31
BAB 1 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupa¬kan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus. Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat mereka sangat dekat dengan struktur vital. Keganasan sinonasal dapat tumbuh dengan ukuran yang cukup dan terapi agresif mungkin diperlukan di daerah dekat dasar tengkorak, orbit, saraf kranial, dan pembuluh darah vital. Meskipun jarang, keganasan sinonasal merupakan masalah yang cukup penting. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal (misalnya, epistaksis sepihak, obstruksi hidung) meniru tanda-tanda dan gejala kondisi umum tetapi kurang serius. Oleh karena itu, pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan mengobati tahap awal keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Anatomi rongga hidung dan

CA Sinonasal

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: CA Sinonasal

BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak

maupun yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1

% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher. Hidung dan

sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang

wajah yang merupa¬kan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit

diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus

karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi

rongga hidung dan seluruh sinus.

Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat mereka sangat dekat dengan struktur

vital. Keganasan sinonasal dapat tumbuh dengan ukuran yang cukup dan terapi agresif mungkin

diperlukan di daerah dekat dasar tengkorak, orbit, saraf kranial, dan pembuluh darah

vital. Meskipun jarang, keganasan sinonasal merupakan masalah yang cukup penting. Masalah

ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal (misalnya, epistaksis sepihak, obstruksi

hidung) meniru tanda-tanda dan gejala kondisi umum tetapi kurang serius. Oleh karena itu,

pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan

mengobati tahap awal keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak.  Anatomi rongga hidung dan

sinus paranasal menyebabkan tumor untuk timbul dalam stadium lanjut dan mempersulit

pengobatan mereka.Mereka berada berdekatan dengan struktur penting seperti dasar tengkorak,

orbit, saraf kranial, dan struktur vaskular penting.Morbiditas jelas dan komplikasi yang terkait

dengan bedah reseksi dari tumor tersebut dapat parah. Pengobatan keganasan sinonasal paling

baik dilakukan melalui tim multidisiplin. Secara optimal, ini termasuk kepala dan leher bedah

oncologic, rekonstruksi bedah, maxillofacial prosthodontist, onkologi radiasi, ahli onkologi

medis, neuroradiologist, ahli patologi, ahli bedah saraf, dan pasien.

EPIDEMIOLOGI

Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika daripada di

Amerika Serikat.Di bagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum

dan kanker leher karsinoma nasofaring belakang. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering

dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-

Page 2: CA Sinonasal

70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga

hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan

minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.

Kejadian tahunan tumor hidung di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1 dalam 100.000

orang per tahun. Tumor ini paling sering terjadi dalam putih, dan insiden pada laki-laki adalah

dua kali dari perempuan. Tumor epitel yang paling sering hadir dalam dekade kelima dan

keenam usia.

Page 3: CA Sinonasal

BAB II

ISI

ANATOMI

Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di

bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

1. Septum Nasi

Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium pada

bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi

juga dengan mukosa nasal.

Bagian tulang terdiri dari :

Lamina perpendikularis os etmoid

Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-posterior dari

septum nasi dan berlanjut ke atas membentuk lamina kribriformis dan krista gali.

Os vomer

Os vomer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os vomer

merupakan ujung bebas dari septum nasi.

Krista nasalis os maksila

Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis os maksila dan os palatina.

Krista nasalis palatina.

Bagian tulang rawan terdiri dari :

Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)

Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasal, lamina perpendikularis os

etmoid, os vomer dan krista nasalis os maksila oleh serat kolagen.

Kolumela

Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama lain oleh sekat

tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela.

2. Pembuluh darah

Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina yang

merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari a,karotis eksterna). Septum nasi bagian

antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang dari a.maksilaris)

yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari a.fasialis)

memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose membentuk fleksus

Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini

disebut juga Little’s area yang merupakan sumber perdarahan pada epistaksis. Arteri

Page 4: CA Sinonasal

karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui arteri etmoidalis

anterior dan superior. Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior

septum ke fleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada

superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang berhubungan

dengan sinus sagitalis superior.

3. Sinus Paranasal

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar

nasal dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya. Terdapat empat

pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontalis, sfenoidalis, etmoidalis, dan maksilaris.

Sinus maksilaris dan etmoidalis mulai berkembang selama dalam masa kehamilan. Sinus

maksilaris berkembang secara cepat hingga usia tiga tahun dan kemudian mulai lagi saat

usia tujuh tahun hingga 18 tahun dan saat itu juga air-cell ethmoid tumbuh dari tiga atau

empat sel menjadi 10-15 sel per sisi hingga mencapai usia 12 tahun.

Sinus maksilaris adalah sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam

janin manusia. Sinus ini mulai berkembang pada dinding lateral nasal sekitar hari

65 kehamilan. Sinus ini perlahan membesar tetapi tidak tampak pada foto polos

sampai bayi berusia 4-5 bulan. Pertumbuhan dari sinus ini bifasik dengan periode

pertama di mulai pada usia tiga tahun dan tahap kedua di mulai lagi pada usia

tujuh hingga 12 tahun. Selama tahap kedua ini, pneumatisasi meluas secara

menyamping hingga dinding lateral mata dan bagian inferior ke prosesus

alveolaris bersamaan dengan pertumbuhan gigi permanen. Perluasan lambat dari

sinus maksilaris ini berlanjut hingga umur 18 tahun dengan kapasitasnya pada

orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan sekret ke dalam

meatus media.

Sel etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan

janin. Sinus etmoidalis anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral nasal

dan bercabang ke samping dengan membentuk sinus etmoidalis posterior dan

terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat dilahirkan sel ini diisi oleh cairan

sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu tahun sinus etmoidalis

baru bisa dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan cepat

hingga usia 12 tahun. Sinus etmoidalis anterior dan posterior ini dibatasi oleh

lamina basalis. Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total

volume rata-rata 14-15 ml. Sinus etmoidalis anterior mengalirkan sekret ke dalam

meatus media, sedangkan sinus etmoidalis posterior mengalirkan sekretnya ke

Page 5: CA Sinonasal

dalam meatus superior. Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan

posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan.

Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior yang merupakan cabang

arteri oftalmika, terdapat di atap sinus etmoidalis dan membentuk batas posterior

resesus frontal. Arteri ini berada pada dinding koronal yang sama dengan dinding

anterior bula etmoid. Daerah yang kedua adalah variasi anatomi yang disebut

dengan sel onodi. Sel onodi adalah sel udara etmoid posterior yang

berpneumatisasi ke postero-lateral atau postero-superior terhadap dinding depan

sinus sfenoidalis dan melingkari nervus optikus dan dapat dikira sebagai sinus

sfenoidalis.

Sinus frontalis mulai berkembang sepanjang bulan keempat kehamilan,

merupakan satu perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus

frontalis jarang tampak pada pemeriksaan foto polos sebelum umur lima atau

enam tahun setelah itu perlahan tumbuh, total volume 6-7 ml. Pneumatisasi sinus

frontalis mengalami kegagalan pengembangan pada salah satu sisi sekitar 4-15%

populasi. Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam resesus frontalis.

Sinus sfenoidalis mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan yang

merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior kavum nasi. Sinus ini

berupa suara takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur tiga tahun ketika

mulai pneumatisasi lebih lanjut, Pertumbuhan cepat untuk mencapai tingkat sella

tursika pada umur tujuh tahun dan menjadi ukuran orang dewasa setelah umur 18

tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan sekretnya ke dalam

meatus superior bersama dengan etmoid posterior. Mukosa sinus terdiri dari

ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel Goblet, dan kelenjar

submukosa menghasilkan suatu selaput lendir bersifat melindungi. Selaput lendir

mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya yang dibawa oleh silia,

kemudian mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam nasal untuk dibuang.

DEFINISI

Page 6: CA Sinonasal

Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana kanker (ganas) sel ditemukan dalam jaringan

sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung.

ETIOLOGI

Eksposur kepada asap industri, debu kayu, penyulingan nikel, dan penyamakan kulit semua

telah terlibat dalam karsinogenesis berbagai jenis tumor ganas sinonasal. Eksposur khusus, kayu

debu dan penyamakan kulit baik berhubungan dengan peningkatan risiko adenokarsinoma lain.

Agen etiologi telah dilaporkan termasuk minyak mineral, dan senyawa kromium kromium,

minyak isopropil, cat pernis, solder dan las.

Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras, merupakan faktor

resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Peningkatan resiko (5-50 kali)

ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek paparan ini mulai

timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian

paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko

tambahan.

Tembakau dan penggunaan alkohol belum dibuktikan secara meyakinkan sebagai faktor

penyebab dalam pengembangan tumor sinus paranasal. Namun, agen virus, khususnya human

papilloma virus (HPV), juga mungkin memainkan peran penyebab. 

PATOFISIOLOGI

Page 7: CA Sinonasal

KARSINOGEN

Klasifikasi Tumor :

1. Tumor Jinak

BAHAN INDUSTRI,

TEKSTIL ( DEBU KAYU)

NIKEL ROKOK

ALKOHOL

MAKANAN YANG DIASINKAN DAN

DIAWETKAN

Human papillomavirus

(HPV)

virus Epstein-Barr

(EBV)

MEMICU TIMBULNYA

PERTUMBUHAN YANG

ABNORMAL

CARSINOMA SINONASAL

Page 8: CA Sinonasal

Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan

polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik

atau fungiform dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted. Papiloma inverted ini

bersifat sangat invasive, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk

residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua.

Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media.

Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi

rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata ke

anterior

2. Tumor Ganas

Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh

karsinoma yang berdeferensiasi dan tumor kelenjar. Sinus maksila adalah yang tersering terkena

(65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan

frontal jarang terkena.

Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat

miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan

pipi yang kaya akan system limfatik.Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%)

dan organ yang sering terkena metastasis jauh adalah hati dan paru.

3. Invasi Sekunder

a. Pituitary adenomas

b. Chordomas

c. Invasi sekunder lain (karsinoma nasofaring, meningioma, tumor odontogenik, neoplasma

skeleton kraniofasial jinak dan ganas, tumor orbita dan apparatus lakrimal) .

Klasifikasi histologi tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal menurut WHO:

A. Karsinoma Sel Skuamosa

Karsinoma sel skuamosa merupakan neoplasma epitelial maligna yang berasal dari

epitelium mukosa kavum nasi atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing dan non

keratinizing.Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus

maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus

sfenoidalis dan frontalis (sekitar 1%).Simtom berupa rasa penuh atau hidung tersumbat,

Page 9: CA Sinonasal

epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau palatum, luka

yang tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa pada kavum nasi, pada kasus lanjut

dapat terjadi proptosis, diplopia atau lakrimasi. Pemeriksaan radiologis, CT scan atau

MRI didapatkan perluasan lesi, invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang

bersebelahan seperti pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara

makroskopik, karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau

papiler. Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated, demarcated

atau infiltratif.

B. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari lokasi mukosa

lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk

keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel

diskeratotik) dan/atau intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang,

massa atau sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan

tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini dinilai berupa

diferensiansi baik, sedang atau buruk .

C. Mikroskopik Non-Keratinizing (Cylindrical Cell, transitional) Carcinoma

Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal yang dikarakteristikkan

dengan pola plexiform atau ribbon-like growth pattern. Dapat menginvasi ke dalam

jaringan dibawahnya dengan batas yang jelas. Tumor ini dinilai dengan diferensiasi

sedang ataupun buruk. Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai skuamosa, dan harus

dibedakan dari olfactory neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin.

D. Undifferentiated Carcinoma

Undifferentiated carcinoma merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat

agresif dan histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang

cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan

melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran mikroskopik berupa

proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk trabekular,

pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor berukuran sedang hingga

besar dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik,

anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas

mitosis meningkat dengan gambaran mitosis atipikal, nekrosis tumor dan apoptosis.

Pemeriksaan tambahan seperti imunohistokimia, mikroskop elektron dan biologi

Page 10: CA Sinonasal

molekuler seringkali diperlukan dalam diagnosis undifferentiated carcinoma dan dapat

membedakan keganasan ini dari neoplasma ganas lainnya.

E. Limfoma Maligna

Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural killer

(NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan bahwa limfoma

primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada nasal jarang ditemukan di

western countries, umumnya dijumpai di negara-negara Asia .Dikarakteristikkan dengan

infiltrat limfomatosa difus yang meluas ke mukosa nasal dan sinus paranasal, dengan

pemisahan yang luas dan destruksi mukosa kelenjar sehingga memperlihatkan clear cell

change. Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic bodies selalu ditemukan. Dinding

pembuluh darah sering ditemukan angiosentrik, angiodestruksi dan deposit fibrinoid. Sel-

sel limfoma ukurannya bervariasi mulai dari kecil, medium hingga berukuran besar. Sel-

sel memiliki sitoplasma pucat dan granul azurofilik pada sitoplasmanya yang dapat

dilihat dengan pewarnaan Giemsa. Beberapa kasus berhubungan dengan infiltrat

inflamatori yang mengandung limfosit kecil, histiosit, sel-sel plasma dan eosinofil.

Terkadang hiperlasia pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat

ditemukan, menyerupai karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik.

F. Adenokarsinoma

Sinonasal adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak

menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari

keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan neoplasma

agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40 hingga 70 tahun.

Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus aerodigestivus bagian atas.

Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid. Simtom primer berupa hidung

tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan deformasi dan/atau proptosis dan epistaksis,

bergantung pada lokasinya. Adenokarsinoma menunjukkan tiga pola pertumbuhan yaitu

sessile, papilari dan alveolar mucoid. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi

dan merusak jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis . Prognosis

jelek dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya

metastasis.

G. Melanoma Maligna

Biasanya ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria

dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara makroskopik, massa

polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan pada 45% kasus. Di dalam

Page 11: CA Sinonasal

kavum nasi, lokasi yang sering ditemukan melanoma maligna ini adalah daerah posterior

septum nasal diikuti dengan turbinate medial dan inferior. Tumor menyebar melalui

aliran darah atau limfatik. Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan

awal.

Pembagian sistem TNM menurut Simson sebagai berikut:

T : Tumor.

T—1 : 

a. Tumor pada dinding anterior antrum.

b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.

c. Tumor pada palatum bagian anteromedial.

T—2 :

a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot.

b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.

T—3 : 

a. Invasi ke m. pterigoid.

b. Invasi ke orbita

c. Invasi ke selule etmoid anterior tanpa mengenai lamina kribrosa.

d. Invasi ke dinding anterior dan kulit diatasnya.

T—4 : 

a. Invasi ke lamina kribrosa.

b. Invasi ke fosa pterigoid.

c. Invasi ke rongga hidung atau sinus maksila kontra

lateral.

d. Invasi ke lamina pterigoid.

e. Invasi ke selule etmoid posterior.

f. Ekstensi ke resesus etmo-sfenoid.

N : Kelenjar getah bening regional.

N—1 : Klinis teraba kelenjar, dapat digerakkan.

N—2 : Tidak dapat digerakkan.

M : Metastasis.

M—1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus.

Page 12: CA Sinonasal

M—2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.

Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini (stadium 1 dan 2), stadium

lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam stadium lanjut dan sulit

menentukan asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal sudah

terkena tumor.

 Stadium :

Stadium

0

T1s N0 M0

Stadium

I

T1 N0 M0

Stadium

IIA

T2a N0 M0

Stadium

IIB

T1

T2a

T2b

N1

N1

N0,N1

M0

M0

M0

Stadium

III

T1

T2a,T2b

T3

N2

N2

N2

M0

M0

M0

Stadium

IV a

T4 N0,N1,N2 M0

Stadium

IV b

Semua T N3 M0

Stadium

IV c

Semua T Semua N M1

MANIFESTASI KLINIK

Page 13: CA Sinonasal

Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam

sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau

menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial.

Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Gejala nasal. Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya

sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak

tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya

berbau karena mengandung jaringan nekrotik.

2. Gejala orbital. Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, protosis

atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.

3. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus

di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi

atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi,

tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.

4. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai

nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.

5. Gejala intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala

hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak

yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf

otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat

terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang

dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.

Saat pasien datang ke dokter, biasanya tumor sudah dalam fase lanjut. Hal ini mungkin

disebabkan karena diagnosis yang terlambat yang dikarenakan gejala dini nya mirip dengan

rinitis atau sinusitis sehingga sering kali diabaikan oleh pasien atau kurang diperhatikan oleh

dokter.

PEMERIKSAAN FISIK

Page 14: CA Sinonasal

Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri

atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi

anterior dan posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan

permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas.

Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.

Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada

stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang

bermetastasis ke kelenjar leher.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Radiologic Imaging

Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Plain film menunjukkan

destruksi tulang, meskipun demikian pada beberpa kasus dapat menunjukkan keadaan

normal.

2. Screening computed tomography (CT) scan lebih akurat daripada plain film untuk

menilai struktur tulang sinus paranasal dan lebih murah daripada plain film. Pasien

beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen, nyeri persisten yang berat,

neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit sinonasal dan dengan simtomp

persisten setelah pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan

dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras atau magnetic resonance imaging

(MRI). CT scanning merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang

traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk

menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotid.

3. MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue,

membedakan sekresi di dalam nasal yang tersumbat dari space occupying lesion,

menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan keunggulan imaging pada

sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI

image terdepan untuk mengevaluai foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale

dan optic canal. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal

berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari

lemak di dalam pterygopalatine fossa oleh signal tumor yang mirip dengan otak.

Page 15: CA Sinonasal

4. Positron emission tomography (PET) sering digunakan untuk keganasan kepala dan

leher untuk staging dan surveillance. Kombinasi PET/CT scan ditambah dengan

anatomic detail membantu perencanaan pembedahan dengan cara melihat luasnya

tumor. Meskipun PET ini banyak membantu dalam menilai keganasan kepala dan

leher tetapi sangat sedikit kegunaannya untuk menilai keganasan pada nasal dan sinus

paranasal.

5. Angiography dengan carotid-flow study digunakan untuk penderita yang akan

menjalani operasi dengan tumor yang telah mengelilingi arteri karotid. Tes balloon

exclusion digunakan dengan single-photon emission CT (SPECT), xenon CT scan

atau trnascranial Doppler, dianjurkan apabila diduga terjadi resiko infark otak

iskemik jika areteri karotid internal dikorbankan. Tes ini tidak dapat memprediksi

iskemik pada area marginal (watershed) atau fenomena embolik.

6. CT scan dada dan abdomen direkomendasikan untuk pasien dengan tumor yang

bermetastasis secara hematogen, seperti sarkoma, melanoma dan karsinoma kistik

adenoid. Penilaian metastasis penting jika reseksi luas dipertimbangkan untuk

dilakukan. Lumbar dan brain puncture serta spine imaging direkomendasikan jika

tumor telah menginvasi meningen atau otak.

DIAGNOSIS

Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di

rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor

sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc

yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal.

Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan

sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi.

PENATALAKSANAAN

Page 16: CA Sinonasal

Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis menggunakan

pendekatan multifaset. Setiap pasien menerima rencana pengobatan yang disesuaikan untuk

memenuhi kebutuhan nya, khususnya konstitusi secara keseluruhan pasien, kelas, dan stadium

penyakit. Biasanya, bagaimanapun, tim pengobatan meliputi: 

• sebuah otorhinolaryngologist (spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan) 

• seorang ahli onkologi (spesialis kanker) 

• sebuah radiotherapist (x-ray pengobatan spesialis) 

Jika operasi yang luas diperlukan, ahli bedah plastik dan rekonstruksi juga dapat berfungsi

sebagai bagian dari tim perawatan. 8

Pilihan pengobatan utama untuk kanker sinus paranasal meliputi: 

I. Bedah. Mungkin diperlukan untuk menghilangkan bagian dari rongga hidung atau

sinus paranasal pada setiap tahap penyakit ini. Juga, beberapa diseksi kelenjar getah

bening mungkin diperlukan di leher, tergantung pada pementasan dan grading.Dapat

dikombinasikan dengan radioterapi di setiap tahap, tergantung pada jenis kanker dan

lokasinya.

II. Radioterapi. Terapi radiasi juga disebut, radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri

pada tahap I dan penyakit II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap

penyakit.Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapi

lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan penggunaan energi tinggi,

penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona diobati. Terapi radiasi juga

digunakan untuk paliatif (kontrol gejala) pada pasien dengan kanker tingkat

lanjut. Teleterapi (radiasi eksternal) diberikan melalui mesin remote dari tubuh

sementara radiasi internal (brachytherapy) diberikan dengan menanamkan sumber

radioaktif ke dalam jaringan kanker. Pasien mungkin atau mungkin tidak memerlukan

kedua jenis radiasi. Radioterapi biasanya memakan waktu hanya lima sampai sepuluh

menit per hari, lima hari seminggu selama sekitar enam minggu, tergantung pada jenis

radiasi yang digunakan.

III. Kemoterapi. Biasanya diperuntukkan untuk tahap III dan IV penyakit. Selain terapi

lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh adalah

dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam

bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan, yang disebut kemoterapi, diberikan

Page 17: CA Sinonasal

dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan biasanya diberikan setiap tiga

sampai empat minggu). Kemoterapi juga dapat digunakan dalam kombinasi dengan

operasi, radioterapi, atau keduanya.

Pada garis depan penelitian kanker kepala dan leher, biologi molekuler dan terapi gen

menyediakan wawasan baru ke dalam mekanisme dasar kanker usul dan

pengobatan. Deteksi berbagai onkogen (gen yang dapat menyebabkan pembentukan

tumor) di kepala dan kanker leher juga maju dengan cepat.Percobaan terapi gen, masih

dalam tahap awal pada 2001, juga memperkenalkan bahan genetik untuk membantu

sistem kekebalan tubuh mengenali sel kanker.

PROGNOSIS

Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus maksilaris sekitar

40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka kesembuhan hingga 80%. Pasien

dengan tumor dioperasi diobati dengan radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari

20%. Tingkat ketahanan hidup untuk tumor ethmoid telah sedikit meningkat karena kemajuan di

tengkorak-basis operasi.

KOMPLIKASI

Komplikasi mengobati keganasan sinus berhubungan dengan pembedahan dan

rekonstruksi. Komplikasi bedah termasuk perdarahan klinis signifikan, kebocoran LCS, infeksi,

anosmia, dysgeusia, dan kerusakan saraf kranial lainnya.

1) Perdarahan 

Perdarahan dapat terjadi jika kontrol dari kapal besar yang terlupakan. Masalah ini dapat

terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan jika tidak ada perdarahan aktif dicatat

sampai setelah operasi. Arteri ethmoid dan sphenopalatina anterior dan posterior dapat

dibakar, dipotong, atau diikat untuk mencegah atau mengendalikan perdarahan. Jika

diperlukan, radiologi intervensi dapat diminta untuk membantu dengan intra-arteri

melingkar untuk mengontrol perdarahan.

2) CSF kebocoran.

Selama operasi, kebocoran LCS dapat terjadi dekat dasar tengkorak. Manajemen yang

tepat dimulai dengan identifikasi.Gejala mungkin termasuk Rhinorrhea jelas, rasa asin di

mulut, tanda halo, atau tanda reservoir. Setelah mencatat, identifikasi kebocoran dapat

dibuat endoskopi atau dengan injeksi intratekal dari fluorecin. Tes, seperti tes untuk tau

atau beta transferin, mungkin yang paling spesifik, tapi mungkin butuh beberapa hari

Page 18: CA Sinonasal

untuk hasil untuk diproses. Manajemen konservatif dengan istirahat dan menguras

lumbal dapat digunakan untuk 5 hari pertama di samping penempatan pada

antibiotik. Jika resolusi tidak terjadi, intervensi bedah harus digunakan, termasuk

menambal dengan allograft kulit, tulang turbinate, dan mukosa hidung. Flaps mukosa

dapat dinaikkan dan digunakan untuk menutup kebocoran dengan tulang atau tulang

rawan interpositioned. Untuk kebocoran besar, menguras tulang belakang mungkin

diperlukan untuk memungkinkan cangkok dan teknik penyegelan untuk memperkuat dan

mengintegrasikan. 

3) Epiphora 

Epiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh obstruksi pada

saluran keluar lacrimalis. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan pada puncta lacrimalis,

karung, atau saluran.Perawatan harus diambil untuk marsupialize duktus lakrimal jika

terkoyak atau rusak dalam operasi untuk mencegah obstruksi.Tindak lanjut

dacryocystorhinostomy endoskopik atau terbuka mungkin diperlukan. 

4) Diplopia 

Diplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang melibatkan kerucut

orbital. Perbaikan yang tepat dari lantai orbital adalah kunci untuk mencegah komplikasi

ini, tetapi dalam beberapa kasus itu tidak dapat dihindari bahkan dengan teliti

rekonstruksi. Dalam kasus diplopia, lensa prisma biasanya metode yang paling sederhana

untuk koreksi, sebagai koreksi bedah dengan oftalmologi dapat rumit oleh jaringan parut

dari operasi sebelumnya dan pengobatan radiasi. Konsultasi Oftalmologi adalah standar

perawatan. 

5) Rekonstruksi 

Dalam kasus yang ideal, rekonstruksi mempertahankan bentuk dan fungsi. Sebuah flap

rektus bebas atau jaringan lain yang jauh mungkin diperlukan untuk melindungi struktur

vital, atau prostetik wajah dapat digunakan. Prostesis wajah dapat ditawarkan untuk

meningkatkan hasil kosmetik, tetapi pemeliharaan teliti dari prostesis oleh tim dan pasien

adalah keharusan. Pengrusakan wajah adalah salah satu keprihatinan pasien yang paling

penting dan dapat menyebabkan stres sosial dan psikologis yang cukup besar. Hasil ini

harus ditangani pada awalnya dan secara berkelanjutan.

BAB III

Page 19: CA Sinonasal

PENUTUP

RANGKUMAN

Karsinoma sinonasal adalah penyakit di mana kanker (ganas) sel ditemukan dalam

jaringan sinus paranasal dan jaringan sekitar hidung. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering

dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-

70% dari keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga

hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan

minoritas sisa neoplasma ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.

Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras,

merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Peningkatan

resiko (5-50 kali) ini terjadi pada adenokarsinoma dan tumor ganas yang berasal dari sinus. Efek

paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap

setelah penghentian paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi

faktor resiko tambahan.

Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis

menggunakan pendekatan multifaset. Setiap pasien menerima rencana pengobatan yang

disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan nya, khususnya konstitusi secara keseluruhan pasien,

kelas, dan stadium penyakit. Biasanya, bagaimanapun, tim pengobatan meliputi: 

• sebuah otorhinolaryngologist (spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan) 

• seorang ahli onkologi (spesialis kanker) 

• sebuah radiotherapist (x-ray pengobatan spesialis)

Tingkat ketahanan hidup bagi pasien dengan rata-rata kanker sinus maksilaris sekitar

40% selama 5 tahun. Tahap awal tumor memiliki angka kesembuhan hingga 80%. Pasien

dengan tumor dioperasi diobati dengan radiasi memiliki tingkat kelangsungan hidup kurang dari

20%. Tingkat ketahanan hidup untuk tumor ethmoid telah sedikit meningkat karena kemajuan di

tengkorak-basis operasi. 

DAFTAR PUSTAKA

Page 20: CA Sinonasal

1. Arsyad efiaty dkk, 2007, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Kepala & Leher: edisi 6, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

2. L . Adams, George, MD et all. BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6, Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran

3. Tumor Sinonasal , diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/847189-

overview#showall

4. Malignant Tumor of the Nasal Cavity, diunduh

http://emedicine.medscape.com/article/846995-overview#showall

5. L Smith, Stacey et all, Sinonasal Teratocarcinosarcoma of the Head and Neck arch

Otolaringol Head Neck Surg,2008 ; 134 (6):592-595, diunduh dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

6. Vivanco blanca et all, Benign Lesions in Mucosa Adjacent to Intestinal-Type Sinonasal

Adenocarcinoma, diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

7. Kazi Shameemus et all, Clinicopathological study of sinonasal malignancy, Bangladesh

J Otorhinolaryngol 2009; 15(2): 55-59. Diunduh dari :

http://www.banglajol.info/index.php/BJO/article/view/5058

8. Paranasal Sinus Cancer

Gale Encyclopedia of Cancer   | 2002 | Slomski, Genevieve | 700+ word diunduh dari :

http://www.encyclopedia.com/doc/1G2-3405200357.html