157
Editor: Bambang Hudayana Haryo Habirono Rofiko Rahayu Kabalmay Penulis: Tim FPPD Pengantar: Sutoro Eko

bukuADD

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: bukuADD

Editor:Bambang Hudayana

Haryo HabironoRofiko Rahayu Kabalmay

Penulis:Tim FPPD

Pengantar:Sutoro Eko

Page 2: bukuADD

ALOKASI DANA DESACERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

(HASIL STUDI PENERAPAN KEBIJAKAN ADD DI 6 KABUPATEN)

Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD)Yogyakarta, Oktober 2007

Page 3: bukuADD

ALOKASI DANA DESA

CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

(HASIL STUDI PENERAPAN KEBIJAKAN ADD DI 6 KABUPATEN)

Penulis dan kontributor: Drs. Firman Siagian, (Ditjen PMD Depdagri) Suprayitno, SH. MH (Ditjen PMD Depdagri) Ir. Wildha Hetharia (Ditjen PMD Depdagri) Mohammad Najib (PERFORM) Farid Hadi Rahman (PERFORM) Stephanus Makambombu (GTZ Promis-NT) Susmanto (GTZ SfDM) Sutoro Eko Yunanto (FPPD) Haryo Habirono (FPPD) Bambang Hudayana (FPPD) Rossana Dewi (FPPD) Warno Hadi Winarno (FPPD) Pietra Widiadi (FPPD)

Pengantar: Sutoro Eko

Editor: Bambang Hudayana Haryo Habirono Rofiko Rahayu

Desain cover dan tata letak: Adri Warsena

Diterbitkan oleh: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) Jl. Wirajaya 132 E Condong Catur Yogyakarta 55283 Telp. 0274 886208, Fax 0274 886208 Email: [email protected] Website: http://www.forumdesa.org

Didukung oleh: Ford Foundation (FF)

Page 4: bukuADD

iv ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

Page 5: bukuADD

vPENGANTAR

Alokasi Dana Desa (ADD) tengah menjadi sebuah ikon terkemuka dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa selama enam-tujuh tahun terakhir. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) bersama para mitra pernah melakukan penelitian di enam kabupaten (Limapuluh Kota, Sumedang, Magelang, Tuban, Selayar dan Jayapura) pada akhir tahun 2004, ketika ADD baru disemai di sekitar 40 kabupaten. Pengalaman penelitian FPPD itu yang menghasilkan buku ini, sekaligus menjadi referensi utama lahirnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman ADD pada bulan Maret 2005, serta kebijakan ADD yang tertuang dalam PP No. 72/2005 tentang Desa. Sekarang, di tahun 2007, pasca PP No. 72/2005 ada sekitar 50-60 persen kabupaten yang telah menerapkan kebijakan ADD, tentu dengan skema yang beragam (komitmen, formula, besaran, pola, dan lain-lain).

Sebagai sebuah ikon terkemuka, ADD tentu patut disambut dengan berbagai pertanyaan penting yang mempunyai titik relevansi dengan agenda pembaharuan desa, menuju desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera. Mengapa ADD? Apa latar belakangnya? Apa makna yang terkandung di dalamnya? Pelajaran berharga apa yang bisa diambil dari pengalaman ADD? Seberapa besar kemampuan sumbangan ADD untuk mengurangi kemiskinan desa dan pencapaian kesejahteraan bagi masyarakat desa. Sederet pertanyaan ini terkait dengan konteks, makna dan relevansi ADD. Konteks berbicara

Pengantar“Lebih Dari Sekadar Sedekah”:

Konteks, Makna dan Relevansi ADD

Sutoro Eko

Peng

anta

r “L

ebih

Dar

i Sek

edar

Sed

ekah

Page 6: bukuADD

vi ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

tentang latar belakang kelahiran ADD, yang akan saya kaitkan dengan masalah-masalah keterbatasan keuangan desa dan kebijakan keuangan negara dan daerah yang hanya sebatas sedekah (shodaqoh) dan kurang berpihak pada desa. Makna berbicara tentang tujuan dan manfaat ADD bagi upaya-upaya desentralisasi, mengkaji ulang uang sedekah, penguatan otonomi desa, dan pemberdayaan desa. Sedangkan relevansi berbicara tentang kesesuaian ADD untuk orang miskin di desa, dan seberapa besar kontribusi ADD untuk penanggulangan kemiskinan. Aspek relevansi ini penting untuk disampaikan sebab penanggulangan kemiskinan merupakan sebuah agenda besar, sementara ADD hanya “uang receh” atau “kue kecil” dari potongan “kue besar” di APBN dan APBD.

Konteks: Sebatas Sedekah Desa selalu berada dalam posisi tidak berdaya, marginal, tidak jelas,

ambivalen, dan seterusnya. Secara politik desa berada dalam posisi yang marginal, ia sebagai obyek kekuasaan pemerintah supradesa. Secara yuridis, posisi desa sangat ambivalen (abu-abu), antara unit pemerintahan atau sebagai kesatuan/lembaga masyarakat, tetapi desa tetap menjalankan tugas-tugas administrasi yang diberikan oleh pemerintah supradesa melalui berbagai tugas pembantuan. Karena itu tidak berlebihan jika Bupati Purbalingga, Triyono Budi Sasongko, menyebut desa hanya sebagai gedibal (pekerja kasar yang tidak memperoleh penghargaan secara manusiawi) pemerintah. Pada saat yang sama otonomi desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa masih menggunakan pola-pola tradisional. Secara sosiologis, desa selalu identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan, desa tidak lagi menjadi basis kehidupan dan penghidupan masyarakat desa, sehingga penduduk desa melakukan migrasi besar-besaran ke kota.

Lemahnya posisi politik desa itu berakibat juga terhadap lemahnya posisi desa dalam rezim keuangan negara dan daerah. Uang selalu menjadi medan tempur paling nyata antara aparat negara dan masyarakat, yang selama ini selalu dimenangkan oleh aparat negara. Terbukti lebih dari dua per tiga anggaran negara dan daerah dialokasikan untuk belanja aparat negara, baik di pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Masyarakat dan desa (sebagai entitas lokal) hanya menerima sisa-

Page 7: bukuADD

viiPENGANTAR

sisa anggaran yang telah dikonsumsi oleh aparat negara. Karena telah dikonsumsi pemerintah supradesa, maka desa cukup menerima uang sedekah (baik dalam bentuk bantuan atau stimulan) ala kadarnya dari pemerintah, sebagai sebuah bukti kebaikan hati pemerintah, jika tidak bisa dibilang sebagai politik etis.

Keuangan desa ditopang dengan dua sumber utama, yakni pendapatan asli desa (pungutan, hasil kekayaan desa, gotong-royong dan swadaya masyarakat) serta bantuan dari pemerintah. Namun, secara empirik, ada beberapa masalah yang berlapis-lapis berkaitan dengan keuangan desa. Pertama, besaran anggaran desa sangat terbatas. PADes sangat minim, antara lain karena desa tidak mempunyai kewenangan dan kapasitas untuk menggali potensi sumber-sumber keuangan desa. Karena terbatas, anggaran desa tidak mampu memenuhi kebutuhan kesejahteraan perangkat desa, pelayanan publik, pembangunan desa apalagi kesejahteraan masyarakat desa. Anggaran desa sangat tidak mencukupi untuk mendukung pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Dengan kalimat lain ada kesenjangan fiskal antara keuangan pemerintah supradesa dengan pemerintah desa.

Kedua, keuangan desa bekerja dalam skema “kesendirian”, bukan skema “kemandirian”, yakni lebih banyak ditopang dengan swadaya atau gotong royong yang diuangkan oleh pemerintah desa. Jika APBN dan APBD ditopang dengan pajak, retribusi dan hasil sumberdaya alam, maka komponen terbesar APB Desa adalah swadaya masyarakat. Sebagian besar anggaran pembangunan desa, terutama pembangunan fisik (infrastruktur), ditopang oleh gotong-royong atau swadaya masyarakat. Sementara besaran dana dari pemerintah sangat kecil, yang difungsikan sebagai stimulan untuk mengerahkan (mobilisasi) dana swadaya masyarakat. Padahal kekuatan dana dari warga masyarakat sangat terbatas, mengingat sebagian besar warga desa mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan dasar (papan, sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan) bagi keluarganya masing-masing.

Baik pemerintah maupun kalangan di luar pemerintah yang romantis pada masyarakat, mengatakan bahwa swadaya adalah bentuk kemandirian masyarakat. Ini sungguh kekeliruan besar. Jika banyak urusan publik di desa ditangani dengan mekanisme swadaya masyarakat berarti desa itu berada dalam “kesendirian”. Konsep kemandirian sebenarnya

Page 8: bukuADD

viii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

mengandung keadilan, yakni harus ada pembagian sumberdaya ekonomi dan politik dari negara kepada desa. Desa bisa disebut mandiri bila mempunyai hak, kewenangan, inisiatif, tanggungjawab dan kapasitas untuk mengelola sumberdaya ekonomi politik yang dibagi negara itu. Sebaliknya jika desa disuruh swadaya terus-menerus berarti sebagai bentuk kolonialisasi baru atau eksploitasi negara terhadap desa. Dalam konteks ini ada satu hal yang paradoks: pemerintah selalu mengklaim “sukses” menjalankan program-programnya karena insentif (stimulan) yang diberikan berhasil melipatgandakan swadaya masyarakat untuk membangun desa, meski pelipatgandaan swadaya itu berlangsung dalam konteks keterbatasan kemampuan warga desa. Karena itu sangat wajar kalau ada pertanyaan: “Apa dan dimana tanggungjawab negara terhadap desa?”

Ketiga, skema pemberian dana pemerintah kepada desa tidak memperlihatkan sebuah keberpihakan dan tidak mendorong pemberdayaan. Pemerintah memberikan bantuan ala kadarnya kepada desa, yang lebih pantas disebut sebagai sedekah. Di masa Orde Baru, ada dana Bantuan Desa (Inpres Bandes) yang melegenda selama 30 tahun, yang dibagi secara merata ke seluruh desa sebesar Rp 10 juta (terakhir tahun 1999). Dana Bandes itu sudah ditentukan dan dikontrol dari atas, sehingga desa tidak bisa secara leluasa dan berdaya menggunakan anggaran. Lagipula alokasi dana yang sama-merata kepada seluruh desa hanya berfungsi sebagai stimulan, yang tidak mencerminkan aspek keragaman (kondisi geografis dan sosial ekonomi desa) dan keadilan. Baik desa miskin maupun desa kaya akan memperoleh alokasi yang sama. Saking lamanya (30 tahun) pengalaman bandes, skema seperti itu sudah mendarah daging dalam paradigma dan kebijakan pemerintah atas desa, yang justru tidak mengangkat kesejahteraan dan kemandirian desa.

Selain Bandes yang sudah melegenda, masih ada banyak skema sedekah dalam bentuk bantuan proyek masuk desa, mulai dari IDT, P3DT, KUT, PDMDKE, PPK, P2KP, BLT dan lain-lain. Semua departemen, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai proyek yang membawa uang sedekah masuk desa. Sekarang Program Pengembangan Kecamatan (PPK) selalu diklaim sebagai program masuk desa yang paling berhasil, karena prosesnya yang menerapkan prinsip-prinsip good governance (transparansi, akuntabilitas dan partisipasi) serta membuahkan hasil-

Page 9: bukuADD

ixPENGANTAR

hasil yang nyata (perbaikan infrastruktur dan menggairahkan insentif ekonomi lokal). Tetapi skema bantuan proyek, seperti PPK, selalu mempunyai birokrasi dan mekanisme tersendiri, yang lepas dari konteks perencanaan lokal (desa dan daerah). Proyek-proyek seperti ini sering dinilai hanya “menarik sapi kurus dengan tali yang besar”. Ada pula yang menilai bahwa PPK adalah Program Pusing Kepala, karena menambah arena permainan di tingkat desa, yang tidak menyatu (integrasi) dengan perencanaan desa.

Pemerintah daerah (kabupaten/kota) juga mempunyai anggaran (ABPD) yang disusun berdasarkan perencanaan dari bawah (desa). Baik APBN maupun APBD umumnya tidak berpihak pada desa, termasuk rakyat miskin yang ada di desa. Bagaimana mungkin, kita akan menanggulangi kemiskinan kalau sebesar 60% - 70% anggaran negara dan daerah dikonsumsi untuk belanja aparatur (belanja rutin). Sisanya, sebesar 30% hingga 40% anggaran daerah digunakan untuk belanja publik untuk masyarakat, yang komposisi kasarnya sekitar 30% untuk biaya tidak langsung (administrasi) dan 70% untuk belanja langsung ke masyarakat. Dari 70% belanja langsung untuk pembangunan tersebut, jika dihitung secara kasar, terdiri dari beberapa plafon: 20% plafon politik (untuk DPRD dan Kepala Daerah); 70% untuk plafon sektoral (pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, industri kecil, prasarana daerah, dan seterusnya); dan 10% untuk plafon spasial desa melalui ADD. Sedangkan mayoritas (70%) plafon sektoral digunakan untuk prasarana fisik, yang tidak berkaitan langsung dengan penanggulangan kemiskinan. Dari komposisi kasar APBD itu memperlihatkan bahwa keberpihakan pemerintah terhadap spasial desa dan orang miskin di desa sangat lemah.

Keterbatasan keuangan desa tersebut menjadi sebuah masalah serius, yang menjadi perhatian yang seksama baik dari kalangan pemerintah desa, pemerintah pusat dan kabupaten maupun kalangan “ sektor ketiga” (akademisi dan NGOs) yang menaruh perhatian tentang desa. Kalangan sektor ketiga selama ini telah melakukan kajian, kritik dan usulan rekomendasi agar pemerintah melakukan perubahan kebijakan keuangan desa agar skema dan besaran anggaran yang diberikan kepada desa menjadi lebih baik dan proporsional, guna mendukung pencapaian kesejahteraan dan kemandirian desa. Pemerintah ternyata memberikan respons yang positif. Pada masa Undang-undang lama maupun UU No.

Page 10: bukuADD

x ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

22/1999, kita hanya mengenal konsep dan skema bantuan pemerintah untuk mendukung keuangan desa, meski dalam hal keuangan daerah sudah dikenal dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Konsep “bantuan” ini tentu tidak jelas, sangat tergantung pada kebaikan hati pemerintah, sekaligus menunjukkan bahwa desa tidak mempunyai hak atas uang negara.

Meski UU No. 22/1999 belum memberikan amanat tentang perimbangan atau alokasi dana kepada desa secara jelas, tetapi sejak 2001 sejumlah pemerintah kabupaten/kota melakukan inovasi melahirkan kebijakan alokasi dana desa (ADD) secara proporsional dengan jumlah yang lebih besar daripada bantuan keuangan sebelumnya. Pengalaman-pengalaman yang baik dari banyak daerah ini diadopsi dengan baik oleh UU No. 32/2004. UU No. 32/2004 memperbaiki kelemahan yang terkandung dalam UU No. 22/1999 tersebut, yakni mengubah konsep “bantuan” menjadi “bagian”, yang berarti bahwa desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi sebagian dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) tersebut semakin dipertegas dalam PP No. 72/2005, yang menyatakan bahwa salah satu sumber keuangan desa adalah…. “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa sekurang-kurangnya 10% (sepuluh per seratus), setelah dikurangi belanja pegawai, yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa”. Klausul regulasi inilah yang dijadikan sebagai dasar hukum atas Alokasi Dana Desa (ADD).

ADD tersebut tentu merupakan amanat peraturan untuk dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Meski belum semua kabupaten/kota melaksanakannya, tetapi setelah PP No. 72/2005 lahir semakin banyak kabupaten/kota yang menyusul melaksanakan kebijakan ADD.

Makna: Meninjau Ulang Sedekah Sejak dulu setiap desa setiap tahun pasti terlibat dalam proses

perencanaan daerah melalui proses Musrenbang dari bawah. Desa mempunyai kesempatan untuk menyusun daftar usulan (keinginan) untuk diajukan ke kabupaten melalui kecamatan. Setiap desa biasanya menyampaikan beberapa poin usulan yang kesemuanya adalah usulan pembangunan fisik yang tidak mampu di-cover oleh keuangan desa.

Page 11: bukuADD

xiPENGANTAR

Jika semua usulan desa itu dihitung maka mencapai angka sekitar 10 triliun rupiah, sementara kemampuan APBD kurang dari 1 triliun rupiah. Apa yang terjadi? Pertama, anggaran daerah tidak mungkin mampu untuk memenuhi semua usulan dari desa. Pada umumnya anggaran daerah hanya mampu memenuhi 5-10% usulan dari desa setiap tahunnya. Karena itu, dalam membuat perencanaan, kabupaten harus menentukan prioritas, dan kalau sudah prioritas maka banyak sekali usulan yang dipotong dan bahkan terlantar sampai bertahun-tahun. Kedua, usulan dari bawah sulit direalisasikan oleh kabupaten, meski usulan dari desa tetap sama dari tahun ke tahun. Katanya bottom up, tetapi ternyata mboten up. Musrenbang hanya jadi prosedur tahunan yang formal, tetapi harus dilaksanakan supaya taat prosedur. Usulan dari desa baru direalisir setelah sekian tahun, bahkan lebih banyak usulan yang akan direalisir “kapan-kapan”. Ketiga, desa dan masyarakat frustasi dengan Musrenbang. Lebih frustasi lagi kalau Musrenbang desa betul-betul disiapkan secara partisipatif yang melibatkan banyak unsur dalam masyarakat desa. Mereka frustasi karena Musrenbang hanya formalitas dan tidak ada realisasi. Tetapi orang desa tetap bersabar menunggu hasil, berharap agar usulan dari bawah bisa diterima oleh kabupaten.

Problem Musrenbang yang membikin frustasi dan menipu desa itu sudah lama berlangsung. Penyebabnya bukan karena anggaran negara dan daerah yang terbatas, tetapi karena kesalahan paradigma, kebijakan dan skema perencanaan dan penganggaran daerah. Perencanaan daerah yang membuahkan perencanaan sektoral tetapi ditempuh dengan pendekatan spasial Musrenbang dari bawah (desa) jelas salah besar. Ini salah karena keputusan dan anggaran terkonsentrasi pada kabupaten, tidak dibagi langsung sebagian kepada desa. Argumen ini berbasis data. Di saat masyarakat frustasi pada Musrenbang karena tidak ada realisasi, sejak 1998 ada dana Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang masuk desa, rata-rata sebesar 80 juta hingga 100 juta per desa per tahun. Dana ini langsung masuk dan diterima oleh masyarakat, meski dengan kompetisi, tetapi tidak melalui proses birokrasi yang panjang seperti Musrenbang. Kami menemukan fakta di banyak tempat, bahwa masyarakat enggan berpartisipasi dalam Musrenbang, tetapi mereka giat berpartisipasi dalam forum penggalian gagasan PPK. Kenapa? Jawabnya satu: uang PPK jelas (cetho), sementara uang Musrenbang tidak jelas (ora

Page 12: bukuADD

xii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

cetho). Lalu banyak orang berpikir dan bertanya: kenapa perencanaan dan penganggaran daerah tidak meniru model PPK1.

Lebih maju dari pengalaman PPK, ADD tentu memberikan suntikan darah segar dan memompa semangat baru bagi pemerintah dan masyarakat desa. ADD jelas lebih maju dari PPK karena ADD menyatu (integrasi) dengan sistem perencanaan dan penganggaran daerah, dan dananya bukan berasal dari utang seperti PPK. Selain itu pelaksanaan ADD juga tidak membutuhkan “tali besar” sebagaimana menjadi sebuah keburukan PPK. Pengalaman, tujuan dan manfaat ADD di berbagai daerah sejak 2001 memang sangat beragam. Lebih banyak kabupaten yang “enggan” membuat kebijakan alokasi dana yang menggunakan istilah perimbangan keuangan atau alokasi dana desa (ADD), dengan cara mereplikasi formula perimbangan keuangan. Sampai akhir tahun 2004, baru sekitar 40 kabupaten yang melakukan inovasi dalam hal alokasi dana desa dengan merujuk pada UU No. 25/1999, yang kemudian disusul oleh kabupaten-kabupaten lain sejak keluar PP No. 72/2005. Inovasi baru ini memang tidak lepas dari berbagai dorongan yang beragam: inisiatif populis seorang bupati, dorongan dari pemerintah pusat, asistensi teknis dari sejumlah lembaga donor, serta tekanan dari organisasi masyarakat sipil maupun asosiasi desa. Sejak 2005/2006, tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk tidak membuat kebijakan ADD karena sudah memperoleh amanat, namun masih banyak kabupatan yang belum menjalankan ADD, dan komponen masyarakat bawah juga belum mengetahui apa itu kebijakan ADD.

ADD di banyak kabupaten tentu memberikan banyak pelajaran berharga yang ke depan mengarah pada penguatan kemandirian desa. Pertama, ADD sebagai ide dan kebijakan yang meninjau ulang sedekah

1 Kejelasan insentif dan partisipasi di tingkat bawah merupakan kelebihan PPK. Tetapi PPK juga banyak cacat. PPK tidak terintegrasi dengan perencanaan lokal. Ada juga yang mengatakan secara kasar: PPK itu hanya menggarami air laut, bagaimana mungkin PPK mampu menangani kemiskinan sebagai sebuah persoalan besar tetapi hanya dengan anggaran Rp1 miliar untuk satu kecamatan. Karena itu ada yang mengatakan: duit PPK itu hanya berkontribusi untuk membikin mainan bagi orang desa atau memberi insentif (jika bukan sedekah) agar orang desa bisa belajar lebih baik dalam perencanaan. Lalu ada juga yang mengatakan lebih kasar: PPK itu ibarat menarik sapi kurus dengan tali yang besar. Sapi kurus untuk menggambarkan orang desa yang miskin, sedangkan tali besar adalah birokrasi proyek (dari fasilitator di lokal sampai konsultan manajemen di nasional dan Bank Dunia) yang besar dengan gaji yang besar.

Page 13: bukuADD

xiiiPENGANTAR

desa. Pengalaman ADD telah mendorong rekonstruksi terhadap makna dan format transfer dana dari pemerintah supradesa ke desa. Jika dulu Inpres Desa dikemas sebagai bantuan yang sangat tergantung pada kebaikan pemberi bantuan, sekarang ADD didasari semangat bahwa desa mempunyai hak penuh atas transfer sebagian dana dari pemerintah supradesa. Pemahaman ADD sebagai hak desa tentu akan memberikan pelajaran kritis baru, bahwa stigma ketergantungan desa tidak relevan untuk diucapkan dan dipraktikkan.

Kedua, ADD telah mendorong efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan layanan publik. Di Kabupaten Jayapura, misalnya, sebelum Program Pemberdayaan Distrik dan ADD dilaksanakan, pemkab merasakan bahwa layanan publik dan pembangunan ke pelosok kampung sangat mahal, karena jangkauan dan rentang kendali yang terlalu jauh. Setelah PPD dilaksanakan, efisiensi pembiayaan pembangunan bisa ditingkatkan karena pembelanjaan dilakukan sendiri oleh distrik maupun kampung. Yang lebih penting, keterlibatan masyarakat yang menggunakan preferensi lokal dalam skema ADD, memungkinkan efisiensi alokasi dan kesesuaian program dengan kebutuhan lokal, sekaligus juga meningkatkan kepemilikan lokal.

Ketiga, ADD sangat relevan dengan salah satu tujuan besar desentralisasi, yakni membawa perencanaan daerah lebih dekat kepada masyarakat lokal. Belajar dari pengalaman di beberapa kabupaten menunjukkan bahwa ADD semakin membuat perencanaan desa lebih bermakna dan dinamis. Secara kelembagaan ADD telah membawa perubahan pada aspek perencanaan daerah, yakni munculnya pola perencanaan desa. Dampaknya, pola ini semakin mendekatkan perencanaan pembangunan kepada masyarakat desa, dan sebaliknya, masyarakat desa mempunyai akses yang lebih dekat pada pusat perencanaan. Pemerintah di tingkat desa merasakan ada proses pembelajaran mengelola pembangunannya sendiri (merencanakan, menganggarkan, melaksanakan dan mengontrol sendiri pembangunan dan lingkungannya).

Keempat, ADD menjadi arena baru bagi pembelajaran lokal dalam mengelola desentralisasi. Dana ADD tentu tidak sebanding dengan problem keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat desa, sehingga berdasarkan perhitungan nominal ADD ibarat hanya “menggarami air

Page 14: bukuADD

xiv ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

laut”. Dana sebesar 100 juta hingga 200 juta jelas sangat tidak cukup untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kekurangan pelayanan dasar. ADD tentu tidak serta-merta menciptakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Tetapi perjalanan selama beberapa tahun terakhir, ADD menciptakan arena pembelajaran yang sangat berharga bagi kabupaten, desa dan masyarakat. Bagi kabupaten, ADD menjadi arena pembelajaran untuk membangun responsivitas terhadap masyarakat lokal. Desa memperoleh arena pembelajaran untuk menempa akuntabilitas, kapasitas dalam perencanaan, fasilitasi terhadap kampung, merawat transparansi dan seterusnya. Masyarakat juga belajar memperkuat partisipasi dan membangun modal sosial di tingkat lokal.

Relevansi: Melampaui Sedekah Untuk mengoptimalkan makna ADD serta memperkuat relevansi

ADD bagi penanggulangan kemiskinan, ada empat hal besar prakondisi yang perlu diperhatikan. Pertama, pengelolaan ADD yang desentralistik dalam konteks hubungan antara kabupaten dan desa. Desentralisasi berarti memberikan kewenangan dan keleluasaan penuh kepada desa, serta memberikan kepercayaan kepada desa. Pola yang ditempuh adalah bantuan umum (block grant), tanpa intervensi dan birokrasi dari kabupaten yang terlalu rumit. Kalau terlalu rumit, birokratis, maka ruang gerak desa sangat terbatas, pemerintah desa akan lebih berpikir aspek administrasinya, daripada memikirkan substansi ADD. Bagaimanapun setiap orang kalau dikontrol ketat dan birokratis, maka orang itu akan mencari celah-celah untuk siasat, melanggar dan mencuri. Karena itu, yang dibutuhkan adalah pemberian keleluasaan kepada desa, seraya memberikan supervisi dan pembinaan.

ADD yang desentralistik adalah ADD yang bukan proyek tersendiri seperti PPK, tetapi ADD yang menyatu (terintegrasi) dalam sistem perencanaan dan keuangan desa, yaitu menyatu dalam APB Desa (budgetary system). Kalau ADD masuk dalam APB Desa, maka ADD itu sudah menjadi hak milik desa, yang bisa dikontrol dan dipertanggungjawabkan secara partisipatif oleh masyarakat. Supervisi dan pembinaan kabupaten tentu tidak hanya mencakup ADD semata, tetapi secara keseluruhan pada sistem perencanaan dan penganggaran desa (APB Desa).

Page 15: bukuADD

xvPENGANTAR

Kedua, pengelolaan ADD di aras Desa yang demokratis. ADD yang demokratis identik dengan pemerintahan rakyat: ADD “dari” (partisipasi) rakyat, dikelola “oleh” (transparan dan bertanggungjawab) rakyat dan dimanfaatkan “untuk” (responsif) rakyat. ADD bisa disebut demokratis apabila:a. Distribusi di aras desa bersifat responsif, artinya ADD digunakan

untuk menjawab masalah dan mendukung pembiayaan pilar-pilar penanggulangan kemiskinan, seperti pelayanan dasar (kesehatan dan pendidikan) serta pengembangan ekonomi rakyat. Kebijakan ADD Sukoharjo, misalnya, sedikit-banyak sudah mengarah kesana. Formula distribusi ADD di Sukoharjo mengutamakan variabel kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan keterjangkauan, daripada variabel-variabel nominal (jumlah penduduk, luas wilayah, dan lain-lain). Persoalannya, apakah skema makro ini juga diterapkan dalam distribusi ADD di aras desa? Apakah distribusi ADD di desa juga menyumbang perbaikan pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan), atau sebaliknya hanya digunakan sebagian besar untuk membangun jalan? Jika mayoritas ADD digunakan untuk membangun jalan, ditambah dengan mobilisasi swadaya masyarakat, maka ADD itu tidak responsif. Untuk membuat ADD yang responsif pada rakyat miskin memang tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit. Sebagai contoh ADD sebaiknya digunakan untuk mendukung Posyandu (bagi anak, ibu hamil dan lansia), pengembangan rumah belajar, memberi beasiswa bagi keluarga miskin, asuransi kesehatan dan kematian bagi keluarga miskin, dan masih banyak lagi.

b. Proses penentuan dan alokasi ADD dalam APB Desa sebaiknya berlangsung secara partisipatif, yakni melibatkan komponen-komponen masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang rentan seperti orang miskin dan perempuan. Jika penggunaan ADD di desa hanya ditentukan oleh elite-elite desa untuk membangun jalan, maka ADD tersebut bisa dikatakan tidak partisipatif.

c. Pengelolaan ADD yang menyatu dalam APB Desa berlangsung secara transparan atau terbuka, bisa dilihat siapa saja. Transparan bukan berarti “telanjang bulat”, tetapi informasi mengenainya cukup terbuka untuk bisa diakses oleh warga. Kejujuran, kepedulian dan keterbukaan merupakan fondasi bagi transparansi. Pemerintah desa maupun BPD mempunyai tanggungjawab besar untuk membuat ADD yang transparan tersebut.

Page 16: bukuADD

xvi ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

d. Pengelolaan ADD seharusnya akuntabel (bertanggungjawab) atau amanah. ADD yang akuntabel (amanah) adalah ADD yang dikelola berdasarkan mandat dan perencanaan ADD. Untuk membuat ADD yang amanah, maka ia menyatu dengan siklus perencanaan dan penganggaran: mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta pelaporan. Pelaporan adalah kesempatan dan mekanisme untuk menguji akuntabilitas (amanah) ADD tersebut. Akuntabilitas tentu tidak bisa dipisahkan dari transparansi dan kejujuran. Kalau ADD dikelola dengan lurus dan benar maka ia disebut akuntabel, tetapi kalau ada penyimpangan (apalagi korupsi) maka ADD itu tidak akuntabel. Jika terjadi penyimpangan maka akan menimbulkan kerugian yang besar, bahkan menyengsarakan rakyat.

Ketiga, pengelolaan ADD yang bersifat teknokratis. Teknokrasi berarti pengelolaan pemerintahan, kebijakan dan keuangan didasarkan pada prinsip-prinsip keahlian, kemampuan, kecermatan, kerapian, ketepatan, kehematan, dan seterusnya. Pengelolaan (perencanaan, pencairan, pembukuan, pelaporan, dan lain-lain) sebagainya menggunakan prinsip-prinsip ini. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip ini dalam pengelolaan ADD masih lemah. Di banyak tempat, manajemen kiyak-kiyuk “model warung”, misalnya masih diterapkan dalam pengelolaan ADD. Ada banyak pemerintah desa yang melakukan kiyak-kiyuk, misalnya mengambil dana ADD untuk membayar dulu PBB untuk disetor ke kecamatan. Praktik-praktik seperti ini merupakan bentuk keteledoran yang bisa menyeret kepala desa berurusan dengan kepolisian dan kejaksaan.

Selain itu, pengelolaan ADD yang bersifat teknokratis sebenarnya juga harus memperhatikan prinsip “uang mengikuti fungsi” (money follows functions). Artinya ADD dibuat mengikuti dan untuk membiayai fungsi-fungsi pemerintah desa secara jelas. Kalau fungsi ini tidak jelas, maka akan menimbulkan tarik-menarik antara kabupaten dan desa. Fungsi bisa dijabarkan dari kewenangan dan urusan yang ditetapkan menjadi bagian dari pemerintah desa. Karena itu, setiap Pemkab/Pemkot yang belum membuat Perda tentang kewenangan/urusan desa, maka sebaiknya perlu segera menyesuaikan untuk memantapkan kebijakan ADD.

Page 17: bukuADD

xviiPENGANTAR

Keempat, penempatan ADD menjadi bagian kecil tetapi terintegrasi dalam kebijakan pembangunan desa dan penanggulangan kemiskinan yang akseleratif dan berkelanjutan. ADD hanya kue kecil, untuk urusan yang kecil. Jumlahnya sangat terbatas, sehingga tidak mungkin mampu untuk menjangkau urusan pelayanan publik yang besar dan penanggulangan kemiskinan yang berat. Kami sering menemukan kasus bahwa pemerintah kabupaten tidak mau lagi mengurus desa karena dalihnya sudah memberikan ADD. Karena sudah memberikan ADD, maka kabupaten tidak lagi melancarkan kebijakan dan alokasi anggaran untuk desa. “Kan desa sudah memperoleh ADD, manfaatkan itu secara maksimal untuk mengurus kepentingan masyarakat desa”. Argumen ini sering muncul di banyak tempat. Argumen ini bisa muncul karena ada ketidakjelasan pembagian kewenangan, urusan, peran dan tanggungjawab antara kabupaten dan desa. Kalau tidak jelas, maka yang terjadi adalah tarik-menarik: kalau ada “air mata” dibuang, tetapi kalau ada “mata air” cepat-cepat untuk mengambil.

Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan desentralisasi (pembagian posisi dan peran antara kabupaten, kecamatan dan desa) dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan, antara kabupaten dan desa, secara proporsional. Kewenangan/urusan desa tentu yang bersifat lokal (masyarakat setempat), yang bisa kita acu pada Permendagri No. 30/2006 tentang tatacara penyerahan urusan kepada desa. Kewenangan/urusan desa tersebut dijadikan sebagai basis perencanaan dan penganggaran. ADD digunakan untuk membiayai kewenangan dan perencanaan desa tersebut. Sementara pemerintah kabupaten mempunyai kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar sesuai dengan ketentuan undang-undang. Berbagai persoalan pelayanan publik dan pengembangan ekonomi lokal (yang berada di wilayah desa) tentu merupakan tanggungjawab kabupaten.

Namun demikian, besaran ADD tetap hanya “uang receh” (meminjam istilah Mohammad Najib) atau hanya “sisanya sisa” dari gumpalan APBD yang dikonsumsi lebih dulu oleh perangkat dan aparat daerah. Uang receh itu tentu terlampau kecil untuk memberikan kontribusi bagi penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat desa, jika tidak bisa disebut sebagai “menggarami air laut”.

Page 18: bukuADD

xviii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

Untuk membangun kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan, ADD tentu tidak cukup, melainkan masih membutuhkan responsivitas dan komitmen pemerintah daerah, serta akselerasi dari provinsi dan Jakarta. Penanggulangan kemiskinan (dan atau pembangunan kesejahteraan) di aras desa tentu membutuhkan pembangunan desa (spasial) yang lebih progresif dan seimbang (balanced development) dengan pembangunan sektoral. Untuk memulai agenda pembangunan pedesaan, pemerintah daerah sebaiknya berangkat dari visioning pembangunan dan diteruskan dengan perencanaan pembangunan daerah. Pemerintah sebagai aktor negara adalah pelaku utama dalam perencanaan ini, yang juga melibatkan sektor swasta dan masyarakat. Jika pembangunan pedesaan sudah digariskan menjadi komitmen politik dan prioritas utama daerah, maka dibutuhkan kebijakan afirmatif untuk memasukkan isu dan agenda pembangunan pedesaan dalam perencanaan daerah. Setidaknya perencanaan sektoral daerah membutuhkan pendekatan mainstreaming pembangunan pedesaan, seperti halnya penanggulangan kemiskinan yang telah menjadi mainstreaming dalam pembangunan nasional (2004-2009). Toh secara substantif pembangunan pedesaan dan penanggulangan kemiskinan sangat identik, ibarat dua sisi mata uang. Dua gambar bisa berbeda, tetapi substansi dan nilainya sama. Baik pembangunan pedesaan dan penanggulangan kemiskinan mempunyai pilar-pilar pelayanan dasar (pembangunan sosial), pertumbuhan ekonomi rakyat (pembangunan ekonomi), infrastruktur dan pemberdayaan.

Dalam konteks ini dibutuhkan setidaknya empat skema transfer dana yang masuk desa, baik melalui negara maupun swasta. Pertama, investasi yang dilakukan negara maupun swasta melalui pengembangan kawasan (industri lokal, agroindustri, wisata desa, dan lain-lain) untuk memacu pertumbuhan ekonomi lokal. Desa tentu tidak butuh pertambangan besar dan industri ekstraktif berskala besar yang secara empirik justru merusak lingkungan, menimbulkan penghisapan ekonomi, serta memiskinkan masyarakat lokal karena hasil industri besar dinikmati oleh orang luar. Yang dibutuhkan adalah skema pertumbuhan ekonomi dari bawah (bottom up economic growth) melalui usaha kecil yang digerakkan para borjuis lokal, berskala lokal, memanfaatkan potensi lokal, tidak merusak lingkungan dan tentu mempunyai jaringan luas pada skala global.

Page 19: bukuADD

xixPENGANTAR

Kedua, alokasi atau yang disebut dengan ADD. ADD adalah dana responsivitas negara untuk membiayai kewenangan desa dan memperkuat kemandirian desa. Kewenangan desa mencakup: (a) kewenangan asal usul (mengelola sumberdaya alam, peradilan adat, membentuk susunan asli, melestarikan pranata lokal) yang diakui (rekognisi) oleh negara; (b) kewenangan atributif yang berskala lokal (perencanaan, tata ruang, ekologi, pemukiman, membentuk organisasi lokal, dan lain-lain) yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Undang-undang: (c) kewenangan delegatif-administratif yang timbul dari delegasi atau tugas pembantuan dari pemerintah. Kedepan ADD sebaiknya tidak lagi berasal dari kabupaten/kota kepada desa, melainkan dari pusat (APBN) kepada desa yang dititipkan kabupaten. ADD dialokasikan langsung dari APBN, yang posisinya sebagai salah satu komponen tetap dalam dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota. Dengan demikian dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten mencakup DAU, dana bagi hasil, Dana Alokasi Khusus dan juga Alokasi Dana Desa. Jumlah ADD untuk setiap kabupaten/kota ditentukan secara tetap dalam APBN, namun alokasi dari kabupaten ke desa beragam yang didasarkan pada perbedaan kondisi geografis, demografis dan kemiskinan desa.

Ketiga, akselerasi, yakni dana dari pemerintah untuk mempercepat pembangunan pedesaan baik melalui perencanaan daerah maupun perencanaan desa. Dengan kalimat lain, dana akselerasi (seperti halnya PPK maupun dana dari berbagai departemen) masuk melalui “satu pintu” atau menyatu (integrated) dengan perencanaan daerah dan perencanaan desa, guna mempercepat tujuan-tujuan lokal. Inilah yang disebut dengan regional rural development. Dengan skema ini, dana akselerasi adalah dana yang bersifat desentralistik (decentralistic fund), yang tidak butuh birokrasi tersendiri yang hirarkhis dan terlalu besar. Institusi pusat tidak perlu menjadi pemain sendiri, melainkan peran fasilitasi dan supervisi atas perencanaan dan implementasi pembangunan desa di level daerah dan desa.

Keempat, dana insentif, yakni dana yang diberikan pemerintah supradesa kepada desa untuk mendorong desa berbuat sesuatu atau sebagai hadiah penghargaan (ganjaran) kepada desa yang mengukir prestasi. Selama ini dana hadiah telah diberikan kepada desa yang menang dalam lomba desa atau sukses menarik Pajak Bumi Bangunan

Page 20: bukuADD

xx ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

(PBB) dalam waktu cepat, namun dua pengalaman tidak luput dengan manipulasi yang kurang otentik. Karena itu, dana insentif (hadiah) sebaiknya diberikan kepada desa yang secara khusus berhasil dalam pembangunan desa atau pelayanan publik. Sebagai contoh, suatu ketika Bupati Bantul berujar akan memberikan insentif sebesar Rp 100 juta kepada setiap desa yang bebas demam berdarah. Insentif ini tentu sangat merangsang pemerintah desa dan masyarakat setempat bergerak dan bekerja keras merawat kebersihan agar lingkungannya sehat dan bebas DB.

Sutoro Eko, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta, Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, dan Ketua Badan Pengarah Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD). Sekarang aktif sebagai anggota Tim Ahli Perumusan Rancangan Undang-undang Desa Departemen Dalam Negeri.

Page 21: bukuADD

xxiPENGANTAR

Daftar Isi

Pengantar: “Lebih Dari Sekadar Sedekah”:Konteks, Makna dan Relevansi ADD v

Daftar Isi xxi

Bab 1Pendahuluan 1 A. Agenda Penguatan Otonomi Desa 1 B. Tujuan Penulisan Buku 5 C. Studi Kasus 6 D. Promosi ADD sebagai Kebijakan Nasional dan Daerah 7 E. Sistematika Buku 7

Bab 2Enam Kabupaten Inisiator Kebijakan ADD 9 A. Letak Geografi dan Kependudukan 9 B. Ekonomi 10 C. APBD dan PAD 13 D. Kecamatan dan Desa 14

Bab 3Konteks Kelahiran Kebijakan dan Subtansi ADD 17 A. Konteks Kelahiran 17 1. Proses Sosial-Politik 17 2. Konteks Kelahiran ADD Ideal versus Aktual 27

Daf

tar

Isi

Page 22: bukuADD

xxii ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

B. Subtansi ADD 29 1. Istilah ADD 29 2. Formula 31

Bab 4Pelembagaan Kebijakan ADD 39 A. Institusi Pengelola ADD 39 B. Prosedur Pendistribusian ADD ke Desa 45 C. Perencanaan Partisipatif 47 D. ADD dalam Pos APB Desa 50 E. Monitoring dan Pengawasan 55

Bab 5Keunggulan Kebijakan ADD 61 A. ADD Bukan Kebijakan Bandes pada Masa Orde Baru 61 1. Kebijakan Bandes 62 2. Pelaksanaan, Hasil dan Dampak 68 3. Sentralisme Pembangunan Desa 79 4. Catatan Pahit Bandes 82

B. Kekhasan Kebijakan pada Masa Reformasi 82 1. Peka terhadap Semangat Otonomi Desa 83 2. Berbasis pada Konsultasi Publik 83 3. Responsif terhadap Kebutuhan Desa 84 4. Mendorong Trust dan Kerjasama Kabupaten dan Desa 85 5. Mendorong Kemandirian, Demokrasi dan Partisipasi 86 6. Mempercepat Pembangunan dan Pemberdayaan 89 7. Efisiensi Pembiayaan Pembangunan 90 8. Mempercepat Pemerataan Pembangunan dan Peningkatan Pelayanan 91 9. Memperkuat Kemandirian Desa 93

Page 23: bukuADD

xxiiiPENGANTAR

Bab 6Mengantisipasi Munculnya Kelemahan Kebijakan ADD 99 A. Kelemahan dari Pihak Pemerintah Pusat dan Daerah 99 1. Kurangnya Dukungan Regulasi ADD 99 2. Kurangnya Dukungan Regulasi Kewenangan Desa 100 3. Ancaman Proyek Pemerintah dan Pemda 101 4. Problem Perencanaan Spasial versus Sektoral 101 B. Kelemahan dari Pihak Pemerintahan Desa 105 1. Elitisme Pemerintahan Desa 105 2. Rendahnya Kapasitas Desa dalam Mengelola Anggaran 106 3. Munculnya KKN Baru dalam Konteks Desentralisasi di tingkat Desa 108 C. Kelemahan dari Pihak Masyarakat Sipil Desa 109

Bab 7Agenda Advokasi dan Perkembangan ADD di Daerah 111

A. Seminar Nasional 111 B. Rumusan SE Mendagri tentang ADD 113 C. Responsivitas Daerah terhadap Kebijakan ADD 114 D. Catatan Akhir 116

Page 24: bukuADD

xxiv ALOKASI DANA DESA, CERMIN KOMITMEN KABUPATEN/KOTA PADA OTONOMI DESA

Page 25: bukuADD

1PENDAHULUAN

A. Agenda Penguatan Otonomi DesaReformasi yang bergulir sejak tahun 1998 telah membawa

perubahan penting dalam sistem pemerintahan daerah berkaitan dengan munculnya UU No. 22 Tahun 1999 yang mengamanatkan desentralisasi di tingkat kabupaten. Tidak terkecuali, UU No. 22/1999 itu juga mengamanatkan dikelolanya pemerintahan desa secara demokratis, menggantikan UU No. 5 Tahun 1979 yang bersifat otoritarian. Lebih dari itu, UU No. 22/1999 juga mengamanatkan otonomi desa sehingga memberikan peluang lahirnya pemerintahan desa yang lebih mandiri, demokratis, dekat dengan struktur dan kultur masyarakat di tingkat lokal dan bisa lebih kreatif di dalam melayani kepentingan warganya. Kini UU No. 22/1999 telah diganti dengan UU No. 32/2004 yang mengurangi demokrasi dan otonomi desa, tetapi secara umum UU No. 32/2004 masih lebih baik daripada UU No. 5/1979 karena memberikan jaminan terwujudnya desentralisasi keuangan di tingkat desa dengan ditegaskannya kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dapat dipakai untuk melaksanakan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah desa.

ADD merupakan instrumen penting untuk terselenggaranya otonomi dan desentralisasi di tingkat desa, yang tampak pada ”eskperimen” pelaksanaan kebijakan ADD yang dilakukan oleh sejumlah kecil pemerintah kabupaten ketika mereka mengimplementasikan UU No. 22/1999 khususnya pasal 107 ayat 1b. Pelaksanaan kebijakan ADD oleh beberapa kabupaten tersebut merupakan lompatan kebijakan yang sejalan dengan pasal 212 ayat

Bab 1PENDAHULUAN

Bab

1 P

END

AHU

LUAN

Page 26: bukuADD

2 ALOKASI DANA DESA

3b-c pada UU No. 32/2004 yang menggantikan pasal 107 ayat 1b UU No. 22/1999. Kebijakan ADD itu patut mendapat perhatian untuk dicermati sebagai inisiatif daerah yang terkait dengan konteks sosial-politik perkembangan gerakan pembaharuan desa yang menjadi agenda berbagai kalangan sejak reformasi 1998 bergulir.

Lahirnya kebijakan ADD di sejumlah kabupaten merupakan isu penting bagi agenda advokasi di dalam mengembangkan pemerintahan desa yang mandiri dan mampu menjalankan fungsi desentralisasi. Tanpa ADD desa akan menghadapi masalah anggaran yang kompleks, karena beberapa alasan di bawah ini.

Pertama: Selama ini desa menghadapi ketidakpastian untuk melaksanakan pembangunan di wilayahnya. Sejak tumbangnya Orde Baru, tidak ada lagi dana Bantuan Desa (Bandes) yang besarnya mencapai Rp. 10 juta per desa. Dengan adanya Bandes itu desa bisa melaksanakan program pembangunan yang digerakkan dari pusat. Dana tersebut dapat digabung dengan pendapatan asli desa yang kecil dan ditambah dengan dana swadaya dan gotong royong guna mempercepat program pembangunan.

Kedua: Sumber pendapatan asli desa yang berasal dari tanah lungguh atau bengkok untuk gaji pamong, tanah kas desa (untuk dana operasional dan pembangunan) sangat tidak memadai. Memang banyak desa yang memiliki tanah lungguh luas, tetapi sebagai gaji tanah lungguh itu semakin tidak produktif karena rusaknya ekologi dan rendahnya nilai tukar pertanian terhadap produk industri (Wahono, 1999). Tanah kas desa relatif sempit dan hasilnya tidak banyak menolong anggaran desa. Terutama desa-desa di luar Jawa tidak memiliki tanah lungguh maupun tanah kas desa. Praktis sumber pendapatan desa mereka semakin terbatas, seiring dengan berkurangnya potensi sumber daya alam yang mereka miliki. Begitu banyak tanah desa yang termasuk kategori tanah ulayat mudah dikuasai negara dan pengusaha karena dianggap tidak memiliki status hukum. Banyak desa kehilangan sumber pendapatan asli baik untuk kepentingan pemerintahan dan warganya. Selain tanah, beberapa kekayaan desa yang lain juga diambil alih oleh pemerintah daerah seperti pasar desa, dan sumber pendapatan dari pelayanan kepada masyarakat seperti irigasi, perkawinan, jual-beli tanah dan sebagainya. Akibatnya, ketika harus menyongsong otonomi, desa justru kehilangan sumber pendapatan yang strategis untuk mewujudkan program pembangunan yang lebih mandiri dan sesuai dengan kebutuhan lokal.

Page 27: bukuADD

3PENDAHULUAN

Ketiga: Kalau pun desa pada masa reformasi ini menerima bantuan dari pemerintah kabupaten, bantuan tersebut juga tidak menjamin desa bisa memperolehnya secara berkesinambungan dengan disertai kewenangan yang lebih luas untuk memanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya. Ada anggapan bahwa besar kecilnya bantuan sangat tergantung dari bupati yang sedang berkuasa dan tidak bisa dipastikan bahwa bantuan tersebut tetap diperoleh ketika masa tugasnya selesai. Dewasa ini, fakta yang sering terjadi adalah desa memperoleh bantuan pembangunan dari dinas/instansi pemerintah kabupaten, dimana penentuan program-programnya telah ditetapkan oleh dinas/instansi itu (top down) dan bahkan secara kelembagaan dikelola oleh dinas dan instansi tersebut. Meskipun programnya baik tetapi sering tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan desa. Akibatnya, program itu tidak berhasil karena mengabaikan keberadaan desa sebagai pemerintahan yang bisa menjalankan fungsi yang lebih baik dalam mendorong partisipasi masyarakatnya.

Keempat: Ada indikasi kurangnya responsivitas kabupaten terhadap PP No. 76 Tahun 2001 yang sekarang diganti dengan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, disebutkan bahwa desa juga memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan kewenangan asli maupun yang diberikan. Untuk melaksanakan kewenangan tersebut, pemerintah desa memiliki sumber-sumber penerimaan yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang dilakukan. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam mendukung proses pelaksanaan pembangunan di setiap desa adalah adanya kepastian pembiayaannya. Penetapan pembiayaan pembangunan desa dapat berasal dari berbagai sumber seperti dari pemerintah, swasta maupun masyarakat. PP No. 72/2005 tentunya harus ditindaklanjuti dengan Perda tentang kewenangan desa dan dukungan pendanaan sehingga desa bisa menjalankan fungsi pemerintahannya secara baik.

Agenda penguatan desa pada masa reformasi sesungguhnya akan terwujud jika desa didudukkan sebagai basis desentralisasi dengan otonomi dan dukungan keuangan yang memadai. Tanpa dukungan keuangan, desa hanyalah sebuah pemerintahan yang rapuh dan tidak bisa berkiprah bagi kepentingan warganya sehingga amanat demokrasi dan otonomi desa hanya merupakan harapan semu. Kenyataannya, saat ini desa hanya bekerja untuk menjalankan otonomi asli yang tidak banyak menjawab masalah-masalah yang dihadapi yang paling mendasar

Page 28: bukuADD

4 ALOKASI DANA DESA

yaitu kemiskinan, rendahnya kuantitas dan kualitas fasilitas publik dan pemberdayaan masyarakatnya.

Studi ini memperlihatkan bahwa kebijakan ADD terbukti mampu mendorong penanganan beberapa permasalahan dasar yang dihadapi oleh masyarakat desa secara mandiri, tanpa harus lama menunggu datangnya program-program pembangunan dari pemerintah kabupaten. Dengan tersedianya alokasi dana di desa, perencanaan partisipatif akan lebih berkelanjutan karena masyarakat dapat langsung merealisasikan beberapa kebutuhannya yang tertuang dalam dokumen perencanaan di desa.

Beberapa manfaat dari ADD sebagaimana akan dielaborasi lebih mendalam dalam buku ini di bagian belakang, adalah sebagai berikut:

Pertama: munculnya kebijakan desa yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakatnya. Secara historis dan empiris, desa telah berfungsi sebagai pemerintahan yang otonom dan dekat dengan kepentingan warganya (self-governing commmunity), sehingga dengan adanya ADD, desa bisa lebih leluasa berekspresi mengembangkan inisiatifnya guna mencapai kemajuan sesuai dengan kebutuhan yang benar-benar dihadapinya. Dengan demikian maka kepentingan warga lebih terakomodasi karena pengambil kebijakan dan program pembangunan adalah para pemimpin yang sehari-hari berada di tengah-tengah masyarakat, bahkan mereka sendiri adalah bagian dari kepentingan warga karena mereka menjadi wakilnya.

Kedua: munculnya partisipasi masyarakat yang tinggi. Pelaksanaan pembangunan yang responsif dengan kebutuhan masyarakatnya akan membangkitkan partisipasi sehingga pembangunan desa semakin maju, realistis karena mendapat dukungan swadaya dari masyarakatnya.

Ketiga: kecenderungan berkurangnya praktik korupsi dan penyimpangan dana pembangunan. Hal ini karena ADD menjadi bagian dari penerimaan desa yang dipertanggungjawabkan kepada BPD (Badan Perwakilan Desa) dan masyarakat luas secara transparan. Kritik terhadap pembangunan desa selama masa Orba adalah menggejalanya korupsi karena pembangunan didesain dan dilaksanakan oleh pemerintah dan tidak dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang seharusnya menikmati hasil dari pembangunan tersebut.

Keempat: dengan semakin berfungsinya lembaga-lembaga kemasyarakatan di desa, maka pemerintahan desa akan semakin

Page 29: bukuADD

5PENDAHULUAN

kuat dan bisa menjalankan fungsi dalam mengurus, memfasilitasi dan memberdayakan masyarakatnya.

Kebijakan dukungan pembiayaan dari Kabupaten ke Desa lahir sebagai salah satu hasil kesepakatan yang dicapai dari Lokakarya Penentuan Program Prioritas Pemberdayaan dan Pembaharuan Desa yang diselenggarakan oleh Ditjen PMD (Depdagri) dan FPPD (Forum Pengembangan Pembaharuan Desa) di Jakarta, 28 Juli 2004. Selanjutnya Ditjen PMD Depdagri mengeluarkan regulasi tingkat Nasional yang dapat dijadikan pedoman bagi Kabupaten dalam merumuskan serta menerapkan dukungan pembiayaan dari Kabupaten ke Desa.

Proses penyusunan regulasi itu berjenjang dan sangat partisipatif. Beberapa program bantuan Donor FPPD (Ford Foundation), PERFORM (USAID), Promis NT (GTZ), dan Yayasan Tifa melakukan penelitian terhadap pelaksanaan Dana Perimbangan Desa (DPD) atau nama lain yang sejenis di sejumlah kabupaten yang telah menerapkannya, sebagai referensi dalam perumusan regulasi nasional tersebut. Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) kemudian bertindak sebagai koordinator penelitian kolaboratif yang melibatkan pihak Ditjen PMD dan program donor tersebut.

B. Tujuan Penulisan BukuBuku ini disusun sebagai laporan hasil penelitian tentang kebijakan

ADD di enam kabupaten guna memahami konteks kelahiran, pelembagaan, penggunaan dan pemanfaatan kebijakan tersebut dalam kerangka mewujudkan otonomi dan desentralisasi pemerintahan desa.

Dari segi kepentingan praktis jangka pendek, hasil penelitian tersebut dimanfaatkan sebagai bahan formulasi panduan dalam Surat Edaran yang dikeluarkan Depdagri. Untuk jangka panjang, buku hasil penelitian ini akan mendorong pemerintah daerah dan berbagai stakeholder (pemangku kepentingan) untuk memetik pelajaran yang berharga dari pendekatan penelitian ini maupun pengalaman yang baik dari lahirnya kebijakan ADD di enam kabupaten.

Buku ini juga dimaksudkan untuk mendiseminasikan tentang pentingnya ADD dalam kerangka penguatan kapasitas desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan.

Page 30: bukuADD

6 ALOKASI DANA DESA

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian terapan ini menggabungkan dua strategi, yaitu studi kasus dan advokasi kebijakan. Strategi pertama diwujudkan dengan melakukan riset lapangan dan ditopang dengan riset literatur, sedangkan strategi kedua dilakukan dengan melaksanakan berbagai promosi ADD di tingkat nasional dan daerah yang terintegrasi dalam program FPPD dan para mitranya.

C. Studi Kasus Buku ini diangkat dari studi kasus di enam kabupaten yang

menjalankan kebijakan ADD ketika berlakunya UU No. 22/1999 yang sekarang diganti dengan UU No. 32/2004 yang secara lebih eksplisit mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan ADD. Studi kasus ini dilaksanakan di enam kabupaten, yaitu Sumedang (Jawa Barat), Limapuluh Kota (Sumatera Barat), Magelang (Jawa Tengah), Tuban (Jawa Timur), Selayar (Sulawesi Selatan), dan Jayapura (Papua). Kabupaten-kabupaten ini dipilih karena diketahui telah menerapkan kebijakan ADD selama lebih dari tiga tahun. Selain itu, beberapa daerah tersebut telah menjadi program pendampingan LSM untuk pengembangan pembaharuan desa. Enam kabupaten yang dipilih itu memiliki karakteristik yang bervariasi dalam wilayah geografisnya (Jawa versus luar Jawa), dan pola-pola pengelolaan ADD.

Studi kasus ini dimaksudkan untuk mendapatkan data sekunder yang terdiri atas produk dokumen regulasi dan pelaksanaan ADD (lihat cakupan data); dan data primer yang dikumpulkan dengan memakai metode wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD). Beberapa hal yang dikaji dari data-data itu adalah:1. Latar belakang lahirnya ADD2. Regulasi tingkat nasional dan daerah terkait dengan kewenangan

dan ADD3. Kewenangan desa yang ada dan yang dibutuhkan4. Bentuk serta jenis alokasi dana dari Kabupaten ke Desa5. Formula pengalokasian dana dari Kabupaten ke desa (% dari APBD),

serta proses perumusannya.6. Mekanisme distribusi dana dari kabupaten ke desa.7. Pengaturan mengenai penggunaan ADD8. Pemanfaatan dan dampak dari penggunaan ADD

Page 31: bukuADD

7PENDAHULUAN

9. Mekanisme pertanggungjawaban serta pengawasan, baik dari pemerintah desa ke masyarakat atau pun ke pemerintah kabupaten.

10. Kondisi desa setelah menerima dana dari kabupaten.11. Kebijakan di tingkat nasional yang dibutuhkan.

D. Promosi ADD sebagai Kebijakan Nasional dan DaerahStudi kasus dilaksanakan selama enam bulan pada tahun 2004-

2005 dan selama proses penelitian dilaksanakan, tim peneliti dengan stakeholdernya menyelenggarakan serangkaian kegiatan yang membuka akses bagi terwujudnya kebijakan ADD di tingkat nasional. Kegiatan tersebut meliputi diskusi-diskusi di forum-forum yang diselenggarakan FPPD dan diteruskan dengan kegiatan seminar nasional di Ditjen PMD Depdagri serta perumusan tentang formula dan pedoman pelaksaaan ADD di daerah. Seminar nasional dilaksanakan pada akhir tahun 2005 dan ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan untuk menyiapkan rancangan kebijakan kepada Depdagri yang kemudian terbit sebagai surat edaran tentang pedoman pelaksanaan kebijakan ADD di daerah.

Agar promosi ADD bergaung di tingkat nasional dan daerah, buku ini memberikan masukan berharga bagi para praktisi yang mengembangkan kebijakan desentralisasi keuangan itu dan melaksanakan berbagai dukungan program pengembangan kebijakan ADD di beberapa daerah.

E. Sistematika BukuBuku ini terdiri dari tujuh bab. Bab 1 menegaskan pentingnya

dilaksanakan penelitian ADD dan strategi riset ADD di enam kabupaten sehingga bisa dipetik pelajaran yang berharga (lessons learned) untuk pembelajaran pengembangan ADD di kabupaten lainnya dan advokasi kebijakan.

Bab 2 berisi tentang profil enam kabupaten, khususnya tentang APBD dan besarnya dana ADD. Analisis Bab 2 mengungkapkan bahwa kebijakan daerah mengusung ADD tidak terkait dengan besarnya sumber pendapatan daerah, melainkan pada konteks sosial politik sebagaimana diulas pada bab berikutnya.

Page 32: bukuADD

8 ALOKASI DANA DESA

Bab 3 mengungkapkan berbagai latar belakang sosial politik yang mendorong lahirnya ADD. Bab ini mencermati pergulatan desa dengan stakeholder-nya untuk mendorong pemerintah daerah menelurkan kebijakan ADD, dan responsivitas elite di daerah terhadap tuntutan mereka. Analisis bab 3 mencatat bahwa munculnya kebijakan ADD yang partisipatif merupakan sesuatu yang diidealkan, tetapi diperlukan proses politik yang menuntut dukungan dari berbagai stakeholder agar kebijakan itu diwujudkan dan berkelanjutan.

Bab 4 menggambarkan tentang proses pelaksanaan kebijakan ADD dari perumusan formula, penggunaan dan kemanfaatannya. Bab ini menegaskan bahwa eksperimen kebijakan ADD telah meningkatkan kemandirian pemerintahan desa, dan terbangunnya suatu pemerintahan desa yang akuntabel, terbuka dan partisipatif.

Bab 5 merupakan langkah refleksi untuk menarik benang merah tentang keunggulan kebijakan ADD dengan cara membandingkannya dengan kebijakan Pemerintah Orde Baru mengenai Bantuan Desa (Bandes) dan berbagai keunggulan yang berkaitan dengan dimensi demokrasi, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Bab 6 merupakan bahasan yang menyoroti berbagai kelemahan dari kebijakan ADD yang harus diperbaiki ke depan sebagai bahan masukan kepada Pemda dan pemerintah pusat dalam mengawal pelaksanaan kebijakan ADD. Bab ini menegaskan bahwa sekalipun kebijakan ADD bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, tetapi dalam proses implementasinya menuntut adanya fasilitas untuk mendorong dan membangun masyarakat sipil yang kuat dan tata pemerintahan desa yang baik.

Adapun Bab 7 merupakan rangkaian agenda advokasi ADD agar menjadi kebijakan di tingkat nasional dan berbagai langkah yang telah diraih dari agenda advokasi itu serta beberapa catatan akhir yang perlu diperhatikan dalam menyongsong kebijakan ADD ke depan.

Page 33: bukuADD

9ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD

A. Letak Geografi dan KependudukanSecara geografis, setiap kabupaten penelitian mempunyai

karakteristik yang khas. Jayapura merupakan wilayah Propinsi Papua yang relatif terisolasi dari pusat pembangunan ekonomi yang terkonsentrasi di Jawa. Wilayah yang luas dengan desa-desa yang kecil dan terpencar-pencar merupakan ciri khas dari kabupaten ini. Meskipun demikian, kabupaten ini relatif lebih terbuka daripada kabupaten lainnya di wilayah Papua.

Selayar merupakan salah satu contoh kabupaten kepulauan dan terisolasi di wilayah Propinsi Sulawesi Selatan bagian selatan. Sementara itu Kabupaten Limapuluh Kota termasuk wilayah Sumatera Barat, dulunya terisolir, tetapi kemudian terbuka dan menjadi pintu masuk dari wilayah Propinsi Riau dan Sumatera Utara.

Berbeda dengan ketiga Kabupaten di luar Jawa, Kabupaten Tuban, Magelang dan Sumedang merupakan daerah yang sudah terbuka. Magelang adalah kabupaten yang tumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi di Jawa dan berada dalam lintas perseberangan antara poros pusat pertumbuhan ekonomi di Yogyakarta dan Semarang. Kabupaten Magelang dikenal sebagai produsen pertanian untuk menyuplai kota Magelang dan Semarang, sama seperti Sumedang sebagai penyuplai produksi pertanian bagi kota Bandung. Tuban merupakan daerah yang dekat dengan Surabaya, sebagai pusat kegiatan Ekonomi di Jawa Timur. Tuban dikenal sebagai kawasan Industri Semen Gresik

Bab 2ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD

Bab

2 E

NAM

KAB

UPA

TEN

INIS

IATO

R KE

BIJA

KAN

AD

D

Page 34: bukuADD

10 ALOKASI DANA DESA

dan tambak. Kondisi ini mirip dengan Sumedang yang dekat dengan Bandung sebagai pusat industri dan pemerintahan Propinsi Jawa Barat.

Dari segi luas wilayah, Jayapura merupakan kabupaten terluas, disusul Limapuluh Kota, Tuban, Magelang, Selayar, dan Sumedang. Adapun dari segi jumlah dan kepadatan penduduk, Magelang, Sumedang dan Tuban adalah yang paling besar dan padat penduduknya, sedangkan kabupaten lainnya yang berada di luar Jawa, khususnya Jayapura termasuk paling rendah.

Tabel 1.Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk

di Enam Kabupaten PenelitianNo. Nama

KabupatenLuas

Wilayah (KM)

JumlahPenduduk

(jiwa)

KepadatanPenduduk

(KM)

1. Limapuluh Kota 3.354 313,445 117

2. Sumedang 522 970.461 625

3. Magelang 1.086 1.123.937 1.034

4. Tuban 1.893 1.076.203 568.5

5. Selayar 903 109.979 122

6. Jayapura 61.493 NA 2,28Sumber: Kabupaten dalam Angka 2003 dan dokumen resmi di masing-masing

kabupaten penelitian

B. EkonomiDeskripsi tentang aspek ekonomi difokuskan pada hal-hal yang

relevan dengan program ADD. Pertama adalah tentang ekonomi penduduk. Kebanyakan penduduk Jayapura menggantungkan hidupnya pada ekonomi subsisten melalui praktik perladangan dan perburuan, walaupun kini sektor perkebunan dan kehutanan sedang berkembang. Adapun penduduk di lima kabupaten yang lain hidup di sektor pertanian dengan kombinasi sektor ekonomi yang relatif berlainan. Di Selayar, sumber pendapatan penduduk non pertanian adalah dengan bekerja sebagai nelayan. Penduduk di Limapuluh Kota terutama bekerja sebagai petani sawah, ada juga yang menjadi pekebun gambir yang mendatangkan devisa bagi negara (Kompas, 2003). Adapun penduduk Tuban, Magelang dan Sumedang juga menggantungkan hidup dari sektor pertanian, di samping sektor industri yang juga telah berkembang menjadi sumber ekonomi penduduknya.

Page 35: bukuADD

11ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD

Perkembangan ekonomi berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Berdasarkan data kualitatif, tingkat kemiskinan di Jayapura relatif tinggi karena orientasi ekonomi penduduknya yang masih bersifat subsisten dengan teknologi yang masih sederhana. Angka kuantitatif tentang kemiskinan nampak di lima kabupaten dan angkanya relatif tinggi untuk kabupaten Limapuluh Kota, Tuban dan Selayar. Tingginya angka kemiskinan itu dalam banyak studi di Indonesia dapat disebabkan oleh kemiskinan struktural dan kultural serta sebagai implikasi dari imbas krisis ekonomi 1997, dimana jumlah penduduk miskin yang semula sekitar 15% kemudian naik menjadi 60% (Wahono, 1999).

Tingginya angka kemiskinan di empat kabupaten penelitian telah mendorong pemerintah daerah untuk mencanangkan agenda pengentasan kemiskinan melalui berbagai pendekatan. ADD nampaknya dimaksudkan sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi kemiskinan karena dana ADD diperuntukkan bagi pembangunan di wilayah pedesaan. Di Kabupaten Limapuluh Kota, pemerintah bahkan mencanangkan kebijakan pengembangan ekonomi masyarakat dengan berbasis pada peningkatan komoditas unggulan nagari sehingga mempercepat proses peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan visi dari kabupaten. Ini berarti pemerintah memfasilitasi nagari dalam mengembangkan ekonominya, dengan mendorong agar ADD-nya dimanfaatkan untuk mengembangkan sentra ekonomi sesuai dengan produk unggulannya.

Tabel 2Persentase Penduduk Miskin di Enam Kabupaten Penelitian

No. Nama Kabupaten Persentase Penduduk Miskin

1. Limapuluh Kota 2003 22% (17,488 KK)

2. Sumedang 2003 5,6% (54.625 jiwa)

3. Magelang 2003 9,7% (109.259 Jiwa)

4. Tuban 2003 24%

5. Selayar 2003 24%

6. Jayapura NASumber: Data mentah dan hasil analisis data sekunder LPJ para Bupati, atau SK

para Bupati tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.

Kedua, yaitu profil nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di enam kabupaten yang tersedia datanya (lihat Tabel 3). Data ini

Page 36: bukuADD

12 ALOKASI DANA DESA

memberikan gambaran tentang sumbangan sektor ekonomi terhadap ekonomi daerah secara umum. Tampak bahwa PDRB di enam kabupaten penelitian, kecuali Sumedang menunjukkan masih tingginya PDRB dari sektor pertanian.

PDRB Kabupaten Tuban berada pada urutan (ranking) pertama, dan sektor yang menjadi pendukung PDRB yang berasal dari sektor pertanian 28,79%; industri pengolahan 19,26%; pertambangan dan penggalian 8,91%; perdagangan, restoran dan hotel 17,68%; konstruksi 7,16%; dan sisanya keuangan dan jasa, gas dan air relatif kecil masing-masing di bawah 5%.

PDRB Kabupaten Magelang menempati urutan ke-3, dan sektor yang menjadi pendukung PDRB yang berasal dari sektor pertanian 34,88%; industri 19,17%; jasa 14,69%; perdagangan, restoran dan hotel 19,91% dan lain-lain 15,35%. Adapun PDRB Sumedang menempati urutan ke-2 dengan pendukung dari sektor pertanian 0,70%; pertambangan dan galian 9,18%; industri pengolahan 4,41%; listrik, gas dan air bersih 6,82%; bangunan dan konstruksi 5,14%; perdagangan, hotel dan restoran 4,16%; angkutan dan komunikasi 6,22%; keuangan, persewaan dan jasa 8,23% dan jasa-jasa 4,63%.

Tabel 3.PDRB di Enam Kabupaten Penelitian Tahun 2003

No. Nama Kabupaten PDRB Tahun Terakhir(dalam Juta rupiah)

Rangking Tertinggi

1. Limapuluh Kota NA NA

2. Sumedang 1.171.094,92 2

3. Magelang 1.021.815,49 3

4. Tuban 4.654.807,29 1

5. Selayar 395.243,52 4

6. Jayapura NA NASumber: Hasil analisis data sekunder LPJ Bupati, atau SK para Bupati tentang Pen-

jabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.

Di Selayar, potensi dan kondisi alamnya yang terdiri dari kepulauan kecil membuat daerah ini mengandalkan pada sumberdaya pertanian dan perikanan. Oleh karena itu, PDRB kabupaten ini pada tahun 2003 atas dasar harga berlaku, relatif kecil yaitu sebesar Rp 395.243,52 juta. Kontribusi terbesar didominasi oleh sektor pertanian (peternakan) lebih

Page 37: bukuADD

13ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD

dari 48%; baru kemudian sektor perdagangan 14,89%; jasa 13,36%; angkutan dan komunikasi 10,55%; bangunan 6,89%; industri 5,22%; dan lain-lain.

C. APBD dan PADMencermati APBD di enam daerah penelitian diperlukan untuk

menyimak relevansinya dengan ADD. ADD selalu dikaitkan dengan kemampuan daerah untuk membiayai pos pembangunan dan rutin. Dalam diskusi dengan para penyelenggara pemerintahan kabupaten ditemukan bahwa besarnya ADD sering dihubungkan dengan sisa anggaran kedua pos belanja tersebut.

Tabel 4.APBD dan PAD di Enam Kabupaten Penelitian

No. Nama Kabupaten APBD (Pendapatan)

PAD Tahun Terakhir

% PAD dari APBD

1. Limapuluh Kota 2003 242.429.160.364 9.734.560.841 4.01

2. Sumedang 2003 351.655.359.000 41.752.295.000 11.87

3. Magelang 359.629.075.416 25.511.800.845 7.09

4. Tuban 2003 407.373.300.718 54.481.564.336 13.08

5. Selayar 2003 138.598.914.000 7.310.960.000 5.27

6. Jayapura 2003 NA NA NASumber: Hasil analisis data sekunder LPJ Bupati, atau SK para Bupati tentang Pen-

jabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Penelitian.

Tabel di atas mengungkapkan bahwa APBD setiap kabupaten penelitian masih menggantungkan dari Dana Perimbangan Pusat-Daerah (DAU). Hal ini nampak dari masih kecilnya sumbangan PAD yang besarnya di bawah 10%, kecuali untuk Sumedang dan Tuban. Akan tetapi buku ini tidak mengritik bahwa kemampuan daerah untuk menjalankan otonomi harus meninggalkan DAU dan memperbesar PAD. DAU adalah hak daerah dalam rangka menjalankan otonomi dan dari DAU itu kemudian diambil untuk ADD bukan disisakan seadanya untuk anggaran desa.

Tabel di atas juga memberikan pelajaran bahwa kemunculan ADD di enam kabupaten bukan karena mereka mempunyai pos pendapatan dalam APBD dan PAD yang besar. Munculnya ADD di enam kabupaten

Page 38: bukuADD

14 ALOKASI DANA DESA

itu lebih dipengaruhi oleh semangat para penyelenggara pemerintahan untuk memberikan hak kepada desa agar dapat melaksanakan pembangunan di wilayahnya.

D. Kecamatan dan DesaKeenam kabupaten penelitian memiliki jumlah kecamatan dan desa

yang beragam. Khusus untuk Kabupaten Limapuluh Kota, pemerintahan desa telah diganti dengan pemerintahan nagari dan menggabungkan desa lama (jorong) ke dalam satuan wilayah nagari sehingga jumlah nagarinya sedikit.

Tabel 5.Jumlah Kecamatan, Desa, Dusun di Enam Kabupaten Penelitian

No. NamaKabupaten

JumlahKecamatan

JumlahDesa/

Nama lain

JumlahKelurahan

JumlahDusun/

Nama lain

1. Limapuluh Kota 13 76 - 382

2. Sumedang 26 262 7 NA

3. Magelang 21 365 5 NA

4. Tuban 19 311 17 844

5. Selayar 10 66 7 NA

6. Jayapura NA NA NA NASumber: Kabupaten dalam Angka dan LPJ Bupati di masing-masing daerah peneli-

tian dan dokumen resmi. Khusus untuk Limapuluh Kota, pengertian nagari sama dengan nama lain dari desa.

Dari Tabel 5 diketahui bahwa hampir semua kabupaten memiliki jumlah kecamatan dan desa/kelurahan yang cukup banyak. Barangkali hal itu berkaitan dengan tingkat jumlah dan kepadatan penduduk. Tabel ini juga memberikan pelajaran bahwa banyak-sedikitnya desa dan dusun tidak menjadi penghalang bagi kabupaten untuk menelurkan kebijakan ADD karena kabupaten-kabupaten tersebut mempunyai jumlah desa yang berbeda-beda. Bahkan banyaknya dusun (Jorong) diperhatikan dalam merumuskan besarnya ADD seperti yang terjadi di Kabupaten Limapuluh Kota seperti akan dipaparkan di belakang.

Tata pemerintahan desa yang disimak dalam laporan ini meliputi aspek demokrasi dan otonomi sebagaimana terlihat pada (1) struktur organisasi pemerintahan, (2) sistem rekruitmen jabatan, dan (3)

Page 39: bukuADD

15ENAM KABUPATEN INISIATOR KEBIJAKAN ADD

keuangan. Kecuali Kabupaten Limapuluh Kota, kelima kabupaten yang lain memiliki struktur pemerintahan desa yang relatif sama, yakni terdiri dari pemerintah desa sebagai lembaga eksekutif yang dipimpin kepala desa dan BPD (Badan Perwakilan Desa) sebagai lembaga legislatif.

Di Kabupaten Limapuluh Kota, desa diartikan sebagai nagari yang pernah hidup sebelum berlakunya UU. No 5/1979. Nagari tersebut menghapus desa yang ada yang dulunya memiliki wilayah administrasi di Jorong yang merupakan wilayah terendah dari nagari. Di dalam nagari terdapat paling tidak tiga lembaga penting, yaitu: wali nagari yang sejajar dengan kepala desa sebagai lembaga eksekutif, Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) yang sejajar dengan BPD, dan Lembaga Anak Nagari (LAN) yang berfungsi sebagai lembaga yang mengatur sengketa adat, dan Badan Musyawarah Adat dan Syarak (BMAS) yang berfungsi sebagai lembaga musyawarah besar antar elemen dalam masyarakat yang berperan sebagai lembaga konsultatif untuk pemerintah nagari.

Terdapat pola yang sama pada desa-desa penelitian dalam hal struktur organisasi pemerintahan dan rekruitmen jabatan. Perda yang melandasi struktur organisasi itu mengamanatkan susunan pemerintah desa terdiri dari kepala desa yang dipilih secara langsung, dibantu oleh kepala dusun yang juga dipilih secara langsung serta aparat desa seperti sekretaris (carik) dan Kepala Urusan (Kaur) yang diangkat dengan memperhatikan suara BPD. Adapun BPD beranggotakan sekitar 13 orang tergantung dari jumlah penduduk dan dusun, serta mereka ini dipilih secara langsung.

Khusus untuk nagari, wali nagari dipilih secara langsung sedangkan wali jorong diangkat melalui proses penggalian aspirasi warga di setiap jorong. Penggalian aspirasi ditampung wali nagari dan diangkat dengan minta persetujuan dari BPAN.

Pemerintahan desa di kabupaten penelitian ini diberi status otonom, dalam arti bupati tidak mengurusi rumah tangga desa di dalam mengisi jabatan dalam struktur pemerintahan. Tugas bupati hanya mengesahkan jabatan lurah dan BPD yang pemilihannya diselenggarakan sendiri oleh desa. Bupati hanya akan memberhentikan kepala desa atas usul dari BPD dengan menggunakan aturan yang berlaku.

Dalam kaitannya dengan ADD, bupati mempunyai kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban atas dana yang diserahkan itu. Dalam menjalankan peran sebagai fasilitator dan kontrol terhadap penggunaan ADD, bupati dapat menugaskan camat. Hubungan nagari

Page 40: bukuADD

16 ALOKASI DANA DESA

dengan bupati juga mirip hubungan antara bupati dengan desa. Bupati Kabupaten Limapuluh Kota menugaskan camat dan juga kepala Kantor Pemberdayaan Nagari (PMN) untuk memfasilitasi dan mengkoordinasi pemberdayaan nagari dan penggunaan ADD.

Keuangan desa dipegang oleh bendahara, sementara APB Desa (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) disusun sesuai dengan UU No. 22/1999 dan Perda tentang tata pemerintahan desa serta SK. Bupati masing-masing daerah untuk menindaklanjuti ketentuan-ketentuan dalam undang-undang dan peraturan daerah. Sumber pendapatan APB Desa terutama berasal dari ADD dan Pendapatan Asli Desa (PADes). ADD di enam kabupaten itu, kecuali di Jayapura diintegrasikan dalam APB Desa dan karenanya menjadi bagian integral dari kegiatan rutin dan pembangunan desa yang pendanaannya didukung dengan PADes. Khusus untuk Jayapura, PADes dikelola oleh kantor kecamatan sebagai program pembangunan pemerintahan desa.

PADes bersumber dari kekayaan desa, pajak dan retribusi desa. Di Kabupaten Limapuluh Kota, nagari telah mengembangkan PADes karena didukung oleh Perda yang mengijinkan nagari untuk menggali potensinya masing-masing. Banyak dana bagi hasil usaha yang masuk ke nagari dan berbagai iuran warga yang dipatuhi oleh para warganya.

Page 41: bukuADD

17KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

Bab 3KONTEKS KELAHIRANKEBIJAKAN DAN SUBTANSI ADD

A. Konteks Kelahiran

1. Proses Sosial-PolitikKelahiran ADD di enam kabupaten dilatarbelakangi oleh lima

faktor. Kelima faktor itu adalah (1) romantisme dan semangat mengisi otonomi daerah, (2) responsivitas daerah memanfaatkan UU No. 22/1999 sebagai landasan hukum mewujudkan otonomi desa yang ideal, (3) responsivitas daerah terhadap tuntutan-tuntutan proposal pembangunan desa yang kompleks, (4) tuntutan dari masyarakat sipil dan jaringan LSM, dan (5) kebijakan populis Bupati. Kelima faktor tersebut tidak selalu muncul bersamaan di semua kabupaten. Setiap kabupaten cenderung memiliki konteks kelahiran yang khas.

Faktor pertama (romantisme) hanya muncul di Kabupaten Limapuluh Kota, sedangkan faktor kedua yaitu responsivitas daerah terutama muncul di Kabupaten Selayar dan Jayapura, disusul kemudian di semua kabupaten. Ini artinya bahwa pihak eksekutif dan legislatif di kabupaten memandang bahwa UU No. 22/1999 memberikan amanat untuk menghidupkan desa sebagai pemerintahan lokal yang dapat menjalankan fungsi administrasi pemerintahan dan pembangunan serta pelayanan publik. Faktor ketiga yaitu tuntutan-tuntutan proposal dari desa tampak nyata di Kabupaten Magelang. Adapun faktor keempat yaitu tuntutan masyarakat sipil, muncul di

Bab

3 K

ON

TEKS

KEL

AHIR

AN K

EBIJA

KAN

DAN

SU

BSTA

NSI

AD

D

Page 42: bukuADD

18 ALOKASI DANA DESA

Kabupaten Sumedang dan Tuban. Sedangkan faktor kelima yaitu ADD sebagai kebijakan populis Bupati muncul di semua kabupaten. Ini artinya Bupati merupakan aktor penting di dalam memprakarsai kebijakan ADD.

Faktor pertama muncul di Kabupaten Limapuluh Kota yang mana pada masa Orde Baru telah secara terpaksa mengganti pemerintahan nagari menjadi desa sesuai dengan tuntutan UU No 5/1979. Dengan adanya reformasi dan ditetapkannya UU No 22/1999, romantisme dan semangat mengisi otentisitas otonomi daerah kemudian merasuki elite lokal dan masyarakatnya. Para elite nagari yang duduk di pemerintahan daerah sepaham dengan para elite di tingkat provinsi di dalam memaknai UU No. 22/1999 sebagai kerangka landasan yuridis untuk menghidupkan kembali identitas kedaerahan, dan nagari dipandang sebagai identitas otentik yang menjadi bagian integral dari otonomi daerah. Mereka menostalgiakan nagari sebagai self governing community yang kredibel dan mencerminkan struktur dan kerjasama sosial dalam masyarakat.

Dengan terbitnya Perda Propinsi Sumatra Barat No. 1 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari, wacana Kembali ke Nagari menjadi agenda yang populer di seluruh kabupaten di propinsi ini termasuk di Kabupaten Limapuluh Kota. Karena itu, para calon Bupati di kabupaten ini berusaha mengangkat agenda Kembali ke Nagari untuk mempromosikan karier politiknya agar diterima oleh DPRD. Ketika para calon Bupati diminta untuk mempromosikan programnya, salah satu program yang ditampilkan dan dianggap penting adalah kembali ke nagari sebagai bagian penting dalam renstra kabupaten menuju terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Gagasan para Bupati itu kemudian direspon positif oleh anggota DPRD dan oleh Bupati terpilih semua gagasan para calon bupati diakomodasi melalui kebijakan Dana Bagi Hasil Nagari dan Dana Alokasi Umum Nagari (DBH-DAUN), dan dana lainnya yang dimaksudkan untuk memperkuat pemerintahan dan lembaga adat nagari.

Gagasan mewujudkan kembali nagari sebagai self governing community sebagaimana dituangkan di dalam Perda memberikan penegasan bahwa ide itu akan terwujud jika didukung oleh kebijakan yang memberikan dukungan keuangan bagi nagari. Pada masa silam, nagari memang mempunyai sumber keuangan yang cukup handal

Page 43: bukuADD

19KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

dari kekayaan dan iuran warganya. Namun dengan diubahnya nagari menjadi desa sebagai konsekuensi dari berlakunya UU No. 5/1979, maka keuangan desa sangat tergantung dari pemerintah, dan banyak sumber pendapatan yang dulunya dikuasai nagari kemudian berpindah tangan ke pemerintah. Oleh karena itu, kembali ke nagari identik dengan mengembalikan kekayaan nagari dari pemerintah. Dengan logika itu maka dalam pasal-pasal Perda tentang pemerintahan nagari, sumber pendapatan dan belanja nagari secara eksplisit menegaskan adanya dana perimbangan dan dana bantuan dari pemerintah kabupaten ke nagari.

Berbeda dengan konteks kelahiran ADD di Limapuluh Kota, kelahiran ADD di Kabupaten Selayar disemangati oleh kepentingan untuk mewujudkan otonomi desa yang ideal. Pada masa lalu hingga Orde Baru jumlah desa kurang dari 50 buah, dan kebanyakan tidak menjalankan fungsi pemerintahan dengan baik. Pada waktu itu hampir semua aktivitas desa dibiayai oleh masyarakatnya, tetapi karena masyarakatnya relatif miskin maka praktis pembangunan desa tidak berkembang. Meskipun pada masa Orde Baru terdapat dana untuk pemerintahan desa dari INPRES Dana Pembangunan Desa atau Kelurahan (DPDK), tetapi dana ini dipandang terlalu kecil untuk menjamin pemerintahan desa dapat bekerja dan menjalankan fungsi pembangunan.

Dengan adanya UU No. 22/1999, pemerintah kabupaten menemukan kerangka landasan yang kuat untuk menghidupkan dan menata ulang pemerintahan desa dalam menjalankan fungsi pembangunan. Proses sejarah perkembangan desa di Selayar pada masa lalu menyemangati para pengambil kebijakan di Selayar untuk merestrukturisasi desa. Hal ini karena pada masa lalu desa dimaknai sebagai unit pemukiman dan kemudian dikembangkan menjadi unit administrasi pemerintahan. Sebelum atau semasa awal pemerintahan Hindia-Belanda terdapat pembagian wilayah yang disebut Kabusungan atau juga biasa disebut dengan Galarang yang dipimpin oleh Kepala Kabusungan yang disebut Opu. Setelah pemerintahan Hindia-Belanda berjalan, Kabusungan sebagai bentuk pemerintahan adat berubah menjadi Distrik. Sekalipun sudah berubah menjadi distrik, kepala distrik masih juga disebut dengan Opu. Opu ini menjalankan pemerintahan distrik didukung dengan diberikan kekayaan distrik berupa kokolohe

Page 44: bukuADD

20 ALOKASI DANA DESA

(artinya kebun yang luas). Kokolohe ini merupakan kekayaan desa yang dipakai untuk membiayai fungsi pemerintahan, yaitu pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus sebagai gaji bagi Opu.

Pada sekitar tahun 1950, distrik dilebur dalam kecamatan dan atau desa. Artinya, terdapat beberapa distrik yang berubah menjadi kecamatan dan ada satu distrik yang dimekarkan menjadi beberapa desa. Dengan berubahnya status distrik menjadi kecamatan dan atau desa maka ada perubahan status kokolohe. Perubahan status ini secara langsung menghapuskan kekayaan desa sehingga kemudian banyak kokolohe yang berubah menjadi tanah adat, tanah negara atau tanah yang dibagikan kepada warga masyarakat.

Dari latar belakang historis itu tampak bahwa kondisi kekayaan desa di Kabupaten Selayar berbeda-beda. Namun sebagian besar desa tidak memiliki kekayaan desa, baik berupa tanah atau pun alat produksi yang lain. Oleh karena itu, desa memerlukan bantuan anggaran yang besar agar dapat menjalankan fungsi pemerintahannya.

Restrukturisasi desa di Selayar terlihat dari munculnya Perda tentang desa yang mengamanatkan desa bukan hanya menjalankan fungsi administrasi tetapi juga fungsi pelayanan dan pembangunan. Perda tersebut ditindaklanjuti dengan mengamanatkan perimbangan keuangan desa-kabupaten.

Hampir mirip dengan Kabupaten Selayar, kebijakan Kabupaten Jayapura melahirkan ADD merupakan tindakan kongkrit untuk mempercepat proses pembangunan di daerah, terutama pada wilayah pedesaan. Pemaknaan otonomi daerah sebagai agenda untuk menghidupkan fungsi desa sebenarnya muncul juga di seluruh wilayah Papua sebagai konsekuensi dari terwujudnya otonomi khusus di wilayah ini. Perbedaan antara Papua dengan daerah-daerah lain bukan semata terletak pada kondisi geografis maupun sosio-kulturalnya, melainkan juga pada kebijakan negara dalam memperlakukan Propinsi Papua. UU No. 21 Tahun 2001 memberikan status “otonomi khusus” kepada Propinsi Papua sebagai upaya untuk memperkuat integrasi Papua dalam NKRI, sekaligus untuk memberikan pengakuan atas eksistensi Papua (sosial budaya, struktur pemerintahan, sumberdaya alam, dan lain-lain), menghormati HAM bagi masyarakat Papua, maupun mewujudkan pemerintahan dan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Page 45: bukuADD

21KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

Meski di Papua terjadi pergolakan yang sengit dengan hadirnya Organisasi Papua Merdeka (OPM), tetapi wacana otonomi khusus memperoleh sambutan yang lebih luas, yang mereka yakini sebagai babak baru untuk mengakhiri ketidakadilan, diskriminasi dan marginalisasi yang menimpa rakyat Papua.

Otonomi khusus tentu telah memberikan kewenangan secara signifikan bagi Papua untuk mengelola rumah tangganya sendiri. Berbeda dengan format otonomi daerah versi UU No. 22/1999, otonomi khusus telah memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah propinsi, serta memperoleh perimbangan keuangan yang cukup proporsional. Pemerintahan daerah tidak hanya dimonopoli oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi, tetapi juga melibatkan Majelis Rakyat Papua yang keanggotaannya terdiri dari pemimpin adat, tokoh agama dan tokoh perempuan, yang kesemuanya adalah “orang asli” Papua. Di sisi lain, kabupaten/kota juga memperoleh keleluasaan dan keuangan yang memadai sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999.

Berbeda dengan Selayar dan Jayapura, ADD di Kabupaten Magelang yang dikenal dengan sebutan block grant muncul sebagai respon pemerintah daerah terhadap tuntutan Formas (Forum Masyarakat) yang anggotanya meliputi unsur pemerintahan desa, LSM, dan Perkasa (Persatuan Perangkat Desa). Tuntutan mereka ini mempertanyakan kebijakan pemerintah sekarang terhadap desa. Jika pemerintah Orde Baru memberikan bantuan ke desa, mengapa pemerintah sekarang tidak memberikan kepedulian yang semakin besar kepada desa?

Masalahnya bukan karena pemerintah sama sekali belum memberikan dana bantuan ke desa, tetapi pemerintah daerah telah memberikan dana-dana pembangunan melalui banyak “pintu“ yaitu dinas-dinas dan kantor yang ada di kabupaten yang kegiatannya berkaitan dengan desa. Masalah lainnya adalah dari pihak desa terus bermunculan proposal-proposal pembangunan desa ke pemerintah kabupaten. Oleh karenanya, kebijakan ADD di Kabupaten Magelang dilakukan dengan maksud untuk “menyatu-pintukan” dana-dana dari kabupaten kepada desa.

Kebijakan ADD di Kabupaten Magelang muncul juga karena mempertimbangkan adanya “Dana Aspirasi Masyarakat”. Dana ini bisa

Page 46: bukuADD

22 ALOKASI DANA DESA

dicairkan kepada masyarakat atas rekomendasi anggota DPRD sebesar Rp. 100 juta per anggota DPRD. Terhadap dana-dana ini, Pemerintah Kabupaten mempunyai niat untuk menghapuskannya karena menurut pengalaman, prioritas pemanfaatannya hampir selalu tidak sesuai dengan prioritas dan kebutuhan riil masyarakat. Pemanfaatan Dana Aspirasi Masyarakat yang hanya bisa dilakukan atas rekomendasi anggota DPRD cenderung bermuatan politis. Di beberapa desa, pemanfaatan dana ini dinyatakan cukup merepotkan (baca; membingungkan) pemerintah desa. Alasannya, seringkali tanpa sepengetahuan pemerintah desa dan BPD, suatu kegiatan pembangunan di desa dilaksanakan dan dibiayai, sementara banyak prioritas pembangunan desa yang lain tidak mendapatkan pembiayaan. Akhirnya, kepala desa dan BPD hanya bisa menerima saja kegiatan pembangunan itu daripada dananya dialihkan ke desa lain.

Implikasi yang diharapkan atas pertimbangan-pertimbangan ini, yaitu menyatu-pintukan dana-dana pemerintah kabupaten kepada desa, di mana di tingkat desa telah diberikan berbagai acuan dasar yaitu Perda-perda tentang desa. Pemerintah kabupaten mengharapkan munculnya Otonomi Desa secara lebih baik. Desa diharapkan mampu mengatur pembangunan dan tata kehidupan masyarakatnya sendiri sesuai dengan koridor-koridor hukum yang ditetapkan oleh kabupaten.

Pihak-pihak lain yang turut mendorong lahirnya kebijakan ADD di Kabupaten Magelang adalah Perkasa, yaitu Asosiasi atau Perkumpulan Kepala Desa se-Kabupaten Magelang serta adanya juga dorongan dari Program Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD) dan Program Dasar Pembangunan Partisipatif (PDPP).

Kebijakan ADD di Kabupaten Magelang menggunakan judul Perimbangan Keuangan Kabupaten dan Desa. Judul Perda ini mengadopsi judul dan dasar pemikiran UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Oleh karenanya, di dalam Perda No. 8/2004 Bab II pasal 2 dinyatakan bahwa Sumber DAU (Dana Alokasi Umum) Desa meliputi: (a) Bagian dari Penerimaan Pajak Daerah, (b) Bagian dari penerimaan Retribusi Daerah tertentu, dan (c) Bagian dari penerimaan Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima pemerintah kabupaten. Selanjutnya pada pasal 8 dinyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten dapat memberikan DAK

Page 47: bukuADD

23KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

(Dana Alokasi Khusus) Desa bagi desa-desa tertentu untuk membiayai kegiatan yang sudah ditentukan pemerintah kabupaten.

Munculnya kebijakan ADD sebagai tuntutan dari bawah nampak lebih menonjol di Kabupaten Sumedang daripada di Magelang, khususnya dari para penyelenggara pemerintahan desa, baik kepala desa maupun anggota BPD. Sejak tahun 2000 sampai 2001, masyarakat Sumedang sering melakukan unjuk rasa kepada Pemerintah Kabupaten dan DPRD, untuk menyampaikan aspirasi yang menyangkut upaya peningkatan dan perbaikan masyarakat Desa.

Bupati Sumedang saat itu Drs. H. Misbach, sangat responsif terhadap aspirasi masyarakat yang muncul dan meminta jajaran di eksekutif melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi masyarakat desa. Sebelum kebijakan Pemda dirumuskan, diselenggarakan pertemuan informal antara Bupati dengan DPRD yang dimaksudkan untuk menyamakan persepsi tentang perumusan masalah, penentuan alternatif kebijakan dan pokok-pokok substansi yang akan dirumuskan dalam kebijakan pemerintah daerah.

Setelah Perda-perda tentang Pengaturan Desa disepakati dan diundangkan, di kalangan eksekutif dan legislatif muncul pikiran-pikiran tentang Otonomi Desa. Pikiran-pikiran tersebut diawali dengan pengalaman singkat dari implementasi otonomi daerah. Kalau pemerintah telah melakukan Otonomi Daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal, maka Eksekutif dan Legislatif di Kabupaten Sumedang juga berpikiran positif tentang desentralisasi fiskal kabupaten ke desa. Mereka sepakat bahwa bila desa telah kuat maka kabupaten pun akan kuat, dan untuk itu perlu ada perimbangan keuangan antara kabupaten dengan desa/kelurahan. Melalui Dana Perimbangan Desa akan muncul Penguatan Lembaga Pemerintahan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan di desa/kelurahan, dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Kebijakan ADD di Sumedang menetapkan beberapa kesepakatan. Pertama, Dana Perimbangan Desa (DPD), sekurang-kurangnya sebesar 10% dari Pendapatan Asli Daerah + (Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah setelah dikurangi gaji Pegawai/PNS) + Bagi hasil pajak Propinsi. Kedua, diupayakan jumlah DPD meningkat nilai/jumlah rupiahnya setiap tahunnya. Ketiga, Bupati membuat rambu-rambu dalam pelaksanaannya setiap tahun.

Page 48: bukuADD

24 ALOKASI DANA DESA

Setelah Dana Perimbangan Desa ditetapkan dalam Peraturan Daerah, dampak yang terjadi pada saat itu menurut DPRD adalah: (1) unjuk rasa masyarakat mulai menurun, (2) iklim demokratisasi berkembang, (3) peningkatan prakarsa masyarakat dalam berbagai segi secara umum semakin baik, dan (4) surat-surat dari masyarakat yang ditujukan kepada DPRD semakin banyak terutama yang menyangkut kepemimpinan kepala desa dan ketidaktepatan penggunaan DPD.

Hampir sama dengan di Sumedang, ADD di Tuban muncul sebagai akibat tuntutan dari bawah yang kuat dengan melibatkan peran LSM. Kebijakan ADD di Tuban lebih di kenal sebagai PPM (Program Pemberdayaan Masyarakat) lahir melalui proses yang panjang sehingga sampai pada sebuah kristalisasi ide dan komitmen dari berbagai stakeholder seperti eksekutif, legislatif dan LSM maupun sebagai hasil dari berbagai pengalaman empirik oleh pelaku-pelaku program pemberdayaan masyarakat desa/miskin seperti FLP (Forum Lintas Pelaku) dan lain sebagainya.

Meskipun peran masyarakat dan LSM sangat signifikan di dalam memunculkan kebijakan tentang ADD di Tuban, tetapi patut dicatat bahwa kebijakan itu juga lahir karena semangat pemerintah daerah untuk memaknai UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 sebagai bagian yang penting di dalam mewujudkan otonomi desa yang lebih baik. Semangat Pemerintah Daerah Tuban dalam konteks ini sama seperti Pemerintah Kabupaten Selayar, Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Jayapura.

Perhatian Pemda Tuban terhadap pelaksanaan otonomi daerah nampaknya sangat serius khususnya dalam konteks otonomi desa. Pada tataran yuridis keseriusan ini terlihat dengan diterbitkannya 13 buah Perda yang khusus mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan desa. Kemudian dalam rangka mendukung keuangan desa dan sebagai wujud menciptakan adanya rasa keadilan antara Pemda dan desa telah ditetapkannya 2 buah Perda, yaitu Perda No. 7/2003 tentang Bagian Desa dari hasil penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah kemudian Perda No. 6/2004 tentang Bagian Desa dari hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan. Pada tataran implementasi, keseriusan Pemda terlihat melalui penyediaan sejumlah dana untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pembangunan dan penguatan kelembagaan desa/

Page 49: bukuADD

25KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

kelurahan melalui apa yang disebut dengan Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang efektif pelaksanaannya sejak tahun 2001.

Pijakan Pemda Tuban dalam upaya memperkuat posisi desa khususnya dalam rangka memperlancar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa didasarkan pada Renstra Kabupaten 2001-2006. Kendatipun kekuatan hukum Renstra di bawah Perda, namun posisi Renstra dalam kebijakan pembangunan di Tuban cukup kuat dalam menentukan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijaksanaan, program dan kegiatan karena Renstra tersebut mengacu pada Perda No. 27/2001.

Renstra Kabupaten Tuban terdiri dari dua kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung mengutamakan pemberdayaan desa. Kebijakan yang pertama adalah di bidang pembangunan, ketentraman masyarakat dan ketertiban umum dengan fokus pada program pengentasan kemiskinan melalui pola pemberdayaan masyarakat. Dan yang kedua yaitu kebijakan di bidang politik, pada sub bidang pemerintahan desa dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat melalui percepatan pembangunan pedesaan. Berdasarkan pada kedua kebijakan tersebut Pemda Tuban melalui Surat Bupati mengeluarkan pedoman pelaksanaan PPM yang setiap tahunnya mengalami penyesuaian. Munculnya dua kebijakan antara pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat sebagai dua isu yang saling terkait mengungkapkan kuatnya komitmen Pemda untuk menguatkan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakatnya.

Akhirnya tidak dapat dimungkiri bahwa kebijakan ADD di enam kabupaten penelitian merupakan buah atas prakarsa dari para pengambil kebijakan terutama adalah bupatinya. Hampir semua kebijakan ADD merupakan produk inisiatif para bupati. Di Kabupaten Limapuluh Kota, bupatinya dikenal sebagai pakar tentang sosiologi nagari. Ia mempromosikan ADD dalam konteks reinventing nagari governance. Ia merumuskan tentang formula dana bagi hasil dan dana alokasi umum untuk nagari. Dia juga yang mengembangkan konsep pembangunan nagari dari tahap instalasi dalam bentuk pembangunan fisik sampai dengan tahap pemberdayaan sumberdaya manusia. Ia melihat bahwa Dana Bagi Hasil dan DAUN akan mampu mengantarkan proses pemberdayaan nagari itu menuju self governing community sekaligus menjalankan fungsi pelayanan yang diserahkan oleh kabupaten.

Page 50: bukuADD

26 ALOKASI DANA DESA

Bupati Jayapura, Habel M Suwae, misalnya, termasuk aktor yang visioner dan kritis terhadap otonomi khusus bagi Papua. “Otonomi khusus tidak ada artinya kalau tidak membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat. Otonomi harus bermanfaat untuk rakyat, karena rakyat adalah pemegang saham terbesar bagi republik ini, dan kami semua ini bekerja untuk rakyat”, demikian tutur Bupati Jayapura (Wawancara, Kamis 16/09/2004). Tetapi di pihak lain, pemerintah provinsi dan kabupaten-kabupaten lain tidak merespon isu “otonomi untuk rakyat” itu. Kabupaten Jayapura seperti melangkah sendirian untuk mewujudkan gagasan otonomi untuk rakyat. Bupati Jayapura menelurkan kebijakan “gila” dan populis dalam bentuk alokasi dana sebesar 1 milyar rupiah untuk distrik yang dibingkai dengan Program Pemberdayaan Distrik (PPD). Secara politik kebijakan ini merupakan respon cepat terhadap transisi otonomi khusus, yakni menyambut eforia masyarakat terhadap otonomi khusus dan mewujudkan stabilitas politik lokal di tengah-tengah pergolakan OPM di Papua (Wawancara dengan staf-staf Perform Papua dan Asisten II Sekda Kabupaten Jayapura, 14 dan 15 September 2004). Dalam konteks ini, Pemkab Jayapura menegaskan tiga alasan penting kelahiran PPD.

Pertama, PPD merupakan jawaban terhadap kebutuhan pemerataan pelayanan publik sampai ke level masyarakat bawah, sebab selama ini pelayanan publik cenderung bias kota dan akses masyarakat yang berada di pedalaman mengalami kesulitan serius. Pemda belum membayangkan terlalu jauh tentang dimensi keadilan dalam PPD yang selama ini menjadi persoalan serius bagi masyarakat Papua. “Pemerataan memang belum tentu menciptakan keadilan, tetapi kalau kita mencari keadilan berarti kita harus bertengkar terus-menerus”, demikian ungkap Asisten II Sekda, Purnomo, yang sebelumnya menjabat Kepala Bappeda yang mengawali peluncuran PPD di tahun 2002.

Kedua, PPD merupakan jawaban terhadap jangkauan dan rentang kendali yang terlalu jauh antara kabupaten dengan masyarakat di kampung. Apalagi kondisi geografis dan sosial Papua yang begitu luas sehingga mempersulit jangkauan transportasi, komunikasi dan akses masyarakat terhadap layanan publik. Selama ini diakui bahwa pihak dinas-dinas teknis di Kabupaten Jayapura tidak mengetahui persis dan tidak mampu menjangkau ke pelosok daerah, sehingga proyek-

Page 51: bukuADD

27KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

proyek sektoral (kesehatan, air bersih, perumahan, pendidikan dan lain-lain) hanya terkonsentrasi di kawasan kota. Dengan demikian, PPD dimaksudkan untuk mendekatkan jangkauan atau rentang kendali sekaligus untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Ketiga, PPD merupakan jawaban terhadap masalah dan kegagalan perencanaan pembangunan (bottom-up planning) yang selama ini diterapkan. Pemda Kabupaten Jayapura sadar betul bahwa mekanisme perencanaan dari bawah seperti itu tidak mungkin membuka akses partisipasi masyarakat karena jangkauannya yang jauh, dan tidak mungkin mengcover seluruh aspirasi (kebutuhan) dari bawah yang sudah dirumuskan di tingkat bawah karena pendekatan prioritas mau tidak mau harus melakukan pemotongan aspirasi dari bawah. Banyak pihak menyadari bahwa usulan dari bawah sering mengalami distorsi dan manipulasi sehingga tidak naik ke atas, apalagi masing-masing dinas teknis di kabupaten selalu berebut proyek ketika menggelar forum Rakorbang bersama Bappeda.

Bupati Selayar juga pemrakarsa ADD yang sangat fantastis. Hal ini karena dialah yang berani mengajukan besarnya ADD senilai 10% dari dana DAU. Angka ini sangat tinggi dan dikhawatirkan pemerintah akan kedodoran. Namun demikian kebijakan ini bisa direalisasikan karena dia mengembangkan kebijakan zero growth untuk penambahan PNS di daerahnya.

Bupati Sumedang juga muncul sebagai tokoh penting terhadap lahirnya DPD karena ia responsif terhadap tuntutan masyarakat. Terutama sejak tahun 2000-2001, masyarakat Sumedang sering melakukan unjuk rasa kepada pemerintah kabupaten dan DPRD, untuk menyampaikan aspirasi yang menyangkut upaya peningkatan dan perbaikan masyarakat Desa. Bupati Misbach, kemudian menyerap aspirasi masyarakat yang muncul dan meminta jajaran di eksekutif melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi masyarakat desa.

2. Konteks Kelahiran ADD Ideal versus AktualProses politik yang menentukan kelahiran ADD di enam kabupaten di

atas merupakan sesuatu yang ideal. Hal ini karena proses politik tersebut mengungkapkan langkah yang positif dalam kerangka mengemban dan mengisi desentralisasi pemerintahan. Jika dicermati, terdapat beberapa

Page 52: bukuADD

28 ALOKASI DANA DESA

hal yang mengemuka. Pertama, responsivitas pemerintah kabupaten terhadap kebijakan pemerintah pusat yang mengamanatkan undang-undang. Responsivitas mereka itu tidak berhenti pada penyusunan regulasi yang mengatur tentang desa, tetapi sampai dengan menelurkan kebijakan yang menjamin desa bisa menjalankan otonomi yang diembannya. Kedua, pemerintah kabupaten meletakkan desentralisasi bukan berhenti di wilayahnya tetapi sampai ke tingkat desa sehingga desentralisasi yang diembannya lebih responsif dengan tuntutan desa dan masyarakat luas yang menuntut kepercayaan lebih besar untuk ikut mengelola jalannya kebijakan dan program pemerintahan. Ketiga, kebijakan ADD di beberapa daerah mencerminkan adanya semangat partisipasi yang tinggi, sehingga kebijakan itu seperti nanti akan dilihat dalam konteks pemanfaatannya, menunjukkan besarnya fungsi yang positif bagi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat desa. Hal yang terakhir, kelahiran ADD di beberapa kabupaten menunjukkan bahwa masih ada elite daerah yang dekat dengan rakyat karena mereka bukan sekedar melahirkan kebijakan yang populer melainkan juga sebuah kebijakan yang populis.

Meskipun enam kabupaten telah menjalankan kebijakan ADD, tetapi pada masa berlakunya UU No. 22/1999 masih banyak kabupaten yang tidak melaksanakannya. Realitas empiris ini mengundang pertanyaan tentang masalah apa yang dihadapi mereka sehingga tidak menelurkan kebijakan yang populis tersebut. Nampaknya sumber masalah bukan terletak pada kecilnya APBD dan PAD karena enam kabupaten yang diteliti itu memiliki APBD yang bervariasi dan ada yang kecil pula termasuk juga PADnya. Sumber masalahnya terletak pada tidak adanya komitmen yang besar untuk memperkuat demokrasi dan otonomi desa. Komitmen ini hanya akan tumbuh kalau pemerintah daerah menyadari bahwa amanat UU No 22/1999 dengan PPnya telah memberikan arahan untuk mewujudkan kebijakan ADD.

Kesadaran kritis para pengambil kebijakan di kabupaten untuk menelurkan ADD itu sangat tergantung pula dari ada tidaknya eforia reformasi di daerah. Ketika eforia reformasi diletakkan sebagai romantisme kedaerahan, pembelaan terhadap kelompok yang tertinggal dalam pembangunan, dan dorongan yang kuat mewujudkan pemerintahan yang lebih baik daripada masa Orde Baru, maka jalan menuju lahirnya

Page 53: bukuADD

29KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

ADD semakin mulus sebagaimana terjadi di enam kabupaten penelitian ini.

Perkembangan yang muncul di daerah adalah kuatnya semangat kedaerahan tanpa memberikan kepedulian yang besar terhadap basis masyarakatnya yang berada di wilayah pedesaan. Kepedulian itu memang perlu didukung oleh tradisi budaya seperti di Minangkabau yang meletakkan nagari sebagai basis sosial dan politik di daerah. Akan tetapi, di beberapa daerah kesadaran atas pembelaaan terhadap kelompok yang lemah dan tertinggal seperti penduduk desa pada umumnya bisa muncul. Hal ini tidak lepas dari iklim politik yang kondusif seperti munculnya LSM dan para elite yang populis.

Berpijak dari konteks kelahirannya, dapat ditarik kesimpulan bahwa ADD akan menjadi kebijakan yang diterapkan di semua daerah di Indonesia bila didorong melalui regulasi dari negara yang kredibel. Begitu banyak daerah yang pasif sehingga tidak ada jeleknya lahir sebuah kebijakan afirmatif dari pemerintah untuk diindahkan. Kebijakan afirmatif bukan mendiktekan, melainkan memberikan tekanan tentang pentingnya kebijakan mengenai ADD dicanangkan dan dikembangkan di daerah dalam kerangka mewujudkan otonomi daerah dan desa.

B. Substansi ADD1. Istilah ADDADD di kabupaten penelitian mempunyai istilah yang beragam (lihat

Tabel 6). Di Kabupaten Limapuluh Kota, anggaran itu disebut Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Nagari. Dalam buku ini disebut dengan kependekan DBH-BKN, atau dengan istilah DAUN (Dana Alokasi Umum Nagari), sebuah istilah yang lazim dipakai dan populer di Kabupaten Limapuluh Kota. Di Sumedang, ADD disebut Dana Perimbangan Desa (DPD). Di Magelang disebut DAU Desa, atau dikenal luas dengan Block Grant karena pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada desa. Di Tuban disebut Proyek Pemberdayaan Desa (PPM). Selayar menyebutnya Dana Alokasi Umum Desa (DAU Desa), seperti Magelang. Kabupaten Jayapura menyebutnya Program Pemberdayaan Distrik dan di tingkat bawahnya sering disebut proyek pemberdayaan kampung.

Page 54: bukuADD

30 ALOKASI DANA DESA

Tabel 6Istilah ADD di Enam kabupaten Penelitian

No. Nama Kabupaten Istilah ADD Sumber Regulasi

1. Limapuluh Kota DBH-BKN = Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuan-gan Nagari

Perda tentang pemerin-tahan nagari; SK Bupati

DAUN = Dana Alokasi Umum Nagari

Idem

2. Sumedang DPD = Dana Perimbangan Desa

Perda tentang pemerin-tahan desa; SK Bupati

3. Magelang DAU Desa = Dana Alokasi Umum Desa

SK Bupati dan Perdanya

4. Tuban PPD= Proyek Pemberday-aan Desa

SK Bupati

5. Selayar DAU Desa = Dana Alokasi Umum Desa

SK Bupati

6. Jayapura PPD = Proyek Pemberda-yaan Distrik

SK Bupati

Dari segi substansinya, ADD di enam kabupaten tersebut diinspirasi oleh kebijakan Dana Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah (DAU) yang dilandasi dengan UU No. 25/1999. Secara umum ada tiga alasan yang dijadikan argumen kebijakan transfer fiskal antar pemerintahan tersebut, yaitu untuk menutupi kesenjangan fiskal, untuk mewujudkan pemerataan, dan alasan eksternalitas. Di enam daerah penelitian, lima diantaranya lebih didasari oleh alasan mewujudkan pemerataan, kecuali di Kabupaten Jayapura, transfer fiskal ke distrik yang selain alasan pemerataan juga didasari oleh alasan eksternalitas, adanya otonomi khusus dan menyambut eforia masyarakat di tengah-tengah pergolakan OPM.

Sejak kelahirannya di masing-masing kabupaten, ADD merupakan dana yang dialokasikan secara rutin dengan diambilkan dari APBD. Tabel 7 memperlihatkan bahwa setiap daerah mempunyai kebijakan yang berbeda tentang besarnya ADD dari APBDnya. Secara kuantitatif Jayapura mengalokasikan dana tertinggi disusul Tuban dan Selayar tetapi secara proporsional dari besarnya APBD, posisi tertinggi ditempati Selayar, Magelang dan Jayapura.

Besarnya angka ADD di setiap kabupaten sangat dipengaruhi

Page 55: bukuADD

31KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

oleh pandangan bupati dan kepeduliannya terhadap pembangunan di pedesaan. Semua bupati menyatakan sangat peduli dan berusaha untuk meningkatkan ADD setiap tahunnya. Namun mereka juga menghadapi persoalan banyaknya pegawai dan belanja rutin yang tinggi sehingga angka ADD masih relatif kecil. Selayar melakukan langkah yang spektakuler guna meningkatkan besarnya ADD, yaitu menekan agar pertumbuhan jumlah pegawai tidak ada (zero growth).

Tabel 7Besarnya ADD dan Persentase ADD dari APBD

di Enam Kabupaten Penelitian Tahun 2004No. Nama Kabupaten dan

Besarnya ADD (dalam M)Persentase ADD dari APBD/DAU

1. Limapuluh Kota (10 M) 4.7 dari APBD

2. Sumedang (9.76 M) 2.4 dari APBD

3. Magelang (19 M) 6.0 dari DAU

4. Tuban (20 M) 4.9 dari APBD

5. Selayar (13 M) 8.90 dari APBD atau 10 dari DAU

6. Jayapura (24 M) 5.38 dari APBD

2. FormulaFormula di sini diartikan sebagai sebuah rumusan yang berisi tentang

indikator dan bobot dari masing-masing indikator untuk menentukan besar kecilnya ADD ke setiap desa. Formula seperti ini tidak menentukan besarnya total ADD setiap tahun yang diterima oleh seluruh desa. Besarnya total ADD ke seluruh desa ditentukan oleh Pemkab dengan berpedoman pada APBD. Dalam setiap APBD dialokasikan ADD dan untuk pos anggaran relatif masih kecil, walaupun pihak kabupaten dapat berargumentasi bahwa angkanya sudah besar dan proporsional. ADD di Selayar nampaknya paling besar karena besarnya adalah 10% dari APBD. Di kabupaten lain besarnya bervariasi antara 5-10% dari APBD setelah dikurangi belanja rutin gaji pegawai.

Formula yang dituangkan di sini, boleh jadi dapat mengindikasikan besarnya ADD yang akan diterima oleh Desa, karena formula itu terbagi menjadi dua, yaitu bantuan dan bagi hasil. Untuk formula Bagi Hasil seperti pajak, maka desa dapat memperkirakan besarnya nilai rupiah Bagi Hasil sesuai dengan besarnya pajak dikumpulkan dari masyarakat

Page 56: bukuADD

32 ALOKASI DANA DESA

desanya. Akan tetapi, untuk formula Bantuan, Desa hanya akan mengetahui besarnya proporsi bantuan yang diterima sesuai dengan indikator dan bobotnya, bukan angka riil nilai rupiahnya. Besarnya nilai rupiah yang akan diterima akan diketahui setelah pihak kabupaten mempunyai APBD dan menentukan besarnya total ADD yang akan diberikan ke seluruh desa.

Formula dibuat dengan menggunakan sejumlah indikator. Setiap Kabupaten membuat indikator yang beragam di dalam menyusun fomula sesuai dengan pemahaman tentang isu dan masalah yang penting untuk dipecahkan di tingkat desa melalui instrumen ADD tersebut.

Kabupaten Limapuluh Kota menempatkan DAUN sebagai bantuan untuk mempercepat pembangunan dan di nagari dengan mempertimbangkan problem geografis dan kedekatan dengan pusat pertumbuhan ekonomi yang selama ini masih terkonsentrasi di ibukota kabupaten. Karena itu untuk Indikator DAUN, yaitu bantuan murni untuk pembangunan nagari, maka yang dipakai untuk indikator adalah: (1) Jumlah penduduk, (2) Jumlah keluarga miskin, (3) Jarak nagari ke ibukota kabupaten, (4) Jumlah jorong, dan (5) Luas wilayah nagari. Adapun indikator untuk Bantuan murni untuk belanja rutin nagari adalah: (1) Jumlah jorong, (2) Jarak nagari ke ibukota kabupaten, dan (3) Jumlah penduduk.

Sementara itu indikator Bagi Hasil untuk nagari dan dana yang diterima dapat dipakai untuk pembangunan atau rutin. Indikator tersebut adalah: (1) Target dan realisasi PBB, (2) Jumlah penduduk, dan (3) Luas wilayah nagari.

Tidak ada bobot yang berlainan antar indikator, setiap indikator mempunyai skor yang sama. Kabupaten menetapkan komposisi besarnya DBH-BKN antar tiga sumber penerimaan nagari tersebut, yaitu 60% DAUN, 23% rutin dan 17% Bagi Hasil. Pengaturan proporsi bantuan itu setiap nagari dapat menerima dana yang besar bila memiliki skor yang tinggi untuk indikator DAUN, rutin dan bagi hasil.

plafonxKabupatenseNagariRatioΣ

NagariRatioNagarimasing-masinguntukDAUN =

Dengan rumus tersebut, ternyata memberikan perbedaan besarnya bantuan yang cukup menonjol antar nagari. Oleh karena itu, banyak

Page 57: bukuADD

33KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

nagari yang mendapatkan DAUN yang rendah tidak puas padahal kebutuhan dana pembangunan dari DAUN cukup besar. Pada tahun 2004, misalnya DAUN yang mengalir ke nagari bervariasi antara Rp 70–150 juta. Namun demikian formula seperti itu bisa menolong nagari yang jauh dari ibukota kabupaten, penduduknya padat dan diikuti dengan jumlah penduduk miskin yang tinggi.

Berbeda dengan Limapuluh Kota, Sumedang menggunakan tiga instrumen dasar yang diambil dari Profil Desa/Kelurahan, yaitu: (1) Indeks Kesehatan Masyarakat, (2) Indeks Pendidikan Masyarakat, dan (3) Indeks Ekonomi Desa/Kelurahan. Ketiga indikator di atas digunakan untuk menentukan bobot desa yang proporsinya sebesar 30%, sedang yang 70% diperhitungkan merata untuk semua desa.

Rumus DPD di kabupaten ini pada tahun 2004 memperlihatkan aspek pemerataan dan keadilan bagi setiap desa. Rumus tersebut adalah:

Keadilan)dann(PemerataaDPDiRumus3

EDiPDiKMi-100

Keadilan)dann(PemerataaDPDiRumusIPDiDPDi

+++

=

+=

Dalam menentukan besarnya DPD ke setiap desa pada tahun 2004 untuk memenuhi aspek pemerataan dan keadilan sebesar 70%, maka rumusannya adalah:

Tangga}RumahBobotx)10%xPPJ(}DesaBobotx)10%xBHPP{(PBB}Bobotx50%)x10%xSKBPBB{(PD}Bobotx)50%x10%xPD{(R

269%}]SKBx10%x50{PBB%}{PDx10%x5010%} x{BHP/BPPeg.)x10%}Gaji-[{(DAUDPDi

++++

+++=

Keterangan:DPDi : Dana Perimbangan Desa Ke-iIPDi : Indek Perkembangan Desa pada Desa/Kelurahan Ke-iKMi : Indek Kesehatan Masyarakat pada Desa/Kelurahan Ke-iPDi : Indek Pendidikan Desa pada Desa/Kelurahan Ke-iEdi : Indek Ekonomi Desa pada Desa/Kelurahan Ke-iDAU : Dana Alokasi UmumBHP/BP : Bagi Hasil Pajak/ Bukan PajakPD : Pajak DaerahPBB SKB : Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan PedesaanBHPP : Bagi Hasil Pajak ProvinsiPPJ : Pajak Penerangan Jalani : Nama Desa/Kelurahan Ke-i ( i = 1, 2, ..., 269)

Page 58: bukuADD

34 ALOKASI DANA DESA

Kabupaten Sumedang hampir mirip dengan Magelang, karena keduanya memperhatikan aspek pemerataan. Indikator yang dipakai di Magelang adalah: (1) Luas wilayah, (2) Jumlah penduduk tahun sebelumnya, (3) Jumlah KK miskin tahun sebelumnya, (4) Keterjangkauan desa, (5) Potensi desa tahun sebelumnya, (6) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun sebelumnya, dan (7) Luas tanah desa yang diolah untuk pertanian, peternakan, perikanan, dll.

Indikator tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan bobot desa yang menjadi dasar berapa dana yang diterima oleh desa bersangkutan, 75% rata dan 25% tertimbang. Proporsi nilai rerata yang mencapai 75% ini memungkinkan dana yang diperoleh antar desa tidak begitu variatif.

Kebijakan Sumedang dan Magelang menekankan jumlah ADD yang relatif merata antar desa masuk akal karena umumnya desa-desa di kabupaten ini mempunyai karakter yang tidak jauh berbeda dan mereka relatif telah terbuka dan jarak ke ibukota kecamatan dan kabupaten pun kalau jauh bisa diakses dengan mudah menggunakan kendaraan umum.

Adapun formula perhitungan DAU Desa (ADD) ke desa di Magelang adalah sebagai berikut:

BT) x(BDiRTDesaDAU +=

Keterangan :DAU Desa : Besaran DAU masing-masing desa RT : Besaran bantuan rata-rata masing-masing desaBDi : Bobot suatu desaBT : Alokasi bantuan secara tertimbang

Dengan rumus itu, maka setiap desa pasti menerima bantuan minimum kemudian baru diberikan bantuan yang berbeda sesuai dengan bobot seluruh indikator formulanya yang dikalikan dengan besarnya alokasi bantuan tertimbang yang ditetapkan oleh pihak kabupaten.

Bobot suatu desa diperhitungkan dari kebutuhan desa, potensi desa, insentif desa, dan tanah desa. Khusus mengenai kebutuhan desa diperhitungkan dari luas wilayah, jumlah penduduk. Jumlah Kepala Keluarga (KK) miskin, dan keterjangkauan desa. Adapun perhitungan yang rinci mengenai Bobot suatu Desa (BDi) mengikuti rumus sebagai berikut :

Page 59: bukuADD

35KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

ITDia4IIDia3IPDia2IKDia1BDi +++=

Atau secara lebih rinci lagi diuraikan demikian:

ITDia4IIDia3IPDia2IKTJi)b4IJPMib3IJPib2ILWib1(a1BDi ++++++=

Keterangan:BD i : Bobot Desa iIKD i : Indeks Kebutuhan Desa i, yang selanjutnya diuraikan:ILW i : Indeks Luas Wilayah Desa i, dihitung: Luas Wilayah Desa i dibagi total luas wilayah seluruh desa se-Kab. MagelangIJP i : Indeks Jumlah Penduduk Desa i, dihitung: Jumlah Penduduk Desa i dibagi total jumlah penduduk seluruh desa se-Kab. MagelangIJPM i : Indeks Jumlah Penduduk (KK) Miskin Desa i, dihitung: Jumlah KK Desa i dibagi total jumlah KK seluruh desa se-Kab. MagelangIKTJ i : Indeks Keterjangkauan Desa i, dihitung: Skor Keterjangkauan Desa i dibagi total skor keterjangkauan seluruh desa se Kab. Magelang, atau {(0,6 x jarak Desa ke Kabupaten) + (0,4 x jarak Desa ke Kecamatan)} dibagi total skor keterjangkauan seluruh desa se Kabupaten Magelang

b1, b2, b3, b4 = bobot masing-masing indeks dalam perhitungan IKD ib1, b2, b3, b4 = 1

IPD i : Indeks Potensi Desa i, dihitung: Skor potensi Desa i dibagi total skor potensi seluruh desa se Kab. Magelang, atau, (Pokok PBB Desa i dibagi luas wilayah Desa i) dibagi (total skor potensi seluruh desa se Kab. Magelang)IID i : Indeks Insentif Desa i , dihitung: Skor insentif Desa i dibagi total skor insentif seluruh desa se Kab. Magelang, atau, (Realisasi Pemasukan PBB Desa i dibagi Pokok PBB Desa i) dibagi (total skor insentif seluruh desa se Kab. Magelang)ITD i : Indeks Tanah Desa i , dihitung: Skor tanah Desa i dibagi total skor tanah seluruh desa se Kab. Magelang a1, a2, a3, a4 = bobot masing-masing indeks dalam penghitungan BD i a1, a2, a3, a4 = 1

Besaran bobot masing-masing indeks (b1, b2, b3, b4) dalam penghitungan In-deks Kebutuhan Desa i (IKD i) dan besaran bobot masing-masing indeks (a1, a2, a3, a4) dalam penghitungan Bobot Desa i (BD i) masih harus ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Page 60: bukuADD

36 ALOKASI DANA DESA

Kabupaten Tuban menggunakan delapan indikator, dan salah satu indikator yang menarik adalah partisipasi dalam program tahun yang lalu. Kedelapan indikator itu adalah: (1) luas wilayah, (2) jumlah penduduk, (3) jumlah penduduk miskin, (4) keterjangkauan, (5) indikator pendapatan desa, (6) adanya program lain, (7) indikator kelunasan PBB, dan (8) partisipasi masyarakat pada program tahun sebelumnya.

Kedelapan indikator di atas digunakan untuk menetapkan bobot dan nilai proporsi desa yang ditetapkan berdasarkan kuesioner yang disebarkan oleh Tim Koordinasi Pelaksana Program (TKPP). Yang menarik di Tuban, indikator ini selalu berubah dari tahun ke tahun. Pada awalnya hanya tiga indikator, luas wilayah, jumlah penduduk dan keterjangkauan, tahun 2002 menjadi 7 indikator, dan tahun 2003-2004 menjadi 8 indikator. Setiap indikator mempunyai bobot berbeda.

Hampir mirip dengan Tuban, Kabupaten Selayar menggunakan empat indikator untuk menentukan besarnya dana alokasi umum desa, meliputi (1) Luas wilayah; (2) Jumlah penduduk; (3) Kondisi geografis desa; dan (4) Pertumbuhan ekonomi desa. Keempat indikator tersebut, seperti halnya Kabupaten Magelang, selanjutnya dipergunakan untuk menentukan bobot desa. Kabupaten Selayar memiliki rumus yang mudah untuk menentukan besarnya ADD ke setiap desa, sebagaimana di bawah ini.

DesaseluruhBobotJmlYbsDesaBobotxDesasemuaDAUbagianJumlahDesaPenerimaan

Penetapan perhitungan DAU di Selayar berdasarkan bobot desa ini dilakukan oleh Panitia Perimbangan Keuangan Daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati yang diketuai oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Selayar dan anggotanya terdiri dari berbagai unsur Pemda. Masalah yang muncul dalam mengoperasionalkan formula adalah kelengkapan data. Di Selayar masalah indikator pertumbuhan ekonomi belum terukur dengan baik.

Page 61: bukuADD

37KONTEKS KELAHIRAN KEBIJAKAN DAN SUBSTANSI ADD

Tabel 8.Rumusan pembobotan ADD di kabupaten Selayar

Indikator atau variabel Indikator Bobot

Luas Wilayah a) s.d 1.000 Hab) 1.000 – 1.500 Hac) 1.500 – 2.000 Had) 2.000 Ha keatas

1234

Jumlah Penduduk a) s.d 1.000 Jiwab) 1.000 – 1.500 Jiwac) 1.500 – 2.000 Jiwad) 2.000 Jiwa keatas

1234

Kondisi Geografis a) Sangat rendahb) Mudahc) Sulitd) Sangat Sulit

1234

Pertumbuhan Ekonomi Desa 1

Berbeda dengan semua kabupaten di atas, Kabupaten Jayapura belum menggunakan indikator formula untuk menetapkan besarnya dana yang dibagikan ke Distrik. Semua Distrik menerima alokasi dana secara rata, masing-masing sebesar satu milyar.

Melihat dari beberapa indikator untuk menentukan bobot desa yang digunakan di enam kabupaten tersebut, terdapat empat kabupaten, yaitu Limapuluh Kota, Magelang, Selayar, dan Tuban yang menggunakan empat indikator sama, yakni luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, dan keterjangkauan. Di Selayar istilah keterjangkauan diterjemahkan dengan istilah kondisi geografis desa. Sedang Sumedang menggunakan indeks kesehatan, pendidikan, dan ekonomi desa. Ada dua daerah yang sama-sama menggunakan indeks ekonomi sebagai indikator menentukan besarnya dana desa, yakni Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Selayar. Namun di Kabupaten Selayar indeks ekonomi desa ini belum bisa digunakan karena kelemahan data pendukungnya, sehingga praktis di Selayar baru memakai tiga indikator untuk menentukan besarnya alokasi dana desa.

Sementara itu, tiga kabupaten, yaitu: Tuban, Limapuluh Kota, dan Magelang, menetapkan kemiskinan atau kesejahteraan masyarakat sebagai indikator untuk menentukan besarnya dana desa. Sumedang menetapkan kesehatan, pendidikan dan ekonomi desa sebagai ukuran besarnya Alokasi Dana Desa.

Page 62: bukuADD

38 ALOKASI DANA DESA

Apabila dilihat dari indikator yang digunakan oleh daerah dalam menentukan besarnya Alokasi Dana Desa, maka tampaknya sebagian besar daerah menggunakan indikator-indikator yang digunakan untuk program Jaring Pengaman Sosial (JPS), artinya prinsip saving yang diterapkan untuk menentukan besarnya transfer fiskal ke desa, semakin besar beban dan ketertinggalan desa semakin besar pula dana yang ditransfer. Hal ini menunjukkan bahwa alasan mewujudkan pemerataan membantu desa-desa yang tertinggal mendasari formula daerah dalam memberikan transfer dana ke desa.

Dalam FGD (diskusi kelompok terfokus), ditemukan bahwa masyarakat sering merasakan formula ADD di daerahnya terlalu rumit. Di Magelang misalnya, banyak kepala desa, anggota BPD dan tokoh masyarakatnya mengaku bingung meskipun pihak pemerintah kabupaten telah beberapa kali menjelaskan.

Page 63: bukuADD

39PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

Bab 4PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

A. Institusi Pengelola ADD Untuk mengawal kebijakan ADD pemerintah kabupaten

menyiapkan mekanisme kelembagaan sehingga dana ke desa itu dikelola secara terprogram, dan mendekati prinsip tata pemerintahan yang baik. Pertama-tama setiap kabupaten menetapkan tentang institusi yang diberi wewenang dan tugas untuk mengelola ADD, dan kemudian menetapkan tentang mekanisme penyusunan rancangan anggaran, dan penggunaan ADD.

Umumnya kebijakan ADD itu diimplementasikan dengan membentuk Kepanitiaan di tingkat kabupaten, sedangkan di tingkat desa diserahkan sepenuhnya kepada kepala desa atau yang setingkat. Studi ini menemukan 2 (dua) bentuk kepanitiaan Pengelolaan ADD, yaitu: (1) Kepanitiaan Kompleks, contohnya Kabupaten Limapuluh Kota, Sumedang, dan Tuban, dan (2) Kepanitiaan Sederhana, contohnya Kabupaten Magelang, Selayar, dan Jayapura. Dalam kepanitiaan yang secara nyata melibatkan masyarakat ditemukan di Kabupaten Selayar.

Masing-masing kepanitiaan (kompleks dan sederhana) memiliki kelebihan dan kekurangan. Proses pengambilan keputusan dan implementasi mengenai kebijakan dan pelaksanaan ADD berjalan relatif terkoordinasi tetapi memakan proses birokrasi yang panjang dan kurang efektif. Masalah kepanitiaan sering muncul ketika ada anggota

Bab

4 P

ELEM

BAG

AAN

KEB

IJAKA

N A

DD

Page 64: bukuADD

40 ALOKASI DANA DESA

yang berganti karena mutasi jabatan yang tidak ada revelansinya dengan ADD dan diganti dengan anggota baru yang kurang mendalami masalah ADD. Sebaliknya kepanitiaan yang sederhana bisa memudahkan proses pengambilan keputusan dan pelaksanaannya berjalan lebih efektif. Pihak kantor pemberdayaan yang sering diberi tugas menjadi organisator bisa bekerja maksimal dengan penuh tanggung jawab dan pihak atasannya tinggal memberikan pembinaan dan pengawasan.

Ada beberapa pertimbangan khusus atas disusunnya kepanitiaan kompleks. Di kabupaten Limapuluh Kota, banyak instansi pemerintah terlibat dalam kepanitiaan karena untuk memaksimalkan perhatian setiap jajaran dalam pemerintah daerah terhadap nagari dan menjamin bahwa pembangunan yang diserahkan kewenangannya kepada nagari tidak akan tumpang-tindih dengan yang akan dilaksanakan oleh dinas.

Secara organisatoris, paling berperan penting dalam kepanitiaan adalah Tim Pembina yang bertugas sebagai konseptor sekaligus pengelola dan pengawas dari kebijakan tentang DBH-BKN. Setiap anggota dalam Tim Pembina memiliki fungsi sendiri-sendiri sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi instansi masing-masing. Sebagai contoh, BPKD sebagai institusi yang memberikan otoritas dalam penggunaan anggaran, sedangkan Kantor PMN bertugas dalam penyaluran dan pelaporan DBH-BKN. Adapun tugas Tim Pembina dalam menyosialisasikan mekanisme pengelolaan dan pelaksanaan kepada seluruh nagari serta monitoring terhadap pelaksanaan DBH-BKN dilakukan bersama-sama oleh setiap anggota.

Meskipun posisi Sekretaris Daerah sebagai Ketua dari Tim Pembina, tetapi peranan Kantor PMN dalam mengkoordinasikan penyiapan dan pengelolaan DBH-BKN sangat tinggi. Untuk menunjang pelayanan kepada Nagari, Kepala Kantor PMN membentuk kelompok-kelompok kerja berdasarkan kecamatan-kecamatan yang beranggotakan para staf Kantor PMN. Dengan adanya sistem seperti ini, maka para Wali Nagari dapat secara jelas mengetahui siapa yang perlu dihubungi sewaktu mereka hendak melaporkan kegiatan atau sekedar berkonsultasi.

Lengkapnya berbagai instansi di Pemerintah Kabupaten yang berkepentingan terhadap penyiapan, pengelolaan sekaligus pengawasan DBH-BKN dalam keanggotan Tim Pembina di tingkat kabupaten ditambah kejelasan tentang tanggungjawab masing-masing, menjadikan Tim Pembina dapat bekerjasama dengan baik.

Page 65: bukuADD

41PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

Box 1Pengelola Kebijakan ADD di Kabupaten Limapuluh Kota

A. Tim Pembina di tingkat Kabupaten, yang beranggo-takan:1. Bupati (Penanggungjawab)2. Wakil Bupati (Wakil Penanggungjawab)3. Sekretaris Daerah (Ketua)4. Asisten I (Wakil Ketua 1) 5. Asisten II (Wakil Ketua 2)6. Kantor Pemberdayaan Nagari (Sekretaris)7. Bappeda (Anggota)8. Badan Pengelola Keuangan Daerah (Anggota)9. Badan Pengawas Daerah (Anggota)10. Kantor Satpol PP (Anggota)11. Dinas PU (Anggota)12. Bagian Tata Pemerintahan (Anggota)13. Bagian Hukum (Anggota)

B. Tim Pengendali di tingkat Kecamatan

C. Tim Pengelola/Pelaksana di tingkat Nagari, dengan struktur:1. Penanggungjawab : Wali Nagari2. Pemegang kas : Staf Wali Nagari3. Pemimpin Kegiatan : Staf Wali Nagari

Pada pengelolaan DBH-BKN, Kecamatan difungsikan sebagai Tim Pengendali yang memiliki tugas dalam melakukan bimbingan dan pembinaan kepada Pemerintah Nagari mulai dari proses perencanaan sampai dengan evaluasi. Selain itu, Tim Pengendali diharapkan menerima tembusan dari berbagai dokumen untuk kelengkapan pencairan dana DBH-BKN serta menyusun rekapitulasi laporan kemajuan kegiatan dan pelaporan keuangan DBH-BKN kepada Tim Pembina.

Susunan kepanitiaan di Sumedang jauh lebih kompleks karena pengelolaan ADD didukung oleh semua unsur dalam pemerintah di tingkat kabupaten. Untuk mempersiapkan pelaksanaan Peraturan Daerah No. 51 Tahun 2001, setiap tahun ditetapkan Keputusan Bupati tentang Pembentukan Tim Pembina Dana Perimbangan Desa (lihat Box 2).

Tim pembina itu bekerja dengan dibantu oleh sekretaris pelaksana yang dipegang oleh Kepala Bidang Pengembangan Ekonomi Masyarakat pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial

Page 66: bukuADD

42 ALOKASI DANA DESA

(BPEMS) dengan anggota (1) Kepala Sub Bidang Bantuan Pembangunan pada Bidang Pengembangan Ekonomi BPMKS, (2) Kepala Sub Bagian Perbendaharaan pada Bagian Keuangan Setda, (3) Kepala Sub Bagian Bina Pendapatan dan Kekayaan Desa pada Bagian Pemerintahan Desa Setda, (4) Kepala Sub Bagian Bina Perangkat Daerah pada Bagian Pemerintahan Setda, (5) Kepala Sub Bidang Pemerintahan, Penerangan dan Komunikasi pada Bidang Sosial dan Budaya Bappeda, (6) Kepala Seksi Pengelolaan Pendapatan Lain-lain pada Sub Dinas Perencanaan dan Pengendalian Dipenda, (7) Kepala Sub Bagian Peraturan Perundang-undangan pada Bagian Hukum Setda, dan (8) Sekretaris Dewan Pengawas PD BPR Kabupaten Sumedang.

Tim Pembina DPD Kabupaten yang didukung Sekretariat mempersiapkan bahan-bahan untuk penetapan Dana Perimbangan Desa. Penyiapan bahan dan materi dimulai sejak penampungan aspirasi yang berkembang pada musyawarah perencanaan/Diskusi UDKP di Kecamatan dan Rakorbang Kabupaten. Aspirasi tersebut disampaikan kepada Tim Eksekutif dan Tim Legislatif yang mempersiapkan Pra-APBD dan sekaligus melakukan pembahasan aspirasi awal terutama digunakan pada penentuan besar secara keseluruhan DPD, karena di dalam perda diatur sekurang-kurangnya 10%. Dengan demikian apabila usulan aspirasi masyarakat tinggi maka dimungkinkan besarnya lebih dari 10%. Namun hal ini terkait pula dengan rencana penerimaan keuangan daerah.

Kabupaten yang mengelola ADD dengan memakai Kepanitiaan sederhana mempunyai alasannya tersendiri. Kabupaten Magelang merupakan contoh paling menonjol mengenai pola kepanitiaan sederhana. Pemda tidak banyak mengatur pengelolaan kebijakan ADD, kecuali dalam hal mekanisme penggunaan dan pencairan. Pemda menempatkan ADD sebagai block grant sehingga tidak perlu mengontrol dan membinanya agar tidak mengurangi keleluasaan desa untuk memanfaatkan dana itu bagi kepentingannya. Pemda percaya bahwa desa mempunyai mekanisme kelembagaan yang bisa memanfaatkan dana itu sebaik mungkin. Namun demikian, pemerintah desa tetap diminta pertanggungjawabannya untuk mengindahkan koridor-koridor hukum yang ditetapkan oleh kabupaten. Oleh karena itu, desa hanya memerlukan sebuah acuan pengelolaan ADD yang relatif stabil dan tidak berubah-ubah.

Page 67: bukuADD

43PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

Box 2

Susunan Tim Pembina Kepanitian ADDdi kabupaten Sumedang

Penanggung Jawab

: Sekretaris Daerah Kabupaten Sumedang

Pengarah 1. Asisten Pemerintahan Setda Kabupaten Sume-dang;

2. Asisten Ekonomi dan Pembangunan Setda Kabu-paten Sumedang;

3. Asisten Administrasi Setda Kabupaten Sumedang;4. Kepala Bappeda Kabupaten Sumedang;5. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten

Sumedang.

Ketua : Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kese-jahteraan Sosial Kabupaten Sumedang

Sekretaris : Kepala Bidang Pengembangan Ekonomi Masyarakat pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kese-jahteraan Sosial Kabupaten Sumedang

Anggota : 1. Kepala Sub Dinas Perencanaan dan Pengenda-lian pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sumedang;

2. Kepala Bagian Keuangan Setda Kabupaten Sumedang;

3. Kepala Bagian Pemerintahan Desa Setda Kabu-paten Sumedang;

4. Kepala Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Sumedang;

5. Kepala Bidang Sosial dan Budaya pada Bappeda Kabupaten Sumedang;

6. Pimpinan Bank Jabar Cabang Sumedang;7. Sekretaris Dewan Pengawas PD. BPR Kabupaten

Sumedang;8. Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Sumedang.

Adapun di Kabupaten Tuban setiap tahun dikembangkan suatu mekanisme untuk persiapan pelaksanaan PPM yaitu dengan pembentu-kan tim pengelola kegiatan di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa, dan tugas tim ini mempersiapkan penetapan alokasi dana untuk masing-masing desa. Dalam pelaksanaannya Kantor PMD merupakan unit yang bertanggungjawab memeriksa persyaratan kelengkapan administrasi

Page 68: bukuADD

44 ALOKASI DANA DESA

desa sebelum dana dicairkan. Dengan demikian ADD atau dana PPM yang ada pada APBD Tuban berada dalam pos anggaran belanja publik kantor PMD.

Pengelolaan PPM berada di bawah pengelolaan sebuah Tim Koordinasi Pengelola Program (TKPP) terdiri dari tim pengarah yang diketuai Bupati Tuban dan tim pelaksana yang terdiri dari unsur Bappeda, kantor PMD, Bagian Pemerintahan, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kas Daerah, serta Dinas Kimpraswil. Tim koordinasi ini secara struktural dibentuk juga pada level kecamatan dengan nama Tim Pembina Kecamatan (TPK) dan pada level desa dengan nama Tim Pelaksana Kegiatan Desa (TPKD).

Kebijakan Pemda Tuban memungkinkan LSM setempat seperti Bina Swagiri bisa memberikan kontribusi bagi kinerja panitia PMD di tingkat desa. Kehadiran LSM bisa menunjang pada peningkatan capacity building para pengelola ADD dan mendorong partisipasi masyarakatnya.

Dibukanya akses bagi unsur non-pemerintah juga nampak dalam kepanitiaan di Selayar. Di kabupaten ini ada paling tidak empat pihak yang terlibat aktif, yaitu LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), BPD (Badan Perwakilan Desa), Aparat desa dan tokoh masyarakat. Secara umum, biasanya tokoh masyarakat diidentikkan dengan representasi warga di samping BPD. Hadirnya tokoh masyarakat ini membuka proses sosialisasi ADD dapat berjalan lebih baik dan meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga implementasi ADD tidak begitu elitis dikendalikan oleh unsur masyarakat yang menempati lembaga formal di desa.

Sementara di Kabupaten Jayapura, di tingkat distrik dibentuk organisasi pelaksana terdiri dari Penanggung Jawab Anggaran, Kepala Distrik, Pemegang Kas dan satu orang staf kantor Distrik. Tahapan pelaksanaan dimulai dengan menyusun petunjuk pengelolaan program, sosialisasi oleh kepala Distrik kepada para kepala kampung dan pelaksanaan kegiatan proyek/bantuan keuangan langsung kepada masyarakat.

Pola pelaksanaan proyek yang didanai dari dana pembangunan distrik itu dapat ditempuh dengan tiga jenis skema (cara). Pengelolaan proyek dapat dilakukan tanpa melalui mekanisme tender jika jenis pekerjaan tersebut tidak memerlukan spesifikasi teknis. Dalam hal ini kelompok warga dapat memperoleh kepercayaan menjadi pengelola

Page 69: bukuADD

45PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

proyek. Skema ini dikenal dengan swakelola masyarakat. Sebaliknya untuk proyek-proyek yang memerlukan spesifikasi teknis tertentu dan tidak bisa dikerjakan langsung oleh masyarakat, maka akan ditenderkan. Cara terakhir berupa bantuan tunai dan barang kepada masyarakat. Bantuan ini diberikan secara langsung oleh panitia dengan disaksikan publik dan diekspos media massa.

B. Prosedur Pendistribusian ADD ke DesaSelain menetapkan formula dan besarnya ADD ke setiap Desa,

Pemkab menetapkan prosedur distribusi dana ke desa dengan berbagai persyaratan yang diharapkan dapat menjamin terpenuhinya unsur akuntabilitas dan transparasi. Tidak ketinggalan beberapa kabupaten menekankan bahwa prosedur itu dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi dan kinerja pengelolaan pemerintahan desa agar lebih baik.

Prosedur semacam itu misalnya tampak dari beberapa ketentuan sebagaimana muncul di beberapa kabupaten seperti Limapuluh Kota, Sumedang dan Selayar. Pertama: ADD dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan dalam rencana APB Desa sehingga harus diketahui oleh seluruh komponen penyelenggara pemerintahan desa dari kepala desa dan BPD sampai dengan lembaga-lembaga lain yang berkepentingan. Kedua: sebagai bagian dari APB Desa, maka untuk mencairkan dana itu desa wajib membuat APB Desa dan mengirimkan laporan realisasi APB Desa tahun sebelumnya. Ketiga: berkas usulan dilengkapi dengan Laporan Pertanggung-jawaban (LPJ) Kepala Desa yang sudah disetujui oleh BPD. Keempat: apabila persyaratan itu telah dipenuhi, beberapa kabupaten mensyaratkan desa tersebut memiliki rekening pada bank guna menampung dana yang dicairkan. Khusus di Jayapura, karena dana disampaikan ke Distrik (Kecamatan), maka dana tersebut sesuai dengan mekanisme proyek yaitu usulan dana diajukan Kepala Distrik ke Kabupaten. Dan bila telah disetujui maka dana dicairkan per triwulan seperti di kabupaten lainnya.

Secara prosedural agar dana tidak masuk ke kantong pejabat desa, uang ADD disyaratkan untuk dikelola oleh Bendahara Desa dan uangnya disimpan di rekening desa. Di beberapa desa upaya menjamin anggaran dicairkan secara lebih bertanggungjawab dilakukan dengan cara memberikan ketentuan bahwa bendahara bisa mencairkan atas perintah kepala desanya.

Page 70: bukuADD

46 ALOKASI DANA DESA

Sejumlah kabupaten seperti Kabupaten Limapuluh Kota, Sumedang dan Tuban mengatur persyaratan pencairan secara detail. Di Limapuluh Kota, perubahan prosedur pencairan dilakukan selama lebih dari dua kali dalam lima tahun terakhir ini karena untuk meningkatkan transparansi dan efektivitas. Pada mulanya LPJ wali nagari menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan pencairan ADD, tetapi kemudian diubah menjadi pelengkap saja agar dana bisa dicairkan tanpa tergantung oleh proses politik di nagari yang panjang yaitu berkaitan dengan penilaian LPJ Wali Nagari yang dapat menimbulkan pro kontra di tingkat Badan Perwakilan Anak Nagari. Dengan cara seperti itu, maka pencairan dana pada tahun berikutnya tidak harus menunggu LPJ Wali Nagari sejauh Wali Nagari dapat mempertanggungjawabkan penggunaan DAUN dengan benar kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, Pemda hanya mensyaratkan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) atas pelaksanaan kegiatan yang telah didanai oleh DAUN. Ketentuan ini didasarkan pada suatu pendapat yang menyatakan bahwa ditolaknya LPJ Wali Nagari oleh BPAN belum tentu terkait dengan penggunaan DAUN.

Persyaratan pencairan dana itu telah mendidik desa untuk bekerja keras mengelola anggaran secara transparan, akuntabel dan partisipatif. Desa tidak sekedar meminta jatah tetapi menyiapkan program pembangunan yang riil dan masuk akal serta diterima masyarakat sehingga APB Desa digodog secara partisipatif.

Beberapa daerah yaitu Sumedang dan Tuban menambah persyaratan yang bisa menjamin kelancaran daerah memungut PBB. Khusus di Sumedang pencairan dana dikaitkan juga dengan telah dilunasinya kewajiban desa atas PPB di daerahnya. Bukti pelunasan itu diperoleh melalui Surat Keterangan Lunas PBB dari Camat. Peraturan ini mendidik desa untuk juga peduli terhadap tanggungjawabnya menarik pajak sebagai sumber pendapatan daerah dan desa.

Kabupaten Tuban juga membuat pengaturan yang rinci mengenai penyaluran ADD. Mekanisme distribusi PPM menggunakan dua strategi dengan menerapkan sistem reward and punishment (ganjaran positif dan negatif) terhadap desa/kelurahan. Desa yang menunjukkan tingkat partisipasi masyarakatnya tinggi dalam merespon dana ADD akan mendapat bantuan yang besar dan dimudahkan prosedurnya.

Page 71: bukuADD

47PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

C. Perencanaan Partisipatif Pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyiapan dan pengelolaan

ADD diperhatikan oleh semua kabupaten. Beberapa kabupaten mengacu pada Surat Edaran Bersama Bappenas dan Depdagri SEB No 50/744/Sj/2004 tanggal 24 Maret 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif. Dalam SEB tersebut terdapat ketentuan untuk melibatkan publik dalam setiap perencanaan pembangunan dari tingkat desa sampai dengan tingkat nasional.

Tahap perencanaan di tingkat desa disebut dengan Musrenbang desa, dan partisipan yang berhak mengikuti forum ini adalah pihak-pihak yang menjadi bagian dari desa di mana pembangunan akan dilaksanakan. Kebijakan ini cukup memihak masyarakat dan merupakan perangkat kebijakan nasional yang seharusnya menjadi acuan Kabupaten. Publik yang berhak menjadi partisipan dalam forum antara lain: seluruh komponen masyarakat yang berada di Desa, seperti Ketua RT/RW, Kepala Dusun, Kepala Desa dan perangkat Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Kelompok Perempuan, Kelompok Pemuda, Organisasi Masyarakat, Pengusaha, kelompok-kelompok masyarakat marginal, dan lain-lain.

Musrenbang tingkat Desa diselenggarakan untuk mempertemukan berbagai kebutuhan masyarakat yang diperoleh dari forum musyawarah perencanaan pada tingkat di bawahnya sehingga menjadi suatu usulan yang terpadu untuk dilaksanakan di Desa dan atau dibahas kembali ke tingkat Kecamatan sebagai usulan desa.

Di Kabupaten Sumedang, alur penyusunan RAPB Desa menunjukkan tingginya partisipasi masyarakat. Alur ini dikembangkan berdasarkan Perda No. 51 Tahun 2001, sekretariat pelaksana mempersiapkan bahan-bahan untuk penetapan Dana Perimbangan Desa. Secara detail alur perencanaan yang ditemukan, yaitu: (1) Penyiapan bahan dan materi dimulai sejak penampungan aspirasi yang berkembang pada musyawarah perencanaan/diskusi UDKP di Kecamatan dan Rakorbang Kabupaten, dan (2) Aspirasi tersebut disampaikan kepada Tim Eksekutif dan Tim Legislatif yang mempersiapkan Pra-APBD dan sekaligus melakukan pembahasan aspirasi awal terutama digunakan pada penentuan besar secara keseluruhan DPD.

Page 72: bukuADD

48 ALOKASI DANA DESA

Di Sumedang telah ditetapkan proses penyusunan rencana kegiatan, yaitu Kepala Desa, BPD dan LPM menjelang tahun anggaran baru atau berakhir tahun anggaran berjalan menyusun penggunaan Dana Perimbangan Desa untuk kegiatan pembangunan desa dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dengan melibatkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Di daerah lain, Musrenbang yang diamanatkan dalam Surat Edaran Bersama kepala Bappenas dan Mendagri itu tidak dapat disinkronkan dengan program/proyek atau penyusunan APB Desa. Hal ini karena jadwal dan mekanisme pertemuan Forum disesuaikan dengan yang dirumuskan oleh pemerintah di atasnya yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan praktik yang relatif sudah terlembaga di tingkat desa. Aturan yang lebih sesuai nampaknya yang dirumuskan oleh Pemda yang langsung berkaitan dengan pengelolaan ADD sebagaimana terjadi di Sumedang. Oleh karena itu forum partisipasi di hampir semua kabupaten tidak terkait dengan forum Musrenbang yang diamanatkan dalam Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Kepala Bappenas itu.

Di Limapuluh Kota, misalnya, penyusunan RAPBNag dilakukan oleh Wali Nagari dengan menggerakkan perangkat nagari untuk melakukan penjaringan aspirasi di masyarakat. Para Kepala Jorong mengadakan pertemuan dengan warganya untuk menampung aspirasi dan kemudian disampaikan kepada Wali Nagari untuk menyusun skala prioritas kegiatan dan besarnya anggaran. Wali Nagari kemudian membawa rancangan RAPBNagari kepada BMAS atau langsung ke BPAN. Sementara itu anggota BMAS dan BPAN juga melakukan kegiatan penjaringan aspirasi ke bawah dan dalam sidang membahas RAPBNag diperhatikan semua usulan dari bawah. Akhirnya Wali Nagari menyusun RAPBNag dan dibawa ke BPAN untuk ditetapkan.

Di Kabupaten Magelang, perencanaan partisipatif tidak mengikuti Musrenbang seperti di Sumedang. Rencana penggunaan ADD harus dimusyawarahkan antara Pemdes dan BPD, dan dituangkan dalam Peraturan Desa tentang APB Desa untuk tahun anggaran yang bersangkutan. Sedangkan Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sebagaimana tertuang dalam APB Desa, dikoordinasikan oleh Lembaga Pembangunan Masyarakat Desa (LPMD) yang melibatkan unsur-unsur tokoh masyarakat.

Page 73: bukuADD

49PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

RAPB Desa di Kabupaten Tuban disusun lebih partisipatif tanpa mengikuti alur Musrenbang, seperti terlihat dalam tiga tahap musyawarah. Musyawarah tahap I yang dilakukan di tingkat desa/kelurahan. Di sini Kades dan Kaur bersama BPD mengadakan sosialisasi program kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuda, wanita, RT/RW dan elemen masyarakat lainnya sekaligus membentuk tim pelaksana desa. Selanjutnya, musyawarah tahap II yang dilaksanakan dengan agenda penentuan rencana kegiatan yang disesuaikan dengan jumlah dana, kondisi permasalahan, potensi dan pedoman yang ada. Rencana sementara yang disepakati dilakukan penilaian kelayakan oleh tim pembina kecamatan. Sebagai tahap terakhir, musyawarah III dilaksanakan untuk penentuan rencana kegiatan yang dituangkan dalam daftar rencana kegiatan (DRK). Untuk mendapat hasil perencanaan yang optimal khususnya pada jenis konstruksi; Tim Pelaksana Kegiatan Desa (TPKD/K) dibantu tim pembina kecamatan membuat rencana teknis, uraian perhitungan dan kelengkapan lain. Rencana Teknis ini dilampirkan dalam DRK. Setelah itu, di desa disiapkan kelengkapan administrasi lain seperti surat perjanjian pemberian bantuan (SPPB), Berita Acara Pembayaran dan Penarikan Dana (BA-PPD), Daftar Rencana Kegiatan (DRK) dan kuitansi. Untuk kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) harus jelas kelompok penerima dan anggota serta jenis kegiatannya. Masing-masing desa harus memunculkan adanya partisipasi masyarakat dalam bentuk swadaya masyarakat minimal 15% dari dana kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Jumlah swadaya ini dituangkan dalam pembuatan DRK dan merupakan persyaratan pencairan dana.

Berbeda dengan di lima kabupaten di atas, di Jayapura, perencanaan program ini disusun berbasis Distrik. Mekanismenya, Kepala Distrik menyusun RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja). RASK ini disusun berdasarkan kumpulan dan verifikasi hasil–hasil Musyawarah pembangunan kampung dalam forum Musrenbang Distrik. Yang terlibat dalam musyawarah kampung (Musrenkam) meliputi Kepala kampung, pimpinan Baperkam, Tomas (tokoh masyarakat), sedangkan Musrenbang Distrik dimaksudkan untuk menyaring dan menentukan prioritas hasil Musrenkam yang dapat didanai. Prioritas berdasarkan apakah kebutuhan program tersebut mendesak atau tidak, sedang prioritas bidang ditentukan bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi

Page 74: bukuADD

50 ALOKASI DANA DESA

kerakyatan. Prioritas tersebut ditentukan bersama dalam musyawarah yang dihadiri para kepala kampung, Dinas, dan Muspika (distrik).

D. ADD dalam POS APB DesaSetiap kabupaten telah menyusun pengaturan mengenai pos

penggunaan ADD di setiap desa. Secara umum angggaran ADD dialokasikan terutama untuk belanja pembangunan, sebagian kecil untuk belanja rutin. Di beberapa kabupaten diatur tentang pos-pos belanja rutin dan pembangunan yang sebaiknya dan harus didanai ADD. Peraturan itu menyangkut tentang anggaran belanja APB Desa karena ADD telah diintegrasikan ke dalam APB Desa.

Sejumlah kabupaten telah membuat pengaturan yang rinci tentang pos penggunaan ADD. Kabupaten itu antara lain Kabupaten Limapuluh Kota, dan Sumedang. Adapun kabupaten lainnya memberikan pedoman yang longgar mengenai penggunaan dana tersebut.

Sesuai dengan petunjuk teknis yang tersedia, penggunaan DAUN diarahkan untuk pembangunan maupun pemberdayaan potensi yang ada di Nagari. Bila diperhatikan dari daftar kegiatan/pembangunan yang termuat dalam petunjuk teknis, maka hampir seluruh sektor/bidang pembangunan dapat didanai oleh DAUN. Penggunaan DAUN dapat ditujukan untuk mendanai kegiatan-kegiatan berikut:1. Pelaksanaan program umum pengembangan Sumber Daya Manusia

(SDM) yaitu meliputi pembiayaan kegiatan pelatihan, pendidikan, proses belajar dan mengajar, penataran, pelayanan kesehatan/posyandu, penelitian, pemberdayaan keluarga dan kesejahteraan keluarga (PKK) dan lain sebagainya.

2. Pelaksanaan program umum pengembangan sarana perekonomian yaitu meliputi kios-kios Nagari, pengembangan lembaga perkreditan Nagari, pendirian atau pengembangan Badan Usaha Milik Nagari, penanaman modal untuk kegiatan usaha, pengembangan koperasi, usaha ekonomi kerakyatan dan lain-lain.

3. Pengembangan sarana sosial yaitu meliputi bantuan terhadap lembaga kemasyarakatan, lembaga sosial di Nagari dan bantuan pembuatan sarana ibadah, sarana air bersih, MCK, penegakkan hukum, penanggulangan gangguan keamanan, kegiatan pelestarian adat, kegiatan keagamaan, penanggulangan kemiskinan, penanggulangan permasalahan penyakit masyarakat dan lain sebagainya.

Page 75: bukuADD

51PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

4. Pelaksanaan program umum infrastruktur yaitu meliputi pembiayaan pembangunan jalan, jembatan, bendungan, irigasi, gedung kantor, pembuatan dam dan lain-lain.

5. Pengembangan sumber daya produksi yaitu meliputi pembiayaan untuk pencetakan sawah baru, penghijauan, pembibitan, pariwisata, pengolahan lahan flora dan fauna, pembangkit listrik tenaga air, perikanan air sungai/danau, keramba dan lain-lain.

Adapun Bagi Hasil dan Rutin Nagari diperuntukkan bagi:1. Belanja rutin Wali Nagari

a. Honor Wali Nagarib. Biaya perjalanan dinasc. Biaya operasional biaya tamu

2. Belanja rutin BPANa. Tunjangan pimpinan dan anggotab. Biaya sidang/rapat-rapatc. Biaya ATK

3. Belanja rutin Sekretariat Nagaria. Honor Sekretaris/Seksi/Kaur/Kepala Unit/Wali Nagarib. Kelengkapan sarana kerjac. Alat-alat tulis kantord. Biaya perjalanan dinase. Biaya rapat-rapatf. Biaya pemeliharaan

4. Biaya operasional5. Belanja lainnya

a. Bantuanb. Pengeluaran tak tersangka

6. Pembayaran hutang/pinjaman Nagari

Dengan diintegrasikannya DAUN ke dalam APB Nagari maka keuangan nagari menjadi kuat, dalam arti mempunyai anggaran yang memadai untuk memenuhi kebutuhan. Memang sampai sekarang besarnya pemasukanlah yang menentukan besarnya belanja. Akan tetapi, dengan adanya DAUN maka setiap nagari telah terpacu meningkatkan anggaran belanja guna mendanai pemerintahan dan pembangunan.

Di nagari yang kaya karena memperoleh alokasi DAUN yang besar dan PAN yang besar pula, maka kebutuhan anggaran untuk belanja rutin

Page 76: bukuADD

52 ALOKASI DANA DESA

dapat dipenuhi dan ditingkatkan. Nagari Sungai Kamuyang, misalnya, mampu menggaji para anggota BPAN, kepala jorong, sekretaris nagari dan sekretaris jorong serta bendaharanya jauh lebih tinggi daripada nagari lainnya. Kini muncul gagasan bahwa kelak DAUN lebih diutamakan untuk membiayai anggaran rutin pemerintahan dan pelayanan publik sedangkan PAN digunakan untuk pembangunan. Gagasan itu muncul jika nagari telah mampu mandiri dan memperoleh mandat untuk mengerjakan sejumlah kewenangan tertentu dari pemerintah kabupaten.

Di Sumedang, Pemkab mengeluarkan pedoman tentang penggunaan ADD dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:1. Pengelolaan dana perimbangan dilaksanakan dengan menggunakan

prinsip hemat, terarah dan terkendali.2. Dana perimbangan disalurkan ke desa yang selanjutnya dicatat

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa).3. Rencana kegiatan desa harus dilakukan secara transparan dan

terbuka pada masyarakat.4. Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara

teknis maupun administratif.5. Hasil kegiatan dilaksanakan dan dikembangkan oleh pemerintah

dan masyarakat desa melalui penggalian potensi swadaya gotong royong masyarakat.

Selain menentukan prinsip, Pemkab juga menentukan sejumlah sasaran penggunaan ADD yaitu: 1. Untuk biaya pembangunan sekurang-kurangnya 60% (enam puluh

persen).2. Untuk biaya rutin sebesar-besarnya 40% (empat puluh persen).

Kegiatan-kegiatan rutin dan pembangunan yang dapat didanai dari Dana Perimbangan Desa adalah sebagai berikut:1. Biaya operasional Pemerintah Desa dalam rangka pembinaan,

konsultasi, monitoring dan rapat-rapat;2. Biaya operasional Badan Perwakilan Desa (BPD);3. Pengadaan sarana/prasarana kelengkapan kerja pemerintahan

desa;

Page 77: bukuADD

53PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

4. Pengadaan alat tulis kantor, barang cetakan bagi administrasi pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan lainnya;

5. Penyelenggaraan musyawarah pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan lainnya;

6. Penyediaan data-data dan buku administrasi pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan lainnya;

7. Pembangunan sarana/prasarana;8. Penyuluhan/sosialisasi, orientasi dan peningkatan keterampilan

perangkat desa dan pengurus lembaga kemasyarakatan;9. Pembelian/pengadaan buku panduan/himpunan dan perpustakaan

desa, buku-buku Teknologi Tepat Guna (TTG);10. Menunjang kegiatan pelaksanaan 10 program PKK yang disesuaikan

dengan kebutuhan dan prioritas masing-masing desa;11. Dana Talangan Raskin;12. Perpustakaan Desa;13. Kegiatan lain sesuai kebutuhan.

Berbeda dengan dua kabupaten di atas, Magelang hanya memberikan rambu-rambu penggunakan ADD sebagaimana tertuang dalam Keputusan Bupati No. 9 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan DAU Desa. Berdasarkan pada Keputusan tersebut DAU Desa dialokasikan sebagai berikut :1. Sebesar Rp. 10 juta digunakan untuk pembelian sepeda motor roda

2 dinas desa2. DAU Desa masing-masing desa setelah dikurangi Rp. 10 juta

dialokasikan untuk: a. Alokasi Pemerintah Desa sebesar 7% untuk operasional

pemerintahan desa.b. Alokasi BPD sebesar 16%.c. Bantuan perbaikan penghasilan Kepala desa dan Perangkat desa

sebesar 8%, d. Bantuan kelembagaan desa seperti operasional PKK, LPMD, RT/

RW dan lain sebagainya sebesar 9%.e. Belanja Publik sebesar 60% yang digunakan untuk pembangunan

fisik dan non fisik, sarana dan prasarana yang diutamakan mendukung pengentasan kemiskinan maupun bantuan modal.

Menurut para Kepala Desa yang tergabung dalam Prakarsa, proporsi

Page 78: bukuADD

54 ALOKASI DANA DESA

pembagian ini banyak menimbulkan masalah karena porsi untuk Kepala Desa dan Aparatnya yang notabene lebih banyak jumlah maupun pekerjaannya, hanya mendapat porsi 8% saja. Sedangkan BPD yang paling banyak berjumlah 13 orang dan intensitas pekerjaannya relatif jauh lebih ringan kenapa justru mendapat porsi 2 kali lipat lebih besar yakni 16%. Penentuan ini dirasakan tidak adil, dan penentuan ratio (perbandingan) ini terjadi di tingkat Panitia Anggaran DPRD.

Belanja publik sebesar 60% merupakan angka (porsi) minimal yang tidak boleh dikurangi untuk menutup kekurangan alokasi bantuan yang lain, tetapi justru bisa ditambah atau diperbesar berdasarkan hasil musyawarah bersama antara Pemerintah Desa dan BPD.

Menanggapi pasal 3 dan pasal 5 Keputusan Bupati ini, baik Kepala Desa maupun BPD cenderung tidak akan pernah mengubah atau menambah porsi Belanja Publik, apalagi porsi perimbangan yang diberikan kepada Kepala Desa dan Perangkatnya sebesar 8% dan porsi yang diberikan kepada BPD sebesar 16%. Untuk prosentase ini tidak ada kesepakatan dari BPD untuk mengurangi porsi atau prosentasenya meski Perda dan Keputusan Bupati tidak melarang.

Di Tuban, alokasi dana PPM sudah mencerminkan adanya pembagian yang jelas antara kegiatan rutin dan kegiatan pembangunan. Kegiatan rutin dideskripsikan melalui dana operasional pemerintahan desa yang pemanfaatannya sudah ditentukan secara cukup detail yaitu; BPD, LPMD/K, PKK, Kepemudaan, Statistik desa/kelurahan, biaya operasional pemerintahan desa/kelurahan. Sedangkan kegiatan pembangunan dideskripsikan melalui dana kegiatan pemberdayaan desa/kelurahan. Sampai sejauh ini setelah PPM memasuki tahun ke-empat pemanfaatan dana pemberdayaan masih didominasi untuk kegiatan fisik dan desa/kelurahan sendiri belum membuat kebijakan alokasi pemanfaatan yang mempertimbangkan faktor keseimbangan antara berbagai sektor yang ada di desa/kelurahan.

Sama seperti di Tuban, Pemkab Selayar telah mengatur pos anggaran yang boleh dibiayai dengan menggunakan ADD. Secara umum, pos anggaran untuk belanja rutin lebih sedikit daripada untuk belanja pembangunan. Sesuai dengan Surat Edaran Bupati, pada tahun 2003 pembagian proporsi dana adalah 40% untuk belanja rutin dan 60% kebutuhan belanja pembangunan. Namun demikian, ada sebuah

Page 79: bukuADD

55PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

desa yang mengalokasikan penggunaan DAU tahun 2003 untuk dana rutin sebesar 50%, dan pada tahun 2004 mengalami kenaikan menjadi 70%. Kenaikan ini diterima karena dana rutin tahun ini termasuk gaji diberikan kepada seluruh aparat desa (5 orang), guru TK 2 orang, imam desa (5 orang), seluruh BPD (5 orang), LPM (10 orang) dan 2 orang fasilitator Desa PPK.

E. Monitoring dan Pengawasan Secara umum, pelaksanaan ADD dimonitor dan diawasi oleh tim

pembina di tingkat kabupaten. Monitoring dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan program. Adapun pengawasan untuk menjamin program berjalan dengan baik khususnya mengenai akuntabilitas keuangan. Studi ini menemukan bahwa kebocoran anggaran ADD sangat rendah, hal ini karena beberapa alasan.

Alasan pertama, tingginya komitmen elemen Pemerintah Desa dan BPD untuk mengemban terwujudnya otonomi desa dan pembangunan yang partisipatif. ADD tidak dimaknai sebagai bagi-bagi proyek melainkan dimaknai sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan, baik ke atas yaitu Pemkab, maupun ke samping yaitu ke masyarakatnya. Selain itu, dana tersebut mereka peroleh bukan hanya berasal dari kepercayaan yang diberikan oleh Pemkab, melainkan juga sebagai bagian dari perjuangan semua elemen pemerintahan desa dan masyarakatnya untuk menuntut keadilan dan mengejar ketertinggalan dalam pembangunan.

Alasan kedua, keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan relatif tinggi sehingga masyarakat ikut memiliki program pembangunan yang didanai ADD. Selain itu, karena ADD diintegrasikan ke dalam APB Desa maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan hak yang tinggi untuk mengawasi penggunaan dana tersebut. Masalahnya adalah masih minim mekanisme pengawasan dari masyarakat secara kelembagaan. Pengawasan selama ini masih bersifat kultural artinya sebuah pengawasan yang muncul karena adanya ikatan moral antara penyelenggara pemerintahan dengan masyarakat untuk menjaga kepercayaan bersama.

Yang ketiga, terselenggaranya sistem pengelolaan anggaran yang relatif transparan dan bertanggungjawab karena didukung oleh adanya pedoman pengelolaan yang mudah disimak dengan baik.

Page 80: bukuADD

56 ALOKASI DANA DESA

Di kabupaten Limapuluh Kota, sangat sedikit kebocoran yang terjadi dari pengelolaan DBH-BKN selama kebijakan tentang DBH-BKN diterapkan (4 tahun). Sejauh ini, kebocoran hanya terjadi di 3 Nagari dari 76 Nagari di Kabupaten Limapuluh Kota, yang salah satunya sedang diproses di Kejaksaan. Prestasi ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:1. Jelasnya dokumen-dokumen yang disyaratkan kepada Nagari untuk

mencairkan DBH-BKN, seperti:a. Peraturan Nagari tentang APBN dan rencana penggunaan

dana yang akan dibiayai oleh DBH-BKN, sebelum DBH-BKN triwulan pertama dicairkan. Hal ini dimaksudkan agar diketahui bahwa yang akan didanai oleh DBH-BKN merupakan kesepakatan bersama antara Wali Nagari dengan BPAN, dan DBH-BKN memang digunakan untuk kegiatan pembangunan seperti yang diperbolehkan dalam Petunjuk Teknis. Selain itu, terdapat ketentuan yang mengatur bahwa sidang BPAN dalam penyusunan dan pengesahan APBN dihadiri sekurang-kurangnya oleh setengah dari jumlah anggota BPAN plus satu.

b. Surat Pertanggungjawaban (SPJ) sebagai bukti realisasi penggunaan dana, dan daftar rencana penggunaan dana untuk triwulan berikutnya. Hal ini dimaksudkan agar diketahui bahwa DBH-BKN telah dimanfaatkan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang seperti direncanakan.

2. Jelasnya mekanisme pencairan dan pelaporan penggunaan DBH-BKN oleh Nagari, seperti:a. SPJ diserahkan kepada Kantor PMN, dan setelah diproses lalu

dikembalikan ke Nagari untuk diteruskan kepada BPKD.b. Pelaporan tentang kemajuan fisik dan keuangan dari Nagari

disampaikan ke Kantor PMN untuk diteruskan kepada Bupati3. Jelasnya prosedur pengawasan, baik dari tingkat Kabupaten sampai

dengan Nagari, seperti:a. Pengawasan terhadap DBH-BKN beserta kegiatan

pelaksanaannya dilakukan secara fungsional oleh Bawasda.b. Pengawasan oleh masyarakat melalui BPAN dalam bentuk

pengawasan kebijakan nagari sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

4. Pengawasan dilakukan secara periodik oleh aparat pengawas pada

Page 81: bukuADD

57PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

setiap tingkat pemerintahan, yang meliputi:a. Tingkat Kabupaten diawasi oleh Bawasda.b. Tingkat Kecamatan diawasi oleh Camat.c. Tingkat Nagari diawasi oleh BPAN.

5. Penyelesaian terhadap permasalahan terkait dengan penyimpangan atau penyalahgunaan DBH-BKN, dilakukan secara berjenjang, yaitu di tingkat Nagari kemudian Kecamatan.

6. Apabila tidak terjadi penyelesaian di tingkat Nagari dan keterangan pertanggungjawaban Wali Nagari tidak dipahami oleh BPAN, maka BPAN dapat mengajukan surat ke Bupati agar Pemerintah Nagari diperiksa secara khusus oleh Bawasda

7. Berfungsinya pemantauan oleh Tim Pembina terhadap pengelolaan DBH-BKN, termasuk dalam hal ini pengawasan struktural yang dilakukan oleh Bawasda, seperti:a. Kantor PMN menyusun laporan kemajuan fisik dan keuangan

dari penggunaan DBH-BKN.b. Tim Pembina mengadakan pertemuan-pertemuan dengan

para Wali Nagari dan BPAN yang memiliki masalah dalam pengelolaan DBH-BKN, secara terpisah untuk mengetahui penyebab permasalahan yang mereka hadapi.

c. Dilakukannya penyesuaian terhadap kebijakan tentang pengelolaan DBH-BKN di tahun berikutnya, sebagai tindak lanjut dari pemantauan dan pengawasan yang dilakukan.

8. Tersedianya pengawasan kultural yang dilakukan oleh BPAN dan masyarakat di tingkat Nagari, seperti:a. Semua orang mempunyai kecerendungan untuk saling

mengontrol dan mengontrol dirinya sendiri. Di Limapuluh Kota, para anak nagari percaya bahwa APBNag sangat kecil bocor karena telah membudaya apa yang disebut pengawasan kultural. Pengawasan ini terwujud karena adanya moralitas yang tinggi pada diri setiap anak nagari untuk berbakti kepada masyarakatnya.

b. Kembali ke nagari juga berarti kembali ke jati diri sebagai anak nagari. Selain itu karena adanya perasaan memiliki nagari yang tinggi, maka setiap anak nagari memiliki keberanian yang tinggi untuk tidak segan dan takut mengoreksi setiap kegiatan yang dilakukan oleh Wali Nagari dan jajarannya.

Page 82: bukuADD

58 ALOKASI DANA DESA

Di Kabupaten Sumedang, pengawasan diatur secara rinci sehingga dapat mencegah bocornya anggaran. Pengawasan tersebut dilakukan melalui:1. Pengawasan Melekat dilakukan oleh aparat yang ada dalam

organisasi itu sendiri, terutama Camat;2. Pengawasan Fungsional dilakukan oleh pejabat diluar organisasi,

yaitu Bawasda;3. Pengawasan Masyarakat.

Intensitas pelaksanaan pengawasan dilakukan sesuai dengan berbagai bentuk, yaitu:1. Pengawasan Melekat dilakukan terhadap Penanggung Jawab

Pelaksana Kegiatan dan Pemegang Kas Desa oleh Kepala Desa dalam waktu paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali;

2. Pengawasan Fungsional dilakukan terhadap Pemegang Kas Desa, Penanggung Jawab Pelaksana Kegiatan dan Kepala Desa oleh Badan Pengawasan Daerah setahun sekali;

3. Pengawasan Masyarakat dilakukan terhadap Pemegang Kas Desa dan Penanggung Jawab Pelaksana Kegiatan Dana Perimbangan Desa oleh Badan Perwakilan Desa setahun sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

Di Kabupaten Magelang, pengawasan dari Pemkab dilakukan oleh Bupati melalui Bagian Tata Pemerintahan karena saat itu (2004) di Kabupaten ini tidak ada Bagian Pemerintahan Desa. Kabupaten Magelang secara riil telah mendorong semangat transparansi dan akuntabilitas pemerintahan desa.

Di Kabupaten Tuban kegiatan pengawasan dan pembinaan ADD dilaksanakan secara lebih intensif dan terencana oleh pihak kabupaten dan kecamatan. Beberapa catatan penting dari kegiatan itu adalah sbb: 1. Kegiatan ini dilakukan pembina desa/kelurahan, kecamatan maupun

kabupaten (TKPP), sehingga pencapaian target kinerja dapat terpenuhi. Kegiatan pengawasan juga dilakukan secara terbuka oleh masyarakat dan lembaga-lembaga pelaksana kegiatan.

2. Untuk pengendalian, camat mempunyai wewenang dalam menentukan pencairan dana. Persetujuan pencairan ditetapkan berupa surat keterangan kepada Bank Jatim cabang Tuban dan harus dilakukan oleh ketua tim pelaksana dan pemegang kas.

Page 83: bukuADD

59PELEMBAGAAN KEBIJAKAN ADD

3. Untuk menilai keberhasilan kegiatan baik tim kabupaten maupun tim kecamatan harus hadir di lokasi kegiatan dengan memeriksa dokumen-dokumen maupun hasil pelaksanaan teknis.

4. Tim koordinasi kecamatan melaksanakan pemeriksaan pekerjaan dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan (P-25). Pemeriksaan pekerjaan dilaksanakan sesuai dengan tahapan pencairan ( 50% dan atau 100% ).

5. Hasil monitoring dan evaluasi pada kegiatan-kegiatan akan dilaporkan oleh sekretariat TKPP kabupaten kepada Bupati (tembusan Bappeda) dan apabila diketahui pelaksanaan kegiatan diborongkan maka sisa dana yang ada akan dibekukan/dibatalkan. Untuk menilai keberhasilan program digunakan indikator dan tolok ukur seperti dalam Tabel 9.

Tabel 9Kisi-Kisi MONEV ADD di Kabupaten Tuban

No Indikator Tolok ukur

1. Daya serap keuangan (realisai keuangan) dan efektifitas penyera-pan dana tersebut sesuai dengan sasaran

Akhir bulan Desember harus sudah mencapai 100%

2. Tingkat penyerapan tenaga kerja Semakin banyak semakin berhasil

3. Jumlah penerima manfaat Semakin banyak semakin berhasil

4. Tingkat partisipasi masyarakat (dalam kegiatan maupun bentuk swadaya)

Frekuensi maupun jumlah gugur gunung; dan banyaknya material/tenaga dan uang)

5. Pelaksanaan pekerjaan Minimal sesuai dengan DRK dan Akhir bulan Desember harus sudah selesai 100%

6. Pelaporan Tepat waktu

Di Kabupaten ini, pelaksana proyek juga harus membuat pelaporan mulai dari tahap persiapan, perencanaan dan pelaksanaan. Dalam setiap tahap diperlukan informasi dalam rangka pengendalian dan pengambilan keputusan. Adapun jenis pelaporan mencakup, dua kegiatan. Pertama: Tahap Persiapan/Perencanaan yang meliputi: Proses kegiatan Musyawarah I sampai dengan Musyawarah III, dan proses penyusunan dokumen perencanaan kegiatan dan kelengkapan administrasi. Kedua: tahap pelaksanaan, yaitu (1) Perkembangan pelaksanaan dan penyerapan dana, (2) Masalah yang dihadapi, dan (3) Hasil akhir pelaksanaan

Page 84: bukuADD

60 ALOKASI DANA DESA

Laporan kegiatan ini dilaksanakan melalui jalur struktural yaitu dari TPKD/K diketahui ketua LPMD/K dan kepala desa/kelurahan pembina kecamatan setiap tanggal 5 bulan berikutnya, dan selanjutnya pembina kecamatan membuat laporan perihal pelaksanaan kegiatan di wilayahnya setiap tanggal 10 bulan bersangkutan kepada Bupati Cq. Sekretariat TKPP Kabupaten (Kantor PMD).

Hampir mirip dengan di Tuban, di kabupaten Jayapura dikembangkan mekanisme monitoring yang secara berkala dari tingkat kabupaten dilaksanakan oleh Dinas atau unit kerja yang terkait. Mulai tahun 2004 dilakukan monitoring dan evaluasi secara menyeluruh oleh BAPPEDA, dengan metode penilaian kegiatan dan indikator capaian yang jelas dan terukur, sedangkan monitoring dan evaluasi oleh distrik ke kampung dilaksanakan secara berkala dan terjadual selama periode program.

Mekanisme pelaporan dan pertanggung jawaban ADD di kabupaten Tuban adalah sebagai berikut:1. Laporan Bulanan

a. Setiap akhir bulan kepala distrik selaku pengguna anggaran wajib menyampaikan laporan keuangan kepada bupati

b. Laporan bulanan ini memuat tiga hal, yaitu: (1) Penerimaan dan pengeluaran keuangan, (2) Kemajuan kegiatan dan (3) Hambatan yang dihadapi.

2. Laporan Tahunan Laporan tahunan dibuat oleh kepala distrik kepada bupati yang

memuat:a. Hasil kegiatan secara menyeluruhb. Evaluasi hasil kinerja c. Keuangand. Lampiran foto-foto kegiatane. Masalah-masalah yang dihadapi dan cara pemecahannya.

Berbeda dengan lima kabupaten di atas, di Selayar sudah disadari bahwa perlu ada mekanisme monitoring dan pengawasan, tetapi belum dilakukan secara konstruktif. Proses pengawasan lebih banyak diserahkan dalam pengawasan fungsional yang diperankan oleh Bawasda. Namun demikian, pengawasan akan dilakukan oleh instansi terkait apabila muncul masalah, dengan demikian pemantauan atau monitoring belum dilakukan secara sistematis.

Page 85: bukuADD

61KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

Bab 5KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

A. ADD Bukan Kebijakan Bandes pada Masa Orde BaruSemesta pembicaraan tentang Alokasi Dana Desa (ADD) yang

kini menjadi prakarsa dan gerakan baru, tentu tidak bisa lepas dari konteks sejarah implementasi Inpres Bantuan Desa (Bandes) yang sudah menjadi legenda dalam pembangunan desa selama tigapuluh tahun (1969-1999). Upaya mendorong implementasi ADD ke seluruh kabupaten/kota sebaiknya dimulai dengan evaluasi dan refleksi atas pengalaman Bandes, dengan tujuan agar ADD mempunyai dasar argumen yang kuat dan relevan, sekaligus mengingat sampai sekarang lebih banyak kabupaten/kota yang masih menggunakan model Bandes sebagai kerangka acuan dalam memberikan bantuan keuangan kepada desa.

Bagaimana dan apa yang akan kita evaluasi atas pengalaman Bandes sehingga bisa menjadi referensi yang relevan atas ADD? Pada umumnya evaluasi selalu ditempatkan menjadi bagian inheren dalam siklus kebijakan, terutama melihat dari sisi perencanaan, pelaksanaan, hasil-hasil dan dampaknya bagi kelompok sasaran kebijakan. Siklus kebijakan adalah kerangka minimal dalam evaluasi. Ia sangat penting tetapi belum cukup. Karena itu, upaya evaluasi dan refeleksi atas Bandes, sekaligus memperkuat kerangka preskripsi ADD, perlu ditempatkan dalam dua konteks yang saling terkait. Pertama, meletakkan Bandes dalam konteks perspektif dan disain

Bab

5 K

EUN

GG

ULA

N K

EBIJA

KAN

AD

D

Page 86: bukuADD

62 ALOKASI DANA DESA

kebijakan pembangunan desa (rural development) yang diterapkan selama tiga puluh tahun (1969-1999). Disain ini terkait dengan tujuan-tujuan pembangunan, mekanisme perencanaan, pendanaan maupun penempatan posisi negara, modal dan masyarakat dalam agenda pembangunan. Kedua, meletakkan Bandes dalam konteks tata kelola pemerintahan desa (village governance), yakni bagaimana penempatan posisi dan peran desa dalam mata rantai hirarki birokrasi negara.

1. Kebijakan BandesDesa telah lama menjadi “obyek” pembangunan yang dilancarkan

secara sentralistik oleh pemerintah pusat. Pada dekade 1970-an pemerintah, yang memperoleh dukungan lembaga-lembaga internasional (seperti World Bank dan Bank Pembangunan Asia) maupun para ilmuwan sosial terutama yang berhaluan developmentalis, melancarkan sebuah konsep yang sangat terkenal, yakni pembangunan desa terpadu (integrated rural development). Orientasi dasar paradigma ini adalah memacu pertumbuhan ekonomi pedesaan yang dicapai dengan perbaikan produktivitas pertanian. Dalam usaha memecahkan kemiskinan desa secara holistik dan mempergunakan sinergi yang potensial antara pelayanan sosial dan petumbuhan ekonomi, konsep pembangunan desa terpadu berupaya menyediakan paket lintas sektoral sistem pertanian terpadu dan diversifikasi tanaman yang berkaitan dengan pelatihan, pelayanan sosial, dan proyek-proyek infrastruktur desa. Dari sisi politik, pembangunan desa terpadu ditopang dengan peran negara yang besar, dengan cara mendistribusikan layanan sosial kepada masyarakat. Bahkan otoritarianisme ditolerir sebagai harga yang harus dibayar demi pertumbuhan. Perpaduan aspek ekonomi, sosial dan politik dalam pembangunan desa itu bisa kita saksikan dalam rumusan Trilogi Pembangunan: stabilitas (politik), pertumbuhan (ekonomi), dan pemerataan (layanan sosial). Tentu program pembangunan desa terpadu itu mempunyai sejumlah tujuan mulia, yakni memerangi kemiskinan dan keterbelakangan desa, membuat desa menjadi modern, meningkatkan pendapatan masyarakat desa, memperlancar arus transportasi dan transaksi ekonomi, yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan human well being masyarakat desa.

Page 87: bukuADD

63KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

Inpres Bandes, di satu sisi, dilancarkan sebagai bagian dari agenda pembangunan desa yang besar itu, dan di sisi lain (pemerintahan desa), ia menjadi komponen penting dalam penerimaan keuangan desa. Dalam setiap undang-undang (mulai dari UU No. 5/1979 sampai UU No. 22/1999) ditegaskan bahwa penerimaan desa mencakup swadaya dan gotong-royong masyarakat (sebagai komponen Pendapatan Asli Desa, PADes) dan bantuan pemerintah. Pemerintah selalu mengedepankan argumen bahwa “bantuan” dimaksudkan sebagai stimulan terhadap swadaya dan gotong royong masyarakat untuk membiayai pembangunan desa. Jika program pembangunan desa berhasil menggalang swadaya dan gotong-royong (yang dimaterialkan menjadi uang) dalam jumlah besar, bahkan lebih besar daripada bantuan pemerintah, maka hal itu merupakan indikator utama keberhasilan, termasuk indikator yang dinilai dalam “lomba desa”. Kepala desa akan memperoleh penghargaan dari pemerintah karena berhasil (berprestasi) menggalang swadaya. Pemerintah juga mengklaim bahwa program yang dijalankan berhasil karena mampu melipatgandakan swadaya masyarakat.

Banyak pihak, baik pemerintah maupun kalangan NGO yang concern pada desa, menilai bahwa swadaya dan gotong-royong merupakan basis utama otonomi desa. Ini paralel dengan keyakinan bahwa autonomy is automoney. Artinya otonomi desa bisa berjalan kalau mempunyai sumber keuangan sendiri. Menurut argumen ini, kalau desa mengandalkan sumber pendanaan dari pemerintah, berarti desa itu tergantung atau tidak mempunyai otonomi. Memang, sebelum desa diintegrasikan ke dalam negara, semua kebutuhan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di tingkat desa, termasuk penghasilan pamong desa, dibiayai dengan hasil sumberdaya desa, swadaya dan gotong-royong. Semua ini merupakan pertanda desa sebagai self-governing community. Tetapi dalam konteks sekarang, frase swadaya dan gotong-royong menjadi absurd karena mengalami manipulasi dan eksploitasi. Bagi kami, swadaya adalah bagian dari modal sosial, yang di dalamnya mengandung kerjasama, kepercayaan, dan solidaritas sosial antarwarga untuk merawat penghidupan masyarakat desa. Karena itu swadaya tidak boleh dimaterialkan menjadi uang yang bisa membuat masyarakat berorientasi material, dan tidak boleh diklaim sebagai komponen keberhasilan pemerintah.

Page 88: bukuADD

64 ALOKASI DANA DESA

Sebaliknya pemerintah justru melakukan manipulasi dan eksploitasi terhadap swadaya. Para pejabat pemerintah selalu mengatakan bahwa inti otonomi desa adalah swadaya. Karena itu, pemerintah selalu mendorong agar masyarakat desa terus-menerus meningkatkan swadaya dan gotong-royong, yang keduanya merupakan komponen utama yang menopang pembangunan desa. Argumen ini sebenarnya mengandung eksploitasi, sebab pemerintah tidak merasa perlu mengalokasikan kekuasaan dan sumberdaya keuangan kepada desa secara proporsional dan adil. Pemerintah selalu memberikan banyak beban dan tugas-tugas kenegaraan kepada desa tetapi tidak pernah disertai dengan skema pendanaan yang memadai dan mencerminkan keadilan. Karena itu dimana-mana kepala desa selalu mengatakan bahwa mereka merupakan “ujung tombak” dan sekaligus “ujung tombok”.

Aliran bantuan (bukan alokasi) ke desa sudah diterapkan sejak awal Orde Baru dengan sebutan yang terkenal Bantuan Desa (Bandes). Bandes, sebagai bagian integral dalam pembangunan daerah dan pedesaan, dimulai dari tahun 1969 ketika Orde Baru memulai program Pelita, yang notabene berpijak pada Trilogi pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bantuan desa tentu bukanlah treatment terhadap desentralisasi dan pemerintahan desa, melainkan sebagai solusi atas pembangunan desa. Pemberian Bandes pada tahap pertama (Pelita I) berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 16/1969 tertanggal 26 Februari 1969, yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat bersama Mendagri dan Menteri Keuangan, serta diperbaharui terus-menerus setiap tahun melalui Surat Menteri Dalam Negeri, sebagai petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pengelolaan bantuan pembangunan desa. Ketika Inpres Desa dilancarkan pertama kali, ada tiga argumen resmi yang melandasinya. Pertama, kondisi desa-desa di seluruh Indonesia sebelum dilaksanakannya Repelita sangat memprihatinkan, terutama keadaan prasarana desa yang meliputi prasarana produksi, perhubungan, pemasaran dan sosial yang jumlahnya sangat terbatas. Kedua, banyak masalah yang dihadapi oleh desa terutama di desa-desa pedalaman yang sulit komunikasinya, rendahnya tingkat pengetahuan dan keterampilan, fasilitas kesehatan dan kebersihan yang tidak memadai, dan kelemahan dalam sosial budayanya, administrasi, rendahnya managemen dan pengawasan. Ketiga, sejarah telah

Page 89: bukuADD

65KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

membuktikan bahwa peranan masyarakat desa sangat besar dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Potensi swadaya gotong royong masyarakat desa yang sangat besar ternyata merupakan modal yang nyata dalam memelihara ketahanan nasional, sekaligus potensi yang perlu dirangsang untuk mensukseskan pembangunan.

Karena itu, sejak awal pembangunan desa didesain pemerintah sebagai bentuk investasi kebijakan pemerintah yang bertujuan secara langsung untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, dan secara tidak langsung untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan nasional yang kuat sebagai landasan pembangunan nasional jangka panjang. Sedangkan sasaran pembangunan desa adalah agar desa-desa merupakan satuan terkecil administrasi pemerintahan, ekonomi dan ikatan kemasyarakatan, dapat mempercepat pertumbuhannya dari desa swadaya, menjadi desa swakarsa dan seterusnya menjadi desa swasembada. Sejak awal juga digariskan bahwa pembangunan desa mempunyai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Pertama, tujuan jangka pendek pembangunan desa adalah untuk meningkatkan taraf penghidupan dan kehidupan rakyat khususnya di desa desa yang berarti menciptakan situasi dan kekuatan serta kemampuan desa dalam suatu tingkat yang lebih kuat dan nyata dalam pembangunan berikutnya. Kedua, tujuan jangka panjangnya adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang diridloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungannya dengan sasaran pembangunan masyarakat desa, ditujukan untuk menaikkan produksi yang potensial yang dimiliki oleh desa, meningkatkan kesejahteraan dalam rangka pembangunan ekonomi. Kegiatan dan tindakan yang lebih intensif dan terarah daripada pembangunan masyarakat desa. Cara tersebut akan mewujudkan pula nilai ekonomi riil yang bebas di segala penghidupan dan penentu bagi suksesnya pembangunan nasional (Ditjen Pembangunan Desa, Departemen Dalam Negeri, 1977).

Inpres bantuan desa tentu merupakan instrumen pendanaan top down untuk mengawal dan mencapai tujuan-tujuan besar pembangunan desa di atas. Sesuai dengan trilogi pembangunan, Bandes juga mempunyai dimensi stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Pemerintah Orde Baru tampak sangat trauma dengan warisan politisasi PKI di pedesaan yang membuat para petani menjadi radikal memperjuangkan land reform,

Page 90: bukuADD

66 ALOKASI DANA DESA

sehingga menurut pembacaan pemerintah, hal ini menjadi gangguan stabilitas politik di desa. Karena itu melalui Bandes, pemerintah hendak masuk lebih dalam ke ruang kehidupan masyarakat desa, menghancurkan jejak-jejak PKI, memindahkan aktivitas politik orang desa ke aktivitas pembangunan, membangun struktur dan kultur politik baru di desa, sekaligus hendak menciptakan stabilitas politik desa.

Semangat pertumbuhan dan pemerataan tercantum secara eksplisit dalam kerangka tujuan bantuan pembangunan desa. Tujuan pertama yaitu mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan desa. Kedua, mengusahakan agar pemerintah desa dan semua lembaga yang ada seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Lembaga Musyawarah Desa (LMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan lembaga-lembaga lainnya dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Ketiga, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan Lumbung Desa/Perkreditan Desa dengan mendorong swadaya masyarakat, yang selanjutnya untuk menanggulangi kerawanan pangan dan menunjang upaya pencapaian swasembada pangan serta mengatasi kelangkaan permodalan di desa. Keempat, meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha ekonomi pedesaan ke arah kehidupan berkoperasi dalam rangka meningkatkan pendapatan. Kelima, meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat agar berpikir dinamis dan kreatif yang dapat menumbuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat yang pada hakekatnya merupakan usaha ekonomi masyarakat pedesaan sehingga mampu berproduksi, mampu mengolah dan memasarkan hasil produksinya serta dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja di pedesaan.

Tetapi rupanya tujuan-tujuan Bandes terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Sampai tahun 1980-an, tujuan penciptaan lapangan kerja di pedesaan masih sangat ditekankan, namun memasuki tahun 1990-an bersamaan dengan Program IDT (1994/1995) dan perubahan dari pembangunan desa menjadi pembangunan masyarakat desa, tujuan penciptaan lapangan kerja itu dihilangkan. Pada tahun 1997, muncul surat Mendagri No. 412.6/1237/SJ, mengedepankan beberapa tujuan Bandes yang agak berbeda dengan tujuan-tujuan sebelumnya. Pertama, mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong serta untuk menumbuhkan kreativitas dan otoaktivitas masyarakat dalam

Page 91: bukuADD

67KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

pembangunan desa dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara optimal. Kedua, meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) baik aparat maupun masyarakat desa antara lain melalui kegiatan Latihan Pengembangan Pembangunan Desa Terpadu yang juga melatih KPD, serta memajukan dan mengembangkan peranan wanita dalam pembangunan masyarakat desa. Ketiga, meningkatkan fungsi dan peranan kelembagaan masyarakat di desa yang mencakup LKMD dan LMD. Keempat, membangun, mengembangkan dan memeratakan serta memelihara prasarana dan sarana pendukung di pedesaan. Kelima, mengembangkan ekonomi rakyat di pedesaaan lewat pengembangan usaha ekonomi produktif dalam rangka peningkatan produksi dan pemasaran barang dan jasa masyarakat pedesaan.

Mengapa terjadi pergeseran tujuan Bandes dari 1980-an ke 1990-an? Apakah tujuan yang digariskan pada tahun 1970-an sampai 1980-an sudah membuahkan hasil secara optimal? Bagaimana proses, hasil dan manfaat program Bandes yang sudah berjalan selama 30 tahun (1969 sampai 1999)? Apakah waktu 30 tahun tidak cukup untuk mendobrak transformasi desa secara mendasar menuju kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa?

Serangkaian pertanyaan itu mungkin terlalu besar untuk diajukan. Bagaimanapun Bandes adalah sebuah investasi pemerintah yang terlalu kecil bila dibandingkan dengan investasi pembangunan sektoral. Lagipula investasi yang masuk desa tidak hanya melalui pemerintah, tetapi juga melalui pemodal dengan skema industrialisasi maupun privatisasi. Oleh karena itu, ada begitu banyak variabel dan aktor yang sangat menentukan transformasi desa, termasuk menentukan jalan desa menuju kesejahteraan, keadilan dan kemandirian. Jika kesejahteraan, keadilan dan kemandirian sampai sekarang belum berpihak kepada desa, sementara pembangunan desa sudah dijalankan selama tiga dasawarsa, berarti investasi yang ditanam oleh pemerintah dan pemodal mengandung banyak kekeliruan, baik dari sisi perspektif, pendekatan, disain kebijakan, maupun implementasi di lapangan. Meskipun demikian, penilaian secara minimal terhadap Bandes bisa kita lakukan dengan memperhatikan aspek disain, tujuan, manfaat, dan hasil-hasilnya.

Page 92: bukuADD

68 ALOKASI DANA DESA

2. Pelaksanaan, Hasil dan DampakSejauh dokumen resmi dari Departemen Dalam Negeri yang

kami pelajari, sampai sekarang belum ada dokumen evaluasi terhadap program Bandes yang komprehensif, kritis dan mendalam. Pada tahun 1998, Ditjen PMD Depdagri bekerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi (UI, IPB, UNBRAW dan UNHAS) melakukan penelitian evaluasi terhadap kinerja dan dampak bantuan desa. Secara akademik banyak cerita dan data menarik yang dihasilkan oleh penelitian, tetapi toh hal itu tidak mencerminkan sebuah evaluasi yang komprehensif di seluruh daerah, melainkan hanya berbentuk penelitian yang mengambil beberapa daerah sampel. Selain itu, orang sering bertanya, apakah hasil riset selalu menjadi pijakan bagi inovasi kebijakan, atau hanya menjadi dokumen administratif proyek yang memenuhi meja kerja birokrasi dan perguruan tinggi. Tampaknya Inpres Bandes berjalan secara rutin seperti halnya mekanisme kerja birokrasi, dan secara berkala—karena iklim Asal Bapak Senang—pihak pelaksana selalu menampilkan banyak cerita sukses di tingkat desa, terutama cerita mengenai prestasi menggalang swadaya gotong royong masyarakat dan capaian proyek prasarana fisik yang bisa dilihat secara langsung.

Untuk melihat lebih dalam tentang Bandes yang telah berjalan selama 30 tahun (1969-1999), biarkan data dalam Tabel 10 dan 11 berbicara. Bantuan desa bersifat umum dan merata ke seluruh desa, tanpa memperhatikan aspek perbedaan kondisi sosial-ekonomi, penduduk dan geografis desa, serta tidak membedakan antara desa dan kelurahan. Pada tahun 1969/70, pemerintah menyalurkan bantuan desa sebesar Rp 100 ribu per desa, dan terakhir (1999) menyalurkan sebesar Rp 10 juta per desa untuk satu tahun. Karena dana bantuan itu bukan menjadi “hak” desa, maka desa tidak mempunyai “keleluasaan” untuk membelanjakannya. Setiap tahun pemerintah melalui Depdagri sudah membuat ketentuan yang ketat tentang prosedur pengelolaan bantuan desa, serta memberikan juklak dan juknis bantuan, yang telah menegaskan tentang batas-batas apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan desa.

Tabel 10 menampilkan data agregat tentang proporsi bantuan desa yang disalurkan oleh pemerintah pusat, bantuan pemerintah daerah (provinsi maupun kabupaten/kota). Kemampuan pemerintah pusat

Page 93: bukuADD

69KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

memberikan bantuan, baik dari sisi jumlah nominal maupun persentase, mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada pelita I (1969/70 s.d 1973/1974), bantuan desa secara nasional yang diberikan kepada lebih dari 60 ribu desa di Indonesia, sekitar Rp 22,3 milyar, kemudian mengalami peningkatan yang cukup besar menjadi Rp 94,2 milyar pada Pelita II (1974/75 s.d. 1978/79). Memasuki Pelita III, peningkatan Bandes jauh lebih drastis, lebih dari 300%, yakni mencapai sebesar Rp 331.9 milyar. Peningkatan ini tidak lepas dari sokongan rezeki nomplok dari boom minyak pada awal Pelita III (1979) yang membuat pemerintah mengobral kebijakan yang populis. Pada Pelita berikutnya (IV dan V), angka Bandes juga mengalami peningkatan, tetapi tidak sefantastis peningkatan pada Pelita III.

Tetapi angka-angka Bandes itu sebenarnya mengalami penurunan drastis bila dilihat dari sisi komposisi seluruh dana Inpres dalam APBN. Pada tahun 1970, angka Inpres bandes mencapai 49,5 dari total dana Inpres di APBN, sementara Inpres Dati II sebesar 50,5%, dan Inpres-inpres lainnya belum dialokasikan oleh pemerintah. Pada tahun 1974, pemerintah mulai menambah jenis Inpres lainnya, yakni Inpres Dati I (35,7%), Inpres SD (16%), dan Inpres Kesehatan (4,3%), sehingga Inpres Desa mengalami penurunan secara drastis menjadi 9,3% dan Inpres Dati II menurun menjadi 34,6%. Pada tahun 1995, penurunan Inpres Desa, Inpres Dati II dan Inpres Dati I terjadi secara dratis karena masuknya Inpres IDT. Proporsi Inpres Desa hanya sebesar 0,1% dari total Inpres, Inpres Dati II sebesar 0,5%, Inpres Dati I sebesar 0,3%, Inpres SD 0,1%, Inpres Kesehatan 0,1%, sedangkan Inpres Desa Tertinggal mencapai angka 98,8% dari seluruh total Inpres.

Page 94: bukuADD

70 ALOKASI DANA DESA

Tabel 10Proporsi Bantuan Pusat, Bantuan Pemda dan Swadaya Masyarakatuntuk Pembiayaan Pembangunan Desa, 1969/1970 s.d 1992/1993

No Tahun Pusat Pemda Swadaya Jumlah1. 1969/70 6.135.233,8 273.668,0 4.600.000,0 11.008.901,82. 1970/71 3.445.503,6 253.767,2 5.590.000,0 9.289.270,83. 1971/72 6.135.233,8 273.668,0 4.600.000,0 11.008.901,84. 1972/73 3.548.864,6 217.283,4 5.700.000,0 9.466.148,05. 1973/74 3.074.563,0 107.626,1 5.700.000,0 8.882.189,1

Pelita I 22.339.398,8 1.126.012,7 26.190.000,0 49.655.411,5% 45,0 2,3 52,7 100,0

6. 1974/75 11.400.000,0 272.301,0 14.382.903,0 26.055.204,07. 1975/76 15.929.000,0 309.668,8 18.607.224,5 34.845.893,38. 1976/77 19.794.000,0 350.908,9 27.348.242,5 47.493.151,49. 1977/78 23.174.000,0 501.526,9 27.671.813,8 51.347.340,710. 1978/79 23.955.000,0 468.846,6 26.713.966,1 51.137.812,7

Pelita II 94.252.000,0 1.903.252,2 114.724.149,9 210.879.402,1 % 44,7 0,9 54,4 100,0

11. 1979/80 31.025.000,0 441.677,9 33.261.021,0 64.727.698,912. 1980/81 50.738.000,0 406.567,1 41.531.694,0 92.676.261,113. 1981/82 70.164.800,0 411.339,3 50.296.481,0 120.872.620,314. 1982/83 88.342.658,0 1.540.700,7 70.986.273,6 160.869.632,315. 1983/84 91.611.008,0 338.496,3 57.343.083,6 149.292.587,9

Pelita III 331.881.466,0 3.138.781,3 253.418.553,2 588.438.800,5 % 56,4 0,5 43,1 100,0

16. 1984/85 92.803.700,0 37.183,0 62.515.086,5 155.355.969,517. 1985/86 98.431.389,1 337.372,5 80.756.734,2 179.525.495,818. 1986/87 98.607.031,1 305.639,8 76.757.628,9 175.670.299,819. 1987/88 98.370.616,4 416.851,6 76.190.202,0 174.977.670,020. 1988/89 110.946.853,0 1.225.397,0 88.157.878,6 200.330.128,6

Pelita IV 499.159.589,6 2.322.443,9 384.377.530,2 885.859.563,7% 56,3 0,3 43,4 100,0

21. 1989/90 110.863.520,0 842.471,2 107.434.803,0 219.140.794,222. 1990/91 178.074.268,0 622.586,0 124.594.124,4 303.290.978,423. 1991/92 230.925.504,5 498.168,3 154.510.198,2 385.933.871,024. 1992/93 289.356.107,5 7.531.836,7 184.083.419,4 480.971.363,6

Pelita V 809.219.400,0 9.495.062,2 570.622.545,0 1.389.337.007,2% 58,2 0,7 41,1 100,0

24 Tahun

1.756.851.854,4 17.985.552,3 1.349.332.778,3 3.124.170.185,0

% 56,2 0,6 43,2 100,0Sumber : Ditjen PMD Depdagri, Hasil Pelaksanaan Inpres Bantuan Pembangunan

Desa Pelita I s.d Tahun Keempat Pelita V (Jakarta: Depdagri, 1994).

Page 95: bukuADD

71KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

Tabel 10 juga menunjukkan fenomena menarik tentang besaran kontribusi swadaya masyarakat bila dibandingkan dengan sumbangan dari pusat dan dari Pemda. Sumbangan Pemda (Dati I dan II) tidak cukup berarti, masih kalah jauh bila dibandingkan dengan kontribusi swadaya masyarakat untuk pembiayaan pembangunan desa. Ini memperlihatkan bahwa Pemda Dati I (provinsi) dan Pemda Dati II (Kabupaten/Kotamadya) tidak mempunyai tanggungjawab langsung kepada desa yang berada dalam wilayah yurisdiksinya, kecuali hanya menjadi mata rantai yang melaksanakan perintah dari Jakarta. Angka swadaya masyarakat betul-betul fantastis, karena itu swadaya selalu menjadi tolok ukur utama untuk melihat kemandirian atau otonomi desa. Pada Pelita I, swadaya masyarakat memberikan sumbangan sebesar Rp 26,2 milyar, kemudian meningkat secara drastis, hampir 500%, menjadi Rp 114,7 milyar pada Pelita II. Memasuki Pelita III kontribusi swadaya masyarakat meningkat sekitar 100% menjadi sebesar Rp 253,4 milyar. Peningkatan ini kontras dengan sumbangan Bandes dari pusat. Peningkatan drastis swadaya masyarakat terjadi pada Pelita II, sementara peningkatan drastis Bandes terjadi pada Pelita III.

Tetapi Nick Devas dkk (1989) mengingatkan kita untuk membaca secara hati-hati angka fantastis swadaya masyarakat, karena ada tiga alasan. Pertama, ada masalah serius bagaimana mengukur dan menterjemahkan sumbangan swadaya masyarakat yang bukan uang (tenaga, barang, dan hasil tanah) ke dalam nilai uang. Kedua, pemuka desa berkepentingan untuk menyajikan gambaran yang baik mengenai tingkat sumbangan swadaya masyarakat untuk desanya terutama karena bantuan pemerintah harus diimbangi dengan sumbangan yang setara. Kedua faktor ini dapat menyebabkan angka-angka penerimaan desa dan swadaya masyarakat menjadi lebih tinggi dari yang sebenarnya. Dengan kalimat lain, Nick Devas dkk ingin mengatakan bahwa pemuka desa telah melakukan manipulasi dan eksploitasi untuk mark-up angka swadaya masyarakat, dalam rangka “mencari muka” di hadapan pemerintah supradesa. Ketiga, kemungkinan sebagian besar dari penerimaan yang dikumpulkan oleh pemuka desa tidak pernah masuk dalam pembukuan desa.

Kritik Devas dkk di atas memang sangat menarik, dan tampaknya sudah lama menjadi rahasia umum. Akan tetapi sampai sekarang belum

Page 96: bukuADD

72 ALOKASI DANA DESA

ada riset yang obyektif dan mendalam tentang kontribusi swadaya dan gotong royong masyarakat, sebagai data alternatif atas data agregat nasional yang dicurigai mengandung manipulasi (mark-up). Riset tentang swadaya dan gotong royong itu merupakan pekerjaan rumah yang sangat menantang. Sejauh kita belum mempunyai data alternatif, maka data agregat nasional bisa kita cermati secara kritis.

Mari kita cermati proporsi persentase bantuan desa dengan swadaya masyarakat dari Pelita ke Pelita dalam tabel 10. Dalam Pelita I dan II kontribusi swadaya masyarakat masih lebih besar bila dibandingkan dengan bantuan desa dari pusat. Kontribusi swadaya masyarakat pada Pelita I sebesar 52,7% dan pada Pelita II mencapai 54,4%. Sementara kontribusi bantuan desa sebesar 45,0% pada Pelita I dan sebesar 44,7% pada Pelita II. Tetapi memasuki Pelita III telah terjadi pergeseran kontribusi, yakni sebesar 56,4% untuk bantuan desa dan 43,1% untuk swadaya masyarakat. Pada Pelita V (selama empat tahun), kontribusi bantuan desa meningkat menjadi 58,2% dan kontribusi swadaya masyarakat mengalami penurunan menjadi 41,1%. Jika dihitung selama 24 tahun (1969/70 s.d 1992/93), sumbangan bantuan desa sebesar 56,2%; bantuan pemda hanya sebesar 0,6% dan swadaya masyarakat sebesar 43,2%.

Apa makna angka-angka itu? Kita sering mendengar cerita bahwa keuangan Dati I dan Dati II sangat tergantung pada pusat, sementara keuangan desa lebih mandiri yang berbasis swadaya. Bahkan kita sering mendengar “cerita sukses” bahwa kontribusi dari swadaya masyarakat jauh lebih besar ketimbang bantuan desa dari pemerintah. Cerita sukses itu merupakan indikator untuk mengukur banyak hal (perlombaan desa, prestasi pemerintah desa dan prestasi pemerintah supradesa) yang berorientasi vertikal (elitis), yang dijalankan dengan cara mobilisasi dan eksploitasi terhadap masyarakat. Para pemuka desa akan tampil “gagah” menepuk dada bila berhasil menggalang swadaya masyarakat, yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang bantuan pemerintah.

Tetapi angka dalam tabel 10 bisa kita gunakan untuk meruntuhkan mitologi dan klaim-klaim cerita sukses yang dilakukan pemerintah. Angka-angka dalam tabel 10 jelas memperlihatkan bahwa kemampuan dan kontribusi swadaya masyarakat untuk pembiayaan pembangunan mengalami penurunan, yang kemudian digeser oleh kekuatan bantuan

Page 97: bukuADD

73KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

pemerintah pusat. “Tampaknya, kedudukan sumbangan swadaya masyarakat desa dalam proyek-proyek pembangunan digantikan oleh bantuan pemerintah pusat”, demikian ungkap Nick Devas dan kawan-kawan (1989). Pergeseran dari kemandirian menuju ketergantungan itu juga menjadi kultur baru di kalangan pemuka desa. Di banyak daerah, muncul budaya baru, yakni meluasnya “siasat lokal” untuk memperoleh bantuan dari pemerintah pusat, padahal sebelumnya pengelolaan barang-barang publik di desa didasarkan pada prinsip self-governing community. Banyak desa yang berukuran kecil di Jawa Tengah tidak mau digabung karena takut kehilangan bantuan. Pengalaman bantuan desa juga meningkatkan minat yang besar untuk pemekaran desa, selain penentuan desa-desa unit transmigrasi menjadi desa definitif. Di Sumatera Barat misalnya, pemekaran nagari menjadi beberapa desa (dengan menggunakan satuan jorong), sangat tampak mengandung siasat lokal untuk mengambil bantuan dari pemerintah pusat. Kenyataan ini tentu menjadi salah satu kelemahan mendasar pola bantuan desa yang bersifat merata dan seragam, yang mendorong daerah untuk memperbanyak desa. Secara empirik kita bisa tunjukkan bahwa peningkatan jumlah bantuan desa secara nasional juga bersamaan dengan pertambahan desa-desa baru. Pada tahun 1969/70, tercatat sejumlah 44.478 desa kemudian bertambah menjadi 45.587 desa pada tahun 1973/74, bertambah lagi sekitar 15 ribu desa menjadi 60.645 pada tahun 1978/79. Pada tahun 1983/84, ketika terjadi penataan desa baru berdasarkan UU No. 5/1979, jumlah desa bertambah menjadi 66.437.

Siasat lokal itu diikuti dengan melemahnya partisipasi masyarakat, dalam pengertian tanggungjawab dan kepemilikan masyarakat terhadap barang-barang publik di desa (jalan, lingkungan, sarana irigasi, dan lain-lain). Terutama di luar Jawa, masyarakat tidak mengurus dan memperbaiki jalan kampung, karena mereka cenderung menunggu bantuan dari pemerintah. Kami menemukan sikap seperti ini tampak jelas di perkampungan desa di Sumatera Barat, akibat dari kehilangan atas nagari dan ketergantungan pada bantuan pemerintah. Sampai di pelosok pedalaman Kalimantan Tengah, hal serupa banyak di jumpai. Kepemilikan masyarakat lokal yang rendah juga terjadi pada konteks pemeliharaan proyek-proyek bantuan pembangunan desa yang tidak

Page 98: bukuADD

74 ALOKASI DANA DESA

dilaksanakan secara partisipatif. Karena alasan inilah, memasuki tahun 1990-an, panduan Inpres Desa memasukkan sebuah tujuan baru, yakni meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan prasarana fisik yang telah dibangun dengan bantuan desa dan swadaya.

Meskipun ditemukan banyak kelemahan dan kegagalan, di setiap tahun pemerintah selalu menunjukkan sederet cerita sukses program bantuan desa, baik dari sisi manfaat dan hasilnya. Tabel 10 menggambarkan volume keluaran proyek-proyek bantuan desa yang digunakan untuk membangun berbagai prasarana: produksi (bendungan, irigasi, waduk, bronjong, dll); perhubungan (jalan, jembatan, gorong-gorong, dll); pemasaran (pasar, kios, lumbung, dll); sosial (gedung serba guna, lapangan, tempat ibadah, siskamling, dll). Seperti biasa pemerintah selalu menampilkan target-target kuantitatif yang fantastis.

Tabel 11Hasil-hasil proyek pembangunan yang dibiayai dengan Inpres Desa

No Periode Pr Per. Pem. Sos. Ek. Jumlah

1 1969/70 38.778 32.344 10.083 4.804 86.009

2 1973/74 23.091 24.019 4.915 6.339 58.364

3 1978/79 17.365 36.386 3.117 30.736 87.604

4 1982/83 65.179 37.061 12.660 118.021 232.921

5 1986/87 75.474 35.414 11.930 138.762 12.497 261.580

6 1989/90 29.453 32.839 90.515 88.596 62.550 241.403

7 1991/92 28.275 34.820 6.314 146.919 59.662 216.328

8 1992/93 18.778 40.754 4.961 122.868 79.082 187.361Catatan: Pr (Produksi), Per (Perhubungan), Pem (Pemasaran), Ek (ekonomi: simpan

pinjam, koperasi, dll). Sumber: Ditjen PMD Depdagri, Hasil Pelaksanaan Inpres bantuan Pembangunan Desa Pelita I s.d Tahun Keempat Pelita V (Jakarta: Depdagri, 1994).

Pada tahun pertama (1969/70), ada sejumlah 86.009 volume proyek yang dihasilkan, terdiri dari 38.778 volume proyek sarana produksi; 32.344 volume sarana perhubungan; 10.083 sarana pemasaran; dan 4.804 sarana sosial. Kalau jumlah desa pada tahun itu sebesar 44.478, berarti volume 4 (empat) jenis proyek itu belum menjangkau secara merata ke seluruh desa. Lonjakan volume proyek terjadi pada tahun 1982/83, yakni sejumlah 232.921 proyek. Angka ini barangkali sudah

Page 99: bukuADD

75KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

mampu menjangkau secara merata ke seluruh desa yang jumlahnya 64.650. Tetapi data yang pasti belum jelas, apakah setiap proyek mampu menjangkau ke setiap desa. Yang juga perlu dicermati, ternyata memasuki dekade 1980-an, sebagian besar proyek Inpres Desa dilarikan ke pembangunan atau peningkatan prasarana sosial (gedung serba guna, tempat ibadah dan poskamling), sementara proyek-proyek untuk pendukung peningkatan ekonomi produktif (prasarana produksi dan pemasaran) cenderung berkurang. Sejak 1986/87, sebagian dana Bandes dialokasikan untuk mendukung sarana ekonomi seperti pengembangan simpan pinjam, dana bergulir dan koperasi. Semua ini merupakan bentuk “katup pengaman” di tingkat lokal dan pemerataan akses penduduk terhadap modal kecil.

Inpres Desa telah berhasil mengadakan berbagai sarana fisik di desa yang bisa dilihat secara langsung dengan mata, setidaknya hal ini terjadi pada desa-desa di Jawa. Akan tetapi mengukur dampak bantuan Inpres pada berbagai tingkat pemerintah, termasuk desa, terasa lebih sulit, meski tidak disangsikan lagi peranan penting yang dimainkan bantuan ini dalam mewujudkan jaringan jalan yang lebih baik di pedesaan di seluruh pelosok Indonesia. Pihak swasta menyambut perbaikan ini dengan menyediakan alat yang murah dan cepat berupa bus mini atau dalam istilah populernya adalah Colt. Dibandingkan dengan jumlah bus yang hanya 20.000 pada tahun 1968, dan 200.000 jenis-jenis mobil lainnya, pada tahun 1985 jumlah bus di Indonesia mencapai 230.000 dan jumlah mobil penumpang hampir mencapai satu juta unit. Selain itu, jumlah truk dan mobil angkut yang lain mengalami kenaikan dari 93.000 menjadi 844.000. Jasa angkutan yang meningkat di berbagai tempat, sekaligus masuk ke pelosok desa, tentu menciptakan jalur transportasi dan pemasaran yang lebih baik, membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan para petani dan pedagang kecil di desa yang setiap hari mereka bisa memanfaatkan pasar yang ada (Nick Devas, dkk, 1989).

Skema Bandes mungkin hanya sukses dijalankan di sebagian desa di Jawa. Pemerintah desa memanfaatkan bantuan desa (yang dipadukan dengan tanah kas desa) untuk membangun kantor desa dan memobilisasi (jika bukan eksploitasi) swadaya masyarakat untuk membangun prasarana fisik kampung. Tetapi skema itu umumnya gagal

Page 100: bukuADD

76 ALOKASI DANA DESA

di Luar Jawa. Penyeragaman desa melalui UU No. 5/1979 membuat hancur self-governing community dan mematikan swadaya masyarakat. Dana bantuan desa umumnya habis digunakan untuk membiayai belanja rutin pemerintah desa, terutama insentif perangkat desa, sehingga sebagian besar desa-desa di Luar Jawa sampai sekarang tidak memiliki kantor desa. Bantuan desa tidak serta-merta mampu membangkitkan swadaya masyarakat, tetapi malah mematikannya dan menciptakan kultur “meminta bantuan”.

Dalam setiap tahun pidato kenegaraan Presiden RI, ada tiga hal penting tentang manfaat dan hasil yang dipersembahkan oleh Inpres Desa. Pertama, Inpres Desa telah dapat mendorong berbagai jenis usaha swadaya dan gotong royong masyarakat, sehingga besarnya sumbangan swadaya dan bantuan pemerintah secara bersama-sama terus berkembang dalam mendukung pembangunan desa. Kedua, Inpres Desa telah mendukung peningkatan fungsi LMD, LKMD, dan juga PKK. Ketiga, Inpres Desa telah meningkatkan berbagai prasarana dan sarana desa, sehingga kemampuan berproduksi penduduk pedesaan meningkat, perhubungan dalam desa maupun antardesa semakin baik dan lancar, pemasaran hasil-hasil produksi semakin baik, dan pelayanan sosial semakin berkembang. Dengan kalimat lain, Inpres Desa telah memberikan sumbangan besar terhadap peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.

Jika laporan-laporan resmi selalu menunjukkan banyak cerita sukses yang luar biasa, banyak penelitian independen memperlihatkan analisis dan temuan-temuan kritis. Contohnya adalah penelitian independen tim Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Syah Kuala, Universitas Brawijaya (UNBRAW) dan Universitas Hasanuddin (Unhas) yang bekerjasama dengan Depdagri dan BAPPENAS, tahun 1998, setahun sebelum Inpres Desa berakhir. Tim penelitian UI dan Syah Kuala di Aceh, misalnya, mengambil sejumlah kesimpulan berdasarkan temuan di lapangan. Pelaksanaan Inpres Desa memang mempunyai sejumlah dampak positif: (1) memotivasi warga desa untuk melaksanakan pembangunan desa; (2) mempercepat laju pembangunan desa; (3) telah dapat dibangun prasarana dan sarana sosial-ekonomi secara lebih baik; (4) berkembangnya kapital (modal) milik desa; dan (5) pengembangan SDM lembaga pemerintahan desa.

Page 101: bukuADD

77KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

Namun di balik cerita positif itu, Inpres Desa juga mengandung sejumlah dampak negatif. Pertama, tujuan peningkatan partisipasi belum tercapai sepenuhnya karena adanya kebijakan pemerintah atasan yang tidak memberikan iklim untuk pengembangan partisipasi. Kedua, pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan) Inpres Desa belum berjalan secara optimal. Pada tahap perencanaan misalnya, kelemahan terlihat dari minimnya keterlibatan (partisipasi) masyarakat dalam menyusun Daftar Usulan Rencana Proyek (DURP). Ketiga, munculnya rasa kurang percaya warga desa terhadap pemerintah atasan karena adanya “potongan-potongan” atas dana Inpres secara liar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Keempat, terbukanya kesempatan bagi penguasa tingkat atasan untuk mengambil keuntungan-keuntungan demi kepentingannya melalui pengadaan barang-barang tertentu yang didistribusikan secara seragam kepada desa. Kelima, melemahnya swadana masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan, karena adanya anggapan bahwa dana pembangunan sudah tersedia dari atas. Keenam, belum dapat meningkatkan pendapatan warga desa. Meski telah tersedia berbagai prasarana dan kapital desa, tetapi masih banyak warga desa yang hidup dalam keadaan miskin.

Cerita sukses Bandes tentu menjadi bagian kecil dari cerita sukses pembangunan desa selama Orde Baru. Setelah berjalan selama tiga dekade, sebagian besar desa-desa di Indonesia telah berubah wajahnya. Desa jauh lebih terbuka, dengan jalan-jalan yang mulus, irigasi yang lancar, penerangan lingkungan yang memadai, tersedianya sarana transportasi yang semakin baik, jalur transaksi ekonomi yang kian terbuka, tersedianya sarana pendidikan dan kesehatan, dan seterusnya. Pada level mikro, pembangunan (modernisasi) telah mendorong mobilisasi sosial (bukan transformasi sosial) penduduk desa. Banyak tempat tinggal penduduk desa yang berubah menjadi lebih baik, semakin banyak orang desa yang berhasil meraih gelar sarjana dari perguruan tinggi, semakin banyak penduduk desa yang hidupnya bertambah makmur, semakin banyak keluarga sudra (petani, nelayan, buruh) di desa yang berhasil menjadi priyayi (PNS, pejabat, guru, dosen, dokter, dan lain-lain) di kota, semakin banyak penduduk desa yang memiliki perlengkapan modern (motor, mobil, televisi, telepon selular, dan lain-lain). Kita juga sering menyaksikan data statistik resmi bahwa angka kemiskinan orang

Page 102: bukuADD

78 ALOKASI DANA DESA

desa semakin berkurang, tingkat melek huruf kian meningkat, kondisi kesehatan makin membaik, usia harapan hidup semakin meningkat, dan seterusnya. Berdasarkan oral history dari para orang tua yang telah melewati 2-3 zaman, kondisi sosial-ekonomi desa yang lebih baik itu belum dirasakan sampai dekade 1970-an. Dekade 1970-an baru dimulai modernisasi desa, yang hasilnya baru dirasakan mulai dekade 1980-an.

Namun sejumlah kemajuan dalam mobilisasi sosial itu tidak terjadi secara merata, dan secara umum kebijakan pembangunan desa juga mendatangkan banyak kerugian besar. Derajat hidup orang desa tidak bisa diangkat secara memadai, kemiskinan selalu menjadi penyakit yang setiap tahun dijadikan sebagai komoditas proyek. Masuknya para pemilik modal maupun tengkulak melalui kebijakan resmi maupun melalui patronase semakin memperkaya para elite desa maupun para tengkulak, sementara para tunawisma maupun tunakisma semakin banyak.

Statistik pertanian 2003 juga memperlihatkan peningkatan jumlah rumah tangga petani dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,6 juta pada tahun 2003. Peningkatan yang sama juga terjadi pada populasi petani gurem (pemilik lahan kurang dari setengah hektar), yakni sejumlah 10,8 juta (1993) menjadi sejumlah 13,7 juta (2003). Angka 13,7 juta itu tersebar 74,9% di Jawa dan 25,1% di Luar Jawa (Bustanul Arifin, 2005). Sejak 1980-an pemerintah sudah mencanangkan proyek swasembada beras, tetapi proyek ini menderita kegagalan, terbukti beberapa tahun terakhir Indonesia melakukan impor beras dari negeri-negeri lain. Banyak orang sedih, begitu ironisnya Indonesia, sebuah negeri agraris yang besar tetapi melakukan impor beras. Setiap hari kita mendengar jeritan petani tentang gagal panen, menurunnya harga gabah, serta meningkatnya harga bibit dan pupuk. Para petani di sektor lain (tembakau, jeruk, apel, kakao, cengkeh, lada, mangga, dan lain-lain) selalu tidak berdaya bila bernegosiasi harga dengan para cukong pemilik modal. Pada skala mikro, Cindelaras (sebuah NGO di Yogyakarta yang concern pada pemberdayaan petani di desa), pernah menemukan data penelitian bahwa para petani di desa tidak mampu menghadapi laju konsumsi yang jauh lebih cepat-besar ketimbang kemampuan produksi mereka. Banyak petani terpaksa menjual modal produksi atau aset produksi (sawah, pekarangan dan ternak piaraan) untuk membayar konsumsi (misalnya sekolah dan kesehatan) yang harganya melambung tinggi karena terjadi komersialisasi.

Page 103: bukuADD

79KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

3. Sentralisme Pembangunan DesaMengapa pembangunan desa mengalami kegagalan, tidak mampu

mengangkat human well being masyarakat desa? Sebenarnya sudah ba-nyak argumen, evaluasi maupun riset yang mengemuka untuk menjelas-kan kegagalan pembangunan desa. Penjelasan terbentang dari kacamata empirik, disain pembangunan maupun paradigma pembangunan. Ada penjelasan empirik yang bersifat klasik menegaskan bahwa pembangunan desa gagal karena miskinnya komitmen pemerintah, konsep hanya berada di atas kertas, rendahnya responsivitas kebijakan dan keuangan pemerintah daerah, birokrasi yang bermasalah, seringnya terjadi kebocoran, implementasi yang amburadul, dan sebagainya. Penjelasan kedua membidik dari sisi paradigma dan disain pembangunan. Kami mengambil posisi yang kedua ini. Pertama, pembangunan desa yang berorientasi pada pertumbuhan dan layanan sosial, dengan disain yang sangat teknokratis dan sentralistik, sebegitu jauh mengabaikan aspek keberlanjutan, konteks dan kebutuhan lokal, partisipasi, penguatan kapasitas lokal, dan governance reform. Kedua, seperti terlihat dalam gambar 1, aktor utama dalam pembangunan desa hanyalah negara dan pasar. Skema ini mengabaikan aktor masyarakat, sebab masyarakat hanya ditempatkan sebagai target penerima manfaat (beneficiaries), bukan subyek yang harus dihormati dan memegang posisi kunci pembangunan secara partisipatif. Ketiga, pembangunan desa terpadu hanya memadukan aspek-aspek sektoral, tetapi tidak memadukan agenda pembangunan dengan desentralisasi dan demokratisasi.

Ketiga konteks itu sebenarnya terkait dengan “negara masuk desa” atau sentralisme dalam pengelolaan pembangunan dan pemerintahan desa. Pola kebijakan yang sentralistik dan seragam ternyata cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mematikan konteks sosial yang beragam. Karena itu, desentralisasi dilancarkan guna merevitalisasi berbagai kerusakan konteks lokal, sekaligus mendekatkan kebijakan dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Page 104: bukuADD

80 ALOKASI DANA DESA

Gambar 1Pemikiran Pembangunan Desa 1960-an - 1990-an

Sumber: “Rithinking Rural Development”, ODI Briefing Paper, Maret 2002. Lihat juga Caroline Ashley dan Simon Maxwell, “Rithinking Rural Develop-ment”, Development Policy Review, 19: 4, Desember, 2001.

Di sisi lain konsep “bantuan” ternyata tidak memberdayakan, se-baliknya malah menciptakan kultur ketergantungan atau kultur meminta. Sampai sekarang kultur itu masih terpelihara. Pejabat pemerintah supradesa sangat suka dilayani dan memberi bantuan, sebaliknya desa suka melayani dan meminta bantuan. Karena itu, sekarang sudah banyak muncul wacana dan gerakan untuk mengubah konsep bantuan menjadi alokasi, sebab kalau bantuan identik dengan sedekah yang tergantung pada pemberi bantuan, sedangkan alokasi menegaskan bahwa sebagian dana yang dikelola pemerintah merupakan hak desa dan pemerintah wajib mengalokasikannya. Sekarang banyak kepala desa, yang karena memperoleh kesempatan belajar dengan kalangan NGO dan perguruan tinggi, mulai kritis terhadap konsep bantuan, dan mereka menuntut alokasi dana yang sebenarnya menjadi hak desa. Kamardi, Ketua Asosiasi Kepala Desa, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menegaskan: “Desa tidak meminta-minta bantuan, insentif atau stimulus kepada pemerintah kabupaten. Kami menuntut sesuatu yang menjadi hak-hak desa”.

Selain program bantuan yang bersifat sentralistik dan mematikan

PertumbuhanEkonmi

PelayananSosial

1960-an 1970-an

1990-an

Negara

Pasar1980-an

Page 105: bukuADD

81KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

di atas, pemerintah juga melancarkan berbagai program pembangunan secara terpusat (top-down). Semua departemen, kecuali departemen luar negeri, menggarap program-program sektoral pembangunan desa. Berbagai program pembangunan desa, mulai Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sampai P3DT, misalnya, sebegitu jauh dilancarkan secara terpusat serta melewati mata rantai birokrasi (yang rawan kebocoran) untuk diserahkan langsung kepada masyarakat. Mekanisme desentralisasi ditinggalkan dalam konteks ini, sehingga daerah tidak mempunyai kesempatan belajar, tidak mempunyai sense of belonging (rasa memiliki), dan kurang bertanggungjawab atas pelaksanaan program. Di satu sisi program tersebut bisa meminimalisir korupsi birokrasi di daerah, tetapi di sisi lain memperlemah desentralisasi dan otonomi daerah.

Pendanaan pembangunan desa yang mengalir dari Jakarta, terutama yang menggunakan skema utang luar negeri, tidak dimasukkan ke dalam anggaran daerah, apalagi anggaran desa (APB Desa), yang sudah direncanakan sendiri di tingkat lokal. Dengan demikian, dana yang datang dari pusat adalah dana proyek yang bersifat nonbudgeter, sehingga dana itu di tingkat lokal berada di luar perencanaan dan pemerintah lokal tidak perlu membuat akuntabilitas kepada publik. Karena program pembangunan desa yang terpusat itu tidak diintegrasikan dalam skema desentralisasi, maka yang terjadi adalah ketergantungan pemerintah lokal (daerah dan desa) pada program bantuan dari pusat, serta melemahkan kemampuan dan responsivitas lokal dalam melancarkan program-program pembangunan desa dalam kerangka desentralisasi secara mandiri dan sesuai dengan preferensi lokal. Dalam benak para pejabat daerah, pembangunan desa adalah “proyek-proyek” peningkatan prasarana fisik desa, kegiatan penyuluhan maupun penyaluran bantuan-bantuan karitatif (sedekah) kepada rakyat desa.

Karena kurangnya proses belajar selama periode sentralisasi, pemerintah daerah di era otonomi daerah tidak mempunyai kemampuan dan responsivitas yang memadai dalam menyiapkan program-program pembangunan desa dalam kerangka desentralisasi dan demokrasi lokal. Dengan alasan klasik, minimnya dana, pemda mengaku tidak mampu membuat kebijakan pembangunan desa yang komprehensif. Tetapi kalau kita lihat struktur APBD di banyak kabupaten/kota, anggaran

Page 106: bukuADD

82 ALOKASI DANA DESA

pembangunan desa jauh lebih kecil dibanding dengan program pengawasan dan pembinaan aparatur pemerintah, apalagi kalau dibandingkan dengan belanja pegawai.

4. Catatan Pahit BandesInpres Bantuan Desa yang sudah berjalan selama tiga dekade

merupakan bagian integral dari proyek besar bernama pembangunan desa terpadu (integrated rural development). Kebijakan yang terpusat ini bukan digunakan untuk menyiapkan pemerintahan desa yang otonom, tetapi ia digunakan untuk membangun stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan ke aras desa. Dalam praktiknya, pengalaman Bandes selama 30 tahun telah menciptakan pemahaman bahwa pembangunan desa merupakan pembangunan prasarana fisik desa, yang sampai sekarang pemahaman ini telah berakar pada orang desa.

Dana yang menetes ke desa melalui Bandes tentu membuahkan hasil dan manfaat secara kuantitatif. Wajah fisik desa telah berubah dari tahun ke tahun. Tetapi hasil-hasil ini tidak cukup signifikan sebagai fondasi bagi perubahan sosial masyarakat menuju kesejahteraan dan keadilan sosial. Inpres Bandes sama sekali tidak membawa spirit kemandirian, pemberdayaan, dan partisipasi, sehingga yang terjadi justru menguatnya ketergantungan desa kepada bantuan pemerintah. Partisipasi yang dikedepankan bukan partisipasi yang bermakna, melainkan hanya mobilisasi swadaya masyarakat, seperti halnya kerja rodi pada masa kolonial. Potensi dan prakarsa lokal tidak tumbuh, dan hak-hak desa justru mengalami peminggiran. Kultur ketergantungan itu juga melanda pemerintah daerah. Pengalaman sentralisme selama tiga dekade telah membuat pemerintah daerah di era otonomi daerah sekarang tidak mempunyai komitmen, kapasitas, dan responsivitas yang memadai untuk memperkuat kemandirian desa.

B. Kekhasan Kebijakan pada Masa ReformasiMembandingkan pengalaman (lesson learned) antara kebijakan

Bandes dengan enam kabupaten yang telah melaksanakan kebijakan ADD, maka dapat ditarik sejumlah keunggulan ADD yang patut dikembangkan lebih lanjut di berbagai daerah.

Page 107: bukuADD

83KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

1. Peka terhadap Semangat Otonomi DesaKeenam kabupaten membuktikan dirinya sadar dan peka terhadap

semangat otonomi daerah yang lekat dengan otonomi desa sehingga mereka tidak menjadikan desa sebagai ancaman yang dimaknai dapat menggerogoti APBD, tetapi justru sebagai mitra yang dipercaya untuk melaksanakan tugas pemerintahan di aras lokal dengan didukung anggaran dari APBD. Mereka bahkan menempatkan desa sebagai ujung tombak dari bekerjanya otonomi daerah untuk menjalankan fungsi pemerintah, pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, meskipun masih menghadapi minimnya dana anggaran pendapatan, mereka memberanikan diri untuk mengalokasikan dana ke desa. Meskipun ADD yang dikucurkan setiap tahunnya relatif masih kecil dibandingkan dengan pos pengeluaran dalam ABPD-nya, enam kabupaten itu telah beritikad baik untuk menjamin desa dapat bekerja menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan terendah dan sebagai self governing community.

Munculnya kebijakan ADD merupakan bagian dari proses politik di daerah, dimana elemen-elemen masyarakat sipil melakukan agenda advokasi, dan agenda ini kemudian direspon positif oleh elite lokal yang berkuasa. Oleh karena itu, kebijakan ADD dalam konteks itu mencerminkan sebuah proses politik yang positif yang sejalan dengan agenda demokrasi dan partisipasi masyarakat. Tidak ketinggalan pula kebijakan ADD ini mencerminkan sebuah niat baik dari elite lokal khususnya para bupati yang menempatkan ADD sebagai komitmen kepemimpinannya dan program kerjanya. Karena peran bupati yang kuat seperti itu, maka kebijakan ADD kemudian dilaksanakan oleh semua unsur dalam pemerintahan daerah.

2. Berbasis pada Konsultasi PublikMencermati proses perencanaan penyusunan dan pendistribusian

ADD ke desa, nampak bahwa pemerintah kabupaten telah menyiapkan kebijakan ADD itu dengan baik. Dalam perencanaan kebijakan ADD, kabupaten mengawalinya dengan melakukan konsultasi publik, khususnya kepada penyelenggara pemerintahan desa seperti asosiasi kepala desa, asosiasi wali nagari, BPD dan LSM setempat. Bahkan dalam menyempurnakan kebijakan, pihak kabupaten pun terus membuka akses bagi setiap unsur dalam pemerintahan desa dan LSM maupun tokoh masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya.

Page 108: bukuADD

84 ALOKASI DANA DESA

Agar kebijakan itu terprogram dengan baik, kabupaten melakukan langkah-langkah strategis seperti yang ditemukan dalam studi ini. Yang pertama, kabupaten menugaskan unsur-unsur terkait dalam pemerintahan di tingkat kabupaten untuk mengkoordinasi dan memfasilitasinya. Studi ini menemukan contoh ideal yang ditampilkan oleh kabupaten Limapuluh Kota di dalam mengkoordinasi pelaksanaan ADD dengan membentuk tim pembina dan pelaksana meskipun kinerjanya masih perlu ditingkatkan kualitasnya.

Selanjutnya, dana yang dikucurkan mengacu pada formula yang memberikan kepastian tentang besarnya ADD di setiap desa. Dari segi formula nampak bahwa setiap kabupaten belajar dari pengalaman menerima DAU sehingga formula ADD mempunyai sisi kemiripan dengannya. Formula yang sama di setiap kabupaten adalah menggunakan indikator tentang luas wilayah, jumlah penduduk, potensi ekonomi dan kemiskinan. Indikator lainnya yang dipakai adalah aspek pemerataan dan atau keadilan sehingga memberikan jaminan bagi desa ”tertinggal” untuk mendapat dana yang proporsional sehingga dapat mengejar kebutuhannya. Contoh menarik dari formula ini ditemukan di Tuban yaitu dengan menetapkan adanya reward dan punishment bagi desa yang gagal dan berhasil mengelola ADD sehingga ADD mempunyai fungsi yang positif untuk mendorong kemandirian pemerintahan desa dan partisipasi masyarakatnya.

Di samping itu, studi ini juga menemukan bahwa banyak kabupaten yang telah mengintegrasikan ADD sebagai bagian integral dari APB Desa, dan fenomena ini menjadi cerita yang menarik untuk disimak tentang kapasitas desa dalam menyelenggarakan pemerintahan. Fakta telah mengungkapkan bahwa desa-desa tersebut menjadikan ADD sebagai bagian dari pendapatan desa yang harus dipertanggungjawabkan baik ke atas maupun ke masyarakat. Tidak kalah penting APB Desa kemudikan disusun melalui proses politik yang mengedepankan prinsip demokrasi dan partisipasi.

3. Responsif terhadap Kebutuhan DesaKebijakan ADD di enam kabupaten itu tampak sekali sejalan dengan

tuntutan dan kebutuhan desa dan masyarakatnya. Dengan adanya ADD maka desa bisa bekerja menjalankan fungsi-fungsi kepemerintahan, dan

Page 109: bukuADD

85KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

belajar lebih bertanggungjawab di dalam menjalankan fungsi tersebut di hadapan pemerintah kabupaten dan masyarakat desa itu sendiri. Dalam hal ini, ADD telah menjadi sebuah kebijakan yang dianggap populis karena di dalam penyelenggaraannya diamanatkan untuk mewujudkan pembangunan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat.

Tanpa ADD otonomi desa akan terus menerus terbelenggu pada persoalan klasik yakni kurangnya dana operasional pemerintahan dan dana pembangunan, sehingga pemerintahan desa menjadi beban bagi masyarakatnya. Fenomena ini nampak sekali pada pemerintahan desa-desa di Kabupaten Selayar dan Limapuluh Kota sebelum munculnya kebijakan ADD. Dengan adanya ADD, berbagai kewenangan pemerintahan kabupaten dapat diserahkan ke desa.

4. Mendorong trust dan Kerjasama Kabupaten dan DesaSecara eksplisit maupun implisit, produk-produk kebijakan ADD

telah mengakui desa sebagai pemerintahan di tingkat komunitas yang otonom dan karenanya harus didukung di dalam menyediakan anggaran pemerintahan dan pembangunan. Pengakuan ini membuat desa mempunyai trust (rasa percaya) yang tinggi terhadap kabupaten dan berimbas pada tumbuhnya komitmen desa bukan sebagai penadah anggaran dari kabupaten melainkan sebagai agen yang mampu meningkatkan kapasitasnya sebagai penyelenggara pemerintahan terendah di wilayahnya.

Kebijakan ADD secara langsung atau tidak telah membuka pembagian kerja antara pemerintahan desa dengan kabupaten dalam melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, ADD di beberapa kabupaten telah disiapkan sebagai bentuk pelimpahan wewenang kepada desa untuk melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Sampai sekarang ini belum tersusun tentang pedoman mengenai bentuk dan kualitas pelayanan publik di tingkat desa yang diselenggarakan oleh pemerintahan desa, tetapi nampaknya alokasi anggaran dalam APB Desa di banyak kabupaten mengungkapkan bahwa desa telah menaruh perhatian secara khusus mengenai program-program pelayanan publik yang tepat di wilayahnya.

Page 110: bukuADD

86 ALOKASI DANA DESA

5. Mendorong Kemandirian, Demokrasi dan Partisipasi Kebijakan ADD juga mengamanatkan pengelolaan anggaran dengan

menegakkan prinsip demokrasi dan partisipasi. Dengan diintegrasikan ke dalam APB Desa, usulan tentang ADD menjadi bagian dari RAPB Desa yang digodok oleh kepala desa dengan melakukan konsultasi publik dan dibahas serta ditetapkan oleh BPD atau BPAN.

Konsultasi publik maknanya membuka partisipasi masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya di hadapan pengelola pemerintahan desa. Pada tahap penyusunan RAPB Desa, masyarakat dilibatkan dalam Musrenbang desa, atau dapat dimulai dari pertemuan di tingkat komunitas terendah seperti RT, RW, Dusun, Jorong, Kampung sehingga masyarakat luas dapat mengusulkan berbagai program pembangunan ke depan.

Di beberapa kabupaten, usulan masyarakat tidak hanya ditampung oleh kepala desa dan aparat desa, melainkan oleh anggota BPD, BPAN maupun lembaga-lembaga sosial di desa atau nagari. Dengan membuka akses terhadap masyarakat dalam menyiapkan RAPBN itu membuat mereka semakin percaya kepada pemerintahannya dan berdampak pada meningkatnya kepedulian mereka untuk mengeluarkan dana swadaya guna menopang anggaran pemerintahan. Bahkan masyarakat sepertinya juga semakin percaya terhadap desentralisasi di tingkat kabupaten karena berimbas pada peningkatan partisipasi mereka dalam mengelola jalannya pemerintahan.

Peningkatan partisipasi berkorelasi terhadap meningkatnya anggaran pemasukan APB Desa. Ini dapat dilihat dari munculnya kecenderungan meningkatnya anggaran pemasukan yang berasal dari pendapatan asli desa (PAD) yang salah satu sumbernya adalah dana swadaya dan gotong royong. Oleh karena itu menjadi semakin dapat dimengerti bahwa ADD menjadi elemen yang penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu pula ADD bukan mematikan inisiatif lokal dan bahkan menutup akses masyarakat terhadap jalannya pemerintahan desa, melainkan sebaliknya. ADD telah membuat pemerintahan desa semakin demokratis dan partisipatif. Hal ini terlihat dari meningkatnya pos pendapatan dan belanja APB Desa yang tidak hanya didukung oleh ADD, tetapi juga oleh pendapatan asli desa yang salah satu sumbernya adalah iuran dan swadaya masyarakat.

Page 111: bukuADD

87KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

Meningkatnya swadaya masyarakat dan keterlibatan dalam penyusunan RAPB Desa diikuti pula dengan meningkatnya pengawasan dari masyarakat, sebagaimana terjadi di Kabupaten Limapuluh Kota yang dikenal dengan sebutan pengawasan kultural. Kepedulian masyarakat yang tinggi terhadap agenda penguatan nagari melalui DAUN telah mendorong masyarakat secara langsung mengawasi jalannya pembangunan. Akibatnya kebocoran alokasi DAUN pun sangat kecil.

Sebuah pepatah yang sering muncul dalam forum di desa adalah “Demokrasi itu membutuhkan biaya yang besar”. Pepatah ini mempunyai landasan empiris. Bila desa harus menyelenggarakan musyawarah, mendatangkan warga dengan mengedarkan surat undangan adalah soal yang mudah, tetapi menjamin warga bisa duduk tenang tanpa rasa haus dan lapar dan beban yang memberatkan warga seperti ongkos transportasi harus dicarikan solusinya. Dengan adanya ADD, masalah seperti itu bisa diatasi, sebagian dana dipakai untuk menyelenggarakan berbagai pertemuan yang lebih partisipatif.

Di enam kabupaten, pertemuan warga untuk menggalang swadaya dan menjaring suara warga menjadi lebih sering dilakukan dan hasilnya nampak luar biasa. Banyak warga yang semula merasakan hadir dalam forum sebagai tamu menjadi partisipan yang bebas berbicara untuk meningkatkan kualitas pembangunan di wilayahnya. Oleh karena itu, tepat apa yang dikatakan oleh seorang pengamat di desa Sumedang yang sering hadir dalam forum warga bahwa DPD menjadi instrumen yang ikut menyemarakkan iklim demokrasi yang partisipatif.

DPD mendorong Pemerintahan Desa untuk menyelenggarakan musyawarah masyarakat di setiap RW. DPD juga telah mendorong semangat kerja dari aparat desa, pengurus-pengurus lembaga kemasyarakatan untuk melaksanakan bidang tugas masing-masing (Suara tokoh desa di Kabupaten Sumedang)

Berkembangnya demokrasi partisipatif di desa-desa penerima ADD berkaitan pula oleh adanya pemahaman yang kuat dalam diri para penyelenggara pemerintahan di kabupaten dan desa bahwa dana itu adalah milik masyarakat, dan karenanya masyarakat sadar bahwa merekalah yang bertanggungjawab atas penggunaannya. Lewat forum itu mereka berusaha menjamin agar dana tersebut benar-benar bermanfaat bagi desanya. Kesadaran itu tercermin dari tuntutan warga untuk selalu

Page 112: bukuADD

88 ALOKASI DANA DESA

mendorong proses pengelolaan dan pemanfaatan anggaran ADD secara transparan. Saat desa diserahi wewenang mengelola ADD yang bisa digunakan desa untuk menyelesaikan masalah, desa merasa diberi kepercayaan dan tantangan membangun desanya secara partisipatif. Dana tersebut seolah menjadi pendorong dan penggerak kepedulian warga pada masalah desanya.

Selain oleh adanya kepercayaan, partisipasi warga yang tinggi terbangun oleh rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang tinggi sesama warga desa. Saat seorang warga mengalami suatu masalah, saudara dan tetangganya berduyun-duyun membantu meringankan beban warga yang tertimpa masalah tersebut. Demikian pula ketika masalah tersebut merupakan masalah RT, RW dan desa, warga RT, RW, dan desa akan berduyun-duyun membantu menyelesaikan masalah tersebut, tanpa diminta, tanpa dipaksa.

Di Kabupaten Limapuluh Kota, para Kepala Jorong setingkat dusun selalu berusaha mengumpulkan warga sebelum hadir dalam forum perumusan APBNagari dan akan menyampaikan hasil rapat di surau atau forum di Jorongnya sehingga warga mengetahui kemana APBD dialokasikan dan diketahui manfaatnya oleh para warganya. Di Sumedang, LPJ kepala desa dipertanggungjawabkan kepada BPD melalui rapat paripurna BPD dengan dihadiri unsur kasun, imam desa, perangkat dan tokoh. Untuk publikasi dibacakan pada Forum Masjid yang dilakukan setelah shalat Jumat di Masjid Agung Sesa. Selain dibacakan, laporan juga ditempelkan di papan pengumuman di 4 masjid desa selain Masjid Agung.

Di Kabupaten Selayar, partisipasi masyarakat desanya semakin baik karena setiap ada pembangunan, desa hanya menyediakan material yang dibutuhkan, sedang untuk pengerjaannya dilakukan gotong royong masyarakat. Di Polebunging lain lagi, manfaat Dana Perimbangan ini merupakan dana stimulan, sehingga mendorong adanya partisipasi warga secara spontan dalam bentuk yang beraneka ragam, seperti penyerahan tanah warga, penyerahan pohon kelapa dan bentuk tenaga kerja secara kerja bakti di waktu senggang warga. Dari partisipasi itu telah diserahkan tanah tanpa ganti rugi seluas kurang lebih 5 Ha.

Kebersamaan yang terbangun setelah mereka menerima ADD tersebut bukan semata-mata pada saat pelaksanaan pembangunan.

Page 113: bukuADD

89KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

Semua proses dijalaninya melalui musyawarah desa. Mulai dari mengidentifikasi kebutuhan, menetapkan APB Desa, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban, selalu dilakukan bersama-sama BPD dan tokoh masyarakat. Mekanisme yang transparan dan melibatkan masyarakat ini membangun proses demokratisasi di desa, semua keputusan desa selalu ditetapkan melalui musyawarah. Kepala desa yang melakukan LPJ di depan BPD juga disaksikan oleh tokoh warga.

Meluasnya partisipasi warga dalam pembangunan desa dirasakan betul oleh para penyelenggara pemerintahan desa dan kerja mereka tidak lagi dicemooh karena tidak bisa berkarya melainkan didukung oleh warga dengan kepercayaan yang tinggi. Di kabupaten Magelang, misalnya para kades menilai bahwa ADD lebih baik daripada Inpres desa yang banyak potongannya dan tidak besar kepedulian masyarakat untuk ikut mendukungnya.

6. Mempercepat Pembangunan dan PemberdayaanBerkat adanya ADD, otonomi desa bukan sekedar eforia elite warga

desa yang dipakai sebagai cara-cara mereka membangun identitas lokal, melainkan sebuah harapan menuju terwujudnya kesejahteraan bersama. Dengan adanya ADD, desa dapat melangkah lebih maju bukan hanya diwarnai oleh agenda demokratisasi yang mengatur pembagian kekuasaan antara kepala desa versus BPD, BPD versus masyarakat, tetapi kemudian kerjasama yang konstruktif untuk mempercepat proses pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Hampir semua kabupaten mengamanatkan dipakainya ADD untuk mendanai pembangunan dan pemberdayaan daripada untuk anggaran rutin pemerintahan. Amanat itu dipegang teguh oleh desa dan sepertinya menjadi spirit dari desa sebagaimana tercermin dalam APB Desa-nya. Memang beberapa desa seperti di Selayar, anggaran rutinnya lebih tinggi daripada anggaran pembangunan, tetapi itu terjadi karena desa harus membiayai tenaga-tenaga guru sebagai bagian dari penyerahan tugas. Namun demikian secara umum, sebagian besar anggaran desa memang dipakai untuk dana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dana pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dipakai untuk perbaikan infrastruktur sarana publik seperti jalan, pasar, tempat ibadah, irigrasi, sedangkan pemberdayaan masyarakat terutama untuk dana

Page 114: bukuADD

90 ALOKASI DANA DESA

insentif peningkatan kesejahteraan ekonomi dan bantuan kemanusiaan untuk keluarga dan anak pra-sejahtera. Pos anggaran untuk peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur sangat besar sebagaimana banyak dipraktekkan di Tuban, tetapi ke depan jika kebutuhan itu telah terpenuhi diyakini pengalokasian dana ADD akan bergeser ke pos pemberdayaan masyarakat.

7. Efisiensi Pembiayaan PembangunanSecara umum ADD di enam kabupaten menunjukkan manfaat

pada efektifitas penyelesaian masalah baik yang berskala desa maupun yang berskala kabupaten. Semua pihak tahu bahwa permasalahan di setiap desa sering bersifat spesifik dan tidak mungkin disamaratakan. Melalui ADD kabupaten tidak perlu lagi terlalu repot terlibat dalam penyelesaian masalah desa yang beragam. Desa mampu menyelesaikan sendiri masalahnya. Sementara itu, Kabupaten bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan publik untuk skala kabupaten yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat bagi pembangunan jangka panjang Kabupaten.

Selama ini masalah desa selalu menumpuk di kabupaten baik yang dihimpun melalui UDKP maupun lewat aspirasi anggota DPRD. Kabupaten selalu repot harus memilah lagi mana yang lebih prioritas mana yang tidak. Sekarang hal itu sudah tidak perlu lagi terjadi karena masing-masing desa sudah bisa menyelesaikan masalahnya. (Suara peserta FGD di Kabupaten Selayar)

Pada masa Orde Baru, pembangunan desa hampir selalu ditentukan dari atas (top down), dan pelaksananya adalah dinas instansi pemerintah melalui mekanisme proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari desa, bahkan dusun, namun pada kenyataannya keputusan pilihan ada di tangan pemerintah daerah. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin proyek yang datang ke desa bukanlah kebutuhan masyarakat. Biaya pembangunannya pun sudah bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari kebutuhan biaya dari kaca pandang masyarakat.

Kalau kami yang melaksanakan pembangunan ini maka akan jauh lebih baik kualitasnya dan volumenya lebih besar lagi karena masyarakat akan dengan suka rela membantu (Suara warga dalam FGD di kabupaten Limapuluh Kota).

Page 115: bukuADD

91KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

Pernyataan di atas sering kita dengar dari masyarakat desa, dan mereka memang membuktikannya dengan sunggung-sungguh. Mereka juga sudah sangat paham kalau pembangunan desanya yang dikerjakan melalui proyek banyak potongannya di sana-sini.

Kegiatan pembangunan desa yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hasilnya bisa lebih baik dan volumenya lebih besar (Suara warga dalam FGD di kabupaten Tuban).

Suara warga di atas menunjukkan betapa desa adalah potensi pembangunan yang besar bagi daerah. Pembangunan dengan melibatkan langsung masyarakat desa, menunjukkan hasil yang jauh lebih baik dan efisien daripada pembangunan desa yang selama ini dijalankan dengan mekanisme proyek. Budaya gotong royong, gugur gunung, sambatan, dan semacamnya adalah potensi sosial yang masih hidup di masyarakat desa dan harus dilestarikan karena berpotensi mendorong percepatan pembangunan yang partisipatif. Memberikan kesempatan luas kepada desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan memberikan kewenangan disertai dengan biaya perimbangan akan mempercepat pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Belanja investasi yang efisien ini akan mempercepat kesejahteraan masyarakat secara lebih merata dalam jangka panjang.

8. Mempercepat Pemerataan Pembangunan dan Peningkatan Pelayanan

Gerakan pembangunan selama ini seringkali bias kepentingan politik. Atmosfir semacam itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata. Ada desa yang selalu mendapatkan proyek-proyek dari tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk proyek secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah mendapat bagian ’’kue’’ pembangunan. Kondisi semacam ini disamping menciptakan kecemburuan antar masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis, bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian kue pembangunan tersebut.

Dengan adanya ADD desa-desa yang tertinggal sebagaimana diperlihatkan dari rendahnya kualitas jalan, besarnya penduduk miskin akan memperoleh anggaran yang lebih besar. Hal ini karena kebijakan ADD menjawab permasalahan yang krusial di desa tertinggal dengan

Page 116: bukuADD

92 ALOKASI DANA DESA

anggaran yang lebih baik dibandingkan dengan pada masa Orde Baru dulu. Bahkan dengan skema ADD di Tuban, masyarakat bisa berkompetisi untuk memperoleh dana yang lebih besar dari kabupaten karena terdapat anggaran tambahan yang diberikan kepada desa yang mampu meningkatkan swadayanya.

Dengan adanya ADD semacam itu maka kekecewaan masyarakat terhadap pembangunan merupakan kisah lama, dan kisah lama ini menceritakan betapa mereka tidak pernah didengar oleh pemerintah kabupaten. Pemerintah desa sudah berupaya menyuarakan kepentingan masyarakatnya, tetapi tidak pernah ada dana dan pos proyek pembangunan sesuai dengan usulan warga.

Pernah dalam sebuah pertemuan UDKP di salah satu kecamatan, ada kepala desa yang ketika diminta menyampaikan usulan desanya, maka ia kemudian berdiri, setelah mengucapkan salam ia menyampaikan ”...usulan kami sama dengan tahun lalu” kemudian ia menutup dengan salam dan kembali duduk (Suarga Warga dalam FGD di Kabupaten Selayar).

Kondisi di atas adalah salah satu potret kekecewaan desa karena sudah bertahun-tahun usulan mereka tidak dipenuhi. Desa sudah menganggap bahwa tidak perlu lagi membuat usulan karena toh usulan tersebut kemungkinan kecil dipenuhi.

ADD menjadi instrumen untuk mengurangi kesenjangan pembangunan desa dari kota. Anggaran pembangunan bisa dikatakan lebih besar di kota daripada desa. Akses pelayanan publik di kota jauh lebih cepat berkembang daripada di desa dan dengan demikian pelayanan masyarakat semakin senjang dari waktu ke waktu. Strategi pembangunan semacam ini tidak akan bisa mengatasi kemiskinan struktural, jumlah kemiskinan di desa akan selalu lebih tinggi dan mobilisasi masyarakat yang pindah ke kota (urbanisasi) akan terus semakin besar, baik untuk kebutuhan mencari kerja, mencari ilmu, maupun mengais rejeki yang lain.

Bias kepentingan pembangunan ini secara mendasar menyulitkan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik maupun pembangunan yang adil. Strategi pembangunan akan sulit diwujudkan karena asas pembangunan tidak didasarkan pada kebutuhan strategis melainkan pada urusan kepentingan.

Page 117: bukuADD

93KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

Daerah justru akan dibantu meningkatkan pelayanan publiknya ketika desa turut berperan membangun lingkungannya. Pemerataan pembangunan bisa diwujudkan bila diberikan kesempatan luas kepada desa untuk turut membangun melalui strategi mengalokasikan dana yang proporsional kepada desa.

Kami sekarang mempunyai kantor desa yang baru. Masyarakat bisa dilayani dengan lebih baik dan kami juga bisa melakukan rapat desa di kantor desa kami. Kami juga mempunyai tempat pelayanan kesehatan dan kami sekarang sudah mempunyai taman kanak-kanak untuk pendidikan anak-anak kami. Sekarang jalan tembus ke dusun-dusun sedang kami rintis dengan swadaya (Suara warga dalam FGD di beberapa kabupaten).

Pernyataan bangga itu disampaikan masyarakat Selayar pada saat FGD di desa/kecamatan pertengahan September 2004. Masyarakat desa merasa mulai bisa membangun sendiri desanya semenjak diberikan Perimbangan Keuangan Kabupaten Desa di tahun 2003.

9. Memperkuat Kemandirian DesaLahirnya UU 22/1999 dan UU 25/1999 yang menginspirasi block

grant Alokasi Dana Desa diakui secara jujur di keenam daerah penelitian ini telah menjadi perangkat membangun kemandirian desa. Dengan adanya dana yang dialokasikan Pemerintah Kabupaten kepada Desa menjadi modal desa menyelesaikan masalahnya secara bertahap.

Desa sekarang menjadi lebih mandiri dan lebih tahu (terlatih) untuk menyusun prioritas kebutuhan pembangunannya. Munculnya kebutuhan Pengembangan Kapasitas Desa (Pemerintah Desa, BPD, dan Lembaga-lembaga Desa lainnya) untuk secara partisipatif dan sistematis merumuskan tantangan-tantangan dalam pembangunan desa (Suara peserta FGD di kabupaten Sumedang).

Proses menuju kemandirian itu terlihat dari berbagai kegiatannya. Pertama, desa-desa membenahi administrasi pelayanan. Kebanyakan desa-desa di enam kabupaten telah membenahi kantor desa dengan peralatan kerja yang semakin modern seperti komputer, dan motor dinas.

Kedua, desa-desa itu semakin menunjukkan diri dengan cara mengembangkan program pembangunan yang inovatif dan kreatif. Desa

Page 118: bukuADD

94 ALOKASI DANA DESA

berinisiatif untuk mengembangkan program-program yang menjawab masalah riil di wilayahnya. Ini artinya desa tidak sekedar mengembangkan program pembangunan fisik sesuai dengan acuan umum seperti misalnya perbaikan jalan dan saluran irigasi. Di Selayar, perhatian pembangunan desa dialamatkan juga pada masalah kerusakan pantai (abrasi) karena daerahnya merupakan wilayah kepulauan.

Sebuah desa di Selayar mengalokasikan 75 juta dana desanya untuk membangun penahan arus laut. Usulan ini diajukan karena desa tidak ingin tanahnya terkikis oleh abrasi air laut yang setiap tahun menerpa desa mereka.

Kreativitas desa mengusung pembangunan yang menjawab masalah riil di lapangan dimungkinkan karena mereka memiliki dana yang pasti dan dapat dikelola sendiri tanpa diatur secara rumit oleh Pemda baik dalam hal pengaturan mengenai pengusulan maupun implementasinya.

Ketiga: desa-desa berusaha memaksimalkan potensi yang dimiliki sehingga meningkatkan nilai tambah dari ADD. Potensi yang mereka miliki itu terutama berbasis pada modal sosial yang melahirkan semangat tinggi untuk berswadaya dan gotong royong. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa ADD selalu didukung oleh peningkatan APB Desa dan bantuan spontanitas dari warga guna meningkatkan capaian dari proyek-proyek yang dikelola oleh desa. Proyek pembangunan jalan sepanjang 100 meter dengan dana APB Desa yang didukung ADD, bisa terwujud menjadi 200 meter karena secara spontan warga mendukungnya dengan memberikan donasi yang besar.

Keempat: pengembangan potensi desa tidak hanya dimobilisasi untuk tujuan proyek pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan sosial. Desa-desa berusaha meningkatkan pelayanan kepada masyarakat secara lebih berbudaya misalnya menyantuni keluarga miskin dan bantuan pendidikan untuk anak-anak yang terlantar sebagaimana terjadi di Limapuluh Kota dan Sumedang.

Kelima: ADD tidak hanya sekadar menambah anggaran pemasukan Desa, tetapi juga meningkatkan jumlah dan kualitas program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini bukan sekadar karena adanya pedoman penggunaan ADD yang mengamanatkan dialokasikan untuk pembangunan dan pemberdayaan, tetapi karena respon positif dari desa dan masyarakatnya untuk memanfaatkan dana

Page 119: bukuADD

95KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

tersebut bagi peningkatan kinerja pemerintahan desa di bidang program pembangunan dan pemberdayaan. Respon positif itu ditunjukkan oleh meningkatnya Pendapatan Asli Desa yang dipakai bersama-sama dengan ADD untuk kedua program tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa selama tiga tahun terakhir ini desa-desa penerima ADD telah memiliki banyak kegiatan pembangunan dan pemberdayaan yang semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Salah satu agenda pembangunan yang sangat menonjol di desa adalah pembangunan fisik. Masyarakat sangat berkepentingan dalam pembangunan ini sehingga mereka tidak hanya menyumbangkan dana swadaya yang masuk ke dalam APB Desa tetapi juga dana gotong royong yang disumbangkan secara spontanitas ketika proyek pembangunan sedang berjalan. Oleh karena itu realisasi pembangunan sering jauh lebih besar capaiannya daripada yang disampaikan dalam rancangan.

Di Kabupaten Limapuluh Kota, nagari sepertinya mendapatkan siraman air hujan sehingga banyak tumbuhan yang kering kemudian tumbuh menghijau. ADD telah memberikan kepercayaan kepada warga bahwa mereka dapat membangun masyarakatnya dengan cepat dan terencana. Dana ADD tidak hanya dialokasikan untuk pembangunan fisik, tetapi juga untuk pemberdayaan masyarakat. Di Nagari Sungai Kamuyang, misalnya, APBN-nya menyediakan bantuan kemanusiaan bagi keluarga prasejahtera, beasiswa, mendanai kegiatan taman kanak-kanak, posyandu dan dana pinjaman bagi usaha skala kecil.

Sama seperti di Kabupaten Limapuluh Kota, di Sumedang, ADD juga dipakai untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Bahkan dana itu juga telah dipakai untuk mengatasi masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakatnya seperti membantu keluarga prasejahtera.

Di Tuban, penggunaan ADD secara langsung bersentuhan dengan pengembangan ekonomi masyarakatnya. Dana dialokasikan ke sektor pertanian seperti untuk pompanisasi, pengelolaan pasar desa, dan untuk penguatan modal usaha skala kecil. Tabel 12 di bawah ini merinci pemanfaatan dana ADD dari empat kabupaten, kecuali Jayapura dan Magelang.

Page 120: bukuADD

96 ALOKASI DANA DESA

Tabel 12.Belanja Desa di Empat Kabupaten Tahun 2002–2003

KabupatenPemanfaatan Dana

Rutin Pembangunan/Pemberdayaan

Limapuluh Kota

• Gaji/honor wali nagari dan per-angkat nagari

• Honor BPAN• ATK• Pakaian dinas perangkat nagari,

BPAN, jorong• Pelatihan aparat nagari• Honor rapat BPAN• Bantuan biaya rapat LAN• Pengolahan profil nagari• Perlengkapan kantor • Pemeliharaan gedung• Perjalanan dinas• Perayaan hari besar • Pembinaan posyandu

• Kantor nagari• Sarana peribadatan di setiap

jorong• Taman kanak-kanak• Gedung posyandu• Pasar nagari• Tambatan perahu• Sarana irigasi• Perbaikan kantor jorong• Pembangunan masjid jorong• Usaha simpan pinjam• Beasiswa untuk anak miskin• Bantuan sosial untuk keluarga

miskin

Sumedang • Gaji/honor kepala desa dan perangkat desa

• Honor BPD• ATK • Pakaian dinas perangkat desa/

BPD/RT dan RW • Pelatihan aparat desa • Honor rapat BPD • Pengolahan profil desa• Perlengkapan kantor• Pemeliharaan gedung• Perjalanan dinas • Perayaan hari besar

• Jalan dan jembatan • Sarana peribadatan • Pembelian tanah • Menunjang 10 program PKK • Bantuan untuk fakir miskin• Perbaikan kantor desa • Tanggul jalan • Pembinaan anak dan remaja • Bantuan Modal usaha kecil• Pembinaan posyandu• Pembinaan generasi muda

Tuban NA • Pengelolaan pasar• Pompanisasi/HIPA • Lembaga layanan modal• Prasarana jalan• Prasarana ekonomi

Selayar • Gaji perangkat• Gaji BPD• Pemeliharaan

• Kantor desa• Sarana peribadatan• Taman kanak-kanak• Tambatan perahu• Usaha simpan pinjam

Page 121: bukuADD

97KEUNGGULAN KEBIJAKAN ADD

Penggunaan ADD untuk menunjang ekonomi desa merupakan sebuah langkah maju yang menandakan bahwa para penyelenggara pemerintahan desa telah responsif terhadap tuntutan dan permasalahan yang dihadapi masyarakatnya. ADD menjadi sebuah kekuatan yang dapat menjadi anggaran rapid response (cepat tanggap) yang tepat bagi masyarakat desa yang menghadapi masalah kemiskinan dan lemahnya basis ekonomi mereka di aras lokal.

Keenam: proses kemandirian desa ditunjukkan pula dengan kemampuan mereka menyusun perencanaan pembangunan. Mereka bisa menyusun perencanaan pembangunan secara teknokratis dan dipadukan secara demokratis sehingga membuahkan sebuah perencanaan yang kuat karena didukung oleh managemen ekonomi dan keputusan politik yang kredibel. Peran ADD atas peningkatan kapasitas desa dalam mengelola pemerintahan bahkan nampak di Papua sebagaimana diungkapkan peserta FGD.

Pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari bupati kepada kepala distrik yang disertai dengan pengalokasian anggaran, dirasakan oleh kepala distrik sebagai upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan distrik sebagai garda depan pelayanan publik kepada masyarakat. Perencanaan dan penganggaran pembangunan yang berbasis distrik telah mampu meningkatkan kapasitas dan kualitas perencanaan pembangunan di tingkat distrik dan kampung (Suara Kepala Distrik di Jayapura)

Selain mampu menyusun perencanaan, para penyelenggara pemerintahan desa juga mampu menyusun regulasi seperti Perda, LPJ, dan penjaringan aspirasi masyarakat secara lebih baik.

Akhirnya ADD juga telah merangsang pembangunan sosial di desa. Banyak desa berinisiatif mengalokasikan anggaran untuk pendidikan seperti beasiswa, kesehatan ibu dan anak guna mendukung kegiatan posyandu, dan bahkan untuk pemberdayaan masyarakat pada umunya dan kelompok kaum marginal. Ini artinya bahwa desa semakin menampilkan diri sebagai sebuah pemerintahan yang mampu merespon kebutuhan warga dan sekaligus menggalang kekuatan warga secara bersama-sama guna menyelesaikan masalah yang langsung bisa mereka pecahkan tanpa harus menunggu komando dari pemerintah kabupaten.

Page 122: bukuADD

98 ALOKASI DANA DESA

Kemandirian desa adalah kunci bagi kemandirian daerah dalam jangka panjang, sehingga membangun kemandirian desa secara bertahap akan mengikis sifat ketergantungan desa yang terjadi selama ini. Kemampuan masyarakat menyelesaikan masalahnya, kalau bisa didorong secara luas di seluruh daerah, maka kreativitas dan ketahanan masyarakat akan menjadi modal penting menghadapi tantangan global di masa depan.

Page 123: bukuADD

99MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD

Bab 6MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD

Walaupun Bab 5 telah mengungkapkan keunggulan kebijakan ADD di enam kabupaten, tetapi ada baiknya menyimak berbagai kemungkinan munculnya kelemahan kebijakan ADD dan implementasinya. Sumber kelemahan itu berasal dari pihak pemerintah pusat dan daerah, serta dari pemerintahan desa dan dari masyarakat. Masalah-masalah itu bisa muncul di kemudian hari jika tidak diantisipasi dengan baik ketika merumuskan kebijakan tersebut sebagaimana dibahas berikut ini.

A. Kelemahan dari Pihak Pemerintah Pusat dan Daerah1. Kurangnya Dukungan Regulasi ADDEnam kabupaten penelitian mengeluarkan kebijakan ADD tanpa

adanya himbauan yang kuat dari pemerintah (pusat). Kebijakan ADD yang mereka emban merupakan inisiatif yang mereka turunkan dengan mengikuti kerangka berpikir DAU dan adanya Pasal 107 UU No. 22/1999 mengenai sumber pendapatan APB Desa yang bisa diperoleh dari dana perimbangan. Oleh karena itu, banyak kabupaten yang tidak memandang perlu untuk mengeluarkan kebijakan ADD karena kebijakan ini akan membuat desa bertindak kritis untuk menagih dana dari desa sebagai hak. Sebagai gantinya, kabupaten-kabaten di Indonesia menerapkan kebijakan semacam Bandes warisan Orba. Bantuan semacam Bandes bisa lebih besar daripada ADD, tetapi akibatnya dana itu kurang dipertangungjawabkan ke publik dan

Bab

6 M

ENG

ANTI

SIPA

SI M

UN

CU

LNYA

KEL

EMAH

AN K

EBIJA

KAN

AD

D

Page 124: bukuADD

100 ALOKASI DANA DESA

amat mudah dimanipulasi. Oleh karena itu, pemerintah (pusat) perlu mengingatkan secara tegas bahwa ADD merupakan hak bagi desa dan karena itu pula studi advokasi ini penting untuk mendorong munculnya Surat Edaran Mendagri mengenai pelaksanaan kebijakan ADD di daerah. Dengan keluarnya UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005, sebenarnya kabupaten mempunyai kewajiban mengeluarkan kebijakan ADD sebagai hak desa. Namun demikian, nampaknya Pemerintah masih harus terus menerus mendorong daerah agar segera melaksanakan kebijakan ADD. Karena dari kebanyakan daerah, kebijakan ADD sama dengan mengurangi anggaran APBD yang secara langsung dikelola oleh dinas-dinas di lingkungan pemerintah daerah. Dorongan Pemerintah kepada daerah perlu untuk memberikan semacam pedoman tentang tata cara pengelolan kebijakan ADD dari proses penyusunan, perumusan formula sampai dengan implementasinya sehingga memudahkan daerah untuk mewujudkan kebijakan itu tanpa mengeluarkan dana yang besar untuk studi kebijakan melalui studi banding atau yang lain.

2. Kurangnya Dukungan Regulasi Kewenangan Desa.Enam kabupaten telah secara rutin menganggarkan ADD, dan

telah berhasil mendorong kemandirian dan pembangunan desa. Akan tetapi kritik di lapangan muncul ketika kebijakan ADD tidak didukung oleh adanya kewenangan desa yang jelas. Akibatnya, anggaran dalam ADD dan APB Desa sering dialokasikan untuk anggaran pembangunan dan pelayanan publik yang sebenarnya ditangani oleh dinas-dinas di daerah. Dengan kata lain, terjadi ‘’pemborosan’’ anggaran. Pemda harus memperjelas tentang kewenangan desa sehingga ADD benar-benar untuk mengurusi pekerjaan yang tidak ditangani oleh pemda secara langsung. Untuk itu maka Pemda harus memiliki Perda tentang kewenangan desa dan dukungan anggaran. Apabila kewenangan desa itu merupakan penyerahan urusan dan menimbulkan konsekuensi peningkatan kapasitas desa, maka Pemda harus memfasilitasinya sehingga tidak menimbulkan masalah yang mengesankan bahwa desa belum bisa diberi kepercayaan. Pengalaman di Solok telah membuktikan bahwa banyaknya kewenangan kepada nagari sepertinya memberikan kepercayaan kepada nagari untuk mandiri, tetapi karena fasilitas dari Pemda lemah, kewenangan-kewenangan yang diberikan itu justru menambah beban nagari karena banyak urusan yang belum bisa ditangani oleh nagari di kabupaten ini.

Page 125: bukuADD

101MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD

3. Ancaman Proyek Pemerintah dan PemdaDi banyak kabupaten, banyak program pembangunan di tingkat

desa diwujudkan dengan menyelenggarakan proyek-proyek yang ditangani langsung oleh dinas, atau kerjasama antar dinas dengan desa. Proyek-proyek itu tidak bisa diklaim sebagai bagian dari ADD, bila tidak diintegrasikan ke dalam APB Desa dan Rencana Pembangunan Desa. Ada juga proyek yang diselenggarakan oleh desa di luar APB Desa dan ADD. Proyek semacam itu misalnya PPK, P2PK, Kompensasi BBM dan kegiatan dinas yang dititipkan ke desa tapi diselenggarakan tanpa diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan jangka menengah dan program desa. Akibatnya, desa tidak bisa mengembangkan program pembangunan sebagaimana dituangkan dalam APB Desa. Kehadiran proyek-proyek itu bisa menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat desa terhadap pemerintah desa, dan pada gilirannya mengganggu kinerja pemerintah desa.

Ancaman kehadiran proyek dari luar ke desa itu perlu diantisipasi dengan mendorong semaksimal mungkin pemberian kewenangan yang besar bagi desa untuk mengelola proyek-proyek pembangunan dan sekaligus diberi bekal kapasitas yang memadai sehingga kehadiran proyek dari luar menjadi bagian penting dari program pemerintah desa. Kalau ADD dimasukan sebagai pendapatan rutin dalam APB Desa yang oleh Kabupaten diserahkan kepada desa dengan sistem block-grant semacam DAU yang pengelolaannya tidak terlalu banyak diatur oleh pusat maupun daerah, maka dana-dana lain yang masuk ke desa juga penting untuk di ‘’APB Desa’’kan.

4. Problem Perencanaan Spasial versus SektoralAda sejumlah kelemahan sistem dan metodologi perencanaan yang

justru memperlemah kemandirian desa dan kapasitas desa. Baik UU No. 32/2004 maupun UU No. 25/2004 sama sekali tidak mengenal perencanaan desa atau tidak menempatkan desa sebagai entitas yang terhormat dalam sistem perencanaan pembangunan nasional (Sutoro Eko, dkk., 2007)). Sementara PP No. 72/2005 yang merupakan turunan dari UU No. 32/2004 justru memperkenalkan perencanaan desa tetapi yang dikemukakan bukanlah perencanaan otonom melainkan perencanaan desa sebagai bagian dari perencanaan daerah. Dalam

Page 126: bukuADD

102 ALOKASI DANA DESA

konteks ini, desa hanya menyampaikan usulan sebagai input (masukan) perencanaan daerah, bukan berwenang mengambil keputusan secara otonom untuk menyusun perencanaan desa.

Selain itu, perencanaan daerah yang nantinya menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) adalah suatu perencanaan yang bersifat sektoral (pendidikan, kesehatan, prasarana daerah, pertanian, perikanan, perkebunan, pariwisata dan lain-lain) tetapi prosesnya menggunakan pendekatan spasial (melalui Musrenbang desa dan kecamatan). Model perencanaan seperti ini akan mengandung kesenjangan antara “hasil sektoral” dengan proses spasial. Bagian ini mencoba mengurai sejumlah persoalan ketika model perencanaan tersebut diterapkan di desa.

Dengan terbitnya SE Mendagri No. 050/829/II/Bangda/2000; SE Mendagri No. 050/1240/II/Bangda/2001, SE Mendagri No. 050/987/SJ/2003 dan SE Mendagri No. 0259/M.PPN/I/2005-050/166/SJ tentang Musyawarah Pembangunan Desa–Kabupaten dan dalam UU No. 25/2004 tentang Sistem Pembangunan & Perencanaan Nasional, semuanya mengamatkan pentingnya musyawarah pembangunan. Melihat proses penganggaran di tingkat desa maka akan diperoleh gambaran bahwa implementasi surat edaran itu menuai masalah di lapangan. Pertama, pada umumnya aktor desa dipegang oleh 3 lembaga di desa, yaitu BPD1, Perangkat Desa dan LKMD (LPM atau yang sejenis)2 yang biasanya sebagai pelaksana proyek di tingkat desa dan ditambah dengan tokoh masyarakat. Ada anggapan bahwa rakyat desa sudah cukup diwakili oleh tiga lembaga desa tersebut. Jika anggapan ini dibenarkan, maka patut dipertanyakan, yaitu apa dan bagaimana peran dari rakyat (baca CSO-kelompok masyarakat, bisa RT/RW, organisasi rakyat, organisasi relawan-voluntary organization, tokoh masyarakat atau perkumpulan warga dan tentu saja Ornop).

Kedua, umumnya staf pemerintah desa tidak memiliki kemampuan untuk mengelola aset desa dan dana pendapatan asli desa dengan baik sehingga kecenderungan untuk menolak transparansi dan partisipasi

1 BPD atau Badan Perwakilan Desa yang telah diamanatkan dalam UU No. 22/1999 telah diganti dengan Badan Musyawarah Desa (Bamusdes) dalam UU 32/2004.

2 Dalam hal ini ada perubahan dari BPD menjadi Bamusdes yang serta merta kemudian menguatkan bahwa keberpihakan kepada elit jauh lebih kuat daripada rakyat kebanyakan (miskin).

Page 127: bukuADD

103MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD

sangat besar3. Ini terjadi sekalipun Desa tidak memiliki aset yang cukup untuk melakukan pembangunan. Ketidakmampuan ini terjadi karena desa tidak pernah dikuatkan untuk mengelola kecuali diperintah oleh pemerintah kabupaten (dan pusat) melalui camat sehingga kalau pun kemudian menerapkan penganggaran secara partisipatif (participatory budgeting), maka akan menghadapi kesulitan teknis penganggaran. Apalagi kalau diberi beban mengelola aset yang besar, maka akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk meningkatkan kemampuan para aparat desa4.

Kesulitan rakyat semakin besar ketika UU No. 32/2004 lahir dengan membuat terobosan yang luar biasa, yaitu hak dari desa untuk mendapatkan bagian dari dana perimbangan Pusat–Daerah yang diterima oleh Kabupaten (pasal 212 UU No. 32/2004). Apalagi ada konflik (laten) kepentingan antara kepala desa dan BPD. Setelah hampir lima tahun akan berjalan UU No. 22/1999 diubah lagi, maka dengan lahirnya UU No. 32/2004 yang kemudian lebih menguatkan perangkat desa daripada menguatkan rakyat (baca civil society organization). Dengan demikian UU No. 32/2004 telah memperpanjang konflik di desa antara kekuatan civil society dengan para elite desa, ini berarti mendorong konflik pada aras pemerintahan desa.

Desa yang sekarang bukan lagi yang orientasinya feodal, namun lebih mengarah kepada kepentingan publik (demokratis). Persoalan konflik aras desa ini muncul karena ketidaktahuan rakyat dan kelemahan pemerintah untuk melakukan sosialisasi UU No. 22/1999, sehingga pro kontra ini sering muncul. Selain itu, persoalan lain adalah budaya kita masih dominan budaya feodal yang paternalis sehingga sulit berubah.

3 Kasus terjadi di Kebumen yang telah memperdakan perimbangan keuangan daerah desa yang besarnya 10% dari total APBD yang dilaksanakan pada tahun 2005. Pada saat dana akan disalurkan, dalam rangka peningkatan kapasitas Kabupaten mewacanakan supaya desa menyusun perdes partisipasi & transparansi di desa untuk memayungi dana yang akan disalurkan tersebut. Kenyataannya sebagian besar kepala desa (perangkat desa) menolak menerbitan peraturan desa tersebut dengan alasan bahwa mereka tidak bisa mengelola keuangan yang ada sesuai dengan kebutuhan desa.

4 Lihat Modul APBDes Partisipatif, Eddie B. Handono, dkk, Forum Pengembangan Pembaruan Desa, Yogyakarta, 2004.

Page 128: bukuADD

104 ALOKASI DANA DESA

Tabel 13.Jadual Penganggaran di Kabupaten

Jadual Kegiatan

Desember–Januari Penetapan APBD tahun berjalan

Pebruari Musrenbang Desa

Maret Musrenbang Desa

April Rekapitulasi hasil Musrenbang Kecamatan

Pebruari–Mei Proses pengusunan AKU & plafon anggaran

Juni minggu ke II Rakor internal BappedaRapat sinkronisasi Pra-Musrenbang

Juni minggu ke III Rapat antar dinas• Informasi paradigma perencanaan• Penyampaian usulan camat untuk diadopsi dalam

usulan Dinas

Juli Musrenbang

Agustus Rancangan RAPBD

September Rancangan RAPBD dibahas oleh Tim anggaran ekskutif

Oktober RAPBD diajukan pada DPRD

Nopember Pembahasan RAPBD oleh Panitia Anggaran Legislatif

Desember-Januari Penetapan APBD

Kalau kita mengacu pada proses perencanaan pembanguan pada P5D atau P3MD atau Musrenbang maka ada tahapan yang disebut dengan musbangdus dan musbangdes yang kemudian disebut dengan musrenbang desa. Tiga model tahapan perencanaan pembangunan tersebut, selama ini dilaksanakan hanya secara formalitas. Umumnya yang mengikuti musyawarah pembangunan adalah para perangkat dan tomas (tokoh masyarakat). Proses ini umumnya dipercepat, seperti yang terjadi selama ini, cukup dengan mengedarkan formulir tentang prioritas pembangunan desa yang diisi oleh kepala desa. Dengan demikian jelas bahwa, proses pemberdayaan rakyat untuk terlibat dalam musbang tingkat desa ini tidak pernah dilakukan. Hal ini seringkali terjadi karena alasan waktu penganggaran yang pendek5. Meskipun sebenarnya hal tersebut tidak cukup kuat sebagai alasan penganggaran (baca tabel 13 tentang jadwal penganggaran yang telah ditetapkan dalam UU No. 17/2003; UU No. 25/2004, dan UU No. 32/2004).5 Dalam UU No. 25/2004 telah ditetapkan jadwal pelaksanaan perencanaan dan

penganggaran yang sudah cukup rigid.

Page 129: bukuADD

105MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD

Kerangka perencanaan yang tertera dalam UU No. 25/2004, ada yang hilang dalam ranah desa yaitu sebuah perangkat perencanaan jangka menengah dan panjang di tingkat desa. Tidak adanya pernyataan yang jelas tentang dokumen perencanaan di tingkat desa maka UU No. 25/2004 yang didukung UU No. 32/2004 menyatakan bahwa desa pada dasarnya bukanlah satu kesatuan perangkat masyarakat yang memiliki otonomi mengatur dirinya sendiri. Hal ini terjadi karena tidak ada yang namanya Rencana Strategis atau Rencana Jangka Menengah Desa yang disusun di tingkat desa, sebagai bagian perangkat perencanaan spasial. Dengan demikian jelas bahwa tidak ada kekuatan hukum yang memaksa desa memiliki kerangka perencanaan yang memadai untuk membangun desa. Sedangkan di tingkat kabupaten ada, yang disebut dengan Rencana Jangka Menengah Kabupaten.

Sekalipun demikian, bukan berarti tidak ada praktek tentang perencanaan jangka menengah di tingkat desa. Di beberapa Kabupaten seperti di Kebumen dan Magelang telah memprakarsai disusunnya renstra desa sebagai dokumen perencanaan jangka menengah6. Dengan adanya dokumen tersebut maka dalam perangkat penganggaran jelas bahwa block-grant atau ADD dapat disalurkan ke desa tanpa harus diberikan prasyarat khusus dengan perlakuan khusus pula. Namun cukup pernyataan bahwa desa mendapatkan dana yang dipakai untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Oleh karena itu dalam perangkat perencanaan spasial tersebut terkandung seperangkat perencanaan sektoral yang kemungkinan akan dilaksanakan desa dengan melakukan koordinasi dengan dinas yang terkait. Dengan demikian jelas bahwa perangkat perencanaan yang disusun oleh warga desa menjadi bagian penting dalam perencanaan utuh pada tingkat Kabupaten bahkan pada tingkat Nasional.

B. Kelemahan dari Pihak Desa1. Elitisme Pemerintahan DesaSejak kekuasaan Orba, pemerintahan desa semakin elitis, dipegang

oleh kelas-kelas menengah desa yang korporatis dengan pemerintah,

6 Beberapa Kabupaten telah didorong menyusun perencanaan jangka menengah yang didampingi oleh PERFORM-RTI dalam Program Dasar Pembangunan Partisipasi (PDPP) yang dikembangkan dalam Direktorat Pembangunan Desa Departemen Dalam Negeri.

Page 130: bukuADD

106 ALOKASI DANA DESA

dan cenderung bergantung pada pemerintah untuk bisa memperoleh akses politik dan ekonomi daripada menjadi bagian dari kekuatan desa bersama-sama dengan rakyatnya. Akibatnya komitmen mereka terhadap pemberdayaan masyarakat relatif rendah. Hal ini nampak dari masa berlakunya UU No. 22/1999 sampai kemudian diganti dengan UU No. 32/2004, para elite desa sepertinya kompak untuk memperjuangkan kepentingan mereka berhadapan dengan pemerintah pusat dan daerah. Gelombang demonstrasi merebak dilakukan mereka dalam rangka menuntut kekuasaan dan previllage yang besar dalam menjalankan pemerintahan desa daripada secara langsung memperjuangkan kepentingan warga masyarakat.

Lemahnya responsivitas elite desa terhadap pemberdayaan masyarakat diikuti pula dengan rendahnya akses masyarakat khususnya kelompok marginal untuk menyuarakan kepentingannya. Di desa terdapat berbagai forum warga tetapi forum ini sering dikendalikan oleh tokoh masyarakat dan para pemimpin desa yang tidak memberikan ruang secara kritis kepada kelompok warga. Persoalan lain yang juga cukup pelik adalah keterbatasan rakyat untuk terlibat dalam forum desa. Dengan demikian partisipasi masyarakat pun lemah dalam proses penyusunan kebijakan dan program desa, walaupun ADD bisa diharapkan akan mendorong proses terbangunnya pemerintahan yang lebih populis.

Oleh karena itu pula agenda membangun kemandirian desa dalam skema kebijakan ADD harus mengkritisi dan memformulasi kembali berbagai bentuk kelembagaan desa yang mengurangi partisipasi masyarakat. Masalah kelembagaan ini bisa bersumber dari regulasi tentang Musrenbang yang diatur oleh Surat Edaran Menteri, tetapi menghasilkan keputusan yang elitis, maupun berbagai pengaturan yang dilakukan oleh desa tetapi mengancam hak-hak warga untuk bisa secara maksimal mengontrol bekerjanya pemerintahan desa.

2. Rendahnya Kapasitas desa Dalam Mengelola AnggaranMinimnya akses informasi dan pengetahuan bagi masyarakat desa

menjadi salah satu penyebab lemahnya kapasitas desa, baik pada masyarakat maupun perangkat desa. Sumber kesemuanya ini adalah tidak adanya kebijakan pembangunan yang adil bagi masyarakat desa

Page 131: bukuADD

107MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD

pada umumnya. Kebijakan pembangunan nasional selalu tersentral di wilayah kota, akibatnya terjadi ketimpangan yang luar biasa antara kota dan desa. Pembangunan ekonomi di wilayah kota menyebabkan menjadi magnet yang luar biasa bagi masyarakat desa untuk mencari penghidupan yang lebih baik di wilayah kota. Dana-dana pembangunan yang memperluas akses transportasi, komunikasi, serta teknologi terkonsentrasi di kota, akibatnya masyarakat desa tidak mendapatkan akses yang memadai dalam memperoleh fasilitas-fasilitas informasi, komunikasi maupun lainnya. Ketika terjadi tekanan global, masyarakat desa semakin tidak mempunyai ketahanan yang memadai, bahkan cenderung pasrah pada nasib, sehingga kesemuanya ini sering jadi siklus yang berputar yang sulit dipatahkan.

Keterbatasan masyarakat desa dalam mengelola pembangunan desa selain dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia juga dukungan dana pada desa sangatlah terbatas. Walaupun selama ini seringkali didengungkan pencarian dana dari sumber daya yang ada di wilayah desa, namun penggunaannya tidak selamanya menjadi milik desa, karena ada proporsi pembagian dengan wilayah kabupatan yang seringkali lebih besar dibandingkan yang diperuntukkan desa itu sendiri, sehingga desa memang menjadi sumber eksploitasi bagi wilayah kabupatan dan negara.

Banyaknya proyek yang masuk desa pada zaman orde baru, dimana masyarakat dan perangkat desa sebagai obyek pembangunan, menjadikan masyarakat desa apatis dalam menanggapi pembangunan desa yang ada di wilayahnya. Apalagi proses pembangunan ini seringkali sangat bernuansa KKN, sehingga proyek yang seharusnya menghasilkan banyak manfaat desa, menjadi proyek mercu suar saja dan tidak berkelanjutan. Hal-hal inilah yang mendorong masyarakat desa seringkali apatis dalam segala urusan pembangunan desa.

Saat ini ketika era keterbukaan bagi desa mulai muncul, tantangan yang terbesar adalah kekuatan masyarakat desa sendiri untuk merebutnya. Keterbatasan SDM menjadi kendala utamanya. Adanya peluang yang besar dalam memperoleh dana alokasi desa menjadikan sebuah tantangan bagi masyarakat desa yang selama ini tidak pernah memuat perencanaan, penggunaan, hingga membuat laporan keuangan maupun melakukan monitoring atas penggunaan dana tersebut. Apalagi seringkali

Page 132: bukuADD

108 ALOKASI DANA DESA

penggunaan dana pembangunan harus menggunakan pencatatan dan sistem akutansi yang memadai sehingga semakin mempersulit dalam hal ini. Desa hampir tidak pernah mengalokasikan dana bagi peningkatan kapasitas SDM baik bagi masyarakat maupun perangkat desa, karena minimnya dana pembangunan desa yang dimiliki dan belum adanya dana khusus untuk itu.

3. Munculnya KKN Baru dalam Konteks Desentralisasi di tingkat Desa

Besarnya otoritas kepala desa dalam mengelola segala urusan desa serta lemahnya sistem monitoring masyarakat desa menyebabkan tidak tumbuhnya demokratisasi yang ada di desa. Munculnya dorongan untuk memperbesar porsi pendanaan bagi desa, harus diimbangi dengan tumbuhnya proses demokrasi. UU No. 22/99 yang mengamanatkan tumbuhnya demokratisasi di desa dengan adanya institusi legislatif, BPD, menjadi pendorong tumbuhnya proses demokratisasi desa. Walaupun pada awalnya hingga digantinya UU tersebut menjadi UU No. 32 tahun 2004 yang kontroversi, namun gerakan demokratisasi sudah mulai muncul sebagai sebuah embrio. Embrio inilah yang perlu terus digosok agar tumbuh menjadi mekanisme yang senantiasa membawa angin baru baru bagi proses keterbukaan di desa.

Munculnya KKN di berbagai segi kehidupan politik karena tidak adanya ruang bagi masyarakat untuk mengontrol, juga karena pertanggungjawaban pemerintah desa bukan kepada rakyat yang memilihnya, namun kepada pejabat di atasnya yakni kabupaten lewat kecamatan, sehingga peran masyarakat sebagai pengontrol jalannya sistem pemerintahan menjadi tidak berjalan. Era desentralisasi yang membuka ruang lebih luas bagi pemerintahan di bawahnya, juga memberikan alternatif adanya sharing power (berbagi kekuasaan). Namun demikian karena perilaku yang tidak baik selama ini dicontohkan oleh para pejabat, dimana rakyat dan pejabat di bawahnya harus menjadi pelayan bagi pejabat diatasnya, maka ketika terjadi desentralisasi yang tumbuh adalah perilaku menjadi raja tersebut. Apalagi ditambah adanya peluang yang lebih besar dalam memperoleh dana pembangunan desa, maka tidak dipungkiri bahwa proses KKN juga akan tumbuh di desa selama peran rakyat sebagai penyeimbang dan pengontrol jalannya pemerintahan.

Page 133: bukuADD

109MENGANTISIPASI MUNCULNYA KELEMAHAN KEBIJAKAN ADD

C. Kelemahan dari Pihak Masyarakat Sipil Desa Sebaik-baiknya kebijakan ADD dan kinerja pemerintahan

desa, masyarakat sipil juga harus didorong dan dipacu agar mereka menjalankan peran yang maksimal dalam membangun pemerintahan yang baik di komunitasnya. Kritik selama ini sering menyebutkan bahwa masyarakat sipil di desa memang semakin aktif mengelola organisasinya, tetapi mereka lebih asyik dengan urusan internal kelompoknya daripada urusan publik yang sesungguhnya. Banyak kelompok tani di desa, misalnya berusaha berdikari dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan gotong royong dan tukar pengalaman dalam mengembangkan usaha tani, tetapi tanpa mengkaitkan bahwa kemiskinan yang mereka derita, ancaman kekeringan dan banjir serta rendahnya hasil bumi, yang diikuti oleh mahalnya input produksi merupakan akibat dari kesalahan pemerintah dalam menerapkan kebijakan dan program. Kalau mereka bergerak, fokus perhatiannya tidak pernah ditujukan kepada desa karena desa dianggap tidak berdaya untuk memecahkan masalah tersebut. Selain itu banyak perkumpulan teritorial seperti RT, RW dan dusun yang sangat responsif dengan pembangunan komunitasnya juga masih terkungkung dalam ikatan komunalisme yang kurang terbuka untuk menggalang kerjasama ke luar dan membangun kontrol atas jalannya pemerintahan desa (Hudayana, 2003). Namun demikian, sesungguhnya jika mereka membidikan tuntutan pada pemerintah desa, berbagai upaya untuk memajukan usaha taninya bisa diurus. Desa bisa menjadi fasilitator bagi pembangunan pertanian dan menyediakan anggarannya untuk mengurangi penderitaan petani. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas masyarakat sipil dalam mendorong program pembangunan desa lebih populis perlu dikembangkan sehingga program yang muncul bukan produk dari lingkaran kaum elit di desa semata.

Selain cenderung asyik dengan dunianya sendiri yang tertutup, kelompok-kelompok warga juga sering justru bertikai dan terjebak dalam konflik aliran dan komunal. Literatur tentang konflik aliran telah mengungkapkan bahwa orang desa terjebak dalam konflik ideologi daripada menjalin kerjasama dan saling percaya untuk membangun kepentingan publik di daerahnya. Oleh karena itu, perlu adanya pendidikan politik bagi kelompok-kelompok warga sehingga modal sosial

Page 134: bukuADD

110 ALOKASI DANA DESA

mereka tidak dieksploitasi untuk konflik komunal dan aliran melainkan untuk membangun komunitasnya secara inklusif.

Akhirnya tidak ketinggalan bahwa masyarakat sipil di desa masih lemah dalam memberikan keberpihakan kepada kelompok marginal seperti kaum perempuan, buruh tani dan orang-orang miskin. Mereka ini relatif terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan di desa karena mereka dianggap bukan sebagai kelompok yang memegang kekuasaan. Kultur politik seperti itu membuat kelompok marginal ini dipandang sebagai beban, bukan sebagai kelompok yang justru paling berhak memperoleh program pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya keadilan sosial.

Page 135: bukuADD

111AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH

Bab 7AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH

A. Seminar Nasional Sejak awal studi ADD dirancang sebagai bahan masukan dalam

mempromosikan kebijakan ADD pada Ditjen PMD Depdagri, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan penyusunan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri mengenai pedoman kebijakan ADD di daerah. Oleh karena itu, studi ini tidak berakhir dengan menghasilkan sebuah laporan saja, melainkan diikuti dengan serangkaian kegiatan advokasi. Pertama: FPPD bersama dengan para mitranya bertindak sedini mungkin untuk melibatkan berbagai stakeholder baik donor, LSM dan perguruan tinggi dan khususnya staf Ditjen PMD untuk bersama-sama merumuskan isu, masalah dan metodologi penelitian sampai dengan kerja lapangan dan penyusunan laporan akhir sehingga dapat dibangun suatu produk pemikiran dan komitmen bersama mengenai kebijakan ADD yang baik. Kedua: mendorong bahwa proses studi melibatkan unsur-unsur pemerintahan di daerah, tidak terkecuali juga unsur-unsur dari pemerintah desa. Mereka tidak hanya diajak untuk memaparkan pengalamannya di dalam mengelola ADD tetapi juga merumuskan pemikiran awal. Bupati dan jajarannya beserta para wali nagari dan anggota BPAN diajak untuk memikirkan masa depan ADD di daerahnya dan bagi pembangunan pedesaan. Langkah seperti itu mendorong kepercayaan yang tinggi dari para mitra di daerah bahwa kebijakan ADD merupakan buah karya bersama yang berguna bagi terbangunnya pemerintahan desa yang lebih baik. Ketiga: untuk mematangkan proses kerja yang partisipatif itu, maka hasil studi diseminarkan di lingkungan Ditjen PMD dengan

Bab

7 A

GEN

DA

ADV

OKA

SI D

AN P

ERKE

MBA

NG

AN A

DD

DI D

AERA

H

Page 136: bukuADD

112 ALOKASI DANA DESA

menghadirkan peserta dari berbagai daerah, baik yang menjadi daerah penelitian mapun yang belum melaksanakan kebijakan ADD. Seminar itu mempresentasikan dan membahas dua hal, yaitu laporan penelitian dan usulan draf SE Mendagri tentang pedoman ADD di daerah. Agenda seminar sedikit berubah ketika pada tahap proses penyiapan seminar lahir UU No. 32/2004 yang banyak mengubah pasal-pasal tentang pemerintahan desa pada UU No. 22/1999. Usulan draf SE Mendagri diarahkan untuk menindaklanjuti UU No. 32/2004. Dengan demikian kehadiran dari SE Mendagri itu lebih kuat mendorong amanat kebijakan ADD dalam UU No. 32/2004.

Seminar yang diselanggarakan pada tanggal 24 November 2004 pun dibuka oleh keynote speaker dari Dirjen PMD Depdagri, dan diikuti dengan roadmap tentang alur pembaharuan desa, khususnya tentang kebijakan ADD dalam kerangka mengembang UU No. 32/2004 oleh Direktur PMD. Namun demikian perlu dicatat bahwa meskipun hasil studi diangkat dari konteks berlakunya UU No. 22/1999, tetapi sejumlah rekomendasi yang diturunkannya masih relevan untuk mengawal implementasi UU No. 32/1999 dan PP No. 72/2005. Rekomendasi seminar lebih tegas mendorong adanya jaminan terhadap keuangan desa.

Presentasi tentang temuan studi dan pembahasannya mengungkapkan tentang pentingnya kebijakan mengenai ADD dan problem keuangan daerah melaksanakan ADD. Mengenai urgensi ADD bagi daerah, forum menggarisbawahi tiga catatan. Pertama, forum seminar memberikan pandangan yang sama bahwa ADD sebaiknya menjadi hak bagi desa sehingga ADD dimaknai bukan sebagai kebaikan para pemimpin daerah. Kedua, ADD penting bagi daerah agar desa memperoleh anggaran yang memadai untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, menjalankan otonomi asli dan pemberian serta dapat mendorong desa bergerak untuk memajukan wilayahnya. Ketiga, hasil kajian ADD hendaknya dikembangkan menjadi produk hukum dan bahan pembelajaran untuk mengembangkan kebijakan di daerah.

Adapun kritik terhadap keengganan daerah menyelenggarakan kebijakan ADD dicatat oleh forum karena munculnya beberapa permasalahan. Pertama, munculnya kecenderungan daerah yang memahami bahwa otonomi hanya berhenti di tingkat kabupaten.

Page 137: bukuADD

113AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH

Akibatnya, tidak harus mengalirkan dana ke desa, dan kalaupun mengalirkan dipahami sebagai kebaikan kabupaten/kotamadya ke desa. Kedua, munculnya pandangan bahwa daerah pun masih memerlukan anggaran yang lebih besar lagi untuk mendanai belanja rutin karena banyaknya pegawai dan belanja pembangunan yang besar yang harus ditangani oleh dinas-dinas terkait. Munculnya kedua pandangan yang menelantarkan desa itu merupakan bagian dari proses otonomi daerah yang kebablasan yang menimbulkan keresahan di tingkat lokal. Studi ADD di enam kabupaten telah membuktikan bahwa dengan adanya kebijakan ini desa semakin mandiri dan dapat menjadi mitra utama pemda dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan di masyarakat. Oleh karena itu forum menyambut baik atas hadirnya pasal-pasal dalam UU No. 32/2004 yang berpihak kepada desa dengan menegaskan adanya hak bagi desa untuk memperoleh sebagian dari DAU.

Presentasi tentang draf SE Mendgari mengenai kebijakan ADD di daerah digodok sehari, dan kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk tim Pokja untuk menyempurnakan draf tersebut. Forum pada sesi pembahasan mengenai draf SE Mendagri mengritisi tentang berbagai format SE tersebut. Forum sepakat bahwa SE tersebut sebaiknya menyajikan sebuah pedoman mengelola kebijakan ADD sehingga memudahkan daerah mengimplementasikan. Forum juga mengajak agar tim Pokja menyempurnakan draf SE dengan melakukan konsultasi kepada berbagai pihak terkait khususnya Ditjen PMD dan pihak Departemen Keuangan.

B. Rumusan SE Mendagri tentang ADDTim Pokja perumus draf SE Mendagri tentang kebijakan ADD bisa

menuntaskan pekerjaannya sehingga hasil kerjanya bisa dipakai oleh pihak Depdagri untuk menyusun draf resmi. Namun demikian semangat Depdagri yang besar untuk mendorong lahirnya ADD untuk memperkuat keuangan desa menuai hambatan. Dalam draf awal yang dirumuskan oleh tim Pokja dan didukung oleh Depdagri dirumuskan bahwa paling tidak besarnya ADD adalah 7% dari DAU yang diterima daerah. Angka 7% dari DAU daerah itu cukup besar sehingga memungkinkan setiap desa akan memperoleh anggaran yang cukup untuk membiayai

Page 138: bukuADD

114 ALOKASI DANA DESA

kebutuhan pembangunan di desanya. Akan tetapi pada waktu seminar diadakan sudah muncul kekhawatiran dari peserta bahwa daerah akan enggan melaksanakan mengingat untuk belanja rutin pun daerah sudah kerepotan karena besarnya bisa mencapai lebih dari 70%. Akhirnya usulan peserta forum diperhatikan agar porsi ADD disempurnakan menjadi maksimum 7%. Setelah draf SE relatif siap dikukuhkan, pihak Departemen Keuangan juga mengajukan keberatan karena jika sampai dialokasikan sebesar 7% pun, karena berangggapan bahwa daerah akan sulit mengelola APBDnya. Usulan dari Departemen Keuangan akhirnya merujuk pada angka 10% dari DAU setelah dikurangi belanja rutin daerah.

Di daerah, keluarnya SE itu disambut positif oleh pihak pemerintahan desa yang belum pernah menerima kebijakan ADD dan menerima bantuan yang besar dari Kabupaten. Akan tetapi di daerah yang sudah menerima porsi ADD itu menimbulkan masalah. Pertama, munculnya SE itu membuat beberapa daerah merasa tidak perlu meningkatkan bantuan atau alokasi dana ke desa ketika besarnya telah mencapai lebih dari 5 persen dari DAU yang diterima dari pusat. Kedua, banyak desa yang kecewa dengan muncul SE itu karena bisa membuat pihak pemerintah daerah menurunkan besarnya bantuan atau alokasi dananya.

Walaupun muncul kekecewaan, SE Mendagri itu telah membuat banyak daerah sibuk memikirkan dan mengagendakan terwujudnya kebijakan ADD. Kesibukan itu diikuti dengan berbagai agenda FPPD dan mitranya untuk mendorong ADD sebagai kebijakan yang populis dalam arti bisa menjawab kebutuhan desa daripada sekedar menjalankan pesan undang-undang.

C. Responsivitas Daerah terhadap Kebijakan ADDSE Mendagri tentang kebijakan ADD merupakan sebuah produk

regulasi yang dapat dikatakan menjawab masalah yang berkembang di berbagai daerah. Pertama: masalah yang muncul di daerah tercermin dari berbagai program LSM yang bergerak untuk mempromosikan pembaharuan desa melalui kebijakan ADD. IRE dengan kegiatan kerjanya di Purworejo Jawa Tengah, misalnya, telah bekerja maksimal untuk mempromosikan pembaharuan desa dan salah satunya adalah memperkuat keuangan desa melalui skema desentralisasi (Eko dan

Page 139: bukuADD

115AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH

Rojaki, et, 1 2004). Terbitnya buku APB Desa Partisipatif dari FPPD 2004 juga mengungkapkan bahwa sudah begitu banyak para aktivis LSM yang mengusung isu keuangan desa dan tuntutan agar pemerintah menjamin otonomi desa dengan dukungan anggaran yang memadai. Melalui buku ini FPPD pun mendorong bahwa pemerintah desa harus mengelola dana secara partisipatif sehingga otonomi desa bisa menjawab masalah yang dihadapi warganya. Kedua: para praktisi desa terutama para kepala desa dan aparat desa resah atas perkembangan otonomi desa yang tidak banyak menjawab masalah desa meskipun mereka juga berkepentingan untuk bisa mempunyai kekuatan yang lebih besar pada masa otonomi desa itu. Kegelisahan itu dituangkan dengan membentuk asosiasi dan berbagai aksi seperti demonstrasi yang menuntut adanya bantuan keuangan dari kabupaten. Dengan demikian isu tekanan desa terhadap tuntutan kebijakan ADD tidak hanya ditemukan oleh FPPD di enam daerah penelitiannya tetapi juga di daerah lain.

Setelah SE Mendagri terbit, FPPD tidak tinggal diam. Keberhasilan mengusung munculnya kebijakan ADD ditindaklanjuti melalui publikasi buletin Mudik dengan edisi khusus yang mencermati succes story dari implementasi kebijakan ADD di enam kabupaten, dan berbagai rubrik dalam edisi-edisi Mudik yang mewacanakan adanya SE Mendagri dan pentingnya pengelolaan APB Desa yang partisipatif. FPPD terus menerus mendorong para praktisi desa di berbagai kabupaten yang sering terlibat dalam forum-forum pertemuan FPPD untuk segera mewujudkan kebijakan ADD di daerahnya. FPPD menyediakan program pelatihan APB Desa partisipatif yang di dalamnya mempromosikan pentingnya ADD sebagai bagian integral dari proses pengelolaan anggaran desa.

Belakangan ini setelah lebih dari satu tahun terbitnya SE Mendagri itu, beberapa daerah memperlihatkan respon positif untuk menindaklanjutinya. Respon positif itu juga didorong oleh adanya perhatian yang besar dari mereka untuk menjawab berbagai isu dan masalah desa yang terus bergulir. ADD telah menjadi isu pembangunan desa belakangan ini.

Dengan membaca Tabel 14, dapat terlihat stakeholder di beberapa kabupaten yang mendorong lahirnya kebijakan ADD dengan melibatkan FPPD dan mitranya seperti Institute for Research and Empowerment (IRE-Yogyakarta), STPMD-Yogyakarta, Bina Swagiri Tuban, PMD Depdagri, GTZ

Page 140: bukuADD

116 ALOKASI DANA DESA

dan lainnya untuk ikut terlibat memfasilitasinya dengan menghadirkan keynote speaker, presenter, trainer dan fasilitator pertemuan.

Tabel 14.Peran FPPD dan Mitranya dalam Menfasilitasi Responsivitas Daerah atas

Kebijakan ADD pasca SE MendagriNo. Nama

KabupatenStakholder

DaerahPeran FPPD dan Mitranya

1. Sleman DPRD Penyiapan rencana kebijakan

2. Gunung Kidul Bappeda Pembekalan implementasi kebji-akan

3. Purworejo Pemda Idem

4. Tegal Pemda Idem

5. Wonogiri DPRD Penyiapan rencana kebijakan

6. Kebumen Penyiapan implementasi ADD

7. Bima LSM Pelatihan

8. Musirawas LSM Pelatihan

9. Dili Serdang LSM Penjajagan

10. Serdang Bagase LSM Penjajagan

11. Rangesdenglok Partai Politik Konsultasi

Sesungguhnya respon daerah terhadap SE Mendagri tentang ADD tidak hanya terlihat dari adanya kerjasama dengan FPPD, melainkan juga terlihat dari kerjasama pihak di kabupaten dengan mitra-mitra LSM dan perguruan tinggi yang belum terlibat dalam forum FPPD. Informasi yang bersifat kualitatif mengungkapkan bahwa begitu besar harapan dari mitra-mitra di daerah agar kebijakan ADD segera diwujudkan di kabupatennya. Mereka pun meminta FPPD dan mitranya untuk memberikan materi yang bisa dimanfaatkannya seperti modul, dan hasil penelitian serta berbagai gagasan untuk melakukan advokasi.

D. Catatan AkhirRiset advokasi kolaboratif antara FPPD dengan PMD Depdagri,

perguruan tinggi dan LSM telah melahirkan SE Mendagri tentang pedoman kebijakan ADD dan meningkatkan prakarsa daerah mewujudkan

Page 141: bukuADD

117AGENDA ADVOKASI DAN PERKEMBANGAN ADD DI DAERAH

kebijakan tersebut. Dengan adanya ADD, desa memperoleh apa yang menjadi haknya untuk menjalankan fungsi pemerintahan yang semakin baik di tengah rendahnya pendapatan asli desa. Lebih jauh lagi, kebijakan ADD menjadi instrumen yang penting untuk mendorong desa lebih mandiri dan mampu menjalankan fungsi desentralisasi. Masalahnya adalah kebijakan ADD tidak akan membuahkan pemerintahan yang baik dan kesejahteraan masyarakat jika tidak didukung oleh berbagai perangkat regulasi dan program penguatan pemerintahan desa yang populis dan partisipatif. Untuk itu maka agenda ke depan adalah mengawal ADD menjadi instrumen menuju pemerintahan desa yang populis dan partisipatif dengan mencanangkan program.

Pertama : mendorong lahirnya kebijakan dan pengelolaan ADD yang partisipatif sehingga menjadi modal bersama antar semua elemen pemerintah dan masyarakat desa untuk menegakkan ADD sebagai amanah semua pihak.

Kedua : mendorong terbangunnya otonomi dan desentralisasi desa dengan didukung oleh regulasi yang memperjelas kewenangan desa yang diberikan oleh pemerintah daerah

Ketiga : mendorong pelembagaan praktik partisipasi masyarakat desa dalam pengelolaan pemerintahan sehingga menjamin munculnya kebijakan yang populis daripada elitis.

Keempat : mengintegrasikan berbagai program dan proyek pembangunan di pedesaan ke dalam RAPB Desa dan perencanaan pembangunan Desa.

Kelima : mengembangkan modal sosial di desa sehingga melahirkan pembangunan yang berpihak kepada yang lemah sebagaimana tercermin dalam APB Desa.

Kelima program itu jelas mengamanatkan perlu dikembangkan berbagai strategi yang dilakukan dalam bentuk advokasi, pengembangan kapisitas para pelaksana pemerintahan daerah dan desa sampai dengan pengorganisasian masyarakat.

Page 142: bukuADD

118 ALOKASI DANA DESA

Page 143: bukuADD

119DAFTAR SINGKATAN

Daftar Singkatan

AADD : Alokasi Dana DesaAPBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja DaerahAPB Desa : Anggaran Pendapatan dan Belanja DesaAPBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja NasionalATK : Alat Tulis Kantor

BBanDes : Bantuan DesaBamusdes : Badan Permusyawaratan DesaBappeda : Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Bappenas : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional BMAS : Badan Musyawarah Adat dan Syarak BPD : Badan Perwakilan DesaBPAN : Badan Perwakilan Anak NagariBPEMS : Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan SosialBUMDes : Badan Usaha Milik Desa

CCSO : Civil Society Organization

DDati : Daerah Tingkat DAU : Dana Alokasi UmumDAU Desa : Dana Alokasi Umum Desa

DAF

TAR

SIN

GKA

TAN

Page 144: bukuADD

120 ALOKASI DANA DESA

DAK : Dana Alokasi KhususDAUN : Dana Alokasi Umum NagariDBH-BKN : Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan NagariDepdagri : Departemen Dalam Negeri Ditjen : Direktorat Jendral DPD : Dana Perimbangan DesaDPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Ditjen PMD : Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat DesaDRK : Daftar Rencana Kerja

FFGD : Focus Group DiscussionFPPD : Forum Pengembangan Pembaharuan Desa

GGTZ : Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit

HHIPA : Himpunan Pemakai Air

IInpres : Instruksi PresidenIRE : Institute for Research and EmpowermentIDT : Inpres Desa Tertinggal

JJPS : Jaring Pengaman Sosial

K Kades : Kepala DesaKKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme

LLAN : Lembaga Anak Nagari

Page 145: bukuADD

121DAFTAR SINGKATAN

LPJ : Laporan Pertanggungjawaban LMD : Lembaga Musyawarah DesaLKMD : Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MMusrenbang : Musyawarah Rencana PembangunanMurenbangdes : Musyawarah Rencana Pembangunan DesaMonev : Monitoring dan Evaluasi

NNA : Not Available (tidak tersedia)NGO : Non Government Organization

OOPM : Organisasi Papua Merdeka Orba : Orde Baru Ornop : Organisasi non pemerintah

PPAD : Pendapatan Asli DaerahPADes : Pendapatan Asli DesaPBB : Pajak Bumi dan BangunanPelita : Pembangunan Lima Tahun PDRB : Produk Domestik Regional BrutoPosyandu : Pos Pelayanan TerpaduPerda : Peraturan DaerahPerdes : Peraturan DesaPKK : Pendidikan Kesejahteraan keluargaPKPD : Pengembangan Kapasitas Pemerintahan DaerahPMD : Pemberdayaan Masyarakat Desa PMN : Pemberdayaan Masyarakat Nagari PNS : Pegawai Negeri Sipil PP : Peraturan Pemerintah

Page 146: bukuADD

122 ALOKASI DANA DESA

PPK : Program Pengembangan Kecamatan PPM : Program Pmberdayaan Masyarakat PPD : Proyek Pemberdayaan Distrik (Khusus di Jayapura)PPD : Proyek Pemberdayaan Desa (Khusus di Tuban)PU : Pekerjaan UmumP4D : Proyek Pendukung Pemantapan Penataan DesentralisasiP5D : Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian

Pembangunan di Daerah P3MD : Perencanaan Pembangunan Partisipatif Masyarakat DesaP3DT : Program Peningkatan Prasarana dan Pendukung Desa Tertinggal

RRaskin : Beras MiskinRPJMDes : Rencana Pembangunan Jangka Menengah DesaRT : Rukun TetanggaRW : Rukun WargaRASK : Rencana Anggaran Satuan Kerja

SSDM : Sumber Daya Manusia Sekdes : Sekretaris DesaSE : Surat Edaran

TTKPP : Tim Koordinasi Pengelola Program TPKD/K : Tim Pelaksana Kegiatan Desa/Kelurahan TTG : Teknologi Tepat Guna

UUDKP : Unit Daerah Kerja PembangunanUI : Universitas Indonesia Unibraw : Universitas BrawijayaUNHAS : Universitas HasanuddinUU : Undang-Undang

Page 147: bukuADD

123DAFTAR PUSTAKA

1. KABUPATEN MAGELANG

Buku/Laporan 1. Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2005 Kabupaten Magelang (Bi-

dang I/Ekonomi), Bapeda Kab. Magelang.2. Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2005 Kabupaten Magelang (Bi-

dang II/Fisik Prasarana), Bapeda Kabupaten Magelang.3. Daftar Usulan Rencana Kegiatan Tahun 2005 Kabupaten Magelang (Bi-

dang III/Sosial Budaya), Bapeda Kabupaten Magelang.4. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Magelang mengenai keuangan desa.5. Laporan Pertanggung Jawaban Akhir Masa Jabatan Bupati Magelang

Tahun 1999-2004 Kepada DPRD Kabupaten Magelang, Buku II 2003, Rohadi Pratoto, S.H., M.si. (Kabag Tata Pemerintahan Setda Kab. Magelang).

6. Pengantar Laporan Pertanggung Jawaban akhir masa jabatan Bupati Magelang Tahun 1999-2004 Kepada DPR Kabupaten Magelang, Buku I 2003, Bapeda Kabupaten Magelang.

7. Rencana Strategis Kabupaten Magelang Tahun 2005 - 2009

Daftar Perda & Keputusan Bupati Kab. Magelang 1. Perda Kab Magelang No. 1 Tahun 2000 tentang Peraturan Desa.2. Perda Kab. Magelang No. 10 Tahun 2000 Badan Perwakilan Desa

(BPD).3. Perda Kab. Magelang No. 3 Tahun 2001 tentang Sumber Pendapatan

Desa.

Daftar Pustaka

DAF

TAR

PUST

AKA

Page 148: bukuADD

124 ALOKASI DANA DESA

4. Perda Kab. Magelang No. 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan, Peng-hapusan dan Penggabungan Desa

5. Perda Kab. Magelang No. 6 Tahun 2001 tantang APBDes.6. Perda Kab. Magelang No. 7 Tahun 2001 tantang Kerjasama Antar Desa

dan atau Antar Kelurahan di Kabupaten Magelang.7. Perda Kab. Magelang No. 5 Tahun 2002 tentang Pembentukan Lem-

baga Kemasyarakatan di Desa dan atau Kelurahan8. Perda Kab. Magelang No. 5 Tahun 2003 tantang Kedudukan Keuangan

Kepala Desa dan Perangkat Desa.9. Perda Kab. Magelang No. 8 Tahun 2003 tentang Susunan Organisasi

dan Tata Kerja Pemerintah Desa di Kabupaten Magelang.10. Perda Kab. Magelang No. 9 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pencalonan,

Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa.11. Perda Kab. Magelang No. 10 Tahun 2003 tantang Tata Cara Pencalo-

nan, Pemilihan dan atau Pengangkatan Perangkat Desa12. Perda Kab. Magelang No. 7 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Per-

aturan Daerah Kabupaten Magelang No. 3 Tahun 2001 tentang sumber Pendapatan Desa.

13. Perda Kab. Magelang No. 08 Tahun 2004 tantang Perimbangan Keuan-gan Kabupaten dan Desa di Kabupaten Magelang.

14. Perda Kab. Magelang No. 10 Tahun 2004 tentang Mekanisme Kon-sultasi Publik.

15. Perda Kab. Magelang No. 13 Tahun 2004 tantang Rencana Strategis Kabupaten Magelang Tahun 2005-2009.

16. Keputusan Bupati Magelang No. 8 Tahun 2003 tentang Pelimpahan sebagian Kewenangan Bupati Magelang Kepada Camat di Kabupaten Magelang.

17. Keputusan Bupati Magelang No. 9 Tahun 2004 tantang Pedoman Pengelolaan Dana Alokasi Umum Desa (DAU Desa) di Kabupaten Magelang TA 2004.

2. KABUPATEN LIMAPULUH KOTA

Buku/Laporan 1. Birokrasi Moderen dan Otoritas Tradisional Minangkabau (Nagari dan

Desa di Minangkabau), Drs.Imran Manan, M. A., M. A.,Ph. D., Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minang-kabau, Padang Sumbar.

2. Goyangnya Tangga Menuju Mufakat, Dr. Indira Simbolon, Gramedia.

Page 149: bukuADD

125DAFTAR PUSTAKA

3. Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa/Nagari Kabupaten Lima Puluh Kota, Rencana Strategis Tahun 2002.

4. Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Cris-tine Dobbin / Lillian D. Tedjasudhana, INIS Jakarta 1992.

5. Kumpulan Data Sekunder Studi Dana Alokasi Umum Nagari di Ka-bupaten Lima Puluh Kota, Ferdhinal Asful(Local Manager Perform), Imran(Mitra Local Peform) dan Budi Febriandi(Sekjen Forum Warga Peduli Pembangunan Nagari).

6. Kebijakan Dana Alokasi Desa Kabupaten Lima Puluh Kota.7. Lokakarya Hasil Penelitian “Teknik Perundingan Tradisional dalam

Masyarakat Adat Minangkabau Sumatra Barat”, DR. Takdir Rahmadi, S.H.,LL.M. (Ketua PKPPS Universitas Andalas).

8. Masyarakat Desa Di Indonesia, Koentjaraningrat, Lembaga Penerbit FE UI.

9. Matrik Data Realisasi Usulan RPJMN dalam APBN untuk Lima Nagari Pilot Project PDPP di Kecamatan Harau Kabupaten Lima Puluh Kota, Imran (Mitra Local Perform) dan Ferdhinal Asful (Local Manage Perform Kabupaten Lima Puluh Kota).

10. Nagari Sebagai Sebuah Korporasi, Mochtar Naim (Padang, Mei 1991). 11. Properti dan Kesinambungan Sosial, Tim Perwakilan KITLV, Jakarta Ber-

sama Dr. Indira Simbolon, Gramedia.12. Sumatra Barat Plakat Panjang, Rusli Amran, Pustaka Sinar Harapan.13. Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945-1995, Mestika Zed, Edy Uta-

ma, Hasril Chaniago, Pustaka Sinar Harapan.14. Social Change In The west Sumatran Village : 1908-1945, A thesis pre-

sented in fulfilment of the requirements of the Degree of Doctor Of Philosophy in The Australian National University, Akira Oki, The Aus-tralian National University.

15. The Research project “Minagkabau Markets”. 16. Petunjuk Teknis Tata Cara Penyaluran Dana Bantuan Keuangan dan

Bagi Hasil Pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Nagari Tahun 2003.

17. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Lima Puluh Kota “Akhir Tahun Anggaran 2003”, LPJ Bupati.

18. Kebijakan Dana Alokasi Umum Nagari.

Page 150: bukuADD

126 ALOKASI DANA DESA

Daftar Peraturan & Keputusan Kab. Limapuluh kota 1. Peraturan Daerah Provinsi Sumatra Barat No. 9 Tahun 2000 dan Perda

Kabupaten Lima Puluh Kota No. 1 Tahun 2001 tentang Ketentuan Po-kok Pemerintah Nagari dan Pemerintah Nagari.

2. Rancangan “Peraturan Nagari Sungai Kamuyang” Nomor: .....Ta-hun 2004 tentang Pemilihan Anggota Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN).

3. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 01 tahun 2003 tentang Peman-faatan Tanah Ulayat.

4. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 02 tahun 2003 tentang Penge-lolaan Tempat Pemand Batang Tabit.

5. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 03 tahun 2003 tentang Peme-liharaan Jalan Dalam Nagari.

6. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 04 tahun 2003 tentang Wajib Khatam Al Quran Murit/Anak Usaia SLTP.

7. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 05 tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Akat Nikah Dan Baralek Kawin.

8. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 06 tahun 2003 tentang Pas Dari Penjual Ternak.

9. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 07 tahun 2003 tentang Penya-kit Masyarakat (PEKAT).

10. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 08 tahun 2003 tentang Peny-elesaian Sengketa dan Perkara.

11. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 09 tahun 2003 tentang Pelang-garan Hubungan Suami Istri.

12. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 11 Tahun 2003 tentang Ang-garan Pendapatan dan Belanja Nagari Sungai Kamuyang TA 2003.

13. Peraturan Nagari Sarilamak No. 03 Tahun 2003, Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari TA 2003.

14. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 01 Tahun 2004 tentang Per-tanggung Jawaban Keuangan TA 2003.

15. Peraturan Nagari Sungai Kamuyang No. 02 Tahun 2004 tentang Ang-garan Pendapatan dan Belanja Nagari Sungai Kamuyang TA 2004.

16. Peraturan Nagari Andaleh Kecamatan Luak No. 05 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari.

17. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 223/BLK-2002 Tanggal 11 Mei 2002 tentang Perhitungan Penetapan Besarnya Dana Alokasi Umum Untuk Nagari (DAUN), Bagi Hasil untuk Nagari dan Pembiayaan Rutin Nagari Dalam Kabupaten Lima Puluh Kota TA 2002.

Page 151: bukuADD

127DAFTAR PUSTAKA

18. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 249/BLK -2002 Tanggal 20 Mei 2002 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Penyaluran Dana Alokasi Umum, Bagi hasil dan Rutin Nagari Di Kabupaten Lima Puluh Kota.

19. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 47 Tahun 2002 tanggal 20 Mei 2002 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana Alokasi Umum Bagi Hasil dan Rutin Nagari Tahun 2002.

20. Keputusan Wali Nagari Andaleh No. 08/WNA-2002 tentang Petun-juk Teknis Pelaksanaan Pemungutan, Penyetoran dan Penyimpanan Pendapatan Asli Nagari Andaleh

21. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 160/BLK-2003 tentang Alokasi Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota kepada Pemerintah Nagari Tahun Anggaran 2003,

22. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota No. 7 Tahun 2004 tentang, Penyu-sunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari (APBN).

23. Keputusan Bupati Lima Puluh Kota, No. 16 Tahun 2004 tentang Pe-doman Umum Pengelolaan Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Pemerintah Kabupaten Kepada Pemerintah Nagari Tahun 2004.

24. Keputusan Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) No. 26/KPTS/BPAN/A/2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari Andaleh Tahun 2004.

25. Keputusan Badan Perwakilan Anak Nagari Tarantang No. 02/kps/BPAN/2003 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari Taran-tang Tahun 2003

26. Keputusan Badan Perwakilan Anak Nagari Sarilamak No. 03/SKEP/BPAN/VIII-2003 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari (APBN) Sarilamak TA 2003.

27. Keputusan Badan Perwakilan Anak Nagari Sungai Kamuyang No. 03/KPTS/BPAN/2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari Sungai Kamuyang Tahun 2004.

3. KABUPATEN SUMEDANG

Buku/Laporan 1. Kabupaten Sumedang Dalam Angka (Sumedang Regency intensif Fig-

ure) 2003, BPS Kabupaten Sumedang.2. LPJ Kepala Desa Cibeureum Kulon Kecamatan Cimalaka, Nota Pengan-

tar Keuangan APBDes Desa Cibeureum Kulon TA 2002.3. LPJ Bupati Sumedang, LPJ Akhir Masa Jabatan Bupati Sumedang Masa

Bakti 1998-2003 dan Pertanggungjawaban Akhir TA 2002.

Page 152: bukuADD

128 ALOKASI DANA DESA

4. Laporan Pelaksanaan Dana Perimbangan Desa di kabupaten Sumed-ang TA 2003, Badan Pemberdayaan masyarakat dan Kesejahteraan So-sial Kabupaten Sumedang 2003.

5. Pandangan Asosiasi Badan Perwakilan Desa Seluruh Indonesia (AB-PEDSI) Berkaitan Dengan Revisi UU 22/1999 tentang Otonomi Dae-rah, Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Badan Perwakilan Desa Seluruh Indonesia.

6. Pemberdayaan Anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai Perumus Kebijaksanaan Antisipatif dan Responsip Terhadap Dinamika Peruba-han Masyarakat Desa, Drs. K.S. Supriadi, AR. (Ketua ABPEDSI/FK.BPD Kab. Sumedang.

7. Pedoman Dana Perimbangan Desa Tahun 2004 Pemerintahan Kabu-paten Sumedang, Badan Pemberdayaan masyarakat dan Kesejahteraan Sosial.

8. Petunjuk Teknis Fungsi Badan Perwakilan Desa Kabupaten Sumedang Sebagai Bahan Pembekalan dan Sosialisasi Kinerja Badan Perwakilan Desa Dalam Pemerintah Desa, Drs. K.S. Supriadi (September 2004).

9. Profil PDP3D Kabupaten Sumedang Tahun 2000-2002, Bapeda Pemer-intah Kabupaten Sumedang.

10. Rencana Strategis Daerah Kabupaten Sumedang Tahun 2003-2008, Pemerintah Kabupaten Sumedang 2003.

11. Rumus DPD Kabupaten Sumedang.12. Tabel Penduduk, Rukun Tetangga, Kepadatan dan rata-rata penduduk

per rukun tetangga menurut Kecamatan. Daftar Perda, Keputusan Bupati dan Perdes Kab. Sumedang 1. Himpunan Perda Kabupaten Sumedang Mengenai Desa Tahun 2000,

Perda Tentang Desa Tahun 2000.2. Perda Kab. Sumedang No. 51 Tahun 2001 tentang Dana Perimbangan

Desa.3. Perda Kabupaten Sumedang Nomor 01 Tahun 2003 Tanggal 22 Januari

2003 tentang Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah TA 2003.

4. Perda Kab. Sumedang No. 3 Tahun 2003 tentang Perubahan pertama Peraturan Daerah Kab. Sumedang No. 30 Tahun 2000 tentang Pedo-man Pembentukan BPD

5. Perda Kab. Sumedang No. 4 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Perda Kab. Sumedang No. 31 Tahun 2000 tentang Peraturan Desa.

6. Perda Kab. Sumedang No. 5 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama

Page 153: bukuADD

129DAFTAR PUSTAKA

Perda Kab. Sumedang No. 32 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa.

7. Perda Kab. Sumedang No. 6 Tahun 2003 tentang Tata cara Pencalonan Pemilihan, Pengangkatan, Pemberhentian Kepala Desa.

8. Perda Kab. Sumedang No. 7 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Perda Kab. Sumedang No. 34 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa.

9. Perda Kab. Sumedang No. 8 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Perda Kab. Sumedang No. 35 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusu-nan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

10. Perda Kab. Sumedang No. 9 Tahun 2003 tentang Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa, Pengurusan dan Pengawasannya.

11. Perda Kab. Sumedang No. 10 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Perda Kab. Sumedang No. 37 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuan-gan Kepala Desa dan Perangkat Desa.

12. Perda Kab. Sumedang No. 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Perda Kab. Sumedang No. 38 Tahun 2000 tentang Lembaga Kema-syarakatan di Desa.

13. Perda Kab. Sumedang No. 12 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Perda Kab. Sumedang No. 39 Tahun 2000 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan Lembaga Adat.

14. Perda Kab. Sumedang No. 13 Tahun 2003 tentang Perubahan Perta-ma Perda Kab. Sumedang No. 40 Tahun 2000 tentang pembentukan, penghapusan dan penggabungan desa.

15. Perda Kab. Sumedang No. 14 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Perda Kab. Sumedang No. 42 Tahun 2000 tentang Kerjasama Antar Desa.

16. Keputusan Bupati Sumedang No. 44 Tahun 2001 tentang Pelimpahan sebagian Kewenangan Pemerintah dari Bupati kepada camat di Ling-kungan Pemerintahan Kabupaten Sumedang.

17. Keputusan Bupati Sumedang No. 91 Tahun 2001 tentang Pelimpahan sebagian Wewenang Bupati Kepada Camat Dalam Bidang Kependudu-kan.

18. Perdes Situraja Nomor 01 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Situraja Tahun 2004.

19. Perdes Cibeureum Kulon, Kecamatan Cimalaka Nomor 01 Tahun 2003 tentang Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun 2003.

Page 154: bukuADD

130 ALOKASI DANA DESA

20. Perdes Cibeureum Kulon, Kecamatan Cimalaka Nomor 01 Tahun 2004 tentang Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun 2004.

21. Kumpulan Perdes Cibeureum Kulon tentang Pemerintahan Desa.

4. KABUPATEN SELAYAR

Buku/Laporan 1. Laporan Pertanggungjawaban Tahun 2003, Desa Ontolebang, Keca-

matan Bontoharu. 2. Laporan Pertanggung Jawaban Kepala Desa Bungaiya Tahun Anggaran

2003, Kecamatan Bontomatene.3. Membangun relasi Desa dan Kabupaten Jalan mewujudkan Otonomi

Desa, Makalah Bupati Selayar pada RTD II, di Hotel Brongto.

Daftar SE Bupati dan Keputusan Bupati Selayar1. Surat Edaran Bupati Selayar Nomor 903/290/VII/2004/Keu Tanggal 7

Juli 2004 tantang Pedoman Umum Penyusunan Pelaksanaan dan Per-tanggungjawaban APBDes.

2. Keputusan Bupati Selayar Nomor 315 Tahun 2001 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan, Kegiatan/Pasal dan Proyek APBD TA 2002.

3. Keputusan Bupati Selayar Nomor 285 Tahun 2002 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan, Kegiatan/Pasal dan Proyek Perubahan APBD Ka-bupaten Selayar.

4. Keputusan Bupati Selayar Nomor 88 Tahun 2003 tentang Penjabaran APBD.

5. Keputusan Bupati Selayar Nomor 97 Tahun 2004 tentang Pagu Semen-tara Dana Perimbangan Keuangan Desa TA 2004.

6. Keputusan Bupati Selayar Nomor 291 Tahun 2003 tentang Penetapan Pagu Definitif Dana Perimbangan Keuangan TA 2003.

7. Keputusan Bupati Selayar Nomor 93 Tahun 2004 tentang Penjabaran APBD TA 2004.

5. KABUPATEN TUBAN

Buku/Laporan 1. Rencana Strategis Pemerintah Kabupaten Tuban Tahun 2001-2006,

Pemerintah Kabupaten Sumedang.

Page 155: bukuADD

131DAFTAR PUSTAKA

2. Lampiran Rencana Strategis Pemerintah Kabupaten Tuban Tahun 2001-2006.

3. Kabupaten Tuban Dalam Angka (Tuban Regency Figures) 2003, PBS dan Bapeda Kabupaten Tuban.

4. Laporan Keputusan Bupati Tuban.5. Pedoman Pelaksanaan Proyek Pemberdayaan Desa/ Kelurahan, Pemer-

intah Kabupaten Tuban Tahun 2002.6. Laporan Pelaksanaan Tugas Kepala Desa Plumpang Tahun 2002, Apr-

02.7. Laporan Pertanggungjawaban LPJ Kepala Desa Paseyan Tahun

2002/2003, Dwi Suko Arimakno.8. Pengantar Pertanggung Jawaban Akhir TA 2003.9. Laporan Pertanggungjawaban Bupati Tuban Akhir TA 2003 Menge-

nai penyelenggaraan Pemerintah dan Pelaksanaan Pembangunan TA 2003.

10. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Pemberdayaan Desa/Kelurahan Tahun 2003, Pemerintah Kabupaten Tuban.

11. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Pemberdayaan Desa/ Kelurahan Tahun 2004, Pemerintah Kabupaten Tuban.

12. Rencana Strategis Desa Glondong Gede Kecamatan Tambak Boyo, Bina Swagiri.

13. Angaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Humpunan Penduduk Pe-makai Air Minum (HIPPAM) Tirto Murni Desa Talun Kecamatan Mon-tong.

14. Leaflet Kegiatan Pemberdayaan Desa/Kelurahan Tahun 2004, Kabu-paten Tuban.

Daftar Perda, Keputusan Bupati dan Perdes, Kab Tuban. 1. Perda Kabupaten Tuban No. 16 Tahun 2003 tentang Pokok-pokok Pen-

gelolaan Keuangan Daerah. 2. Lampiran Keputusan Bupati Tuban, Penjabaran Kegiatan/ pasal dan

proyek Perhitungan APBD TA 2001.3. Lampiran Keputusan Bupati Tuban, Penjabaran APBD TA 2004. 4. Perdes Padasan Kecamatan Korek No. 03 Tahun 2002 tentang Kedudu-

kan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa.5. Perdes Padasan Kecamatan Korek No. 01 Tahun 2003 tentang APB-

Des. 6. Perdes Sugihan Kecamatan Jatirogo No. 01 Tahun 2003, Lembaga

Pemberdayaan masyarakat Desa/Kelurahan.

Page 156: bukuADD

132 ALOKASI DANA DESA

6. KABUPATEN JAYAPURA

Buku/Laporan 1. Kabupaten Jayapura Dalam Angka, 2002, BPS Kabupaten Jayapura. 2. Petunjuk Pengelolaan Program Pemberdayaan Distrik TA 2004.3. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana pembangunan Kampung/Kelurahan

(DPK/K) TA 2004, Pemerintah Kabupaten Jayapura.4. Draft Awal Capacity Building Distrik Kabupaten Jayapura, LAN Pusat

Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur II Makassar, 2004.

Daftar Perda dan Keputusan Bupati Kabupaten Jayapura1. Himpunan Perda tentang Desa dan Kelurahan Kabupaten Jayapura Ta-

hun 2000-2001.2. Perda Kabupaten Jayapura No. 3 Tahun 2002 tentang Rencana Strat-

egis Pembangunan Kabupaten Jayapura Tahun 2002-2006.3. Perda Kabupaten Jayapura No. 9 Tahun 2002 tentang Perubahan APBD

Kabupaten Jayapura TA 2002.4. Perda Kabupaten Jayapura No. 10 Tahun 2003 tentang Perubahan

APBD Kabupaten Jayapura TA 2003.5. Himpunan Surat Keputusan Bupati Jayapura tentang Penetapan Peng-

hasilan Aparatur Pemerintahan Kampung TA 2004, BPMD Kabupaten Jayapura.

6. Keputusan Bupati Jayapura No. 48 Tahun 2002 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan, Kegiatan, Pasal dan Proyek APBD Kabupaten Jayapura TA 2002.

7. Keputusan Bupati Jayapura No. 356 Tahun 2003 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan, Kegiatan dan Proyek Perubahan APBD Kabu-paten Jayapura TA 2003.

Page 157: bukuADD

Editor:Bambang Hudayana

Haryo HabironoRofiko Rahayu Kabalmay

Penulis:Tim FPPD

Pengantar:Sutoro Eko