah pneumonia.26

Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi

dan balita.4 Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan

balita yang sedang menderita pneumonia.27Menurut hasil penelitian Taisir

(2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan

Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA balita

pada kelompok umur 0-11 bulan (59,1%) lebih tinggi daripada kelompok umur 12-

59 bulan (33,7%).23

a.2. Jenis kelamin

Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit

dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin

merupakan determinan perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa

kesehatan atau dalam faktor risiko suatu penyakit.28

Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan

desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan

Page 15: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Bronko Pneumonia

secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh

nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami

pneumonia kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-

laki.29

a.3. Status gizi

Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi

adalah kelompok bayi dan balita.30 Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada

tahap pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik,

kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya,

tersedianya makanan dan aktivitasnya.31

Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri dengan

melihat kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur

(TB/U), Berat Badan per Tinggi Badan (BB/TB).32

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting

untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membukt ikan adanya hubungan

antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering

mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan

terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan

tubuh balita terhadap infeksi.31

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang

ISPA dibandingka n balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang

kurang. Penyakit infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu

makan dan

Page 17: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Bronko Pneumonia

mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih

mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.31

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status gizi

berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,013)

dan diperoleh nilai OR=6,041 (CI 95%=1,067-22,713), maka balita yang

mengalami pneumonia kemungkinan 6,04 kali lebih besar mempunyai riwayat

gizi kurang dibandingkan gizi baik atau sedang. Status gizi berhubungan

dengan daya tahan tubuh, makin baik status gizi makin baik daya tahan tubuh,

sehingga memperkecil

risiko pneumonia.29

a.4. Status imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan

dan angka kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38%

dapat dicegah dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak

lengkap merupakan faktor risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA

terutama pneumonia.33

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat

kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar

kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang

dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan

cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk

mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi

lengkap. Bayi dan

Page 19: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Bronko Pneumonia

balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan

perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.31

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status

imunisasi berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada

balita (p=0,009), dan diperoleh nilai OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka

balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 1,76 kali lebih besar

mempunyai status

imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang lengkap.29

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan

dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukka n

imunisasi campak berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada

balita umur

9-59 bulan (OR = 2,307; p=0,003), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami

pneumonia kemungkinan 2,3 kali lebih besar tidak diimunisasi campak

dibandingkan yang telah diimunisasi campak.34

b. Faktor Agent

Bronkopneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti

Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus,

Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), Mycobacterium

tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, Virus

sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas,

Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans,

Page 21: Bronko Pneumonia

Mycoplasma pneumonia.5

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Bronko Pneumonia

Pada zaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus

merupakan penyebab pneumonia paling sering (95-98%) dari semua pneumonia

yang dirawat di rumah sakit, dan menyebabkan kematian pada 60% penderita

pneumonia dengan bakteriemia dan pada 20% penderita pneumonia non

bakteriemia. Kini, hanya 62% pneumonia disebabkan oleh kuman pneumokokus

dan menyebabkan kematian hanya pada 32% penderita pneumonia dengan

bakteriemia dan 6% menderita pneumonia

non bakteriemia.35

Dahulu kuman gram negatif jarang menyebabkan pneumonia dan

menyebabkan angka kematian 97%, tapi sekarang gram negatif menyebabkan

pneumonia 20% dari seluruh penderita pneumonia, menggantikan

stafilokokus sebagai penyebab kedua yang paling sering. Pneumonia sebab gram

negatif tetap mempunyai angka kematian yang tinggi 79%.35

c. Faktor Lingkungan Sosial

c.1. Pekerjaan Orang Tua

Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan

utama maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang

tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan, dan

gizi balita yang memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya

tahan tubuh berkurang dan mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit

pneumonia.30

Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan OR=1,280

(CI 95%=0,686-3,193), dapat dikatakan bahwa bayi yang mengalami

Page 23: Bronko Pneumonia

pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Bronko Pneumonia

kemungkinan 1,3 kali lebih besar pada bayi yang memiliki keluarga yang

berpenghasilan kurang (dibawah Upah Minimal Propinsi <Rp. 510.000,00)

dibandingkan bayi yang memiliki keluarga yang berpenghasilan cukup

(Rp.

510.000,00).4

c.2. Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor risiko

yang dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat

pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada

anak yang menderita ISPA.2

Menurut hasil penelitian Notosiswoyo, dkk (2001) di Indramayu dengan

menggunakan rancangan penelitian survei cepat (Rapid Assement Survey),

pendidikan akhir ibu berhubungan bermakna dengan pengetahuan tentang ISPA

(p<0,05). Dilihat dari pengetahuan ibu bayi/anak balita masih terdapat : tidak

mengetahui istilah ISPA (70%), tidak tahu istilah pneumonia (76,2%), tidak tahu

adanya hubungan antara penyakit ISPA dan pneumonia (75,0%), tidak tahu

penyebab penyakit ISPA (72,6%), tidak tahu cara mencegah penyakit ISPA

(56,5%).36

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan

dengan menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan

pendidikan ibu (OR=2,037; p=0,013) dan pengetahuan ibu (OR=2,364; p=0,005)

berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59

bulan, dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami pneumonia kemungkinan

2,04 kali lebih besar memiliki ibu yang berpendidikan rendah dibandingka n

Page 25: Bronko Pneumonia

yang berpendidikan

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Bronko Pneumonia

tinggi dan 2,4 kali lebih besar memiliki ibu yang berpengetahuan

rendah dibandingka n yang berpengetahuan tinggi.34

c.3. Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah Anak37

Orang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola asuh

yang diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten, penerapan pola asuh

yang kompak antara kedua orang tua, serta adanya contoh perilaku yang positif dari

kedua orang tua. Pola asuh yang dinamis artinya pola asuh yang diterapkan sejalan

dengan usia balita misalkan pemberian jenis makanan pada anak yang berumur 1

tahun tentu berbeda dengan jenis makanan anak yang berumur 5 tahun, pola asuh

bersifat sesuai artinya orang tua menerapkan pola asuh sesuai dengan kondisi

balita itu sendiri karena pola asuh pada balita yang memiliki ganaguan kesehatan

tentu berbeda dengan pola asuh pada balita normal. Pola asuh yang baik yaitu

pola asuh yang bersifat konsisten dalam penerapan pola asuh cenderung bersifat

tetap sebagai contoh balita boleh bermain asal ditempat yang bersih dan saat tiba

waktu makan balita harus berhenti bermain dulu unuk makan, berbagi dan berkasih

sayang dengan saudara dan anggota keluarga yang lain, lama kelamaan balita akan

terbiasa dengan hal tersebut dan pada akhirnya balita akan mengerti hal mana yang

boleh atau baik dan hal mana yang tidak boleh atau tidak baik

Pada orang tua yang melakukan pola asuh tidak tepat, artinya pola asuh

yang diterapkan orang tua bersifat terlalu over protektif dimana balita tidak

diberi kepercayaan sama sekali seperti tidak memperbolehkan bermain diluar

rumah dan harus didalam rumah terus membuat anak stres sehingga dapat

membuatnya sakit,

Page 27: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Bronko Pneumonia

dan pola asuh yang diterapkan terlalu bebas artinya disini orang tua

memperbolehkan segala sesuatu tanpa menuntut seperti saat si balita tidak mau

makan dibiarkan saja padahal balita tersebut perlu nutrisi yang kuat untuk

meningkatkan kualitas gizinya sehingga pada akhirnya status gizi si balita

semakin buruk dan orang tua tidak memperdulikan lingkungan sekitar yang

mungkin kurang baik bagi kesehatan sehingga membuatnya mudah terserang

penyakit.

Adapun faktor lain adalah ekonomi keluarga yang tidak yang terlihat

pada pendapatan keluarga yang kurang dan ditambah lagi faktor jumlah anak.Bagi

orang tua yang memiliki anak tunggal, secara ekonomis menguntungkan. Orang

tua tidak perlu bersusah payah mencari penghasilan yang besar karena tanggung

jawab untuk memberi atau memenuhi kebutuhan fisik anaknya relatif tidak besar.

Berlainan bila mempunyai banyak anak, di mana tiap anak memunyai kebutuhan-

kebutuhan sendiri yang harus dipenuhi oleh kedua orang tuanya seperti

kebutuhan akan kesehatan, kebutuhan perumahan atau tempat tinggal yang lebih

luas, dan kebutuhan lainnya.

Pada masyarakat petani, di mana tanah-tanah masih banyak yang

harus digarap, memang benar bahwa banyaknya anak akan berarti banyaknya

tanah yang dapat digarap dan berarti pula penghasilan akan bertambah.

Berlainan dengan masyarakat kota yang mengandalkan penghasilan sebagai

pegawai. Bila lowongan pekerjaan cukup besar, hal ini tidak menjadi

persoalan. Tetapi realitas ternyata berpendapat lain.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa dengan memiliki anak banyak, maka

persoalan yang harus diatasi menjadi banyak pula. Apakah hal ini berarti

Page 29: Bronko Pneumonia

juga

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Bronko Pneumonia

sebaliknya, artinya dengan memiliki sedikit anak, berarti sedikit pula persoalan

yang harus dihadapi oleh keluarga atau orang tua tersebut. Secara ekonomis

mungkin benar, tetapi secara psikologis belum tentu.

Dengan hanya memiliki seorang anak atau anak tunggal, maka perhatian

orang tua memang akan terfokus kepada anak tersebut seperti dalam hal kasih

sayang, perhatian, kebutuhan kesehatan, dan kebutuhan lain. Anak tidak akan

merasa kekurangan kebutuhan yang diinginkan daripada orang tua yang memiliki

banyak anak, maka orang tua harus membagi kasih sayang, perhatian, dan

memenuhi kebutuhan yang lebih banyak karena setiap anak berbeda

kebutuhan termasuk kesehatan anak. Anak yang memiliki banyak saudara

harus bisa saling berbagi dengan saudara yang lainnya berbeda dengan anak

tunggal sehingga anak tungga sering tidak bisa berbagi, egois dan ini merupaka

permasalahan yang harus dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak tunggal.

Pembentukan kepribadian dan kesehatan anak sangat bergantung kepada pola asuh

orang tua yang baik, dinamis,konsisten, dan sesuai.

d. Faktor Lingkungan Fisik

d.1. Polusi Udara Dalam Ruangan/Rumah

Rumah atau tempat tinggal yang buruk (kurang baik) dapat mendukung

terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, diantaranya adalah

infeksi saluran nafas.37 Hal ini dapat terjadi pada rumah yang ventilasinya kurang

dan dapur terletak di dalam rumah bersatu dengan kamar tidur dan ruang tempat

bayi dan balita

Page 31: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 32: Bronko Pneumonia

bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan balita lebih lama berada di

rumah bersama-sama ibunya sehingga lebih sering terhirup udara yang pencemaran

tentunya akan lebih tinggi.31

Rumah kecil yang tidak memiliki sirkulasi udara memadai yang penuh asap

yang berasal dari asap anti nyamuk bakar, asap rokok, dan asap hasil pembakaran

bahan bakar untuk memasak akan mendukung penyebaran virus atau bakteri,

dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru

sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA.31,39

Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukka n asap

anti nyamuk bakar berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada

balita (p=0,003) dan diperoleh nilai OR=2,310 (CI 95%=1,379-3,870), maka balita

yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,31 kali lebih besar tidur di kamar

yang memakai anti nyamuk bakar dibandingkan yang tidak memakai anti nyamuk

bakar.29

Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukka n polusi

asap rokok berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada anak

umur

<1 tahun (p=0,039) dan diperoleh nilai OR=2,348 (CI 95%=1,045-5,277), maka

anak umur <1 tahun yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,35 kali lebih

besar tinggal di dalam rumah dengan ada anggota keluarga merokok dibandingkan

yang tidak ada anggota keluarga merokok.4

Menurut penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok Bengkuang Kecamatan

Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross Sectional, IR ISPA

Page 33: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 34: Bronko Pneumonia

pada balita meningkat dengan bertambahnya jumlah rata-rata rokok yang

dihisap dalam ruang rumah perhari yaitu 1-9 batang rokok perhari (38,3%), 10-20

batang perhari (47,2%), >20 perhari (55,6%).23

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukka n polusi

asap dapur berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita

umur

9-59 bulan (OR=2,99; p=0,002), dapat dikatakan bahwa balita yang

mengalami pneumonia kemungkinan 2,99 kali lebih besar tinggal di rumah yang

memiliki polusi asap dapur dibandingkan yang tidak memilki polusi asap dapur.34

d.2. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri

kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah,

dua orang minimal menempati luas kamar tidur 8m². Dengan kriteria tersebut

diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.31

Di daerah perkotaan, kepadatan merupakan salah satu masalah yang dialami

penduduk kota. Hal ini disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan

mahalnya harga tanah di perkotaan. Salah satu kaitan kepadatan hunian dan

kesehatan adalah karena rumah yang sempit dan banyak penghuninya, maka

penghuni mudah terserang penyakit dan orang yang sakit dapat menularkan

penyakit pada anggota keluarga lainnya.40

Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan

menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan kepadatan

Page 35: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 36: Bronko Pneumonia

hunian berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur

9-59 bulan (OR=3,247; p=0,0005), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami

pneumonia kemungkinan 3,25 kali lebih besar tinggal di rumah yang

memiliki kepadatan hunian tidak memenuhi syarat dibandingkan yang memenuhi

syarat.34

2.7. Gambaran Klinis Bronkopneumonia21,39

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian

atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-400C

dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,

dispnue, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan

sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal

penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada awalnya

berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan, inspeksi : perlu diperhatikan adanya

tahipnue, dispnue, sianosis sekitar hidung dan mulut, pernapasan cuping

hidung, distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula nonproduktif menjadi

produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik napas. Palpasi : suara redup pada sisi

yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin meningkat pada sisi

yang sakit, dan nadi mungkin mengalami peningkatan (tachicardia). Perkusi :

suara redup pada sisi yang sakit. Auskultasi, auskultasi sederhana

dapat dilakukan dengan cara mendekatkan telinga ke hidung/mulut

bayi. Pada anak yang bronkopneumonia akan terdengar stridor.

Page 37: Bronko Pneumonia

Universitas Sumatera Utara

Page 38: Bronko Pneumonia

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada

luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya

kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus

sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens)

mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan

pada auskultasi terdengar mengeras.