50
TINJAUAN PUSTAKA Anestesi Untuk Operasi Mata Penggunaan obat anestesi berperan dalam berhasil atau gagalnya suatu operasi mata. Analisis tuntutan terakhir oleh Gild dan rekan menemukan terdapat 30% kasus luka pada mata yang berhubungan dengan anestesi ditandai oleh pergerakan pasien sewaktu operasi mata. Kebutaan sebagai hasil akhir pada semua kasus. Walaupun sebagian besar masalah terjadi selama anestesi umum, satu dari empat terjadi di bawah pencatatan perawatan anestesi. Oleh karena itu, strategi klinik untuk memastikan pasien tidak bergerak selama operasi mata diperlukan. Seleksi pasien, evaluasi preoperasi, persiapan, monitoring, pemberian obat, dan teknik anestesi lokal merupakan hal-hal yang penting untuk keselamatan pasien rawat jalan operasi katarak yang sudah tua. Pengertian tentang anatomi mata dan efek anestesi pada tekanan intraokuler (IOP) dan fisiologi mata penting ketika membuat keputusan penggunaan obat anestesi terutama pada kondisi strabismus, luka mata terbuka, pelaksanaan teknik anestesi lokal, injeksi gas intravitreum, penelitian elektroretinografik, refleks okulokardiak (OCR), dan prematur retinopati (ROP). 1

Case Anes

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Case Anes

TINJAUAN PUSTAKA

Anestesi Untuk Operasi Mata

Penggunaan obat anestesi berperan dalam berhasil atau gagalnya suatu operasi

mata. Analisis tuntutan terakhir oleh Gild dan rekan menemukan terdapat 30% kasus luka

pada mata yang berhubungan dengan anestesi ditandai oleh pergerakan pasien sewaktu

operasi mata. Kebutaan sebagai hasil akhir pada semua kasus. Walaupun sebagian besar

masalah terjadi selama anestesi umum, satu dari empat terjadi di bawah pencatatan

perawatan anestesi. Oleh karena itu, strategi klinik untuk memastikan pasien tidak

bergerak selama operasi mata diperlukan.

Seleksi pasien, evaluasi preoperasi, persiapan, monitoring, pemberian obat, dan

teknik anestesi lokal merupakan hal-hal yang penting untuk keselamatan pasien rawat

jalan operasi katarak yang sudah tua. Pengertian tentang anatomi mata dan efek anestesi

pada tekanan intraokuler (IOP) dan fisiologi mata penting ketika membuat keputusan

penggunaan obat anestesi terutama pada kondisi strabismus, luka mata terbuka,

pelaksanaan teknik anestesi lokal, injeksi gas intravitreum, penelitian elektroretinografik,

refleks okulokardiak (OCR), dan prematur retinopati (ROP).

Anatomi Mata

Ada 6 otot ekstraokuler pada mata. Keenam otot tersebut mengontrol pergerakan

bola mata. Otot-otot tersebut adalah rektus superior dan inferior, dimana berfungsi untuk

bergerak ke atas dan ke bawah; rektus lateral dan medial, dimana untuk bergerak ke sisi

samping mata (kanan dan kiri); dan oblique superior dan oblique inferior, dimana

mengerakkan mata ke sisi luar dan dalam mata.

OTOT LOKASIMedial Rectus Permukaan dalam Lateral Rectus Permukaan luarSuperior Rectus Di atas bola mataInferior Rectus Di bawah bola mata Superior Oblique Di atas dan bergerak secara obliqueInferior Oblique Di bawah dan bergerak secara oblique

1

Page 2: Case Anes

Gambar 1. Otot-otot pada bola mata

Anestesi Regional

Banyak prosedur seperti ekstraksi katarak, transplantasi kornea, trabekulektomi,

operasi lid, dan bahkan vitrektomi atau perbaikan retina terpisah, dapat berjalan aman

pada pasien rawat jalan dengan anestesi regional dan sedasi ringan. Jumlah pasien mata

rawat jalan akan meningkat seperti peningkatan biaya pelayanan kesehatan dan populasi

yang semakin tua. Para orang tua menyumbang persentase besar dari 4 juta orang di

Amerika Serikat yang mengalami masalah penglihatan yang berhubungan dengan

katarak. Sebagai contoh, lebih dari 46% orang berusia lebih dari 75 tahun mendapat

katarak.

Pasien mata usia lanjut juga sering mendapat penyakit yang berhubungan dengan

anestesiologi. Gagal jantung kongestif, hipertensi, diabetes, angina, penyakit paru kronik,

penuaan, parkinson, dan artritis semuanya merupakan keadaan klinis yang dapat

mengganggun kelancaran prosedur.

Evaluasi preoperasi dan persiapan

Keberhasilan anestesi lokal pada operasi mata dimulai dengan skrining

preoperatif, seleksi pasien, dan persiapan untuk anestesi. Walaupun tatacara umum

2

Page 3: Case Anes

evaluasi dan medikasi preoperatif standar, perhatian yang spesifik penting dalam operasi

mata dan anestesi. Pasien dengan batuk kronik spontan, nafas pendek ketika berbaring,

tremor pada parkinson, penyakit Alzheimer, atau klaustrofobia mungkin sangat sulit

ditangani pada anestesi lokal dan sedasi ringan. Pasien tersebut sangat baik jika ditangani

dengan anestesi umum. Setiap upaya pertolongan yang dilakukan harus dimengerti

prosedurnya oleh pasien. Alat bantu dengar dan gigi palsu dibiarkan pada tempatnya.

Pasien menjadi tidak malu dan dapat bernafas lebih baik dengan gigi palsu pada

tempatnya. Dengan adanya penerjemah tentang prosedur dan pentingnya untuk kerjasama

sangat membantu dalam mengatasi masalah bahasa. Penerjemah seharusnya hadir paling

tidak pada saat blok peribulbar, prosedur yang paling menegangkan.

Jika bisa, obat-obatan yang biasa di konsumsi pasien tidak diganggu. Pengobatan

asma, hipertensi, angina, gagal jantung kongestif, atau diabetes sebaiknya dilanjutkan

seluruhnya pada hari dilakukan operasi. Pasien yang mendapat tetesan hidung seharusnya

diberikan agen pengering sebelum pembedahan, dan pasien dengan reflux gastroesofagus

sebaiknya paling tidak menerima metoclopramide (0,15 mg/kg intravena [IV]).

Suatu penjelasan teknik, pengawasan, dan tindakan pencegahan penyelamatan

pada anestesi lokal untuk pembedahan mata akan menyembuhkan kecemasan pasien dan

meningkatkan persetujuan dan kerjasama pada banyak kasus. Lalu, pembicaraan anestesi

preoperatif sangat penting dalam menjaga kerjasama dan persetujuan pasien. Premedikasi

juga dapat membantu dalam mengurangi kecemasan dan meningkatkan amnesia selama

injeksi untuk blok peribulbar. Pasien harus tenang, kooperatif, dan sadar selama operasi,

refleks-refleks sebaiknya tidak dilakukan dan aliran udara sebaiknya tidak terhalangi.

Premedikasi intrakuskular tidak diperlukan pada pasien rawat jalan, tetapi level sedasi

yang tepat dapat tercapai oleh titrasi intravena ketika pengawasan efek sedatif. Pasien

sebaiknya diawasi dan diberi tambahan oksigen selama proses blok.

Obat sedasi yang ideal sebelum blok mata dapat memastikan amnesia untuk blok,

mengurangi ketidaknyamanan proses injeksi, dan membatasi pergerakan pasien ketika

tidak menimbulkan efek samping kardiovaskuler dan pernafasan yang berarti.

Banyak obat dan kombinasinya telah digunakan untuk sedasi sewaktu pengawasan

perawatan anestesi, termasuk alfentanil, remifentanil, midazolam, dan propofol.

Benzodiazepine sinergis dengan narkotika dan meningkatkan resiko terjadinya apneu.

3

Page 4: Case Anes

Perubahan farmakonidanik karena usia memerlukan penurunan dosis narkotika pada

orang tua.

Propofol dosis rendah (20 mg) sebagai tambahan dosis intravena telah digunakan

untuk mencapai amnesia pada blok mata regional. Bagaimanapun, propofol tidak

menimbulkan analgesia pada pemasukan pemakai jarum blok, pasien setengah sadar bisa

memiliki respon yang tidak terduga pada saat pemasukan jarum.

Remifentanil (0,3 samapi 0,6 g/kg IV) memiliki onset kerja selama 30 – 60 detik

dengan durasi selama 5 – 10 menit. Pasien menjadi tenang dan kooperatif, meskipun

pasien sadar selama blok pada mata dan tidak menyebabkan perubahan atau

mengagetkan. Suplemen dalam jumlah kecil midazolam (0,5 – 1 mg IV) bisa menambah

regimen sedasi, tetapi midazolam bersinergis dengan narkotik dan meningkatkan apnea

yang sementara. Midazolam memiliki waktu onset 2 -3 menit dan 45 – 60 menit untuk

durasi aksi kerjanya.

Pemasukan propofol atau narkotik tidak diperlukan selama operasi mata. Blok

pada mata harus memberikan analgesia dan akinesia yang diperlukan. Pasien harus tetap

sadar dan terjaga, tetapi tenang dan kooperatif selama prosedur operasi.

Meskipun Gold dan kawan-kawan mencatat 13% insiden mual dan muntah

dihubungkan dengan pemasukan remifentanil yang berkelanjutan, dosis rendah (30 g

IV) pada injeksi bolus remifentanil jarang menimbulkan mual atau muntah.

Jika narkotik harus digunakan, maka obat antiemetik seperti ondansentron

(0,08mg/kg IV) atau dolasetron (0,20 mg/kg IV) bisa juga memberikan kemungkinan

menghilangkan efek narkotik yang menyebabkan mual dan muntah.

Monitoring

Monitoring standar pada regional anestesi selama operasi mata termasuk

observasi pada tekanan darah arterial, EKG, pulse oksimetri. Jika mungkin, blok

peribulbar harus dilakukan pada area spesial blok kira-kira 20 menit sebelum operasi

dimulai. Interval waktu tersebut untuk memblok sehingga blok peribulbar menjadi

efektif, sehingga digunakan Honan cuff pada IOP yang rendah, dan pada pasien yang

memulai untuk pemulihan dari sedasi. Tekanan Honan cuff atau injeksi blok bisa

menginduksi pada OCR respon vagal yang menyebabkan bradikardi dan mual. Operasi

4

Page 5: Case Anes

mata yang terbuka seharusnya tidak dilakukan jika muncul mual; dimana keluhan

tersebut harus diobati dahulu dan diikuti penurunan keluhan sebelum dikerjakan.

Monitoring pada saat ruang operasi juga harus standar tetapi pencegahan khusus

harus dilakukan karena muka pasien ditutupi dengan kain. Respirasi bisa dimonitor

dengan penglihatan langsung dan penempatan sampel karbondioksida dekat mulut.

Facemask mengirimkan campuran udara dan oksigen dengan total aliran rata-rata 10

L/menit harus digunakan untuk suplemen oksigen dan mencegah akumulasi

karbondioksida di bawah kain yang menutupi muka. Kain tersebut harus diangkat sedikit

dari muka pasien agar mencegah claustrophobia dan membiarkan aliran udara bebas.

Karena konsentrasi oksigen yang tinggi di sekitar muka akan meningkatkan resiko terjadi

kebakaran akibat cauter, dimana rasio udara dan oksigen harus dijaga sekitar 4:1.

Perawatan pasca operasi

Perawatan dan pelaksanaan pasca operasi dilakukan secara standar. Pasien

dilepaskan untuk perawatan dengan tanggung jawab orang dewasa dimana yang dapat

menyediakan pertolongan ketika pasien berjalan dan makan, sebagaimana perawatan di

rumah pada malam hari sebelum operasi. Lebih banyak, instruksi dari pembedah harus

dikejakan. Anestesi regional untuk operasi mata umumnya aman, selama pasien tua

dengan riwayat myocardial infark, namun demikian, 26% dengan resiko tinggi (diabetes,

hipertensi) pasien yang dapat tanpa dirawat pada operasi retina dikerjakan dengan

anestesi lokal dimana satu kejadian myocardial infark dalam 18 jam operasi. Kejadian ini

biasanya dihubungkan dengan peningkatan denyut jantung. Meskipun, medikasi jantung

dapat diteruskan selama periode perioperative dan digunakan pertimbangan profilaksis -

blocker.

Blok Regional Mata

Wong dan Troll membahas teknik anestesi regional untuk operasi intraokuler

secara rinci dan ditmbulkan pendeskripsian yang sangat baik penting dari anatomi orbita.

Kumar dan Fanning mendiskusikan teknik untuk peribulbar/retrobulbar blok dan Sub-

Tenon blok, termasuk pilihan campuan anestesi dan tipe jarumnya. Komplikasi

dihubungkan dengan retrobulbar dibandingkan teknik peribulbar yang juga didiskusikan

5

Page 6: Case Anes

dan dibandingkan. Anestesi peribulbar membawa resiko yang rendah pada komplikasi

yang serius dibanding pada retrobulbar. Seorang anesthesiologist dengan mudah melihat

daerah yang sama dengan ophtalmologis. Pengetahuan tentang anatomi dan fisiologis

orbita yang mendetil sangat penting dan perhatian yang lebih mendetil yang tidak bisa di

kesan kesampingkan.

Peribulbar block

Hamilton dan kawan-kawan menunjukkan bahwa aman, kenyamanan, dan

efektifitas analgesia dan akinesia dari mata bisa dihasilkan dengan peribulbar blok, atau

dengan injeksi anestesi local pada ujung otot. Hamilton dan kawan-kawan menggunakan

“customized peribulbar block” pada lebih dari 10.000 pasien tanpa timbul komplikasi

(anestesi batang otak, pendarahan retrobulbar, atrofi nervus opticus, atau penyebaran

anestesi ke mata kontralateral).

Davis dan Mendel memeriksa 16.225 peribulbar blok dan menemukan bahwa

mereka lebih efektif dengan tingkat komplikasi yang sangat rendah. Lubang kecil pada

bola mata terjadi pada pasien dengan panjang axial mata 23,5 mm ketika jarum tajam

dimasukkan terus mendekati superonasal. Akinesia tercapai pada 95% pasien, dan injeksi

ulang pada sekitar 10%. Amaurosis tidak selalu diharapkan dengan peribulbar blok.

Kerugian dari peribulbar blok dibandingkan retrobulbar blok termasuk volume

injeksi yang lebih besar (6 – 8 ml) menimbulkan kemungkinan peningkatan pada IOP,

onset lambat (5 – 10 menit), berpotensi menimbulkan lubang pada bola mata, dan

diplopia vertikal dihasilkan dari myotoksisitas pada otot rectus inferior oleh anestesi

lokal.

“Customized peribulbar block” yang dikemukakan Hamilton dan kawan-kawan

mewajibkan adanya perhatian pada detil untuk memaksimalkan kenyamanan pasien dan

analgesi yang baik dan untuk meminimalkan komplikasi. Penyerongan sedikit, ukuran

22-27, jarum 22 mm (Atkinson) selalau direkomendasikan untuk meminimalkan resiko

pendarahan dan perforasi bola mata. Penempatan jarum dengan hati-hati pada sisi lateral

dari kuadran inferotemporal dan pemeriksaan aspirasi darah dapat menurunkan resiko

perforasi pembuluh darah. Hamilton dan kawan-kawan menganjurkan aplikasi topikal

0,5% proparacaine diikuti dengan injeksi permulaan dari anestesi lokal ke forniks inferior

6

Page 7: Case Anes

dari konjungtiva daripada di transkutaneus. Jarum tidak pernah dimasukkan lebih dari 25

mm karena pembuluh darah besar dan saraf optik lebih mudah ditemukan dengan

penetrasi retrobulbar yang lebih dalam. Tidak ada usaha yang dibuat untuk menembus

ujung otot.

Latihan tradisional agar pasien melihat ke atas dan membuat ujung otot lebih

mudah dicapai juga membuat saraf optik dan struktur vaskuler lebih dekat dengan ujung

jarum, meningkatkan resiko pendarahan retrobulbar, cedera nervus opticus, atau sistem

saraf pusat (CNS) mengikuti anestesi lokal sepanjang saraf optik. Tindakan yang lebih

aman adalah dengan membuat pasien melihat lurus ke depan (posisi tatapan netral) untuk

menghindari memasuki ujung. Semua injeksi seharusnya dilakukan secara perlahan untuk

memastikan kenyamanan pasien dan meningkatkan meratanya penyebaran anestesi lokal

dalam mata.

Penggunaan balon kompresi mata memudahkan blok dengan menurunnya IOP

dan meningkatkan penyebaran anestesi lokal periorbital untuk mencapai akinesia pada

otot mata. Pada cara ini, kebutuhan untuk pemisahan dan blok nervus fasialis yang

menyakitkan dihindari. Komplikasi yang terjadi (reaksi vasovagal, pendarahan

retrobulbar, penyebaran anestesi ke sistem saraf pusat) selalu terjadi dalam 10 sampai 15

menit setelah injeksi.

Prosedur ini sebetulnya bebas rasa sakit karena penggunaan metode peribulbar,

penempatan jarum (ukuran 22-27) dengan hati-hati, injeksi perlahan pada anestesi lokal,

dan penghindaran blok nervus fasialis terpisah. Sebagai hasilnya, pada populasi pasien

rawat jalan yang sudah tua selalu memerlukan premedikasi minimal dan, akibatnya

mendapat lebih sedikit efek samping obat (contohnya, mengantuk, hipotensi, emesis).

Campuran anestesi lokal yang dianut Hamilton dan kawan-kawan terdiri dari porsi yang

sama dari 2% lidokain (onset dan penetrasi cepat) dan 0,75% bupivakain (durasi lama

dan kenyamanan setelah operasi). Penambahan hyaluronidase (3 U/ml) meningkatkan

penyebaran anestesi lokal, dan penambahan epinefrin (pada konsentrasi akhir 1:400.000)

mengurangi pendarahan, menimbulkan vasokontriksi, dan memperpanjang akinesia mata.

Teknik peribulbar memerlukan injeksi total kira-kira 6 ml. Jumlah total epinefrin

yang disuntikkan dalam jumlah kecil dan seharusnya tidak menimbulkan masalah pada

pasien dengan angina, hipertensi, atau irritable myocardium.

7

Page 8: Case Anes

Technique —Neutral Gaze Position

Masukkan jarum ukuran 25-27 gauge 2,5 cm pada kulit pada point B. Jarum dijaga secara vertical sempurna dan penetrasi mendekati sedalam 1,5 cm melalui kulit.Posisi penetrasi pada kulit di point B merupakan posisi pinggir inferior orbita.

Jarum berjalan melewati pinggir orbita.Jarum dimasukkan melewati pinggir dari jempol kiri operator.Injeksikan 1 mL anestesi lokal untuk memblok otot orbicularis oculi, tetapi selalu aspirasi sebelum menginjeksi.Selanjutnya, jarum dimajukan menuju peribulbar inferolateral space anterior ke titik tengah bola mata dan injeksi 2 mL anestesi lokal. Akhirnya, masukkan jarum sampai akhir dari titik yang sama tetapi tetap di luar dari bentuk kerucut bola mata dan injeksi 4 mL anestesi lokal.

Selanjutnya, lepas jarum dengan simultan sambil menginjeksi sejumlah kecil anestesi local pada subkutaneus.Setelh jarum dikeluarkan dan kulit yang dianestesi, tekan kulit di tulang maksila.

Jari akan melakukan tekanan pada daerah dimana injeksi yang pertama diberikan, dimana ketika injeksi peribulbar kedua diberikan.Ruang peribulbar tengah akan dimasuki mellaui caruncle pada lateral ke medial canthus.Jarum dimasukkan kembali secara vertical dan parallel ke lamina paparisa. Tetapi menyusuri tulang dan injeksi 2 mL anestesi local. Akhirnya, injeksi yang ketiga diberikan pada superior dan lateral di point C di atas bola mata. Lepas jarum dan terapkan penekanan cahaya pada orbita.

8

Page 9: Case Anes

Sub-Tenon Block

Injeksi langsung pada anestesi lokal ke dalam ruang sub-Tenon posterior dengan

menggunakan pembedahan tumpul dan pemeriksaan tumpul menghindari banyak

komplikasi dari injeksi peribulbar dan retrobulbar.

Gambar 2. Gambar skematik menunjukkan kapsul Tenon’s dengan jaringan ikat Ditandai ruang sub-Tenon’s yang melintang. (reprinted with kind permission from www.bartleby.com).

Kapsul Tenon merupakan lapisan fibrosa padat pada jaringan ikat disekeliling

bola mata dan otot ekstraokuler. Anestesi lokal pada sisi posterior dari ruang ini

menyebar di sepanjang otot ekstraokuler dan masuk ke dalam ruang retrobulbar.

Teknik ini menggunakan pemeriksaan tumpul (garis kanula lakrimalis) untuk

menanamkan anestesi lokal ke dalam ruang posterior sub-Tenon, dengan demikian

menghindari jarum tajam ditempatkan dengan membabi buta dalam bola mata atau ruang

retrobulbar. Teknik ini dilakukan tanpa rasa sakit dan meningkatkan anestesi yang dapat

dupercaya dengan resiko komplikasi serius yang minimal.

Ripart dan rekan telah menunjukkan dengan perhitungan tomografi bahwa injeksi

medial kantus sub-Tenon merupakan episcleral dan memungkinkan anestesi lokal untuk

menyebar sepanjang otot ektraokuler dan meningkantkan akinesia. Volume 4 ml cukup

untuk sekeliling bola mata dan menimbulkan analgesia.

Sensitifitas dari mata disebabkan oleh saraf siliaris, yang mana menyebrangi

ruang episcleral setelah mereka muncul dari bola mata.

9

Page 10: Case Anes

Komplikasi Blok Mata Regional

Hamilton sebelumnya telah mengungkapkan secara detil komplikasi dari anestesi

mata regional, termasuk refleks okulokardiak (OCR), pendarahan, anestesia batang otak,

perforasi bola mata, myotoksisitas, cedera saraf mata, terapi antikoagulan, dan respon

alergi.

Komplikasi berhubungan dengan teknik blok mata, meskipun jarang (kira-kira 1

dari 500 blok), umumnya terjadi dalam 15 menit setelah injeksi dan merupakan hasil dari

keprihatinan, rasa sakit, oversedasi, keracunan anestesi lokal, metode penempatan jarum,

atau injeksi anestesi lokal. Hipotensi, bradikardi, cardiac arrest, diaphoresis, dan nausea

selalu merespon terhadap rasa takut atau rasa sakit dari penyuntikkan atau manipulasi

bola mata. Pasien seharusnya mendapat jalan intravena, masker oksigen, dan pengawasan

penuh (ECG, tekanan darah, Spo2) selama prosedur blok.

OCR merupakan respon dari refleks trigeminal-vagal yang bermanifestasi sebagai

aritmia jantung dan hipotensi dan mungkin menimbulkan rasa sakit, tekanan, atau

manipulasi dari bola mata. Jalur aferen mengikuti saraf ciliaris panjang dan pendek ke

ganglion ciliaris dan kemudian ke ganglion gasserian sepanjang divisi ophthalmik dari

nervus trigeminus (n. V). Jalur aferen ini berakhir pada nukleus sensoris trigeminal utama

pada lantai dari ventrikel IV. Impuls eferen mulai dalam otot dari saraf depresor kardiak

vagal dan menyebabkan inotropik negatif dan efek konduksi.

Gambar 3. Jalan Refleks Oculocardiac.

Ket:LCN = long ciliary nerveSCN = short ciliary nerveCG = ciliary ganglionGG = geniculate ganglionV = fifth cranial nerveX = tenth cranial nerve; (1) main sensory nucleus of the trigeminal nerve; (2) short internuncial fibers in the reticular formation (3) motornucleus of the vagus nerve.

10

Page 11: Case Anes

OCR paling sering terjadi selama operasi strabismus pada anak-anak tetapi

kadang-kadang juga selama operasi retina pada waktu injeksi dari blok retrobulbar; hal

ini dapat juga terjadi selama operasi nonophthalmik jika tekanan terjadi pada bola mata.

Laporan insiden OCR sangat beragam (dari 32% hingga 90%), tergantung pada intensitas

dari observasi dan ketentuan aritmia. Cardiac arrest sementara mungkin sering terjadi 1

dari 2200 operasi strabismus.

Kekuatan dan tipe stimulus tampak mempengaruhi insiden dari OCR. Semakin

akut onset dan kuat dan tarikan yang terus-menerus, semakin sering terjadi OCR.

Walaupun m. rectus medialis paling sering dipercaya paling sensitif dalam menimbulkan

OCR, Blanc dan rekan tidak menemukan hal ini perlu benar. Salah paham ini mungkin

dikarenakan ada dua jalan pikiran. M. rectus medialis kurang dapat dijangkau dan

mungkin oleh karena itu diperlukan tarikan lebih untuk mendapatkannya. Lagi pula,

rectus medialis merupakan otot yang paling sering dimanipulasi pada operasi strabisus

dan mungkin menjadi sukar lelah.

Hipotensi dan peningkatan tekanan parsial karbondioksida arterial yang penting

meningkatkan insiden bradikardi selama operasi strabismus. Pemberian atropin

intramuskuler, manipulasi lemah pada otot ekstraokuler, dan kontrol ventilasi untuk

memelihara normokapnia seharusnya mengurangi insiden dan penderitaan dari OCR.

Pemberian atropin intramuskuler untuk mencegah atau mengobati OCR masih

kontroversi. Atropin dapat menyebabkan bigeminy dan meningkatkan denyut atopik,

terutama ketika haloten sebagai anestetik primer. Aritmia ini lebih persisten daripada

OCR. Walaupun premedikasi intramuskuler dengan atropin mengurangi insiden OCR

dari 90% ke 50%, Mirakuhr dan kawan penulis mencatat bahwa pemberian atropin atau

glikopirolat intramuskuler tetap lebih efektif untuk pencegahan OCR. Walaupun puncak

efek dari glikopirolat tidak terjadi selama 3-4 menit, glikopirolat tidak menimbulkan

takikardi sehebat yang ditimbulkan atropin.

Bradikardi merupakan manifestasi paling umum dari OCR, tetapi irama abnormal

lainnya (nodal, junctional, atrial ektopik, atau aritmia ventrikuler serius) mungkin terjadi.

Oleh karena itu, ECG semestinya selalu dimonitor terus menerus selama operasi

ophthalmik. OCR berhenti ketika stimulasi (tekanan atau tarikan) hilang, jadi ahli bedah

11

Page 12: Case Anes

dan anesthesiologist seharusnya tidak ragu-ragu untuk menyampaika selama prosedur

yang mana OCR mungkin terjadi.

Langkah pertama dalam mengobati OCR adalah dengan penghentian stimulasi

oleh ahli bedah sebelum aritmia berkembang menjadi sinus arrest. Untungnya, stimulasi

yang terus menerus dan berulang-ulang selalu menyebabkan OCR melemah. Jika aritmia

tetap ada, pengobatan dengan atropin (0,007 mg/kgIV) dan injeksi lokal lidokain dekat

otot mata mungkin diperlukan. Jika pasien masih terlihat luar biasa sensitif terhadap

manipulasi pada otot ekstraokuler, anesthesiologist seharusnya memastikan bahwa

kedalaman anestesi umum cukup, pasien dalam normokapnik, dan manipulasi operasi

lembut.

Pendarahan retrobulbar bervariasi dalam onset dan intensias tetapi telah

dilaporkan terjadi pada 1 dari 700 blok retrobulbar; selalu dicatat selama injeksi

bagaimana regangan mata dan gerakan dan proptosis terjadi. Pengobatan termasuk

pemberian tekanan lembut selama 20 sampai 30 menit dan jika diperlukan, kantotomi

lateral untuk memulihkan tekanan saraf optik. Operasi sebaiknya di jadwal ulang.

Komplikasi ini sedikit terlihat dengan blok peribulbar atau sub-Tenon. Sebagian besar

pembuluh darah mata terletak pada medial posterior dan sisi superior dari mata. Area

lateral dari kuadran inferotemporal mendapat perdarahan yang paling sedikit pada mata.

Resiko pendarahan retrobulbar mungkin dapat diminimalkan dengan menggunakan

metode inferotemporal lateral, menghindari penempatan jarum yang dalam (ukurfan 25-

30), dan pemberian tekanan pada mata selama 1 menit setelah injeksi.

Trauma langsung pada mata (cedera saraf mata, perforasi sklera) jarang terjadi

(<1 dari 1000 injeksi retrobulbar). Faktor resiko yang mungkin untuk penetrasi jarum

termasuk peningkatan panjang axial (>26 mm) sebagai hasil dari myopia tinggi atau

prosedur mengkait sklera sebelumnya dan pasien yang kurang kooperatif selama injeksi.

Pada satu penelitian, 70% dari perforasi bola mata melibatkan jarum yang tajam dan

sudut penuh. Birch dana rekan mendemonstrasikan dengan lokalisasi ultrasonik bahwa

56% dari tangkai jarum retrobulbar mesuk ke dalam bola mata. Cedera saraf mata dan

pendarahan retrobulbar mungkin diminimalkan dengan pasien melihat lurus ke depan dan

menghindari penetrasi dalam ke dalam mata. Katsev dan rekan kerja menyarankan

menggunakan jarum dengan panjang tidak lebih dari 32 mm.

12

Page 13: Case Anes

Menggigil terjadi pada kira-kira 0,64% pasien, mungkin karena absorpsi anestetik

lokal sepanjang serabut saraf mata ke dalam CNS.

Javitt dan kawan penulis melaporkan delapan hal tentang anestesi batang otak

setelah blok retrobulbar, enam diantaranya yang mana berkembang menjadi apneu

membutuhkan bantuan ventilasi. Gambaran klinik dari anestsi batang otak termasuk

amaurosis, gaze palsi (kerusakan pembuluh), disfagia, henti jantung, menggigil, apneu,

takikardi, hipertensi, kesadaran berkurang dan dilatasi pupil kontralateral. Pemulihan

penuh dari anestesi batang otak sesuai pengharapan, asal saja kondisi telah terdeteksi

sebelumnya dan diadakan pengobatan yang sesuai.

Nicoll dan asistennya menemukan bahwa penyebaran langsung anestesi local ke

SSP sekitar sarung saraf optik mata yang terjadi antara 1 samapi 750 kasus retrobulbar

blok dan menyebabkan keparahan, tidak dapat diprediksi, komplikasi yang dapat terjadi

selama hidup. Onset dari gejala dapat dihambat 2 sampai 40 menit setelah injeksi. Jika

lekas diakui dan diberikan secara cepat, pasien biasanya dapat terlindungi dalam 1

sampai 3 jam dan dapat baik.

Akses ke batang otak dapat terjadi sebagai hasil injeksi langsung dari anestesi

lokal menuju sarung saraf optik mata selama anestesi dalam retrobulbar, dengan jalur

retrograde ke midbrain dan area respirasi di medulla spinalis. Javitt dan kawan-kawan

mencatat bahwa komunikasi antara sarung saraf optik mata dan subarachnoid space dapat

didemonstrasikan dan bahwa material kontras yang dapat masuk ke dalam jalur

sepanjang saraf optic ke chiasma optic dan menuju ke subarachnoid space di sekitar pons

dan area midbrain. Seperti yang konsisten terjadi dengan gejala dan tanda yang

dimunculkan oleh banyak pasien. Javiti dan rekan kerjanya juga mencatat bahwa

pandangan mengenai penurunan dan keluarnya untuk injeksi blok retrobulbar lebih aman

daripada pandangan peningkatan dan pemasukan secara model lama. Anesthesia pada

batang otak belum pernah dilaporkan dengan metode peribulbar seperti pada mata. Javitt

dan rekannya menyimpulkan bahwa monitoring yang hati-hati dalam proses anestesi pada

mata akan diperlukan untuk mendeteksi dan mencegah komplikasi yang serius.

Mekanisme lain untuk komplikasi SSP bisa menimbulkan intra-arterial, injeksi

anestesi lokal dengan pengaliran retrograde melalui arteri opthalmicus menuju sirkulasi

13

Page 14: Case Anes

otak dan area midbrain. Onset yang terjadi biasanya sesegera dan bisa dihubungkan

dengan aktivitas serangan.

Komplikasi yang mengancam hidup dihubungkan dengan regional blok mata

yang dapat terjadi secara cepat dan namun demikian membutuhkan tim anestesi untuk

siap dan waspada. Pengobatan meliputi oksigen, dengan bantuan ventilator, cairan

intravenous dan pendukung sirkulasi farmakologi, supresi konvulsim dan jika perlu,

intubasi dan resusitasi jantung paru.

Diplopia vertikal disebabkan oleh degenerasi serat otot rektus inferior dilaporkan

sering terjadi dengan angka insiden 1,4% setelah injeksi lokal anestesi regional untuk

operasi katarak. Diplopia bisa sementara atau menetap. Kemungkinan etiologi termasuk

trauma injeksi, myotoxicity cairan lokal anestesi, jahitan yang terlalu menekan, trauma

operasi, kompresi bola mata, dan tekanan dari volume yang diinjeksikan. Carlson dan

Raimin mencatat degenerasi otot setelah penyuntikan bupivacaine, mepivacaine, atau

lidokain yang dekat dengan otot. Kerusakan direfleksi secara difusi anestesi menuju otot.

Rekomendasi umum untuk mencegah diplopia setelah penyuntikan terdapat di bawah ini:

pembatasann volume injeksi sampai 6 mL, menginjeksi secara pelan, injeksi menghindari

ke badan otot, injeksi ke arah lateral ke otot rektus inferior, dan menambahkan

hyaluronidase (2 sampai 8 U/mL) pada cairan injeksi.

Ptosis post operasi setelah operasi katarak dilaporkan mempunyai insiden yang

tinggi sebesar 13%. Kejadian ini biasanya dihubungkan dengan otot levator palpebra.

Feibel dan rekannya menemukan perbedaan yang tidak signifikan pada kejadian ptosis

setelah sama seperti peribulbar atau retrobulbar blok. Injeksi lokal anestesi dalam volume

besar menuju alis mata atas bisa dihindari dari hal yang mungkin terjadi.

Anestesi Topikal Mata

Teknik operasi katarak yang modern megikuti penggunaan insisi yang kecil tanpa

perlu terjadi akinesia total. Hal ini dimungkinkan dipakai pada ekstraksi katarak pada

pasien pilihan dengan teknik anestesi lokal tetes mata.

Fanning dan Fichman membahas teknik ini secara rinci, termasuk

anatomi, farmakologi, keuntungan, sedasi, dan pemilihan pasien. Kornea yang menerima

inervasi syaraf sensorik melalui saraf siliar yang panjang, dimana dibentuk pada pleksus

14

Page 15: Case Anes

intraepitel, jadi secara topikal dapat diaplikasikan lokal anestesi yang mudah diserap

melalui membran konjungtiva dan secara efektif memblok inervasi saraf sensoris pada

kornea.

Keuntungan anestesi lokal topikal untuk operasi mata akan secara nyata tidak

beresiko perdarahan, anestesi ke batang otak, kerusakan saraf optik, dan perforasi dari

bola mata.

Pembatasan metode termasuk kurang terjadi akinesia pada mata, pengobatan

tersebut hanya untuk katarak yang tidak berkomplikasi, dan membutuhkan operasi,

pasien menjadi mudah diajak komunikasi yang mana tidak cemas, klaustrophobia, atau

menjadi gila.

Anestesi lokal tetes mata digunakan untuk anestesi topikal mata termasuk

bupivacaine, lidokain, proparacaine, dan tetracaine. Proparacaine dapat menyebabkan

iritasi pada pemakaiannya. Biasanya, sedikit atau tidak sedasi diperlukan, terutama ketika

pasien yang membutuhkan kenyamanan tetapi tetap sadar dan kooperatif. Jika perlu,

dosis kecil midazolam (0,01 mg/kg IV) sudah cukup. Kelebihan sedasi, terutama pada

pasien tua dapat menyebabkan untuk hipoventilasi, hipoksia, dan disorientasi.

Tekanan Intraocular (IOP)

Manajemen anestesi pada operasi mata membutuhkan kontrol IOP sebelum,

selama dan setelah prosedur operasi. Karena pengontrolanm IOP sering penting untuk

kesuksesan prosedur tersebut, maka seorang anesthesiologist harus mengerti efek

fisiologis IOP dan implikasi obat anestesi dan perjalanan dalam IOP. Cunningham dan

Barry, Murphy, dan Patil dan Dowd memiliki tinjauan tentang determinasi fisiologis pada

IOP dan hubungan dengan manajemen anestesi.

Faktor Fisiologis IOP

Normal IOP mendekati 12 sampai 20 mmHg, dengan variasi diurnal IOP antara 2

sampai 3 mmHg dan perubahan posisi IOP antara 1 sampai 6 mmHg. Pengaruh yang

sangat penting pada IOP terdapat pada dinamik aqueous humour, perubahan di dalam

Choroidal Blood Volume (CBV), tekanan venous sentral, dan tonus otot ekstraokular.

15

Page 16: Case Anes

Peristiwa seperti batuk, ketegangan, mauver valsava, atau muntah dapat menimbulkan

perubahan sementara tetapi peningkatan yang signifikan IOP.

Dinamik aqueous humour, faktor fisiologis utama pada IOP, yaitu keseimbangan

produksi aqueous humour dan pengeluaran melalui Fontana’s spaces dan Sechlemm’s

canal pada sudut iridocorneal menuju system venous episcleral. Volume aqueous humour

adalah 250 μL. Volume tersebut diperoleh dari plasma dalam jaringan capillary di cilliary

yang diproses dengan cara difusi, filtrasi, dan sekresi aktif pada rata-rata 2,5 μL/menit.

Aqueous humour mengalir melalui posterior chamber dan di sirkulasi secara bebas di

sekitar iris menuju anterior chamber. Mendekati 90% aqueous humour keluar mata

melalui trabekular meshwork di dalam anterior chamber dan Fontana’s spaces mnuju

system venous episcleral. Tekanan normal venous episcleral antara 8 sampai 11 mmHg.

Berbagai peningkatan tekanan venous (contoh batuk, ketegangan, posisi Trendelenburg,

mauver valsava) atau penurunan tekanan venous di dalam area cross-sectional pada

Fontana’s spaces akan menyebabkan peningkatan resistensi dari pengeluaran aqueous

dan demikian peningkatan IOP.

Perubahan CBV juga berakibat pada IOP secara signifikan. Coroid merupakan

vascular meshwork pada arterial yang berlokasi pada anastomosis di posterior chamber.

Aliran darah coroid biasanya di autoregulasi di atas tekanan perfusi untuk menjaga IOP

yang stabil. Peningkatan mendadak tekanan darah sistolik menyebabkan pembengkakan

sementara pada CBV; pengeluaran yang meningkat sementara berikutnya mengatur IOP

menjadi normal. Hipotensi (tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg) bias mengurangi

IOP seperti penurunan CBV. Peningkatan mendadak CBV dapat menyerang gel vitreous

menuju ke anterior chamber selama operasi mata berlangsung atau dapat meningkatkan

IOP di dalam mata yang utuh. Batuk, melawan, muntah, dan manuver valsava akan

meningkatkan tekanan venous sentral, dengan cara meningkatkan antara CBV dan IOP.

IOP juga akan tetap meningkat sebagai respon pada asidosis respiratory dan hipercapnia.

Sirkulasi coroidal bisa dilebarkan sebagai respon pada kondisi hipoksia dan

menyebabkan peningkatan yang sedang pada IOP.

Ketika mata di buka selama operasi, IOP mungkin turun tanpa diketahui oleh

karena apa. Tekanan transluminal pada pembuluh choroidal lebih besar, dan peningkatan

sementara pada tekanan choroidal disebabkan oleh hipertensi, peningkatan tekanan

16

Page 17: Case Anes

venous, atau hiperkapnia seperti hasilnya pada perdarahan spontan di pembuluh

choroidal.

Sistem Saraf Pusat menggunakan beberapa sudut pengontrolan terhadap

peningkatan IOP. Percobaan pada encephalon kucing mempunyai indikasi area yang

memiliki efek pada IOP. Beberapa respon terlihat ketika di mediasi oleh neurovascular,

dimana dihubungkan dengan peningkatan tonus otot ekstraokuler. Pusat saraf tersebut

akan terdepresi oleh sedatif, barbiturat, dan anestesi inhalasi volatile.

Murphy dan Macri membahas faktor-faktor yang berakibat pada volume darah

intraokuler dan disimpulkan bahwa karena autoregulasi, tekanan darah arterial mendesak

hanya dengan efek minimal pada IOP dalam fisiolgis normal tekanan darah. Banyak

bukti nyata, dihubungkan langsung dengan adanya antara tekanan venous sentral dan

IOP. Kepala yang sedikit terangkat dan miring selama operasi intraokuler akan

membantu menetralkan efek terhadap tekanan venous sentral

Vaskular intraokulaer merupakan secara predominan dipengaruhi oleh

kabondioksida dan kontrol terhadap area di encephalon. Hubungan segaris yang ada

antara IOP dan peningkatan tekanan parsial karbondioksida. Hipokapnia menurunkan

IOP melalui vasokonstriksi pada pembuluh darah choroidal dan menurunkan bentuk dari

aqueous humour melalui pengurangan akitivitas karbonik anhidrase. Peningkatan IOP

diasosiasikan dengan hipoventilasi dan hiperkapnia yang terjadi akibat hasil vasodilatasi

CBV dan peningkatan tekanan venous sentral.

Tekanan eksternal yang mendadak pada bola mata akan mengindikasikan

peningkatan IOP dan bisa merangsang refleks vagal oculocardiac. Peningkatan IOP akan

menaikkan pengeluaran aqueous humour, demikian pembalikan IOP menjadi normal.

Efek secara langsung adalah kompresi eksternal bola mata pada gel vitreous dan CBV

tidak didokumentasikan.

Injeksi cairan dalam jumlah besar (8 sampai 10 mL) ke dalam orbit (contoh

peribulbar block) bisa secara signifikan meningkatkan IOP. Jika IOP mencapai level pada

tekanan arterial retina, akan menghasilkan iskemia retinal.

17

Page 18: Case Anes

Anestesi dan IOP

Secara umum, narkotika, tranquilizers, dan obat-obat anestesi akan menurunkan

IOP. Obat-obatan tersebut mengrelaksasi tonus otot ekstraokuler, mendepresi SSP

(diencephalon), membuktikan peningkatan pengeluaran aqueous humour, pengurangan

produksi aqueous, dan penurunan tekanan darah vena dan arterial. Hanya suksinilcholine

dan ketamin bisa meningkatkan IOP. IOP akan juga meningkat sebagai respon terhadap

stimulasi laryngoscopy dan endotracheal intubasi. Pemakaian laryngeal mask udara

setelah induksi dengan propofol akan menunjukkan efek minimal pada IOP.

Antisialagogues seperti atropine, scopolamin, dan glycopyrrolate, diberikan

secara intramuskular untuk premedikasi, memiliki efek yang tidak signifikan pada IOP.

Namun demikian, obat antikolinergik diterapkan secara topikal pada mata bisa

menyebabkan midriasis dan meningktkan IOP. Penggunaan neostigmin dan atropin

sebagai kombinasi untuk membalikkan efek nondepolarisasi relaksasi otot yang tidak

terlihat pada peningkatan IOP. Transquilizers mayor, termasuk dosis midazolam secara

intravenous (0,03 mg/kg) menurunkan IOP. Selama ini pasien dengan glaukoma,

premedikasi dengan narkotik menyebabkan tidak ada perubahan atau hanya sedikit

menurunkan IOP.

Depresi SSP secara umum menurunkan IOP. Dosis tidur barbiturat seperti

tiopental secara signifikan menurunkan IOP dengan mendepresi sentral pada

diencephalon mengkontrol IOP dan memperbaiki pengeluaran aqueous humour. Dua obat

anestesi induksi lainnya, (kombinasi alfadolone dan alfaxalone) dan etomidate, juga

menurunkan IOP. Efek propofol pada IOP, selama induksi anestesi umum mendekati

sama dengan efek tiopental. Selama dikontrol dengan ventilasi dan normokapnia, anestesi

inhalasi volatile mengurangi IOP dalam bagian anestesi yang dalam. Reduksi atau

pengurangan yang terjadi yang tercatat antara 14% sampai 50%. Neuroleptanalgesia

diproduksi oleh campuran fentanyl dan droperidol dapat menurunkan IOP sampai 12%

dalam pasien yang normokapnia.

Efek ketamin bervariasi pada IOP. Penelitian lebih dini dilaporkan terjadi

peningkatan IOP setelah pemberian intramuskular atau intravenous untuk pemberian

ketamin. Ketamin yang diberikan setelah premedikasi dengan diazepam dan meperidine

18

Page 19: Case Anes

tidak memberikan efek pada IOP, dan pemberian ketamin secara intramuskular bisa

menurunkan IOP pada anak-anak.

Pelumpuh otot nondepolarisasi dapat menurunkan IOP. Dengan kontras,

succinylcholine menyebabkan perubahan (4-6 menit) tetapi peningkatan signifikan pada

IOP antara 10-20 mmHg. Meskipun mekanismenya tidak jelas, peningkatan ini tidak

berperan secara sederhana untuk induksi lembaran otot. Penelitian tentang efek

succinylcholine pada IOP dibahas secara ringkas dan diteruskan oleh Cunningham dan

Barry.

Peningkatan IO setelah pemasukan succinylcholine bisa bergantung pada

ketepatan dan dosis, pada respon tonus khusus pada otot ekstraokuler disebabkan oleh

struktur morfologinya yang unik (Felderstruktur), atau karena efek langsung dari

suksinilkolin pada CBV atau formasi aqueous humor. Pemotongan pada otot rectus mata

tidak dapat mencegah peningkatan IOP setelah pemberian suksinilkolin.

Dari banyak usaha dalam mencegah untuk meningkatkan IOP setelah pemberian

suksinilkolin, tidak satupun yang dilaporkan berhasil. Di sisi lain, tidak ada laporan kasus

klinis mengenai kerusakan mata lebih lanjut, kurangnya vitreous, atau komplikasi lain

pada operasi mata terbuka dengan pemberian suksinilkolin dengan metode ini.

Efektivitas dari pemberian dosis kecil d-tubocurarine, benzodiazepine, obat

penghambat reseptor β-adrenergic, asetazolamid, atau bahkan suksinilkolin untuk

mengurangi peningkatan IOP setelah pemberian suksinilkolin masih kontradiktif.

Penelitian ini menggunakan jadwal, dosis, anestesi, dan teknik pengukuran yang berbeda.

Pencegahan fasikulasi dengan pra-pengobatan d-tubocurarine (0,05 mg.kg IV) tidak

dapat mencegah peningkatan IOP setelah pemberian suksinilkolin.

Laryngoscopi dan intubasi endotrakeal adalah praktek yang berhubungan dengan

anestesi yang dapat meningkatkan IOP secara signifikan (i.e. setidaknya 10 sampai 20

mmHg). Mekanismenya masih tidak jelas tapi kemungkinan berkaitan dengan respon

kardiovaskular terhadap intubasi endotrakeal.

Ada beberapa regimen pra-pengobatan yang dianjurkan untuk mengontrol respon

simpatetik terhadap intubasi endotrakeal; sebagian cukup berhasil dalam mengurangi

respon IOP terhadap intubasi endotrakeal. Beberapa pra-pengobatan termasuk pemberian

lidokain intravena (1,5mg/kg), sufentanil (0,05 sampai 0,15 μg/kg), atau remifentanil (0,5

19

Page 20: Case Anes

sampai 1,0 μg/kg) 3 sampai 5 menit sebelum induksi. Pemberian secara oral obat

antihipertensi yang bekerja secara sentral yaitu klonidin (5 μg/kg) 2 jam sebelum intubasi

akan menumpulkan respon IOP terhadap intubasi. Pemberian nitrogliserin atau

penghambat reseptor β-adrenergic intranasal juga dianjurkan.

Jika kondisi klinis mengizinkan, kontrol terhadap IOP selama induksi anestesi

umum paling baik dikerjakan setelah pemberian narkotik (e.g. remifentanil), dan

penggantian laryngeal mask airway. Jika diperlukan, nondepolarizing muscle relaxant

yang bekerja cepat dapat diberikan.

Keadaan klinis khusus dan komplikasi

Injeksi Gas Intravitreal

Dokter mata terkadang memberikan gelembung kecil gas ke dalam kavitas

intravitreal selama operasi pemasangan kembali retina. Tujuannya adalah untuk memiliki

gelembung penyokong dengan ukuran yang stabil untuk menahan retina di tempatnya.

Gas tersebut biasanya digunakan, sulfur hexafluoride (SF6) dan carbon octofluorine

(C3F8) bersifat inert, dan sangat tidak larut dalam air, dan tidak dapat terdifusi. Nitrogen

dioksida (N2O) 117 kali lebih dapat terdisfusi daripada SF6 dan dengan cepat masuk ke

gelembung gas. Jika pemberian N2O dilanjutkan setelah injeksi gas ke cavitas intravitreal,

maka ukuran gelembung gas yang diinjeksikan akan meningkat 3 kali dari ukuran

sebelumnya, yang akan menyebabkan peningkatan IOP dari 14 ke 30 mmHg. Bila

pemberian N2O dihentikan, maka dalam 18 menit ukuran gelembung akan mengecil dan

IOP akan menurun (dari 29 menjadi 12 mmHg). Variasi ukuran gelembung berubah

secara cepat selama anestesi umum dapat memberi pengaruh pada operasi.

Pembersihan paru dari N2O akan komplet 90% dalam 10 menit, maka pemberian

N2O harus dihentikan paling 20 menit sebelum injeksi gas intravitreal. Sehingga ukuran

gelembung dan IOP akan tetap stabil. Beberapa ahli anestesi menghindari pemberian N2O

bila mereka merencenakan untuk menginjeksikan gas. Wolf dkk menjelaskan bahwa

gelembung gas SF6 akan tetap bertahan selama 10 hari. Gas intravitreal lainnya dapat

bertahan selama 21 sampai 28 hari. Pemberian N2O harus dihindari pada pasien yang

akan kembali menjalani anestesi umum selama 3-4 minggu pemberian gas intravitreal.

20

Page 21: Case Anes

Paparan kedua terhadap N2O dapat menyebabkan pembesaran ukuran gelembung dan

penigkatan IOP dengan oklusi resultan pada arteri retina dan berkurangnya penglihatan.

Hal ini mirip dengan terjadinya hipotensi selama anestesi umum. Ketika gas ini diujikan

pada kera dengan gelembung udara awal 0,25 cc terjadi peningkatan IOP 42 mmHg; IOP

menjadi di bawah normal setelah tekanan dikembalikan seperti awal. Sebagai tambahan,

arteri retina untuk sementara menjadi oklusi. Oleh karena itu, pasien dengan gelembung

gas intravitreal dapat beresiko mengalami kerusakan selama perjalanan udara.

Luka yang Menembus Mata

Penanganan terhadap anestesi emergensi pada pasien dengan perut yang penuh

dan pada operasi mata membutuhkan keseimbangan untuk mencegah aspirasi dari isi

lambung yang berlawanan dengan pencegahan terhadap peningkatan IOP yang dapat

menyebabkan kerusakan mata lebih lanjut dan berkurangnya penglihatan. Jika

memungkinkan, pemberian awal antagonis reseptor H2 seperti metoklopramid

(0,15mg/kg IV) akan menurunkan volume lambung dan memberikan perlindungan

terhadap lambung.

Sebelum induksi anestesi yang cepat, beberapa tindakan pencegahan dapat

dilakukan untuk menguranggi respon IOP dan kardiovaskular terhadap laryngoscopy dan

intubasi endotrakeal. Pemberian lidokain intravena (1,5 mg/kg) dan remifentanil (0,7

µg/kg) 2 sampai 5 menit sebelum induksi dapat membantu mengurangi peningkatan IOP

setelah intubasi endotrakeal. Obat penghalang reseptor β–adrenergic seperti labetalol

(0,05 sampai 0,10 mg/kg IV) dapat juga berguna dalam menghambat respon

kardiovaskular terhadap intubasi endotrakeal, khususnya pada pasien dengan angina atau

hipertensi.

Pemberian thiopental (6mg/kg IV) atau propofol (3,0 mg/kg IV) akan memastikan

kedalaman suatu anestesi selama intubasi trakeal. Efektivitas penggunaan suksinilkolin

pada kasus ini masih kontroversial. Walaupun IOP dapat meningkat dengan metode ini,

namun tidak ditemukan laporan mengenai kerusakan mata lebih lanjut setelah induksi

anestesia yang cepat dengan d-tubocurarine, thiopental, dan suksinilkolin. Libonati dan

co-worker nya tidak pernah mengalami aspirasi isi lambung atau ekstrusi dari isi mata.

21

Page 22: Case Anes

Karena non depolarizing muscle relaxant mengurangi IOP, maka teknik

pemberian sekuen cepat yang dimodifikasi yang terdiri atas pre-oksigenisasi, induksi

thiopental atau propofol, non depolarizing muscle relaxant dosis tinggi, dan aplikasi

tekanan krikois selama 2 menit turut dianjurkan untuk operasi terbuka pada mata. Teknik

ini masih membutuhkan tindakan pencegahan terhadap peningkatan IOP setelah

laryngoscopy dan intubasi endotrakeal. Muscle relaxant yang intermediate atau

nondepolarize kerja pendek seperti vecuronium, mivacurium, atau rocuronium dapat

diberikan dalam dosis yang cukup agar terjadinya onset cepat yang dapat diterima

(selama 90 sampai 120 detik) tanpa perpanjangan durasi dari paralisis atau efek

kardiovaskular. Dengan pemberian vecuronium (0,2 mg/kg IV) pada teknik induksi

sekuen cepat, Abbott dapat menciptakan kondisi intubasi endotrakeal yang adekuat dalam

60 detik tanpa menyebabkan batuk. Jika intubasi dimulai terlalu dini, relaxasi yang tidak

sempurna akan menyulitkan laryngoscopy. Bahkan, penggantian endotracheal tube pada

saat itu dapat menyebabkan batuk dan menyebabkan peningkatan IOP yang signifikan

secara tiba-tiba.

Selama anestesi umum pada operasi terbuka mata. Kedalam anestesi haruslah

cukup untuk memastikan sedikitnya gerakan atau batuk. Dianjurkan untuk menggunakan

penghambat neuromuskular nondepolarize untuk mencegah batuk yang disebabkan

rangsangan carina.

Jika memungkinkan dilakukan pada perut yang penuh, maka endotracheal tube

paling baik dilepaskan ketika pasien sadar, bernafas dengan spontan, dan menerima

oksigen dan kepala mengarah ke samping. Kegawatdaruratan anestesi yang tidak terlalu

besar dapat diperbaiki dengan pemberian lidokain (1,5 mg/kg IV) atau remifentanil (0,5

µg/kg IV) kira-kira 5 menit sebelum pasien sadar.

Luka Mata Pada Anak

Penatalaksanaan anestesi mata pada anak-anak memerlukan perhatian khusus. Anak-anak

yang mengalami trauma mata akan mengalami luka kranial. Jika pemberian narkotik

diperlukan untuk mengontrol rasa sakit, obat antiemetik harus diberikan juga. Anestesi

regional pada mata tidak cocok untuk pasien dengan trauma mata, usia muda, dan pasien

yang kurang kooperatif. Intubasi endotrakeal yang dilakukan pada pasien yang sadar

22

Page 23: Case Anes

dapat meningkatkan IOP, hal ini sulit dilakukan pada kelompok usia anak-anak, dan oleh

karena itu harus dihindari pada luka terbuka mata anak.

Biasanya, dengan pemberian krim anestesi topikal, akan memungkinkan dibuat

jalur intravena. Induksi anestesi dapat dilakukan seperti halnya pada orang dewasa. Jika

jalur intravena tidak dapat dibuat, maka anestesi dengan sungkup (dengan 7% sampai 8%

sevoflurane) dapat dilakukan meskipun pada keadaan perut yang penuh.

Jika pasien baru saja makan, resiko aspirasi isi lambung dapat diminimalisir

dengan menunda anestesi beberapa jam. Bagaimanapun, menunggu masih tidak dapat

menjamin bahwa perut pasien akan menjadi kosong. Tindakan pencegahan selanjutnya

meliputi pemberian metoclopramide dan antagonis reseptor H2 seperti halnya pada orang

dewasa.

Perut pasien harus dikurangi tekanannya selama operasi dan pasien akan ekstubasi

saat bangun, dengan refleks protektif jalan nafas intak. Untuk memfasilitasi toleransi dari

endotracheal tube dan meminimalisasi perlawanan dari pasien yang baru sadar, maka

perlu diberikan narkotik 10 sampai 20 menit sebelum berakhirnya operasi dan lidokain

(1,5 mg/kg) diberikan intravena 5 menit sebelum ekstubasi trakea.

Retinophaty Pada Prematuritas

ROP adalah suatu proliferasi abnormal dari sel mesenkim primitif mata yang tidak

berdiferensiasi. Sel-sel ini membentuk pintasan arteriovaskular, dan proliferasi dapat

memacu traksi atau pelepasan retina dengan kebutaan.

Sebagai hasil dari peningkatan neonatal care, lebih dari 65% bayi prematur (750

sampai 1000 g) kini dapat bertahan selama masa neonatal. ROP muncul pada lebih dari

50% bayi yang bertahan tersebut; oleh karena itu, insidens kondisi ini meningkat.

Walaupun, biasanya ROP berhubungan hiperoksida selama neonatal care, penyebab

ROP sangatlah kompleks dan tidak pasti. Bayi cukup bulan non-hiperoksida dapat juga

mengalami ROP ini, sama seperti bayi prematur yang tidak pernah mendapatkan terapi

oksigen. ROP juga mungkin berhubungan dengan faktor-faktor seperti hipoksia,

hiperkapnia, hipokapnia, sepsis, dan apnea. ROP dapat terjadi karena usaha untuk

mengontrol dan momonitor oksigen saat persalinan. Retina tidak mendapatkan darah

secara sempurna saat bayi lahir. Bahkan pada usia 8 bulan, retina temporal dapat tetap

23

Page 24: Case Anes

avaskular. Hipoksia menyebabkan pembuluh darah imatur menjadi konstriksi dan

konstriksi seperti itu menyebabkan hipoksia retina periferal. Kondisi ini merangsang

pembentukan pintasan aliran darah, faktor vasoproliferatif, dan proliferasi pembuluh

darah. Kebocoran cairan menyebabkan perdarahan, fibrosis dan bekas luka. Ketika bekas

luka tersebut mengerut maka retina akan terlepas. Tindakan operasi yang terlalu dini (i.e.

pada usia 1 sampai 4 minggu) dengan cryotherapy dianjurkan untuk mengangkat retina

avaskuler dan mengeliminasi pelepasan faktor vasoproliferatif.

Bayi dengan ROP juga sering memiliki riwayat imatur umum, apnea, bradikardi,

badan kuning, patent ductus arteriosus, intraventricular dysplasia, hipoksia dan

pertumbuhan terhambat.

Penatalaksanaan anestesi pada “ex-premies” membutuhkan perhatian dalam

mempertahankan normothermia dengan menggunakan sistem forced warm air, overhead

warming lamps, suhu kamar operasi yang meningkat, dan monitoring suhu. Pengaturan

cairan intravena yang tepat meliputi monitoring level serum glukosa, adalah hal yang

penting. Fasilitas rumah sakit harus mampu menyediakan ventilasi pre dan post operasi,

monitoring, dan penatalaksanaan apnea-bradikardi yang dibutuhkan oleh ex-premiere.

Rawat jalan bagi pasien ex-premiere dengan riwayat apnea-bradikardi tidak

direkomendasikan sampai usia poskonsepsi setidaknya 48 minggu. Idealnya, setelah

anestesi umum, pasien-pasien tersebut harus diawasi periode apnea-bradikardinya

setidaknya sepanjang malam sebelum keluar.

Tekanan oksigen kapiler harus dijaga pada 35 sampai 40 mmHg dan tekanan

oksigen arterial dipertahankan pada sekitar 70 mmHg pada bayi prematur. Satu masalah

bagi ahli anestesi dalam melakukan anestesi pada bayi prematur adalah bagaimana

menyeimbangkan resiko hipoksia dengan masalah pernafasan yang sering dialami pada

kasus bayi kurang bulan yang lemah.

Meskipun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ROP hanya disebabkan oleh

pemberian oksigen selama anestesi, namun dalam melakukan anestesi umum, dan

tindakan pencegahan pada usia muda, pasien imatur, paparan dalam waktu lama terhadap

oksigen dengan konsentrasi tinggi intraoperatif sebaiknya dihindari selama periode

imaturitas retina (i.e. usia 8 bulan). Tekanan oksigen arterial 60 sampai 80 mmHg dapat

dicapai dengan memberikan campuran dari udara dan oksigen atau N2O dan oksigen dan

24

Page 25: Case Anes

mempertahankan saturasi oksigen arterial pada 90% sampai 95% dengan finger-pulse

oximetry.

Elektroretinografi

Halothane, isoflurane, dan enflurane dapat mempengaruhi visual evoked potential

(VEPs). Halothane dan isoflurane menurunkan amplitudo dan meningkatkan fase laten

dari VEP. 0,9% atau lebih Isoflurane dapat memperpanjang fase laten dari VEP.

Walupun beberapa studi menunjukkan bahwa hubungan ini bergantung pada dosis,

setidaknya dua studi telah gagal menunjukkan perbedaan signifikan dengan anestesi

dalam konsentrasi yang berbeda. Neuroleptanalgesia tampaknya meningkatkan fase laten

P2 dengan cepat tanpa mengubah amplitudo evoked potential. Efek dari isoflurane paa

VEP dapat diminimalisir dengan menggunakan muscle relaxant konsentrasi rendah, dan

opioid suplemental bila perlu.

Ketamine, suatu derivat phencyclidine, merupakan anestesi yang unik sebab dapat

meningkatkan aktivitas elektrikal otak. Aktivitas yang meningkat ini dapat amplitudo

VEP dan mengganggu hasil dari uji coba yang dilakukan. Ketmaine digunakan sebagai

anestesi pada kelinci tanpa mempengaruhi respon elektroretinografi.

Berbeda dengan VEP yang merupakan respon kortikal kompleks, respon

elektroretinografi adalah reflek sederhana yang terjadi dalam mata. Oleh karena itu, tidak

mungkin respon tersebut akan terpengaruh oleh anestesi umum.

Strabismus

Pengobatan terhadap batas yange jelek pada axis visual dengan amblyopia (strabismus)

pada anak usia 1 sampai 6 tahun biasanya terdiri atas operasi otot ekstraokuler. Tindakan

operasi harus dilakukan sejak usia 4 bulan jika ingin perkembangan visual stereoskopik

berjalan dengan baik. Strabismus yang diobati pada usia yang lebih tua, dilakukan hanya

untuk tujuan kosmetik..

Tiga masalah yang berhubungan dengan strabismus hal yang menarik bagi para

ahli anestesi; resiko hipertermi malignant yang meningkat, insiden mual muntah setelah

operasi yang tinggi, dan kemungkinan besar terjadinya OCR.

25

Page 26: Case Anes

Strabismus bagi sebagian orang, dianggap berhubungan dengan myopathy

bawaan, dan beberapa pasien diduga memiliki resiko tinggi untuk mengalami hipertemia

malignant. Insiden terjadinya kejang otot masseter setelah pemberian halothane dan

suksinilkolin lebih tinggi pada anak dengan strabismus (2,8% vs 0,72%) dibandingkan

dengan anak tanpa strabismus. Pada pasien dengan strabismus yang diintubasi setelah

pemberian pancuronium, tidak akan mengalami kejang oto Masseter. Dan lagi, pada salah

satu penelitian, kira-kira 50% pasien yang mengalami hipertermi malignant juga

mengalami kejang otot masseter setelah induksi anestesi.

Resiko terjadinya hipertermi malignant dapat diminimalisir dengan menghindari

halothane dan suksinilkolin. Lebih lagi, karena suksinilkolin meningkatkan tonus otot

ekstraokuler, maka suksinilkolin dapat mengganggu forced duction test (yang

mengevaluasi tonus otot) sekitar 15 menit. Dengan cara berbeda-beda, vecuronium,

rocuronium, cisatracurium, dan mivacurium berperan dalam terjadinya flaksid otot

ekstraokuler, sehingga dapat meminimalisasi rangsang afferent terhadap mual, muntah,

atau OCR. Untuk memastikan bahwa suatu episode hipertermi malignant dideteksi sejak

awal, maka suhu tubuh, EKG, dan khususnya konsentrasi end-tidal dari karbon dioksisa

harus dimonitor secara ketat selama anestesi umum pada pasien dengan strabismus.

Insiden dari mual, muntah pad anak setelah operasi strabismus bervariasi mulai

dari 48% sampai 85%. Van den Berg melaporkan bahwa setelah operasi strabismus, 10%

pasien mengalami PONV dan sebanyak 57% mengalami PONV tertunda yang

disebabkan oleh refleks okuler-emetik. Banyak obat yang telah dicoba untuk

mengendalikan mual muntah tanpa memperpanjang waktu pulih. Droperidol (7,5 µg/kg

IV) berhasil mengurangi insiden mual muntah sampai 16%-20% tanpa memperpanjang

waktu sadar pasien (4,6 jam) droperidol, bagaimanapun juga dapat menyebabkan efek

samping post-operasi yang tidak diinginkan seperti letih, diskinesia, dan reaksi disforia.

Dosis yang lebih rendah dari droperidol biasanya efektif sebagai antiemetik pada orang

dewasa, tapi tidak efektif pada anak-anak strabismus. pemberian lidokain intravena (1,5

mg/kg) sebelum intubasi endotrakeal juga mengurangi insiden PONV sampai 16%-20%.

Weir dkk telah menunjukkan penurunan signifikan dari insiden dan frekuensi

(41%) muntah-muntah pada 24 jam pertama setelah operasi strabismus dengan

menggunakan infus propofol dan N2O. Insiden ini lebih menurun lagi (24%) ketika opiod

26

Page 27: Case Anes

dihindari. Waktu sadar sekitar 2 jam, namun rasa letih setelah operasi lebih sering

ditemukan pada pasien dengan anestesi inhalasi.

Splinter dan Rhine mengurangi insiden muntah-muntah setelah operasi strabismus

pada anak sampai 9% dengan menggunakan ondansetron (50 µg/kg) dan dexamethasone

(150 µg/kg).

Gejala emetik yang berkaitan dengan operasi strabismus dapat disebabkan

manipulasi mata atau sakit yang memacu respon vagal OCR. Pengobatan profilaksis

dengan atrophine atau glycopyrrolate, bagaimanapun tidak dapat menurunkan insiden

mual dan muntah. OCR yang biasanya timbul atas respon akan traksi otot ekstraokuler,

berhubungan dengan operasi strabismus. penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

peningkatan insiden OCR selama operasi strabismus terjadi ketika anestesi yang

dilakukan adalah infusi propofol.

Di samping penatalaksanaan sesuai bagian anak, penggunaan dari pengukuran

berikut ini dapat dipertimbangkan untuk mengurangi insiden mual muntah setelah operasi

strabismus:

1. minimalisir penggunaan opioid sebagai pereda nyeri.

2. penggunaan propofol dan bahan yang mudah menguap sebagai anestesi umum.

3. mengurangi atau menghindari penggunaan N2O.

4. pemberian antagonis serotonin 5-HT3 seperti ondansetron (0,1 mg/kg IV) selama

anestesi.

5. penggunaan dexamethasone (0,15 mg/kg IV)

6. memasukkan dan melepaskan orogastric tube untun mengurangi tekanan dalam

perut setelah induksi anestesi.

7. manipulasi operasi yang hati-hati pada otot mata.

8. mempertahankan hidrasi yang adekuat dengan kristaloid intravena.

9. pemberian lidokain dekat dengan otot ekstraokuler selama operasi untuk

meminimalisir impuls afferent dan nyeri setelahoperasi pada saat pasien sadar.

Sindrom kongenital yang melibatkan patologi mata

Sindrom kongenital di mana abnormalitas mata merupakan salah satu manifestasi dari

kelainan multisistem yang timbul pada anestsei umum.

27

Page 28: Case Anes

Pasien dengan homosistinuria, adalah kesalahan kongenital yang jarang pada

metabolisme asam amino, dapat muncul dengan subluksasi lensa atau glaukoma. Pasien-

pasien ini rentan akan komplikasi tromboembolik selama anestesi umum.

Hiperinsulinemia dan konvulsi hipogilkemi merupakan hal yang biasa terjadi.

Penatalaksanaan anestesi yang aman membutuhkan pra-pengobatan dengan asam

asetilsalisilat dan dipiradamol, hidrasi adekuat dengan glukose atau dextrose konsentrasi

rendah, dan mempertahankan tekanan darah arteri dan vasodilatasi perifer dalam keadaan

bagus. Di smping itu, untuk mencgah stasis vena, pasien harus menggunakan stoking

elastis atau pneumoboot selama operasi dan berjalan sesegera yang ia bisa.

Sindrom Marfan adalah kelainan jaringan ikat yang menyebabkan subluksasi

lensa dan lepasnya retina. Penatalaksanaan anestesi harus mempertimbangkan

kemungkinan defek katup jantung, aneurisma thorax, dan kyphoskoliosis.

Anak-anak dengan sindrom Down sering ditemukan dengan strabismus dan

katarak. Yang perlu dipertimbangkan oleh dokter mata adalah hipotonus, defek jantung,

hipotiroidisme, makroglossia, kejang, dan instabilitas atlantoaxial, semua hal di atas

mungkin saja berkaitan dengan sindrom Down.

Pasien dengan sindrom Sturge-Weber dapat saja mengalami glaukoma sekunder.

Sindrom Sturge-Weber terdiri atas angioma kutaneus kaverna pada wajah, kortex

cerebral, dan jalan nafas yang lebih rendah. Kejang dan perdarahanjalan nafas dapat saja

terjadi.

Pasien dengan penyakit sickle cell homozigot atau thalasemia dapat datang

dengan retinitis proliferan. Perdarahan vitreous, atau lepasnya retina. Penatalaksanaan

anestesi melibatkan pengobatan terhadap anemia dan pencegahan dari konndisi yang

memacu krisis sickle cell, seperti dehidrasi, asidosis, hipoksia, infeksi, statis vena, dan

hipptermia.

Pasien dengan abnormalitas kraniofasial, seperti penyakit Crouzon, sindrom

Alport, atau sindrom Kniest, dapat memiliki miopia, lepasnya retina, exopthalmus, atau

glaukoma. Trakea dapat menjadi sulit diintubasi pada pasien ini.

28

Page 29: Case Anes

Komplikasi

Stead telah membuat review mengenai mortalitas dan morbiditas dari penyakit yang

timbul pada pasien yang menjalani operasi mata. Wu dan Schachat melaporkan bahwa

0,7% pasien mata perlu dirawat di rumah sakit, biasanya karena kondisi yang

berhubungan dengan jantung.

Stead menjelaskan morbiditas terhadap efek sistemik dari obat mata dan

komplikasi dari pemberian anestesi, pengawasan anestesi, dan blok regional mata,

termasuk di dalamnya trauma nervus opticus, penetrasi okuler, perdarahan retrobulbaris,

luka pad akornea, OCR, dan mitotoksitas anestesi lokal pada otot ekstraokuler. Stead juga

mendiskusikan anestesi umum, dampak mual muntah pada hasil operasi mata, dan efek

dari anestesi umum, intubasi dan N2O terhadap IOP.

Efek sistemik dari Medikasi Mata

Baik ahli anestesi atau ahli mata harus sadar bahwa cairan mata siap diserap melalui

konjunctiva hiperemis. Meskipun jumlahnya sedikit, cairan ini mengandung obat

konsentrasi tinggi yang dapat menimbulkan efek sistemik. Bayi dan pasien usia muda

sangat rentan akan efek sistemik tersebut. Efek sistemik itu dapat diminimalisir dengan

penggunaan konsentrasi yang lebih rendah, pembatasan instilasi sampai 1 atau 2 tetes

saja, dan sesegara mungkin melepas nasolacrimal duct pada saat instilasi.

Medikasi pada mata yang menyebabkan efek sistemik meliputi fenilefrin,

efinefrin, timolol, echotifat, iodide, asetilkolin, siklopentolat, skopolamin, atrofin, dan

kokain.

Penilefrin

Tetes mata penilefrin dapat menyebabkan aritmia hipertensi berat, sakit kepala, tremor,

dan iskemik myokardia. Karena satu tetes larutan fenilefrin 10% mengandung 4mg

fenilefrin, maka dianjurkan memberi 2,5% larutan.

29

Page 30: Case Anes

Timolol

Timolol merupakan penghambat reseptor –adrenergic yang diberikan sebagai tetes mata

untuk mengobati glaukoma. Efek sistemik yang dapat terjadi adalah bradikard, hipotensi,

gagal jantung kongestif, dan eksaserbasi asma dan myasthenia gravis.

Echothiophate

Echothiophate iodide adalah tetes mata yang dapat menurunkan aktivitas kolinesterase

plasma secara signifikan. Dibutuhkan 4 sampai 6 jam sampai aktivitas tersebut pulih

setelah pemberian tetes mata Echothiphate. Pasien yang diobati dengan tetes mata ini

dapat memberikan respon yang lebih lama terhadap suksinilkolin atau mivacurium dan

anestesi lokal yang berkaitan dengan eter selama pengobatan.

Asetilkolin

Asetilkolin dapat digunakan untuk menimbulkan miosis setelah operasi katarak. Efek

sistemik yang terjadi adalah bradikardi, hipotensi, bronkospasme, dan peningkatan

sekresi bronkial dan salivasi. Efek yang tidak diinginkan ini dapat dicegah dengan

pemberian atrofin intravena.

Siklopentolate

Tetes mata siklopentolate digunakan dalam konsentrasi 2% untuk mendilatasi pupil.

Toksisitas CNS menimbulkan efek seperti disorientasi, dysarthria, dan kejang. Larutan

dengan konsentrasi yang lebih rendah (0,5%) dianjurkan untuk pasien anak.

Skopolamine

Tetes mata skopolamine dapat menyebabkan disorientasi dan halusinasi pada orang tua

dan pasien yang sangat muda.

Kokain

Kokain menghambat reuptake norefinefrin pada nervus terminalis dan biasanya

menimbulkan efek simpatomimetik. Bagaimnapun, setelah instilasi okuler, level kokain

plasma yangsangat rendah dapat menyebabkan bradikardi berat. Penggunaan kokain

30

Page 31: Case Anes

topikal tidak lagi dianjrkan untuk operasi mata. Bagaimanapu, selama

dacryocystorhinostomy, kokain dapat digunakan secara topikal untuk vasokinstriksi dan

anestesi topikal.

Nyeri setelah operasi

Nyeri setelah operasi yang tidak diharapkan biasanya disebabkan abrasi kornea atau suatu

glaukoma akut. Selama anestesi umum, refleks mengedip menghilang, dan produksi air

mata basal mapupun refleks berkurang. Kornea yang kering, beresiko tinggi mengalami

abrasi. Penilaian setelah operasi seperti penggunaan salap berbahan dasar petroleum,

menghindari penggarukan pada mata, penggunaan pelindung kulit kornea, dan

pengikatan atau penjahitan kelopak mata bermanfaat untuk mencegah luka pad amata.

Salap mata sendiri dapat menyebabkan iritasi.

Nyeri karena abrasi kornea adalah nyeri pada mata yang disebabkan karena

adanya benda asing dalam amta, air mata, konjunctivitis, dan fotofobia. Nyeri abrasi

kornea akan menjadi lebih parah bila pasien mengedip. Bagian kornea yang abrasi dapat

terlihat secara langsung sebagai pola tumpul nonrefleksi atau sebagai daerah positif pada

pewarnaan fluorescein. Pengobatan pada mata membutuhkan salap antibiotik dan

penutup mata selama 48 jam. Penggunaan tetes anestesi topikal dan steroid pada kornea

merupakan kontraindikasi karena dapat merusak pendengaran. Jika nyeri masih ada

sampai 24 jam, maka pasien harus dikonsultasikan ke dokter mata.

Glaukoma akut dapat saja bermanifestasi menjadi nyeri periorbital yang

menyebar pada pupil yang kering, pucat dan dilatasi. Tidak akan terjadi fotofobia, air

mata, dan konjunctivitis. Bola mata akan terasa padat saat dipalpasi. Penglihatan dapat

menurun dan IOP akan meningkat. Pengobatan awal untuk menurunkan IOP meliputi

pemberian intravena manitol 20% (1 g/kg) selama 30 menit atau 500 mg asetazolamid

selama 5 menit. Mual muntah dapat menyertai gejala dan dapat memberikan gambaran

klinis.

31