77
BAB I PENYAJIAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama Pasien : An. N Tanggal Lahir : 6 Desember 2008 Usia : 6 tahun 3 bulan Jenis Kelamin : Perempuan Berat Badan : 15 kg Tinggi Badan : 109 cm Agama : Islam Alamat : Perum Baros Tanggal Masuk : 20 Februari 2015 Tanggal Periksa : 21 Februari 2015 IDENTITAS ORANG TUA Orang tua Ayah Ibu Nama Tn. P Ny. Y Usia 46 tahun 45 tahun Suku Bangsa Sunda Sunda Agama Islam Islam Alamat Perum Baros Perum Baros Pendidikan SMK SMA Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga Penghasilan 1 juta – 3 juta rupiah/bulan - 1

Case Keyne

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case

Citation preview

Page 1: Case Keyne

BAB I

PENYAJIAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : An. N

Tanggal Lahir : 6 Desember 2008

Usia : 6 tahun 3 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Berat Badan : 15 kg

Tinggi Badan : 109 cm

Agama : Islam

Alamat : Perum Baros

Tanggal Masuk : 20 Februari 2015

Tanggal Periksa : 21 Februari 2015

IDENTITAS ORANG TUA

Orang tua Ayah Ibu

Nama Tn. P Ny. Y

Usia 46 tahun 45 tahun

Suku Bangsa Sunda Sunda

Agama Islam Islam

Alamat Perum Baros Perum Baros

Pendidikan SMK SMA

Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga

Penghasilan 1 juta – 3 juta rupiah/bulan -

ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan dengan metode alloanamnesis pada ibu pasien dan mendapatkan data

primer melalui data rekam medis Rumah Sakit Syamsudin SH, Sukabumi.

1

Page 2: Case Keyne

KELUHAN UTAMA

Penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.

KELUHAN TAMBAHAN

Demam dan sakit kepala sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien mengeluhkan anaknya

mengalami penurunan kesadaran, hal tersebut terlihat dari kondisi anaknya yang seperti orang

tertidur dengan mata setengah terbuka namun terlihat kosong, bola mata di tengah dan tidak

terlihat adanya pergerakan meski telah dipanggil dan tubuh pasien diguncang-guncang oleh

ibunya. Tidak terlihat adanya mata yang mendelik ke atas. Mulut pasien terkunci (tidak dapat

membuka) sehingga tidak terdapat respon bicara sama sekali. Badan pasien terlihat kaku,

namun pasien masih dapat bergerak saat ibu pasien mengguncang-guncang tubuh pasien.

Pergerakan pasien tidak terlokalisasi pada daerah guncangan yang dilakukan ibu pasien,

namun hanya berupa menggeliat. Pada pagi harinya, pasien hanya dapat beraktivitas ringan di

dalam rumah seperti menonton televisi dan menggambar. Penurunan aktivitas diakui ibu

pasien muncul sejak pada hari 3 hari SMRS. Pasien terlihat lebih lesu, kurang akitf bermain,

dan malas berjalan. Keluhan kejang disangkal.

Enam hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami demam. Demam tidak

diukur menggunakan termometer, namun berdasarkan perabaan, demam dirasakan naik turun.

Keluhan demam tinggi disangkal pasien karena tidak adanya gejala wajah kemerahan,

menggigil, ataupun berkeringat. Demam berlangsung tiap hari tanpa ada hari bebas demam.

Tidak ada keluhan demam makin meningkat pada malam hari maupun kian hari.

Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit, pasien sempat mengeluhkan sakit kepala yang

timbul sepanjang hari dirasakan terutama di belakang kepala seperti ditekan. Rasa sakit

tersebut tidak diperberat oleh aktivitas dan sehingga masih dapat ditahan oleh pasien. Tidak

ada gejala-gejala lain seperti penglihatan kabur, melihat cahaya yang berkedip, kelemahan

otot, kesemutan, ataupun halusinasi yang muncul sebelum sakit kepala timbul. Tidak ada

keluhan sakit pada mata saat melihat sinar. Tidak ada keluhan saat mendengar suara keras.

Tidak ada keluhan nyeri sendi.

Berat badan pasien dirasakan semakin menurun sejak ±5 bulan SMRS, meskipun pola

makan pasien dapat mencapai lebih dari 3 kali sehari. Selama sakit, nafsu makan pasien tidak

menurun. Tidak ada keluhan mual dan muntah. Tidak ada keluhan batuk selama ≥3 minggu,

2

Page 3: Case Keyne

batuk kering/berdahak, sesak atau pilek yang muncul sebelumnya. Keluhan benjolan di

daerah leher, ketiak, maupun lipat paha disangkal. Keluhan pembengkakan tulang/sendi

panggul, lutut atau jari kaki disangkal. Kelainan dan keluhan pada kulit, mata serta telinga

disangkal.

Tidak ada tanda perdarahan spontan seperti mimisan, perdarahan gusi atau muntah

darah. Tidak ada keluhan BAB dan BAK. Tidak ada riwayat jatuh atau terbentur pada daerah

kepala. Tidak ada riwayat konsumsi alkohol atau obat-obatan tertentu.

Selama sakit, pasien sempat pergi ke dokter puskesmas dan mendapatkan pengobatan,

setiap setelah minum obat, demam turun, namun keluhan demam tidak pernah hilang

sepenuhnya. Ketika obat puskesmas habis, pasien membeli obat penurun panas di warung

namun demam tidak kunjung hilang.

Karena kondisinya ini, pasien kemudian dibawa ke IGD lalu dilakukan pemeriksaan

laboratorium darah dengan kesan Hb menurun (9.6), leukositosis (15.400), dan trombositosis

(600.000), hiperglikemia (GDS= 179). Pasien diberikan tatalaksana (infus, antibiotik, dan

kortikosteroid) sesuai kondisi pasien. Selain itu, telah dilakukan pemeriksaan analisa cairan

serebrospinal dengan hasil menurunnya kadar glukosa cairan (15).

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Pada Oktober 2014 (5 bulan SMRS) pasien pernah didiagnosis memiliki flek paru

oleh dokter (namun tidak dilakukan Tes Mantoux) dan mendapatkan pengobatan

OAT, namun putus obat pada bulan ke-3 karena pasien merasa anaknya telah sembuh,

selain itu tidak pernah dijelaskan bahwa obat tersebut harus diminum pasien selama 6

bulan. Dilakukan pemeriksaan rontgen thorax dengan hasil:

Hasil ekspertise:

Tidak tampak kardiomegali.

Tampal gambaran pneumonia

3

Page 4: Case Keyne

Tidak ada riwayat pernah kejang.

Tidak ada riwayat operasi sebelumnya.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

Tidak ada riwayat keluarga yang mengalami keluhan yang serupa.

Riwayat batuk lama maupun batuk berdarah pada keluarga disangkal.

Tidak ada riwayat keluarga dengan flek paru atau mendapatkan pongobatan OAT

selama 6 bulan.

Tidak ada riwayat anggota keluarga yang dirawat dirumah sakit karena demam

berdarah.

RIWAYAT LINGKUNGAN SEKITAR RUMAH DAN KEBIASAAN

Pasien tinggal bersama 6 orang lainnya dalam satu rumah, yaitu ayah dan ibu

kandung, serta ketiga kakak kandung pasien.

Rumah pasien tidak mempunyai jendela sehingga sinar matahari tidak bisa masuk.

Pasien memiliki sering bermain dengan temannya yang mendapatkan pengobatan

OAT.

Orang tua pasien mengaku tidak pernah mengajarkan kebiasaan harus menutup mulut

ketika batuk atau tidak boleh membuang dahak sembarangan.

Tidak ada riwayat kontak dengan hewan liar.

Tidak ada riwayat bepergian ke daerah endemis.

RIWAYAT MAKANAN

Lahir – 2 tahun : ASI

6 bulan – 1 tahun : ASI ±8 kali/hari dan bubur susu 3x/hari

1 tahun 1 bulan – 2 tahun : Bubur ayam dan nasi tim

>2 tahun – sekarang : Nasi dan lauk pauk >3 kali sehari

RIWAYAT KEHAMILAN, KELAHIRAN, DAN PERKEMBANGAN

Pasien dilahirkan di puskesmas dengan bantuan bidan. Lahir secara spontan per

vaginam. Usia gestasi kurang lebih 9 bulan. Sebelumnya, ibu pasien teratur memeriksakan

kandungannya sebanyak lebih dari 4 kali di puskesmas. Riwayat keputihan, nyeri berkemih

saat mendekati kelahiran, kencing manis, ketuban pecah dini, tekanan darah tinggi, dan

4

Page 5: Case Keyne

demam selama kehamilan seluruhnya disangkal. Riwayat pemakaian obat-obatan,

penggunaan jarum suntik, merokok, minum minuman keras juga disangkal.

Saat lahir, pasien dapat menangis kuat dan langsung diizinkan untuk inisiasi menyusui

dini, warna ketuban dikatakan jernih, dan tidak ada kesulitan selama proses kehamilan dan

kelahiran. Berat badan lahir 2900 gram, panjang badan lahir tidak diingat.

RIWAYAT IMUNISASI

Ibu pasien mengaku pasien mendapatkan imunisasi terakhir ketika berusia 4 bulan.

Diakui adanya pemberian imunisasi hepatitis B dan polio beberapa saat setelah lahir.

Ditemukan skar BCG pada deltoid kanan. Kesan: Status imunisasi tidak lengkap menurut

Departemen Kesehatan.

5

✔✔

✔✔

✔✔

Page 6: Case Keyne

RIWAYAT TUMBUH KEMBANG

Kuesioner Praskrining Perkembangan untuk anak 6 tahun, menggunakan kuesioner untuk

anak 72 bulan:

No. Pemeriksaan Hasil

1

Apakah anak menunjuk ke empat warna dengan benar?

Ya

2Apakah anak dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki? Ya

3Apakah anak dapat berpakaian sendiri tanpat bantuan? Ya

4Ketika diberikan perintah untuk membuat gambar orang, apakah anak menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh?

Ya

5Apakah anak dapat menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh? Ya

6

Anak diberikan kalimat yang belum diselesaikan, apakah anak menjawab dengan benar?- “Jika kuda besar maka tikus…- "Jika api panas maka es …- "Jika ibu seorang wanita maka ayah seorang …

Ya

7Apakah anak dapat menangkap bola kecil sebesar bola tenis/bola kasti hanya dengan menggunakan kedua tangan?

Ya

8Dapatkah anak mempertahankan keseimbangan dalam waktu 11 detik atau lebih? Ya

9

Apakah anak dapat menggambar seperti di contoh?

Ya

10 Apakah anak dapat menjawab 3 pertanyaan di bawah dengan benar?- “Sendok dibuat dari apa?”

Ya

6

Page 7: Case Keyne

- “Sepatu dibuat dari apa?”- “Pintu dibuat dari apa?”

Kesan: perkembangan anak sesuai usia menurut KPSP (Kuesioner Praskrining

Perkembangan)

Status Gizi

Berat badan : 15 kg

Panjang badan : 109 cm

Lingkar Kepala : 47 cm

Lingkar Lengan Atas : 12 cm

Head Circumference For Age:

4751 x 100% = 92% (<-2 SD)

[2010 United State head circumference growth reference chart]

7

Page 8: Case Keyne

8

Page 9: Case Keyne

Weight For Age: 1520 x 100% = 75% (<p3)

Kesan : Status pertumbuhan kurang menurut CDC

9

Page 10: Case Keyne

Height For Age: 109114 x 100% = 95% (p10-p25)

Kesan : Status pertumbuhan cukup menurut CDC

10

Page 11: Case Keyne

Weight For Height : 1518 x 100% =83% (<p3)

Kesan : Status pertumbuhan kurang menurut CDC

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : tampak sakit berat

Kesadaran : Stupor

GCS : E1M3V1 = 5

Tanda-Tanda Vital :

Tekanan Darah : 108/56 mmHg (p5=77/41; p50= 96/55 mmHg; p99= 121/82)

Nadi : 100 kali/menit (65-110 kali/menit) teratur, kuat, penuh

RR : 24 kali/menit (20-25 kali/menit) teratur

Suhu : 36,6oC (36,5-37,5oC)

Pemeriksaan Fisik

Kepala : normocephali, deformitas –

11

Page 12: Case Keyne

Wajah : simetris

Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera putih, pupil isokor 3mm/3mm, mata

cekung -/-

Hidung : septum nasi di tengah, sekret -/-, hiperemis konka -/-, perdarahan

mukosa (-), pernapasan cuping hidung (-)

Telinga : meatus akustikus eksternus +/+, serumen +/+, sekret -/-

Mulut : mukosa oral dan bibir kering, perdarahan gingival (-), ptechiae

palatum (-)

Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1

Leher : trakea di tengah, massa (-), pembesaran KGB (+) terletak

supraklavikular dengan bentuk oval, jumlah 1 buah, diameter 1,5cm,

batas tegas, konsistensi padat kenyal, permukaan rata, mobil

terhadap kulit dan jaringan dibawahnya, undulasi (-).

Thorax

Paru: I: gerak napas tampak simetris dalam keadaan statis dan dinamis,

retraksi (-)

P: gerak napas teraba simetris dalam keadaan statis dan dinamis

P: sonor pada kedua lapang paru

A: bunyi napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung: I : ictus cordis tidak terlihat

P: ictus cordis tidak teraba

P: batas kanan = interkostal 4 linea sternalis dextra

batas atas = interkostal 3 linea parasternalis sinistra

batas kiri = interkostal 5 linea midklavikularis sinistra

A: bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen: I: tampak datar

P: supel, hepatosplenomegali (-), nyeri tekan (-), undulasi (-), shifting

dullness (-), defance muscular (-)

P: timpani pada seluruh regio abdomen

A: bising usus (+) 3-4 kali/menit

Punggung : Alignment vertebra baik.

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, ruam (-), bintik kemerahan (-),

hematom (-)

12

Page 13: Case Keyne

Kulit : turgor kulit baik, ikterik (-)

Genitalia : labia mayora menutupi labia minora

Pemeriksaan Neurologis

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku kuduk : +

Brudzinki 1 : -/-

Brudzinki 2 : -/-

Kernig : +/+

Pemeriksaan Saraf Kranial

N.I : kemampuan menghidu sulit dinilai karena pasien incompos mentis.

N.II : pemeriksaan visus dan lapang pandang sulit dinilai karena pasien

incompos mentis. Pemeriksaan funduskopi tidak dilakukan.

N.III, IV, VI : mata terfiksasi ke satu titik (kanan bawah), non-reaktif,

reflex cahaya langsung dan tak langsung ↓/↓N. V : reflex kornea -/-

N.VII : wajah simetris, ekspresi wajah terhadap rangsang nyeri (-)

N.VIII : tidak responsif terhadap rangsang suara

N.IX, X : refleks telan (-) reflex muntah tidak dinilai

N.XI : otot sternocleidomastoideus dan trapezius tidak atrofi

N.XII : kesimetrisan lidah, pergerakan lidah, atrofi papil, fasikulasi tidak

sulit dinilai

Pemeriksaan Motorik: Tonus otot keempat ekstremitas: hipertonus

Kekuatan motorik 2222 2222

1111 1111

Refleks Fisiologis

Biceps : +/+ (normorefleks)

Triceps : +/+ (normorefleks)

Patella : +/+ (normorefleks)

Achilles : +/+ (normorefleks)

Refleks Patologis

Hoffman Tromner : -/-

Babinski : +/+

Chaddox : +/+

Schaeffer : -/-

13

Page 14: Case Keyne

Pemeriksaan Klonus: -/-

Pemeriksaan Koordinasi Gerak: sulit dinilai

Pemeriksaan Sistem Otonom

Miksi : terpasang kateter

Defekasi : belum BAB selama 2 hari

Sekresi keringat : (+)

Fungsi luhur

Afasia motorik : sulit dinilai

Afasia sensorik : sulit dinilai

Daya ingat : sulit dinilai

Apraksia : sulit dinilai

Tanda regresi

Refleks glabella : (-)

Refleks mencucu : (-)

Refleks genggam : (-)

Skoring TB

Skoring TB sementara didapatkan sebesar 2. (Belum dilakukan Tes Mantoux dan

Pemeriksaan Rontgen paru)

14

Page 15: Case Keyne

RESUME

Pasien anak perempuan usia 6 tahun datang dengan keluhan utama penurunan

kesadaran sejak 1 hari SMRS. Mata pasien terbuka, tatapan kosong, mulut terkunci, badan

kaku, gerakan minimal, tidak responsif terhadap suara. Keluhan kejang disangkal. Sebelum

kejadian, pasien beraktivitas seperti biasa. 7 hari SMRS pasien mengeluhkan sakit kepala dan

demam yang naik turun, berlangsung tiap hari tanpa ada hari bebas demam, tidak meningkat

pada malam hari maupun kian hari. Pasien mendapatkan pengobatan dari dokter namun

keluhan demam tidak kunjung hilang. Berat badan pasien turun. Keluhan pada anggota tubuh

lainnya disangkal. Pasien pernah mendapatkan pengobatan OAT, namun putus obat saat

memasuki bulan ketiga. Terdapat riwayat kontak dengan anak lain yang sedang mendapatkan

OAT.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

Status gizi kurang menurut CDC

Kesadaran: Stupor dengan GCS: E1M3V1 = 5

Limfadenopati supraklavikular (1 buah, bentuk bulat, diameter 1,5cm, batas tegas,

konsistensi padat kenyal, permukaan rata, mobil terhadap kulit dan jaringan

dibawahnya, undulasi (-))

Tanda Rangsang Meningeal: Kaku kuduk + dan Kernig sign +/+

Pemeriksaan Saraf Kranial: abnormalitas N. III, IV, V, VI

Pemeriksaan Motorik: Keempat ekstremitas hipertonus, kekuatan otot menurun.

Reflex Patologis Babinski, Chaddox +/+

DIAGNOSA KERJA

Meningoensefalitis Tuberkulosa stadium III

Status gizi kurang menurut CDC

Status imunisasi tidak lengkap menurut Departemen Kesehatan

DIAGNOSA BANDING

15

Page 16: Case Keyne

Meningoensefalitis Bakterial

Meningoensefalitis Viral

SARAN PEMERIKSAAN

Pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,

eritrosit, indeks eritrosit, LED)

Pemeriksaan elektrolit (natrium dan klorida)

Kultur darah

Lumbal pungsi (analisis dan kultur CSF)

Rontgen Thorax

Tes Mantoux

CT-scan Kepala

TATALAKSANA UMUM

Rawat dalam PICU.

Pantau kesadaran, demam, dan tanda-tanda vital.

Pantau keadaan neurologis.

Menghindari peningkatan tekanan intracranial dengan mempertahankan posisi

penderita setengah duduk dengan mengangkat kepala setinggi 20-30°C dalam posisi

netral.

TATALAKSANA KHUSUS

IVFD Kaen MG3 46cc/24 jam

Ceftriaxone 2 x 750 mg IV (~100mg/kgBB/hari)

Streptomycin 1x 300 mg (~20mg/kgBB/hari)

Dexamethasone 3 x 3mg IV (~0,6mgBB/kg/hari)

Ranitidin 2x12 mg

Phental 300mg 2x30mg bila kejang

OAT 1 x 1 via NGT

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad sanactionam : dubia ad malam

16

Page 17: Case Keyne

Quo ad functionam : malam

BAB II

ANALISA KASUS

Diagnosa kerja dari kasus ini adalah Meningoensefalitis Tuberkulosa, karena:

Pada anamnesa ditemukan:

Keluhan utama berupa penurunan kesadaran yang merupakan tanda disfungsi SSP.

Adanya gejala demam, sakit kepala, letargi yang menandakan terjadinya inflamasi

meningens.

Demam yang berlangsung lebih dari 5 hari dengan karakteristik demam yang naik

turun, namun tidak pernah sangat tinggi dan berlangsung tiap hari tanpa hari bebas

demam.

Riwayat berat badan yang tidak kunjung meningkat.

Riwayat putus pengobatan OAT dalam waktu 5 bulan SMRS.

Buruknya ventilasi dan masukan sinar matahari di rumah tinggal pasien.

Terdapat riwayat kontak dengan anak lain dengan pengobatan TB.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:

Kesadaran: Stupor dengan GCS: E1M3V1 = 5.

Limfadenopati supraklavikular (1 buah, bentuk bulat, diameter 1,5cm, batas tegas,

konsistensi padat kenyal, permukaan rata, mobil terhadap kulit dan jaringan

dibawahnya, undulasi (-)), yang sugestif sebagai penyebaran kuman tuberculosis pada

KGB.

Tanda Rangsang Meningeal: Kaku kuduk + dan Kernig sign +/+, yang menandakan

adanya infeksi pada SSP.

Pemeriksaan Saraf Kranial: abnormalitas N. III, IV, V, VI, menunjukkan adanya

proses inflamasi pada batang otak.

Pemeriksaan Motorik: Keempat ekstremitas hipertonus, kekuatan otot menurun.

Reflex Patologis Babinski, Chaddox +/+

Namun, kemungkinan Meningoensefalitis Bakterial masih belum dapat disingkirkan, karena:

17

Page 18: Case Keyne

Gejala meningitis bukan merupakan gejala yang khas untuk satu etiologi tertentu.

Gejala meningoensefalitis bakterialis sama dengan gejala meningoensefalitis

tuberkulosa.

Sehingga perlu didukung pemeriksaan penunjang berupa:

Pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,

eritrosit, indeks eritrosit, LED) Pada meningoensefalitis TB sering ditemukan

leukosit yang meningkat (10.000-20.000 sel/mm3)

Pemeriksaan elektrolit Untuk memantau komplikasi yang sering terjadi pada

penyakit ini yaitu hyponatremia dan hipokloremia karena sekresi hormone antidiuretic

yang tidak adekuat.

Tes Mantoux, diharapkan didapatkan indurasi >10mm (uji tuberculin +)

Lumbal pungsi (analisis dan kultur CSF) dari parameter glukosa, protein, sel darah

putih, dan hitung jenis, untuk mendukung diagnosis TB diharapkan didapatkan hasil:

o Liquor serebrospinal ayng jernih, cloudy atau xantokrom.

o Jumlah sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500

sel/mm3, hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal

dapat dominan polimorfonuklear

o Protein meningkat di atas 100 mg/dL sedangkan glukosa menurun di bawah

35 mg/dL, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal.

Rontgen Thorax, diharapkan ditemukan gambaran sugestif TB paru.

CT-scan Kepala, untuk melihat adanya lesi parenkim pada basal otak, infark,

tuberkuloma, maupun komplikasi yang dapat timbul seperti hidrosefalus.

ANAMNESIS

Analisa Makna dalam diagnosa

Penurunan kesadaran 1 hari SMRS,

mata terbuka namun terlihat kosong,

bergerak minimal (hanya menggeliat),

tidak responsif terhadap suara

Pada anamnesis penurunan kesadaran perlu

dievaluasi keadaan mata, verbal dan motorik

pasien untuk dapat memperkirakan nilai GCS.

Pada pasien ini diperkirakan E1M3V1 = 5.

Adanya penurunan kesadaran juga mengarah ke

diagnosa meningoensefalitis, bukan hanya

meningitis karena pusat kesadaran tidak terdapat di

18

Page 19: Case Keyne

meningens, sehingga apabila telah terjadi

penurunan kesadaran berarti struktur otak telah

ikut terganggu.

Sakit kepala dan demam Gejala sakit kepala, demam, anorexia, dan muntah

merupakan gejala prodromal yang sering timbul

pada anak-anak yang lebih besar, sementara pada

anak yang lebih kecil gejala yang lebih sering

muncul adalah failure to thrive, muntah, gangguan

pola tidur, dan nafsu makan kurang.

Adanya sakit kepala dapat juga merupakan salah

satu tanda peningkatan tekanan intrakranial yang

terjadi karena proses inflamasi pada otak.

Tidak dikeluhkan adanya kaku leher,

muntah, sensitivitas terhadap cahaya,

nyeri sendi. Kejang disangkal.

Gejala lain yang dapat muncul pada meningitis

berupa kaku leher, muntah, sensitivitas terhadap

cahaya, nyeri sendi, mengantuk, dan kejang.

Tidak ada keluhan batuk, pilek, diare,

muntah, keluhan pada telinga dan mata

yang mendahului keluhan utama.

Keluhan saluran napas dan saluran cerna yang

mendahului gejala meningitis dapat mengarahkan

ke diagnosis meningitis bakterialis. Namun dengan

tidak adanya keluhan ini saja masih belum dapat

menyingkirkan kemungkinan diagnosis meningitis

bakterialis, oleh karena itu penyakit ini masih

dimasukkan ke dalam diagnosis banding.

Berat badan pasien menurun Berat badan yang turun menandakan adanya proses

infeksi kronis.

Tidak adanya tanda perdarahan spontan

seperti epistaksis, gusi mudah berdarah

tanpa trauma, dan adanya hematom

tanpa trauma.

Hal ini ditanyakan untuk menyingkitkan adanya

kemungkinan perdarahan spontan yang dapat

terjadi pada penderita demam dengue akibat

trombositopenia yang terjadi. Kemungkinan

adanya demam berdarah dengue ditanyakan untuk

menyingkirkan diagnosis banding ensefalitis

dengue.

19

Page 20: Case Keyne

Tidak ada keluhan pada KGB, kulit,

tulang dan sendi, saluran pencernaan,

dan saluran kencing.

Keluhan TB paru ekstrapulmonal ditanyakan untuk

mengetahui proses infeksi yang telah terjadi pada

pasien serta penting dalam penentuan terapi.

Tidak ada riwayat jatuh terbentur pada

daerah kepala atau konsumsi alkohol

dan obat-obatan.

Keluhan ini ditanyakan untuk menyingkitkan

gejala penurunan kesadaran yang disebabkan oleh

trauma atau konsumsi obat-obatan.

Terdapat riwayat putus pengobatan

OAT

Riwayat ini mendukung diagnosis

meningoensefalitis TB karena penyakit ini sering

menjadi komplikasi pada penyakit TB yang tidak

ditatalaksana secara tuntas.

Riwayat keluarga dengan flek paru atau

pengobatan OAT

Salah satu kunci diagnosis dari infeksi tuberculosis

adalah dengan mengidentifikasi dewasa dengan

infeksi TB yang memiliki kontak dengan pasien.

Rumah dengan ventilasi yang sedikit

dan sedikitnya akses sinar matahari ke

dalam rumah

Faktor risiko penularan infeksi TB adalah ventilasi

yang kurang, karena secara bakteriologi kuman TB

mati pada

PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran: Stupor dengan GCS:

E1M3V1 = 5.

Meningtis tuberkulosis terjadi karena adanya

pembentukan metastatic caseous lesion pada

korteks serebral atau meningen yang berkembang

melalui penyebaran lymphohematogenous dari

infeksi primer. Lesi awal adalah biasanya

membesar dan terdapat mengeluarkan sejumlah

kecil basil tuberkel ke ruang subarakhnoid. Hal ini

menyebabkan adanya gelatinous exudate yang

menginfiltrasi pembuluh darah corticomeningeal,

sehingga menyebabkan inflamasi, obstruksi, dan

infark korteks serebri, sehingga terjadinya proses

penurunan kesadaran sesuai yang ditemukan pada

pasien dalam kasus ini.

Limfadenopati supraklavikular (1 buah,

bentuk bulat, diameter 1,5cm, batas

tegas, konsistensi padat kenyal,

permukaan rata, mobil terhadap kulit

Tuberkulosis nodus limfatikus merupakan bentuk

tuberkulosis ekstrapulmoner yang paling sering

terjadi pada anak. Kasusnya biasnaya terjadi dalam

6-9 bulan setelah infeksi inisial M. tuberculosis.

20

Page 21: Case Keyne

dan jaringan dibawahnya, undulasi (-)),

yang sugestif sebagai penyebaran

kuman tuberculosis pada KGB.

Keterlibatan KGB tonsillar, servikalis anterior,

submandibular, dan supraklavikular umumnya

sebagai penyebaran sekunder dari lesi primer pada

lapang paru atas atau abdomen. Karakteristik dari

nodus yang ditemukan berbatas tegas, padat,

terfiksasi pada jaringan dibawahnya dan timbulnya

unilateral.

Gambaran di atas cocok pada pasien dalam kasus

ini.

Tanda Rangsang Meningeal: Kaku

kuduk + dan Kernig sign +/+

Fleksi pasif pada leher meregangkan akar saraf

melalui mengens yang terinflamasi, sehingga

menimbulkan rasa sakit dan gerakan fleksi pada

ekstremitas bawah. Munculnya tanda rangsang

meningeal, menandakan adanya proses inflamasi

pada meningens.

Pemeriksaan Saraf Kranial:

abnormalitas N. III, IV, V, VI

Berdasarkan patofisiologinya, batang otak

merupakan tempat tersering yang terkena proses

infeksi tuberkulosa sehingga terjadi disfungsi saraf

kranial III, VI, dan VII.

Reflex Patologis:

Babinski, Chaddox +/+

Tanda Babinski dikatakan patologis apabila timbul

gerak dorsofleksi pada ibu jari kaki akibat

kontraksi dari otot ekstensor hallicus longus yang

sinkron dengan gerak reflex dari otot fleksor

lainnya. Dengan ditemukannya hasil positif pada

Tanda Babinski, menandakan bahwa terjadi proses

disfungsi UMN pada otak atau spinal cord.

Umumnya temuan ini jarang berdiri sendiri dan

sering ditemukan bersamaan dengan tanda lesi

UMN lainnya seperti spastisitas, hiperrefleks dan

disfungsi traktus piramidalis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht,

leukosit, hitung jenis leukosit,

trombosit, eritrosit, indeks eritrosit,

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang

menunjukkan indikator yang spesifik untuk

tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama

21

Page 22: Case Keyne

LED) dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat

penting sebagai indikator tingkat kestabilan

keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,

sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon

terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan

sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita.

Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan

biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam

keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat

pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang

normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.

Limfositpun kurang spesifik.

Pemeriksaan elektrolit (natrium dan

klorida)

Pemeriksaan elektrolit diperlukan untuk memantau

adanya komplikasi Syndrome Inappropriate

Antidiuretic Hormone (SIADH). Diagnosis SIADH

ditegakkan jika terdapat kadar natrium serum yang

<135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum

<270 mOsm/kg, osmolaritas urin > 2 kali

osmolaritas serum, natrium urin > 30 mEq/L (30

mmol/L) tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi atau

hypovolemia.

Lumbal pungsi (analisis dan kultur

CSF)

Kultur cairan serebrospinal masih menjadi gold

standard dalam penentuan etiologi dari meningitis.

Pemeriksaan ini sangat penting dilakukan untuk

menentuan terapi yang adekuat. Pemeriksaan ini

harus meliputi hitung sel, hitung jenis, konsentrasi

glukosa, dan pengukuran protein. Pada infeksi

tuberculosis ditemukan:

Jumlah sel meningkat antara 10-250 sel/mm3

dan jarang melebihi 500 sel/mm3, hitung jenis

predominan sel limfosit walaupun pada

stadium awal dapat dominan

polimorfonuklear

Protein meningkat di atas 100 mg/dL

22

Page 23: Case Keyne

sedangkan glukosa menurun di bawah 35

mg/dL, rasio glukosa LCS dan darah dibawah

normal.

Perbedaan meningitis tuberculosis dan bacterial

dapat dilihat dari hitung jenisnya. Pada pasien ini

hasil LCS menunjukkan adanya penurunan glukosa

dan peningkatan kadar protein.

Tes Mantoux Uji tes mantoux yang posited menunjukkan adanya

infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB)

pada anak. Reaksi uji uberkulin positif biasanya

bertahan lama hingga bertahun-tahun. Pada pasien

ini disarankan untuk pemeriksaan Tes Mantoux

untuk menunjang penegakkan diagnosis, dan

karena pada pasien ini bekum pernah dilakukan tes

ini sebelumnya.

CT-scan Kepala Pemeriksaan pencitraan dapat menunjukkan lesi

parenkim pada daerah basal otak, infark,

tuberkuloma, maupun hidrosefalus. Pemeriksaan

ini dilakukan jika ada indikasi, terutama jika

dicurigai terdapat komplikasi hidrosefalus

Rontgen Thorax Sugestif TB paru (aktif)

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umum) atau bilateral

(jarang)Sugestif TB Paru (inaktif)

Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

Kalsifikasi atau fibrotik Kompleks ranke Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau

penebalan pleuraGambaran Destroyed Lung

Atelektasis Multikaviti Fibrosis parenkim paru

23

Page 24: Case Keyne

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Epidemiologi

Kasus TB juga banyak menjangkit kelompok anak usia 0-14 tahun, terutama di

negara berkembang. Jumlah kasus TB anak diperkirakan mencapai 5-6% dari total kasus

TB dewasa. Pada tahun 2010, angka kasus TB anak pada bawah usia 15 tahun di negara

berkembang dapat mencapai 15%. Tuberkulosis anak merupakan masalah penting,

khususnya di negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun

mencapai 40-50% dari seluruh populasi.

Pada tahun 2011, WHO menyatakan terdapat 500.000 anak menderita TB dan

64.000 di antaranya meninggal. Pada tahun 2013, 9 juta orang menderita TB dan 1.5 juta

di antaranya meninggal dunia. Diperkirakan 550.000 anak terjangkit TB dengan angka

kematian mencapai 80.000 kasus. Di Indonesia, proporsi kasus TB anak mencapai 9,4%

dari seluruh kasus TB dan menurun menjadi 8,2% kasus pada tahun 2012.

Sekitar 70-80% TB pada anak terjadi intrapulmoner. Bayi dan anak kecil

merupakan kelompok dengan risiko tinggi mengalami penyebaran TB, seperti TB milier

ataupun meningitis TB yang berisiko tinggi menyebabkan kematian, terutama pada anak

usia kurang dari 4 tahun. Pada anak, kuman TB lebih mudah menyebar melalui aliran

darah sehingga meningkatkan risiko terjadinya penyebaran TB ekstra pulmonal.

3.2 Definisi dan Faktor Risiko

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis. Tingginya angka kejadian TB dipengaruhi oleh berbagai

faktor, antara lain diagnosa yang tidak tepat, pengobatan yang tidak adekuat, program

penanggulangan tidak dilakukan dengan tepat, infeksi endemik HIV, migrasi penduduk,

mengobati diri sendiri, meningkatnya kemiskinan, serta pelayanan kesehatan yang

kurang memadai.

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB. Faktor ini

dibedakan menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi

penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB pada anak adalah riwayat terpajan dengan

orang dewasa yang TB aktif, tinggal di daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang

tidak bersih, serta tinggal di tempat penampungan umum yang banyak tedapat penderita

24

Page 25: Case Keyne

TB. Risiko terjadinya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak juga lebih tinggi jika

pasien dewasa tersebut memiliki sputum BTA positif, infiltrat luas atau kavitas pada

lobus atas, sputum banyak dan encer, batuk yang produktif dan kuat, serta faktor

lingkungan yang tidak bersih dan sirkulasi udara yang tidak baik.

Salah satu faktor risiko terjadinya penyakit TB pada anak adalah usia. Anak

berusia kurang dari 5 tahun memiliki risiko kebih besar terkena penyakit akibat sistem

imun yang masih imatur. Faktor risiko lain adalah infeksi baru yang ditandai dengan

adanya konversi uji tuberkulin dalam 1 tahun terakhir (newly converter), malnutrisi,

kondisi imunosupresi, diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik.

3.2 Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB

dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup

dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan

seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons

imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat

dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag

alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,

sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di

dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB

membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi

fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak

di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe

parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan

terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan

limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan

pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak

25

Page 26: Case Keyne

masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama

2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut,

kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup

untuk merangsang respons imunitas selular

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.

Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang

dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji

tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian

besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular

berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat

tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang

masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular

mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi

nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami

fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus

primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-

tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di

kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan

pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah

lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan

paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal

infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat

terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan

hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).

Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan

nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga

menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan

obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan

atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

26

Page 27: Case Keyne

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke

kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara

limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk

ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen

inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman

TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan

gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh,

bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,

limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain

seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut

tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.

Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat

mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah

besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini

dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut

TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi

infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang

beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena

tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada

anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.

Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan

menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar

di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan

dengan acute generalized hematogenic spread.

27

Page 28: Case Keyne

*Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread). Kuman TB

kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini

berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional (3).

3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.

4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen)

atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut

TB tipe dewasa (adult type TB)

3.3 Diagnosis TB pada anak

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :

28

Page 29: Case Keyne

1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.

Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan

oleh berbagai penyakit selain TB.

1. Gejala Sistemik

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan

adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang

baik.

2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan

demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya

tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak

apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau

intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat

disingkirkan.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure

to thrive).

5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku

diare.

2. Gejala Spesifik terkait Organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, yaitu

:

1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran

KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan

kadang saling melekat atau konfluens.

2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:

• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat

keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.

• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.

29

Page 30: Case Keyne

3. Tuberkulosis sistem skeletal:

• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).

• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di

daerah panggul.

• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang

jelas.

• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

4. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi

ulkus (skin bridge).

5. Tuberkulosis mata:

• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).

• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai

bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas

dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

3. Pemeriksaan Penunjang pada Anak

TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang

cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang

lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium

tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan

pleura ataupun biopsi jaringan.

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang

terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi

jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak

dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi.

Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO

untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes

telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan

penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan

mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen.

Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung

selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain

30

Page 31: Case Keyne

yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang

dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan

gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula

ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

Tes Tuberkulin

Tes tuberkulin (Tuberculin Skin Test / TST) masih merupakan tes yang umum

dilakukan untuk menegakkan diagnosis TB dengan sensitivitas dan spesifitas

mencapai 90%. Dahulu, TST dilakukan dengan uji Heaf atau uji Tine. Pada uji ini,

dilakukan penusukan multipel dengan aplikator yang dilapisi reagen tuberkulin yag

dikeringkan atau alat serupa yang dilapisi cairan tuberkulin sebelum aplikasi.

Aplikator ditekan ke kulit dan pembacaan dilakukan setelah 48 dan 72 jam. Jika

muncul papul – papul, dicatat diameter yang paling besar. Jika muncul vesikel,

dilakukan pencatatan terpisah dan dinilai sebagai tes positif. Jika beberapa papu

menyatu, dicatat area indurasi yang terbesar. Namun, uji ini perlu dikonfirmasi

dengan uji Mantoux. Oleh karena itu, uji mantoux dijadikan pilihan utama dalam

screening tuberkulosis.

TST dengan cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan PPD (purified

protein detivate). Potensi dari PPD diukur dalam satuan tuberculin units (TU) tyang

menggambarkan reaktivitasnya. Dosis standar PPD adalah 5 TU per 0,1 ml, yang

disuntikkan secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-

72 jam setelah penyuntikkan. Jika disuntikkan kepada orang yang telah terinfeksi TB,

maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di tempat penyuntikkan akibat proses

vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan akumulasi sel radang.

Pengukuran dilakukan dengan melihat indurasi yang muncul, bukan area

hiperemis. Indurasi diukur dengan palpasi tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, dan

mengukur diameter indurasi tersebut dalam satuan millimeter. Salah satu teknik yang

dapat digunakan dalam mengukur indurasi adalah metode Sokal ballpoint pen. Teknik

ini menggunakan pen yang digerakkan di atas area yang diperiksa untuk menilai

adanya indurasi. Garis digambarkan dari suatu titik 1 hingga 2 cm dari tepi ke arah

tengah. Teknik ini dapat mengurangi perbedaan pembacaan TST per individu.17 Selain

ukuran indurasi, perlu dinilai juga tebal tipisnya indurasi, atau jika ditemukan vesikel

hingga bula. Secara umum, hasil TST dianggap positif jika indurasi mencapai 10

31

Page 32: Case Keyne

mm. Walaupun pada anak usia bawah 5 tahun, masih mungkin hasil positif tersebut

dipengaruhi oleh pemberian vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin). Oleh karena itu,

pada kelompok usia ini, hasil TST dianggap positif jika 10-14 mm dan jika indurasi

15mm dianggap sangat positif merupakan reaksi dari TB alamiah. Pada pembacaan

hasil TST pada anak usia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.

Bila diameter indurasi 0-4 mm, maka TST dinyakatan negatif. Diameter 5-9

mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan ole kesalahan teknis,

keadaan anergi, ataupun reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang

meragukan, uji TST dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin,

ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dengan lokasi penyuntikkan yang berbeda,

minimal berjarak 2 cm dari lokasi penyuntikkan sebelumnya.

Tabel 2. Hasil pembacaan uji TST

Pembacaan Indurasi Penafsiran

Negatif 0 – 4 Tidak ada infeksiDalam masa inkubasiAnergi

Positif meragukan 5 – 9 Infeksi M. atipikBCGInfeksi TB alamiahKesalahan teknis

Positif 10 – 14 Infeksi TB alamiahBCGInfeksi M. atipik

15 Sangat muungkin infeksi TB alamiah

*pada keadaan gangguan imun, hasil 5mm dapat dikatakan positif. Pengaruh BCG dapat diabaikan pada

anak usia >5 tahun

Pada kondisi tertentu, pembacaan TST dilakukan dengan menggunakan tolok

ukur berbeda. Pada pasien dengan gangguan imunitas, hasil positif dinyatakan jika

terdapat indurasi 5 mm. Hal ini dapat ditemukan pada pasien dengan gizi buruk,

infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau pasien yang mengkonsumsi obat

imunosupresan jangka panjang ( 2 minggu). Pada anak yang mengalami kontak erat

dengan pasien TB dewasa aktif BTA positif juga menggunakan batas 5mm. Uji TST

juga sebaiknya tidak dilakukan dalam 6 minggu setelah imunisasi MMR dan varisela

karena dapat terjadi anergi dan mengacaukan pembacaan hasil TST.

32

Page 33: Case Keyne

Tabel 3. Pembacan TST positif pada anak

Indurasi ≥5 mmAnak yang memiliki riwayat kontak erat dengan pasien TB aktifAnak dicurigai sakit TB:

• Temuan radiologi toraks sesuai dengan gambaran penyakit TB aktif atau TB lama• Bukti klinis penyakit TB aktif• Anak yang sedang mendapatkan terapi imunosupresif atau dalam kondisi

imunosupresif, seperti infeksi HIV

Indurasi ≥10 mmAnak berisiko sakit TB diseminata:

• Anak usia < 4 tahun• Anak dengan penyakit Hodgkin, limfoma, diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, atau

malnutrisiAnak berisiko sakit TB:

• Anak yang lahir di daerah endemis TB• Anak yang terpapar dengan pasien HIV, tunawisma, pengguna obat-obatan, penghuni

panti, narapidana• Anak yang bepergian ke daerah endemis TB

Indurasi ≥15 mmAnak lebih dari 4 tahun tanpa faktor risiko

Uji TST masih memiliki kelemahan. Pada pemeriksaan TST, pasien harus

datang dua kali, yaitu pada saat penyuntikan dan pada saat pembacaan. Selain itu,

TST tidak dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB, terlebih karena adanya

kemungkinan cross- reaction dengan BCG. Oleh karena itu, dilakukan pemeriksaan

serologis berupa uji interferon atau interferon gamma release assay (IGRA). Prinsip

pemeriksaan ini adalah stimulasi limfosit T yang telah tersensitisasi antigen TB untuk

menghasilkan IFN- yang kemudian dikalkulasi untuk membedakan antara infeksi

dan sakit TB. Terdapat dua jenis pemeriksaan IGRA, yaitu inkubasi darah dengan

Early Secretory Antigenic Target – 6 (ESAT – 6) dan Culture Filtrate Protein – 10

(CFP – 10) dengan nama dagang Quantiferon TB yang mengukur kadar IFN- dalam

darah. Jenis kedua adalah dengan pemeriksaan Enzyme-linked Immuno spot dengan

nama dagang T-spot TB yang mengukur jumlah limfosit yang memproduksi IFN-.

4. Sistem Skoring

33

Page 34: Case Keyne

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat

dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,

dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.

Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh

para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai

salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di

fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan

agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang

sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun

overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:

• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular

mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.

• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan

diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan

mendapat OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT

(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat

terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka

OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka

sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Tabel 1. Sistem skor TB pada anak

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga BTA (-) / BTA

tidak jelas / tidak tahu

BTA (+)

Uji tuberculin(Mantoux)

Negatif Positif (10 mm atau 5 mm

pada imunosupresi)

34

Page 35: Case Keyne

Berat badan / keadaan gizi

BB/TB <90% atau BB/U <80%

Klinis gizi buruk atau BB/TB<70% atau BB/U <60%

Demam yang tidak diketahui penyebabnya

2 minggu

Batuk kronik 3 minggu

Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal

1 cm, lebih dari 1 KGB, tidak

nyeri

Pembengkakan tulang / sendi panggul, lutut, falang

Ada pembengkakan

Foto toraks Normal / kelainan

Gambaran sugestif

(mendukung) TB

Catatan:

Parameter Sistem Skoring:

Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis

hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau

dari hasil laboratorium.

Penentuan status gizi:

Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment

opname).

Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk

anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak

usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.

Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan

pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas

Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran

kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi

segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.

Penegakan Diagnosis

35

Page 36: Case Keyne

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Pelimpahan wewenang

terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk

menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman

Nasional.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)

3.4 Algoritma Tatalaksana TB pada Anak

36

Page 37: Case Keyne

Keterangan :

(*) Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring

(**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila ditemukan

skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis lainnya pada

fasilitas kesehatan yang tidak tersedia uji tuberkulin

3.5 Tuberkulosis pada Keadaan Khusus

Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal

dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun menimbulkan

kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang berat seperti TB

meningitis, TB milier, TB Tulang/Sendi, TB Kelenjar, TB Pleura, TB Kulit, TB

Abdomen, TB Mata, TB Ginjal, TB Jantung. Pada bagian ini akan dibahas mengenai

meningitis dan ensefalitis TB.

1. TB Meningitis

Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada Sistem Saraf

Pusat (SSP) yang sering ditemukan pada anak akibat penyebran bakteri secara

hematogen atau limfogen, dan merupakan TB dengan gejala klinis berat yang dapat

mengancam nyawa, atau meninggalkan gejala sisa pada anak. Meningitis tuberkulosis

merupakan komplikasi dari sekitar 0,3% pasien tuberkulosis anak yang tidak diobati.

Paling sering menyerang pada usia antara 6 bulan sampai 4 tahun. Kadang-kadang

meningitis tuberkulosis terjadi beberapa tahun setelah infeksi, ketika terjadi ruptur

satu atau lebih subependymal tuberkel sehingga basil tuberkel masuk ke dalam ruang

subaraknoid. Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala,

diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika terdapat bukti bahwa

anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif. Apabila ditemukan gejala-

gejala tersebut, harus segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada

keadaan ini, diagnosis dengan sistem skoring tidak direkomendasikan.

Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

dilengkapi dengan uji tuberkulin, laboratorium darah serta pengambilan cairan

37

Page 38: Case Keyne

serebrospinal untuk dianalisis. Apabila didapatkan tanda peningkatan tekanan

intrakranial seperti muntah-muntah dan edema papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT

Scan kepala atau MRI, untuk mencari kemungkinan komplikasi seperti hidrosefalus.

Apabila keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati masa kritis, maka

pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan kesehatan

primer.

A. Patofisiologi

Meningtis tuberkulosis terjadi karena adanya pembentukan metastatic caseous

lesion pada korteks serebral atau meningen yang berkembang melalui penyebaran

lymphohematogenous dari infeksi primer. Lesi awal adalah biasanya membesar dan

terdapat mengeluarkan sejumlah kecil basil tuberkel ke ruang subarakhnoid. Hal ini

menyebabkan adanya gelatinous exudate yang menginfiltrasi pembuluh darah

corticomeningeal, sehingga menyebabkan inflamasi, obstruksi, dan infark korteks

serebri. Brainstem merupakan tempat tersering yang terkena sehingga terjadi

disfungsi saraf kranial III, VI, dan VII. Eksudat juga menyebabkan gangguan aliran

CSF pada sistem ventrikular pada level basilar cistern sehingga menyebabkan

communicating hydrocephalus. Kombinasi vaskulitis, infark, edema serebri, dan

hidrosefal;us menyebabkan kerusakan yang berat yang terjadi dengan cepat atau

perlahan-lahan.

B. Manifestasi klinis

Perkembangan klinis meningitis tuberkulosis dapat timbul secara cepat atau perlahan-

lahan. Perkembangan yang cepat biasanya cenderung terjadi pada bayi dan anak

muda, dimana muncul gejala hanya beberapa hari sebelum terjadinya hidrosefalus

akut, kejang, dan edema serebri. Kebanyakan gejala dan tanda berkembang dengan

perlahan dalam beberapa minggu dan dibagi ke dalam 3 stadium:

a. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal). Stadium

ini biasanya berlangsung 1 - 2 minggu dengan gejala yang tidak khas, seperti

adanya demam, sakit kepala, rewel, drowsiness, malaise, tanda neurologis fokal

tidak ditemukan, tetapi pada bayi dapat terjadi stagnasi atau hilangnya tahap

perkembangan pada milestone. Prognosisnya masih baik

b. Stadium II. Biasanya timbul lebih mendadak, dengan gejala letargi, nuchal

rigidity, kejang, Kernig atau Brudzinski sign positif, hipertonia, muntah, cranial

38

Page 39: Case Keyne

nerve palsies dan tanda neurologi fokal lainnya. Perkembangan manifestasi klinis

berhubungan dengan pekembangan hidrosefalus, peningkatan tekanan

intrakranial, dan vaskulitis. Beberapa anak tidak ada kejadian iritasi meningeal,

tetapi ada tanda ensefalitis misalnya disorientasi, gangguan pergerakan, atau

gangguan bicara.

c. Stadium III. Gejalanya meliputi kesadaran yang semakin menurun hingga koma,

ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, pupil terfiksasi,

pernapasan ireguler disertai peningkatan suhu tubuh, ekstremitas spastis. Dapat

juga terjadi hemiplegia atau paraplegia, hipertensi, postur deserebrasi, perubahan

tanda vital hingga kematian. Pasien yang bertahan akan terjadi cacat permanen

yaitu kebutaan, tuli, paraplegia, diabetes insipidus, atau retardasi mental.

C. Diagnosis

a.Tes tuberkulin

Pada 50% kasus, tes tuberkulin tidak reaktif. Pada uji mantoux, dilakukan

penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium

tuberculosis. Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin)

terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka

anak dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.Pada anak dengan

immunocompromised dan malnutrisi bisa dinyatakan positif meski indurasi hnya

< 5mm

b. Dari hasil pemeriksaan laboratorium

Darah: anemia ringan dan peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.

Berdasarkan tampilan dari CSS maka meningitis dibagi menjadi

a) Meningitis serosa

- Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang

disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah

Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya meningitis sifilitika, virus,

Toxoplasma gondhii dan Ricketsia. Penyebabnya seperti mycobacterium

tuberculosa & virus, terjadi pada infeksi kronis. Peran limfosit & monosit

dalam melawan mikroba dengan cara fagositosis, tidak terjadi

penghancuran, hasilnya adalah cairan serousa

39

Page 40: Case Keyne

- Meningitis serosa : penyebab mycobacterium tuberculosa,viral,

toxoplasma gondii, ricketsia,fungi

b) Meningitis Purulenta

- Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter

yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain,:

Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis

(meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,

Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,

Peudomonas aeruginosa. menghasilkan exudat berupa pus atau reaksi

purulen pada cairan otak. Leukosit, dalam hal ini Neutrofil berperan

dalam menyerang mikroba, neutrofil akan hancur menghasilkan exudat.

Tabel 4. Temuan Cairan Serebrospinal pada Meningitis

Kondisi Tekanan Leukosit

(/μL)

P

r

o

t

e

i

n

(

m

g

/

d

L

)

Glukosa

(mg/dL)

Keterangan

Normal 50-180

mm H2O

<4; 60-70%

limfosit, 30-40%

monosit, 1-3%

neutrofil

2

0

-

4

5

>50 atau

75% glukosa

darah

Meningitis Biasanya 100-60,000+; 1 Menurun Organisme yang

40

Page 41: Case Keyne

bakteri

akut

meningkat bisanya beberapa

ribu; PMN

predominan

0

0

-

5

0

0

dibandingkan

dengan

glukosa

darah;

bisanya <40

mungkin

ditemukan adalah

bakteri gram,

yang dapat

terlihat dari hasil

kultur

Meningitis

bakterial

setengah

pengobatan

Normal

atau

meningkat

1-10,000;

biasanya PMN

tapi sel

mononuklear bisa

predominant, jika

di terapi dalam

jangka panjang

>

1

0

0

Menurun

atau normal

Organisme dapat

terlihat, pada

terapi awal CSS

dapat ditemukan

steril pada

penyakit

pneumokok &

meningokus, tapi

antigen aka tetap

terdeteksi

Meningitis

tuberkulosa

Biasanya

meningkat;

bisa juga

rendah

karena

sumbatan

aliran CSS

pada

stadium

lanjut

10-500; PMN

awal tapi limfosit

dan monosit

menjadi

predominan

kemudian

1

0

0

-

5

0

0

;

d

a

p

a

t

m

e

n

i

n

<50

biasanya;

menurun

seiring waktu

jika tidak

mendapat

terapi

Bakteri tahan

asam dapat

terlihat pada

sediaan hapus;

organisme dapat

ditemukan pada

saat kultur atau

dengan PCR;

PPD, x-ray thorax

positif

41

Page 42: Case Keyne

g

k

a

t

p

a

d

a

s

u

m

b

a

t

a

n

C

S

S

Fungal Biasanya

meningkat

25-500; PMN

awal; sel

mononuklear

menjadi

predominan

kemudian

2

0

-

5

0

0

<50;

menurun

seiring waktu

jika tidak

diberikan

terapi

Awalnya dapat

ditemukan

ragi/yeast;

organisme dapat

ditemukan pada

kultur;

pemeriksaan

dengan tita india

atau pemeriksaan

antigen dapat

ditemukan positif

pada penyakit

kriptokokus

42

Page 43: Case Keyne

Cairan serebrospinal pada meningitis tuberkulosis (dengan cara pungsi

lumbal):

oWarna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-

batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah

berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.

o Jumlah leukosit bervariasi dari mulai 10-500 sel/mm3. Jumlah sel: 100 –

500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear ada, tetapi mayoritas yang

lebih dominan adalah limfosit.

oKadar protein: meningkat (400-5000 mg/dL) karena hidrosefalus dan blok

spinal.

oKadar glukosa: biasanya menurun. Kadar glukosa <40 mg/dL tapi jarang

yang < 20 mg/dL.

oKadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.

Kultur cairan lain misalnya aspirasi lambung atau urin dapat membantu

mendiagnosis meningitis tuberkulosa.

c.Dari pemeriksaan radiologi:

Foto toraks : pada 20-50% kasus, foto toraks anak menunjukan tidak ada

kelainan. dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.

USG kepala : pemeriksaan ini dapat dilakukan pada bayi yang ubun-ubun

besar nya belum tertutup (maksimal usia 2 tahun, umumnya < 18bulan), dapat

ditemukan penebalan pada selaput meningeal dengan atau tanpa hidroefalus.

CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah

basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CT-

scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis

tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya

penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah

basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda

edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga

ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau

talamus.

D. Pengobatan

43

Page 44: Case Keyne

Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi

yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan

intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke

arah meningitis tuberkulosis. Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku

tuberkulosis yakni:

Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni

isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.

Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin

hingga 12 bulan.

Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan

pada terapi meningitis tuberkulosis:

Isoniazid

Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan

ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor

cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse

reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa

diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan

dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100

mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah,

sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap

paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat

isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek

toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada

anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang

meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer,

dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg

piridoksin setiap 100 mg isoniazid.

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua

jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh

isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat

perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.

Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis

44

Page 45: Case Keyne

maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika

diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg /

kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara

luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi

rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang

sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin

adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma

oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan

trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg,

dan 450 mg.

Pirazinamid

Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan

dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya

pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis

pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar

serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase

intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul

akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah

hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-

anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.

Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular

pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman

intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis,

tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis

dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara

intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan

kadar puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati

selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak

meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan

diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat

kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis

berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang

45

Page 46: Case Keyne

mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga

berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga

perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak

saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Etambutol

Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika

diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan

pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.

Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan

dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia

dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh

dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,

tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.

Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-

hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat

diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian

etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis

optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi

WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol

dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.

Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-

obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan (Nastiti N.

Rahajoe, dkk., 2007).

Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai

terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat

menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai

adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu

dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai

dengan lamanya pemberian regimen.Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus

tirah baring total.

E. Komplikasi

46

Page 47: Case Keyne

Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa

neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia,

dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak,

nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi

pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan

keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri.

Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini

biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis

menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada

kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai

kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,

hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan

gonadotropin.

F. Prognosis

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis

dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila

tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia.

Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3

tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.

2. TB Ensefalitis

A. Definisi

Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai

macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, protozoa). Sebagian besar kasus tidak

dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35-50%,

dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20-40%). Penyebab tersering

dan terpenting adalah virus (Herpes Simpleks, CMV, Adenovirus. Berbagai macam

virus dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas,

akan tetapi hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.

B. Diagnosis

Anamnesis

47

Page 48: Case Keyne

Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.

Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri

kepala, kejang, dan kesadaran menurun.

Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus. Dapat

ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.

Pemeriksaan Fisis

Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma dan kejang.

Kejang dapat berupa status konvulsivus.

Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial.

Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor

neuron (spastis, hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus)

Pemeriksaan penunjang

Darah perifer lengkap. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan jika ada

indikasi.

Pungsi lumbal : pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bisa normal atau

menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang :

- Peningkatan jumlah sel 50-200/mm3

- Hitung jenis didominasi sel limfosit

- Protein meningkat tapi tidak melebihi 200 mg/dl

- Glukosa normal

Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) menunjukkan gambaran edema otak baik

umum maupun fokal.

Pemeriksaan pada pasien ensefalitis. Walaupun kadang didapatkan gambaran

normal pada beberapa pasien, umumnya didaptkan gambaran perlambatan atau

gelombang epileptiform baik umum maupun fokal.

C. Tata Laksana

Medikamentosa

Tata laksana tidak ada yang spesifik. Terapi suportif berupa tata laksana

hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial,

serta tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif.

48

Page 49: Case Keyne

Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti

epilepsi, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat

diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standard terapi. Peningkatan tekanan

intrakranial dapat diatasi dengan pemberian diuretik osmotik manitol 0,5-1

gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali.

Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute

disseminated encephalomyeitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid selama 2

minggu. Diberikan dosis tinggi metil-prednisolon 15 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam

selama 3-5 hari dan dilanjutkan prednisolon oral 1-2 mg/kg/hari selama 7-10 hari.

Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke

Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas,

serta mencegah kontraktur.

Pemantauan pasca rawat

Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan pengihatan, palsi serebral,

epilepsi, retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan

pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke

departemen terkait sesuai indikasi.

3.6 Pengobatan TB pada Anak

Pengobatan TB sendiri terdiri dari 2 fase, fase intensif selama 2 bulan pertama

dan fase lanjutan. Tiga macam obat akan diberikan pada fase intensif (2 bulan pertama)

dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).

Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan

untuk membunuh kuman baik di ekstrasel maupun intrasel.

Saat ini, paduan obat baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah

paduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada fase intensif, dan rifampisin serta

isoniazid pada fase lanjutan. Pada kondisi TB berat, baik pulmonal maupun

ekstrapulmonal, fase intensif diberikan minimal empat macam obat, antara lain

rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dengan etambutol atau streptomisin. Pada fase

lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Pada kasus TB milier, efusi

49

Page 50: Case Keyne

pleura TB, perikarditis TB, diberikan kortikosteroid dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari

dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg/hari Lama pemmberian adalah 2-4 minggu

dilanjutkan dengan tapering off 2-4 minggu.

Tabel 5. Regimen pengobatan TB anak

Jenis Fase intensif Fase lanjutan Prednison Lama

TB ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan

Efusi pleura TB 2 minggu dosis penuh kemudian

tapering off

TB BTA positif 2HRZE 4 HR -

TB paru dengan tanda kerusakan luas

2HRZ+E atau S

7-10HR 4 minggu dosis penuh kemudian

tapering off

9-12 bulan

TB milier

TB + destroyed lung

Meningitis TB 10HR 4 minggu dosis penuh kemudian

tapering off

12 bulan

Peritonitis TB 2 minggu dosis penuh kemudian

tapering off

Perikarditis TB 2 minggu dosis penuh kemudian

tapering off

Skeletal TB -

3.7. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Respon

pengobatan dikatakan baik jika gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat,berat

badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Dalam penilaiannya,

evaluasi hasil pengobatan mencakup evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan

pemeriksaan LED. Pada evaluasi klinis diperhatikan apakah kelainan klinis pada pasien

menghilang atau sudah membaik dibandingkan dengan awal pengobatan. Sedangkan

evaluasi radiologis dinilai setelah 2-3 bulan pengobatan dan tidak secara rutin kecuali

kelainan radiologis nyata/luas seperti gambaran pada TB milier, efusi pleura,

bronkopneumonia TB. Khusus penderita TB milier foto Rontgen toraks diulang 1 bulan

50

Page 51: Case Keyne

setelah dimulai pengobatan. Sedangkan, untuk kasus efusi pleura, foto thoraks dapat

diulang setelah 2 minggu untuk evaluasi. Untuk komponen laju endap darah, hal ini

dapat dinilai jika pada awal pengobatan nilai LED tinggi.4,7

Jika respon setelah 2 bulan pengobatan kurang baik, terapi tetap dilanjutkan

hingga evaluasi lebih lanjut dilakukan. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah salah

diagnosis, salah terapi, atau adanya resistensi terhadap OAT. Pengobatan selama 6 bulan

dapat meminimalisasi residu kuman TB.

Selain evaluasi hasil pengobatan, efek samping pengobatan juga perlu

dievaluasi. Pemberian OAT seringkali menimbulkan efek samping, terutama pada

pemberian isoniazid dan rifampisin. Efek samping yang sering terjadi, antara lain

gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, raum dan gatal, serta demam.

Hepatotoksisitas ditandai dengan peningkatan SGOT dan SGPT lebih dari lima kali nilai

normal tanpa adanya gejala klinis, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta

peningkatan SGOT/SGPT pada nilai berapa pun jika disertai dengan ikterus, anoreksia,

nausea, dan muntah.

Pada anak dengan penyakit berat, seperti TB milier dan meningitis TB,

keadaan gizi buruk, serta pasien yang membutuhkan dosis isoniazid dan rifampisin lebih

besar dari dosis yang dianjurkan, perlu dilakukan evaluasi setiap 2 minggu, terutama

pada 2 bulan pertama. Peningkatan serum transaminase yang tidak terlalu tinggi dapat

mengalami resolusi spontan tanpa harus merubah pola pengobatan. Namun, peningkatan

lebih dari lima kali tanpa gejala ataupun peningkatan lebih dari tiga kali dengan gejala

memerlukan penurunan dosis atau penghentian dosis rifampisin.

DAFTAR PUSTAKA

51

Page 52: Case Keyne

1. Direktorat Jenderal Pengendalian /penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI.

Petunjuk teknis manajemen TB anak. Jakarta: Bakti Husada;2013.

2. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberculosis

anak. 2nd ed. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2008.

3. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St. Geme JW, Behrman RE. Nelson Textbook of

Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2011.

4. Garna Herry, Melinda Heda. Pedoman diagnosis dan terapi. Ed ke-4. Bandung: Fakultas

Kedokteran Universitas Padjajaran; 2012.

5. Ropper AH, Brown RH. Adams & Victor's Principles Of Neurology. 8th ed. New York:

McGraw Hill; 2005.

52