Upload
errie-lim
View
219
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
case
Citation preview
BAB I
PENYAJIAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : An. N
Tanggal Lahir : 6 Desember 2008
Usia : 6 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 15 kg
Tinggi Badan : 109 cm
Agama : Islam
Alamat : Perum Baros
Tanggal Masuk : 20 Februari 2015
Tanggal Periksa : 21 Februari 2015
IDENTITAS ORANG TUA
Orang tua Ayah Ibu
Nama Tn. P Ny. Y
Usia 46 tahun 45 tahun
Suku Bangsa Sunda Sunda
Agama Islam Islam
Alamat Perum Baros Perum Baros
Pendidikan SMK SMA
Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga
Penghasilan 1 juta – 3 juta rupiah/bulan -
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan dengan metode alloanamnesis pada ibu pasien dan mendapatkan data
primer melalui data rekam medis Rumah Sakit Syamsudin SH, Sukabumi.
1
KELUHAN UTAMA
Penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
KELUHAN TAMBAHAN
Demam dan sakit kepala sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien mengeluhkan anaknya
mengalami penurunan kesadaran, hal tersebut terlihat dari kondisi anaknya yang seperti orang
tertidur dengan mata setengah terbuka namun terlihat kosong, bola mata di tengah dan tidak
terlihat adanya pergerakan meski telah dipanggil dan tubuh pasien diguncang-guncang oleh
ibunya. Tidak terlihat adanya mata yang mendelik ke atas. Mulut pasien terkunci (tidak dapat
membuka) sehingga tidak terdapat respon bicara sama sekali. Badan pasien terlihat kaku,
namun pasien masih dapat bergerak saat ibu pasien mengguncang-guncang tubuh pasien.
Pergerakan pasien tidak terlokalisasi pada daerah guncangan yang dilakukan ibu pasien,
namun hanya berupa menggeliat. Pada pagi harinya, pasien hanya dapat beraktivitas ringan di
dalam rumah seperti menonton televisi dan menggambar. Penurunan aktivitas diakui ibu
pasien muncul sejak pada hari 3 hari SMRS. Pasien terlihat lebih lesu, kurang akitf bermain,
dan malas berjalan. Keluhan kejang disangkal.
Enam hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami demam. Demam tidak
diukur menggunakan termometer, namun berdasarkan perabaan, demam dirasakan naik turun.
Keluhan demam tinggi disangkal pasien karena tidak adanya gejala wajah kemerahan,
menggigil, ataupun berkeringat. Demam berlangsung tiap hari tanpa ada hari bebas demam.
Tidak ada keluhan demam makin meningkat pada malam hari maupun kian hari.
Tujuh hari sebelum masuk rumah sakit, pasien sempat mengeluhkan sakit kepala yang
timbul sepanjang hari dirasakan terutama di belakang kepala seperti ditekan. Rasa sakit
tersebut tidak diperberat oleh aktivitas dan sehingga masih dapat ditahan oleh pasien. Tidak
ada gejala-gejala lain seperti penglihatan kabur, melihat cahaya yang berkedip, kelemahan
otot, kesemutan, ataupun halusinasi yang muncul sebelum sakit kepala timbul. Tidak ada
keluhan sakit pada mata saat melihat sinar. Tidak ada keluhan saat mendengar suara keras.
Tidak ada keluhan nyeri sendi.
Berat badan pasien dirasakan semakin menurun sejak ±5 bulan SMRS, meskipun pola
makan pasien dapat mencapai lebih dari 3 kali sehari. Selama sakit, nafsu makan pasien tidak
menurun. Tidak ada keluhan mual dan muntah. Tidak ada keluhan batuk selama ≥3 minggu,
2
batuk kering/berdahak, sesak atau pilek yang muncul sebelumnya. Keluhan benjolan di
daerah leher, ketiak, maupun lipat paha disangkal. Keluhan pembengkakan tulang/sendi
panggul, lutut atau jari kaki disangkal. Kelainan dan keluhan pada kulit, mata serta telinga
disangkal.
Tidak ada tanda perdarahan spontan seperti mimisan, perdarahan gusi atau muntah
darah. Tidak ada keluhan BAB dan BAK. Tidak ada riwayat jatuh atau terbentur pada daerah
kepala. Tidak ada riwayat konsumsi alkohol atau obat-obatan tertentu.
Selama sakit, pasien sempat pergi ke dokter puskesmas dan mendapatkan pengobatan,
setiap setelah minum obat, demam turun, namun keluhan demam tidak pernah hilang
sepenuhnya. Ketika obat puskesmas habis, pasien membeli obat penurun panas di warung
namun demam tidak kunjung hilang.
Karena kondisinya ini, pasien kemudian dibawa ke IGD lalu dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah dengan kesan Hb menurun (9.6), leukositosis (15.400), dan trombositosis
(600.000), hiperglikemia (GDS= 179). Pasien diberikan tatalaksana (infus, antibiotik, dan
kortikosteroid) sesuai kondisi pasien. Selain itu, telah dilakukan pemeriksaan analisa cairan
serebrospinal dengan hasil menurunnya kadar glukosa cairan (15).
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Pada Oktober 2014 (5 bulan SMRS) pasien pernah didiagnosis memiliki flek paru
oleh dokter (namun tidak dilakukan Tes Mantoux) dan mendapatkan pengobatan
OAT, namun putus obat pada bulan ke-3 karena pasien merasa anaknya telah sembuh,
selain itu tidak pernah dijelaskan bahwa obat tersebut harus diminum pasien selama 6
bulan. Dilakukan pemeriksaan rontgen thorax dengan hasil:
Hasil ekspertise:
Tidak tampak kardiomegali.
Tampal gambaran pneumonia
3
Tidak ada riwayat pernah kejang.
Tidak ada riwayat operasi sebelumnya.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada riwayat keluarga yang mengalami keluhan yang serupa.
Riwayat batuk lama maupun batuk berdarah pada keluarga disangkal.
Tidak ada riwayat keluarga dengan flek paru atau mendapatkan pongobatan OAT
selama 6 bulan.
Tidak ada riwayat anggota keluarga yang dirawat dirumah sakit karena demam
berdarah.
RIWAYAT LINGKUNGAN SEKITAR RUMAH DAN KEBIASAAN
Pasien tinggal bersama 6 orang lainnya dalam satu rumah, yaitu ayah dan ibu
kandung, serta ketiga kakak kandung pasien.
Rumah pasien tidak mempunyai jendela sehingga sinar matahari tidak bisa masuk.
Pasien memiliki sering bermain dengan temannya yang mendapatkan pengobatan
OAT.
Orang tua pasien mengaku tidak pernah mengajarkan kebiasaan harus menutup mulut
ketika batuk atau tidak boleh membuang dahak sembarangan.
Tidak ada riwayat kontak dengan hewan liar.
Tidak ada riwayat bepergian ke daerah endemis.
RIWAYAT MAKANAN
Lahir – 2 tahun : ASI
6 bulan – 1 tahun : ASI ±8 kali/hari dan bubur susu 3x/hari
1 tahun 1 bulan – 2 tahun : Bubur ayam dan nasi tim
>2 tahun – sekarang : Nasi dan lauk pauk >3 kali sehari
RIWAYAT KEHAMILAN, KELAHIRAN, DAN PERKEMBANGAN
Pasien dilahirkan di puskesmas dengan bantuan bidan. Lahir secara spontan per
vaginam. Usia gestasi kurang lebih 9 bulan. Sebelumnya, ibu pasien teratur memeriksakan
kandungannya sebanyak lebih dari 4 kali di puskesmas. Riwayat keputihan, nyeri berkemih
saat mendekati kelahiran, kencing manis, ketuban pecah dini, tekanan darah tinggi, dan
4
demam selama kehamilan seluruhnya disangkal. Riwayat pemakaian obat-obatan,
penggunaan jarum suntik, merokok, minum minuman keras juga disangkal.
Saat lahir, pasien dapat menangis kuat dan langsung diizinkan untuk inisiasi menyusui
dini, warna ketuban dikatakan jernih, dan tidak ada kesulitan selama proses kehamilan dan
kelahiran. Berat badan lahir 2900 gram, panjang badan lahir tidak diingat.
RIWAYAT IMUNISASI
Ibu pasien mengaku pasien mendapatkan imunisasi terakhir ketika berusia 4 bulan.
Diakui adanya pemberian imunisasi hepatitis B dan polio beberapa saat setelah lahir.
Ditemukan skar BCG pada deltoid kanan. Kesan: Status imunisasi tidak lengkap menurut
Departemen Kesehatan.
5
✔
✔
✔✔
✔✔
✔
✔✔
RIWAYAT TUMBUH KEMBANG
Kuesioner Praskrining Perkembangan untuk anak 6 tahun, menggunakan kuesioner untuk
anak 72 bulan:
No. Pemeriksaan Hasil
1
Apakah anak menunjuk ke empat warna dengan benar?
Ya
2Apakah anak dapat melompat 2-3 kali dengan satu kaki? Ya
3Apakah anak dapat berpakaian sendiri tanpat bantuan? Ya
4Ketika diberikan perintah untuk membuat gambar orang, apakah anak menggambar sedikitnya 3 bagian tubuh?
Ya
5Apakah anak dapat menggambar sedikitnya 6 bagian tubuh? Ya
6
Anak diberikan kalimat yang belum diselesaikan, apakah anak menjawab dengan benar?- “Jika kuda besar maka tikus…- "Jika api panas maka es …- "Jika ibu seorang wanita maka ayah seorang …
Ya
7Apakah anak dapat menangkap bola kecil sebesar bola tenis/bola kasti hanya dengan menggunakan kedua tangan?
Ya
8Dapatkah anak mempertahankan keseimbangan dalam waktu 11 detik atau lebih? Ya
9
Apakah anak dapat menggambar seperti di contoh?
Ya
10 Apakah anak dapat menjawab 3 pertanyaan di bawah dengan benar?- “Sendok dibuat dari apa?”
Ya
6
- “Sepatu dibuat dari apa?”- “Pintu dibuat dari apa?”
Kesan: perkembangan anak sesuai usia menurut KPSP (Kuesioner Praskrining
Perkembangan)
Status Gizi
Berat badan : 15 kg
Panjang badan : 109 cm
Lingkar Kepala : 47 cm
Lingkar Lengan Atas : 12 cm
Head Circumference For Age:
4751 x 100% = 92% (<-2 SD)
[2010 United State head circumference growth reference chart]
7
8
Weight For Age: 1520 x 100% = 75% (<p3)
Kesan : Status pertumbuhan kurang menurut CDC
9
Height For Age: 109114 x 100% = 95% (p10-p25)
Kesan : Status pertumbuhan cukup menurut CDC
10
Weight For Height : 1518 x 100% =83% (<p3)
Kesan : Status pertumbuhan kurang menurut CDC
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : Stupor
GCS : E1M3V1 = 5
Tanda-Tanda Vital :
Tekanan Darah : 108/56 mmHg (p5=77/41; p50= 96/55 mmHg; p99= 121/82)
Nadi : 100 kali/menit (65-110 kali/menit) teratur, kuat, penuh
RR : 24 kali/menit (20-25 kali/menit) teratur
Suhu : 36,6oC (36,5-37,5oC)
Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephali, deformitas –
11
Wajah : simetris
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera putih, pupil isokor 3mm/3mm, mata
cekung -/-
Hidung : septum nasi di tengah, sekret -/-, hiperemis konka -/-, perdarahan
mukosa (-), pernapasan cuping hidung (-)
Telinga : meatus akustikus eksternus +/+, serumen +/+, sekret -/-
Mulut : mukosa oral dan bibir kering, perdarahan gingival (-), ptechiae
palatum (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
Leher : trakea di tengah, massa (-), pembesaran KGB (+) terletak
supraklavikular dengan bentuk oval, jumlah 1 buah, diameter 1,5cm,
batas tegas, konsistensi padat kenyal, permukaan rata, mobil
terhadap kulit dan jaringan dibawahnya, undulasi (-).
Thorax
Paru: I: gerak napas tampak simetris dalam keadaan statis dan dinamis,
retraksi (-)
P: gerak napas teraba simetris dalam keadaan statis dan dinamis
P: sonor pada kedua lapang paru
A: bunyi napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung: I : ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis tidak teraba
P: batas kanan = interkostal 4 linea sternalis dextra
batas atas = interkostal 3 linea parasternalis sinistra
batas kiri = interkostal 5 linea midklavikularis sinistra
A: bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: I: tampak datar
P: supel, hepatosplenomegali (-), nyeri tekan (-), undulasi (-), shifting
dullness (-), defance muscular (-)
P: timpani pada seluruh regio abdomen
A: bising usus (+) 3-4 kali/menit
Punggung : Alignment vertebra baik.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, ruam (-), bintik kemerahan (-),
hematom (-)
12
Kulit : turgor kulit baik, ikterik (-)
Genitalia : labia mayora menutupi labia minora
Pemeriksaan Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : +
Brudzinki 1 : -/-
Brudzinki 2 : -/-
Kernig : +/+
Pemeriksaan Saraf Kranial
N.I : kemampuan menghidu sulit dinilai karena pasien incompos mentis.
N.II : pemeriksaan visus dan lapang pandang sulit dinilai karena pasien
incompos mentis. Pemeriksaan funduskopi tidak dilakukan.
N.III, IV, VI : mata terfiksasi ke satu titik (kanan bawah), non-reaktif,
reflex cahaya langsung dan tak langsung ↓/↓N. V : reflex kornea -/-
N.VII : wajah simetris, ekspresi wajah terhadap rangsang nyeri (-)
N.VIII : tidak responsif terhadap rangsang suara
N.IX, X : refleks telan (-) reflex muntah tidak dinilai
N.XI : otot sternocleidomastoideus dan trapezius tidak atrofi
N.XII : kesimetrisan lidah, pergerakan lidah, atrofi papil, fasikulasi tidak
sulit dinilai
Pemeriksaan Motorik: Tonus otot keempat ekstremitas: hipertonus
Kekuatan motorik 2222 2222
1111 1111
Refleks Fisiologis
Biceps : +/+ (normorefleks)
Triceps : +/+ (normorefleks)
Patella : +/+ (normorefleks)
Achilles : +/+ (normorefleks)
Refleks Patologis
Hoffman Tromner : -/-
Babinski : +/+
Chaddox : +/+
Schaeffer : -/-
13
Pemeriksaan Klonus: -/-
Pemeriksaan Koordinasi Gerak: sulit dinilai
Pemeriksaan Sistem Otonom
Miksi : terpasang kateter
Defekasi : belum BAB selama 2 hari
Sekresi keringat : (+)
Fungsi luhur
Afasia motorik : sulit dinilai
Afasia sensorik : sulit dinilai
Daya ingat : sulit dinilai
Apraksia : sulit dinilai
Tanda regresi
Refleks glabella : (-)
Refleks mencucu : (-)
Refleks genggam : (-)
Skoring TB
Skoring TB sementara didapatkan sebesar 2. (Belum dilakukan Tes Mantoux dan
Pemeriksaan Rontgen paru)
14
RESUME
Pasien anak perempuan usia 6 tahun datang dengan keluhan utama penurunan
kesadaran sejak 1 hari SMRS. Mata pasien terbuka, tatapan kosong, mulut terkunci, badan
kaku, gerakan minimal, tidak responsif terhadap suara. Keluhan kejang disangkal. Sebelum
kejadian, pasien beraktivitas seperti biasa. 7 hari SMRS pasien mengeluhkan sakit kepala dan
demam yang naik turun, berlangsung tiap hari tanpa ada hari bebas demam, tidak meningkat
pada malam hari maupun kian hari. Pasien mendapatkan pengobatan dari dokter namun
keluhan demam tidak kunjung hilang. Berat badan pasien turun. Keluhan pada anggota tubuh
lainnya disangkal. Pasien pernah mendapatkan pengobatan OAT, namun putus obat saat
memasuki bulan ketiga. Terdapat riwayat kontak dengan anak lain yang sedang mendapatkan
OAT.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
Status gizi kurang menurut CDC
Kesadaran: Stupor dengan GCS: E1M3V1 = 5
Limfadenopati supraklavikular (1 buah, bentuk bulat, diameter 1,5cm, batas tegas,
konsistensi padat kenyal, permukaan rata, mobil terhadap kulit dan jaringan
dibawahnya, undulasi (-))
Tanda Rangsang Meningeal: Kaku kuduk + dan Kernig sign +/+
Pemeriksaan Saraf Kranial: abnormalitas N. III, IV, V, VI
Pemeriksaan Motorik: Keempat ekstremitas hipertonus, kekuatan otot menurun.
Reflex Patologis Babinski, Chaddox +/+
DIAGNOSA KERJA
Meningoensefalitis Tuberkulosa stadium III
Status gizi kurang menurut CDC
Status imunisasi tidak lengkap menurut Departemen Kesehatan
DIAGNOSA BANDING
15
Meningoensefalitis Bakterial
Meningoensefalitis Viral
SARAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
eritrosit, indeks eritrosit, LED)
Pemeriksaan elektrolit (natrium dan klorida)
Kultur darah
Lumbal pungsi (analisis dan kultur CSF)
Rontgen Thorax
Tes Mantoux
CT-scan Kepala
TATALAKSANA UMUM
Rawat dalam PICU.
Pantau kesadaran, demam, dan tanda-tanda vital.
Pantau keadaan neurologis.
Menghindari peningkatan tekanan intracranial dengan mempertahankan posisi
penderita setengah duduk dengan mengangkat kepala setinggi 20-30°C dalam posisi
netral.
TATALAKSANA KHUSUS
IVFD Kaen MG3 46cc/24 jam
Ceftriaxone 2 x 750 mg IV (~100mg/kgBB/hari)
Streptomycin 1x 300 mg (~20mg/kgBB/hari)
Dexamethasone 3 x 3mg IV (~0,6mgBB/kg/hari)
Ranitidin 2x12 mg
Phental 300mg 2x30mg bila kejang
OAT 1 x 1 via NGT
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
16
Quo ad functionam : malam
BAB II
ANALISA KASUS
Diagnosa kerja dari kasus ini adalah Meningoensefalitis Tuberkulosa, karena:
Pada anamnesa ditemukan:
Keluhan utama berupa penurunan kesadaran yang merupakan tanda disfungsi SSP.
Adanya gejala demam, sakit kepala, letargi yang menandakan terjadinya inflamasi
meningens.
Demam yang berlangsung lebih dari 5 hari dengan karakteristik demam yang naik
turun, namun tidak pernah sangat tinggi dan berlangsung tiap hari tanpa hari bebas
demam.
Riwayat berat badan yang tidak kunjung meningkat.
Riwayat putus pengobatan OAT dalam waktu 5 bulan SMRS.
Buruknya ventilasi dan masukan sinar matahari di rumah tinggal pasien.
Terdapat riwayat kontak dengan anak lain dengan pengobatan TB.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan:
Kesadaran: Stupor dengan GCS: E1M3V1 = 5.
Limfadenopati supraklavikular (1 buah, bentuk bulat, diameter 1,5cm, batas tegas,
konsistensi padat kenyal, permukaan rata, mobil terhadap kulit dan jaringan
dibawahnya, undulasi (-)), yang sugestif sebagai penyebaran kuman tuberculosis pada
KGB.
Tanda Rangsang Meningeal: Kaku kuduk + dan Kernig sign +/+, yang menandakan
adanya infeksi pada SSP.
Pemeriksaan Saraf Kranial: abnormalitas N. III, IV, V, VI, menunjukkan adanya
proses inflamasi pada batang otak.
Pemeriksaan Motorik: Keempat ekstremitas hipertonus, kekuatan otot menurun.
Reflex Patologis Babinski, Chaddox +/+
Namun, kemungkinan Meningoensefalitis Bakterial masih belum dapat disingkirkan, karena:
17
Gejala meningitis bukan merupakan gejala yang khas untuk satu etiologi tertentu.
Gejala meningoensefalitis bakterialis sama dengan gejala meningoensefalitis
tuberkulosa.
Sehingga perlu didukung pemeriksaan penunjang berupa:
Pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
eritrosit, indeks eritrosit, LED) Pada meningoensefalitis TB sering ditemukan
leukosit yang meningkat (10.000-20.000 sel/mm3)
Pemeriksaan elektrolit Untuk memantau komplikasi yang sering terjadi pada
penyakit ini yaitu hyponatremia dan hipokloremia karena sekresi hormone antidiuretic
yang tidak adekuat.
Tes Mantoux, diharapkan didapatkan indurasi >10mm (uji tuberculin +)
Lumbal pungsi (analisis dan kultur CSF) dari parameter glukosa, protein, sel darah
putih, dan hitung jenis, untuk mendukung diagnosis TB diharapkan didapatkan hasil:
o Liquor serebrospinal ayng jernih, cloudy atau xantokrom.
o Jumlah sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500
sel/mm3, hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal
dapat dominan polimorfonuklear
o Protein meningkat di atas 100 mg/dL sedangkan glukosa menurun di bawah
35 mg/dL, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal.
Rontgen Thorax, diharapkan ditemukan gambaran sugestif TB paru.
CT-scan Kepala, untuk melihat adanya lesi parenkim pada basal otak, infark,
tuberkuloma, maupun komplikasi yang dapat timbul seperti hidrosefalus.
ANAMNESIS
Analisa Makna dalam diagnosa
Penurunan kesadaran 1 hari SMRS,
mata terbuka namun terlihat kosong,
bergerak minimal (hanya menggeliat),
tidak responsif terhadap suara
Pada anamnesis penurunan kesadaran perlu
dievaluasi keadaan mata, verbal dan motorik
pasien untuk dapat memperkirakan nilai GCS.
Pada pasien ini diperkirakan E1M3V1 = 5.
Adanya penurunan kesadaran juga mengarah ke
diagnosa meningoensefalitis, bukan hanya
meningitis karena pusat kesadaran tidak terdapat di
18
meningens, sehingga apabila telah terjadi
penurunan kesadaran berarti struktur otak telah
ikut terganggu.
Sakit kepala dan demam Gejala sakit kepala, demam, anorexia, dan muntah
merupakan gejala prodromal yang sering timbul
pada anak-anak yang lebih besar, sementara pada
anak yang lebih kecil gejala yang lebih sering
muncul adalah failure to thrive, muntah, gangguan
pola tidur, dan nafsu makan kurang.
Adanya sakit kepala dapat juga merupakan salah
satu tanda peningkatan tekanan intrakranial yang
terjadi karena proses inflamasi pada otak.
Tidak dikeluhkan adanya kaku leher,
muntah, sensitivitas terhadap cahaya,
nyeri sendi. Kejang disangkal.
Gejala lain yang dapat muncul pada meningitis
berupa kaku leher, muntah, sensitivitas terhadap
cahaya, nyeri sendi, mengantuk, dan kejang.
Tidak ada keluhan batuk, pilek, diare,
muntah, keluhan pada telinga dan mata
yang mendahului keluhan utama.
Keluhan saluran napas dan saluran cerna yang
mendahului gejala meningitis dapat mengarahkan
ke diagnosis meningitis bakterialis. Namun dengan
tidak adanya keluhan ini saja masih belum dapat
menyingkirkan kemungkinan diagnosis meningitis
bakterialis, oleh karena itu penyakit ini masih
dimasukkan ke dalam diagnosis banding.
Berat badan pasien menurun Berat badan yang turun menandakan adanya proses
infeksi kronis.
Tidak adanya tanda perdarahan spontan
seperti epistaksis, gusi mudah berdarah
tanpa trauma, dan adanya hematom
tanpa trauma.
Hal ini ditanyakan untuk menyingkitkan adanya
kemungkinan perdarahan spontan yang dapat
terjadi pada penderita demam dengue akibat
trombositopenia yang terjadi. Kemungkinan
adanya demam berdarah dengue ditanyakan untuk
menyingkirkan diagnosis banding ensefalitis
dengue.
19
Tidak ada keluhan pada KGB, kulit,
tulang dan sendi, saluran pencernaan,
dan saluran kencing.
Keluhan TB paru ekstrapulmonal ditanyakan untuk
mengetahui proses infeksi yang telah terjadi pada
pasien serta penting dalam penentuan terapi.
Tidak ada riwayat jatuh terbentur pada
daerah kepala atau konsumsi alkohol
dan obat-obatan.
Keluhan ini ditanyakan untuk menyingkitkan
gejala penurunan kesadaran yang disebabkan oleh
trauma atau konsumsi obat-obatan.
Terdapat riwayat putus pengobatan
OAT
Riwayat ini mendukung diagnosis
meningoensefalitis TB karena penyakit ini sering
menjadi komplikasi pada penyakit TB yang tidak
ditatalaksana secara tuntas.
Riwayat keluarga dengan flek paru atau
pengobatan OAT
Salah satu kunci diagnosis dari infeksi tuberculosis
adalah dengan mengidentifikasi dewasa dengan
infeksi TB yang memiliki kontak dengan pasien.
Rumah dengan ventilasi yang sedikit
dan sedikitnya akses sinar matahari ke
dalam rumah
Faktor risiko penularan infeksi TB adalah ventilasi
yang kurang, karena secara bakteriologi kuman TB
mati pada
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran: Stupor dengan GCS:
E1M3V1 = 5.
Meningtis tuberkulosis terjadi karena adanya
pembentukan metastatic caseous lesion pada
korteks serebral atau meningen yang berkembang
melalui penyebaran lymphohematogenous dari
infeksi primer. Lesi awal adalah biasanya
membesar dan terdapat mengeluarkan sejumlah
kecil basil tuberkel ke ruang subarakhnoid. Hal ini
menyebabkan adanya gelatinous exudate yang
menginfiltrasi pembuluh darah corticomeningeal,
sehingga menyebabkan inflamasi, obstruksi, dan
infark korteks serebri, sehingga terjadinya proses
penurunan kesadaran sesuai yang ditemukan pada
pasien dalam kasus ini.
Limfadenopati supraklavikular (1 buah,
bentuk bulat, diameter 1,5cm, batas
tegas, konsistensi padat kenyal,
permukaan rata, mobil terhadap kulit
Tuberkulosis nodus limfatikus merupakan bentuk
tuberkulosis ekstrapulmoner yang paling sering
terjadi pada anak. Kasusnya biasnaya terjadi dalam
6-9 bulan setelah infeksi inisial M. tuberculosis.
20
dan jaringan dibawahnya, undulasi (-)),
yang sugestif sebagai penyebaran
kuman tuberculosis pada KGB.
Keterlibatan KGB tonsillar, servikalis anterior,
submandibular, dan supraklavikular umumnya
sebagai penyebaran sekunder dari lesi primer pada
lapang paru atas atau abdomen. Karakteristik dari
nodus yang ditemukan berbatas tegas, padat,
terfiksasi pada jaringan dibawahnya dan timbulnya
unilateral.
Gambaran di atas cocok pada pasien dalam kasus
ini.
Tanda Rangsang Meningeal: Kaku
kuduk + dan Kernig sign +/+
Fleksi pasif pada leher meregangkan akar saraf
melalui mengens yang terinflamasi, sehingga
menimbulkan rasa sakit dan gerakan fleksi pada
ekstremitas bawah. Munculnya tanda rangsang
meningeal, menandakan adanya proses inflamasi
pada meningens.
Pemeriksaan Saraf Kranial:
abnormalitas N. III, IV, V, VI
Berdasarkan patofisiologinya, batang otak
merupakan tempat tersering yang terkena proses
infeksi tuberkulosa sehingga terjadi disfungsi saraf
kranial III, VI, dan VII.
Reflex Patologis:
Babinski, Chaddox +/+
Tanda Babinski dikatakan patologis apabila timbul
gerak dorsofleksi pada ibu jari kaki akibat
kontraksi dari otot ekstensor hallicus longus yang
sinkron dengan gerak reflex dari otot fleksor
lainnya. Dengan ditemukannya hasil positif pada
Tanda Babinski, menandakan bahwa terjadi proses
disfungsi UMN pada otak atau spinal cord.
Umumnya temuan ini jarang berdiri sendiri dan
sering ditemukan bersamaan dengan tanda lesi
UMN lainnya seperti spastisitas, hiperrefleks dan
disfungsi traktus piramidalis.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht,
leukosit, hitung jenis leukosit,
trombosit, eritrosit, indeks eritrosit,
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang
menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama
21
LED) dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat
penting sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan biologik penderita,
sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan
sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita.
Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan
biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam
keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat
pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.
Limfositpun kurang spesifik.
Pemeriksaan elektrolit (natrium dan
klorida)
Pemeriksaan elektrolit diperlukan untuk memantau
adanya komplikasi Syndrome Inappropriate
Antidiuretic Hormone (SIADH). Diagnosis SIADH
ditegakkan jika terdapat kadar natrium serum yang
<135 mEq/L (135 mmol/L), osmolaritas serum
<270 mOsm/kg, osmolaritas urin > 2 kali
osmolaritas serum, natrium urin > 30 mEq/L (30
mmol/L) tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi atau
hypovolemia.
Lumbal pungsi (analisis dan kultur
CSF)
Kultur cairan serebrospinal masih menjadi gold
standard dalam penentuan etiologi dari meningitis.
Pemeriksaan ini sangat penting dilakukan untuk
menentuan terapi yang adekuat. Pemeriksaan ini
harus meliputi hitung sel, hitung jenis, konsentrasi
glukosa, dan pengukuran protein. Pada infeksi
tuberculosis ditemukan:
Jumlah sel meningkat antara 10-250 sel/mm3
dan jarang melebihi 500 sel/mm3, hitung jenis
predominan sel limfosit walaupun pada
stadium awal dapat dominan
polimorfonuklear
Protein meningkat di atas 100 mg/dL
22
sedangkan glukosa menurun di bawah 35
mg/dL, rasio glukosa LCS dan darah dibawah
normal.
Perbedaan meningitis tuberculosis dan bacterial
dapat dilihat dari hitung jenisnya. Pada pasien ini
hasil LCS menunjukkan adanya penurunan glukosa
dan peningkatan kadar protein.
Tes Mantoux Uji tes mantoux yang posited menunjukkan adanya
infeksi TB dan kemungkinan TB aktif (sakit TB)
pada anak. Reaksi uji uberkulin positif biasanya
bertahan lama hingga bertahun-tahun. Pada pasien
ini disarankan untuk pemeriksaan Tes Mantoux
untuk menunjang penegakkan diagnosis, dan
karena pada pasien ini bekum pernah dilakukan tes
ini sebelumnya.
CT-scan Kepala Pemeriksaan pencitraan dapat menunjukkan lesi
parenkim pada daerah basal otak, infark,
tuberkuloma, maupun hidrosefalus. Pemeriksaan
ini dilakukan jika ada indikasi, terutama jika
dicurigai terdapat komplikasi hidrosefalus
Rontgen Thorax Sugestif TB paru (aktif)
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umum) atau bilateral
(jarang)Sugestif TB Paru (inaktif)
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
Kalsifikasi atau fibrotik Kompleks ranke Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau
penebalan pleuraGambaran Destroyed Lung
Atelektasis Multikaviti Fibrosis parenkim paru
23
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Epidemiologi
Kasus TB juga banyak menjangkit kelompok anak usia 0-14 tahun, terutama di
negara berkembang. Jumlah kasus TB anak diperkirakan mencapai 5-6% dari total kasus
TB dewasa. Pada tahun 2010, angka kasus TB anak pada bawah usia 15 tahun di negara
berkembang dapat mencapai 15%. Tuberkulosis anak merupakan masalah penting,
khususnya di negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun
mencapai 40-50% dari seluruh populasi.
Pada tahun 2011, WHO menyatakan terdapat 500.000 anak menderita TB dan
64.000 di antaranya meninggal. Pada tahun 2013, 9 juta orang menderita TB dan 1.5 juta
di antaranya meninggal dunia. Diperkirakan 550.000 anak terjangkit TB dengan angka
kematian mencapai 80.000 kasus. Di Indonesia, proporsi kasus TB anak mencapai 9,4%
dari seluruh kasus TB dan menurun menjadi 8,2% kasus pada tahun 2012.
Sekitar 70-80% TB pada anak terjadi intrapulmoner. Bayi dan anak kecil
merupakan kelompok dengan risiko tinggi mengalami penyebaran TB, seperti TB milier
ataupun meningitis TB yang berisiko tinggi menyebabkan kematian, terutama pada anak
usia kurang dari 4 tahun. Pada anak, kuman TB lebih mudah menyebar melalui aliran
darah sehingga meningkatkan risiko terjadinya penyebaran TB ekstra pulmonal.
3.2 Definisi dan Faktor Risiko
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Tingginya angka kejadian TB dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain diagnosa yang tidak tepat, pengobatan yang tidak adekuat, program
penanggulangan tidak dilakukan dengan tepat, infeksi endemik HIV, migrasi penduduk,
mengobati diri sendiri, meningkatnya kemiskinan, serta pelayanan kesehatan yang
kurang memadai.
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB. Faktor ini
dibedakan menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi
penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB pada anak adalah riwayat terpajan dengan
orang dewasa yang TB aktif, tinggal di daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang
tidak bersih, serta tinggal di tempat penampungan umum yang banyak tedapat penderita
24
TB. Risiko terjadinya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak juga lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut memiliki sputum BTA positif, infiltrat luas atau kavitas pada
lobus atas, sputum banyak dan encer, batuk yang produktif dan kuat, serta faktor
lingkungan yang tidak bersih dan sirkulasi udara yang tidak baik.
Salah satu faktor risiko terjadinya penyakit TB pada anak adalah usia. Anak
berusia kurang dari 5 tahun memiliki risiko kebih besar terkena penyakit akibat sistem
imun yang masih imatur. Faktor risiko lain adalah infeksi baru yang ditandai dengan
adanya konversi uji tuberkulin dalam 1 tahun terakhir (newly converter), malnutrisi,
kondisi imunosupresi, diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik.
3.2 Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup
dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di
dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB
membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak
di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe
parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
25
masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama
2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut,
kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat
tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular
mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami
fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus
primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
26
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk
ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman
TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan
gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh,
bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru,
limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut
tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya.
Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat
mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut
TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang
beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena
tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar
di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan
dengan acute generalized hematogenic spread.
27
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread). Kuman TB
kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini
berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen)
atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut
TB tipe dewasa (adult type TB)
3.3 Diagnosis TB pada anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
28
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.
Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit selain TB.
1. Gejala Sistemik
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure
to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
2. Gejala Spesifik terkait Organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, yaitu
:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran
KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan
kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
29
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi
ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai
bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas
dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
3. Pemeriksaan Penunjang pada Anak
TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang
lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium
tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan
pleura ataupun biopsi jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang
terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi
jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak
dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi.
Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO
untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes
telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan
penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan
mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen.
Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung
selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain
30
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang
dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan
gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.
Tes Tuberkulin
Tes tuberkulin (Tuberculin Skin Test / TST) masih merupakan tes yang umum
dilakukan untuk menegakkan diagnosis TB dengan sensitivitas dan spesifitas
mencapai 90%. Dahulu, TST dilakukan dengan uji Heaf atau uji Tine. Pada uji ini,
dilakukan penusukan multipel dengan aplikator yang dilapisi reagen tuberkulin yag
dikeringkan atau alat serupa yang dilapisi cairan tuberkulin sebelum aplikasi.
Aplikator ditekan ke kulit dan pembacaan dilakukan setelah 48 dan 72 jam. Jika
muncul papul – papul, dicatat diameter yang paling besar. Jika muncul vesikel,
dilakukan pencatatan terpisah dan dinilai sebagai tes positif. Jika beberapa papu
menyatu, dicatat area indurasi yang terbesar. Namun, uji ini perlu dikonfirmasi
dengan uji Mantoux. Oleh karena itu, uji mantoux dijadikan pilihan utama dalam
screening tuberkulosis.
TST dengan cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan PPD (purified
protein detivate). Potensi dari PPD diukur dalam satuan tuberculin units (TU) tyang
menggambarkan reaktivitasnya. Dosis standar PPD adalah 5 TU per 0,1 ml, yang
disuntikkan secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-
72 jam setelah penyuntikkan. Jika disuntikkan kepada orang yang telah terinfeksi TB,
maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di tempat penyuntikkan akibat proses
vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan akumulasi sel radang.
Pengukuran dilakukan dengan melihat indurasi yang muncul, bukan area
hiperemis. Indurasi diukur dengan palpasi tepi indurasi, ditandai dengan pulpen, dan
mengukur diameter indurasi tersebut dalam satuan millimeter. Salah satu teknik yang
dapat digunakan dalam mengukur indurasi adalah metode Sokal ballpoint pen. Teknik
ini menggunakan pen yang digerakkan di atas area yang diperiksa untuk menilai
adanya indurasi. Garis digambarkan dari suatu titik 1 hingga 2 cm dari tepi ke arah
tengah. Teknik ini dapat mengurangi perbedaan pembacaan TST per individu.17 Selain
ukuran indurasi, perlu dinilai juga tebal tipisnya indurasi, atau jika ditemukan vesikel
hingga bula. Secara umum, hasil TST dianggap positif jika indurasi mencapai 10
31
mm. Walaupun pada anak usia bawah 5 tahun, masih mungkin hasil positif tersebut
dipengaruhi oleh pemberian vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin). Oleh karena itu,
pada kelompok usia ini, hasil TST dianggap positif jika 10-14 mm dan jika indurasi
15mm dianggap sangat positif merupakan reaksi dari TB alamiah. Pada pembacaan
hasil TST pada anak usia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.
Bila diameter indurasi 0-4 mm, maka TST dinyakatan negatif. Diameter 5-9
mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan ole kesalahan teknis,
keadaan anergi, ataupun reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang
meragukan, uji TST dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin,
ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dengan lokasi penyuntikkan yang berbeda,
minimal berjarak 2 cm dari lokasi penyuntikkan sebelumnya.
Tabel 2. Hasil pembacaan uji TST
Pembacaan Indurasi Penafsiran
Negatif 0 – 4 Tidak ada infeksiDalam masa inkubasiAnergi
Positif meragukan 5 – 9 Infeksi M. atipikBCGInfeksi TB alamiahKesalahan teknis
Positif 10 – 14 Infeksi TB alamiahBCGInfeksi M. atipik
15 Sangat muungkin infeksi TB alamiah
*pada keadaan gangguan imun, hasil 5mm dapat dikatakan positif. Pengaruh BCG dapat diabaikan pada
anak usia >5 tahun
Pada kondisi tertentu, pembacaan TST dilakukan dengan menggunakan tolok
ukur berbeda. Pada pasien dengan gangguan imunitas, hasil positif dinyatakan jika
terdapat indurasi 5 mm. Hal ini dapat ditemukan pada pasien dengan gizi buruk,
infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau pasien yang mengkonsumsi obat
imunosupresan jangka panjang ( 2 minggu). Pada anak yang mengalami kontak erat
dengan pasien TB dewasa aktif BTA positif juga menggunakan batas 5mm. Uji TST
juga sebaiknya tidak dilakukan dalam 6 minggu setelah imunisasi MMR dan varisela
karena dapat terjadi anergi dan mengacaukan pembacaan hasil TST.
32
Tabel 3. Pembacan TST positif pada anak
Indurasi ≥5 mmAnak yang memiliki riwayat kontak erat dengan pasien TB aktifAnak dicurigai sakit TB:
• Temuan radiologi toraks sesuai dengan gambaran penyakit TB aktif atau TB lama• Bukti klinis penyakit TB aktif• Anak yang sedang mendapatkan terapi imunosupresif atau dalam kondisi
imunosupresif, seperti infeksi HIV
Indurasi ≥10 mmAnak berisiko sakit TB diseminata:
• Anak usia < 4 tahun• Anak dengan penyakit Hodgkin, limfoma, diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, atau
malnutrisiAnak berisiko sakit TB:
• Anak yang lahir di daerah endemis TB• Anak yang terpapar dengan pasien HIV, tunawisma, pengguna obat-obatan, penghuni
panti, narapidana• Anak yang bepergian ke daerah endemis TB
Indurasi ≥15 mmAnak lebih dari 4 tahun tanpa faktor risiko
Uji TST masih memiliki kelemahan. Pada pemeriksaan TST, pasien harus
datang dua kali, yaitu pada saat penyuntikan dan pada saat pembacaan. Selain itu,
TST tidak dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB, terlebih karena adanya
kemungkinan cross- reaction dengan BCG. Oleh karena itu, dilakukan pemeriksaan
serologis berupa uji interferon atau interferon gamma release assay (IGRA). Prinsip
pemeriksaan ini adalah stimulasi limfosit T yang telah tersensitisasi antigen TB untuk
menghasilkan IFN- yang kemudian dikalkulasi untuk membedakan antara infeksi
dan sakit TB. Terdapat dua jenis pemeriksaan IGRA, yaitu inkubasi darah dengan
Early Secretory Antigenic Target – 6 (ESAT – 6) dan Culture Filtrate Protein – 10
(CFP – 10) dengan nama dagang Quantiferon TB yang mengukur kadar IFN- dalam
darah. Jenis kedua adalah dengan pemeriksaan Enzyme-linked Immuno spot dengan
nama dagang T-spot TB yang mengukur jumlah limfosit yang memproduksi IFN-.
4. Sistem Skoring
33
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh
para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai
salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di
fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan
agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang
sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular
mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT
(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat
terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka
OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka
sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Tabel 1. Sistem skor TB pada anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga BTA (-) / BTA
tidak jelas / tidak tahu
BTA (+)
Uji tuberculin(Mantoux)
Negatif Positif (10 mm atau 5 mm
pada imunosupresi)
34
Berat badan / keadaan gizi
BB/TB <90% atau BB/U <80%
Klinis gizi buruk atau BB/TB<70% atau BB/U <60%
Demam yang tidak diketahui penyebabnya
2 minggu
Batuk kronik 3 minggu
Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal
1 cm, lebih dari 1 KGB, tidak
nyeri
Pembengkakan tulang / sendi panggul, lutut, falang
Ada pembengkakan
Foto toraks Normal / kelainan
Gambaran sugestif
(mendukung) TB
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis
hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau
dari hasil laboratorium.
Penentuan status gizi:
Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment
opname).
Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk
anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak
usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.
Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.
Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan
pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa: pembesaran
kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi
segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
Penegakan Diagnosis
35
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Pelimpahan wewenang
terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk
menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman
Nasional.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
3.4 Algoritma Tatalaksana TB pada Anak
36
Keterangan :
(*) Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring
(**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila ditemukan
skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis lainnya pada
fasilitas kesehatan yang tidak tersedia uji tuberkulin
3.5 Tuberkulosis pada Keadaan Khusus
Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal
dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun menimbulkan
kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang berat seperti TB
meningitis, TB milier, TB Tulang/Sendi, TB Kelenjar, TB Pleura, TB Kulit, TB
Abdomen, TB Mata, TB Ginjal, TB Jantung. Pada bagian ini akan dibahas mengenai
meningitis dan ensefalitis TB.
1. TB Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada Sistem Saraf
Pusat (SSP) yang sering ditemukan pada anak akibat penyebran bakteri secara
hematogen atau limfogen, dan merupakan TB dengan gejala klinis berat yang dapat
mengancam nyawa, atau meninggalkan gejala sisa pada anak. Meningitis tuberkulosis
merupakan komplikasi dari sekitar 0,3% pasien tuberkulosis anak yang tidak diobati.
Paling sering menyerang pada usia antara 6 bulan sampai 4 tahun. Kadang-kadang
meningitis tuberkulosis terjadi beberapa tahun setelah infeksi, ketika terjadi ruptur
satu atau lebih subependymal tuberkel sehingga basil tuberkel masuk ke dalam ruang
subaraknoid. Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala,
diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika terdapat bukti bahwa
anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif. Apabila ditemukan gejala-
gejala tersebut, harus segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada
keadaan ini, diagnosis dengan sistem skoring tidak direkomendasikan.
Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
dilengkapi dengan uji tuberkulin, laboratorium darah serta pengambilan cairan
37
serebrospinal untuk dianalisis. Apabila didapatkan tanda peningkatan tekanan
intrakranial seperti muntah-muntah dan edema papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT
Scan kepala atau MRI, untuk mencari kemungkinan komplikasi seperti hidrosefalus.
Apabila keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati masa kritis, maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan kesehatan
primer.
A. Patofisiologi
Meningtis tuberkulosis terjadi karena adanya pembentukan metastatic caseous
lesion pada korteks serebral atau meningen yang berkembang melalui penyebaran
lymphohematogenous dari infeksi primer. Lesi awal adalah biasanya membesar dan
terdapat mengeluarkan sejumlah kecil basil tuberkel ke ruang subarakhnoid. Hal ini
menyebabkan adanya gelatinous exudate yang menginfiltrasi pembuluh darah
corticomeningeal, sehingga menyebabkan inflamasi, obstruksi, dan infark korteks
serebri. Brainstem merupakan tempat tersering yang terkena sehingga terjadi
disfungsi saraf kranial III, VI, dan VII. Eksudat juga menyebabkan gangguan aliran
CSF pada sistem ventrikular pada level basilar cistern sehingga menyebabkan
communicating hydrocephalus. Kombinasi vaskulitis, infark, edema serebri, dan
hidrosefal;us menyebabkan kerusakan yang berat yang terjadi dengan cepat atau
perlahan-lahan.
B. Manifestasi klinis
Perkembangan klinis meningitis tuberkulosis dapat timbul secara cepat atau perlahan-
lahan. Perkembangan yang cepat biasanya cenderung terjadi pada bayi dan anak
muda, dimana muncul gejala hanya beberapa hari sebelum terjadinya hidrosefalus
akut, kejang, dan edema serebri. Kebanyakan gejala dan tanda berkembang dengan
perlahan dalam beberapa minggu dan dibagi ke dalam 3 stadium:
a. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal). Stadium
ini biasanya berlangsung 1 - 2 minggu dengan gejala yang tidak khas, seperti
adanya demam, sakit kepala, rewel, drowsiness, malaise, tanda neurologis fokal
tidak ditemukan, tetapi pada bayi dapat terjadi stagnasi atau hilangnya tahap
perkembangan pada milestone. Prognosisnya masih baik
b. Stadium II. Biasanya timbul lebih mendadak, dengan gejala letargi, nuchal
rigidity, kejang, Kernig atau Brudzinski sign positif, hipertonia, muntah, cranial
38
nerve palsies dan tanda neurologi fokal lainnya. Perkembangan manifestasi klinis
berhubungan dengan pekembangan hidrosefalus, peningkatan tekanan
intrakranial, dan vaskulitis. Beberapa anak tidak ada kejadian iritasi meningeal,
tetapi ada tanda ensefalitis misalnya disorientasi, gangguan pergerakan, atau
gangguan bicara.
c. Stadium III. Gejalanya meliputi kesadaran yang semakin menurun hingga koma,
ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, pupil terfiksasi,
pernapasan ireguler disertai peningkatan suhu tubuh, ekstremitas spastis. Dapat
juga terjadi hemiplegia atau paraplegia, hipertensi, postur deserebrasi, perubahan
tanda vital hingga kematian. Pasien yang bertahan akan terjadi cacat permanen
yaitu kebutaan, tuli, paraplegia, diabetes insipidus, atau retardasi mental.
C. Diagnosis
a.Tes tuberkulin
Pada 50% kasus, tes tuberkulin tidak reaktif. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin)
terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka
anak dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.Pada anak dengan
immunocompromised dan malnutrisi bisa dinyatakan positif meski indurasi hnya
< 5mm
b. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
Darah: anemia ringan dan peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.
Berdasarkan tampilan dari CSS maka meningitis dibagi menjadi
a) Meningitis serosa
- Meningitis serosa adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang
disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah
Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya meningitis sifilitika, virus,
Toxoplasma gondhii dan Ricketsia. Penyebabnya seperti mycobacterium
tuberculosa & virus, terjadi pada infeksi kronis. Peran limfosit & monosit
dalam melawan mikroba dengan cara fagositosis, tidak terjadi
penghancuran, hasilnya adalah cairan serousa
39
- Meningitis serosa : penyebab mycobacterium tuberculosa,viral,
toxoplasma gondii, ricketsia,fungi
b) Meningitis Purulenta
- Meningitis purulenta adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter
yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain,:
Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis
(meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Peudomonas aeruginosa. menghasilkan exudat berupa pus atau reaksi
purulen pada cairan otak. Leukosit, dalam hal ini Neutrofil berperan
dalam menyerang mikroba, neutrofil akan hancur menghasilkan exudat.
Tabel 4. Temuan Cairan Serebrospinal pada Meningitis
Kondisi Tekanan Leukosit
(/μL)
P
r
o
t
e
i
n
(
m
g
/
d
L
)
Glukosa
(mg/dL)
Keterangan
Normal 50-180
mm H2O
<4; 60-70%
limfosit, 30-40%
monosit, 1-3%
neutrofil
2
0
-
4
5
>50 atau
75% glukosa
darah
Meningitis Biasanya 100-60,000+; 1 Menurun Organisme yang
40
bakteri
akut
meningkat bisanya beberapa
ribu; PMN
predominan
0
0
-
5
0
0
dibandingkan
dengan
glukosa
darah;
bisanya <40
mungkin
ditemukan adalah
bakteri gram,
yang dapat
terlihat dari hasil
kultur
Meningitis
bakterial
setengah
pengobatan
Normal
atau
meningkat
1-10,000;
biasanya PMN
tapi sel
mononuklear bisa
predominant, jika
di terapi dalam
jangka panjang
>
1
0
0
Menurun
atau normal
Organisme dapat
terlihat, pada
terapi awal CSS
dapat ditemukan
steril pada
penyakit
pneumokok &
meningokus, tapi
antigen aka tetap
terdeteksi
Meningitis
tuberkulosa
Biasanya
meningkat;
bisa juga
rendah
karena
sumbatan
aliran CSS
pada
stadium
lanjut
10-500; PMN
awal tapi limfosit
dan monosit
menjadi
predominan
kemudian
1
0
0
-
5
0
0
;
d
a
p
a
t
m
e
n
i
n
<50
biasanya;
menurun
seiring waktu
jika tidak
mendapat
terapi
Bakteri tahan
asam dapat
terlihat pada
sediaan hapus;
organisme dapat
ditemukan pada
saat kultur atau
dengan PCR;
PPD, x-ray thorax
positif
41
g
k
a
t
p
a
d
a
s
u
m
b
a
t
a
n
C
S
S
Fungal Biasanya
meningkat
25-500; PMN
awal; sel
mononuklear
menjadi
predominan
kemudian
2
0
-
5
0
0
<50;
menurun
seiring waktu
jika tidak
diberikan
terapi
Awalnya dapat
ditemukan
ragi/yeast;
organisme dapat
ditemukan pada
kultur;
pemeriksaan
dengan tita india
atau pemeriksaan
antigen dapat
ditemukan positif
pada penyakit
kriptokokus
42
Cairan serebrospinal pada meningitis tuberkulosis (dengan cara pungsi
lumbal):
oWarna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-
batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah
berlangsung lama dan ada hambatan di medulla spinalis.
o Jumlah leukosit bervariasi dari mulai 10-500 sel/mm3. Jumlah sel: 100 –
500 sel / μl. Mula-mula, sel polimorfonuklear ada, tetapi mayoritas yang
lebih dominan adalah limfosit.
oKadar protein: meningkat (400-5000 mg/dL) karena hidrosefalus dan blok
spinal.
oKadar glukosa: biasanya menurun. Kadar glukosa <40 mg/dL tapi jarang
yang < 20 mg/dL.
oKadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun.
Kultur cairan lain misalnya aspirasi lambung atau urin dapat membantu
mendiagnosis meningitis tuberkulosa.
c.Dari pemeriksaan radiologi:
Foto toraks : pada 20-50% kasus, foto toraks anak menunjukan tidak ada
kelainan. dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
USG kepala : pemeriksaan ini dapat dilakukan pada bayi yang ubun-ubun
besar nya belum tertutup (maksimal usia 2 tahun, umumnya < 18bulan), dapat
ditemukan penebalan pada selaput meningeal dengan atau tanpa hidroefalus.
CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah
basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Gambaran dari pemeriksaan CT-
scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala pada pasien meningitis
tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit. Seiring berkembangnya
penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah
basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda
edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga
ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau
talamus.
D. Pengobatan
43
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi
yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan
intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke
arah meningitis tuberkulosis. Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku
tuberkulosis yakni:
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan
pada terapi meningitis tuberkulosis:
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor
cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse
reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa
diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan diberikan
dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100
mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah,
sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap
paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang mendapat
isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek
toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada
anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang
meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer,
dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg
piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis
44
maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg /
kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara
luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi
rifampisin ke dalam liquor cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang
sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin
adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma
oranye kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg,
dan 450 mg.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan
dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat bakterisid hanya
pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Dosis
pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar
serum puncak 45 μg / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase
intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul
akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah
hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-
anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular
pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman
intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis,
tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis
dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari, dan
kadar puncak 45-50 μg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik melewati
selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan
diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis
berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang
45
mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga
berdengung (tinismus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak
saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan
dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia
dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh
dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-
hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat
diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian
etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan kejadian neuritis
optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi
WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol
dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-
obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan (Nastiti N.
Rahajoe, dkk., 2007).
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis sebagai
terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai
dengan lamanya pemberian regimen.Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus
tirah baring total.
E. Komplikasi
46
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia,
dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak,
nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi
pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan
keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri.
Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini
biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis
menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada
kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai
kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,
hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan
gonadotropin.
F. Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis
dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila
tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia.
Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3
tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua usianya.
2. TB Ensefalitis
A. Definisi
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, protozoa). Sebagian besar kasus tidak
dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35-50%,
dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20-40%). Penyebab tersering
dan terpenting adalah virus (Herpes Simpleks, CMV, Adenovirus. Berbagai macam
virus dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas,
akan tetapi hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.
B. Diagnosis
Anamnesis
47
Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.
Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri
kepala, kejang, dan kesadaran menurun.
Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus. Dapat
ditemukan sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.
Pemeriksaan Fisis
Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma dan kejang.
Kejang dapat berupa status konvulsivus.
Ditemukan gejala peningkatan tekanan intrakranial.
Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor
neuron (spastis, hiperrefleks, refleks patologis, dan klonus)
Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan jika ada
indikasi.
Pungsi lumbal : pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bisa normal atau
menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang :
- Peningkatan jumlah sel 50-200/mm3
- Hitung jenis didominasi sel limfosit
- Protein meningkat tapi tidak melebihi 200 mg/dl
- Glukosa normal
Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) menunjukkan gambaran edema otak baik
umum maupun fokal.
Pemeriksaan pada pasien ensefalitis. Walaupun kadang didapatkan gambaran
normal pada beberapa pasien, umumnya didaptkan gambaran perlambatan atau
gelombang epileptiform baik umum maupun fokal.
C. Tata Laksana
Medikamentosa
Tata laksana tidak ada yang spesifik. Terapi suportif berupa tata laksana
hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial,
serta tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif.
48
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti
epilepsi, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat
diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standard terapi. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat diatasi dengan pemberian diuretik osmotik manitol 0,5-1
gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali.
Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute
disseminated encephalomyeitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid selama 2
minggu. Diberikan dosis tinggi metil-prednisolon 15 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam
selama 3-5 hari dan dilanjutkan prednisolon oral 1-2 mg/kg/hari selama 7-10 hari.
Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke
Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas,
serta mencegah kontraktur.
Pemantauan pasca rawat
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan pengihatan, palsi serebral,
epilepsi, retardasi mental maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan
pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke
departemen terkait sesuai indikasi.
3.6 Pengobatan TB pada Anak
Pengobatan TB sendiri terdiri dari 2 fase, fase intensif selama 2 bulan pertama
dan fase lanjutan. Tiga macam obat akan diberikan pada fase intensif (2 bulan pertama)
dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).
Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan
untuk membunuh kuman baik di ekstrasel maupun intrasel.
Saat ini, paduan obat baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah
paduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada fase intensif, dan rifampisin serta
isoniazid pada fase lanjutan. Pada kondisi TB berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal, fase intensif diberikan minimal empat macam obat, antara lain
rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dengan etambutol atau streptomisin. Pada fase
lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Pada kasus TB milier, efusi
49
pleura TB, perikarditis TB, diberikan kortikosteroid dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg/hari Lama pemmberian adalah 2-4 minggu
dilanjutkan dengan tapering off 2-4 minggu.
Tabel 5. Regimen pengobatan TB anak
Jenis Fase intensif Fase lanjutan Prednison Lama
TB ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan
Efusi pleura TB 2 minggu dosis penuh kemudian
tapering off
TB BTA positif 2HRZE 4 HR -
TB paru dengan tanda kerusakan luas
2HRZ+E atau S
7-10HR 4 minggu dosis penuh kemudian
tapering off
9-12 bulan
TB milier
TB + destroyed lung
Meningitis TB 10HR 4 minggu dosis penuh kemudian
tapering off
12 bulan
Peritonitis TB 2 minggu dosis penuh kemudian
tapering off
Perikarditis TB 2 minggu dosis penuh kemudian
tapering off
Skeletal TB -
3.7. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Respon
pengobatan dikatakan baik jika gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat,berat
badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Dalam penilaiannya,
evaluasi hasil pengobatan mencakup evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan
pemeriksaan LED. Pada evaluasi klinis diperhatikan apakah kelainan klinis pada pasien
menghilang atau sudah membaik dibandingkan dengan awal pengobatan. Sedangkan
evaluasi radiologis dinilai setelah 2-3 bulan pengobatan dan tidak secara rutin kecuali
kelainan radiologis nyata/luas seperti gambaran pada TB milier, efusi pleura,
bronkopneumonia TB. Khusus penderita TB milier foto Rontgen toraks diulang 1 bulan
50
setelah dimulai pengobatan. Sedangkan, untuk kasus efusi pleura, foto thoraks dapat
diulang setelah 2 minggu untuk evaluasi. Untuk komponen laju endap darah, hal ini
dapat dinilai jika pada awal pengobatan nilai LED tinggi.4,7
Jika respon setelah 2 bulan pengobatan kurang baik, terapi tetap dilanjutkan
hingga evaluasi lebih lanjut dilakukan. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah salah
diagnosis, salah terapi, atau adanya resistensi terhadap OAT. Pengobatan selama 6 bulan
dapat meminimalisasi residu kuman TB.
Selain evaluasi hasil pengobatan, efek samping pengobatan juga perlu
dievaluasi. Pemberian OAT seringkali menimbulkan efek samping, terutama pada
pemberian isoniazid dan rifampisin. Efek samping yang sering terjadi, antara lain
gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, raum dan gatal, serta demam.
Hepatotoksisitas ditandai dengan peningkatan SGOT dan SGPT lebih dari lima kali nilai
normal tanpa adanya gejala klinis, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta
peningkatan SGOT/SGPT pada nilai berapa pun jika disertai dengan ikterus, anoreksia,
nausea, dan muntah.
Pada anak dengan penyakit berat, seperti TB milier dan meningitis TB,
keadaan gizi buruk, serta pasien yang membutuhkan dosis isoniazid dan rifampisin lebih
besar dari dosis yang dianjurkan, perlu dilakukan evaluasi setiap 2 minggu, terutama
pada 2 bulan pertama. Peningkatan serum transaminase yang tidak terlalu tinggi dapat
mengalami resolusi spontan tanpa harus merubah pola pengobatan. Namun, peningkatan
lebih dari lima kali tanpa gejala ataupun peningkatan lebih dari tiga kali dengan gejala
memerlukan penurunan dosis atau penghentian dosis rifampisin.
DAFTAR PUSTAKA
51
1. Direktorat Jenderal Pengendalian /penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI.
Petunjuk teknis manajemen TB anak. Jakarta: Bakti Husada;2013.
2. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberculosis
anak. 2nd ed. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2008.
3. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St. Geme JW, Behrman RE. Nelson Textbook of
Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2011.
4. Garna Herry, Melinda Heda. Pedoman diagnosis dan terapi. Ed ke-4. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran; 2012.
5. Ropper AH, Brown RH. Adams & Victor's Principles Of Neurology. 8th ed. New York:
McGraw Hill; 2005.
52