30
Laporan Kasus DEMAM TIFOID Oleh Radis Virna Da Gusta 0808151021 Pembimbing : dr. Zaitul Wardana RK, SpPD-DTM&H KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

Case Tifoid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case reportdemam tifoidtifoid fever

Citation preview

Page 1: Case Tifoid

Laporan Kasus

DEMAM TIFOID

Oleh

Radis Virna Da Gusta0808151021

Pembimbing :

dr. Zaitul Wardana RK, SpPD-DTM&H

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMAD

2014

Page 2: Case Tifoid

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang termasuk dalam masalah

kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia karena dapat membawa

dampak peningkatan angka morbiditas maupun angka mortalitas. Di Indonesia

kasus demam tifoid telah tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962

tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah

menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan

wabah.1

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang

dengan bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit

mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Sampai saat

ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan

dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara berkembang.1

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17

juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai

600.000 kasus.2 Di Indonesia terdapat 900.000 kasus dengan angka kematian

sekitar 20.000 kasus.3 Menurut data Hasil Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS)

tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia

untuk semua umur.4 Demam tifoid lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun.5

Menurut laporan WHO 2003, insidensi demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun

di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan prevalensi

mencapai 61,4/1000 kasus pertahun.2

1

Page 3: Case Tifoid

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella

enterica serotype paratyphi A, B, atau C (demam paratifoid).6

2.2 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram

negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu

antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen

Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga

macam antigen tersebut.6

2.3 Patogenesis

Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui

beberapa tahapan.7 Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat

bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus

pada ileum terminalis.8 Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui

barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement,

dan internalisasi dalam vakuola intraseluler.8 Kemudian Salmonella typhi

menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah

melalui sistem limfatik.2 Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya

tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang

negatif.8 Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.7,8 Bakteri dalam pembuluh

darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ

sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga

dapat melakukan replikasi dalam makrofag.8 Setelah periode replikasi, kuman

akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan

bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi.6,8

Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan

2

Page 4: Case Tifoid

nyeri abdomen.7 Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak

diobati dengan antibiotik.9 Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa,

sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal.9

Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang meng-

akibatkan nekrosis dan iskemia.7 Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat

menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam

organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi

kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai

pembawa kuman atau carrier.9

2.4. Gejala Klinis

Masa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran inokulum dan daya

tahan tubuh penjamu. Masa inkubasi rata-rata 3 – 60 hari. Setelah masa inkubasi

maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri

kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang

biasa ditemukan, yaitu : 6,10

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam menetap persisten . Peningkatan suhu seperti

naik tangga setiap hari sampai dengan 40 atau 41oC . Selama minggu pertama,

suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi

hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,

penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh

berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

Bradikardia relatif dapat ditemukan. Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu

tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering

dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan

frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.

b. Ganguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah

(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya

kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan

perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada

3

Page 5: Case Tifoid

perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal

bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu

apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

2.5 Diagnosis

Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan

laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :2,6

a.Diagnosis klinik

Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas

pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan

pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena

pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan

diagnosis demam tifoid.

b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman

Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih

dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu

pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana

hasil positif menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sumsum tulang tetap

memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Pada minggu-minggu

selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%

dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja

masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%

penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk

jangka waktu yang lama.

c.Diagnosis serologik

1. Uji Widal

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam

serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi

dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang

4

Page 6: Case Tifoid

digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan

dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan

adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H

yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya,

semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid.

Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang

yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin

empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.

Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :10

a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut

b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau

pernah menderita infeksi

c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

2. Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan

yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang

dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella

serogroup D.9 Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi

IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid,

sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase

pertengahan.11 Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh

karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam

masa penyembuhan.11 Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya

digunakan untuk mendeteksi IgM saja.11 Typhidot M memiliki sensitivitas dan

spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot.12 Pemeriksaan ini dapat

menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah

dikemukakan sebelumnya.11

2.6 Penatalaksanaan

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam

5

Page 7: Case Tifoid

dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.13 Yang juga tidak

kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan

keadaan carrier.13

Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella

typhi setempat.13 Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap

banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang

akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap

antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan

trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik

fluoroquinolone.14 Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan

petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.14 Terapi antibiotik

yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun

2003 dapat dilihat pada tabel 1.11

Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan

pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan

isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis

sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal

carrier kurang dari 2%.1 Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang

sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag,

serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik

lain.14

Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone

dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas

yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah

dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi

demam tifoid tanpa komplikasi.14 Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1

kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-

masing selama 7 hari.

6

Page 8: Case Tifoid

Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih

bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil

mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit

dibandingkan ciprofloxacin.14

Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI

mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa

komplikasi.11 Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama

7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek

samping yang minimal. Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata

waktu penurunan demam di antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di

7

Page 9: Case Tifoid

Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4

hari.11

Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan

bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan

chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan.14 Namun, fluoroquinolone tidak

diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan

dan kerusakan sendi.1,2,11

Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar

pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka

kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis

pada sumsum tulang.11Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan

klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi

pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi

pada kurang dari 4%.1

Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau

kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis

tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat.1 Terapi antibiotik yang

diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun 2003 dapat dilihat

di tabel 2.11 Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid

tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan

terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita

perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk

mengoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik.1,2 Nutrisi

yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan

mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.1,2

2.7 Pencegahan

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan

makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama

menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan

tersedianya air bersih sehari-hari.13 Strategi pencegahan ini menjadi penting

seiring dengan munculnya kasus resistensi.13 Selain strategi di atas, dikembangkan

8

Page 10: Case Tifoid

pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang

endemik demam tifoid.13 Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:1,2 Vaksin Vi

Polysaccharide Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan

dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun

dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan

efikasi perlindungan sebesar 70-80%. Vaksin Ty21a Vaksin oral ini tersedia

dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke

atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik

dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun

dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%. Vaksin Vi-conjugate Vaksin ini

diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi

perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap

selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.

9

Page 11: Case Tifoid

BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas pasien

Nama : Nn. VS

Umur : 18 Tahun

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Tampan

Masuk RS : 8 Juli 2014

ANAMNESIS (Autoanamnesis)

Keluhan Utama : Demam sejak 10 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:

Sejak 10 hari SMRS, pasien mengeluhkan demam. Demam meningkat pada sore

hari serta menurun pada pagi hari. Awalnya, demam dirasakan naik turun. Namun

dalam beberapa hari terakhir, demam terjadi secara terus menerus. Menggigil (-),

nyeri kepala (+), nyeri otot (+), lemas (+), mual (+), muntah (+) berisi makan

dengan frekuensi 6x/hari dengan jumlah + ¼ gelas/x muntah, nyeri ulu hati (+),

bintik-bintik merah di perut (-), perut terasa kembung (+), batuk (-), nyeri

tenggorokan (-), riwayat batuk lama (-), penurunan berat badan (-), nafsu makan

menurun (+), nyeri saat BAK (-), perut pasien terasa kembung dan pasien tidak

BAB sejak 4 hari terakhir. Pasien berobat ke klinik dan diberi obat paracetamol

dan amoksilin, namun keluhan tidak berkurang.

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak pernah mengeluhkan keluhan seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga menderita penyakit yang sama

Riwayat Kebiasaan

- Pasien merupakan seorang pelajar SMA

10

Page 12: Case Tifoid

- Pasien sering membeli makanan di luar

- Riwayat bepergian ke daerah lain disangkal

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis

Tekanan darah : TD 110/70 mmHg

Nadi : 68 x/menit

Nafas : 16 x/menit

Suhu : 39,1°C

Keadaan gizi : BB = 50 TB = 160 IMT = 19,53

Pemeriksaan Kepala dan Leher

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)

Leher : pembesaran KGB (-)

Lidah : kotor (+), typhoid tongue (-)

Pemeriksaan Thoraks

Paru :

Inspeksi : gerakan dada simetris kiri dan kanan, retraksi (-)

Palpasi : vokal fremitus kiri = kanan

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi: suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung :

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : batas jantung dbn

Auskultasi : bunyi jantung I dan II (+) normal, murmur (-), gallop (-)

11

Page 13: Case Tifoid

Pemeriksaan Abdomen

- Inspeksi : tampak datar, venektasi (-), scar (-)

- Auskultasi : bising usus (+) normal

- Palpasi : supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar teraba 1 jari di bawah

arcus costae, permukaan rata, tepi tumpul, konsistensi kenyal, nyeri

tekan (-), lien tidak teraba

- Perkusi : timpani

Pemeriksaan Ekstremitas

Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG:

Laboratorium darah rutin

Hb : 12 gr/dl

Ht : 39,0 %

Leukosit : 10.900/uL

Trombosit : 346.000/mm3

Widal : Antigen H = positif titer 1/160

Antigen O = positif titer 1/320

Resume:

Nn. VS datang ke RSUD AA dengan keluhan febris tipe continua sejak 10 hari

SMRS, meningkat pada sore hari. Cephalgia (+), myalgia (+), nausea (+), vomitus

(+), konstipasi (+) sejak 4 hari SMRS. Pasien berobat ke klinik 24 jam dan diberi

antipiretik dan antibiotik, namun keluhan tidak berkurang. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan adanya bradikardi relatif, hepatomegali dan nyeri tekan epigastrium

(+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis dan Widal antigen H

reaktif dengan titer 1/160 dan antigen O reaktif dengan titer 1/320.

Daftar Masalah

1. Demam typhoid .

12

Page 14: Case Tifoid

Analisis Masalah

Demam pada pasien ini sudah berlangsung selama 10 hari, demam naik

turun dan meningkat pada sore hari dan pada beberapa hari terakhir demam terjadi

terus menerus. Demam lebih dari 7 hari dapat dipikirkan kemungkinan demam

tifoid, malaria dan tuberkulosis. Karakteristik demam pada demam tifoid adalah

selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,

biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari,

kemudian dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.

Pada malaria, demam yang terjadi diawali dengan menggigil karena pasien

merasa kedinginan, lalu timbul demam dan kemudian pasien berkeringat banyak

lalu demam turun. Pada pasien ini tidak terdapat karakteristik demam malaria.

Penyakit tuberkulosis selain demam pasien juga mengeluhkan batuk berdahak dan

penurunan berat badan, namun pada pasien ini tidak ada gejala batuk berdahak

maupun penurunan berat badan.

Demam juga disertai gejala nyeri kepala, nyeri otot, lemas, dan mual.

Keluhan tersebut dirasakan pasien bersamaan dengan timbulnya demam. Pasien

tidak pernah mengeluhkan hal tersebut sebelumnya. Keluhan yang dirasakan

pasien ini merupakan gejala prodromal dari demam yang diderita pasien.

Pasien sudah 4 hari tidak BAB, selama ini pasien tidak ada keluhan BAB,

BAB pasien teratur dengan konsistensi normal. Konstipasi terjadi bila frekuensi

BAB kurang dari 3 kali seminggu dengan konsistensi keras, kesulitan

mengeluarkan feses serta mengalami sensasi tidak puas pada saat BAB. Keluhan

pada pasien ini dikarenakan kurangnya intake makanan sehingga pembentukan

massa feses sedikit.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya bradikardi relatif, hepatomegali

dan nyeri tekan epigastrium. Penyakit dengan gejala demam dan hepatomegali

seperti demam tifoid, demam berdarah dengue dan hepatitis. Demam berdarah

dengue ditandai dengan gejala demam 2-7 hari dengan tipe demam bifasik, ada

manifestasi perdarahan, serta trombositopenia dan hemokonsentrasi. Pada

hepatitis, demam dengan gejala prodromal pada minggu pertama dan adanya fase

ikterik pada minggu kedua. Pada pasien ini dapat disingkirkan kemungkinan

demam berdarah dengue dan hepatitis.

13

Page 15: Case Tifoid

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Leukosit: 10.900/uL, Widal

dengan antigen H reaktif titer 1/160, antigen O titer 1/320. Dengan didukung

pemeriksaan penunjang ini, demam pada pasien mengarah ke diagnosis demam

typhoid.

Diagnosis Kerja : demam tifoid

Penatalaksanaan

Non-Farmakologis

o Tirah baring

o Diet rendah serat

Farmakologis

o IVFD RL 20 tpm

o Inf. Levofloxacin 1x500 mg

o Inj. Ranitidin 3x25 mg

o Paracetamol tab 3x500 mg

o Domperidon tab 3x10 mg

FOLLOW UP

Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning

9 Juli 2014 Demam (+),

nyeri kepala

(+), mual (+),

muntah (+)

berkurang,

nyeri ulu hati

(+), BAB (-)

Kes : CM

TD : 110/70

mmHg

HR : 72x/i

RR : 16 x/i

T : 38,20C

Demam

typhoid

Tirah baring

Diet rendah serat

o IVFD RL 20 tpm

o Inf. Levofloxacin 1x500

mg

o Inj. Ranitidin 3x25 mg

o Paracetamol tab 3x500 mg

o Domperidon tab 3x10 mg

o

14

Page 16: Case Tifoid

10 Juli 2014 Demam (+),

nyeri kepala

(-), mual (+),

muntah (-),

nyeri ulu hati

(-), BAB (+)

sedikit

Kes : CM

TD : 130/80

mmHg

HR : 68 x/i

RR : 16 x/i

T : 38,00C

Demam

typhoid

Tirah baring

Diet rendah serat

o IVFD RL 20 tpm

o Inf. Levofloxacin 1x500

mg

o Inj. Ranitidin 3x25 mg

o Paracetamol tab 3x500 mg

o Domperidon tab 3x10 mg

o

11 Juli 2014 Demam (-),

nyeri kepala

(-), mual (-),

BAB (+)

Kes : CM

TD : 120/70

mmHg

HR : 80 x/i

RR : 16 x/i

T : 37,20C

Demam

typhoid

Tirah baring

Diet rendah serat

o IVFD RL 20 tpm

o Inf. Levofloxacin 1x500

mg

o Inj. Ranitidin 3x25 mg

o Paracetamol tab 3x500 mg

o Domperidon tab 3x10 mg

o

12 Juli 2014 Pasien boleh pulang

15

Page 17: Case Tifoid

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada pasien ini, ditegakkan diagnosis demam typhoid. Hal ini didasarkan

karena pada anamnesis didapatkan adanya demam tipe continue sejak 10 hari

SMRS yang meningkat pada sore hari dengan adanya gejala prodormal dan

gangguan pada saluran cerna. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya

bradikardi relatif, nyeri tekan epigastrium dan hepatomegali. Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan pada test Widal antigen antigen H reaktif dengan titer 1/160

dan antigen O reaktif dengan titer 1/320.

Pasien memiliki riwayat pengobatan pada saat demam terjadi yaitu berobat

di klinik dan diberi Parasetamol dan Amoksisilin, namun keluhan pasien tidak

berkurang. Hal ini dikarenakan demam yang dikeluhkan pasien tidak diterapi

dengan antibiotik yang sesuai dengan etiologi dari demamnya itu sendiri. Terapi

pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,

mencegah komplikasi, dan menghindari kematian serta eradikasi total bakeri

untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.13 Pemilihan antibiotik

tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.13

Pada pasien ini penatalaksanaan non farmakologis dengan tirah baring dan

pemberian diet rendah serat. Penderita demam tifoid memerlukan istirahat total

serta pemberian nutrisi yang adekuat melalui total parenteral nutrisi dilanjutkan

dengan diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan

mengizinkan.1,2 Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk

memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan

sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna,

juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna

atau perforasi usus.1,2 Pasien ini dirawat karena adanya mual muntah yang berat,

tidak nafsu makan serta badan lemas, sehingga ditakutkan intake nutrisi, cairan

dan elektrolit pasien tidak akan adekuat jika pasien dilakukan rawat jalan. Pasien

dianjurkan untuk tirah baring sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang

lebih selama 14 hari. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap sesuai

dengan pulihnya kekuatan pasien.7

16

Page 18: Case Tifoid

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah IVFD RL 20 tpm,

infus Levofloxacin 1x500 mg selama 3 hari, Paracetamol tab 3x500 mg, injeksi

Ranitidin 3x25 mg dan Domperidon 3x10 mg sebagai terapi simptomatik dengan

pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum pasien. Antibiotik golongan

fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin dan pefloxacin)

merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak

resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%.1

Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan

salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas

yang baik adalah levofloxacin. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1

kali sehari.14 Berdasarkan hasil follow up, terjadi penurunan demam pada hari

ketiga. Sesuai dengan literatur bahwa penurunan demam pada pemberian

Levofloxacin paling cepat yaitu 2-4 hari.11

17

Page 19: Case Tifoid

DAFTAR PUSTAKA

1. Muliawan SY, Surjawidjaya JE. Diagnosis dini demam tifoid dengan

menggunakan protein membran luar S. Typhi sebagai antigen spesifik.

CDK.1999;124:11-3.

2. Department of Vaccines and Biologicals. Background document: The

diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva: WHO; 2003.

3. Crump JA, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bulletin of the

World Health Organization. 2004; 82(5):346-53.

4. Anonim. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan

Republik Indonesia; 2009.

5. Ochiai RL, Acosta JC, Danovaro-Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK,

Agtini M, et al. A study of typhoid fever in five Asian countries: disease

burden and implications for controls. Bull World Health Organ. 2008;86:260-

8.

6. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2006. Jakarta ;Bagian Ilmu

Kesehatan Anak FKUI: 1752-57

7. Typhoid fever. Surgery in Africa-Monthly Review [Internet]. 2006 Feb 11

[cited 2011 Mar 3 ].Available from:

http://www.ptolemy.ca/members/archives/2006/typhoid_fever.htm

8. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006; 14:

266-72.

9. Parry CM. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever

[Internet]. 2005 [cited 2011 Mar 3]. Available from: www.cambridge.org

10. Karsinah, Suharto, W. Mardiastuti, M. Lucky. Batang negatif gram. Dalam:

Staf Pengajar FK UI, penyunting. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi

Revisi. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1994;168-73.

11. Mehta KK. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update 2008; 18: 201-

4.

12. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever.

BMJ 2006; 333: 78-82

18

Page 20: Case Tifoid

13. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet

2005; 366: 749-62.

14. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid

fever [Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from:

www.who-int/vaccines-documents/

15. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan

Pediatri Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2008.

19