22
1 BAB 1 PENDAHULUAN Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden dan prevalensinya semakin meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan global. 1 Di negara-negara barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka pertumbuhan dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal terminal yang memerlukan terapi pengganti ginjal Tidak hanya itu, prevalensi CKD stadium awal juga turut mengalami peningkatatan. Diperkirakan satu dari sembilan orang Amerika Serikat mengidap CKD dan sebagian besar tidak menyadari hal ini. 2 Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas CKD meliputi: identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen secara paripurna. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas 60 tahun, diabetes melitus, hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya riwayat keluarga yang menderita sakit ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID, antibiotik, zat kontras) dan kontak dengan bahan kimia yang berulang. 2 Pada stadium dini CKD dapat didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan penunjang dan terbukti dengan pengobatan dini dapat mencegah terjadinya gagal ginjal, penyakit kardiovaskular dan dapat mencegah kematian sebelum waktunya. 2 CKD merupakan penyakit yang kronis, sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita. 2

Catatan Koass Laporan Kasus CKD

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tinjauan Pustaka Penyakit Ginjal Kronik

Citation preview

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses

patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi

ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden dan

prevalensinya semakin meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan

global.1

Di negara-negara barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka

pertumbuhan dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade

terakhir terjadi peningkatan prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal

terminal yang memerlukan terapi pengganti ginjal Tidak hanya itu, prevalensi

CKD stadium awal juga turut mengalami peningkatatan. Diperkirakan satu dari

sembilan orang Amerika Serikat mengidap CKD dan sebagian besar tidak

menyadari hal ini.2

Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas

CKD meliputi: identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen

secara paripurna. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas

60 tahun, diabetes melitus, hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya

riwayat keluarga yang menderita sakit ginjal, infeksi saluran kemih yang

berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID, antibiotik, zat kontras)

dan kontak dengan bahan kimia yang berulang.2

Pada stadium dini CKD dapat didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan

penunjang dan terbukti dengan pengobatan dini dapat mencegah terjadinya gagal

ginjal, penyakit kardiovaskular dan dapat mencegah kematian sebelum waktunya.2

CKD merupakan penyakit yang kronis, sehingga diperlukan kerjasama tim

medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini.

Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang

memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta

diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita.2

2

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : IMS

Umur : 54 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Hindu

Pendidikan : Tamat SD

Status : Menikah

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Bangli

Tanggal MRS : 14 September 2012

Tanggal Pemeriksaan : 21 September 2012

2.2 ANAMNESIS

Keluhan utama :Sesak Nafas

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien merupakan rujukan dari RSUD Bangli, dengan keluhan utama sesak

nafas. Sesak nafas mulai dirasakan pasien sejak satu minggu SMRS (7

September 2012). Keluhan muncul secara mendadak saat pasien bangun tidur,

bertahan sepanjang hari, dan tidak disertai suara ngik-ngik. Keluhan akan

semakin memberat dalam posisi tidur, dan sedikit membaik bila pasien duduk

bersandar. Sesak nafas juga dirasakan bertambah berat saat pasien

beraktivitas, sehingga selama keluhan muncul pasien hanya terbaring di

tempat tidur.

Pasien juga mengalami batuk yang timbul bersamaan dengan keluhan

sesak nafas. Batuk muncul terus menerus sepanjang hari, berisi dahak yang

berwarna putih dan kadang-kadang berbuih. Batuk dirasakan bertambah berat

3

bila pasien sedang sesak dan agak membaik setelah keluhan sesak berkurang.

Batuk tidak disertai dengan panas badan maupun berkeringat malam hari.

Tiga hari SMRS (10/9/2012), pasien mengalami muntah dengan frekuensi

3-4 kali/hari.Volume tiap kali muntah ± ¼ gelas air mineral, berisi makanan

yang pasien makan sebelumnya dan tidak berisi darah. Muntah selalu

didahului rasa mual, yang muncul beberapa saat setelah pasien makan atau

minum sesuatu.

Sembilan hari sebelum pasien MRS, pasien mengeluh kedua kakinya

bengkak. Kedua kaki tersebut bengkak secara bersamaan, disadari pertama

kali saat pasien baru bangun tidur. Bengkak pada kedua kaki tidak disertai

oleh rasa nyeri maupun kesemutan, hanya saja kedua kakinya dirasakan pasien

lebih lemah bila digunakan untuk berjalan. Bengkak dikatakan tidak

berkurang dengan beristirahat maupun dengan pemberian minyak urut.

Semenjak timbulnya keluhan-keluhan diatas, pasien merasa badannya

lemah seperti tidak bertenaga. Lemah dirasakan sepanjang hari, hingga

membuat pasien lebih banyak berbaring di tempat tidur.Nafsu makan

dikatakan pasien menurun.Selama sakit, pasien hanya mau makan beberapa

sendok bubur, dan kadang kadang makanan tersebut dimuntahkan kembali

oleh pasien.

Pasien mengaku tidak mengalami panas badan baik sebelum maupun

selama munculnya keluhan-keluhan diatas. Pasien juga tidak pernah

mengalami nyeri pada pinggang belakang yang menjalar ke depan hingga ke

lipat paha. BAB tidak mengalami perubahan dalam hal frekuensi dan

konsistensi. Adanya BAB yang mengandung darah atau BAB kehitaman

disangkal oleh pasien. BAK juga tidak mengalami perubahan dalam hal

frekuensi, volume dan warna kencing. Pasien mengaku kencing > 3x

sepanjang hari tersebut. Pasien juga menyangkal adanya kencing yang

berwarna merah atau berbuih, nyeri saat kencing maupun kencing yang berisi

batu juga disangkal oleh pasien.

Saat pasien diperiksa, keluhan sesak nafas sudah agak berkurang, namun

pasien masih menggunakan 2 bantal saat tidur. Pasien sudah tidak batuk

maupun muntah. Kedua kaki masih bengkak, namun sudah berkurang jika

4

dibandingkan dengan saat pasien baru MRS. Badan masih dirasakan lemah

oleh pasien, akan tetapi nafsu makan sudah meningkat dibandingkan saat

pasien baru MRS. BAB normal dengan produksi kencing dikatakan sekitar

satu botol air mineral sedang, dengan warna kuning agak pekat dan tidak

berbuih.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya,

dan ini merupakan kali pertama pasien dirawat di Rumah Sakit. Pasien

mengaku dirinya memang memiliki riwayat penyakit batu ginjal (pada ginjal

kiri) sejak 10 tahun yang lalu, namun pasien menolak melakukan operasi

karena lebih memilih mengkonsumsi ramuan herbal yang dibuat sendiri di

rumah. Selama mengkonsumsi ramuan tersebut, sejumlah batu di ginjalnya

telah keluar beberapa kali saat pasien kencing.Satu bulan yang lalu adalah kali

terakhir kencingnya mengeluarkan batu.

Akibat penyakit batu ginjal tersebut, pasien pernah beberapa kali

mengalami nyeri pinggang kiri bagian belakang yang menjalar ke depan

hingga selangkangan, yang disertai panas badan. Akan tetapi keluhan-keluhan

tersebut tidak sampai membuat pasien harus dirawat di rumah sakit.

Pasien menetahui dirinya menderita hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, dan

mendapat pengobatan captopril 2 x 1 tablet sehari. Akan tetapi pasien tidak

rutin minum obat. Pasien hanya minum obat bila merasa kepalanya pusing

atau tengkuknya sakit.

Riwayat penyakit lain seperti diabetes melitus, penyakit jantung serta asma

disangkal, demikian pula tidak ada riwayat trauma pada kedua ginjal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit ginjal, hipertensi,

jantung, asma, maupun diabetes mellitus.

5

Riwayat Sosial dan Personal

Sehari-hari pasien berprofesi sebagai pedagang di pasar tradisional di desanya.

Aktivitas keseharian pasien kebanyakan dalam posisi duduk saat melayani

pembeli. Pasien mengaku jarang meluangkan waktu secara khusus untuk

berolahraga. Pasien tidak merokok maupun minum minuman beralkohol.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

a. Tanda-Tanda Vital:

Keadaan Umum : Kesan sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6

VAS : 0/10

Tekanan darah : 160/100

Nadi : 89 kali/menit, regular, isi cukup

Respirasi : 20 kali/menit, regular

Suhu aksila : 36,7oC

Tinggi badan : 170 cm

Berat badan : 70 kg

BMI : 24,22 kg/m2

b. Pemeriksaan Umum:

Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterus -/-, refleks pupil +/+

isokor, edema palpebra -/-

THT :

Telinga : sekret -/-, hiperemis -/-

Hidung : sekret (-), hiperemis (-), nafas cuping hidung (-)

Mulut : mukosa bibir kering (-), sianosis (-)

Lidah : papil atrofi (-)

Tenggorokan : tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)

Leher : JVP PR + 2 cmH2O

6

Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thoraks :

Cor : Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis

Palpasi : tidak teraba iktus kordis

Perkusi : batas atas jantung : ICS II kiri

batas kanan jantung : PSL kanan

batas kiri jantung : MCL kiri

Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo : Inspeksi : simetris statis dinamis, retraksi dinding dada (-)

Palpasi : vokal fremitus Normal/Normal

Perkusi : sonor sonor

sonor sonor

sonor sonor

Auskultasi : vesikuler + + , ronki - - wheezing - -

+ + - - - -

+ + + - - -

Abdomen :

Inspeksi : distensi (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : hepar tidak teraba, lien tidak teraba,

tidak teraba balotement

nyeri ketok sudut costo vertebral -/-

Perkusi : timpani

Ekstremitas : hangat , edema

7

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Darah Lengkap (14/9/2012)

Parameter Result Unit Remark Reference

Range

WBC 8,30 103/μL 4,1 – 10,9

Neu 4,35 (76,40%) 103/μL 2,5 – 7,5

Ly 1,26 (15,20%) 103/μL 1,0 – 4,0

Mo 0,40 (4,90%) 103/μL 0,1 – 1,2

Eo 0,20 (2,73%) 103/μL 0,0 – 0,5

Ba 0,10 (0,73%) 103/μL 0,0 – 0,1

RBC 3,41 106/μL Rendah 4,50 – 5,90

HGB 9,40 g/dL Rendah 13,50 – 17,50

HCT 31,20 % Rendah 41,0 – 53,0

MCV 91,50 fL 80,0 – 100,0

MCH 27,70 Pg 26,0 – 34,0

MCHC 30,20 g/dL Rendah 31,0 – 36,0

RDW 14,40 % 11,0 – 14,8

PLT 126,40 103/μL Rendah 150,00 - 440,00

MPV 7,39 Fl 6.80-10.00

Interpretasi:

- Anemia ringan normokromik-normositer

b. Kimia Klinik (14/9/2012)

Parameter Result Unit Remark Referenge Range

SGOT -10,10 U/L Rendah 3,40 - 4,60

SGPT 16,20 U/L 8,00 – 23,00

BUN 88,00 mg/dL Tinggi 0,70-1,20

Creatinine 16,63 mg/dL Tinggi 136,00 - 145,00

GDS 122,00 mg/dL 3,50-5,10

Interpretasi:

- Azotemia

8

- 5,03 ml/menit/1,73 m2

c. Analisis Gas Darah (14/9/2012)

Parameter Result Unit Remark Reference Range

pH 7,32 Rendah 7,35-7,45

PCO2 21,00 mmHg Rendah 35,00-45,00

PO2 147,00 mmHg Tinggi 80,00-100,00

HCO3 10,60 mmol/L Rendah 22,00-26,00

TCO2 11,40 mmol/L Rendah 24,00-30,00

BEecf -15,30 mmol/L Rendah -2,00-2,00

SO2C 99,00 % 95,00-100,00

Natrium 136,00 mmol/L Rendah 136,00-145,00

Kalium 4,30 mmol/L 3,5-5,1

Interpretasi:

- Asidosis Metabolik terkompensasi parsial (Alkalosis Respiratorik)

d. Urinalisis (14/9/2012)

Parameter Result Unit Remark Reference Range

pH 6,00 - 5-8

Leukosit 25,00 Leu/uL +1 Negatif

Nitrit Negatif - Negatif

Protein 500,00 mg/dl +4 Negatif

Glukosa 50,00 mg/dl +1 Normal

Keton Negatif mg/dl Negatif

Urobilinogonen Normal mg/dl 1 mg/dl

Bilirubin Negatif mg/dl Negatif

Eritrosit 150,00 Ery/uL +4 Negatif

Specific gravity 1,015 - 1,005-1,020

Warna p.yel - p.yel-yel

SEDIMEN URINE

Leukosit 5-7 /lp < 6/lp

Eritrosit 0-1 /lp <3/lp

Sel Epitel - - -

Gepeng 1-2 /lp -

9

Lain-lain Bakteri (+) /lp -

Interpretasi:

- Leukosuria

- Proteinuria

- Glukosuria

- Haematuria

e. Foto Thorax AP(14/9/2012)

Cor : kesan membesar dengan kalsifikasi aortic knob

Pulmo : tampak perivascular haziness (+) dengan garis

kerley B di kedua paru

Sinus pleura : kanan dan kiri tajam

Diafragma : kanan dan kiri normal

Tulang-tulang : tak tampak kelainan

Kesan :

Kardiomegali dengan edema pulmonum

10

f. BOF (14/9/2012)

Tampak bayangan radiopaque multiple yang terproyeksi setinggi

VL 1-5, sisi kiri dan di cavum pelvis kanan bawah

Kontur ginjal kanan dan kiri tak tampak jelas

Psoas line kanan dan kiri tak tampak jelas

Distribusi gas usus normal bercampur fecal material

Bayangan hepar dan lien tak tampak membesar

Tampak osteophyte VL 1-5, pedicle dan spatium intervertebralis

baik

Kesan :

- Suspek batu opaque ureter kiri 1/3 distal

- Suspek batu opaque buli-buli

- Spondylosis lumbalis

11

g. EKG(14/9/2012)

Interpretasi:

- Normal Sinus Rythm

- HR 110 x/menit

- Axis deviasi ke kiri

- Gelombang P normal

- PR Interval normal

- QRS kompleks normal (RV5+ SV2< 35 mm)

- ST change (-).

- Gelombang T abnormal (-)

Kesan: Sinus Takhikardia

2.5 DIAGNOSIS KERJA

CKD stage V et causa suspek PNC

- Hipertensi Stage II

- Uremic Lung

- Anemia ringan normokromik normositer on CKD

- Suspek Batu Ureter 1/3 Distal Sinistra

- Suspek Batu Buli-Buli

Kardiomegali et causa suspek HHD

12

2.6 TERAPI

MRS

IVFD NaCl 0,9% 8 tpm

Captopril 3 x 50 mg

Amlodipin 1 x 10 mg

Asam folat 2 x 2 mg

CaCO3 3 x 500 mg

Diet tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari (2450 kkal/hari), rendah protein 0,8

gr/kgBB/hari (56 gram/hari), rendah garam 100 mEq/hari (230 mg/hari)

Transfusi PRC sampai Hemoglobin ≥ 10 gr/dL

Hemodialisis Cito

2.7 RENCANA KERJA

Rencana Pemeriksaan Penunjang :

- Urinalisis

- Serum Iron/TIBC/ Feritin

- USG Abdomen

Rencana Konsultasi :

- Konsultasi bagian urologi

- Konsultasi bagian kardiologi

2.8 MONITORING

Keluhan dan tanda vital

Balance cairan

Darah Lengkap

Kimia Klinik (SGOT, SGPT, Albumin, Bun, Kreatinin)

AGD Elektrolit

2.9 PROGNOSIS

Ad Vitam : dubius ad malam

Ad Fungsionam : dubius ad malam

13

2.10 KIE

Keadaan pasien saat ini dan rencana penatalaksanaan

Rencana tindakan hemodialisis sebagai terapi pengganti ginjal pasien yang

sudah rusak.

Upaya mencegah perburukan kondisi ginjal secara cepat dengan

pengaturan diet tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam.

Pentingnya kepatuhan pengobatan penyakit dasar maupun komplikasi

CKD.

14

BAB 3

PEMBAHASAN

The NationalKidney Foundation- Kidney Dialysis Outcome Quality Iniatiative

(NKF-K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai (1) kerusakan ginjal yang terjadi

selama tiga bulan atau lebih, berupa kelainan struktural atau fungsional ginjal,

dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi

kelainan patologis atau petanda (marker) kerusakan ginjal , termasuk kelainan

dalam komposisi darah maupun urin, atau kelainan dalam tes pencitraan ; atau (2)

LFG < 60 ml/menit/1,73m2 selama tiga bulan atau lebih, dengan atau tanpa

kerusakan ginjal. Berdasarkan derajat penyakit, yang ditentukan dari nilai laju

filtrasi glomerulus, maka NKF-K/DOQI merekomendasikan klasifikasi CKD

menjadi 5 stadium. Menurut klasifikasi ini, CKD stage V ditegakkan bila nilai

LFG < 15 ml/menit/1,73 m2.3

Gejala klinik yang ditunjukkan oleh penderita CKD meliputi: (1) sesuai

dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius,

batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan

lain sebagainya. (2) gejala-gejala Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi,

anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded),

neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

(3) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,

payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,

kalium, klorida).4

Pada kasus ini, pasien laki-laki, 54 tahun, mengeluh sesak nafas sejak 1

minggu SMRS, yang bertambah berat bila pasien berbaring atau beraktivitas,

namun agak membaik dengan perubahan posisi dan beristirahat. Pasien juga

mengeluh batuk yang muncul bersamaan dengan keluhan sesak, berisi dahak yang

berwarna putih dan kadang-kadang berbuih. Pasien juga mengalami muntah yang

didahului rasa mual, muncul beberapa saat setelah pasien makan atau minum

sesuatu. Pasien mengeluh kedua kakinya bengkak secara bersamaan. Semenjak

timbulnya keluhan-keluhan diatas, pasien merasa badannya lemah seperti tidak

15

bertenaga. Lemah dirasakan sepanjang hari, hingga membuat pasien lebih banyak

berbaring di tempat tidur.

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa penyebab gagal ginjal yang

menjalani hemodialisis di Indonesia th. 2000 meliputi: Glomerulonefritis

(46,39%), Diabetes melitus (18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi

(8,46%), Sebab lain (13,65%).4

Pada kasus ini, pasien memiliki riwayat penyakit batu ginjal (pada ginjal

kiri) sejak 10 tahun yang lalu, namun tidak dilakukan oerasi, karena pasien

menolak tindakan operasi. Pasien juga mempunyai riwayat hipertensi sejak 5

tahun yang lalu, dan telah mendapatkan pengobatan captopril 2 x 1 tablet sehari.

Akan tetapi pasien tidak rutin minum obat. Riwayat penyakit lain seperti diabetes

melitus, penyakit jantung serta asma disangkal, demikian pula tidak ada riwayat

trauma pada kedua ginjal.

Gambaran laboratorium CKD meliputi: (1) sesuai dengan penyakit yang

mendasarinya; (2) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan

kreatinin serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus

Kockcroft-Gault; (3) kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar

hemoglobin (anemia), peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,

hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis

metabolik dan (4) kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria, hematuria,

leukosuria, cast, isostenuria.4

Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasu ini, dijumpai adanya

anemia ringan normokromik normositer (hemoglobin 9,40 g/dl, MCV 91,50 fL,

MCH 27,70 Pg) dan trombositopenia (126,40 x 103/μL). Pada pemeriksaan kimia

klinik ditemukan adanya peningkatan kadar BUN (88 mg/dl), peningkatan

kreatinin (16,63 mg/dl) dan penurunan LFG (5,03 ml/menit/1,73 m2)

. Pada

pemeriksaan analisis gas darah ditemukan adanya asidosis metabolik

terkompensasi parsial (pH 7,32, PCO2 21,00 mmHg, PO2 147,00 mmHg, HCO3

10,60 mmol/L, BEecf -15,30 mmol/L) dan hiponatremia (136,00 mmol/L). Pada

pemeriksaan urinalisis ditemukan leukosuria (25,00 Leu/uL), proteinuria (500,00

mg/dl), glukosuria (50,00 mg/dl) dan haematuria (150,00 Ery/uL).

16

Pemeriksaan radiologis pada CKD meliputi foto polos abdomen, pielografi

intravena, ultrasonografi, serta renografi. Pada foto polos abdomen bisa tampak

adanya batu radioopak. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras

sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya

pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.

Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks

yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

Sedangkan pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada

indikasi.4

Pada kasus ini, telah dilakukan pemeriksaan foto polos (BOF) abdomen

dan didapatkan kesan adanya batu radiopaque di ureter kiri 1/3 distal, dan batu

radiopaque di buli-buli. Untuk mendapatkan pencitraan ginjal yang lebih spesifik,

maka pada pasien ini juga direncanakan pemeriksaan ultrasonografi abdomen.

Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan foto thorax AP, dan didapatkan kesan

adanya kardiomegali dengan edema pulmonum.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka

pasien ini didiagnosis dengan CKD Stage V karena secara klinis dijumpai 3

gejala/tanda klasik CKD yaitu edema, anemia, dan hipertensi, ditambah

penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan LFG < 15 ml/menit/1,73m2. Kausa

PNC dipilih karena pasien memiliki riwayat batu saluran kencing yang dikuatkan

oleh bukti radiologis.

Penatalaksanaan CKD meliputi: (1) terapi spesifik terhadap penyakit

dasarnya, (2) pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid

tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak

terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras

atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya), (3) memperlambat perburukan

fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi farmakologis),(4) pencegahan dan terapi

terhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia,

anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbangan elektrolit), (5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia,

17

osteodistrofi renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan (6) terapi pengganti

ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.4

Terapi pengganti ginjal merupakan terapi definitif pada CKD stadium V.

Terapi pengganti ginjal tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, dan

transplantasi ginjal. Hemodialisis emergensi adalah salah satu pilihan

hemodialisis yang dikerjakan pada pasien-pasien CKD dengan LFG < 5

ml/menit/1,73 m2 dan atau bila ditemukan salah satu dari keadaan berikut: (1)

adanya keadaan umum yang buruk dan kondisi klinis yang nyata, (2) serum

kalium > 6 meq/L, (3) ureum darah > 200 mg/dL,(4) pH darah < 7,1, (5) anuria

berkepanjangan (> 5 hari), (6) serta adanya bukti fluid overload.4

Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi

kegagalan fungsi ginjal yang didukung dengan GFR 5,03 mL/min/1,73 m2.

Sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal

berupa hemodialisis. Hemodialisis emergensi dipilih pada pasien ini karena

dijumpai adanya uremic lung yang merupakan salah satu petanda terjadinya fluid

overload. Selanjutnya pasien menjalani Hemodialisis regular 2x seminggu.

Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang

lainnya, yang disesuaikan dengan keadaan klinis pasien, meliputi: IVFD NaCl

0,9% 8 tpm, captopril 3 x 50 mg, amlodipine 1 x 10 mg, asam folat 2 x 2 mg,

CaCO3 3x500 mg , transfusi PRC hingga Hb ≥ 10 gr/dL, diet tinggi kalori 35

kkal/kgBB/hari (2450 kkal/hari), rendah protein 0,8 gr/kgBB/hari (56 gram/hari),

rendah garam 100 mEq/hari (230 mg/hari). Adapun dasar pemberian terapi

tambahan tersebut akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.

Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Mekanisme terjadinya anemia

pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin akibat menurunnya

fungsi ginjal. Hal-hal yang lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia

adalah: defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya akibat perdarahan saluran

cerna atau hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya

hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,

proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat

kadar hemoglobin ≤ 10 gr % atau HCT ≤ 30% yang meliputi evaluasi terhadap

18

status besi (SI/TIBC/ferritin), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,

serta kemungkinan adanya hemolisis.4

Pada kasus ini, pasien mengalami anemia ringan normokromik normositer

(Hb 9,40 gr/dL, HCT 31,20%, MCH 27,70fl, MCV 91,50pg). Penyebab anemia

masih ditelusuri, dimana salah satu pemeriksaan penunjang yang direncanakan

ialah pemeriksaan status besi (SI/TIBC/serum ferritin) untuk menyingkirkan

kemungkinan defisiensi besi sebagai penyebab anemia pada pasien ini

Koreksi anemia pada penderita CKD dimulai pada kadar Hemoglobin <

10 gr/dL dengan target terapi, tercapainya kadar hemoglobin antara 11-12 gr/dL.

Pemberian tranfusi pada CKD harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan

indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan

secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh dan

hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan perburukan fungsi ginjal.4

Pada pasien ini, dilakukan tranfusi Packed Red Cells (PRC) sebanyak 2

kolf. Masing-masing 1 kolf tiap kali menjalani hemodialisis (pasien sudah

menjalani 2x Hemodialisis). Setelah mendapatkan 2 kali tranfusi terjadi kenaikan

kadar hemoglobin sesuai target yang diharapkan.

Hipertensi merupakan salah satu temuan klinis lain yang juga sering

dijumpai pada CKD. 3 Pada kasus ini, pasien didapatkan dengan hipertensi grade

II dan riwayat pengobatan captopril 2 x 25 mg, namun hipertensinya masih belum

terkontrol.

Kontrol terhadap tekanan darah sangat penting, tidak hanya untuk

menghambat perburukan CKD, tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit

kardiovaskuler. Penatalaksanaan hipertensi pada pasien CKD berupa diet rendah

garam dan pemberian obat antihipertensi golongan ACE inhibitor dan atau

Angiotensin Receptor Blocker (ARB). ACE inhibitor dan ARB merupakan pilihan

obat antihipertensi untuk pasien CKD karena keduanya mengurangi hipertensi

glomerulus melalui 2 mekanisme, yaitu: (1) menurunkan tekanan darah sistemik

dan menyebabkan vasodilatasi arteriol eferen; dan (2) meningkatkan permeabilitas

membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin fibrogenik. ARB

mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ACE inhibitor (seperti

batuk atau hiperkalemia), akan tetapi karena harga ARB lebih mahal, maka

19

biasanya ARB direkomendasikan bagi pasien yang tidak memberikan respon

positif terhadap pengobatan dengan ACE inhibitor.3

Adapun target penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien

CKD, tergantung pada kadar protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar

protein urin > 1 gr/hari, target tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75

mmHg, sedangkan bila kadar protein dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan

tekanan darah yang diharapkan ialah < 130/80 mmHg.3

Pada pasien ini, diberikan pengobatan berupa Captopril 3 x 25 mg yang

dikombinasikan dengan amlodipine 1 x 10 mg. Pengkombinasian ACE inhibitor

dengan Calcium Channel Blocker pada pasien ini dilakukan karena pasien juga

dicurigai mengalami penyakit jantung hipertensi, yang didasarkan adanya

gambaran kardiomegali pada pemeriksaan foto thorax.

Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD

ialah edema paru. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada

pasien dengan penyakit ginjal secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru

renal primer dan (2) edema paru sekunder sebagai konsekuensi renal dan jantung.

Edema paru renal secara klasik berkaitan dengan adanya kelebihan volume cairan

ekstraseluler sebagai akibat dari kegagalan eksresi air dan natrium. Edema paru

mikrovaskular merupakan bentuk edema paru renal primer lainnya, yang terjadi

akibat adanya peningkatan permeabilitas kapiler paru, yang mungkin disebabkan

karena penurunan tekanan onkotik plasma. Sedangkan edema paru sekunder

sebagai konsekuensi ginjal dan jantung biasanya merupakan komplikasi dari

kelainan jantung yang telah ada sebelumnya, misalnya akibat kardiomiopati

hipertensif, anemik, maupun uremikum.5

Pada CKD, mekanisme utama yang mendasari terjadinya edema paru ialah

fluid overload akibat retensi cairan dan natrium. Akibatnya terjadi peningkatan

tekanan hidrostatik pada kapiler paru yang diikuti oleh terjadinya transudasi

cairan dari kapiler paru ke dalam ruang interstisial maupun alveolus paru. 5

Adanya cairan yang mengisi ruang alveolus mengakibatkan gangguan pada proses

difusi gas, dari alveolus ke kapiler paru. Secara klinis, keadasan ini ditandai oleh

adanya keluhan sesak nafas, rhonki pada pemeriksaan fisik, serta gambaran foto

thorax yang mengarah pada kesan suatu edema paru.6 Pada kasus ini, pasien

20

mengeluh sesak nafas dan batu berdahak disertai buih, ditemukan rhonki dan

kesan edema pulmonum pada foto thoraxnya. Temuan-temuan ini mengarahkan

dugaan adanya edema paru pada pasien ini.

Pembatasan asupan air pada pasien CKD sangat perlu dilakukan untuk

mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk ke

dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun

insesible water loss (IWL) antara 500 sampai 800 ml/hari (sesuai dengan luas

permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500 sampai 800 ml ditambah

jumlah urin per hari.4

Pada pasien ini juga dilakukan pengaturan cairan masuk, guna mencegah

volume overload yang akan memperberat edema paru dan edema tungkai yang

telah terjadi sebelumnya. Produksi urin pasien perhari rata-rata 600 ml, ditambah

IWL (500 ml), maka jumlah cairan keluar adalah 1100 ml, sehingga cairan yang

diberikan juga harus sejumlah itu. Pasien diasumsikan dapat minum ± 2 gelas/hari

(@ 250 ml), sehingga cairan yang diberikan melalui jalur parenteral ialah 600

ml/hari ~ 8 tetes/menit.

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya

hiperfiltrasi glomerulus. Salah satu cara untuk mengurangi keadaan tersebut

adalah dengan pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai

dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit/1,73m2. Jumlah protein yang dianjurkan ialah

0,6 – 0,8g/kgBB/hari, yang mana 0,35-0,50 gram diantaranya sebaiknya

merupakan protein dengan nilai biologis tinggi. Jumlah kalori yang diberikan

sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Diet rendah garam (2-3 gr/hari) juga dianjurkan

sebagai upaya untuk mencegah volume overload sekaligus sebagai terapi

nonfarmakologis untuk mengatasi hipertensi.3,4

Pada pasien ini, diberikan diet

tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari dan rendah protein (0,8 gr/kgBB/hari), serta diet

rendah garam (250 mg/hari).

Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat fosfat. Agen

yang banyak dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta

magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi

fosfat yang berasal dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah

21

kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. 4 Pada pasien ini diberikan CaCO3

dengan dosis 3 x 500 mg.

Pasien CKD mengalami peningkatan risiko athesklerosis karena tingginya

prevalensi faktor risiko “tradisional” dan non “tradisional”. 3

Peningkatan kadar

homosistein merupakan salah satu faktor risiko non tradisional yang sering terjadi

pada pasien CKD. Adapun mekanisme peningkatannya, hingga saat ini masih

belum jelas. Homosistein berperan dalam memicu proses atherogenesis melalui

beberapa cara: (1) menyebabkan kerusakan sel endotel pembuluh darah, (2)

merangsang aktivasi trombosit, (3) mempengaruhi beberapa faktor yang terlibat

dalam kaskade pembekuan darah, seperti menurunkan aktivitas anti thrombin,

menghambat aktivitas kofaktor trombomodulin dan aktivasi protein C,

meningkatkan aktivitas faktor V dan faktor XII, mengganggu sekresi faktor von

Willebrand oleh endotel dan mengurangi sintesis prostasiklin.7

Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah

terjadinya hiperhomosisteinemia pada pasien CKD, karena asam folat merupakan

salah satu substansi penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein Pada

kasus ini, pasien diberikan terapi asam folat 2 x 2 mg.

22

BAB 4

SIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit

ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan yang

dengan atau tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m2, dyang bersifat

progresif dan irreversible. Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema,

hipertensi dan anemia. Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5

stage yang dinilai dari LFG. Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar,

gejala sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD

disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.

Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V, sehingga

penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa

hemodialisis. Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi

penunjang lainnya, yang disesuaikan dengan manifestasi klinis yang muncul.

Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi penyakit dengan tepat, serta

perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan akan

membantu mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas

hidup pasien.