65

cdk_112_fertilitas

  • Upload
    revliee

  • View
    3.460

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: cdk_112_fertilitas
Page 2: cdk_112_fertilitas

CCeerrmmiinn DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

1

12. FertilitasOktober 1996

Daftar Isi : 3. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Pemanfaatan Hormon dalam Kontrasepsi – Max Joseph

Herman 12. Kemungkinan Pemanfaatan Ekstrak Buah Pare sebagai Ba–

han Kontrasepsi Pria – Cornelis Adimunca 16. Dasar Formulasi Jamu Majun/Kuat Pria – Sriana Azis,

Titik Ratih Rahayu 19. Aktivitas Antimikroba Plasma Semen – Rochman Na’im 21. Tumor–tumor Ovarium Borderline - Chrisdiono M. Achadiat 25. Osteoporosis sebagai Problema Klimakterium – P.Gonta 29. Osteoporosis – Dwi Djuwantoro 32. Perdarahan Selama Kehamilan – Yoseph 36. Terapi Imun pada Kasus Abortus Spontan – Interaksi Feto–

maternal Dipandang dari Sudut Imunologi – Paul Zakaria Dagomez

41. Pengaruh Umur pada Hasil Terapi Limfoma Non Hodgkin – Soebandiri

44. Karakteristik Kesehatan di Daerah Pedesaan dan Perkotaan – Sarjaini Jamal

49. Jenis Informasi yang Dapat Diperoleh dan Rekam Medik di Beberapa Rumahsakit Umum Pemerintah - data retrospektif 1988/1989 dan 1992/1993 – Retno Gitawati, Nani Su-kasediati, Ondri D.Sampurno, Puji Lastari

54. Program Pertemuan dan Penyuluhan Keluarga Klien dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSJP Bogor – Rivai

57. Penentuan Faktor Kalibrasi Berkas Pesawat Terapi Cs-137 dengan Metoda Interpolasi – Susetyo Trijoko

60. Pengambilan Keputusan dan Pemilihan Sumber Pengo-batan – Sudibyo Supardi

62. Abstrak 64. RPPIK

Karya Sriwidodo WS

Page 3: cdk_112_fertilitas

Cermin Dunia Kedokteran kali ini membahas fertilitas, kontrasepsi dan beberapa masalah obstetri-ginekologic termasuk problem osteoporosis pada masa klimakterium; pembahasan lain yang menarik ialah kemungkinan penggunaan buah Pare sebagai alat kontrasepsi pria. Terapi imun untuk abortus spontan juga merupakan topik yang dapat menambah wawasan teman sejawat sekalian.

Mudahan-mudahan artikel yang kami terbitkan kali ini bermanfaat bagi para pembaca.

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 2

Page 4: cdk_112_fertilitas

CCeerrmmiinn DDuunniiaa KKeeddookktteerraann

REDAKSI KEHORMATAN – Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD.

Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soe-

darmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– DR. Arini Setiawati

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

DEWAN REDAKSI

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc

KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W

PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

PELAKSANA Sriwidodo WS

TATA USAHA Sigit Hardiantoro

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran Gedung Enseval Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt.

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

PENCETAK PT Temprint

– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo

- Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto

Zahir MSc.

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai

aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau di-bacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus di-sertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pem-baca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) penga-rang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan

yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk meng-hindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mecha-nisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Page 5: cdk_112_fertilitas

English Summary OSTEOPOROSIS AS A PROBLEM IN CLIMACTERIC PERIOD P. Gonta Dept of Obstetrics and Gynecology, Facully of Medicine Atrncjoyo Catholic University, Jakarta, Indonesia

Bone density loss which causes osteoporosis may occur as a consequence of any disturbance of the hypothalamic-hypophysis- ovarial axis. In the climacterium, this disturbance is a natural occurrence bringing osteoporo- sis as a serious problem for women in this period.

Osteoporotic fractures may be predicted using special radio- logical techniques, such as dual photon absorptiometry (DPA) and dual energy x-ray (DEXA). As osteoporosis is caused by estro- gen deficiency, it is logical to treat osteoporolic patients with estro- gens in the form of oral, transder- mal or percutaneous implants supplementation.

Non estrogen treatment with calcitonin or biphosphonates is still an important alternative, especially where estrogens are contraindicated.

Cermin Dunia Kedokt. 1996; 112:25-8

Pg OSTEOPOROSIS Dwi Djuwantoro Sebelas Maret University, Faculty of Medicine Alumnus, Surakarta, Indo- nesia

Osteoporosis is a generalized bone diseases characterized by decreased osteoblastic matrix

formation combined with In- creased osteoclastic bone re- sorption causing a marked decrease in the total amount of bone in the skeleton (osteope- nia). Increased bone resorption may be a more important factor than decreased osteoblaslic for- mation.

Since generalized osteoporo-sis represents a disturbance not only in bone deposition but also in bone resorption, osteoporosis is classified based on the most prominent factor in their etiology and the onset of the disease, even though the resultant skele- tal lesion is the same.The types of osteoporosis include postmeno- pciusal, involutional, idiopathic, Juvenile and secondary osteo- porosis.

The most frequent form in Caucasians and Asians is post- menopausal osteoporosis, Be- cause the survival in the population throughout the world in the increase this type is the more important one. it has been estimated That at least one in three women over 60 will develop an osteoporosis- related fracture while one in six men over the age of 75 will develop osteoporosis.

Diagnosis of osteoporosis can be made by history of previous fractures, clinical symptoms and signs,laboratory examination and radiologic examination. Bone biopsy is rarely needed to rule out other metabolic bone diseases; it is sometimes used to quantitate bone loss.

Management should include

encouragement of physical acti-vity throughout life, restriction of tobacco and alcohol consump-tion, maintenance of adequate calcium intake, and avoidance of oestrogen deficiency. In osteoporosis in the elderly, it must be remembered that hip and wrist fracture are usually precipitated by a fall. Steps should be taken to reduce the incidence of falls wherever possible; this may re- quire review of psychotropic, anti-hypertensive and other medica- tions,assessment of the home and external environment and provi -sion of suitable aids, and evalua- tion of visual problems. General exercises also have a role in main-taining balance in the elderly.

Cermin Dunia Kedokt,1996; 112:29-31

Dd

DETERMINATION OF CALIBRA-TION FACTOR OF Cs-137 THERAPY BEAMS USING INTER-POLATIVE METHOD Susetyo Trijoko National Atomic Energy Board, Pasar Jum’at, Jakarta, Indonesia

As a recognized Secondary Standard Dosimetry Laboratory (SSDL) under IAEA coordination, National Calibration Facility of BATAN, also known as SSDL- Jakarta, has been equipped with NPL dosimeter system for se- condary standard therapy level together with Co-60 and X-ray therapy machines. The dosimeter system is calibrated periodically by the Primary Standard Dosi- metry Laboratory (PSDL). So far the Electrotechnical Laboratory

(Bersambung ke halaman 20)

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 4

Page 6: cdk_112_fertilitas

Artikel TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pemanfaatan Hormon dalam Kontrasepsi

Max Joseph Herman

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Pertambahan penduduk dunia yang sangat pesat terutama di negara-negara berkembang dan kemajuan dalam dunia kedokter-an serta kesehatan masyarakat yang menurunkan tingkat morta- litas dan meningkatkan harapan hidup menimbulkan tanggung jawab dunia kedokteran atas populasi yang berlebihan. Dalam hal ini kontrasepsi sangat efektif dan memegang peranan penting dalam kontrol ledakan penduduk dunia. Meskipun ada kekhawa- tiran akan penyalahgunaan seksual dan degenerasi moral, peng- gunaan hormon steroid dalam kontrasepsi oral (KO) dengan cepat tersebar luas dan terkenal.

Insiden reaksi samping serius yang tidak banyak meskipun sudah jelas dan hormon kontrasepsi harus dipertimbangkan untung ruginya terhadap akibat dan tidak terkendalinya partum- buhan penduduk dunia. Lagi pula di negara-negara terbelakang morbiditas dan mortalitas kehamilan serta persalinan jauh me- lebihi insiden efek yang tidak diharapkan dari KO sehingga di beberapa negara KO bahkan dapat diperoleh tanpa resep dokter.

Selain risiko kesehatan, kontrasepsi juga memberikan ba- nyak manfaat kesehatan non-kontrasepsi dan informasi ini pen- ting untuk pengambilan keputusan. Misalnya KO bukan hanya mencegah kehamilan tetapi juga menurunkan risiko kanker endometrium dan ovarium serta melindungi terhadap penyakit radang pelvik akut dan kehamilan ektopik, meskipun KO juga meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) memberikan perlindungan kontrasepsi yang efektif tetapi meningkatkan potensi infeksi dalam kelom- pok risiko tinggi tertentu, metoda kontrasepsi barrier kurang begitu efektif tetapi melindungi dari infeksi penyakit akibat hu- bungan seksual (PHS) termasuk HIV. Kepentingan manfaat dan risiko kontrasepsi bervariasi antar masyarakat karena variasi prevalensi penyakit yang terlibat.

Antar negara serta antar waktu terjadi perubahan metoda yang banyak dipakai dengan pola perubahan yang bergantung

pada berbagai faktor seperti metoda, fasilitas medis dan personel yang tersedia, penetapan target, promosi metoda tertentu dan perubahan selera pemakai. Tiap metoda memiliki keuntungan dan kerugian, tidak ada metoda yang cocok untuk semua pemakai dan metoda tertentu bahkan merupakan kontraindikasi bagi ke-lompok tertentu. Sedangkan hormon mungkin digunakan pada AKDR, KO maupun implantasi atau injeksi. SIKLUS MENSTRUASI

Karakteristik hormon dalam siklus menstruasi manusia ber-ubah dari satu tahap perkembangan ovarium ke tahap berikutnya dan setelah usia mencapai 45 tahun ada kecenderungan ambang estrogen yang lebih rendah dalam siklus. Siklus menstruasi nor-mal berlangsung rata-rata 28 hari dan terdiri atas 3 fasa dalam hubungannya dengan efek baik terhadap ovarium maupun ter- hadap uterus dapat dilihat di Gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan Fasa-fasa Siklus Menstruasi dalam Efek ter - hadap Ovarium dan Uterus

Fasa-fasa sehubungan dengan efek terhadap ovarium adalah fasa folikular, ovulasi dan luteal. Fasa folikular berlangsung selama 14 hari awal dari siklus saat folikel yang mengandung oocyte berkembang dan membesar serta akhirnya satu folikel Graafian pecah dengan melepaskan telur (ovulasi). Fasa ovulasi berlangsung biasanya pada hari ke 13–15 dalam siklus saat

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 5

Page 7: cdk_112_fertilitas

folikel yang pecah berubah bentuk menjadi corpus luteum yang memelihara produksi estrogen dan progestin selama sisa waktu dalam siklus. Apabila tidak terjadi kehamilan, corpus luteum mulai berdegenerasi dan menghentikan produksi hormon dan penurunan produksi estrogen dan progestin ini mengakibatkan perdarahan menstruasi hingga suatu siklus baru dimulai lagi.

Fasa-fasa sehubungan dengan efek terhadap uterus adalah fasa menstruasi, proliferasi dan sekretori. Fasa menstruasi mulai pada hari pertama dari siklus dan berlangsung 3–6 hari dengan total darah dan cairan yang keluar bervariasi tetapi biasanya tidak lebih dari 60 ml. Fasa ini diikuti oleh fasa proliferasi (hari ke 6–14) saat lapisan endometrium dan kelenjar serta pembuluh rahim tumbuh sebagai respons terhadap stimulasi oleh estrogen. Fasa terakhir sekretori (hari ke 14–28) saat garis endometnium makin tebal dan kelenjar utenin mulai mengeluarkan sekret; fasa terakhir ini terutama diatur oleh progesterone

Estrogen Estrogen atau hormon seks wanita bertanggung jawab atas

pertumbuhan dan perkembangan tuba Falopi, ovarium, uterus dan alat kelamin eksternal serta karakteristik seksual sekunder wanita. Hormon tersebut terutama berkaitan dengan perubahan -perubahan siklus normal yang terjadi pada endometrium dan rahim selama siklus. Estradiol merupakan estrogen alam utama yang diproduksi oleh ovarium di samping beberapa estrogen yang diproduksi secara metabolik dalam hati.

Berbagai sediaan estrogen alam atau sintetik dikembangkan untuk pemakaian oral, parenteral maupun topikal. Absorpsi oleh membran mukosa saluran kelamin dan pencernaan biasanya baik dan absorpsi melalui kulit juga bisa menimbulkan efek sistemik. Estrogen digunakan untuk terapi pada beberapa kondisi wanita termasuk kontrol konsepsi, endometriosis,hipogonadisme, meno-pause dan perdarahan abnormal, sedangkan pada pria untuk pe- natalaksanaan paliatif kanker prostat yang tidak bisa dioperasi.

Progestin Merupakan hormon yang secara alami terutama diproduksi

oleh corpus luteum dan plasenta yang berperan dalam reproduksi dengan mempersiapkan endometrium untuk implantasi telur dan membantu perkembangan serta berfungsinya kelenjar mammary. Di samping efek progestationalnya, progestin sintetik tertentu memiliki efek anabolik, androgenik atau estrogenik (biasanya lemah). Progesteron merupakan progestin alam yang paling banyak yang selain efeknya sebagai hormon juga ber- fungsi sebagai prazat untuk produksi berbagai androgen, kor- tikosteroid dan estrogen secara endogen.

METODA KONTRASEPSI Berbagai metoda kontrasepsi dikenal dan dikembangkan

dalam usaha mengendalikan ledakan penduduk baik secara oral dengan memanfaatkan hormon dalam berbagai bentuk pil, AKDR, barrier, kontrasepsi jangka panjang, sterilisasi maupun metoda tradisional.

Kontrasepsi steroid sangat efektif, relatif aman dan mudah digunakan, sedangkan prospek pengembangan metoda non- steroid yang baru sulit sehingga penelitian dewasa ini lebih menekankan pada pengembangan sistem baru dalam pemberian kontrasepsi steroid. Rute non-oral unggul dalam hal menghindari efek first-pass hati sehingga memungkinkan penurunan dosis hormon dan mengurangi efek samping metabolik, memberikan kadar hormon serum yang tetap serta menyederhanakan kepatuh-an pemakai. Implantasi subkutan levonorgestrel merupakan contoh yang dapat digunakan lima tahunan yang terdiri atas 6 kapsul karet-silikon yang tidak didegradasi biologis dan me- ngandung total levonorgestrel 36 mg dengan pelepasan zat aktif rata-rata 30 µg per hari.Tingkat kegagalan meningkat dari 0,04% pada tahun pertama menjadi 1,1% pada tahun kelima dan lebih tinggi pada wanita dengan obesitas. Sediaan ini seperti progesto- gen lainnya berkaitan dengan insiden tinggi ketidak-teraturan menstruasi.

Beberapa di antara steroid aktif oral yang mula-mula diguna-kan untuk inhibisi ovulasi memiliki aktivitas estrogenik bawaan dan beberapa sediaan progestin ternyata terkontaminasi oleh estrogen. Kenyataan ini mendukung kenyataan bahwa estrogen meningkatkan efek supresif progestin dan mendukung peng-gunaan kombinasi keduanya. Untuk meminimalkan efek sam-ping dengan tetap menjamin fungsi kontrasepsi maka berdasar-kan pengalaman dosis progestrum dan estrogen harus dikurangi.

Cincin vagina yang hanya mengandung progestogen me-lepaskan 20 µg levonorgestrel per hari dan digunakan untuk pe-makaian selama 3 bulan dengan tingkat kegagalan sama dengan progestogen lain. Kontrol siklus yang Iebih baik diberikan oleh cincin vagina kombinasi yang melepaskan 15 µg etinilestradiol dan 120 µg desogestrel sehani selama 21 hari dan tidak diguna-kan selama 7 hari dengan tingkat kegagalan sama dengan kon-trasepsi oral kombinasi (KOK). Kontrasepsi hormonal

Hormon steroid kontrasepsi terutama tersedia dalam bentuk oral meskipun sediaan implantasi subkutan dan insersi vagina juga dikembangkan. Per oral hormon kontrasepsi yang diguna-kan mungkin dalam bentuk pil kombinasi, sekuensial, mini atau paska senggama dan bersifat reversibel. Kontrasepsi oral kombi-nasi merupakan campuran estrogen sintetik seperti etinilestra-diol dan satu dari beberapa steroid C19dengan aktivitas progesteron seperti noretindron. Pada umumnya mengandung dosis estrogen dan progestogen yang tetap,digunakan selama 21 hari dan diikuti 7 hari tanpa kontrasepsi. Kômbinasi ini sangat efektif dengan tingkat kehamilan 0,1–1,0% pada wanita pemakai tetap tahunan.

Kontrasepsi oral kombinasi (KOK) menghambat ovulasi dan menginduksi perubahan lendir serviks dan endometnium sehingga transport sperma dan implantasi embrio menjadi sulit. Sediaan tiga fasa yang mengandung estrogen dan progestogen

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 6

Page 8: cdk_112_fertilitas

dalam perbandingan yang bervariasi dikembangkan untuk me- nurunkan dosis total bulanan progestogen dan lebih menyerupai perubahan-perubahan hormon dan siklus menstruasi, akan tetapi dosis estrogen harus dinaikkan untuk menjamin inhibisi ovulasi dan tidak banyak keunggulannya dibandingkan dengan pil monofasa.

Pemakaian dosis kecil progestogen (noretindron atau le-vonorgestrel) setiap hari memungkinkan cara kontrasepsi bebas estrogen. Ovulasi hanya dihambat pada ± 50% dengan prinsip kerja berdasarkan kemampuan pengubahan lendir serviks yang menghambat transport sperma. Kontrasepsi dengan progestogen saja kurang efektif dibandingkan dengan kombinasi dan peng-gunaannya sering terbatas pada wanita dengan fertilitas yang me-mang sudah berkurang seperti yang lebih tua atau sedang me-nyusui atau dalam hal KOK merupakan kontraindikasi. Per im progestogen menghambat ovulasi lebih baik dari pada per oral tetapi menimbulkan gangguan menstruasi seperti halnya pe-makaian oral. Dalam usaha untuk mengurangi efek samping, dosis estrogen dikurangi dan progestogen yang lebih baru serta rute pemakaian yang lain dipelajari. Tiap risiko harus dipertim-bangkan terhadap bahaya sehubungan dengan kehamilan akibat persetubuhan yang tidak dijaga atau penggunaan metoda yang kurang efektif. Mekanisme kerja hormon kontrasepsi

Pemakaian estrogen dan progestin dapat mengganggu ferti-litas dengan berbagai cara dan jelas bahwa campuran keduanya mengharnbat ovulasi. Berbagai efek hormon-hormon ovarium terhadap fungsi gonadotropik dan hipofisis yang menonjol antara lain an estrogen adalah inhibisi sekresi FSH dan dari progesteron inhibisi pelepasan LH. Pengukuran FSH dan LH dalam sirkulasi menunjukkan bahwa kombinasi estrogen-progesteron menekan kedua hormon. Jelas bahwa ovulasi dapat dicegah baik dengan inhibisi stimulus ovarium maupun pen-cegahan pertumbuhan folikel.

Meskipun ovulasi tidak dicegah, kontrasepsi oral dapat be-kerja langsung pada saluran kelamin. Endometrium harus berada dalam status perkembangan yang tepat di bawah pengaruh estro-gen dan progesteron untuk terjadinya nidasi dan hampir tidak mungkin terjadi implantasi pada endometrium yang berubah akibat pengaruh sebagian besar penekan. Demikian pula sekret serviks yang banyak mengandung air pada saat ovulasi dianggap esensial bagi sperma dan lendir kental yang dihasilkan karena pengaruh progesteron merupakan lingkungan yang tidak men-dukung bagi sperma.

Kekhawatiran akan efek tidak diharapkan dan estrogen mendorong penggunaan progestin semata dalam berbagai cara. Pemakaian terus menerus progestin dalam dosis yang cukup menghentikan siklus selama pemberian dan menyebabkan atropi ovarium serta endometrium. Dosis sangat kecil dapat mengubah struktur endometrium dan konsistensi lendir serviks tanpa me-mutus siklus atau menghambat ovulasi.

Dewasa ini kontrasepsi progestin tunggal menekan berva-riasi FSH, LH dan ovulasi yang menjelaskan tingkat etikasinya yang lebih rendah dan pada kombinasi. Dengan pemakaian hari- an kontinu, menstruasi terjadi tetapi panjang siklus dan durasi

perdarahan sangat bervariasi sehingga mempengaruhi populari-tasnya.

Dosis besar estrogen yang digunakan sebagai kontrasepsi pasca senggama bekerja dengan menghambat fertilisasi dan nidasi dengan berbagai cara. Motilitas saluran telur mungkin berubah seperti halnya endometrium dan penghentian dosis besar estrogen menginduksi perdarahan. ● Pil kombinasi

Sejak pertengahan tahun 60-an etinilestradiol merupakan estrogen dalam hampir semua KOK, tetapi dengan kadar yang makin lama makin kecil. Sediaan sekuensial umumnya mengan-dung< 35 µg. Sebaliknya dalam usaha untuk meminimalkan efek samping androgenik yang menyertai, tipe progestogen sintetik telah diubah. Progestogen yang terbaru yang disebut generasi ke-3 (desogestrel, gestoden, norgestimat) sangat poten kemam-puannya untuk inhibisi ovulasi dan transformasi endometrium sehingga tidak mendukung kehamilan. Ketiganya merupakan antiestrogen lemah dengan aktivitas androgenik yang lebih kecil danipada pendahulunya dan berkaitan dengan lebih sedikit per- ubahan dari metabolisme lipoprotein serta mungkin karbohidrat.

Tiga tipe formula umum dari KOK dikembangkan yaitu mono-, bi- dan tri-fasa yang semuanya hampir 100% dapat me-lindungi dari kehamilan bila dipergunakan dengan benar meski-pun juga menyebabkan morbiditas yang berarti, khususnya pada wanita perokok.

KO monofasa menggunakan estrogen dan progestin dalam perbandingan yang tetap selama 21 hari dari siklus menstruasi normal. Ovulasi dihambat dengan menekan ambang estrogen dan progestin endogen.

KO bifasa melepaskan jumlah hormon yang berbeda selama separuh waktu I dan ke II dari siklus menstruasi di mana ambang estrogen dan progestin yang lebih rendah digunakan dalam fasa folikular serta ditingkatkan dalam fasa luteal. Satu kelemahan dari formula ini adalah inhibisi ovulasi yang tidak konsisten dan ketidak-teraturan pola menstruasi.

KO trifasa merupakan bentuk KO yang terakhir dikembang-kan dan paling mirip dengan pola normal ambang estrogen dan progesteron yang teramati selama siklus menstruasi di luar pengaruh hormon eksogen. Pendekatan ini memungkinkan dosis rendah estrogen dan progestin selama fasa folikulan, dengan pe- ningkatan progestin baik pada fasa ovulasi maupun luteal se- hingga lebih mirip dengan ambang hormon yang terjadi secara alamiah (Gambar 3).

Gambar 3. Perbandingan Ambang Estrogen dan Progestin Selama Siklus Normal dan Penggunaan Kontrasepsi Oral Trifasa

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 7

Page 9: cdk_112_fertilitas

Pil mini Hanya mengandung progestogen dan merupakan satu-satu-

nya alternatif hormon dari pemakaian KOK, diberikan 1 dd se-lama 28 hari siklus menstruasi dengan proteksi kehamilan pada penggunaan yang benar ± 97%. Dapat diperkirakan efek sam- pingnya lebih sedikit, tetapi berhubungan dengan insiden tinggi gangguan menstruasi khususnya perdarahan tak teratur.Progesto- gen tidak berefek pada pembekuan darah atau agregasi trombosit dan merupakan pilihan untuk wanita dengan hipertensi. Per-injeksi, medroksiprogesteron asetat, bisa digunakan dan mem-berikan metoda kontrasepsi yang sangat efektif serta aman.

Pil pasca senggama Konsep metoda kontrasepsi sesudah hubungan intim bukan-

lah hal yang baru dan cukup menarik. Dosis tinggi estrogen tunggal (misalnya 25 mg dietilstilbestrol sehani selama 5 hari) atau kombinasi dengan progestogen (100 µg etinilestradiol dan 1 mg levonorgestrel 2 kali sehani dengan selang waktu 12 jam) dapat mengurangi risiko kehamilan setelah hubungan intim yang tidak dijaga dengan efek samping mual dan gangguan siklus menstruasi. Kenyataan bahwa obat harus digunakan dalam waktu 72 jam setelah senggama, di samping penyalahgunaannya untuk menggugurkan kandungan, kurang mendukung penggunaannya.

Alat kontrasepsl dalam rahim Mungkin mengandung hormon mungkin pula tidak, sangat

efektif (tingkat kegagalan 6% pada tahun I pemakaian) dan kegagalan akibat ekspulsi AKDR yang tidak terdeteksi. Kon-trasepsi bersifat reversibel, mencegah kehamilan ektopik dan yang mengandung progesteron mengurangi kehilangan darah menstruasi serta dismenorrhoea. Tidak ada manfaat kesehatan non-kontrasepsi lain dari AKDR yang diketahui dari risiko yang mungkin adalah inflamasi pelvik, infertilitas tuba, aborsi septik atau spontan dari perforasi rahim.

Masalah peningkatan risiko kehamilan ektopik pada pema-kaian AKDR jenuh hormon dapat diatasi dengan peningkatan dosis progestogen sintetik. AKDR jenuh levonorgestrel yang melepaskan 20 µg sehari dapat digunakan. Dibandingkan dengan AKDR inert atau tembaga, AKDR ini menurunkan kehilangan darah menstruasi dan banyak yang menjadi amenorrhoea setelah beberapa bulan pemakaian yang disebabkan oleh atropi endo-metrium dan mungkmn destruksi reseptor estrogen dan endo-metrium. Fungsi ovarium jarang dipengaruhi, jadi amenorrhoea tidak disertai dengan hipoestrogenisme.

Kontrasepsi jangka panjang Terutama berupa injeksi atau implantasi/susuk yang sangat

efektif dalam waktu antara 1 bulan sampai dengan 5 tahun dan semuanya mengandung progestin yang mungkin mengganggu siklus menstruasi. Injeksi biasanya diberikan tiap 8-12 minggu dari bekerja dengan menghambat ovulasi, mengentalkan lendir serviks serta mengubah endometrium sehingga menyulitkan implantasi.

Amenorrhoea atau episode perdarahan tidak teratur dan tidak dapat diduga merupakan masalah yang paling umum pada injeksi dan merupakan alasan utama untuk penghentian pema-kaiannya. Injeksi dapat melindungi terhadap penyakit inflamasi pelvik dengan mengubah lendir serviks selain terhadap kanker

endometrium dan serviks. Sedangkan implantasi subdermal progestin efektif untuk 3–5 tahun dengan efek samping sama dengan injeksi, hanya saja implant dapat dikeluarkan bila kom- plikasi serius.

Tabel 1. Komposisi dan dosis beberapa kontrasepsi oral

Estrogen (mg) Progestin I (mg) Kombinasi 20,02 etinilestradiol 0,03 etinilestradiol 0,03 etinilestradiol 0,03 etinilestradiol 0,035 etinilestradiol 0,035 etinilestradiol 0,035 etinilestradiol 0,035 etinilestradiol 0,05 mestranol 0,05 etinilestradiol 0,05 etinilestradiol 0,05 etinilestradiol 0,05 etinilestradiol 0,05 etinilestradiol Sekuensial 30,03 0,04 0,03 etinilestradiol 0,035 etinilestradiol 0,035 etinilestradiol 0,035 etinilestradiol Pil mini 4

– – Pil pasta senggama, Dietiistilbestrol

1,0 noretindronasetat 0,3 norgestrel 1,5 noretindronasetat 0,15 levonorgestrel 0,4 noretindron 0,5 noretindron 1,0 etinodioldiasetat 1,0 noretindron 1,0 noretindron 0,5 norgestrel 1,0 etinodioldiasetat 1,0 noretindron 1,0 noretindronasetat 2,5 noretindronasetat 0,05 0,075 0,125 levonorgestrel 0,5 1,0 0,5 noretindron 0,5 0,75 1,0 noretindron 0,5 1,0 noretindron 0,35 noretindron 0,075 norgestrel

Catatan: 1. Norgestrel bersifat androgenik kuat dan yang lain sedang 2. Kombinasi digunakan 21 hari dan 7 hari kosong. potensi estradiol ± 20x mestranol 3. Sediaan bifasa, sel I digunakan 10 hari dan sel II 11 hari diikuti 7 hari tanpa pi1. Sediaan trifasa. tiap sel digunakan 5-10 hari dalam 3 fasa berturutan dilkuti 7 hari kosong 4. Digunakan tiap hari terus menerus. tidak begitu efektif 5. Dosis 25 mg 2 dd selama 5 hari dalam 72 jam setelah hubungan seks.

Kontrasepsi pria Pengembangan metoda kontrasepsi hormon yang dapat di-

percaya untuk pria lebih sulit, Regulasi spermatogenesis kurang dimengerti dari hubungan antara aktivitas seks dengan hormon jauh lebih langsung pada pria sehingga setiap metoda juga harus mencakup penggantian testosteron bila fungsi seks ingin diper-tahankan. Penggunaan jumlah besar testosteron untuk inhibisi sekresi FSH serta LH dan karena itu spermatogenesis bukan hal yang baru. Sejak tahun 1950-an azoospermia sudah dapat dicapai dengan injeksi harian 25 mg testosteron propionat (androgen sintetik yang oral aktif seperti metiltestosteron dapat merusak hati). Kombinasi antagonis poten GRH dan testosteron lebih se-ring menimbulkan azoospermia tetapi kebutuhan injeksi harian antagonis ini menjadikan cara ini tidak praktis, lagi pula per-ubahan-perubahan pot faktor-faktor pembekuan darah, pembesaran prostat dan perubahan lipoprotein serum menjadi masalah untuk pemakaian jangka panjang. Perkembangan terakhir

Perkembangan yang paling menjanjikan dalam bidang

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 8

Page 10: cdk_112_fertilitas

kontrasepsi hormon adalah pemakaian agonis dan antagonis. Agonis GRH terikat pada reseptornya dalam hipofisis anterior dan setelah mula-mula menstimulir sekresi FSH serta LH, me- nimbulkan status hipogonadotropik. Ovulasi dihambat selama pemakaian intranasal kronis agonis GRH, buserelin, yang ter- bukti bermanfaat khususnya sebagai kontrasepsi dalam masa menyusui karena hanya jumlah kecil yang masuk ke dalam air susu. Bila aktivitas ovarium total ditekan, efek merusak status hipoestrogenik berkepanjangan pada tulang dan sistem kardio- vaskular mungkin memerlukan terapi. Sebaliknya penekanan tidak sempurna dengan aktivitas ovarium sisa mungkin mening-katkan risiko hiperplasia endometrium dan kanker akibat efek- efek estrogen yang tidak ditentang.

Antagonis progesteron menawarkan potensi besar untuk pengaturan fertilitas. Progesteron esensial untuk sejumlah fungsi reproduksi termasuk pembentukan dan pemeliharaan kehamilan. Antagonis. progesteron seperti mifepriston memblokir kerja progesteron pada endometrium sehingga menimbulkan lingkung-an yang menghambat kehamilan. Dalam kombinasi dengan prostaglandin sangat efektif dan aman untuk mengakhiri keha- milan masih dini. Bila diberikan dalam fasa awal luteal dari siklus dapat mencegah pengembangan endometrium fasa sekresi dan mungkin efektif pada pemberian sekali sebulan. Kemampu-an mifepriston untuk memblokir ovulasi bila diberikan dalam fasa folikular siklus dan mencegah pengembangan endometrium fasa sekresi menjelaskan alasan penggunaannya sebagai kontra- sepsi pasca senggama.

Metoda barrier Mencakup kondom, diafragma dan sponge.

Sterilisasi Merupakan kontrasepsi yang aman dan sangat efektif de-

ngan risiko sebagian besar karena teknik anestesi atau bedah yang tidak memadai (tubektomi untuk wanita dan vasektomi untuk pria).

Metoda tradisional Mencakup pantang berkala atau ritme, senggama terputus,

pencucian vagina atau puasa total yang semuanya kurang efektif dibandingkan dengan metoda modern. Proses menyusui juga dapat menunda ovulasi dan dapat dianggap bentuk kontrasepsi. Pantang berkala biasanya didasarkan pada kalender, suhu basal tubuh dan/atau sifat lendir serviks. EFEK-EFEK HORMON KONTRASEPSI

Di samping mencegah kehamilan berbagai efek baik yang tidak diharapkan maupun yang bermanfaat terhadap kesehatan mungkin timbul akibat pemakaian kontrasepsi, misalnya metoda barrier membantu melindungi terhadap penyakit akibat hubung-an seksual termasuk HIV dan kanker serviks, KOK mengurangi kista payudara ganas, kista ovarium kambuhan, anemia keku- rangan besi tetapi sekaligus juga peningkatan risiko terutama penyakit kardiovaskular.

Dari efek yang tidak diharapkan yang paling diperhatikan adalah efek samping kardiovaskular dan induksi atau promosi tumor. Kebanyakan data efek samping KO diperoleh secara

retrospektif dan tanpa kontrol yang memadai. Lagi pula umum- nya sediaan yang digunakan mengandung jumlah estrogen dan progestin yang lebih besar dari pada yang banyak digunakan masa kini, sehingga banyak pandangan mengenai efek samping KO sekarang merupakan ekstrapolasi dan data terdahulu. Oleh karena itu penilaian rasio risiko-manfaat sangat penting agar diperoleh metoda kontrasepsi yang efektifdengan risiko sekecil mungkin.

Kanker endometrium dan ovarium KOK memiliki efek protektif terhadap kanker baik endo-

metrium maupun ovarium dan dosis lebih kecil dan estrogen dan progestin memberikan proteksi yang sama bila mekanisme kerja- nya melibatkan pemeliharaan perdarahan reguler akibat peng- hentian kontrasepsi. Bila dosis kecil memungkinkan untuk pe- makaian di atas usia 35 tahun risiko kanker endometrium lebih jauh dikurangi.

Kanker hati Di daerah tertentu ada hubungan yang erat antara infeksi

virus hepatitis B dan kanker hati dan dalam hal ini penggunaan jangka pendek KOK tidak meningkatkan risiko kanker hati, se- baliknya di daerah kanker hati jarang ditemukan ada hubungan antara kanker hati dan pemakaian KOK.

Kanker serviks Hubungannya dengan hormon kontrasepsi tidak sejelas

seperti halnya dengan aktivitas seksual. Dengan rnengabaikan aktivitas seksual dan metoda kontrasepsi barrier yang memiliki efek protektif, tampaknya tidak ada hubungan kenaikan risiko kanker serviks dengan pemakaian KOK.

Kanker payudara Meskipun estrogen menstimulasi perturnbuhan jaringan pa-

yudara dan pemakaiannya dalam jangka panjang sewajarnya bila berkaitan dengan peningkatan risiko kanker payudara seperti halnya terbukti pada wanita paska rnenopause, dalarn studi tidak terlihat adanya peningkatan risiko dan tidak ada hubungan antara dosis dan lama pemakaian dengan risiko tersebut, sebaliknya sediaan dengan kadar progestin tinggi seperti pada pil mini dapat menurunkan risiko.

Penyakit kardiovaskular dan metabolisme lemak Ada kenaikan risiko kematian 4–7 kali akibat penyakit kar-

diovaskular pada wanita pemakai KO yang mengandung 50 µg estrogen danjelas bahwa penurunan dosis estrogen menurunkan risiko. Risiko ini sering dikaitkan dengan perubahan kadar lipo- protein serum dan diketahui bahwa KOK tidak mengubah kadar kolesterol serum total tetapi meningkatkan kadar trigliserida dan ada juga progestin yang lebih baru yang rneningkatkan kolesterol HDL serum. Risiko ini biasanya berupa thromboemboli vena, infark miokardium dan stroke yang terutama terjadi pada wanita dengan usia lebih dari 30 tahun dan merokok atau memiliki faktor risiko kardiovaskular lain.

Perubahan metabolisme lipida akibat penggunaan KOK ru-mit dan hubungan perubahan ambang lipoprotein serum dengan penyakit kardiovaskular tidak langsung. KOK meningkatkan produksi faktor X, II dan plasminogen, menurunkan produksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 9

Page 11: cdk_112_fertilitas

antitrombin dan meningkatkan agregasi platelet dengan menu-runkan produksi prostaglandin. Perubahan-perubahan ini mung-kin hanya penting pada wanita perokok karena merokok juga meningkatkan risiko thrombogenesis, sehi ngga disimpulkan bahwa KOK aman untuk wanita yang tidak menderita gangguan sistem sirkulasi sebelumnya dan lebih-lebih bila tidak merokok. Toleransi glukosa

Tidak seperti estrogen, progestin mengganggu toleransi glukosa dan derajatnya bergantung pada baik tipe maupun dosis progestin yang bersangkutan. Gangguan paling menonjol pada turunan nandrolon dan paling kecil pada medroksiprogesteron asetat. Progestogen generasi ke-3 bila ada hanya kecil saja efek-nya pada metabolisme karbohidrat. Lagi pula pada umumnya wanita yang metabolisme karbohidratnya terganggu setelah pe- makaian OK akan kembali memiliki toleransi glukosa normal selama 6 bulan pemakaian. Meskipun demikian KOK dapat me- ningkatkan kebutuhan insulin pada diabetes melitus dan nilai peningkatan insulin yang dibutuhkan tidak berarti bila diban- dingkan dengan jaminan kontrasepsi pada wanita dengan keha- milan merupakan suatu kontraindikasi. Hipertensi

KOK menyebabkan hipertensi pada ± 4–5% wanita normo- tensi dan meningkatkan tekanan darah pada ± 9–16% pada wa- nita dengan hipertensi sebelumnya. Efek ini mungkin karena baik estrogen maupun progestin memiliki kemampuan untuk mempermudah retensi ion natrium dan sekresi air akibat kenaik-an aktivitas renin plasma dan pembentukan angiotensin yang me-nyertainya. Efek hormon maupun risiko ini berhubungan dengan ras, sejarah keluarga, kegemukan, makanan, rokok dan lama pe-makaian KOK. Beberapa progestogen generasi ke-3 memiliki efek antimineralokortikoid sehingga menurunkan risiko hiper- tensi. Pemantauan tekanan darah selama 3 bulan awal pemakaian memungkinkan pendeteksian wanita yang rentan dan efek ini hampir selalu bersifat reversibel. Efek lainnya

Efek samping ringan yang sering seperti mual, muntah, pu- sing, dan kenaikan bobot badan merupakan manifestasi keha- milan dini dan gejala umum pada pemakaian KO serta biasanya hanya untuk jangka pendek atau pada 1–2 siklus awal seperti hal-nya perdarahan yang tidak teratur. Pemakaian KO terus selama kehamilan mungkin menyebabkan deformasi dan maskulinisasi janin dan pemakaian segera setelah persalinan mengurangi lak- tasi dan menyebabkan ekskresi steroid dalam air susu.

KO dapat mengurangi risiko penyakit radang pelvik yang sering kali menyebabkan kemandulan dengan dua mekanisme yang mungkin, yaitu perubahan lendir serviks sehingga patogen tidak bisa naik ke saluran kelamin bagian atas atau penurunan darah menstruasi sehingga mengurangi jumlah medium yang dibutuhkan untuk pertumbuhan patogen.

KO juga dapat berinteraksi dengan obat lain melalui kerja- nya yang bertentangan (antagonis farmakologis) seperti halnya dengan antihipertensi dan antikoagulan oral maupun melalui peningkatan metabolisme hati seperti halnya dengan rifampin.

KONTRASEPSI DI INDONESIA Penggunaan kontrasepsi di Indonesia direkomendasikan

dengan tahapan pola dasar memakai pendekatan secara paritas (Tabel 2 dan 3).

Tabel 2. Tahapan Pola Dasar Penggunaan Kontrasepsi dengan Pendekatan Paritas

Masa menunda kehamilan

Masa mengatur jarak kehamilan

Masa mengakhiri kehamilan

I Ha fib IIIa flub

3 - 4 tahun

2 0 3 0

Pil AKDR AKDR Kontap Kontap Sederhana Pil Suntikan Susuk KB AKDR AKDR Suntikan Susuk KB AKDR Susuk KB

Sederhana

Pil Sederhana

Suntikan Pil

Suntikan Pit Sederhana

Tabel 3. Bagan Pendekatan Secara Paritas

Jumlah anak Umur

20 20-24 25-29 30-34 35 0 1 I 1 Risiko tinggi 1 IIa IIa IIb Ilb Risiko tinggi2 IIb IIIa Ma IIIa IIIb3/lebih IIIa IIIa IIIb IIIb IIIb

PEMANTAUAN RESPONS PEMAKAI KONTRASEPSI Efek tidak diharapkan yang lebih ringan dan KO biasanya

akibat formulasi dan membutuhkan waktu ± 3 bulan agar tubuh dapat menyesuaikan din. Sering kali pada saat ini dibutuhkan pemantauan respons, khususnya untuk identifikasi bila efek tidak diharapkan terjadi akibat kelebihan atau kekurangan estro-gen atau progestin.

Bercak darah dan perdarahan pada bagian awal siklus mung-kin menunjukkan defisiensi estrogen, sedangkan mual-muntah (khususnya pagi hari), udema mungkin pula terjadi karena efek estrogen. Efek lain seperti payudara lunak, depresi, lelah dan tidak ada inisiatif disebabkan oleh progestin. Sebagian besar efek tidak diharapkan karena KO dapat dikurangi atau dihilangkan dengan memantau efek samping yang disebabkan oleh keku- rangan/kelebihan hormon dan mengganti sediaan yang lebih mendekati siklus hormon individu. KESIMPULAN

Insiden gangguan kardiovaskular yang meningkat selama masa kehamilan dan postpartum serta kenaikan mortalitas akibat berbagai sebab selama kehamilan mendukung pandangan bahwa kenaikan insiden gangguan kardiovaskular akibat KO merupa- kan risiko yang relatif kecil dan d ditenima karena kehamilan secara efektif dapat dicegah olehnya. Komplikasi serius kehamil-an demikian jauh lebih sering dan pada akibat pemakaian KO se-hingga kesulitan yang timbul dan kehamilan yang tidak diharap-kan masih lebih tinggi bila digunakan metoda kontrasepsi lain yang kurang efektif. Sehubungan dengan kanker sedikitnya laporan tentang efek samping meskipun penggunaan KO sangat

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 10

Page 12: cdk_112_fertilitas

banyak dan luas mencerminkan perioda laten yang dibutuhkan untuk transformasi selular sehingga studi prospektif tambahan dibutuhkan untuk menentukan apakah KO berhubungan dengan berkembangnya tumor. Lagi pula perlu dipertimbangkan penilai- an faktor yang dapat mengubah efek KO seperti usia saat keha- milan I untuk kanker payudara dan jumlah partner seks untuk kanker serviks.

KEPUSTAKAAN 1. Baird DT, Glasier AF. Hormonal Contraception, N. Engi. J. Med. 1993;

328(21): 1543–7. 2. BKKBN. Pola Pengembangan Pelayanan Kontrasepsi dalam Pelayanan

Swasta. Jakarta, 1988: 15-6. 3. Cutler WB et al. The Medical Management of Menopause and Premeno

pause. Pennsylvania: J.B. Lippincott Company, 1984: 164, 175. 4. Gilman Act al. The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th ed., vol. II.

Singapore: Pergamon Press Inc. 1991: 1402–09. Metoda kontrasepsi hormon dewasa ini dalam klinis telah terbukti efektif dan bisa diterima, lagi pula manfaat metoda ini dari segi kesehatan melebihi risiko dan efek sampingnya. Setelah faktor risiko diidentifikasi (merokok, hipertensi dan obesitas) terbukti KOK aman untuk kebanyakan wanita untuk sebagian besar masa reproduksinya. Meskipun demikian kebutuhan kon-trasepsi maupun risiko-manfaatnya bagi wanita berubah selama perjalanan hidup reproduksinya.

5. National Research Council. Contraception and Reproduction. Washington: National Academy Press, 1989: 36–52, 92–3.

6. Pagliaro AM et al. Pharmacologic Aspects of Nursing. Missouri: CV Mosby Co, 1986: 1450–4.

7. Rayburn WF et al. Every Woman’s Pharmacy-A Guide to Safe Drug Use. Toronto: CV Mosby Co, 1983: 99–114.

8. World Health Organization. Contraceptive Method Mix : Guidelines for Policy and Service Delivery, 1994.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 11

Page 13: cdk_112_fertilitas

ULASAN

Kemungkinan Pemanfaatan Ekstrak Buah Pare Sebagai Bahan

Kontrasepsi Pria

Cornelis Adimunca Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN

Program Keluarga Berencana (KB) yang digalakkan peme-rintah Indonesia bertujuan menyejahterakan rakyat melalui pem-batasan kelahiran. Dalam program itu berbagai metoda kontra- sepsi telah diperkenalkan dan penelitian telah dikembangkan untuk mendapatkan bahan kontrasepsi yang ideal. Hingga seka- rang, program KB ini dinilai cukup berhasil. Namun, keberhasil-an tersebut hanya diperuntukkan kaum wanita, karena peserta akseptor KB sebagian besar wanita, sedangkan kaum pria kurang dari 6%(1).

Bila dilihat lebih dalam, sebelum fertilisasi, kehamilan sampai kelahiran, pria dan wanita mempunyai tanggungjawab dan peran yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa untuk kesinambungan dan kelancaran program KB sangat diperlukan partisipasi aktif kaum pria. Akan tetapi, sampai saat ini bahan atau alat kontra- sepsi pria masih sangat terbatas yakni, kondom dan vaksetomi. Terdapat petunjuk bahwa vasektomi bersifat irreversibel, se-dangkan kelemahan utama dalam penggunaan kondom adalah efek psikis karena daya sensitivitas berkurang(2).

Usaha menemukan alat atau bahan kontrasepsi pria telah dilakukan oleh peneliti di beberapa negara dengan meman- faatkan bahan alami (tumbuhan). Salah satu diantaranya adalah buah Pare. Keuntungan memanfaatkan bahan asal tumbuhan antara lain, toksisitasnya rendah, mudah diperoleh, murah dan kurang menimbulkan efek samping(3).

Didasarkan penelusuran pustaka, terdapat petunjuk bahwa, ekstrak buah pare yang dicobakan pada hewan percobaan me- nurunkan kuantitas dan kualitas spermatozoa, tidak toksik ter -hadap organ hati dan bersifat reversibel. Dengan demikian tuju- an penulisan ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kemungkinan digunakan ekstrak buah Pare sebagai bahan kon- trasepsi pria.

TANAMAN PARE Tanaman Pare tergolong dalam bangsa Cucurbitaceae, jenis

Momordica charantia L. Tanaman ini merupakan tanaman yang hidup di daerah tropis, dapat tumbuh di daratan rendah sampai ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebarannya meliputi Cina, India dan Asia Tenggara(4).

Pemanfaatan buah Pare bagi masyarakat Jepang bagian selatan sebagai obat pencahar, laksatif dan obat cacing(5). Di India, ekstrak buah Pare digunakan sebagai obat diabetik, obat rhematik, obat gout, obat penyakit liver dan obat penyakit 1imfa(6). Di Indonesia, buah Pare selain dikenal sebagai sayuran, juga secara tradisional digunakan sebagai peluruh dahak, obat penurun panas dan penambah nafsu makan. Selain itu, daunnya dimanfaatkan sebagai peluruh haid, obat luka bakar, obat penyakit kulit dan obat cacing(7).

Sejak diketahui bahwa tanaman Pare berkhasiat terhadap kesehatan maka beberapa penetiti berusaha mengetahui dan mengisolasikan bahan yang terkandung dalam tanaman Pare. Sebagai tumbuhan bangsa Cucurbitaceae, juga mengandung bahan yang tergolong dalam glikosida triterpen atau kukurbita-sin(5). Hasil isolasi dan ekstrak biji Pare didapatkan beberapa jenis momordikosida yakni, momordikosida A (C42H72O15), momordikosida B (C42H80,C19), momordikosida C (C42,H72O14), momordikosida D (C42H70C13) dan momordikosida E (C51H74O19)(5,8).

Isolasi dari ekstrak buah Pare diperoleh empat jenis momor-dikosida yang tidak pahit rasanya yaitu, momordikosida F1 (C45H68O12), momordikosida F2 (C36H58O8), momordikosida G (C45H68O12) dan momordikosida I (C36H58O8)(9). Bersamaan dengan itu, telah pula diperoleh jenis momordikosida utama yang pahit yaitu, momordikosida K (C37H58O9), dan momordikosida L (C36H58O9)(10). Diduga jenis momordikosida K dan L inilah

Dibacakan pada Diskusi Ilmiah Puslit P.T.M., Badan Litbangkes. Dep Kes,Jakarta, 24 September 1992.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 12

Page 14: cdk_112_fertilitas

yang bersifat sitotoksik(11). Di samping itu dan ekstrak daun telah pula diisolasi gliko-

sida kukurbitasin yaitu jenis momordisin(12). Terdapat tiga jenis yakni, momordisin I (C30H48O4), momordisin II (C36H58O9) dan momordisin III (C48H68O16). PENGARUH EKSTRAK BUAH PARE PADA SPERMA TOGENESIS

Rasa pahit buah Pare disebabkan oleh kandungan kukur-bitasin (momordikosida K dan L), yang dapat menghambat per-tumbuhan dan perkembangan sel(11). Kukurbitasin yang di-golongkan dalam glikosida triterpen memiliki struktur dasar siklopentan perhidrofenantrena yang juga, dimiliki oleh steroid. Menurut Jackson dan Jones(13), steroid dapat berperan sebagai penghambat spermatogenesis dan bersifat reversibel. Spermato-zoa adalah sel haploid, yang berasal dari perkembangan dan diferensiasi sel-sel induk germinal di dalam testis. Dengan dasar ini maka, bila ekstrak buah Pare diberikan pada mamalia jantan, akan dapat menghambat spermatogenesis. Namun, belum di-ketahui dengan pasti apakah momordikosida tersebut bekerja secara steroid atau secara sitotoksik.

Hasil penelitian Dixit dkk(6) menyimpulkan, bahwa efek ekstrak buah Pare menekan fungsi testis anjing percobaan dalam memproduksi spermatozoa. Selanjutnya dijelaskan, bahwa pemberian 1,75 gram/hari/ekor selama 20 hari, didapatkan 18% tubulus seminiferus tidak ditemukan adanya spermatosit primer dan mengandung 38% spermatid abnormal. Akan tetapi, sel-sel interstitialnya tidak memperlihatkan perubahan morfologi. Dengan demikian terdapat kemungkinan produksi hormon testosteron tidak menurun, dan ini perlu pembuktian lebih lanjut.

Parameter lain (Tabel 1) terlihat bahwa diameter tubutus seminiferus mengecit pada pemberian ekstrak buah Pare selama 40 hari. Hal tersebut diduga karena efek sitotoksik dan momor-dikosida, sehingga sel-sel spermatogenik yang mengisi tubulus seminiferus tidak dapat mempertahankan aktifitasnya. Dengan demikian timbul adanya perbedaan yang bervariasi pada stadia spermatid dan sel-sel spermatogenik(6).

Tabel 1. Perubahan Berat Testis, Berat Epididimis, Diameter Tubulus Seminiferus dan Diameter Inti Sel Leydig setelah Pemberian Ekstrak Buah Pare per-oral(6)

Perlakuan Berat Testis (mg)

Berat Epididimis

(mg)

Ø Tubulus Seminiferus

(um)

Ø Inti Sel Leydig (um)

Kontrol 1715 310 220 10,9 1,75 g/hari/ekor 1264 271 239 10,3 selama 20 hari 1,75 g/hari/ekor

1110*

317

167*

9,5

selama 40 had 1,75 g/hari/ekor

815*

318

159*

10,6

selama 60 had

Keterangan: *) : Berbeda nyata (p > 001) dibandingkan kontrol um : Mikrometer Ø : Diameter

Setelah pemberian ekstrak buah Pare selama 60 hari pada tubulis seminiferis tidak dijumpai adanya spermatozoa. Pada 75% tubuti seminiferis tidak dijumpai adanya spermatid.

Demikian juga, pada tubuli ε seminiferis tidak dijumpai sel-sel spermatogenik.

Selain parameter di atas, juga dilakukan pengukuran bebe-rapa parameter lain khususnya pada pemberian ekstrak buah Pare selama 60 hari. Parameter tersebut meliputi, konsentrasi RNA total, asam sialat dan konsentrasi kolesterol di dalam testis (Tabel 2).

Tabel 2. Perubahan Biokimia di Dalam Testis Setelah Pemberian Ekstrak Buah Pare Selama 60 Hari Secara per-oral

Perlakuan Parameter

Kontrol Pemberian ekstrak 1,75 g/hari

1. RNA mg/ml jaringan 2. Asam sialat mg/ml jaringan 3. Kolesterol mg/g testis

137

3,5

5,6

89*

1,7*

11,5*

Keterangan: *) : Berbeda sangat nyata (p > 0,01) dibandingkan kontrol.

Dikatakannya bahwa, konsentrasi RNA total dan konsen-

trasi protein testis menurun sangat nyata pada anjing yang diberi ekstrak buah Pare. Hal ini menunjukkan bahwa, kemungkinan efek sitotoksik buah Pare menghambat sintesis protein di dalam cytosot sel-sel spermatogenik. Dengan demikian sel spermato-genik tidak dapat berkembang membentuk spermatozoa karena, terhambatnya sumber energi. Di samping itu tampak konsentrasi asam sialat lebih rendah setelah pemberian ekstrak buah Pare. Menurut Maugh dkk(14) peningkatan asam siatat dapat dijadikan indikasi adanya pertumbuhan dini sel kanker. Dibandingkan dengan hasil tersebut di atas, dengan jelas ditunjukkan bahwa ekstrak buah Pare tidak bersifat karsinogenik. Bahkan sebaliknya dapat menghambat pertumbuhan sel kanker, seperti yang telah dibuktikan oleh West dkk(11). Selanjutnya konsentrasi kolesterol tampak meningkat secara nyata, setelah diberi ekstrak buah Pare. Keadaan ini sebagai akibat degenerasi sel epitet germinal(6). Juga kotesterol disangkut-pautkan sebagai bahan untuk sintesis hormon androgen. Dengan demikian apakah peningkatan kotesterol ter-sebut akibat dihambatnya enzim adrenokortikotropik yang meng-katalis perubahan kolesteril menjadi pregnenoton, hal ini belum diketahui dengan pasti. Jika dugaan ini benar maka, ekstrak buah Pare akan menghambat sintesis hormon androgen oleh sel-sel Leydig.

Sebaliknya Kellis dkk(15) mengatakan bahwa, flavonoid yang disintesis oleh hampir seluruh dunia tumbuhan, dapat menghambat enzim aromatase. Dengan dihambatnya enzim ter- sebut yaitu yang berfungsi mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen, maka jumlah androgen (testosteron) akan me-ningkat. Tingginya konsentrasi testosteron akan berefek umpan balik negatif ke hipofisis tidak melepaskan FSH dan atau LH; dengan demikian akan menghambat spermatogenesis. Apakah ekstrak buah Pare bekerja dengan cara ini, masih perlu penelitian lebih lanjut.

Penelitian ekstrak buah Pare telah dilaporkan pula oleh War-doyo(16), ternyata dapat mempengaruhi morfologi dan motilitas spermatozoa tikus percobaan. Semakin tinggi kadar ekstrak buah

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 13

Page 15: cdk_112_fertilitas

Pare dan semakin lama pemberiannya, maka motilitas dan viabi- litas spermatozoa semakin rendah, sebaliknya morfologi abnor- mal spermatozoa semakin meningkat. Hal ini mungkin disebab- kan oleh bahan aktif golongan glikosida triterpen yang terkan- dung dalam buah Pare(16).

Pemberian ekstrak buah Pare 500 mg/kgbb/hari selama 14 hari ternyata dapat mempengaruhi kualitas spermatozoa yaitu, terjadinya aglutinasi antar kepala, gerak di tempat dan gerak melingkar. Gerak melingkar dapat disebabkan karena kelainan morfologi, penghantaran energi rotasi tidak ada atau tidak teratur dan keadaan ekor asimetris. Selanjutnya bila diberikan selama 49 hari, didapatkan morfologi spermatozoa menjadi abnormal. Abnormalitas tersebut nampak di bagian leher spermatozoa menggembung (bengkak). Hal ini mungkin disebabkan mem- bengkaknya mitokondria.

Menurut Ganote dkk(17), sel-sel ventrikel jantung tikus mito-kondrianya akan membengkak bila mendapat perlakuan anoksia selama 30 menit. Dari pernyataan ini timbul pertanyaan apakah membengkaknya leher spermatozoa pada penelitian di atas akibat suasana anoksia di lingkungan sperma, masih belum jelas dan perlu penelitian lebih lanjut. Bila dugaan ini benar maka, momor-dikosida yang terkandung dalam buah Pare dapat menghambat enzim-enzim yang bekerja pada sistem oksidasi biologi sel-sel spermatogenik.

Selanjutnya, dari hasil penelitian oleh Sutyarso(18) berkesim-pulan bahwa, ekstrak buah Pare cenderung bersifat anti-fertilitas karena dapat menghambat spermatogenesis dan semakin tinggi dosis ekstrak buah Pare semakin menurun jumlah anak mencit yang dihasilkan. Selain itu, pengaruh ekstrak buah Pare terhadap hambatan spermatogenesis tersebut bersifat sementara (reversi-bel). Namun, perlakuan dosis 250,500 dan 750 mg/kgbb, belum menunjukkan dosis efektif karena, belum menghasilkan infertili-tas total.

Menggunakan dosis yang sama seperti di atas, telah dilaku-kan penelitian pengaruh ekstrak buah Pare terhadap faal hati tikus percobaan(19). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa, konsentrasi GPT serum, GOT serum dan bilirubin serum cenderung meningkat sedangkan, total protein serum cenderung menurun pada pemberian ekstrak dosis 0,250, 500 dan 750 mg/ kgbb. Walaupun demikian, secara statistik belum menunjukkan pengaruh yang berarti. Atau dengan kata lain pemberian ekstrak buah Pare 750 mg/kgbb belum mempengaruhi faal hati tikus percobaan dan masih dalam batas nilai normal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, penggunaan 750 mg/kgbb ekstrak buah Pare sebagai bahan kontrasepsi pria, masih aman terhadap organ hati. KESIMPULAN 1) Ekstrak buah Pare mengandung momordikosida yang ber-sifat sitotoksik terhadap sel-sel spermatogenik hewan percoba-an. 2) Ekstrak buah Pare dapat menurunkan kualitas dan kuantitas spermatozoa hewan percobaan. 3) Pengaruh ekstrak buah Pare bersifat reversibel pada testis mencit.

4) Ekstrak buah Pare kemungkmnan dapat digunakan sebagai bahan kontrasepsi pna karena masih aman terhadap hati (dosis 750 mg/kgbb). SARAN 1) Perlu diketahui dosis efektif hingga menyebabkan infertil-isasi total dan bersifat reversibel. 2) Perlu diketahui pengaruhnya terhadap organ hati, ginjal, limfa dan darah. 3) Perlu diketahui dengan jelas mekanisme menghambat pada sel spermatogenik. 4) Perlu diketahui pengaruhnya terhadap hormon gonadotropin FSH dan LH serta hormon testosteron (libido).

KEPUSTAKAAN 1. Republik Indonesia. Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia

Soeharto di Depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta 16 Agustus 1991, h. 731.

2. Appell RA, Evans PR. Vasectomy, Etiology of Infection Complications. Fertility and Sterility, 1980; 33: 52.

3. Tadjuddin MK. Tujuan Kontrasepsi padaPria; Oligozoospennia, azoosper-mia, astenozoospeni MKI, 1984; 15: 693.

4. Williams JF, Ng NO. Vaiiation within Momordica charantia L. The Bitter Gourd (cucurbitaceae). Ann. Bogoriensis, 1971, 6: 111.

5. Okabe H, Miyahara Y, Yamauchi T, Miyahara K, Kawasaki T. Studies on the Constituents of Momordica charantia L. Isolation and Characterization of Momordicoside A and B, Glycosides of a Pentahydroxy Cucurbitane Triterpen. Chem. Pharm. Bull. 1980; 28: 2753.

6. DixitVP, KimnnaP, BhargavaSK. Effects of Momordica charantia L. Fruit extract on the Testicular Function of Dog. J. Med. Plant Res. 1978; 34:280.

7. Pramono S, Ngatijan, Sudarsono S. Budiono, Pujoarianto A. Obat Tradi-sional Indonesia I. Pusat Penelitian Obat Tradisional UGM. Yogyakarta, 1988, h. 18.

8. Miyahara Y, Okabe H, Yamauchi T. Studies on the Constituents of Monwrdica charantia L. II. Isolation and Characterization of Minor Seed Glycosides C, D and E. Chem. Pharm. Bull. 1981; 29: 1581.

9. Okabe H, Miyahara Y, Yamauchi T. Studies on the Constituents of Momordica charantia L. IV. Characterization of the New Cucurbitacin Glycosides, Momordicosides K and L. Chem. Phartn. Bull. 1982; 30: 4334.

10. Okabe H, Miyahara Y, Yamauchi T. Studies on the Constituents of Momordica charantia L. III. Characterization of New Cucurbitacin Glycosides of the Immature Fruits Structures of momordicosides F F G and 1. Chem. Pharm. Bull. 1982; 30: 3977.

11. West ME, SidrakGH, Street SPW. The Anti-Growth Properties of Extracts from Momordica charantia L. West md. Med. J. 1971; 20: 25.

12. Yasuda M, Iwarnoto M, Okabe H, Yamauchi T. Structures of Momor-dicines 1, II and Ill, The Bitter Principles in the Leaves and Vines of Momordica charantia L Chem. Pharm. Bull. 1984; 32: 2044.

13. Jackson H, Jones AR. The Effect of Steroids and Their Antagonis on Spermatogenesis. Dalam: Advances in Steroids Biochemistly and Phar-macology. (eds) : Briggs MH and Christie GA. Academic Press Inc.London, 1972, p. 167.

14. Maugh Th.H. Cancer Tests-Look for a Passing Grade. Science, 1981; 211: 909.

15. Kellis Jr. JT, Vickery LE. Inhibition of Human Estrogen Synthetase (Aro-matase) by Flavones. Science, 1984; 225: 1032.

16. Wardojo BPE. Pengaruh Fraksi Kioroform dan Air Buah Pare terhadap Spermatozoa Epididimis Tikus. Thesis Fak. Pasca-saijana UGM, 1990, h.. 53–102.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 14

Page 16: cdk_112_fertilitas

17. Ganote CE, Seabra-Gomes R, Nayler WG, Jennings RB. Irreversible Myocardial Injury in Anoxia Perfused Rat Hearts. Am. J. Pathol. 1975; 80:

419. 18. Sutyarso. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Pare (Momordica

charantia L.) Terhadap Fertilitas Mencit Jantan Mus musculus L. Strain LMR. Thesis

Fak. Pasca-sarjana Universitas Indonesia, Bidang Ilmu Kedokteran Dasar. Jakarta, 1992, h. 123.

19. Rakhmawati YD. Pengaruh Ekstrak Alkohol Buah Pare (Momordica charantia L.) terhadap Faal Hati Tikus Strain LMR. Skripsi Strata-I. Fak. Biologi, Universitas Nasional, 1992, h. 30.

Kalender Peristiwa

2

2

2

6

4-25 Oktober 1996 - SIMPOSIUM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DALAM PEMAKAIAN KOMPUTER DAN PENGGUNAAN PROGRAM KOMPUTER MUTAKHIR Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia JI. Salemba Raya 6, Jakarta Pusat Sekr.: Program Studi K3 Pasca Sarjana Universitas Indonesia

Jl. Pegangsaan Timur 16, Jakarta 10320 Telp. (021) 3153550, 3926819 - Fax.: (021) 3153550

8-30 Oktober 1996 - PSYCHOTHERAPY ASIA PACIFIC 1996 Hotel Bali Inter-Continental Resort Jimbaran, Bali, INDONESIA Sekr.: Bagian Psikiatri FKUI/RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jl. Salemba Raya 6, Jakarta 10430 TeIp. (62-2 1) 337559 Fax. (62-2 1) 337559/3 106986 Bagian Psikiatri RSU Wangaya Jl. Kartini 109, Denpasar 80111 Telp./Fax.: (62-361) 228824

8 Oktober 1996 - KURSUS SINGKAT PSIKOTERAPI MANFAAT PENDEKATAN INTERPERSONAL DOKTER-PASIEN DALAM PRAKTEK UMUM Hotel Bali Inter-Continental Resort Jimbaran, Bali, INDONESIA Sekr.: Bagian Psikiatri FKUI/RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jl. Salemba Raya 6, Jakarta 10430 Telp. (62-21) 337559 Fax. (62-21)337559/3106986 Bagian Psikiatri RSU Wangaya Jl. Kartini 109, Denpasar 80111 Telp./Fax.: (62-36 1) 228824

-11 Januari 1997 - BASIC SCIENCES IN ONCOLOGY AND PEDIATRIC ONCOLOGY III COURSE AND WORKSHOP Jakarta, INDONESIA Sekr.: Indonesian Society of Oncology Bagian Patologi Anatomik FKUI/RSCM Jl. Salemba Raya 6 Tromol Pos 3225 Jakarta 10002 INDONESIA Tel./Fax.: (62-21) 3154175

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 15

Page 17: cdk_112_fertilitas

ANALISIS

Dasar Formulasi Jamu Majun/Kuat Pria

Sriana Azis, Titik Ratih Rahayu

Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI,

Jamu majun/kuat banyak digunaka digunakan sebagai androgen.

Data dikumpulkan dari 24 formu disimpulkan bahwa dasar formulasi ja jenis simplisia utama (yang diperkira Simplisia utama antara lain akar panak rimpang jahe, cabe jawa, merica hita mempunyai efek androgenik kuat sam di atas dapat dibenarkan. Akan tetapi pemasing-masing formulasi jamu dibandi

PENDAHULUAN

Dewasa ini penggunaan jamu cenderung terus meningHal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai peredajamu pada tahun 1981 Rp. 10,6 milyar dan pada tahun 1meningkat menjadi Rp. 124,2 milyar(1).

Penggunaan jamu Indonesia sudah mulai dikenal di negeri, akan tetapi kendala ekspor jamu Indonesia adalah salah penelitian. Peningkatan produksi dan penggunaan jatersebut harus diimbangi dengan penelitian dasar formulasi jakebenaran khasiat dan uji klinis formulasi jamu yang banyakgunakan oleh masyarakat luas, meskipun masyarakat Indontelah menggunakan secara turun temurun dan diperkirakan 8rakyat menggunakan jamu(1).

Jamu Majun/Kuat telah banyak digunakan oleh masyaraMasyarakat luas percaya bahwa jamu ini dapat digunakanbagai aprodisiaka. Berdasarkan kandungan dalam formula jaakan diteliti dasar pembuatan formula jamu dan kebenakhasiat berdasarkan hasil penelitian.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 16

ABSTRAK

n masyârakat yang percaya bahwa jamu ini dapat

lasi jamu kuat pria. Dari hasil pengamatan dapatmu majun adalah menggunakan satu sampai limakan sebagai androgen) dan simplisia tambahan.s ginseng, akar ginseng jawa, batang pasak bumi,m/putih dan rimpang kencur. Simplisia tersebutpai lemah, jadi dasar pemilihan simplisia tersebutrlu diteliti lebih lanjut derajat efek androgenik daringkan dengan panaks ginseng dan uji klinisnya.

kat. ran 992

luar ma-mu mu, di-esia 0%

kat. se-mu ran

BAHAN DAN CARA Dalam analisis dasar formulasi jamu Majun/Kuat Pria telah

dikumpulkan 24 formulasi jamu kuat pria (data dan Direktorat Jenderal POM) dan daerah yang meliputi: 1. DKI Jakarta empat (4) formula jamu Majun 2. Jawa Barat dua (2) formula jamu Majun 3. Jawa Tengah delapan (8) formula jamu Majun 4. Jawa Timur enam (6) formula jamu Majun 5. Sumatera tiga (3) formula jamu Majun 6. Kalimantan satu (1) formula jamu Majun Ke 24 formula tersebut mengandung 64 simplisia. Isi setiap formulasi jamu antara 4–19 simplisia.

Semua simplisia yang terkandung di dalam 24 formula jamu dikaji isi dan kebenaran khasiat dibandingkan dengan hasil pe-nelitian yang telah ada. Pembahasan meliputi dasar pembuatan Jamu majun/kuat pria dan kebenaran khasiatnya.

Kajian ini berguna untuk menjelaskan kebenaran khasiat ramuan jamu Majun/Kuat Pria dibandingkan dengan hasil pe-

Page 18: cdk_112_fertilitas

nelitian yang telah dilakukan. PEMBAHASAN A) Formulasi Jamu Kuat Pria

Dari hasil pengamatan dan formulasi jamu kuat pria dapat disimpulkan dasar pembuatan jamu ini adalah: 1) Semua jamu mengandung satu sampai lima jenis simplisia yang diperkirakan mengandung aprodisiaka misalnya akar gin-seng, akar kolesom, rimpang jahe, biji merica, rimpang kencur, akar pasak bumi dan buah cabe jawa. 2) Akar pasak bumi (Eurycomae Rh.)(2) adalah simplisia khas Kalimantan yang digunakan sebagai aprodisiaka, ada 12 formula jamu yang menggunakan simplisia ini. 3) Rimpang Jahe (Zingiber Rh.)(2) berasal dari India, digunakan untuk rempah, minuman menghangatkan badan dan telah di-patenkan HMP33 yang beredar di Indonesia dengan nama Zinak. Di Indonesia terkenal STMJ adalah susu telor madu jahe sebagai penghangat. Ada 13 formula yang menggunakan simplisia ini. 4) Rimpang kencur (Kaempferiae Rh.)(2) di pulau Madura di-percaya kuat; kencur ditambah jahe dan merica dapat digunakan sebagai penghangat. Ada 6 formula yang mengandung rimpang kencur. 5) Piperis nigri dan albi(2) diyakini oleh masyarakat dapat di-gunakan sebagai penghangat. Ada 14 formula yang mengguna-kan simplisia ini. 6) Cabe Jawa (Retrofracti fructus)(2) dapat menghangatkan badan. Ada 6 formula yang mengandung simplisia ini. 7) Panax ginseng radix(3) adalah simplisia dari Cina dan Korea yang dipercaya sebagai akat kuat lelaki, tetapi ternyata hanya ada satu jamu yang menggunakan simplisia ini. 8) Akar kolesom (Talinum panicu1ata)(4) adalah ginseng jawa diperkirakan sebagai aprodisiaka, hanya 1 formula yang meng- gunakan simplisia ini. 9) Selain simplisia tersebut di atas formula jamu majun mengandung simplisia yang berguna untuk peluruh keringat, dahak dan air seni, pencahar dan pembersih darah, simplisia tersebut di atas berguna untuk meningkatkan kesehatan tubuh.

Tabel 1. Daftar Komposisi simplisia utama didalam formula jamu Majun/ Kuat Pria

No. Nama Latin

Nama Indonesia Kandungan Kegunaan

Frekuensidalam

formula 1 2 3 4

Zingiber Rh.(3–7)

Enrycamal longifoliae Rx.(5–8)

Kaempferiae Rh.(4–8)

Piperic nigri/ albi Fr.(3,4,5,7)

Rimpang Jahe Akar pasak bumi Rimpang kencur Buah mrica hitam/putih

Minyak atsiri, jingerol, resin gula Enryko- molakton, amorolit Minyak atsiri, saponin, flavonoid Minyak atsiri, piperina, pipendina zat lemah, pati

Penghambat, peluruh dahak,kentut dan keringat serta antimual Peluruh seni, penawar racun,penurun panas Peluruh ke- ringat, kentut dan dahak, pencahar Peluruh seni dan kentut, antimual

13

12

6

14

5.

6.

7.

Retrofracti Fr.(4,5,7,8)

Panax ginseng(6)

Talinum paniculatae Rx""

Buah jaheJawa Akar ginseng Akar kolesom, ginseng jawa.

Minyak atsiri, piperina, piperidina, harsa Glikosid, panaquilon, panaksasid, minyak atsiri Alkaloida glikosid, triterpenoid.

Peluruh air seni, keringat,antipanas Tonikum, aprodisiaka, peluruh kentut, anemia Tonikum, aprodisiaka

10 1 1

Berdasarkan dari Tabel 1 dapat diambil kesimpulan bahwa: 1) Industriawan jamu masih lebih mempercayai khasiat sim-plisia jamu Indonesia dibandingkan dengan simplisia luar negeri dengan kenyataan bahwa penggunaan akar ginseng hanya ada di dalam satu formula jamu. 2) Urutan simplisia utama yang paling banyak digunakan di dalam formula Jamu Majun adalah buah mrica hitam/putih (14), rimpang jahe (13), akan pasal bumi (12), buah cabe jawa (10), rimpang kencur (6), akar kolesom dan ginseng (1). 3) Urutan simplisia tambahan yang digunakan dalam 3–6 for- mula adalah seperti dalam Tabel 2.

Simplisia tambahan berguna sebagai pencahar, peluruh ke- ringat, dahak, kentut dan air seni, penyegan, pencuci darah dan meningkatkan kesehatan lainnya. 4) Empat puluh tiga (43) simplisia sisanya ditulis dalam dua formula (7 simplisia) dan satu formula (36 simplisia). B) Khasiat Jamu Majun/Kuat Pria 1) Ekstrak rimpang jahe dengan dosis lazim berkhasiat anabolik dan termogenik sedang, sedangkan bila dosisnya diperbesar mungkin dapat mengganggu mitokhondria(3). Urutan fungsi kekuatan termogenik dan beberapa simplisia adalah sebagai berikut: capsaicin (cabe), jahe kemudian merica. 2) Dekok batang pasak bumi terbukti memiliki efek andro-genik pada ayam jantan, kadar dekok 25% (b/v) telah menunjuk-kan efek androgenik yang berarti(11). 3) Rimpang kencur sebagai obat kuat syahwat tidak menye- bahkan kenaikan efek androgenik yang berarti(9). 4) Piperin dan merica hitam dapat meningkatkan vasokon- striksi dan penyerapan oksigen pada kaki belakang tikus, reaksi ini yang digunakan sebagai penunjuk reaksi termogenik dari piperin(3). 5) Efek androgenik dan anabolik buah cabe jawa seperti ini- nyak atsiri yang dikandung oleh famili Piperaceae memerlukan penelitian lebih lanjut(6). 6) Panaks ginseng mempunyai toksisitas yang rendah dan mempunyai daya menyembuhkan lemah syahwat pada mencit jantan dalam waktu cepat dan pemulihannya sangat berarti(10). 7) Ekstrak akar ginseng Jawa (Kolesom) mempunyai kemam- puan meningkatkan libido tikus putih jantan yang relatif se-imbang dengan ekstrak akan pasak bumi dan panaks ginseng(12). KESIMPULAN 1) Dari 24 formulasi Jamu Majun yang diteliti, isinya berkisar 4-19 simplisia.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 17

Page 19: cdk_112_fertilitas

Tabel 2. Frekuensi simplisia tambahan pada Jamu Majun/Kuat Pria

No. Nama Latin

Nama Indonesia Kandungan Kegunaan

Frekuensi dalam

formula

1. Curcumae Rimpang Kurkumin, Pencahar, 11 Rh(3,4,5,7) temulawak minyak atsiri, peluruh batu

2. Coriandri Buah

xantorizal Minyak atsiri,

empedu, antipanas Peluruh dahak 7

Fr.(3,4,5,7) ketumbar tanin, asam dan kentut,

3. Languatis Rimpang

malat, vit. C, saponin Minyak atsiri,

penyegar Penawar racun, 7

Rh.(3,4,5,7) lengkuas damar pembersih

4. Myristicae Biji pala Minyak atsiri,

darah, pereda kejang Mengurangi 6

Ct. (2,5,7) miristisin, rasa dingin,

5. Burmani Kulit

lemak Tanin,

pengelat, pelelap tidur Pengelat, 6

6.

Ct. (5,7,8)

Zyzingi

batang manis jangan Bunga dan

minyak atsiri, alkaloid, polifenol Minyak atsiri,

peluruh kentut,Antipanas Mengurangi 6

7.

Flos(4,5,7,8)

Curcumae

buah cengkeh Rimpang

tanin, lendir, lemah Minyak atsiri,

rasa nyeri, peluruh kentut,antimual Antidemam, 5

domesticae Rh.(3,5,7,8)

kunyit kurkumin, harsa, lemah,

antidiare, pem bersih darah,

8. Calae Sm(3,5,7) Biji cola zat pahit Saponin,

peluruh kentut Sakit kepala, 5

9. Alyxiae Kulit

flavonoida, alkaloida, tanin Alkaloida,

obat kuat, stimulan Peluruh kentut, 4

10.

Ct. (3,5,7,8)

Cyperi

batang pulosari Rimpang

tanin, zat pa- hit, kumarin Minyak atsiri,

pereda kejang Peluruh seni 4

Rh. (3,5,7,8) teki alkaloida, dan kentut,

11. Coptici Buah

glikosida, flavonoida, resin Alkaloida,

pereda kejang,menghentikan perdarahan Obat batuk 4

Fr. (4,5,7,8) mungsi saponin, dan lambung,

12. Nigellae sa-

arab Biji jinten,

flavonoida, polifenol Minyak atsiri/

liver, reumatik Peluruh kentut, 3

13.

tivae Sm(3,5,7,8)

Foeniculi

hitam pahit Lemah

lemak, milan- tin, nigelin, timokinon Minyak atsiri/

pencahar, antimuntah, pengelat Peluruh dahak, 3

14.

Fr. Orthosiphon

adas Daun

lemak, stigmastenin, umbeliferon Ortosifonin,

kentut dan air seni, nafsu makan naik Peluruh air 3

Fl. (3,4,5,7,8) kumis minyak atsiri, seni

Kucing saponin,

garam kalium. 2) Dasar formulasi Jamu Majun adalah menggunakan satu sampai 5 jenis simplisia utama (yang diperkirakan sebagai pe-

manas) dan simplisia tambahan. 3) Kombinasi simplisia utama diperkirakan dapat meningkat- kan efek androgenik atau termogenik. 4) Simplisia utama adalah akar panaks ginseng, akar ginseng jawa, batang pasak bumi, rimpang jahe, cabe jawa dan merica hitam atau putih. 5) Dan hasil penelitian dinyatakan efek androgenik akarpanaks ginseng, akar ginseng jawa dan batang pasak bumi adalah se- imbang dan pemulihannya cepat serta berarti. 6) Efek androgenik rimpang jahe lebih kuat dan menica hitam, efek androgenik cabe jawa perlu diteliti kembali dan efek andro- genik rimpang kencur tidak berarti. 7) Perlu diteliti kebenaran khasiat formulasi jamu yang beredar di pasaran dan diuji klinis. SARAN

Dalam rangka pengembangan penggunaan dalam pelayanan kesehatan formal diperlukan: 1) Penelitian kembali kebenaran khasiat Jamu Majun yang telah banyak digunakan oleh masyarakat luas. 2) Diharapkan paradokterpuskesmas mau menggunakanJamu Majun yang banyak beredar di daerahnya dan dipantau hasilnya.

Hal tersebut dapat membantu penelitian kebenaran khasiat ramuan jamu secara klinis dan berakibat biaya penelitian akan jauh berkurang serta pemasyarakatan penggunaan jamu makin meningkat.

KEPUSTAKAAN 1. Rusdi Djamal. Pemanfaatan tumbuhan sebagai Obat, Penggalian dan

Tantangan di Masa Datang. Universitas Andalas, 1995. 2. Departemen Kesehatan RI. Tanaman Obat Indonesia I, Dit. Jen. POM,

1989. 3. Eldershow-TP dkk. Resimiferatoxin and piperin, Capsaicin - like stimula-

tors of oxygen uptake in the perfused rat hindlimb. Life-sci, 1994. 4. Burkill IH. A Dictionaiy of the economic products of The Malay

Peninsula. London, 1985. 5. Departemen Kesehatan RI. Materia Medika Indonesia, Dit. Jen. POM,

1989. 6. Sa’roni dkk. Beberapaefek farinakologi Cabe Jawapadahewan percobaan.

Warts Tumbuhan Obat Indonesia, 1992; 3(1). 7. Departemen Kesehatan RI. Inventarisasi Tanaman Obat Indonesia, Badan

Litbang Kesehatan, 1991. 8. Departemen Kesehatan RI. Materia Medika Indonesia, Dit. Jen. POM,

1989. 9. Agusri Butan, Surya Darma. Pengaruh Air Rebusan Rimpang Kencur

terhadap Libido Mencit putih. Warta Tumbuhan Obat Indonesia, 1996; 3(2).

10. Tian Ty Yen. Stimulation of signal performance in male rat with rootextract Panax ginseng. Acts Physiol Hung, 1990.

11. Amrizan Daiyan Karirn. Uji *k androgenik dan batang pasak bumi. FK UGM, 1993. -

12. Suryo Kartowinoto. Pengaruh biji kapas, pasak bumi,ginseng jawa bawang putih, pegagan dan mangkalan terhadap libido tikus putih jantan. FFUGM, 1991

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 18

Page 20: cdk_112_fertilitas

ULASAN

Aktivitas Antimikroba Plasma Semen

Rochman Na’im

Jurusan Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogoi Bogor

PENDAHULUAN

Plasma semen merupakan kombinasi sekresi semua kelenjar asesori kelamin, sebagian besar berasal dari prostat (13-33%) dan vesika seminalis (46-80%), sedangkan sisanya berasal dari kelenjar bulbouretralis Cowper, uretra1 Litter dan cairan ampulla serta epididimis(1).

Plasma semen selain memiliki fungsi fisiologis (sebagai pembawa spermatozoa), juga memiliki aktivitas antimikroba. Dibandingkan dengan fungsi fisiologisnya, aktivitas antimikroba dan plasma semen relatif masih belum diketahui dengan baik. Lebih dari 80% sampel semen telah menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Daya hambat tersebut tidak tergantung pada konsentrasi spermatozoa yang dibawa, apa- kah azoospermia (ketiadaan spermatozoa dalam semen), oligospermia (spermatozoa dalam jumlah di bawah normal) atau normospermia (jumlah spermatozoa norma1)(2). Substansi yang diduga bertanggungjawab terhadap aktivitas antimikroba semen adalah senyawa amin (spermine) dan protein (seminalplasmin). SENYAWA AMIN

Sekret kelenjar prostat merupakan salah satu sumber poli- amin paling banyak dan plasma semen. Sekret kelenjar prostat hewan anjing memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus, Staphylococcus albus, Escherichia coli, Bacillus aureus, Neisseria meningitidis, Neisseria gonorrhoeae, Micrococcus lysodeikticus, Streptococcus faecalis, Aerobacter aerogenes, Shigellaflexneri dan Salmonella typhimurium(3-6).

Faktor aktivitas antimikroba dalam semen ada dua, yaitu faktor yang tahan panas dan faktor tidak tahan panas. Bila semen dan sekret prostat manusia dipanaskan sampai 100°C selama 30 menit, maka aktivitas antimikrobanya terhadap Micrococcus lysodeikticus akan hilang tetapi tidak terhadap mikroorganisme yang lain(5). Aktivitas tersebutjuga akan hilang bila semen dan sekret prostat didialisis. Proses tersebut me-

nunjukkan bahwa faktor-faktor yang aktif menghambat per-tumbuhan bakteri memiliki berat molekul yang rendah(3).

Spermine memiliki aktivitas antimikroba terhadap S. albus, S. aureus, E. coli, Lactobacillus casei, Bacillus anthracis, S. flexneri, Corynebacterium hofmanii, Streptococcus hemolyticus, N. gonorrhoeae, N. meningitidis, dan berbagai spesies Saccha- romyces, Debaryomyces dan Rhodotorula(7).

Daya hambat optimum spermin tercapai dalam suasana alkalis. Sebaliknya akan menurun pada beberapa kondisi temperatur rendah (6°C), adanya garam-garam inorganik, asam-asam nukleat dan lesitin(7).

Spermine juga menghambat multiplikasi bakteriofag dengan cara mencegah perlekatannya pada sel host atau berinteraksi dengan DNA-fag. Pertumbuhan sel-sel kanker pada hewan per- cobaan mencit juga dapat dihambat oleh spermine dan amine oksidase(8). Diduga faktor aktif yang menghambat sel kanker tersebut adalah produk oksidasi dan spermine(9). Produk oksidasi yang sama juga menghambat pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis, Trypanosoma equiperdum, S. aureus dan E. coli(10). Keadaan ini memungkinkan produk oksidasi yang terbentuk melalui proses metabolisme bakteri menjadi faktor yang ber-tanggungjawab terhadap sifat bakterisidal. PROTEIN SEMEN

Seminalplasmin merupakan protein semen yang dikonfir-masikan sebagai agen antimikroba. Seminalplasmin sapi telah diketahui menghambat sintesis RNA pada spermatozoa segera setelah kontak, tetapi pengaruhnya terhadap sintesis protein tidak terlihat. Protein ini menghambat pertumbuhan berbagai mikroorganisme, yaitu E. coli B, E. coli K 12, E. coli 160.37, Enterobacter aerogenes, Streptococcus faecalis, Cryptococcus neoformans, Salmonella lyphimurium, Candida albicans 1, Can-dida albicans clin, Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus,

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 19

Page 21: cdk_112_fertilitas

Saccharomyces cerevisiae SM 202, S. cerevisiae YV 1160, Pro- teus vulgaris dan Pseudomonas aeruginosa(11,12).

Proses pembunuhan E. coli oleh seminalplasmin berlang- sung selama 3-8 jam dan laju pembunuhan mikroorganisme tergantung pada konsentrasi seminalplasmin. Dalam konsentrasi yang tinggi seminalplasmin berfungsi sebagai bakteriosida dan pada konsentrasi rendah sebagai bakteriostatika(13,14). Tabel 1. Pengaruh Seminaiplasmin pada Pertumbuhan Berbagai Mikro organisme

Jenis. Mikroorganisme Pengaruh Seminalplasmin pada Pertumbuhan

E. coli B E. coli K12 E. coli 160.37 Enterobacter aemgenes Streptococcus.faecalis Cryptococcus negformans Salmonella typhimurium Candida albicans I Candida albicans clin Bacillus subtilis Staphylococcus aureus Sacchammyces cerevisiae SM 202 S. cerevisiae YV 1160 Proteus vulgaris Pseudomonas aeruginosa

Penghambatan (25-40; 100)'1Penghambatan (25-40; 100) Penghambatan (40; 100) Penghambatan Penghambatan (100; 100) Penghambatan (25; 100) Penghambatan (100; 100) Penghambatan (40; 99) Penghambatan (100; 99) Penghambatan (20; 100) Penghambatan (20; 100) Penghambatan (240; 100) Penghambatan (14; 100) Penghambatan (5; 100) Penghambatan (20; 100)

Keterangan: *) Nilai pertama menunjukkan konsentrasi seminalplasmin (ug per ml kultur bakteri); nilai kedua menunjukkan persentase penghambatan pertumbuh- an bakteri pada konsentrasi seminalplasmin tersebut (nilai pertama)

KEPUSTAKAAN

1. Polakoski et al. Biochemistry of Human Seminal Plasma. In: Human Se-

men and Fertility Regulation in Men (Ed): ESE Hafez. 1976. 2. Rozansky R, Gurevitch J, Brezezinsky A, Eckerling B. J. Lab. Clin. Med.

1949; 34: 1526-1529. 3. Gupta SN, Perkash I, Agarwal SC, Anand SS. Invest. Urol. 1967(5): 219-

222. 4. Gurevitch J, Rozansky R, Weber D, Brezezinsky A, Eckerling B. Am. J.

Clin. Pada. 1954(4): 360-365. 5. Taylor PW, Morgan HR. Surg. Gyn. Obstet. 1952(94): 662-668. 6. Youmans GP, Liebling J, and Lyman RY. J. Infect. Dis. 1938(63): 117-

121. 7. Tabor H, Tabor CW, Rosenthal SM. Annu. Rev. Biochme. 1961(30): 579-

604. 8. Bachrach U. Annu. Rev. Microbiol. 1970(24): 109-134. 9. Boyland B. Biochem. J. 1941(35): 1283-1288. 10. Hirsch JO. J. Expt. Med. 1953(97): 327-344. 11. Prasad KSN, Bhargava PM. md. J. Biochem. Biophys. 1982(19): 75-85. 12. Rao VN, Reddy ESP, Torriani A, Bhargava PM. FEBS Lett. 1983(152): 6-

10. 13. Reddy ESP, Das MR, Reddy EP, Bhargava PM. Biochem. J. 1983(209):

183- 188. 14. Sheit KH, Reddy ESP, Bhargava PM. Nature 1979(279): 728-731.

English Summary (Sambungan dari halaman 4) (ETL), PSDL of Japan, where NPL dosimeter was calibrated, pro-vides exposure calibration factor (Nx) for NPL dosimeter in the range photon energies from 50 kV until Co-60 beams, but without Cs-137 beams. Calibra-

lion factor of Cs- 137 beams was obtained by applying a linear in-terpolalion method corrected for attenuation originated from wall and build-up cap detector. Equalions to be used to calculate calibration factor of Cs-137

beams for several radiotherapy ionization chamber are pre-sented in this paper.

Cermin Dunia Kedokt. 1996; 112:57-9 St

A thing is not bad if we understand it well

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 20

Page 22: cdk_112_fertilitas

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Tumor-tumor Ovarium Borderline

Chrisdiono M. Achadiat Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Pusat Tegalyoso, Klaten, Jawa Tengah

Dari pelbagai penyakit yang mengenai wanita, neoplasia ovarium dan intra-abdominal adalah yang paling sulit didiagno- sis dan diobati. Sejauh ini hanya sedikit kemajuan untuk melacak prekursor ataupun stadium dini lesi-lesi ini. Kajian-kajian epide-miologikpun belum mampu menetapkan kelompok risiko tinggi di mana penemuan kasus secara dini dapat segera dilakukan. Dengan demikian kasus-kasus biasanya ditemukan secara "pasif" di rumahsakit-rumahsakit, sedangkan penemuan kasus dini di masyarakat masih menemui kesulitan(1,2,3,4).

Neoplasia intra-abdominal yang hampir selalu dikaitkan dengan keganasan ovarium, ditemukan dengan proporsi sebesar ± 8% dan seluruh tumor ganas ginekologik, dapat dijumpai pada segala usia tetapi 60% dijumpai pada usia di atas 50 tahun dan 30% pada usia reproduksi serta lainnya pada usia muda(1,2). Akhir-akhir ini diperkirakan terjadi peningkatan kasus dengan gambaran histopatologik antara neoplasma ovarium jinak dan ganas, dikiasifikasikan sebagai neoplasma ovarium borderline, yang penanganannya masih belum disepakati oleh para ahli. Diperkirakan sekitar 9,2–20% dan seluruh keganasan ovarium adalah neoplasma kelompok ini, yang angka ketahanan hidupnya dapat mencapai 95% meskipun kemungkinan rekurensi dan kematian dapat terjadi 10–20 tahun kemudian. Hal ini dise- babkan karena neoplasma kelompok ini tetap memiliki kemam- puan metastasis ke organ-organ jauh di luar genitalia interna.

Di Indonesia tumor ganas ovarium banyak dijumpai dan merupakan penyebab kematian ke tiga terbesar setelah tumor ganas serviks dan tumor ganas payudara, padahal five-years survival rate nya dalam 50 tahun terakhir ini tidak banyak mengalami kemajuan, yakni berkisar antara 20–37%(5-9). KLASIFIKASI TUMOR OVARIUM

Pelbagai kesulitan dijumpai ketika menyusun klasifikasi

tumor ovarium dengan menggunakan kriteria histologik, se- hingga WHO pada tahun 1973 mengajukan klasifikasi sebagai berikut(1,2) : I. Neoplasma epitel 1) Jenis serosum 2) Jenis musinosum 3) Endometrioid 4) Mesonefroid 5) Tumor Brenner (transisional) 6) Kombinasi jenis epitelial 7) Kombinasi epitelial dengan unsur lain 8) Karsinorna tak terdiferensiasi II. Neoplasma stroma gonad 1) Tumor sel granulosa/tekofibroma 2) Tumor sel Sertoli-Leydig 3) Gonadoblastoma III. Tumor sel hpoid IV. Neoplasma germinal 1) Disgerminoma 2) Tumor sinus endodermal 3) Karsinoma embrional 4) Khoriokarsinoma 5) Teratoma V. Tumor jaringan lain yang tidak khas ovarium VI. Limfoma maligna VII. Tumor primer unclassified VIII. Tumor metastatik.

Sedangkan klasifikasi yang didasarkan pada embriologi dan fisiologi tumor ovarium, memasukkan golongan lesi-lesi non- neoplastik serta membaginya menjadi 2 bagian besar, yakni(9) :

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 21

Page 23: cdk_112_fertilitas

1) Penyakit-penyakit radang pada ovarium Perlekatan-perlekatan yang diakibatkan oleh proses infeksi

sub-akut dan kronik, endometriosis dan inklusi peritoneal. 2) Kista ovarium non-neoplastik

Kista granulosa dan teka lutein, ovarium pohkistik (Stein- Leventhal), proliferasi fokal ataupun difus (misalnya tekosis, granuloma kortikal, luteoma kehamilan).

Beberapa hal yang dikatakan dapat meningkatkan risiko untuk mendapatkan neoplasma ganas ovarium, antara lain(3) : 1) wanita yang terpapar bahan tertentu (misalnya asbes) 2) penggunaan talkum 3) faktor genetik (riwayat neoplasma ganas dalam keluarga) 4) ovulasi yang banyak. MASALAH DIAGNOSTIK TUMOR-TUMOR OVARIUM YANG DICURIGAI GANAS

Semua penulis sepakat bahwa diagnostik tumor-tumor ga-nas ovarium sangat sulit, karena letaknya yang tersembunyi di dalam rongga perut dan pada tahap-tahap awal tidak memberikan keluhan sama sekali. Karenanya penderita biasanya datang pada stadium lanjut; padahal pengobatan yang dimulai pada stadium awal cukup memberikan harapan, sedangkan pada stadium lan- jut hasil pengobatan sejauh ini masih mengecewakan(4,5,6,8).

Taylor pada tahun 1929 mengajukan kategori tumor ova-rium borderline dan diterima oleh FIGO pada tahun 1961, kemu- dian dipublikasi oleh WHO tahun 1973. Secara histopatologi kelompok tumor ini merupakan “perbatasan” antara jinak dan ganas, sehingga dikenal pula sebagai intermediate proliferative neoplasma atau tumor of borderline malignancy. Meskipun tidak terdapat invasi ke dalam stroma, tetapi tumor memiliki kemampuan metastasis ke organ lain yang jauh dan genitalia interna. Secara epidemiologik penderita tumor kategori ini ter- nyata berusia sekitar satu dekade lebih muda dibanding kelom- pok karsinoma, yakni rata-rata 46,6 tahun (Kliman dan kawan- kawan, 1986)(7). Angka ketahanan hidup kelompok ini dapat mencapai 95–100% pada neoplasma ovarium borderline sta-dium I, bila dibandingkan dengan 60–70% pada kelompok tumor invasif stadium I.

Karakteristik neoplasma ovarium borderline adalah pro- liferasi sel epitel yang tidak normal, namun tanpa disertai invasi ke dalam stroma. Gambaran morfologi terdiri atas stratifikasi sel epitel, peningkatan aktivitas mitosis, inti abnormal dan sitologi atipik. Ciri-ciri demikian ini ternyata sesuai dengan karakteristik tumor ganas ovarium(7).

Sedangkan kriteria WHO tahun 1973 tentang tumor ova- rium borderline ini adalah: 1) Dipenuhinya kriteria-kriteria morfologi di atas 2) Tidak ada invasi ke dalam stroma.

Hart dan Norris (1973) mengemukakan, bahwa untuk tumor ovarium musinosum yang termasuk kelompok borderline bila terdapat 3 lapis epitel atau kurang, sedangkan 4 lapis atau lebih digolongkan dalam karsinoma.

Sejauh ini pemeriksaan potong-beku (frozen section) masih dipertanyakan untuk menentukan tingkat borderline tersebut, mengingat pada sediaan parafin sekalipun harus dilakukan

pemeriksaan yang amat cermat untuk menentukannya. Pe- meriksaan harus dilakukan setiap 1–2 sentimeter pada jaringan contoh, untuk memastikan ada atau tidaknya invasi ke dalam stroma. Nuranna dan kawan-kawan (1991) menjumpai 22 kasus (dari keseluruhan 34 kasus neoplasma ovarium borderline) ter-nyata tidak dilakukan potong-beku, disebabkan antara lain tidak adanya kecurigaan borderline atau ganas sebelum dilakukan pembedahan(7). Barber (1982) mengingatkan perlunya perhatian khusus, bila dalam pemeriksaan dijumpai hal-hal sebagai ber- ikut(6) : 1) Adanya massa tumor di daerah ovarium 2) Gerakan tumor terbatas 3) Permukaan tumor irreguler 4) Adanya tumor di daerah cul de sac 5) Massa tumor bilateral 6) Tumor daerah panggul yang membesardalam observasi 7) Adanya asites 8) Adanya omental cake atau hepatomegali 9) Tumor di daerah panggul setelah menopause.

Disaia (1989) mengamati perbedaan-perbedaan antara tumor jinak dan ganas ovarium, baik pada pemeriksaan panggul mau- pun pada saat pembedahan; sehingga kewaspadaan terhadap ada- nya keganasan tersebut dapat lebih terarah lagi (Tabel 1 dan 2). Sedangkan Sudaryanto(1989) mengemukakan penggunaan suatu indeks untuk melakukan diagnosis keganasan ovarium prabedah (Tabel 3), dengan 8 variabel yang masing-masing diberi bobot dengan skor dan nilai pisah untuk indeks ini adalah 3. Skor 3-5 menunjukkan kecurigaan keganasan, sedangkan skor 6 atau lebih dapat dikatakan ganas(6).

Tabel 1. Penemuan pada pemeriksaan panggul (Disaia, 1989)

Jinak Ganas

Sifat Konsistensi Gerakan Permukaan Asites Benjolan di daerah cul de sac Pertumbuhan

unilateral kistik bebas licin sedikit/tidak ada tidak ada lambat

bilateral padat terbatas tidak licin banyak ada cepat

Tabel 2. Penemuan pada seat pembedahan (Disaia,1989)

Kondisi tumor Jmak Ganas

Permukaan papiler Intrakistik papiler Konsistensi padat Bilateral Perlengketan Asites - Nekrosis Implantasi pada peritoneum Kapsel utuh Konsistensi kistik

jarang jarang jarang jarang jarang jarang jarang jarang sering sering

sangat sering sangat sering sangat sering sering sering sering serng sering jarang jarang

Mengenai pemeriksaan sitologik (servikal/vaginal ataupun

dengan kuldosentesis) sampai sekarang masih diperdebatkan. Beberapa peneliti menjumpai hasil 40% positif, sedangkan kul- dosentesis dikatakan dapat memperoleh hasil 90% positif. Namun

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 22

Page 24: cdk_112_fertilitas

Tabel 3. Indeks keganasan ovarium (Sudaryanto, 1989)

No. Petunjuk diagnosis Variabel Skor

1 Lamanya pembesaran a. Lambat (lebih dari 16 bulan 0 2

perut atau tumor Keadaan umum

atau tak ada pembesaran) b. Cepat(16 bulan atau kurang) a. Baik

1 0

3

Tingkat kekurusan

b. Kurang/tidak balk a. Normal/gemuk

1 0

b. Kurus 1 4 Konsistensi tumor a. Kistik homogen 0 b. Solid homogen

c. Macam-macam 1 2

5 Permukaan tumor a. Rata/licin 0 b. Berbenjol/tak teratur 16 Gerakan tumor a. Bebas 0 b. Tak bebas 17 Asites a. Tak ada 0 b. Ada 1 8 LED I jam a. Rendah (60 mm atau kurang) 0 b. Tinggi (lebih dari 60 mm) 1

demikian banyak peneliti lain menyatakan, bahwa pemeriksaan sitologik tidak memberikan hasil memuaskan. Barber (1984) dan Disaia (1989) menyatakan bahwa pemeriksaan sitologik mungkin berguna untuk penderita usia lanjut dan stadium lanjut, karena tindakan bedah akan membahayakan penderita(6).

Peranan radiografi (misalnya ultrasonografi dan CT-scan) dikatakan mempunyai peranan yang terbatas untuk diagnosis dini, namun dimungkinkan untuk membedakan antara suatu kista dengan massa yang padat. Saks (1986) menyebutkan bahwa suatu massa yang terpisah dan uterus dengan gambaran tak teratur, dapat dicurigai sebagai suatu keganasan ovarium(4,6,9).

Sebagai alat diagnostik, laparoskopi/parasentesis dikatakan juga mempunyai peranan yang sangat terbatas, tetapi dapat membantu usaha menentukan stadium tumor ganas ovarium dan dalam keperluan pemeriksaan lanjutan (fol1ow-up)(4,9).

Pemeriksaan serologik/imunologik petanda ganas seperti CEA, AFP, LDH atau CA-125, sampai saat ini lebih banyak berarti untuk keperluan pemantauan respons penderita terhadap pengobatan yang diberikan, dibanding untuk sarana diagnos- tik(6). PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya setiap tumor ovarium yang diameternya lebih dari 5 sentimeter merupakan indikasi untuk tindakan laparatomi, karena kecenderungan untuk mengalami komplikasi. Apabila tumor ovarium tidak inemberikan gejala dan diameternya kurang dari 5 sentimeter, biasanya merupakan kista folikel atau kista lutein(8,9,10).

Tindak bedah yang dilakukan dapat bervariasi, mulai dari ooforekton unilateral saja sampai pada tindakan histerektomi totalis, salpingo-ooforektomi bilateral dan omentektomi. Bebe- rapa pertimbangan untuk melakukan pembedahan konservatif pada tumor ganas ovarium adalah(7) : 1) Usia muda dan fungsi reproduksi masih diperlukan. 2) Stadium IA: tidak ada asites, tidak ada perlekatan, tidak pecah, unilateral, tak ada pertumbuhan papiler pada permukaan tumor.

Tabel 4. Stadium kanker ovarium (FIGO, 1987)

Stadium Deskripsi

Stadium I Stadium Ia Stadium Ib Stadium Ic Stadium II Stadium IIa Stadium IIb Stadium IIc Stadium III Stadium IIIa Stadium IIIb Stadium IIIc Stadium IV

Tumor terbatas pada ovarium Tumor terbatas pada satu ovarium, tidak ada asites, tidak adatumor pada permukaan luar, kapsel utuh Tumor terbatas pada dua ovarium, tidak ada asites, tidak adatumor pada permukaan luar, kapsel utuh. Seperti Ia atau lb, tetapi dengan tumor pada permukaan luarsatu atau keduaovarium; atau kapsel pecah; atau dengan asitesyang mengandung sel-sel ganas; atau dengan bilasan perito-neal positif. Tumor tumbuh pada satu atau dua ovarium dengan perluasanke organ pelvis lainnya. Perluasan dan/atau metastasis ke uterus dan/atau tuba. Perluasan ke organ pelvis lainnya, termasuk ke peritoneum. Sesuai dengan IIa atau Ilb, tetapi dengan tumor pada per-mukaan satu atau kedua ovarium; atau kapsel pecah; ataudengan asites yang mengandung sel-sel ganas; atau bilasanperitoneal positif. Tumor pada satu atau dua ovarium dengan implantasi peri-toneal di luar pelvis dan/atau kelenjar retroperitoneal atauinguinal yang positif. Metastasis hati superfisial dinilai se-bagai stadium III. Tumor terbatas pada pelvis, namun pe-meriksaan histologik positif untuk perluasan keganasan padausus halus atau omentum. Tumor terbatas pads pelvis minor dan kelenjar negatif, tetapidikonfirmasikan secara histologik bahwa terdapat perlakuanmikroskopik pada permukaan peritoneal abdomen. Tumor pads satu atau dua ovarium; konfirmasi histologikadanya implantasi pada permukaan peritonel abdomen de-ngan diameter kurang dari 2 sentimeter; kelenjar getah beningnegatif. Implantasi abdomen diameter2 sentimeter dan/atau kelenjarretroperitonel atau inguinal positif. Pertumbuhan meliputi satu atau dua ovarium dengan meta-stasis jauh; jika terdapat efusi pleural, tes sitologik haruspositif. Metastasis pada parenkhim hati menugjukkan sta-dium IV.

3) Penilaian patologi yang memadai/adekuat.

Bila fungsi reproduksi telah terpenuhi/terlampaui, dianjur-kan untuk dilanjutkan dengan histerektomi dan mengangkat sisa ovarium pada kasus-kasus yang telah dilakukan pembedahan konservatif(7). Pada kasus-kasus yang termasuk kategori neo- plasma ovarium borderline (yang umumnya terjadi pada usia muda), pertimbangan untuk melakukàn pembedahan konserva- tif menjadi lebih sering. Tazelaar dan kawan-kawan (1985) mengamati 61 kasus neoplasma ovarium borderline dan di- dapatkan untuk kasus stadium IA yang hanya dilakukan ooforek- tomi unilateral, ternyata 23% mengalami pertumbuhan tumor kembali; sedangkan untuk kasus yang dilakukan histerektomi totalis dan salpingo-ooforektomi bilateral, tumor timbul kembali hanya pada 7% kasus(7,9,10).

Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan pada saat tindakan pembedahan, ialah melakukan staging dan keganasan yang dicurigai tersebut, sçsuai dengan klasifikasi FIGO tahun 1987. Disadari bahwa besarnya metastase intra-abdomen turut menentukan keberhasilan pengobatan, sehingga FIGO meng- anggap perlu menentukan stadium keganasan tersebut berdasar-kan hasil-hasil yang diperoleh dalam pembedahan, yakni(5) : 1) Hasil sitologi bilasan peritoneum daerah kavum Douglasi,

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 23

Page 25: cdk_112_fertilitas

cekungan parakolika kiri-kanan dan diafragma. 2) Hasil biopsi peritoneum, kerokan/biopsi diafragma dan usus halus serta hasil histopatologi dan omentektomi, kelenjar getah bening pelvis dan para-aorta.

UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih atas saran serta buku-buku referensi

untuk penulisan makalah ini, yaitu: Dr. H. Nugroho Kampono, DSOG, FICS; Dr: H. Farid Azis, DSOG. FICS; Dr. H. Sjahrul Sjamsuddin, DSOG, FICS; Dr. H. Andrijono, DSOG, FICS; Dr. Hj. Laila Nuranna, DSOG beserta seluruh staf Subbagian Onkologi Ginekologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM.

PROGNOSIS

Tumor-tumor ovarium borderline mempunyai prognosis yang bervariasi dan aspek diagnostik (khususnya ketika pem- bedahan) sangatlah esensial. Bila tumor ternyata bukan suatu keganasan, prognosisnya dapat dikatakan baik, namun bila suatu keganasan maka prognosisnya akan sangat dit oleh sta- diumnya. Dengan demikian prosedur diagnostik intrabedah se- bagaimana disebutkan tadi adalah andalan utama dalam penen- tuan stadium.

KEPUSTAKAAN 1. Harahap RE. Tumor ganas pada alat-alat genital. Dalam: Prawirohardjo S,

Wiknjosastro H, Sumapradja S, Saifuddin AB, eds. lImu Kandungan Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 1982; 333-9. Sekitar 20% kasus yang sebelumnya tergolong stadium I-II

pada laparotomi, ternyata menunjukkan gambaran abnormalitas kelenjar getah bening retropentoneal pada limfografi. Hal inilah yang dapat menerangkan tingginya angka kegagalan terapi ra- diasi setelah pembedahan pada tumor ganas ovarium stadium klinis I–II. Pada penderita stadium Minis I dan II yang dikirim untuk terapi lanjutan, ternyata 28% (untuk stadium I) dan 43% (untuk stadium klinis II), telah menjadi stadium III(5,8,9).

2. Harahap RE. Kanker Ginekologik. Jakarta: Penerbit Gramedia, 1984; 141–54.

3. Peel KR. Benign and malignant tumors of the ovaly. In: Whitfield CR, ed. Dewhursts Textbook of Obstetrics and Gynaecology for Postgraduates. Fourth Ed. London: Blackwell Scient. PubI. 1986; 733–54.

4. Rutledge FN. Neoplastic Ovarium Tumors. In: Mattingly RF, Thompson JD, eds. Te Linde’s Operative gynecology. Sixth Ed. Singapore: JB Lippin- cott Go, 1985; 877–907.

5. Santoso HH. Penentuan Stadium Surgikal pada Tumor GanasOvarium. Makalah pada Simposium Onkologi PTP VII POGI, Surakarta 1991.

Tabel 5. Five Years Survival Rate untuk Keganasan Epitel Ovarium(8)

Stadium Jumlah kasus FYSR (%)

Ia 940 69.0 lb 227 63.9 Ic 157 50.2 IIa 251 51.7

IIa = IIb 672 42.4 III 2.074 13.3 IV 933 4.1

Jumlah 5.254 30.6

6. Kurnen A. Ketajamandiagnostikpra-bedahtumorganas ovarium. Makalah pada Simposium Onkologi FTP VII P0(31. Surakarta, 1991.

7. Nuranna L. Neoplasma Ovarium Borderline Masalah Diagnostik dan Te- rapi. Makalah pada Simposium Onkologi PTP VII P0(31, Surakarta, 1991.

8. Nilloff JM. Ovarian Cancer. In: Friedman BA, Borten M, Chapin DS, eds. Gynecological Decision Making. Second Ed. Toronto Philadelphia: BC Decker Inc. 1988; 192–3.

9. Woodruff JD. Benign, Premalignant, & Malignant Disorders of the Ovaries & Oviducts. In: Pernoll ML, Benson RC, eds. Current Obstetric & Gyneco- logic Diagnostic & Treatment. Sixth Ed. Norwalk, Connecticut/Los Altos, California: Appleton & Lange, 1987; 670–714.

10. Monaghan JM. Bonneys Gynaecological Surgery: Operations for Ma-lignant Ovarian Disease. Ninth Ed. London:Bailliere-Tindall, 1986;179-84.

The great indestructible mirace is man's faith in miracle (Jean Paul)

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 24

Page 26: cdk_112_fertilitas

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Osteoporosis sebagai Problema Klimakterium

P. Gonta

Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta

Penurunan kepadatan tulang dengan poros hipotalamus-hipofisis-ovarium klimakterium, gangguan poros ini terjakan problema yang serius untuk wanita

Penilaian kepadatan tulang dapat ini diperlukan tehnik radiologi khusus, energy x-ray (DEXA). Oleh karena utama untuk osteoporosis adalah estrberikan secara oral, transdermal atau se

Terapi non-estrogen dengan kalsit tambahan atau sebagai terapi altkontraindikasi.

PENDAHULUAN

Osteoporosis adalah suatu problem klimakterium yserius. Di Amerika Serikat dijumpai satu kasus osteoporosiantara 2–3 wanita pasca menopause, suatu jumlah yang mcapai 25 juta penderita(1). Dengan bertambahnya usia harahidup sebagai dampak pembangunan kesehatan di Indoneosteoporosis menjadi suatu masalah kesehatan yang perluperhatikan. DEFINISI

Menurut konsensus di Kopenhagen bulan Oktober 19osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit denkarakteristik massa tulang yang berkurang dengan kerusamikroarsitektur jaringan yang menyebabkan kerapuhan tuldan risiko fraktur yang meningkat(2).

Osteoporosis dibedakan dengan dekalsifikasi. Osteopor

ABSTRAK

an akibat osteoporosis terjadi pada setiap ganggu- yang menyebabkan defisiensi estrogen. Dalam

di secara alamiah, sehingga osteoporosis merupa- pada masa tersebut. meramalkan fraktur osteoporosis. Untuk maksudyaitu dual photon absorptiometry (DPA) atau dualosteoporosis didasari defisiensi estrogen, terapi

ogen juga. Estrogen untuk maksud ini dapat di-bagai implan perkutan. onin dan bifosfonat dapat diberikan sebagai terapiernatif bila pemberian estrogen merupakan

ang s di en- pan sia, di-

90, gan kan ang

osis

pada klimakterium terjadi akibat matrix kolagen tulang berku- rang sebagai bagian dari gangguan jaringan ikat secara umum akibat definisi estrogen. Aktifitas osteokias meningkat, sehingga resorpsi tulang juga meningkat, walaupun kadar kalsium dan hormon paratiroid dalam serum masih dalam batas normal.

Massa tulang pada manusia mencapai maksimum pada usia sekitar 35 tahun, kemudian terjadi penurunan massa tulang secara eksponensial. Penurunan massa tulang ini berkisar antara 3 sampai 5% setiap dekade, sesuai dengan kehilangan massa otot dan dialami baik pada pria maupun wanita. Pada masa klimak- terium penurunan massa tulang pada wanita lebih menyolok, dan dapat mencapai 2–3% setahun secara eksponensial(1). Pada usia 70 tahun kehilangan massa tulang pada wanita dapat mencapai 50%, sedangkan pada pria 90 tahun kehilangan massa tulang ini baru mencapai 25%(3).

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 25

Page 27: cdk_112_fertilitas

ETIOLOGI BERKURANGNYA MASSA TULANG Pendapat bahwa mobilisasi kalsium dan tulang disebabkan

gangguan absorpsi kalsium di usus telah ditinggalkan. Walaupun kadar kalsium dalam plasma tetap dalam batas normal, osteopo- rosis ternyata tetap terjadi. Albright mengemukakan bahwa ke- hilangan massa tulang pada masa pasca menopause terutama disebabkan penurunan fungsi ovarium pada masa itu(4).

Walaupun adanya reseptor estrogen pada tulang belum jelas, peranan estrogen dalam pencegahan osteoporosis tak dapat disangkal.Pemberian suplemen kalsium saja sebanyak 1500mg/ hari tidak meningkatkan kepadatan tulang bila tidak disertai pemberian estrogen(5).Pengaturan kepadatan tulang oleh estro- gen mungkin melalui kalsitonin, suatu hormon yang meng- halangi resorpsi tulang. Pada tiroidektomi total, kalsitonin me- nurun dan terjadi penurunan massa tulang. Estrogen dapat me- ningkatkan kalsitonin pada wanita baik pada masa pra, maupun pasca menopause. Estrogen mungkin pula berperan dalam mem- pertahankan kepadatan tulang dengan hambatan langsung ter- hadap osteoklas(6). atau dengan stimulasi osteoblas secara lang- sung(7).

Defisiensi estrogen selama laktasi juga mengakibatkan pe- nurunan kepadatan tulang. Dalam 3 bulan pertama, kepadatan tulang vertebra lumbal menurun 4%, suatu jumlah yang bahkan lebih banyak dibandingkan dengan penurunan pada masa pasca menopause. Kepadatan tulang ini akan pulih setelah penyapih- an(8).

Pada gangguan poros hipothalamus-hipofisis-ovarium se- perti anoreksia nervosa dan athletic amenorrhoea, juga terjadi defisiensi estrogen yang menyebabkan kerapuhan tu1ang(9). GAMBARAN KLINIS

Tulang-tulang yang terutama terpengaruh pada osteoporosis adalah: radius distal, corpus vertebra: terutama mengenai T8-L4, dan collum femoris.

Pemeriksaan kepadatan tulang dengan radiologi standard hanya memberi gambaran kasar dan tidak tepat. Pemeriksaan ini baru dapat mengidentifikasi berkurangnya kepadatan bila massa tulang telah berkurang sepertiga atau separuh(10). Pada saat ini kepadatan mineral tulang diukur dengan dual photon absorption- metry (DPA) atau dual energy x-ray absorptiometry (DEXA). Pemeriksaan dengan quantified computer tomography dapat me-nilai sampai bagian sentral vertebra, tetapi memerlukan radiasi agak banyak. Pemeriksaan dengan ultrasound sampai saat ini hanya dapat menilai tulang-tulang perifer dengan mengukur ke-cepatan bunyi yang menembus tulang. Manfaat ultrasound untuk pengukuran vertebra dan tulang panggul masih diragukan.

Dengan pengukuran massa tulang pada masa pasca meno- pause, wanita yang akan mengalami osteoporosis dapat diiden- tifikasi dengan baik . Pengukuran kepadatan tulang panggul dianggap sebagai metoda paling tepat untuk meramalkan fraktur osteoporosis(12). Terjadinya pelepasan massa tulang dapat juga dinilai secara biokimiawi dengan mengukur ekskresi kalsium dalam urine 24 jam, penurunan dalam serum kadan kalsium dan kalsitonin, serta peningkatan alkali fosfatase.

PENANGANAN OSTEOPOROSIS

Terapi hormonal dengan estrogen Osteoporosis merupakan suatu gangguan keseimbangan

antara pembentukan dan resorpsi tulang(7) dan terapi hormonal dianggap sebagai terapi utama(10), walaupun keamanan terapi ini adakalanya dipertanyakan(13). Pada osteoporosis, susunan tulang dapat kembali seperti pada masa pra menopause dengan pem- berian estrogen dan dengan demikian menurunkan risiko fraktur(14). Pemakaian estrogen pada masa pasca menopause me- nurut suatu analisis lebih banyak menguntungkan walaupun perlu evaluasi individual untuk mempertimbangkan kebutuhan dan risiko(15).

Untuk pencegahan dan pengobatan osteoporosis, estrogen dapàt diberikan dengan berbagai cara. Pemberian estrogen se- cara oral memerlukan dosis terendah 0.625 mg/hari estrogen terkonyugasi(16) atau 0.5 mg/hari estradiol(17). Dalam bentuk estradiol valerat diperlukan dosis 2 mg/hari yang dapat di- tambahkan dengan 75 mcg levonorgestrel untuk pelindung endometrium(19). Oleh karena estrogen oral melalui sirkulasi porto-hepatik, maka estrogen juga dapat diberikan dalam bentuk plester estradiol transdermal untuk menghindari hepatic first- pass. Selain pemberian estrogen dalam bentuk ini, estrogen juga dapat diberikan sebagai implan transdermal yang lebih murah, lebih kosmetis dan juga lebih cocok untuk pasien yang kurang disiplin dalam penggunaan obat. Untuk maksud ini ternyata 25 mg estradiol dalam bentuk implan dapat meningkatkan secara nyata kepadatan mineral tulang setelah pemakaian selama satu tahun(20).

Lama pengobatan dengan preparat estrogen belum jelas, mungkin lima tahun atau lebih. Untuk pasien yang telah meng- alami fraktur, pengobatan sangat mungkin memerlukan waktu sepanjang hidup, oleh karena peningkatan kepadatan yang telah dicapai dengan terapi estrogen ternyata dapat merosot kembali bila terapi dihentikan(21).

Terapi non estrogen Beberapa terapi alternatif yang ditemukan dalam kepustaka-

an menyebutkan metabolit vitamin D, strontium, kalsitonin dan golongan bifosfonat sintetik.

Kalsitrol (1,25(OH)2 D3) dan metabolit vitamin D lain seperti 25(OH)D3 dan 1-alpha (OH)D3 membantu absorpsi kalsium. Manfaat untuk menambah massa tulang belum jelas sehmngga masih ditunggu hasil pengujian jangka panjang(22).

Strontium dalam dosis rendah merangsang pembentukan tulang dan menghambat resorpsi tulang pada tikus, tetapi pada dosis tinggi justru menyebabkan gangguan yang menyerupai riketsia. Pada saat ini pengaruh strontium terhadap osteoporosis masih dalam penelitian(22).

Kalsitonin memperpendek masa hidup osteoklas dan dengan demikian menghambat osteoporosis. Pemberian kalsitonin dengan suntikan subkutan secara bertahap sehingga mencapai dosis 5000 IU kalsitonin dalam 2 tahun, ternyata menghambat osteoporosis setara dengan pemakaian implant estradiol 3 mg. Kalsitonin juga dapat diberikan dalam bentuk semprotan hidung 50 lU/hari dan dengan dosis ini pun dapat mempertahankan ke-

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 26

Page 28: cdk_112_fertilitas

padatan tulang trabekuler. Kalsitonin juga mempunyai efek analgesik yang menguntungkan dan dianggap sebagai preparat yang aman. Penelitian yang banyak memberikan harapan sedang berlangsung pada saat ini(23). Sayangnya pemakaian kalsitonin terbatas karena harganya yang mahal.

Golongan bifosfonat menghambat aktifitas osteokias dan dengan demikian menghambat osteoporosis. Pengaruh golongan bifosfonat yang baik ini terutama pada tulang kortikal dan tidak tampak pada tulang trabekuler. Penelitian selama tiga tahun dengan pemberian 400 mg etidronate dan penilaian radiologis menunjukkan peningkatan kepadatan tulang sebanyak 2,3%(24). Hasil yang baik juga didapatkan dengan 220 mg klodronat, suatu bifosfonat generasi kedua yang diberikan secara intravena dan mampu menghambat penurunan kepadatan tulang(25).

Derivat isoflavon alamiah dalam diet meningkatkan kadar kalsium pada tikus, biri-biri dan ayam; karena itu ipriflavon di- coba penggunaannya pada kasus-kasus osteoporosis. Ipriflavon ternyata memperbaiki espons tulang terhadap terapi estrogen dengan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Ipriflavon tidak memperlihatkan aktifitas hormonal, dan ternyata dapat memperbaiki berbagai penyakit tulang lain seperti penyakit Paget dan hiperparatiroidi primer. Ipnflavon sudah digunakan di Hungaria, Italia dan Jepang dengan hasil yang baik. Dosis oral optimal ipriflavon adalah 600 mg/hari(22). DISKUSI

Penurunan kepadatan tulang terjadi pada setiap gangguan poros hipotalamus-hipofisis-ovarium yang disertai defisiensi estrogen, karena itu sangatlah wajar bahwa estrogen merupakan terapi utama untuk osteoporosis. Oleh karena pemberian estro- gen saja meningkatkan risiko terhadap kanker endometrium(15,26), pemberian estrogen pada wanita yang belum mengalami his- terektomi disertai progestagen. Progestagen belum jelas man- faatnya untuk maksud ini(27). Penambahan progestagen baik secara kombinasi maupun secara sekuensial ternyata tidak mem- pengaruhi manfaat estrogen untuk memperbaiki kepadatan tu- lang(28). Preparat hormonal pada masa pasca menopause hampir tidak menunjukkan peningkatan risiko kanker payudara(15), sesuai dengan pengalaman pemakaian preparat hormonal untuk kontrasepsi jangka panjang(29).

Preparat non-estrogen tetap berkedudukan penting untuk terapi osteoporosis pada pasien yang mempunyai kontraindikasi estrogen, atau sebagai terapi tambahan. Preparat-preparat ini tidak menunjukkan sifat sebagai hormon dan aman(22). Efek samping yang ditemukan pada penelitian pemakaian etidronat selama 3 tahun adalah hipertonia (kramp) pada tungkai yang dilaporkan 4% pemakai(24). KESIMPULAN

Osteoporosis merupakan gangguan yang terutama dialami pada masa klimakterium. Gangguan ini ditandai dengan menu- runnya kepadatan massa tulang dan dilatar belakangi defisiensi estrogen.

Kepadatan massa tulang maksimum terjadi pada usia sekitar 35 tahun, karena itu pemberian suplemen kalsium sebelum usia

tersebut sangat penting. Olah raga yang dipengaruhi daya tarik bumi (weight bearing exercises) menyokong pertumbuhan ke-padatan tulang yang maksimal(9).

Terapi estrogen masih tetap merupakan pilihan utama untuk osteoporosis. Sebelum terapi ini dimulai sangat perlu diper-bangkan manfaat dan kerugian terapi bagi secara individual. Obat alternatif tetap mempunyai kedudukan penting, terutama bila terapi hormonal merupakan kontraindikasi. Kalsitonin dan bifosfonat merupakan pilihan obat alternatif yang dapat diper-tanggung jawabkan pada saat ini.

KEPUSTAKAAN

1. Christiansen C. Hormonal prevention and treatment of osteoporosis - State of the art 1990.1 Steroid Biochem Molec Biol 1990; 37(3): 44

2. Conference report: Consensus development conference: prophylaxis and treatment of osteoporosis. Am J Med 1991; 90: 107-10.

3. Gordon GS. Prevention of bone toss and fractures in women. Maturitas 1984; 6: 224–42.

4. Albright F, Smith P, Richardson A. Postmenopausal osteoporosis,its clinical features. JAMA 1941; 116: 2465–74.

5. Lindsay R, Tohme JF. Estrogen treatment of patients with established osteoporosis. Obstet Gynecol 1990; 76: 290-95.

6. Hausler MR, Donaldson CA, Algretto EA, Marion SL, Mangelsdorf DJ, Kelly MA, Pike 1W. New actions of 1,25-dihydroxyvitamin D3: possible clues to the pathogenesis of postmenopausal osteoporosis. Dalam: Chris- tiansenC, Arnaud CD, Nordin BEC, ParfittAM, Peck WA, Riggs BL (eds.). Osteoporosis, Glostrup: Glostrup Hospital. 1984. pp. 725–36.

7. Duursma SA, Raymakers IA, Boereboom FTJ, Scheven BAA. Estrogen and bone metabolism. Obst Gynec Survey 1991; 47: 38–44.

8. KalkwarfHJ, Specker BL. Bone mineral loss during lactation and recovery after weaning. Obstet Gynecol 1995; 86: 26–32.

9. Wolman RL. Osteoporosis and exercise. BMJ 1994; 309: 400–3. 10. Eden J. Hormonal therapy and osteoporosis. J Paed Obstet Gynaec 1996;

22: 29–31. 11. Lockefeer JHM. Herziening consesus osteoporose. Ned Tijdshr Geneeskg

1992; 136(25): 1204–6. 12. Johnston Jr CC, Slemenda CW. Risk assessment: Theoretical considera-

tions. Am J Med. 1993; 95 (Suppl 5A): 2S–5S. 13. Grant ECG. Longterm dangers of hormonal treatment (letter). Lancet

1994; 343: 926. 14. Lindsay R. Hormone replacement therapy for prevention and treatment of

osteoporosis. Am J Med 1993 (Suppl 5A): 37S–39S. 15. Gorsky RD, Koplan JP, Peterson HB, Thacker SB. Relative risks and

benefits of long-term estrogen replacement therapy: A decision Obstet analysis Gynecol 1994; 83: 161–66.

16. Lindsay R, Hart DM, Clark DM. The minimum effective dose of estrogen for prevention of postmenopausal bone loss. Obstet Gynecol 1984;63; 579–84.

17. Ettinger B, Genant HK, Steiger P, Madvig P. Low dosage micronized 17 beta-estradiol prevents bone loss in postmenopausal women. Am J Obstet Gynecol 1992; 479–88.

18. Christiansen C, Lindsay R,. Estrogen, bone loss and preservation.Osteo-porosis int 1991; 1: 7–13.

19. Holland EFN, Leather AT, Studd JWW, Garnet Ti. The effect of a new sequential oestradiol valerate and levonorgestrel preparation on the bone mineral density of postmenopausal women. BrJ Ob Gyn 1993; 100:

20. HollandEFN, Leather AT, Studd JWW. The effect of 25mg percutaneous estradiol implants on the bone mass of postmenopausal women. Obstet Gynecol 1994; 83: 43–6.

21. Christiansen C, Christensen MS, Transbol I. Bone mass in postmenopausal women after withdrawal of oestrogen/gestagen replacement therapy. Lancet 28 Feb 1981; 459–61.

22. Brandi ML. New treatment strategies: ipriflavone, strontium, vitamin D

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 27

Page 29: cdk_112_fertilitas

Metabolites and analogs. Am J Med 1993; 95 (suppl 5A): 69S–74S. 26. Grady D, Gebretsadik T, Kerlikowske K, Ernster V. Petiti D. Hormone replacement therapy and endometrial cancer risk: a meta-analysis. Obstet Gynecol 1995; 85: 304–13.

23. Reginster JY. Calcitonin for prevention and treatment of osteoporosis. Am J Med 1993; 95 (Suppl 5A): 44S–47S.

24. Hams ST. Watts NB, Jackson RD. Genant HK, Wasnich RD, Ross P, Miller PD, Licta AA. Chestnut CH. Four year study of intennitent cyclic etidronate treatment of postmenopausal osteoporosis: three year of blinded therapy followed by one year open therapy. Am J Med 1993; 95: 557–67.

27. Brinton LA, Hoover RN and The Endometrial Cancer Collaborative Group. Estrogen replacement therapy and endometrial cancer risk: unresolved issue. Obstet Gynecol 1993; 81: 265–71.

28. Metka M, Holzer G, Heymanek G, Huber J. Hypergonadotropic hypo- gonadic amenorrhea (World Health Organization 111) and osteoporosis. Fertil Steril 1992; 57: 37–41.

25. Filipponi P, Pedetti M, Fedeli L, Cmi L, Palumbo R, Boldrini S. Massoni C, Cristallini S. Cyclical clodronate is effective in preventing post- menopausal bone loss: A comparative study with trancutaneous hormone replacement therapy. J Bone Mineral Research 1995; 10: 697–903.

29. Schesselman ii. Net effect of oral contraceptive use on the risk of cancer in women in the United States. Obstet Gynecol 1995; 85: 793–801.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 28

Page 30: cdk_112_fertilitas

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Osteoporosis

Dwi Djuwantoro Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta

PENDAHULUAN

Osteoporosis, yang berarti “tulang keropos atau tulang yang berlubang,” merupakan kelainan tulang umum yang ditandai oleh penurunan pembentukan osteoblastik matriks disertai dengan peningkatan resorpsi osteokiastik tulang dan sebagai akibatnya, penurunan jumlah total tulang dalam tulang rangka (osteopenia, yang berarti “terlalu sedikit tulang’)(1,2,3). Osteopo- rosis mempermudah timbulnya fraktur traumatik kolumna ver- tebra, femur atas, radius distal, humerus proksimal, rami pubis dan kosta(5) sehingga biaya sosial dan ekonomi osteoporosis besar seka1i(2).

Meskipun penurunan deposisi tulang telah lama dianggap merupakan faktor utama penyebab gangguan keseimbangan yang menimbulkan osteoporosis, namun data baru-baru ini memperlihatkan bahwa peningkatan resorpsi tulang mungkin merupakan faktor yang lebih penting(3).

Percobaan pada tahun-tahun sekarang ini memberi kesan bahwa terdapat beberapa bentuk penatalaksanaan yang efektif untuk penderita osteoporosis(2). JENIS-JENIS OSTEOPOROSIS

Terdapat beberapa jenis osteoporosis, yaitu: 1) Osteoporosis postmenopause (tipe I): Bentuk yang paling sering ditemukan pada wanita kulit putih dan Asia. Bentuk osteoporosis ini disebabkan oleh percepatan resorpsi tulang yang berlebihan dan lama setelah penurunan sekresi estrogen di masa menopause. 2) Osteoporosis involutional (tipe II): Terjadi pada kedua jenis kelamin yang berusia di atas 75 tahun. Tipe ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan yang samar dan lama antara kecepatan resorpsi tulang dengan kecepatan pembentukan tulang. 3) Osteoporosis idiopatik: Tipe osteoporosis primer jarang yang terjadi pada wanita premenopause dan pada laki-laki yang berusia di bawah 75 tahun. Tipe ini tidak berkaitan dengan pe-

nyebab sekunder atau faktor risiko yang mempermudah timbul-nya penurunan densitas tulang. Penyebabnya tidak diketahui. 4) Osteoporosis juvenil: Bentuk osteoporosis yang terjadi pada anak-anak prepubertas. Bentuk ini jarang dijumpai. 5) Osteoporosis sekunder: Penurunan densitas tulang yang cukup berat untuk menyebabkan fraktur atraumatik akibat faktor ekstrinsik seperti kelebihan kortikosteroid, artritis reumatoid, kelainan hati/ginjal kronis, sindrom malabsorbsi, mastositosis sistemik, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, varian status hipogonade, dan lain-lain(5). TANDA DAN GEJALA KLINIS 1) Nyeri/sakit punggung, dapat akut/kronis atau intermiten.

Gejala ini mungkin berkaitan dengan fraktur mikroskopis berulang. Juga dapat terjadi nyeri tulang di tempat lain(1,3,5). 2) Kifosis/skoliosis.

Penderita biasanya memperlihatkan kifosis dorsal dalam derajat abnormal. 3) Fraktur atraumatik.

Fraktur patologis merupakan komplikasi klinis yang sangat sering dijumpai. 4) Mungkin deformitas tulang perifer tidak dijumpai. 5) Sklera tidak biru/hijau/abu-abu. 6) Penurunan tinggi badan(5). PENYEBAB 1) Postmenopause (tipe I): Hiperestrogenemia. 2) Involutional: Tidak diketahui. 3) Juvenil: Tidak diketahui 4) Sekunder: Berbeda-beda (seperti yang telah disebutkan di atas)(5). FAKTOR RISIKO 1) Diet: kalsium yang tidak memadai, fosfat/protein yang ber-

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 29

Page 31: cdk_112_fertilitas

lebihan; masukan vitamin D yang tidak memadai pada orang tua. 2) Fisik: imobilisasi, dan gaya hidup duduk terus-terusan (sedentary). 3) Sosial: penggunaan alkohol, sigaret dan kafein. 4) Medis: kelainan kronis, endokrinopati, (lihat osteoporosis sekunder). 5) Iatrogenik: kortikosteroid, penggantian hormon tiroid yang berlebihan, heparin kronis, kemoterapi, loop diuretic, anti- konvulsan, tetrasiklin, dan terapi radiasi. 6) Genetik/familial: massa tulang suboptimal pada maturi- tas(5). DIAGNOSIS

Diagnosis Banding 1) Mieloma multipel. 2) Neoplasma lainnya. 3) Osteomalasia. 4) Osteogenesis imperfekta tarda (Tipe I). 5) Hiperparatirodisme skeletal (primer dan sekunder). 6) Mastositosis (jarang)(5).

Pemeriksaan Laboratorium a) Semua “pemeriksaan rutin’ biasanya menunjukkan hasil yang normal. b) Alkali fosfatase dapat meningkat dalam waktu sementara setelah fraktur. c) Elektroforesis protein serum dan/atau urin normal. d) Osteocalcin serum,jika tinggi, menunjukkan tipe perganti-an (turnover) yang tinggi. e) Kalsium urin normal(5).

Gambaran Patologis 1) Penurunan massa tulang rangka, tulang trabekuler jauh lebih sering dibanding denghan tulang kortikal. Juga dapat ditemukan hilangnya hubungan trabekuler. 2) Jumlah osteokias dan osteoblas berbeda. 3) Kelainan tulang metabolik lainnya serta peningkatan os- teoid yang tidak menunjukkan mineralisasi tidak ditemukan(5).

Pemeriksaan Radiologis 1) Foto Rontgen: a) Perubahan “dini” yang berupa pelebaran ruang interverte- bralis, penonjolan relatif lempeng korteks, dan garis-garis ver- tikal korpus vertebra. b) Perubahan “akhir” – fraktur lempeng kortikal, fraktur kom- presi vertebra, fraktur perifer pada ujung tulang panjang, dan fraktur kosta. 2) Bone scan menunjukkan peningkatan ambilan pada tempat fraktur sebelumnya, jikalau tidak negatif. 3) Bone mineral density (BMD) dengan cara dual energy x-ray absorptiometry (DXA) atau quantitative SC scan (QCT)(5).

Prosedur Diagnostik Biopsi tulang jarang diperlukan, untuk mengesampingkan

kelainan tulang metabolik. Kadang kala digunakan untuk me- nentukan kuantitas kehilangan massa tulang, dengan meng-

gunakan teknik histomorfometrik kuantitatif(5). PENATALAKSANAAN

Tindakan Umum Tindakan yang dilakukan pada kasus ini seperti yang di-

perlukan pada keadaan dengan nyeri dan kecacatan, misalnya kompres hangat, analgetik, dan terapi fisik(5).

Aktivitas 1) Aktivitas jalan-jalan tetap dipertahankan. Penderita dapat melakukan jalan-jalan sepanjang 1 mil dua kali sehari, dan jika mungkin, berenang. 2) Penderita harus menghindari latihan fisik dan manuever yang meningkatkan gaya kompresif dan stres mekanis pada vertebra dan tempat tulang perifer. 3) Prosedur rehabilitasi untuk spasme otot punggung dan do- rongan berjalan-ja1an(5).

Diet 1) Diet penurun berat badan jika penderita mempunyai berat badan yang berlebihan. 2) Masukan kalsium 1.500 mg/hari dan semua sumber, jika penderita tidak menderita hiperkalsiuria atau tanpa riwayat baru kalsium. Hasil penelitian menunjukkan penurunan kehilangan massa tulang pada kelompok yang diberi kalsium(2,5). 3) Hindari masukan fosfat atau protein yang berlebihan, yaitu hindari minuman yang mengandung asam fosfor dan masukan daging yang berlebihan. 4) Vitamin D 400-800 UI setiap hari(5). PENGOBATAN

Obat Piihan 1) Kalsitonin sintetik dan ikan salem (Osteocalcin®, Calci- mar®, Miacalcin®) 100 UI setiap hari atau lebih baik qod; 50 UI setiap hari atau 3 kali seminggu dapat efektif pada tipe pergantian yang tinggi. Sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan kalsium dan vitamin D. 2) Synthetic hu,nan calcitonin (Cibacalcin®), 0,5 mg setiap hari sampai tiga kali seminggu.Namun indikasi ini belum disetujui oleh FDA; dapat digunakan terdapat alergi atau resistensi ter- hadap kalsitonin sintetik ikan salem(5). 3) Terapi penggantian hormon (estrogen/progesteron).

Beberapa preparat masing-masing obat tersedia, dan dosis tergantung pada preparat. Terapi estrogen masih efektif dalani memperbaiki massa tulang dan menurunkan angka fraktur ver- tebra pada wanita dengan osteoporosis. Namun, belum ada bukti yang meyakinkan bahwa estrogen bermanfaat pada wanita yang berusia lebih dari 75 tahun(2,5). Obat alternatif 1) Binatrium etidronat.

Obat ini sedang dalam penelitian dan mendapatkan pertim- bangan FDA. 2) Bifosfonat lainnya.

Obat ini sedang diteliti, memiliki sifat inhibitor resorpsi

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 30

Page 32: cdk_112_fertilitas

EDUKASI PENDERITA tulang, dan mungkin mempunyai efek terhadap pembentukan tulang(5). Dalam memberikan edukasi kepada penderita, sebaiknya

selalu dijelaskan bahwa penatalaksanaan hanya menurunkan risiko terjadinya fraktur selanjutnya. Jika penderita telah meng- alami fraktur osteoporotik, mereka mungkin akan mengalami fraktur selanjutnya dan perlu diketahui bahwa fraktur vertebra selanjutnya dapat terjadi sekalipun telah diberi pengobatan yang tampak berhasil.

3) Natrium fluorida. Memacu pembentukan tulang tetapi mempunyai efek yang

tidak diinginkan pada tulang kortikal(5). Dosis tinggi bersama kalsium, vitamin D dan estrogen ternyata paling efektif, sesudah minimal 2 tahun massa tulang sudah bertambah dengan nyata(4). 4) Tamoxifen

Perlu dilakukan pemeriksaan ahli, penatalaksanaan fraktur dengan analgetik, pemberian alat penopang bilamana sesuai, operasi, rehabilitasi aktif dan tindakan untuk mengesampingkan penyebab osteopenia lainnya.

Derivat klomifen tanpa kior dengan efek estrogen lemah dan efek antiestrogen kuat(4). Obat ini mempunyai efek estrogen pada tulang tanpa menunjukkan potensial stimulasi payudara. Dapat memacu uterus(5).

Dalam edukasi osteoporosis pada orang tua, harus diingat bahwa fraktur sendi panggul dan pergelangan tangan biasanya, dicetuskan oleh jatuh. Langkah-langkah perlu diambil untuk mengurangi insidensi jatuh bilamana mungkin. Hal ini mungkin memerlukan obat-obatan psikotropik, antihipertensi dan lain-nya,penilaian lingkungan di rumah dan di luar rumah, pemberian alat bantu yang sesuai, serta pemeriksaan penglihatan(2).

5) Raloxifen Mempunyai efek estrogen pada tulang tanpa memiliki po-

tensi stimulasi payudara atau uterus. 6) Progestagen

Mempunyai efek tulang serupa dengan estrogen atau andro- gen(5). Pada wanita yang mempunyai uterus yang intak, pro- gesteron harus diberikan untuk menginduksi perubahan sekresi(4). 7) Androgen/anabolik

Dapat memacu pembentukan tu1ang(5). Steroid anabolik seperti nandrolon dekanoat meningkatkan kandungan mineral, tetapi penelitian terhadap efek aksialnya masih sedikit. Meski- pun efek samping androgenik membatasi manfaatnya, kasus dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan pengobatan selama

KEPUSTAKAAN

1. Chehab RH. Osteoporosis. Dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bagian

Bedah FKUI, Jakarta, hal. 675-78. 2. Peter JL. Osteoporosis After 60. In: Medical Progress, Mar. 1994; 21(3);

41-5. enam bulan (misalnya nandrolon dekanoat 50 mg secara intra- muskuler setiap enam minggu)(4). 3. Salter RB. Textbool of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal

System, 2nd ed., Williams & Wilkins; Baltimore/London, 1993. 152-156. 8) Ipriflavone 4. Tan Kirana. Obat-obat Penting, ed 4, 1986. hal 526-29; 742-43. Mempunyai sifat inhibitor resorpsi tulang. Obat ini sedang

dalam penelitian. 5. Wallach S. Osteoporosis. In: Griffiths 5 Minute Clinical Consult. Williams

& Wilkins, Baltimore/London, 1995. 742-43

The giver makes the gift valuable

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 31

Page 33: cdk_112_fertilitas

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Perdarahan Selama Kehamilan

Yoseph Dokter Puskesmas Secang II, Magelang,

PENDAHULUAN

Usaha-usaha menurunkan angka kematian maternal dan angka kematian perinatal masih menjadi prioritas utama program Departemen Kesehatan RI(1); penyebab utama kematian mater- nal masih disebabkan oleh tiga hal pokok yaitu perdarahan, pereklamsi/ekiamsi, dan infeksi(1,2,3). Walaupun angka kematian maternal telah menurun dengan meningkatnya pelayanan kese- hatan obstetri namun kematian ibu akibat perdarahan masih tetap merupakan faktor utama dalam kematian maternal(2,4).

Perdarahan dapat terjadi baik selama kehamilan, persalinan maupun masa nifas(4). Prognosis dan penatalaksanaan kasus per- darahan selama kehamilan dipengaruhi oleh umur kehamilan, banyaknya perdarahan, keadaan fetus dan sebab dan perdarah- an(5).

Dalam tulisan ini hanya dibahas perdarahan selama keha- milan; setiap perdarahan selama kehamilan harus dianggap se- bagai keadaan akut dan senus serta berisiko tinggi karena dapat membahayakan ibu dan janin(5,6). PERDARAHAN PADA TRIMESTER I

Sekitar 20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada awal kehamilan dan separuhnya mengalami abortus(5). Abortus ialah ancaman/pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan; sebagai batasan umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat badan anak kurang dari 500 gram(3,7,8).

Setiap perdarahan pada awal kehamilan terlebih dahulu harus dipikirkan berasal dari tempat pelekatan plasenta atau per- mukaan choriodecidua dan dianggap mengancam kelangsungan dan kehamilan(5,9).

Anamnesis diperlukan dalam mendiagnosis perdarahan pada trimester I (Tabel 1)

Tabel 1. Anamnesis pada Perdarahan Trimester I(5)

dmhWj

pbtoo

dd

123

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 32

* Perdarahan : – Kuantitas – Kualitas/sifatnya * Nyeri : – Kuantitas/kualitas * Hari pertama haid terakhir * Gejala dan tanda kehamilan * Riwayat obstetri terdahulu * Riwayat ginekologi seperti: – Servisitis – Riwayat operasi * Riwayat keluarga berencana

Penyebab perdarahan pada kehamilan trimester I sering sulit

itentukan walaupun telah dilakukan pemeriksaan lengkap. Pe-eriksaan dalam dan spekulum hendaknya dilakukan dengan

ati-hati terutama jika penyebabnya adalah karsinoma servik. alaupun insiden karsinoma servik dengan kehamilan sangat

arang yaitu 1 : 3000(5,9). Dalam pemeriksaan spekulum dapat dilihat asal perdarahan;

erdarahan disebabkan oleh gangguan kehamilan jika darah erasal dari ostium uteri(10). Pada beberapa wanita hamil dapat erjadi pula perdarahan dalam jumlah sedikit yang disebabkan leh penembusan villi khorialis ke dalam desidua saat implantasi vum(5,11).

Abortus dapat dikatagorikan seperti pada Tabel 2 dan iagnosis banding perdarahan pada awal kehamilan harus selalu ipikirkan (Tabel 3)(5,7,8).

Pemeriksaan pènunjang yang diperlukan adalah: ) USG untuk menentukan apakah janin masih hidup ) Test Kehamilan ) Fibrinogen pada missed abortion(7).

Terapi sangat tergantung dari banyaknya perdarahan dan

Page 34: cdk_112_fertilitas

Tabel 2. Kategort dan Gambaran Klinis Abortus(5)

1. Abortus Iminen – Perdarahan minimal dengan nyeri/tidak – Uterus sesuai dengan umur kehamilan – Servile belum membuka – Test hamil : positif – USG : Produk kehamilan dalam betas normal

2. Abortus Insipien – Perdarahan dengan gumpalan darah – Nyeri lebih kuat – Servile terbuka den teraba ketuban – Hasil konsepsi masih berada dalam kavum uteri

3. Abortus Inkomplit – Perdarahan hebat sering menyebabkan syok – Perdarahan disease gumpalan darah den jaringan konsepsi – Servile terbuka – Sebagian basil konsepsi masih tertinggal dalam kavum uteri

4. Abortus Kompiit – Perdarahan den nyeri minimal – Seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan – Ukuran uterus dalam bates normal – Servik tertutup

5. Missed Abortion – Perdarahan minimal – Sering didahului oleh tanda abortus iminen yang kemudian menghilang spontan/setelah tempi – Tanda den gejala laumil menghilang – USG : Hasil konsepsi masih dalam uterus namun tak ada tanda ke- langsungan hidupnya

6. Abortus Inteksi/septik – Abortus yang disertai infeksi den dapat berlanjut dengan abortus septik

Tabel 3. Diagnosis Banding Perdarahan Trimester I(5)

1. Abortus 2. Mola hidatidosa 3. Kelainan lokal pada vagina/servik : – Varises – Perlukaan – Karsinoma – Erosi – Polip 4. Kehamilan ektopik terganggu 5. Menstruasi & hamil normal

kelangsungan hidup hasil konsepsi(5,7).

Pada abortus iminen penanganannya terdiri atas istirahat baring untuk menambah aliran darah ke uterus dan mengurangi rangsangan mekanis. Fenobarbital 3 x 30 mg atau diazepam 3 x 2 mg dapat diberikan untuk menenangkan pasien. Pemberian hormon atau tokolitik dapat dipertimbangkan bila hasil USG menunjukkan janin masih hidup(7,12).

Pengeluaran hasil konsepsi diindikasikan pada abortus in- sipien, abortus inkomplit, missed abortion dan abortus dengan infeksi(5,7,11). Pengosongan uterus dapat ditakukan dengan kuret vakum atau cunam abortus disusul kerokan. Pada kasus dengan perdarahan berat atau syok, resusitasi cairan hendaknya di- lakukan terlebih dahulu dengan NaCl atau RL disusul transfusi darah. Setetah syok teratasi dilakukan kuret(12).

Pada missed abortion bila kadar fibrinogen rendah sebaiknya dikoteksi terlebih dahulu(7). Pengeluaran hasil konsepsi dapat di- induksi terlebih dahulu dengan pitosin drip atau dilatasi dengan

laminaria. Pengeluaran hasil konsepsi pada abortus infeksi hen- daknya dilindungi dengan antibiotika spektrum 1uas(5).

Komplikasi abortus biasanya anemi oleh karena perdarahan, infeksi dan perforasi karena tindakan kuret(5,7).

Perdarahan Pada Trimester II Perdarahan pada trimester II sering dihubungkan dengan

adanya komplikasi lambat dalam kehamilan, seperti partus prematurus imminen, pertumbuhan janin yang terlambat, dan solusio plasenta. Dapat juga perdarahan disebabkan oieh mola hidatidosa dan inkompetensi sevik(5).

Pemeriksaan obstetri lengkap dan USG perlu dikerjakan pada setiap perdarahan trimester II. Pada USG dapat dipantau pertumbuhan dan keadaan bayi dalam kandungan. Pasien dengan perdarahan trimester II memerlukan pemeriksaan rutin spesialis-tik, dan karditokografi dapat diindikasikan pada kehamilan trimester III(5,7).

Penanganan perdarahan yang disebabkan partus prematurus imminen berupa istirahat baring, pemberian tokolitik dan pe- nanganan terhadap faktor risiko persalinan preterm(7). Sedangkan pada inkompetensi servik dapat dilakukan pengikatan servik(5).

Perdarahan Pada Trimester III (antepartum) Definisi perdarahan antepartum menurut WHO adalah

perdarahan pervagina setelah 29 minggu kehamilan atau lebih(5,7,8). Insidennya ± 3% dan penyebab perdarahan antepar-tum dapat dilihat pada tabel 4(5).

Perdarahan yang terjadi umumnya lebih berbahaya di- bandingkan perdarahan pada umur kehamilan kurang dari 28 minggu karena biasanya disebabkan faktor plasenta; perdarahan dan plasenta biasanya hebat dan mengganggu sirkulasi O2, CO2 dan nutrisi dari ibu ke janin(5,6).

Penyebab utama perdarahan antepartum yaitu plasenta previa dan solusio plasenta; penyebab lainnya biasanya berasal dari lesi lokat pada vagina/servik. Gambaran khas untuk membe- dakan plasenta previa dan solusio plasenta dapat dilihat pada tabel 5(4,5,6,8).

Setiap pasien perdarahan antepartum hams dikelota oleh spesialis. Pemeriksaan dalam merupakan kontra indikasi kecuali dilakukan di kamar operasi dengan perlindungan infus atau tranfusi darah(5,7). USG sebagai pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis. Bila plasenta previa dapat disingkirkan dengan pemeriksaan USG dan pemeriksaan dengan spekutum dapat menyingkirkan kelainan tokal pada servik/va- gina maka kemuñgkinan sotusio ptasenta harus dipikirkan dan dipersiapkan penanganannya dengan seksama(5).

PLASENTA PREVIA Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal

yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Dikenal 4 klasifikasi dari plasenta previa: 1) Plasenta previa totalis : - Plasenta menutupi seluruh ostium uteri internum 2) Plasenta previa lateralis : - Plasenta menutupi sebagian dan ostium uteri intenum

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 33

Page 35: cdk_112_fertilitas

3) Plasenta previa marginalis - Tepi plasenta berada tepat pada tepi ostium uteri internum 4) Plasenta letak rendah : - Plasenta berada 3 - 4 cm pada tepi ostium uteri internum(4,6,8,13,14). Pengelolaan

Pengelolaan plasenta previa tergantung dari banyaknya perdarahan, umur kehamilan dan derajat plasenta previa(7). Setiap ibu yang dicurigai plasenta previa hams dikirim ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk transfusi darah dan operasi. Sebe- lum penderita syok, pasang infus NaCl/RL sebanyak 2 -3 kali jumlah darah yang hilang. Jangan melakukan pemeriksaan dalam atau tampon vagina, karena akan memperbanyak perdarahan dan menyebabkan infeksi(4,6,11,15). Bila usia kehamilan kurang 37 minggu/TBF < 2500 g: • Perdarahan sedikit keadaan ibu dan anak baik maka bia- sanya penanganan konservatif sampai umur kehamilan aterm. Penanganan berupa tirah baring, hematinik, antibiotika dan to- kolitik bila ada his. Bila selama 3 hari tak ada perdarahan pasien mobilisasi bertahap. Bila setelah pasien berjalan tetap tak ada perdarahan pasien boleh pulang. Pasien dianjurkan agar tidak coitus, tidak bekerja keras dan segera ke rumah sakit jika terjadi perdarahan. Nasihat ini juga dianjurkan bagi pasien yang di- diagnosis plasenta previa dengan USG namun tidak mengalami perdarahan(5,6,7). • Jika perdarahan banyak dan diperkirakan membahayakan ibu dan janin maka dilakukan resusitasi cairan dan penanganan secara aktif(7,11).

Bila umur kehamilan 37 minggu/lebih dan TBF ≥ 2500 g maka dilakukan penanganan secara aktif yaitu segera mengakhiri kehamilan, baik secara pervagina/perabdominal. Persalinan pervagina diindikasikan pada plasentaprevia marginalis, plasenta previa letak rendah dan plasenta previa lateralis dengan pem- bukaan 4 cm/lebih. Pada kasus tersebut bila tidak banyak perda- rahan maka dapat dilakukan pemecahan kulit ketuban agar bagian bawah anak dapat masuk pintu atas panggul menekan plasenta yang berdarah. Bila his tidak adekuat dapat diberikan pitosin drip. Namun bila perdarahan tetap ada maka dilakukan seksio sesar(4,6,7,13).

Persalinan dengan seksio sesar diindikasikan untuk plasenta previa totalis baik janin mati atau hidup, plasenta previa lateralis dimana perbukaan <4 cm atau servik belum matang, plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan plasenta previa dengan gawat janin(6,13). Penentuan jenis plasenta previa dapat dilakukan dengan USG dan pemeriksaan dalam atau spekutum di kamar operasi(5).

Komplikasi ibu yang sering terjadi adalah perdarahan post partum dan syok karena kurang kuatnya kontraksi segmen bawah rahim, infeksi dan trauma dan uterus/servik(5,7). Kom- plikasi bayi yang sering terjadi adalah prematuritas dengan angka kematian ± 5%(5). SOLUSIO PLASENTA

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada fundus/korpus uteri sebelum janin lahir(3,4,14,15).

Tabel 4 Penyebab Perdarahan Antepartum(5)

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Solusio Plasenta Plasenta Previa Vasa Previa Inpartu Biasa Kelainan Lokal Tidak diketahuisebabnya

30 % 32 % 0,1% l0 % 4 % 23,9%

Tabel 5. Perbedaan Solusio Placenta daq Placenta Previa(5).

Solusio Plasenta Plasenta Previa

Perdarahan Uterus Syok/Anemia Fetus Pemeriksaan dalam

– Merah tua s/d coklat hitam – Terus menerus – Disertai nyen – Tegang, bagian janin tak teraba – Nyeri tekan – Lebih sering – Tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar – 40% fetus sudah mati – Tidak disertai kelainan letak – Ketuban menonjol walaupun tidak his

– Merah segar – Berulang – Tidak nyeri – Tak tegang – Tak nyeri tekan – Jarang – Sesuai dengan jumlah darah yang keluar – Biasanya fetus hidup – Disertai kelainan letak – Teraba plasenta atau perabaan fornik ada bantalan antara bagian janin dengan jari pemeriksaan

Dalam klinik, solusio plasenta dibagi menjadi 3: a) Ringan

Bila perdarahan kurang dan 100 - 200 ml, uterus tidak tegang, terlepasnya plasenta <1/6, fibrinogen ≥ 250 mg%. b) Sedang

Bila perdarahan ≥ 200 m1 uterus tegang, presyok, gawat janin, pelepasan plasenta 1/4 - 2,3 bagian, fibrinogen 120 - 150 mg %. c) Berat

Bila uterus tegang, syok, janin telah mati, plasenta lepas 2/3 sampai se1uruhnya(7).

Namun demikian, sifat perdarahan pada solusio ptasenta sangat bervariasi. Perdarahan dapat banyak, sedikit atau ber- ulang, perdarahan dapat pula terselubung bahkan dapat juga regresi.Gejala yang kadang ringan menyebabkan kesulitan dalam diagnosis pasti solusio otasenta pada pemeriksaan antenatal. Pemeriksaan USG tidak selalu memberikan gambaran yang jelas. Namun 50% pasien mempunyai tanda dan gejala yang cukup jelas untuk didiagnosis solusio p1asenta(5).

Pasien yang mempunyai risiko mengalami solusio plasenta adalah : primitua, multi-paritas, tali pusat pendek, trauma, hi- pertensi, pereklamsi/eklamasi, riwayat obstetri jelek, merokok dan riwayat perdarahan pada trimester I dan II(4,5,8,14). Hipertensi merupakan penyebab tersering terjadinya solusioplasenta (47%), kemungkinan solusio plasenta pada kehamilan selanjutnya ada-lah 10%(5).

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 34

Page 36: cdk_112_fertilitas

Pengelolaan Setiap pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirujuk

ke spesialis karena memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan maupun persalinan(5).

Bila umur kehamilan <37 minggu/TBF < 2500 g : • Solusio plasenta ringan maka pengelolaan konservatif meliputi tirah baring, sedatif, mengatasi anemia, monitoring keadaan janin dengan kardiotokografi dan USG serta menunggu persalinan spontan. • Pada solusio plasenta sedang dan berat atau solusio plasenta ringan yang memburuk, jika persalinan diperkirakan < 6 jam, diusahakan partus pervaginadengan amniotomi dan pitosin drip. Seksio sesar diindikasikan bila persalinan diperkirakan > 6 jam(4,6,7).

Bila umur kehamilan ≥ 37 minggu/TBF ≥ 2500 g seksio sesar diindikasikan jika persalinan pervagina diperkirakan ber- langsung lama baik pada solusio plasenta ringan, sedang maupun berat. Pasien dengan solusio plasenta sedang/berat, tranfusi darah atau resusitasi cairan hendaknya dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan obstetri. Ketuban dapat segera dipecah tanpa memperdulikan apakah persalinan pervagina atau perabdominal untuk mengurangi regangan uterus(5,6,7).

Komplikasi solusi plasenta pada ibu biasanya berhubungan dengan banyaknya darah yang hilang. gangguan pembekuan darah, infeksi, gagal ginjal akut, perdarahan post partum yang disebabkan atonia uteri atau uterus couvelaire, reaksi transfusi serta syok neurogenik oleh karena kesakitan(5,7,9,13).

Komplikasi pada janin berupa asfiksi, berat bayi lahir rendah, prematuritas dan infeksi. Disamping itu bayi yang lahir hidup dengan riwayat solusio plasenta mempunyai risiko 7 x lebih sering mengalami cerebral palsy yang mungkin dise- babkan anoksia dan komplikasi dan syok(5). KESIMPULAN

Semua wanita dengan perdarahan pervagina selama ke- hamilan seyogyanya ditangani oleh spesialis. Peranan USG dalam menunjang diagnosis sangat diperlukan. Pemeriksaan Hb (hemoglobin) harus dilakukan untuk mengetahui beratnya anemi dan perdarahan yang terjadi. Pemeriksaan fibrinogen perlu dilakukan bagi kasus missed abortion dan solusio plasenta.

Pemeriksaan spekulum berguna untuk mendeteksi adanya ke- lainan lokal pada saluran genital bagian bawah. Jika dalam anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang tidak dapat di- tentukan diagnosisnya, dan perdarahan minimal maka pasien dapat dikelola sebagai pasien rawat jalan dengan pemeriksaan antenatal biasa. Perdarahan akibat solusio plasenta berhubungan erat dengan angka kematian bayi dan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi untuk terjadinya prematuritas dan pertumbuhan janin yang terhambat.

KEPUSTAKAAN

1. Nardho Gunawan. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan RI dalam upaya

menurunkan kematian maternal. Simposium Kemajuan Pelayanan Obstetri 1. Semarang : l3adan Penerbit UNDIP, 1993; 1-2.

2. Soejoenoes A. Morbiditas maternal dan perinatal. Pelatihan Gawat Darurat Perinatal. Semarang : Badan Penerbit UNDIP, 1991; 1-4.

3. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNPAD Bandung. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar offset, 1982; 110-27.

4. Mochtar BA, Praptohardjo U. Kedaruratan dalam kebidanaan karena perdarahan. Simposium Kemajuan Obstetri II. Semarang: Balai penerbit UNDIP, 1994; 9-13.

5. Granger K, Pattison N. Vaginal Bleeding in Pregnancy. J, Obst & Gynaec 1994; 20: 14-6.

6. Rambulangi J. Penatalalcsanaan Perdarahan Antepartum. Dexamedia1995; 8:21-3.

7. PB. POGl, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. Bagian 1, Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 1991; 9-13.

8. Mochtar R. Sinopsis Obstetri 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1990; 296-322.

9. Hayashi RH, Castillo MS. Bleeding in Pregnancy. In : Knuppel RA, Drukker JA. High risk pregnancy. Philadelphia: WB Saunders Co. 1986; 419-39.

10. Martohusodo S. Kompedium Patologi Kebidanan, Edisi Ill. Bandung: Daya Praza Press, 1997; 29-43.

11. Heller L. Emergencies in Gynaecology and Obstetrics. diterjemahkan oleh Mochaznad Martoprawiro dan Adji Dharma. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1988; 25-9.

12. Sibuea 0. Penanganan Kasus Perdarahan Hamil Muda. Cermin Dunia Kedokteran 1992; 80: 64-8.

13. Klapholz H. Placenta Previa.. In: Friedman EA, Acker DB, Sachs BP, Obstetrical Decision Making,2 nd ed. Philadelphia: BC Decker mc, 1987; 88-9.

14. Sumapraja S. PerdarahanAntepartum. Dalam: PrawirohardjoS,Wiknjosas- tro H, Sumapraja S. Saifuddin AlL Ilmu Kebidanana Edisi 11. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1986; 323-49.

15. Soeharsono. Perdarahan Antepartum. Pelatihan Gawat Darurat Perinatal. Semarang: BadanPenerbit UNDIP, 1991; 5-11.

Silence is confession

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 35

Page 37: cdk_112_fertilitas

ULASAN

Terapi Imun pada Kasus Abortus Spontan

Interaksi Fetomaternal Dipandang dari Sudut Imunologi

Paul Zakaria daGomez, MS. (imunologi)

Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Jakarta

Fetus terdiri dari antigen (Ag) asing bagi ibunya; wajar bila timbul reaksi penolakan terhadap Ag asing. Dari sudut imuno- logi, abortus adalah reaksi tubuh ibu menolak fetus sebagai Ag asing. Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa Ag asing ter sebut dapat bertahan selama ± 9 bulan. Mekanisme apa yang menghambat proses penolakan tersebut dan apakah proses per- salman adalah suatu proses penolakan fetus karena mekanisme yang menghambat proses penolakan lepas kontrol.

Fertilisasi adalah proses fusi membran spermatozoa dan oosit. Pada proses ini Ag membran spermatozoa masuk ke dalam oosit menyatu membentuk membran zygote. Hasil pembuahan itu membawa dan mengekspresikan HLA suami di permukaan zygote dan bersifat sebagai Ag asing bagi ibunya. Ag permuka- an sel fetus yang lainnya merupakan Ag organ-spesifik dan Ag embrional (oncoferal).Sistem imun wanita hamil dapat mengenal dan berespons terhadap Ag-Ag tersebut, misalnya dapat be- respons menolak hasil kehamilan (embrio). Penelitian mem- buktikan bahwa sel efektor kekebalan berperan menyebabkan abortus spontan. Misalnya sel sistem imun non-spesifik ibu seperti sel natural killer (NK), sel lymphokine-activated killer (LAK), dan makrofag dapat mengenal jaringan embrio primitif dan sel tumor lainnya sebagai Ag asing.

Sebagian serum wanita dengan riwayat abortus, tidak me- ngandung faktor serum pem-blok reaksi limfosit istri terhadap plasenta dan terhadap Ag leukosit suami. Wanita tersebut bila diimunisasi dengan limfosit suaminya akan merangsang pem- bentukan blocking antibody yang berfungsi mencegah abortus. In vitro, pada jaringan kehamilan buatan hasil pembuahan oosit wanita dengan riwayat abortus spontan dengan spermatozoa suaminya, menunjukkan infiltrasi sel-sel mononukleus ibu ke embrionya. Hasil patologi anatomi jaringan abortus spontan

kehamilan trimester pertama sering menunjukkan gambaran infiltrasi limfosit ke villi dan decidua. Gambaran tersebut serupa dengan reaksi penolakan graft baik karena mekanisme sel efek- tor spesifik maupun non-spesifik.

Setiap tahap kelanjutan pertumbuhan dan perkembangan fetus tergantung pada daya reaksi sel efektor ibu menolak graft (fetus) yang dianggap asing oleh sistem imun ibu. Kelangsungan kehamilan tergantung apakah: (1) sistem imun ibu tidak meng- identifikasi dan mendeteksi fetus sebagai benda asing; (2) tidak terjadi akumulasi sel efektor di tempat implantasi; (3) me- kanisme sel efektor ibu gagal menghancurkan fetus; (4) ter- ciptanya suatu lingkungan yang melindungi dan aktif menekan sel efektor kekebalan spesifik maupun non-spesifik ibu oleh sel ibu sendiri maupun oleh sel fetus atau akibat interaksi keduanya dan (5) peningkatan kadar estrogen dan progesteron pada keha- milan merupakan salah satu faktor penekan sel efektor ibu dalam sistem imun spesifik dan non-spesifik.

Pengetahuan mengenai interaksi feto-maternal terutama berasal dari hasil pengamatan pada tikus dan binatang percoba- an lainnya sebabjaringan intrauterus manusiapada masa peri dan pasca implantasi tidak boleh diintervensi (cacat?). Interaksi feto- maternal pada manusia tidak selalu sama dengan pada tikus, tetapi pada pengamatan kinetik perkembangan fetus tikus hasil perkawinan dengan tikus yang sama spesies tetapi genetik tidak identik, ternyata fetus pasca implantasi usia empat hari sama dengan embrio manusiausia 16-18 hari pasca implantasi (atau sama dengan usia kehainilan 4-5 minggu, karena pada manusia hari pertama menstruasi terakhir terhitung sebagai masa keha- milan dan diasumsi siklus menstruasi adalah 4 minggu). Tikus yang gagal bunting setelah 4 hari pasca implantasi sama dengan manusia yang abortus pada trimester I.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 36

Page 38: cdk_112_fertilitas

UNIT FETUS-TROFOBLAS MERUPAKAN DUA GRAFT YANG TERPISAH

Perkembangan blastocyst di tempat implantasi terdiri dari bagian dalam, suatu massa sel yang merupakan bakal fetus dan bagian luar, lapisan trofoblas yang akan menjadi plasenta di permukaanfeto-maternal. Jaringan fetus dan trofoblas tampak sebagai dua graft hasil pembuahan yang terpisah. Jadi Ag fetus maupun Ag trofoblas dapat merangsang respons imun ibu. RESPONS IMUN IBU TERHADAP Ag FETUS

Sifat jaringan fetus adalah imunogenik yang dapat dikenal dan ditolak oleh sistem imun ibu walaupun sedang hamil karena terjadi kontak antara sel fetus dan sel sistem lymphomyeloid ibu. Ada satu fenomena menarik yaitu bila fetus binatang pengerat ditransplantasi ke paha binatang pengerat bunting akan ditolak, tetapi bila ditransplantasi ke uterusnya tidak ditolak.

Kehamilan interspesies seperti antara kambing-domba dan transfer enibrio keledai ke kuda selalu gagal karena fetus di- infiltrasi sel mononuklear ibu (host). Makin sering dibuat ke- hamilan interspesies makin sering terjadi abortus karena ada immunologic memory. Transfer blastocyst Mus caroli ke dalam uterus Mus musculus (resipien) selalu gagal karena fetus Mus caroli pasca implantasi diinfiltrasi oleh sel limfosit T sitotoksik (sel-Tc atau CTL) resipien dan kemudian diresorbsi ke lapisan trofoblas fetus. Keadaan tersebut juga sering terjadi pada abortus spontan yang tanpa embryonic sac. Limfosit ibu jarang meng- infiltrasi fetus dan membentuk barrier di permukaan feto-mater- nal sehingga efektif memblok masuknya sel-sel ibu yang lain. RESPONS IMUN IBU TERHADAP Ag TROFOBLAS

Saat implantasi blastocyst adalah proses invasi hasil pem- buahan ke dalam endometrium, proses itu mirip dengan suatu invasi tumor lokal. Sel-sel trofoblas menginvasi endometrium dan membentuk massa yang menyatu, tanpa bentuk (amorphous) dan berinti banyak (multinucleated) disebut syncytium. Sel-sel syncytiotrophoblast itu berasal dari lapisan trofoblas sebelah dalam yaitu sel cytotrophoblast. Jadi trofoblas terdiri dan dua lapisan sel berbeda yaitu sel syncytiotrophoblast yang menyatu dengan jaringan decidua ibu dan sel cyrotrophoblast, merupakan lapisan dalam dan menutupi pembuluh darah fetal seperti tampak pada villi plasenta. Karena invasi procesus trofoblas maka pem- buluh darah ibu berbentuk lacunae. Akibatnya darah ibu lang- sung membasahi lapisan syncyriorrophoblast, tetapi darah fetal terpisah dan sel trofoblas oleh sel endothelium pembuluh darah fetus dalam ruangan intervillous. Perkembangan selanjutnya, cytotrophoblast berada di luar villi dan terkait pada plasenta dan langsung kontak dengan decidua.

Jaringan trofoblas fetus adalah unik karena dalam perkem- bangannya juga mengandung materi genetik suami. Penelitian imunotogi membuktikan bahwa sel syncytiotrophoblast tidak mengekspresikan MHC kelas I. Tetapi pada sel trofoblas ada Ag spesifik TA-1 dan TA-2. Sel cyrorrophoblast mengekspresikan MHC kelas I yang telah dimodifikasikan.Pada masa awal plasen-tasi, sel-sel ini juga menginvasi maternal spiral arterioles pada placental bed, hingga terjadi kontak langsung dengan darah ibu.

Hanya cyrotrophoblastmengekspresikan MHC dan kontak dengan decidua dan darah ibu, tetapi yang diekspresikan adalah MHC yang telah dimodifikasikan. MHC kelas II tidak ditemukan pada kedua sel trofoblas pada semua stadium kehamilan.

Jaringan trofoblas tidak mudah dihancurkan oleh sel CTL dan resisten terhadap reaksi penolakan oleh mekanisme sel imun efektor terhadap Ag spesifik. Keadaan yang sama juga terjadi pada neoptasma trofoblas gestasionat karena semua sel trofoblas mengandung gen suami dan tidak mampu ditotak oleh sistem imun wanita sekalipun mengekspresikan banyak human leucocyre antigen (HLA) suami. Jaringan trofobtas sensitif ter- hadap sel efektor nonspesifik tertentu yang secara setektif ber- fungsi dalam sistem surveitans untuk memusnahkan sel primitif seperti sel tumor dan sel embrional. Di antara sel efektor tersebut terdapat sel-sel yang bisa membunuh sel trofoblas seperti makro- fag dan LAK. Keduanya memitiki mekanisme pengenalan pri- mitif (primirive recognition mechanism) tetapi tidak mempunyai memori terhadap Ag yang pernah terpapar. Cara makrofag mem-bunuh sasanan adalah dengan bantuan enzim dan peroxida. Makrofag juga menghasilkan sitokin tumor necrosis factor α (TNF-α), yang menyebabkan trombosis dan interleukin 2 (IL-2), meningkatkan sitotoksik sel efektor imun non-spesifik terhadap trofoblas

TNF-α berperan merusak trofobtas karena sel trofoblas mempunyai reseptor TNF-α dan TNF-α dapat menghancurkan sel plasenta yang terdiri dari sel trofobtas.TNF- α juga menarik makrofag dan limfosit polymorphonucleated (PMN) ke tempat tersebut dan merangsang sel-sel itu membebaskan enzim peng- hancur dan radikal peroxida toksik yang menghancurkan semua sel TNF-α dan IL-2, juga mengaktivasi sel LAK. Tempat TNF- α dihasilkan turut berperan dalam proses abortus karena TNF- α dapat metisiskan trofoblas.

Penolakan fetus disebabkan oleh mekanisme graft-rejection terhadap Ag spesifik maupun Ag non-spesifik langsung terhadap sel trofoblas dan menyumbat(trombosis) pembuluh darah yang menyatunkan makanan ke tempat itu; suatu kehamilan akan berhasil bila bisa menghambat sistem imun Ag-spesifik dan Ag non-spesifik. Teori lain mengemukakan tentang peranan prostagtandin (PG) dan faktor pertumbuhan (growth factors) di tempat implantasi. MEKANISME PERTAHANAN UNTUK MELINDUNGI UNIT FETAL PLACENTAL

Proses decidualisasi endometrium bertujuan mempersiap- kan lingkungan yang memadai dalam rahim sehingga mampu memberikan nutrisi optimal bagi hasil konsepsi. Juga decidua berperan penting pada proses graft rejection. Allograft dalam endometnium yang telah dipengaruhi oleh hormonal atau endometrium binatang yang bunting akan berimplantasi dan survivat lebih lama-dibandingkan bila ditempatkan pada jaring-an nonuterus. Pada binatang yang belum disensitisasi, graft kutit bila ditranspantasi ke endometrium segera ditotak. Sebaliknya, bita graft ditranspantasi ke chorion-decidua junction tikus bun- ting hasil perkawinan antara tikus yang sama spesies tapi genetik berbeda ternyata tidak ditotak. Hal yang sama juga terjadi pada

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 37

Page 39: cdk_112_fertilitas

binatang pejamu (host) yang imun. Diduga decidualisasi ber- fungsi melindungi allograft pada host yang nonimun dengan cara mencegah rangsangan pada sistem imun ibu. Chorion- decidua junction juga berfungsi mencegah perpindahan sel ibu ke fetus karena sel tersebut berfungsi sebagai sel sitotoksik yang akan melisiskan graft.

Pada kehamilan normal, sel-sel menekan imun bergerombol di sekitar tempat implantasi dan menyebar di antara sel decidua membentuk suatu lapisan kompak. Para pakar umumnya ber- pendapat bahwa beberapa sel decidua tersebut berasal dari bone marrow, tetapi proporsi sel tersebut belum diketahui. Ada dua tipe sel supresor yang dapat diisolasi dan uterus yaitu: sel supresor tipe I, yang hormone-dependent dan terdapat di endo- metrium dan sel supresor tipe II, yang trophoblast-dependent dan terdapat di decidua pada masa awal kehamilan.

Sel-sel Supresor Endometrium Sel supresor baru yang diinduksi hormon telah berada dalam

uterus manusia maupun tikus dalam rangka mempersiapkan tempat terjadi implantasi. Sel tersebut berbentuk besar dan me- nunjukkan marker Lyt-2 dan sel-T. Tetapi sel itu tidak seperti sel-T supresor (T8) kiasik,karena hanya ada di endometnium dan diaktivasi oleh hormon, bukan oleh Ag. Sel itu juga tidak bersifat Ag-spesifik dan tidak menglepaskan faktor pensupresi terlarut (soluble suppresor factors). Sel supresor ini bukan makrofag karena tidak menunjukkan marker Mac-I. Aktivitas supresi sel tersebut tidak dapat dihilangkan dengan menambah indometha- cm atau dengan pengobatan komplemen dan antibodi mono- klonal anti determinan permukaan makrofag.

Sel supresor tersebut memblok sensitisasi meternal, se- hingga menghambat respons pembentukan sel sitotoksik ter- hadap Ag non-MHC yang dihasilkan oleh sel pada awal kon- sepsi. Ag tersebut berperan penting pada feto-maternal interface. Pada binatang pengerat yang diimunisasi agar timbul respons anti terhadap Ag in frekuensi keberhasilan hamilnya turun dan ukuran fetusnya kecil karena diinfiltrasi oleh limfosit ibu me- nyebabkan fetusnya diresorpsi spontan.

Lamanya aktivitas sel supresor besar biasanya hanya singkat saja karena efek supresi tersebut menyebabkan kehamilan dapat berlangsung terus dan sel itu kemudian diganti dengan sel supre- sor trophoblast-dependent. Jadi pergantian jenis sel supresor di endometrium terjadinya tahap demi tahap dan setiap tahan hanya bersifat sementara (transient) dan berfungsi mempertahankan kelangsungan hidup fetus.

Sel supresor decidual (trophoblast-dependent) Pada masa awal pasca implantasi tikus, sel supresor besar di

endometrium diganti oleh sel supresor kecil yang sitoplasmanya bergranula dan terdapat dalam decidua. Sel-sel baru ini tidak mempunyai marker konvensionat sel-T dan makrofag, tetapi mempunyai reseptor Fc untuk IgG (FcIgGR). Mekanisme aktivi-tas sel supresor kecil tergantung pada signal trofoblas. Tempat aktivitas sel itu hanya di sekitar implantasi dalam uterus karena sel supresor kecil tidak aktif selain di dalam uterus hamil. Lokalisasi sel supresor trophoblast-dependent dan adanya sel supresor kecil dalam ptasenta diduga sehubungan dengan saat terbentuknya chorion-decidua junction yang berfungsi meng-

hambat graft rejecton dan menyelamatkan fetus. Sel supresor non-T menglepaskan soluble factor yang

menghambat berbagai mekanisme sel efektor spesifik maupun non-spesifik. Soluble factor ini menghambat perkembangan CTL, aktivitas sel NK dan pembentukan sel LAK dengan cara menghalangi aktivitas IL-2. Faktor tersebut juga menghambat respons C mengaktivasi IL-3, menghambat fungsi sitotoksik monosit dan makrofag dan membtok aktivitas sitotoksik TNF-α terhadap sel sasaran tertentu. Motekul larutan pensupresi imun sangat lengket dan sering dihubungkan dengan berbagai zat pembawa protein. Aktifitas faktor ini dinetralkan oleh antibodi anti transforming growth factor β (TGF-β) yang aktivitasnya ialah menghambat sitokin yang membasmi berbagai sel efektor. TGF- memblok mekanisme efektor sel imun spesifik maupun non-spesifik yang menyerang unit fetus-trofoblas.

Di decidua juga terjadi mekanisme supresor sel efektor oleh prostagtandin E (PGE Supresi yang dimediasi PGE terutama jika terjadi disagregasi decidua dengan enzim, dengan teknik tertentu bisa merusak decidua yang aktif memproduksi TGF-β tetapi membebaskan sel-sel yang menyerupai maknofag serta memproduksi motekul supresor tipe PGE Progesteron me- nekan produksi PGE endometrium manusia pasca ovulasi dan decidua pada awal kehamilan. Obat penghambat sintesis prostagtandin pada manusia seperti acezylsalicylic acid dan obat anti-inflamasi non-steroid tidak menyebabkan abortus. In vitro, efek supresi sintesa prostaglandin oleh obat-obatan tersebut adalah suatu antifak. Aktivitas faktor pensupresi yang dihasilkan oleh sel supresi kecil tidak dapat dihilangkan dengan charcoal aktif atau dinetralkan oleh antibodi anti-prostaglandin atau anti- progesteron. Kenyataan ini menunjukkan bahwa faktor pen- supresi itu tidak berhubungan dengan prostaglandin dan progesteron. SEL SUPRESOR TROPHOBLAST-DEPENDENT DAN KE-SELAMATAN FETAL

Beberapa wanita yang mengalami abortus, deciduanya pada awal kehamilan tidak mempunyai aktivitas sel supresor. Men- jelang abortus spontan, terjadi defisiensi mononukleus yang sito- plasmanya bergranula pada placental bed. Defisiensi aktivitas sel supresor di sekitar tempat implantasi menyebabkan fetus ditolak oleh ibunya, hal itu menunjukkan kegagatan trofoblas dan kematian fetus bukan karena sebab yang non-spesifik.

Pada kehamilan normal terdapat aktivitas sel NK, sel natural sitotoksik dan sel-sel yang menyerupai makrofag yang secara imunologis ikut menentukan keselamatan fetus (terutama bila kemampuan trofobtas ibu mengaktivasi sel supresor subnor- mal). Keseimbangan antara aktivitas sel supresor trophoblast- dependent dan tingkat intensitas aktivitas sel efektor ibu pada masa pasca implantasi sangat menentukan apakah suatu implan baru hasil konsepsi akan berhasil atau ditolak. Keseimbangan ideal ini dapat dipersiapkan pada masa mendatang dengan cara imunisasi, terutama kepada yang berbakat abortus. Imunisasi dilakukan dengan sel allogenik yang mengandung Ag suami karena akan merangsang respons imun spesifik membtok Ag suami pada trofobtas. Efeknya tidak membahayakan tetapi malah membantu proses implantasi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 38

Page 40: cdk_112_fertilitas

TERAPI-IMUN UNTUK ABORTUS SPONTAN BER-ULANG

Tujuannya ialah mencegah abortus spontan dengan cara ibu diimunisasi dengan Ag suami sehingga merangsang respons ibu. Perlindungan terhadap abortus dimediasi oleh soluble factor Ag-spesifik yang meningkatkan aktivitas supresor di tempat implantasi. Kuda yang diimunisasi dengan limfosit keledai ternyata efektif karena dapat menerima fetus keledai yang di- transfer. Penelitian pada beberapa wanita dengan riwayat abortus spontan berulang yang tidak diketahui penyebabnya dan serum- nya tidak mengandung antibodi anti-sitotoksik terhadap Ag-suami, bila diimunisasi dengan limfosit suami atau donor pihak ke tiga lainnya akan mengurangi kemungkinan terjadinya abor- tus spontan.

Alasan imunisasi sebagai pengobatan abortus spontan ber- ulang ialah untuk mencegah reaksi penolakan hasil konsepsi dengan cara merangsang produksi soluble factor yang memblok aktivitas limfosit istri menghancurkan trofoblas dan/atau Ag leukosit suami. Mekanisme kerja imunisasi secara tepat belum diketahui. Mekanisme efek blocking yang dapat diamati in vitro, belum tentu in vivo juga demikian. Sebenarnya aktivitas blocking hanya berhubungan dengan suatu Ag lain dan tidak selalu ber- hubungan dengan efek klinis. Hal ini mungkin karena efek biologi antibodi lainnya langsung terhadap Ag trofoblas. Salah satu keberhasilan imunisasi ialah meningkatkan aktivitas sel supresor trophoblast-dependent lokal oleh soluble factor. Ka-rena efek lokal antibodi dalam uterus ialah meningkatkan fungsi trofoblas. Mekanisme kedua, meningkatkan pertumbuhan tro-fobtas seperti akibat peningkatan supresi oleh sel-sel yang di-aktivasi oleh TNF-α seperti tampak pada peningkatan aktivitas decidua pada saat akan terjadi abortus.

Suatu penelitian metode percobaan terkontrol acak (ran-domized controlled trial) tentang keberhasilan hamil setelah diimunisasi dengan limfosit manusia, ternyata persentase keber- hasilan imunisasi dengan limfosit suami lebih tinggi (77%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (31%). Nilai “penyem- buhan” tanpa imunisasi, rendah (range 25%–37%, rata-rata 31%). Nilai ini jauh lebih rendah daripada abortus habitualis yang ditemukan pada studi epidemiologi. Hal ini menunjukkan bahwa wanita dengan abortus habitualis yang tidak diketahui penyebabnya dan tidak diimunisasi, berbakat terjadinya abortus berulang lagi.

ASAL LIMFOSIT UNTUK IMUNISASI Di banyak pusat penelitian, wanita berbakat abortus spontan

berulang diimunisasi dengan limfosit suami dengan tujuan me- rangsang respons imun anti-Ag-suanii yang berfungsi melin- dungi hasil konsepsi dan pengrusakan oieh reaksi graft rejection istri. Di beberapa pusat lainnya, limfosit beberapa donor yang sehat dikumpulkan sebagai bahan imunisasi. Ternyata dengan cara pooling, persentase keberhasilan lebih tinggi danipada menggunakan limfosit suami saja (Tabel 1).

Logika yang mendasari imunisasi ini adalah secara teori diketahui proses pengenalan allogenik terhadap Ag asing pada trofoblas dan limfosit (trophoblast-lymphocyte cross reactive

Tabel 1. Data keberhasilan hamil setelah terapi-imun

Imunisasi dengan Berhasil hamil

% Range

Limfosit suanri Limfosit donor Plasebo atau tidak diimunisasi

77 80 31

63-85 72-83 25-37

[TLC] Ag) adalah penting. Beberapa Ag trofoblas merupakan bagian dari Ag limfosit; banyaknya tergantung jumlah sasaran dan jenis limfokin yang dilepaskan atau responsnya terhadap sel allogenik diukur dalam reaksi mixed lymphocyte culture. Ag TLX adalah polimorfik dan adanya Ag TLX pertama diidenti- fikasi pada reaksi sitotoksik antara serum kelinci anti-microvilli syncytiotrophoblast manusia dan peripheral blood lymphocyte (PBL); ke dua, elektroforesis larutan PBL dan membran trofo- blas.

Antisera serum ketinci anti-microvilli syncytiotrophoblast blast manusia juga sitotoksik terhadap PBL beberapa orang dan reaksi ini tidak berhubungan dengan tipe HLA donor. Karena syncytiotrophoblast tidak mempunyai MHC, diduga sel trofo- blas mempunyai MHC sendiri dan Ag ini dimanifestasikan juga pada PBL sebagai Ag TLX. Diduga bila suami dan istri sama- sama mempunyai Ag TLX sejenis maka hasil konsepsi tidak antigenik dan tidak merangsang respons imun. istri. Imunisasi dengan limfosit beberapa donor akan meningkatkan kemungki- an merangsang respons proteksi blocking anti-TLX. Pada wanita dengan bakat abortus spontan, tidak terdapat blocking anti-TLX.

Ada beberapa masalah sehubungan dengan teori Ag TLX karena TLX merangsang respons imun anti-TLX (baik oleh suami maupun istri) yang menyerupai reaksi autoimun. Misal- nya, istri akan mensintesis Ab anti-TLX suami dan fetus dan sekaligus juga mensintesis Ab anti-limfosit sendin yang meng- ekspresi Ag sejenis. Jika Ag TLX bukan sharing maka ke- mungkinan sel suami dan fetus tidak mempunyai semua deter-minan Ag yang penting seperti pada kompleks Ag istri. Tam- paknya Ag tersebut asing bagi istri, tetapi tidak cukup untuk memancing respons imun intrauterin. Misalnya karena Ag TLX suami. Jika ada defek respons imun, dapat diatasi dengan me- nambah efek penolong, kecuali suami TLX-homozigot biasanya memiliki sharing Ag bersama-sama partnernya.

Hingga kini para pakar belum sepakat tentang sumber limfosit terbaik untuk imunisasi. Apalagi diketahui bahwa 70%-75 wanita yang mengalami kegagalan setelah imunisasi dengan limfosit suami, kemudian berhasil hamil setelah diimunisasi dengan sepertiga bagian limfosit donor. Juga diamati bahwa wa- nita yang abortus dengan satu partner ternyata bisa hamil dengan partner lainnya.Risiko imunisasi dengan sepertiga bagian limfosit donor adalah terjadinya transmisi virus, akibatnya limfosit donor jarang dipakai. Sebagai tambahan, Ag eritrosit dan trombosit (sering mengkontaminasi sediaan limfosit) lebih efisien men- sentitisasi istri.

Dosis sel untuk imunisasi Tingkat keberhasilan imunisasi tergantung dari dosis sel

yang diberikan. Dosis optimal untuk berhasil belum diketahui,

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 39

Page 41: cdk_112_fertilitas

tetapi lazim diberikan 100 juta sel/imunisasi karena makin ren- dah dosis sel ternyata tingkat keberhasilan menurun.

Di banyak pusat, dosis imunisasi tersebut diulang sesuai dengan jadual interval tertentu (tiap pusat bervariasi) selama belum terjadi konsepsi. Frekuensi suntikan ditentukan oleh hasil uji pusat serum terhadap adanya antibodi sitotoksik anti-limfosit suami atau donor.Meski tes ini tidak selalu berhasil meramal dengan baik, tetapi tingkat keberhasilan hamil lebih tinggi pada wanita yang diimunisasi dan yang mensintesis Ab anti-sel suami. Pusat yang menggunakan limfosit donor, imunisasi ulangan biasanya diberikan sanipai segera dikonfirmasi hamil, selanjut- nya imunisasi dilanjutkan sesuai interval regular hingga ke- hamilan semester ke dua. Interval antara imunisasi dan konsepsi

Prognosis dipengaruhi oleh interval waktu imunisasi dan terjadinya konsepsi. Yang diharapkan ialah terjadi konsepsi segera setelah imunisasi. Makin lama jangka waktu (> 47–80 hari) antara mulai imunisasi dan konsepsi, makin besar kemungkinan terjadi abortus. KEMUNGKUNAN RISIKO TERAPI-IMUN

Efek imunisasi dalam jangka pendek, segera timbul gatal- gatal (pruritus) setempat dan kadang-kadang timbul kemarahan (erythema) dan edema (swelling) di sekitar tempat suntikan. Biasanya terjadi pigmentasi kulit karena kontaminasi eritrosit pada sediaan limfosit. Secara teoritis ada risiko akibat sensitisasi Ag erotrosit. Wanita Rh (–) sebaiknya diberikan pencegahan dengan suntikan Ig anti-Rh pada saat imunisasi. Sampai kini belum pernah dilaporkan kasus kecacatan akibat sensitisasi dengan Ag Rh.

Beberapa penulis mengkhawatirkan kemungkinan akibat

terapi-imun yaitu fetusnya akan mengalami intrauterine growth retardation (IUGR) Pada pasangan dengan riwayat abortus spontan berulang biasanya IUGR adalah inheren dan IUGR biasanya berhubungan dengan dosis imunisasi relatif rendah Jika dosis sel lebih tinggi, tidak terjadi IUGR. Banyak peneliti melaporkan bahwa terapi-imun biasanya disertai kelahirar normal dan bayinya sehat. Perkembangan fisik bayi, pada tahun pertama kehidupan dalam batas normal dan perkembangan imunologiknya tidak berubah.

KEPUSTAKAAN

1. Chaouat G. ed. The Immunology of the Fetus. 2nded. Boca R Fla. CRC

Press; 1993. 2. Clark DA. Controversies in reproductive immunology. Crit Rev Immune

1991; 11:215–47. 3. Daya S. Clark DA. Pregnancy and the fetel-maternali relationship. Dalam:

Sigal LH, Ron Y. (ed). Immunology and Inflammation Basic mechanism and clinical consequences. New York: McGraw-Hill, Inc., 1994: 547-62.

4. Edwards RG. Coombs RRA. Immunological interactions between other and fetus. Daiam: GeII PGH, , Coombs RRA, Lachmann PJ., eds. Clinics Aspects of Immunology 3rd ed. Oxford Blackwell Scientific Publicatiom, 1975: 561–98.

5. Findley WE, Gibbons WE. Mouse pm-embryo culture as an evaluation for human pie-embryo requirements. Daiam: Keel BA, Webster SW. (eds). CR1 Handbook of the laboratory diagnosis and treatment of infertility. Boca Raton, CRC Press. 1990: 329-44.

6. Gleicher N. ed. Principles and Practice of Medical Therapy in Pregnanci. Norwalk, Conn.: Appleton & Lange; 1992.

7. Gleicher N. ed. Reproductive Immunology. Immunology and Allergy Clin- ics of North America, vol. 10, no. I. Philadelphia: Saunders; 1990.

8. Veeck LL. The morphological assessment of human oocytci and early concepti. Dalam: Keel BA, Webster BW. (eds). CFC Handbook of the laboratory diagnosis and treatment of infertility. Boca Raton, CRC Press, 1990: 354–69.

The Safest place of refuge for every man is his own home (Coke)

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 40

Page 42: cdk_112_fertilitas

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Umur pada Hasil Terapi Limfoma Non Hodgkin

Soebandiri Seksi Hematologi dan Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Rumah Sakit Dr Sutomo, Surabaya

A

Telah diteliti catatan medik pende Diffuse Lymphocytic Poorly Differen Cyclophosphamide, Hydroxydaunorub dirawat di Seksi Hematologi dan Onkol RS Dr Sutomo di Surabaya antara 1 Jan

Diteliti apakah ada pengaruh um tumor” maupun dilihat dan kemampuan penelitian ini adalah untuk dapat men 22 penderita LNH jenis DLPD yang me17–74 tahun, umur median 49 tahun. Kelompok A adalah mereka yang beHasil terapi kedua kelompok dibandingCR-rate golongan A = CR-rate golon tinggi daripada golongan B (91% vs makna. 2. Dilihat dari kemampuan be golongan A (muda) sedikit lebih lam namun secara statistik juga tidak berb dengan sampel yang lebih besar dan m (true survival).

Kesimpulan: Pada penelitian ini b terapi pada LNH jenis DLPD dengan t kemampuan hidup (survival)nya, mesgolongan umur muda agak lebih tinggi

PENDAHULUAN

Hasil terapi keganasan pada umumnya dan Limfoma NHodgkin khususnya dapat dilihat dan: a) Pengecilan tumoryang dinyatakan dalam istilah-istilah complete remission (=Cpartial remission (=PR), no change (=NC) dan progresdisease (=PD). b) Dapat pula dilihat dan lamanya kemamphidup (survival) penderita.

BSTRAK

rita-penderita Limfoma Non Hodgkin (LNH) jenistiated (DLPD) yang mendapat terapi kombinasiicine, Oncovin dan Prednison (CHOP), yangogi Medik bagian/UPF Penyakit Dalam FK Unair/uari 1986 s/d 31 Desember 1994 (9 tahun).

ur pada hasil terapi baik dilihat dan “pengecilan untuk terus berobat (observed survival). Manfaat

entukan prognosis. Selama 9 tahun itu terkumpulndapat terapi CHOP dengan sebaran umur antara Penderita kemudian dibagi menjadi 2 kelompok.rumur di bawah 49 tahun (golongan umur tua).kan, ternyata: 1. Dilihat dari pengecilan tumornya:gan B, Remission Rate golongan A sedikit lebih81%), namun secara statistik tidak berbeda ber-robat terus menerus (observed survival) rata-rataa daripada golongan B (tua) (6,1 vs 4,7 bulan),eda bermakna. Jadi perlu penelitian lebih lanjutenggunakan kemampuan hidup yang sebenarnya

elum terbukti adanya pengaruh umur pada hasilerapi CHOP dilihat dan pengecilan tumor maupunkipun Remission Rate maupun observed survival/lama daripada golongan umur tua.

on nya R),

sive uan

Evaluasi terhadap tumornya dapat segera dilakukan (1-2 bulan sesudah mulai terap tetapi evaluasi terhadap kemam-puan hidup (survival) memerlukan follow up yang seringkali sampai jangka lama, serta penderita harus patuh berobat sesuai protokol pengobatan (compliant)(1).

Banyak faktor yang diperkirakan mempengaruhi hasil-hasil pengobatan penderita Limfoma Non Hodgkin antara lain: 1. jenis

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 41

Page 43: cdk_112_fertilitas

histopatologi, 2. macam pengobatannya, 3. stadium penyakitnya, 4. jenis kelamin dan 5. umur(2).

Penelitian ini bertujuan untuk mencari bukti hubungan antara umur dengan hasil terapi yang dilihat dan pengecilan tumor dan lamanya masa berobat penderita, untuk mengetahui prognosis. BAHAN DAN CARA

Bahan penelitian adalah catatan medik penderita-penderita Limfona Non Hodgkin (LNH) yang dirawat di seksi Hematologi dan Onkologi Medik BagianIUPF Penyakit Dalam FK Unair/ RS Dr Sutomo di Surabaya, antara 1 Januani 1986 s/d 31 De- sember 1994 (selama 9 tahun).

Dipilih penderita dengan jenis histopatologi yang sama yaitu yang terbanyak jenis Diffuse Lymphocytic Poorly Differen- tiated (= DLPD) yang mendapat kemoterapi yang sama pula yaitu kombinasi Cyclophosphamide, HydroxoDaunorubicin (= Adriamycine), Oncovin (= Vincristine) dan Prednison (CHOP) yang merupakan pengobatan baku yang dianjurkan di RS Dr Sutomo untuk jenis DLPD itu. Kemudian pendenita disusun me- nurut umurnya. Umur median dipakai sebagai batas umur muda dan tua. Kemudian penderita dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok A (kelompok umur di bawah median = kelompok umur muda) dan kelompok B (kelompok umur di atas median = kelompok umur tua).

Penentuan stadium penyakit memakai kriteria Ann Arbor seperti yang lazimnya dipakai pada Limfoma Maligna. Histo- patologi ditentukan oleh ahli patologi di bagian Patologi yang selanjutnya kalau perlu diterjemahkan ke dalam klasifikasi Rappaport. Hasil terapi terhadap tumornya dilihat dan angka- angka Remisi Lengkap (Complete Remission = CR), Remisi Parsial (Partial Remission = PR), Penyakit Tetap (Stationary Disease = St.D = No Change = NC) dan Penyakit Progresif (Progressive Disease = PD) sesuai kriteria yang lazim(3).

Penentuan kemampuan hidup (survival) yang sebenarnya sebagai evaluasi hasil terapi, masih belum dapat dilakukan di Surabaya, oleh karena tidak adanya bagian follow up (Follow Up Service) di RS Dr Sutomo dan tidak adanya kepatuhan (compliance) pada sebagian besar penderita yang berobat. Yang dapat dinilai hanya apa yang disebut sebagai observed survival (= OS) yaitu masa mulai penderita datang pertama kali sampai saat kontrol yang terakhir (= masa berobat penderita).

Hasil terapi pada kedua kelompok umur tersebut diban- dingkan. Untuk perbedaan dan ratio dipakai uji statistik X2 dengan koreksi Yates4 dan untuk perbedaan dari dua mean (=rata-rata) dipakai uji statistik: test sampel kecil uji korelasi kemak- naannya diuji dengan rumus-rumus korelasi yang lazim(4,5). HASIL

Selama 9 tahun terkumpul 22 catatan medik penderita LNH jenis DLPD yang mendapat terapi CHOP dan datanya meme- nuhi syarat. Penderita yang mendapat pengobatan kurang dari 4 minggu, penderita yang tidak mendapat terapi CHOP dan mendapat terapi lain, tidak diikutkan dalam penelitian ini.

Umur pendenita berkisar antara 17–74 tahun, umur median

adalah 49 tahun, oleh karena itu golongan A adalah mereka yang berumur < 49 tahun, sedangkan golongan B adalah mereka yang berumur > 49 tahun (Tabel 1). Rasio jenis kelamin laki/wanita golongan A adalah 9/2, sedangkan untuk golongan B adalah 8/3 (Tabel 2).

Tabel 1. Data 22 penderita DLPD dengan terapi CHOP

No. Nama Sex Umur (tahun) Stadium hashl terapi O.S

(bulan) h/m

1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11

Tn. BS Tn. F Ny. L Tn. P Tn. M Tn. AK Tn. S Tn. D Ny. Tu Tn. L Tn. EP

L L P L L L L L P L L

17 25 30 30 37 38 42 42 44 45 48

38 3B 3A 3B 1B 3B 3B 3B 4B 3A 3A

CR CR PR PR PR NC PR CR PR PR CR

11,0 4,6 1,3 6,5 3,1 7 0 4,7 17,8 2 7 2,7 6,0

h h h h h m h h h h h

Umur median =49 tahun 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Ny. M Tn. K Ny. M Tn. M Tn. AS Tn. ES Tn. MS Tn. R Tn. MS Ny. P Tn. A

P L P L L L L L L P L

50 50 52 53 53 54 57 60 64 68 74

3B 3B 3B 2B 3B 2A 2A 2B 2A 3B 3B

PR CR PR CR PR NC PR CR PD PR CR

1,2 1,0 3,0 3,8 3,3 11,3 4,0 5,4 5,3 8,1 4,7

m h h h h h h h h h h

Keterangan: OS = Observed survival = lamanya berobat. h = hidup, m = mati CR = Complete Remission = Remisi lengkap PR = Partial Remission = Remisi parsial NC = No Change = Tanpa perubahan = Penyakit tetap PD = Progressive Disease = Penyakit bertanzbah L = laki-laki; P = perempuan

Tabel 2. Data penderita yang diteliti

Golongan A (<49 tahun) B (>49 tahun) Uji statistik

Jumlah kasus Umur (tahun) – sebaran – median Persentase wanita Persentase stadium lanjut (III & IV) Jenis histopatologi Jenis terapi

11 orang 17-48 49 2/11 (18%) 10/11 (91%) DLPD CHOP

11 orang 50-74 49 3/11(27%) 6/11 (55%) DLPD CHOP

t.b t.b

Keterangan : t.b. = tidak bermakna

Hasil terapi dapat dilihat pada Tabel 3. PEMBAHASAN

Dari Tabel 2 terlihat bahwa persentase wanita pada pen-derita tua (> 49 tahun) sedikit lebih tinggi daripada penderita muda (<49 tahun) (27% vs 18%), namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Persentase stadium lanjut (st. III & IV) golongan muda sedikit lebih tinggi daripada golongan umur tua (91% vs 55%) namun secara statistik perbedaan ini tidak

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 42

Page 44: cdk_112_fertilitas

Tabel 3. Hasil terapi pada 2 kelompok umur jenis DLPD yang mendapat terapi CHOP

Kelompok A (<49 tahun) B (>49 tahun) Uji statistik

11 4/11 (36%) 6/11 (55%) 10/11 (91%) 1/11 1,3 – 17,8 6,13 ± 4,70

11 4/11 (36%) 5/11 (45%) 9/11 (81%) 2/11 1,0 – 11,3 4,65 ± 4,65

Jumlah kasus Hasil terapi a. Pengecilan tumor – CR – PR – RR – NC & PD b. O.S. (bulan) : – sebaran – rerata – S.D. – korelasi umur & OS r = – 0,026 (p>0,10)

t.b. t.b. t.b.

t.b.

Keterangan: CR = Complete Remission rate PR = Partial Remission rate RR = Remission rate = CR + PR NC = No Change; PD = Progressive Disease 0.S = Observed survival = lama masa bembat tb. = tak berbeda bermakna secara statistik (p > 0,10) Catatan. Untuk hubungan OS dengan umur, uji statistik cara Wilcoxon-Gehan logrank test kurang tepat untuk dipakai karena “censored observation”nya ± 91%. Cara ini dan cara dari Mantel Haenszel menghasilkan “tak berbeda bermakna” yang sama. Untuk hubungan CR/PR dengan umur uji statistik cara Mann Whitney rank sum U rest juga menghasilkan “tak berbeda bermakna” yang sama. bermakna.

Dari tabe1 3 terlihat bahwa hasil terapi yang dilihat dari pengecilan tumornya angka CR adalah sama baik untuk golongan umur muda maupun golongan umur tua; namun angka RR go- longan umur muda sedikit lebih tinggi daripada golongan umur tua meskipun secara statistik perbedaan itu tidak bermakna. Jadi ada kecenderungan pada golongan umur muda respons terhadap tumor lebih baik daripada golongan umur tua; meskipun per- sentase stadium lanjut golongan umur muda sedikit lebih tinggi daripada golongan umur tua, namun perbedaannya tidak bermakna secara statistik.

Dilihat dari lamanya berobat (observed survival = OS) ter- nyata OS rata-rata golongan umur muda sedikit lebih tinggi daripada golongan umur tua (6,1 bulan vs 4,6 bulan) namun secara statistik tidak berbeda bermakna. Demikian pula pada golongan umur muda persentase yang stadium lanjut lebih tinggi daripada golongan umur tua (91% vs 55%) namun secara statistik perbedaan ini juga tidak bermakna. Jadi hanya dapat dikatakan bahwa ada kecenderungan pada golongan umur muda masa- berobat (=OS)-nya lebih lama daripada golongan umur tua; mungkin disebabkan karena memang survival sebenarnya umur muda lebih lama daripada umur tua. Namun masih perlu pe- nelitian dengan sampel yang lebih memadai dan penggunaan survival sebenarnya untuk membuktikan adanya pengaruh umur pada hasil terapi yang dilihat dan kemampuan hidup (survival) yang sebenarnya tersebut. Pada uji korelasi antara umur dengan lamanya berobat (=O.S.) didapatkan bahwa ada kecenderungan korelasi negatif namun secara statistik tidak bermakna (r =

-0,026; p > 0,10). Jadi ada kecenderungan golongan umur muda hasil terapi

(respons) terhadap tumor lebih baik daripada golongan umur tua meskipun persentase stadium lanjut golongan muda sedikit lebih tinggi daripada golongan tua; demikian pula hasil terapi yang dilihat dan lamanya berobat (=OS), namun buktinya masih kurang kuat (tidak bermakna secara statistik). RINGKASAN

Telah diteliti catatan medik penderita-penderita LNH jenis DLPD yang mendapat terapi kombinasi CHOP yang dirawat di Seksi Hematologi dan Onkologi Medik bagian Penyakit Dalam FK Unair/RS Dr Sutomo Surabaya mulai 1 Januani 1986 s/d 31 Desember 1994 (9 tahun).

Diteliti apakah ada pengaruh umur pada hasil terapi baik dilihat dan pengecilan tumornya maupun dilihat dari kemampuan untuk terus berobat. Kemampuan untuk berobat secara terus menerus disebut observed survival (kemampuan hidup selama masih dalam observasi).

Selama 9 tahun itu terkumpul 22 penderita LNH jenis DLPD yang mendapat terapi CHOP dengan sebaran umur antara 17 tahun - 74 tahun, umur median 49 tahun. Hasil terapi pada kelompok umur di bawah 49 tahun (kelompok A) dibandingkan dengan pada kelompok umur di atas 49 tahun (kelompok B), ternyata: 1) Dilihat dari pengecilan tumor: CR-rate golongan A = CR rate golongan B; RR golongan A sedikit lebih tinggi daripada golongan B namun secara statistik tidak berbeda bermakna. 2) Dilihat dan kemampuan berobat terus (observed survival) golongan A sedikit lebih lama daripada golongan B namun secara statistik juga tidak berbeda.

Perlu penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan menggunakan kemampuan hidup (survival) yang sebenar nya. KESIMPULAN

Pada penelitian ini belum terbukti adanya pengaruh umur pada hasil terapi LNH jenis DLPD dengan terapi CHOP dilihat dari pengecilan tumornya maupun kemampuan hidup (survival)- nya.

KEPUSTAKAAN

1. Soebandiri. Terapi Medis kanker yang rasional. Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan ke IX llmu Penyakit Dalam. Surabaya 23 Juli 1994; hal 35. 2. Lee OR et al. (ed). Wintrobe’s Clinical Hematology. vol. 2; 9th ed. Phila-

delphia: Lea & Febiger 1993 p. 2082. 3. Evaluation ofCancerTreatment. In: S. Monfardini et al. (ed). UICC Manual

of Adult and Paediatric Medical Oncology. Berlin, Heidelberg, New York, London: Springer Verlag 1987 22.

4.a. Significance of differçnce in proportion. In J. Ipsen editor: Bancroft’s introduction to Biostatistics, snd ed. New York, London: Harper & Row. 1987. p. 88.

b. Cocrelation analysis: Ibid. p. 88. 5. Perbedaan mean sampel kecil. Dalam: Djoko Mursinto: Statistik terapan

untuk ekonomi. buku II. Penerbit: Sarana Cipta Surabaya edisi perbaikan 1989. hal. 76.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 43

Page 45: cdk_112_fertilitas

ANALISIS

Karakteristik Kesehatan di Daerah Pedesaan dan Perkotaan

Drs. Sarjaini Jamal MSc. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pen gembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan Ri, Jakarta

PENDAHULUAN

Kota dan desa merupakan dua daerah yang selalu diper- bandingkan secara dikhotomis dalam berbagai hal. ini dapat dibuktikan melalui format tabel-tabel sosio ekonomik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Fenomena ini da- pat dimengerti karena antara kota dan desa memang terdapat berbagai perbedaan dalam fasilitas umum yang tersedia di sampingjugadalam karakteristik penduduk(1). Walaupun daerah pedesaan jauh lebih luas depgan penduduk yang lebih banyak tetapi keterbatasan yang ada menyebabkan pedesaan selalu lambat dalam segala hal. Keadaan ini dapat dimaklumi karena memang sistim pembangunan kita dimulai dan digerakkan dari perkotaan dan desa dijadikan penyangga. Industri atau usaha di desa diharapkan dapat menjadi pemasok bahan baku, atau bahan setengah jadi bagi industri yang ada di kota. Kebijak- sanaan dengan sistim terintegrasi ini dikenal dan dikembang- kan dengan apa yang disebut program bapak-anak angkat, serta konsep industri hulu dan industri hilir. Namun prakteknya tidak semudah yang direncanakan.

Di bidang kesehatan, perbedaan antara pedesaan dan per- kotaan juga ditemukan dalam banyak hal. Misalnya tentang pendirian puskesmas yang selama ini didasarkan pada rasio jumlah penduduk. Dasar ini kadang-kadang kurang tepat ka- rena tidak seimbangnya luas daerah dengan jumlah penghuni. Akibatnya adalah untuk beberapa daerah di luar Jawa, pus- kesmas yang dibangun sulit dicapai oleh masyarakat karena jaraknya jauh dan tempat tinggal mereka sedangkan alat transpor umum sangat minim bahkan mungkin tidak ada. Tenaga kesehatan yang trampil dan mandiri sangat terbatas, fasilitas yang dimiliki termasuk obat dan peralatan kesehatan lainnya tidak cukup untuk mengatasi masa kesehatan yang ka- dangkala sulit diduga. Di samping itu kondisi sosio ekonomik penduduk pedesaan yang masih rendah menyebabkan ke-

mampuan daya beli mereka sulit diangkat. Akibatnya pelayan- an kesehatan yang ada mungkin tidak sanggup dibayar atau “dicapai” oleh sebagian besar penduduk yang miskin. Kelompok ini biasanya mencari pelayanan yang lebih mudah ‘dicapai” yaitu praktek dukun dan pengobat tradisionil lain. Fenomena ini tentunya akan berdampak pula pada status kesehatan penduduk.

Tulisan ini bertujuan melakukan analisis deskriptif me- ngenai karakteristik kesehatan penduduk pedesaan dan per- kotaan antara lain: distnibusi penduduk, rawat jalan dan rawat inap, pola pencarian pengobatan, kehihan kesehatan serta sta- tus imunisasi balita, pola persalinan dan kematian bayi.

Data yang diutarakan dalam tulisan ini dicuplik dari hasil berbagai penelitian seperti SDKI, Susenas dan SKRT. Informasi- informasi lain yang selaras dengan pokok bahasan juga di- gunakan sebagai bahan acuan. KARAKTERISTIK KESEHATAN

1) Distribusi penduduk menurut daerah perkotaan dan pedesaan

Tabel 1. Distribusi penduduk berdasarkan daerah dan jenis kelamin pada tahun 1992, menurut daerah perkotaan-pedesaan

Jenis kelamin No. Daerah Laki-laki Perempuan

Jumlah

1 Perkotaan 29.297.634 29.996.015 59.293.649 2 Pedesaan 61.896.229 62.257.116 124.153.345

Total A4.l93.863 92.253.131 183.446.994

Sumber : BPS, Badan Litbangkes, 1992, Laporan akhir staristik kesehatan rumah tangga, Jakarta

Ternyata jumlah penduduk yang tinggal di daerah pedesa-

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 44

Page 46: cdk_112_fertilitas

an lebih dari dua kali jumlah penduduk yang tinggal di per- kotaan. Secara keseluruhan penduduk wanita sedikit lebih banyak dibandingkan laki-laki. Walaupun demikian ratio laki- laki dan perempuan yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan tidak jauh berbeda.

2) Penduduk yang tinggal d perkotaan dan pedesaan me- nurut kelompok umur

Tabel 2. Persentase penduduk yang tinggal di perkotaan dan pedesaan, dibedakan menurut kelompok umur

Kelompok umur No. Daerah

0-14 15--64 >65 TT Jumlah

1 2

Perkotaan Pedesaan

33,31 34 37

59,95 57,78

6,74 7,84

0,01 0 02

100 100

Total 34,03 58,47 7,49 0,02 100

Sumber : BPS, Badan Litbangkes, 1992, Laporan akhir statistik kesehatan rumah tangga, Jakarta

Penduduk usia tua (> 65 tahun) dan usia sangat muda (0–14 tahun) persentasenya lebih banyak di pedesaan dibanding- kan di perkotaan. Sedangkan penduduk usia produktif per-sentasenya lebih banyak di perkotaan dibandingkan di pedesaan.

3) Perawatan jalan dan inap Tabel 3. Persentase penduduk yang mengalami rawat Jalan dan rawat inap sebulan terakhir di perkotaan dan pedesaan

No. Daerah Rawat jalan Rawat inap 1 2

Perkotaan Pedesaan

12,63 12,17

0,38 0,26

Total rata-rata 12,32 0,30

Sumber : BPS, Badan Litbangkes, 1992, Laporan akhir statistik kesehatan rumah tangga, Jakarta

Tidak terdapat perbedaan persentase yang mencolok an-

tara penduduk perkotaan dan pedesaan yang mengalami pe- rawatan jalan. Sedangkan persentase penduduk kota yang mengalami rawat inap lebih tinggi dibandingkan penduduk desa. 4) Pencarian pelayanan berobat jalan

Pelayanan kesehatan yang banyak dipilih masyarakat di pedesaan untuk berobat jalan berturut-turut adalah puskesmas, mantri/perawat praktek, puskesmas pembantu dan dokter praktek, sedangkan di daerah perkotaan tempat pelayanan kesehatan yang paling banyak didatangi untuk berobat jalan berturut-turut adalah puskesmas, dokter praktek, mantri/perawat serta RS pemerintah (Tabel 4).

Dukun/tabib/sinse lebih banyak didatangi oleh masyarakat di pedesaan dibandingkan perkotaan. Persentase penduduk yang melakukan pengobatan sendini Iebih banyak di perkotaan, se- dangkan yang tidak mengobati penyakit lebih banyak di daerah pedesaan. 5) Keluhan kesehatan yang dialami penduduk

Persentase penduduk pedesaan yang menderita panas, mencret, muntah/berak dan kejang lebih banyak dibandingkan penduduk kota. Sebaliknya persentase penduduk kota yang menderita keluhan pilek, batuk dan sakit gigi lebih banyak dibandingkan orang desa. Persentase kecelakaan di antara penduduk pedesaan dan perkotaan hampir berimbang (Tabel 5). 6) Imunisasi pada anak balita

Persentase balita yang mendapatkan imunisasi BCG, DPT polio dan campak/morbili lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan di daerah pedesaan. Dan empat imunisasi hanya campak/morbili yang cakupannya masih rendah baik di per- kotaan maupun di pedesaan (Tabel 6).

Tabel 4. Pola pencarian pelayanan berobat jalan di daerah perkotaan dan pedesaan

Perkotaan (Urban) Pedesaan (Rural) Total No. Tempat pelayanan

Jumlah % Jumlah % Jumlah % 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13

RS Pemerintah RS Swasta KlinikBPSwasta Puskesmas PuskesmasPembantu Posyandu/Kader DokterPraktek Bidan Praktek Mantri/PerawatPraktek DukunITabih/Sinse Lebih dari satu Berobatsendiri Tidakdiobati

266.851,00 218.486,00

90.258,00 1.314.695,00

175.160,00 24.753,00

1.271.987,00 74.052,00

425.632,00 121.020,00 130.152,00

1.818.932,00 61.200,00

4,45 3,65 1,51

21,94 2,92 0,41

21,22 1,24 710 2,02 2,17

30,35 1,02

274.332,00 123.733,00 158.137,00

2.974.408,00 1.629.609,00

119.887,00 959.604,00 196.556,00

2.238.181,00 570.913,00 358.152.00

3.737.294,00 385.088,00

2,00 0,90 1,15

21,67 11,87

0,87 6,99 1,43

16,31 4,16 2,61

27,23 2,81

541.183,00 342.219,00 248.395,00

4.289.103,00 1.804.769,00

144.640,00 2.231.591,00

270.608,00 2.663.813,00

691.933,00 488.304,00

5.556.226,00 446.288,00

2,74 1,74 1,26

21,75 9,15 0,73

11,32 137

13,51 351 2,48

28,18 2,26

Jumlah 5.993.178,00 100,00 13.725.894,00 100,00 19.7 C9.072,00 100,00

Penduduk Persentase

53.541.155,00 11,2

123.230.414,00 11,1

176.771.569,00 11,2

Urban : 11,2%, ,nencari pelayanan sebulan Rural : 11,1%, mencari pelayanan sebulan Sumber : Ridwan Malik, 1994

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 45

Page 47: cdk_112_fertilitas

Tabel 5. Persentase keluhan kesehatan yang banyak dialami penduduk di perkotaan dan pedesaan

Keluhan kesehatan No. Daerah

Panes Batuk Pilek Mencret Muntah/berak

Sakit gigi Kejang Kecelakaan Lamnya

Jumlah

1 2

Perkotaan Pedesaan

25 12 30,98

17,75 16,39

22 26 17,84

2,99 3,97

1,63 3,97

3,25 1,55

0,67 1,37

0,77 0,76

25 57 23,73

100 100

Total 29,11 16 83 19,25 3,66 1,58 3,36 1,14 0,76 24,31 100

Sumber : BPS, Badan Litbangkes, 1992, Laporan akhir statistik kesehatan rumah tangga, Jakarta

Tabel 6. Persentase balita yang pernah mendapat imunisasi

Imunisasi No. Daerah

BCG DPT Polio Campak/morbili

1 Perkotaan 95,13 92,46 89,49 67,50 2 Pedesaan 89,51 89,97 85,89 58,91

Total 91,42 90,82 87,12 61,84

Tabel 8. Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia 1971–1985 menurut daerah perkotaan-pedesaan

No. Sumber data Kurun waktu Perkotaan Pedeaan Nasional

1 Sensuspenduduk 1968/1969 104 137 132 2 Sensus penduduk 1977/1978 88 112 112 3 Sensus (SUPAS) 1982/1983 57 79 71

Sumber : UNICEF, 1989, Rangkuman Analisis Situasi Anak dan Wanita Indo- nesia, Jakarta

7) Persalinan Tabel 7. Pola persalinan di daerah perkotaan dan pedesaan 1990

Perkotaan (Urban) Pedesaan (Rural) Total No. Thmpat bersalin

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 2 3 4 5

6

7

8

RS Pemerintah RSB/Klinik Bersalin Puskesmas Rumah Bidan Rumah sendiri oleh Dokter Rumah sendin oleh Bidan Rumah sendiri oleh Dukun Lain-lain

132.595,00 180.631,00

34.089,00 112.032,00

330,00

145.231,00

252.720,00

8.234,00

15 31 20,86

3,94 12,94

0,04

16,77

29,19

0,95

147.469,00 40.470,00 44.562,00 69.331,00 6.534,00

289.135,00

1.510.092,00

46.342,00

6,85 1,88 2,07 3,22 0,30

13,42

70,11

2,15

280.064,00 221.101,00

78.651,00 181.363,00

6.864,00

434.366,00

1.762.812,00

54.576,00

9,27 7,32 2,60 6,01 0,23

14,38

58 38

1,81

Jumlah 865.862,00 100,00 2.153.935,00 100,00 3.019.797,00 100,00

Penduduk Persentase

9.360.670,27 9,25

23.861.797,00 9,03

33.222.467,27 9,09

Urban : Wanita hamil 9,25% dari total wanita usia 15–49 tahun Rural : Wanita hamil 9,03% dari total wanita usia 15–49 tahun Sumber : Ridwan Malik, 1994

Sebagian besar persalinan di daerah pedesaan dilakukan

di rumah dengan pertolongan dukun, sedangkan yang dilaku- kan di ruinah sakit/RSB/klinik bersalin dan puskesmas hanya mencapai 10% dari seluruh persalinan yang terjadi selama tahun 1994.

Di daerah perkotaan walaupun masih menempati yang ter- banyak, tempat persalinan di rumah dengan bantuan dukun hanya meliputi 30%, kemudian secara berurutan dipilih di RSB/ klinik bersalin, rumah sendiri dengan bantuan bidan, RS pe- merintah dan rumah bidan. 8) Angka kematian bayi

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia makin lama makin menurun dengan catatan di daerah pedesaan jauh lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan.

DISKUSI

Selama beberapa Pelita, daerah pedesaan telah mendapat perhatian lebih banyak dibandingkan masa-masa sebe1umnya. Di bidang kesehatan misalnya, puskesmas telah didirikan di seluruh kecamatan bahkan di beberapa daerah sudah sampai tingkat kelurahan. Dokter-dokter dan tenaga kesehatan lain telah disebarkan ke seluruh pelosok daerah. Posyandu telah ada di desa-desa. Bidang-bidang telah disebar melalui program bidan desa. Walaupun belum mencukupi obat-obat telah di- drop ke puskesmas dan BKIA melalui gudang-gudang farmasi di setiap daerah tingkat II.

Dampak semua upaya tersebut terhadap status kesehatan masyarakat dapat diukur melalui berbagai indikator kesehatan yang ada.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 46

Page 48: cdk_112_fertilitas

Angka kematian bayi (AKB) misalnya telah berhasil di- turunkan dari 109 pada 1980 menjadi 68 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1991(2). Angka kematian ibu (AKI) diharap- kan dapat turun dari 421 menjadi 225 pada tahun 1998(3). Angka harapan hidup sejak lahir meningkat menjadi 65 bagi wanita dan 64 bagi pria(3). Demikian juga angka pertumbuhan penduduk dapat ditekan menjadi 2% pertahun.

Untuk menganalisis kontribusi daerah pedesaan pada ber- bagai keberhasilan di bidang kesehatan perlu dilihat berbagai segi. Dari segi kependudukan misalnya pedesaan merupakan domisili bagi lebih dari 70% penduduk Indonesia, namun hanya sekitar 20% dari seluruh pendapatan masyarakat yang diterima oleh 40% penduduk berpenghasilan rendah(4). Ini menunjuk- kan bahwa hasil pembangunan yang ada lebih banyak dinikmati oleh penduduk berpenghasilan menengah ke atas. Fenomena ini tentu tidak lepas dari kebijakan pembangunan yang ada.

Bila dikaji lebih jauh, pembangunan di pedesaan berbeda dengan pembangunan di perkotaan. Pembangunan pedesaan lebih diarahkan pada proyek-proyek yang menyangkut hajat orang banyak, seperti jalan raya, bendungan pembangkit listrik, pengairan sawah dan perkebunan dengan pemerintah sangat berperan dalam pembiayaannya, sedangkan pemba- ngunan di perkotaan didominasi oleh pendirian industri yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah barang atau bahan di mana pihak swasta sangat berperan.

Petani adalah penduduk sebagian besar pedesaan. Pem- bangunan pedesaan diharapkan berdampak pula pada pe- ningkatan pendapatan penduduk petani, yang pada gilirannya dapat pula meningkatkan status kesehatan dan status sosial masyarakat. Pembangunan perkotaan yang lebih dinominasi oleh industri, lebih ditujukan pada komoditi ekspor untuk me- nambah devisa negara.

Distribusi penduduk yang tak merata memberikan pula berbagai implikasi pada masalah kesehatan. Lebih tingginya kematian ibu dan kematian anak di pedesaan dibandingkan perkotaan dapat dimaklumi karena di samping jumlah wanita subur yang lebih banyak di desa juga disebabkan oleh faktor jarak dan rendahnya kemampuan membayar masyarakat desa untuk mencapai pelayanan kesehatan yang memadai. Sulitnya penurunan angka kematian ibu (AKI) dari 421 pada 1993 ke target 225 per 100.000 kelahiran pada 1998 Iebih banyak di- tentukan oleh kedua faktor di atas Walaupun berbagai upaya telah dilakukan seperti penyebaran bidan desa dan pendirian pondok persalinan desa (polindes) di sebagian besar daerah, ternyata hasilnya masih belum seperti yang diharapkan; dukun masih mendominasi pertolongan persalinan (Tabel 7); walau- pun sebagian sudah ditatar dan ditingkatkan pengetahuannya namun dampaknya pada target penurunan AKI masih belum diketahui.

Di pihak lain penduduk desa Iebih dekat dengan alam dengan segala kondisinya menyebabkan penyakit-penyakit infeksi, baik yang ditularkan melalui vektor maupun badan air. sulit dihilangkan. Selanjutnya penyakit-penyakit degeneratif banyak pula menyerang orang-orang desa yang tadinya hidup di kota, tetapi setelah pensiun memilih hidup di desa.

Berdasarkan analisis data Susenas 1990 ternyata 66% yang mengalami sakit adalah penduduk tidak mampu(6). Pen- duduk pedesaan yang mencari pengobatan ke berbagai pe- layanan kesehatan berjumlah hampir tiga kali lipat disbanding- kan penduduk perkotaan (Tabel 4), sedangkan jumlah pendu- duk pedesaan hanya dua kali jumlah penduduk perkotaan. Ini berarti bahwa penduduk pedesaan lebih banyak kemungkinan menderita sakit dibandingkan penduduk perkotaan dalam kurun waktu yang sama. Persentase penduduk yang mengalami ke- celakaan di kota dan desa hampir tidak banyak berbeda (Tabel 5). Ini barangkali karena sarana dan prasarana transportasi yang telah memungkinkan kendaraan bernrotor mencapai pelosok desa.

Kematian balita di daerah pedesaan jauh lebih tinggi di- bandingkan perkotaan(6). Tingginya angka kematian bayi (AKB) di desa dibandingkan di kota (Tabel 8) juga merupakan bukti masih rendahnya akses penduduk desa ke pusat-pusat pelayan- an kesehatan yang ada(7). Dugaan ini diperkuat dengan ke- nyataan masih rendahnya cakupan imunisasi balita di pedesa- an dibandingkan dengan perkotaan (Tabel 6). Untuk masa datang perlu dipikirkan adanya terobosan-terobosan lain se- perti yang dilakukan terhadap upaya pembasmian cacar dan polio.

Tingginya persentase penduduk kota mengalami perawat- an inap menunjukkan bahwa penduduk kota lebih banyak men- derita keluhan yang serius di samping juga secara ekonomi lebih mampu membayar untuk perawatan sakitnya dibandingkan penduduk desa.

Hubungan antara ketidak mampuan ekonomi dan pencari- an pengobatan dapat dilihat dan hasil penelitian yang dilaku- kan di NTB dan Yogyakarta pada tahun 1993, bahwa pendu- duk dengan penghasilan perbulan kurang dan Rp 100.000 dan Rp 250.000,- lebih banyak mencari pertolongan kesehatan ke dukun(8). Hal yang sama juga terlihat dalam pertolongan per- salinan. Nampaknya AKI selama Pelita terakhir akan mengalami penurunan yang lambat sampai kemampuan penduduk pede-saaan di bidang ekonomi menjadi lebih baik.

Di sektor pemerintah biaya kesehatan yang dapat disedia- kan masih terbatas padahal kebutuhannya selalu bertambah secara tidak seimbang. Satu-satunya jalan untuk mengatasinya adalah dengan meningkatkan peran swasta baik dalam upaya kuratif maupun upaya promotif dan preventif. Untuk maksud yang sama konsep jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) diharapkan dapat mencapai masyarakat pedesaan. Untuk mengentaskan kemiskinan,. Departemem Kesehatan telah melakukan pendistribusian kartu berobat gratis bagi masyarakat yang betul-betul dianggap miskin; untuk menghi- langkan konotasi negatip kartu tersebut diubah menjadi kartu sehat. Bagaimana manfaatnya perlu diteliti lebih lanjut. KESIMPULAN 1) Persentase penduduk berusia lanjut (lansia) dan usia sangat muda lebih tinggi di pedesaan dibandingkan di perkotaan, se- dangkan persentase penduduk usia produktif lebih tinggi di perkotaan dibandingkan di pedesaan.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 47

Page 49: cdk_112_fertilitas

2) Persentase penduduk yang melakukan pengobatan sendiri lebih banyak di perkotaan, sedangkan yang inendatangi dukun dan yang tidak mencari pengobatan bila sakit lebih banyak di pedesaan. 3) Persentase penduduk yang rawat inap di pcrkotaan lebih banyak dibandingkan di pedesaan. 4) Dukun masih menempati urutan pertama dalam menolong persalinan, dan persentase penduduk yang ditolong oleh dukun di pedesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. 5) Cakupan imunisasi pada anak balita di pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. 6) Angka kematian bayi lebih tinggi di daerah pedesaan dibandingkan daerah perkotaan. Panas, mencret/diare dan kejang lebih banyak ditemukan di kalangan penduduk pedesa- an dibandingkan di perkotaan. SARAN 1) Untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat pedesa- an perlu dikembangkan suatu bentuk kegotong royongan dalam pemeliharaan kesehatan, untuk itu suatu bentuk JPKM

pedesaan perlu diadakan. 2) Dengan berbedanya pola keluhan sakit dan masalah ke- sehatan di kalangan penduduk pedesaan dan perkotaan, seharusnya pengerahan sumber daya kesehatan untuk kedua daerah tersebut perlu dibedakan.

KEPUSTAKAAN 1. BPS. Statistik Sosial Ekonomi Indonesia, BPS, Jakarta, 1994. 2. BPS, DepKes, BKKBN. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 1991,

BPS, Jakarta, 1993. 3. Pelita VI Kesehatan. 4. BPS. Statistik Indonesia 1988, BPS, Jakarta, 1989. S. Agus Sel al. Health Trend Asessment, Litbang Kesehatan, Jakarta, 1993. 6. Zainul Bakry et al. Tabel Dasar SKRT-Susenas 1992, Litbang Kesehatan,

Jakarta, 1992, hal 2. 7. Litbang Kesehatan. Studi tentang faktor risiko kematian bayi dan balita

berdasarkan SKRT/Susenas, Litbang Kesehatan, LDFE-UI, Jakarta, 1992, hal 2.

8. Cholis Bahrun et at. Penelitian Determinan Sosial Ekonomi Terhadap Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan, P4K, Surabaya, 1993.

9. Ridwan Malik et a). Analisis Data Susenas 1990, Pola pencarian pelayanan kesehatan, Litbang Kesehatan, Jakarta, 1994, hal 14–30.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 48

Page 50: cdk_112_fertilitas

HASIL PENELITIAN

Jenis Informasi yang Dapat Diperoleh dan Rekam Medik di Beberapa Rumahsakit Umum

Pemerintah Data retrospektif 1988/1989 dan 1992/1993

Retno Gitawati, Nani Sukasediati, Ondri D. Sampurno, Puji Lastari

Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

A

Rekam Medik (RM) mencatat s penyakit penderita dan terapinya selam Karenanya, RM dapat menjadi sumb maupun pihak pelayanan kesehatan, tindakan medik atau menentukan kebija

Dari dua penelitian yang telah di jenis informasi apa saja yang dapat dip (RSU) pemerintah. Sebagai sampel ada dan C sebanyak 494 RM pada pengu rawat jalan dan rawat inap dan 2 RSU 470 RM dan 304 RM, pada pengumpu Pengambilan sampel semula direncana ditentukan, namun sebagian besar dipean karena jumlah RM tidak mencukupi

Beberapa iformasi yang seharusnmografi, anamnesis, hasil pemeriksaan penunjang medik/diagnostik, lama raw beberapa RM tidak semua terekam. Dar ‘88 dan RMRJ ‘92 yang tidak merekam 5,1%. Data regimen dosis (jangka wobat) tidak terekam sama sekali pada Rkap pada RMRJ ‘92; sekitar 97% RM 9,5% juga mencatat jangka waktu peSedangkan rekam medik rawat inap R lebih lengkap, kecuali data riwayat pen

Pada pengumpulan data 1988/1RMRJ ‘88 dengan memberi prosentas mengetahui sejauh mana RM memp sebagai sumber informasi. Nilai info RMRJ ‘92 tidak dilakukan kuantifikasi

PENDAHULUAN

Pelayanan kesehatan pada penderita yang datang beroke fasilitas pelayanan kesehatan (puskesmas, rumahsakit um

BSTRAK

emua hal yang berhubungan dengan perjalanana dalam perawatan di unit pelayanan kesehatan.er informasi, baik bagi kepentingan penderita,sebagai bahan pertimbangan untuk mengambilkan tatalaksana/pengelolaan.

lakukan akan diungkapkan kelengkapan RM daneroleh dan RM pada beberapa rumahsakit umumlah RM rawat jalan dan 6 RSU pemenntah tipe Bmpulan data 1988/1989 (= RMRJ ‘88) dan RM tipe B dan C yang lain, masing-masing sebanyaklan data 1992/1993 (= RMRJ ‘92 dan RMRI ‘92).kan secara acak sistematik pada bulan yang telahroleh secara sensus pada bulan yang bersangkut-. ya tertera pada rekam medik seperti data de-

fisik, diagnosis, regimen dosis, hasil pemeriksaanat, nama dan paraf dokter yang merawat, pada

i kajian terhadap sampel ditemukan adanya RMRJ data diagnosis berturut-turut sebesar 36,6% dan

aktu pemberian obat, jumlah obat, aturan pakaiMRJ ‘88. Data regimen dosis terekam tidak leng-RJ ‘92 merekam aturan pakai obat, dan sekitar

mberian obat dan jumlah obat yang dipreskripsi.MRI ‘92, umumnya merekam informasi tersebutyakit sebelumnya, hanya tercatat sebesar 3,6%. 989 dilakukan kuantifikasi terhadap informasie pada tiap rubrik informasi yang terekam, untukunyai “nilai informatif” untuk dapat digunakanrmatif RMRJ ‘88 berkisar antara 60-70%. Pada.

bat um

dan lain-lain) tidak lagi ditangani oleh satu orang saja; karena- nya dibutuhkan sarana komunikasi. Di samping itu mutu pe-layanan kesehatan perlu ditingkatkan dan waktu ke waktu.

Dibawakan pada KONAS IKAFI - IX di Ujung Pandang, 9- 12 Agustus 1995.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 49

Page 51: cdk_112_fertilitas

Kegiatan ini membutuhkan informasi dan pengalaman sebe- lumnya, yang diolah secara sistematik menjadi hasil yang dapat dipercaya. Untuk itu diperlukan sumber informasi yang me- madai.

Rekam medik (RM) merupakan salah satu sumber informasi sekaligus sarana komunikasi yang dibutuhkan baik oleh pen- derita, maupun pemberi pelayanan kesehatan dan pihak-pihak terkait lain (klinisi, manajemen RSU, asuransi dan sebagainya), untuk pertimbangan dalam menentukan suatu kebijakan tata- laksana/pengelolaan atau tindakan medik.

Rekam medik antara lain bermanfaat sebagai : • dokumen bagi penderita yang memuat riwayat perjalanan penyakit, terapi obat maupun non-obat dan semua seluk beluk- nya. • sarana komunikasi antara para petugas kesehatan yang ter- libat dalam pelayanan/perawatan penderita. • sumber informasi untuk kelanjutan/kesinambungan pela- yanan/perawatan penderita yang sering masuk ke RSU ber- sangkutan. • penyedia data bagi pihak ketiga yang berkepentingan dengan penderita, seperti asuransi, pengacara, instansi penanggung biaya. • penyedia data bagi kepentingan hukum dalam kasus-kasus tertentu.

Atas dasar manfaat di atas, rekam medik telah dirancang sedemikian rupa agar memuat informasi-informasi tersebut. Guna mengungkapkan informasi apa saja yang dapat diperoleh dan RM, maka dilakukan suatu studi eksplorasi terhadap rekam medik rawat jalan dan rawat inap di beberapa RSU pemerintah. BAHAN DAN CARA

Studi ini merupakan bagian dan 2 (dua) buah penelitian yang dilakukan pada tahun 1988/1989 dan 1992/1993(1,2), meng- gunakan teknik pengumpulan data yang sama. Eksplorasi di- lakukan dengan mengumpulkan data rekam medik (RM) secara retrospektif, yaitu rekam medik rawat jalan (RMRJ) tahun 1988/ 1989 dan 1992/1993, dan rekam medik rawat inap (RMRI) tahun 1992/1993 dan 8 rumahsakit umum (RSU) tipe B dan C di Jawa dan Lampung. Pengambilan sampel yang semula direncanakan secara acak sistematik, untuk sebagian besar RSU dilaksanakan secara sensus karena jumlah sampel RM tidak mencukupi. lnformasi (data) dan RM dipindahkan (transkrip) ke dalam formulir khusus, selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

RM dianggap bersifat informatif bila memuat informasi sebagai berikut: • karakteristik/demografi penderita (identitas, usia, jenis ke- lamin, pekerjaan dan sebagainya. • tanggal kunjungan, tanggal rawat/selesai rawat. • riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya. • catatan anamnesis, gejala klinik yang diobservasi, hasil pemeriksaan penunjang medik (lab, EKG, radiologi dan se- bagainya), pemeriksaan fisik (tekanan darah, denyut nadi, suhu dan sebagainya). • catatan diagnosis. • catatan penatalaksanaan pendenita, tindakan terapi obat

(nama obat, regimen dosis), tindakan terapi non-obat. • nama/paraf dokter yang menangani (diagnosis, penunjang, pengobatan) dan petugas perekam data (paramedik).

Pada RMRJ '88 dilakukan kuantifikasi terhadap informasi dengan cara memberikan nilai prosentase pada setiap rubrik informasi yang dikumpulkan. Kuantifikasi dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana RM mempunyai "nilai informatif", da- lam anti dapat digunakan sebagai sumber informasi. Kuantifikasi dimungkinkan karena RM tersebut berasal dari penderita satu kelompok penyakit tertentu (penyakit kardiovaskuler). Pada RMRJ ‘92 dan RMRJ ‘92 tidak dilakukan kuantifikasi karena kesulitan membuat rubrikasi akibat sampel berasal dari berba- gai kelompok penyakit. HASIL

Jumlah RM yang terkumpul dari 6 RSU tipe B dan C (1988/ 1989) dan 2 RSU tipe B dan C (1992/1993) adalah : 494 RMRJ (1988/1989), 470 RMRJ (1992/1993) dan 304 RMRI (1992/ 1993).

Sebagian RMRJ ‘88 (41,9%) tidak memuat beberapa informasi tentang karakteristik/demografi penderita yang bersangkutan. Salah satu informasi yang tidak terekam pada semua RMRJ ‘88 adalah jumlah (banyaknya) tiap jenis obat yang diberikan/dipreskripsi.

Sebagian RMRJ ‘88 (36,6%) tidak mencantumkan diagno- sis, sedangkan pada RMRJ ‘92 diagnosis tidak tercatat pada sebagian kecil RM (5,1%). Infonmasi diagnosis terekam pada sebagian besar RMRI ‘92 dan hanya ada 4 RMRI ‘92 yang tidak merekam informasi tersebut. Gambaran ikhwal informasi yang terekam dan tidak terekam pada RM tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Informasi yang terekam dan tidak terekam pada RM (%)

RMRJ '88 (N=494)

%

RMRJ '92 (N=470)

%

RMRI '92 (N=304)

% Ikhwal

(+) (-) (+) (-) (+) (-)

Demografi (usia, sex, pekerjaan dab.) Riwayat sakit sebelunmya Diagnosis Regimen terapi aturan pakai obat lamapemakaian jumlah obat Informasi lain (konsul, terapi non-obat)

58,1

52,8

69,4

0 0 0 0

41,9

47,2

30,6

100,0 100,0 100,0 100,0

98,9

25,7

94,9

87,2 8,5 0

100,0

1,1

74,3

5,1

12,8 91,5 1000

0

98,4

3,6

98,7

100,0 100,0 100,0 100,0

1,6

96,4

1,3

0 0 0 0

Keterangan: (+) : informasi terekam (–) : informasi tidak terekam

Gambaran penggunaan obat pada umumnya dapat lebih diungkapkan dengan menghitung regimen terapi. Namun dalam penelitian ini sumber data terbesar (RMRJ '88) tidak memberikan informasi regimen terapi karena ada ikhwal yang tidak tercatat, antara lain aturan pakai, lama pemberian dan jumlah obat. Hal

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 50

Page 52: cdk_112_fertilitas

serupa juga tampak pada RMRJ ‘92, tetapi pada RMRI 92 data dapat digunakan untuk memperoleh informasi mengenai regi- men terapi obat karena data yang diperlukan untuk hal ini ter- sedia (terekam).

Kuantifikasi terhadap informasi RM yang “dianggap me- madai” (mempunyai “nilai informatif”) pada RMRJ ‘88 secara keseluruhan, dilakukan secara arbritary dengan memberikan ni-lai prosentase pada setiap rubrik informasi RM, besarnya antara 20–100%. Sebagai contoh, informasi karakteristik/demografi penderita yang seyogyanya ada pada setiap RM diberi “nilai” 20%. Selanjutnya untuk setiap ikhwal informasi lain diberi “nilai” tertentu, sehingga total “nilai” untuk semua ikhwal informasi yang ada dalam RM adalah 100%. RMRJ ‘88 dianggap memadai 100%, jika informasi yang tercantum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penderita, klinisi, manajemen RS, penelitian maupun pihak lain yang berwenang. Berdasarkan kuantifikasi tersebut, diperoleh gambaran RMRJ ‘88 sebagai berikut (Gambar 1).

Gambar 1. Distribusi jumlah RMRJ ‘88 sesuai “nilal informatif”-nya

Nilai informatif RMRJ ‘88 sebagian besar berkisar antara 60%-70%. Karena nilai modus berada di sekitar 60%, maka nilai ini dianggap sebagai batas suatu RMRJ yang dianggap mempunyai ‘nilai informatif’ dan masih memadai sebagai sumber informasi.

Data RMRJ ‘88 tiap RSU menunjukkan perbedaan dalam hal informatif/tidaknya RM. Pada Gambar 2 diungkapkan prosentase jumlah RMRJ ‘88 di tiap RSU yang dikaji yang me- miliki “nilai informatif” > 60%.

Gambar 2. Distribusi % jumlah RMRJ ‘88 yang mempunyai “nilai informatif” > 60%, sesuai RSU

Dari Gambar 2 diperoleh gambaran kasar bahwa sekitar 75–90% RMRJ ‘88 dari 3 (tiga) RSU (No. 1, 2 dan 6) memiliki "nilai informatif" > 60%. Sedangkan pada 3 (tiga) RSU lainnya "nilai informatif" RMRJ ‘88 masih di bawah 60%. PEMBAHASAN

Rekam medik yang informatif seyogyanya memuat data yang jelas, lengkap, terstruktur dan akurat dan segala sesuatu yang telah diobservasi, dikaji pada penderita, dan diambil tin- dakan terhadap penderita yang bersangkutan. Sampel pada RMRJ ‘88 berasal dari 6 RSU di Jawa dan Lampung dapat di- anggap sebagai gambaran RM pada RSU tipe B dan C pada waktu itu sedangkan RMRJ ‘92 dan RMRI ‘92 hanya berasal dari 2 RSU tipe B dan C.

Meskipun data 1988/1989 dan data 1992/1993 tidak dapat diperbandingkan antara lain karena sample frame yang berbeda, namun dan pengkajian ini diperoleh kesan bahwa RM 1992/1993 (RMRJ) sudah relatif lebih informatif dibanding RMRJ 1988/1989. Informasi tidak terekam pada RMRJ ‘88 mungkin akibat kelalaian pada waktu pencatatan atau dapat juga karena dana tersebut tidak dibutuhkan, contohnya, tidak semua diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang medik, sehingga data tersebut tidak perlu dicantumkan pada RM. Kemungkinan lain adalah munculnya kebutuhan akan informasi yang lebih lengkap; RM yang baik perlu memenuhi “3 C” (correct, complete, clear).

Informasi pada RMRJ pada penelitian ini dapat diman- faatkan bagi klinisi untuk mengetahui perjalanan penyakit penderita, meskipun masih terbatas. Dari gambaran jenis informasi yang tidak terekam pada RM (Tabel 1), riwayat pe- nyakit sebelumnya tidak selalu dapat terungkap, terutama pada RMRJ ‘92 dan RMRI ‘92 (70-90%), padahal informasi ini pen- ting bagi tindakan-tindakan lanjut yang diperlukan. Studi ini tidak dapat menelusuri penyebab ketidak-terungkapan tersebut. Salah satu kemungkinan adalah kelalaian dalam mencatat. Kemungkinan lain, penderita tidak ingat lagi akan penyakit yang pernah dideritanya.

Data diagnosis, – salah satu data penting yang harus terekam pada suatu RM yang digunakan untuk menentukan tindakan terhadap penderita –, lebih terungkap pada RMRJ ‘92 diban- dingkan RMRJ ‘88. Data diagnosis juga terungkap pada sebagi- an besar RMRI ‘92, karena sebagai alat perekam data penderita yang sedang menjalani perawatan-inap, pencatatan data RMRI (antara lain perkembangan klinis, tindakan dan sebagainya) lazimnya dilakukan lebih ninci. Perkembangan klinis penderita senantiasa dievaluasi setiap hari selama masa perawatan pen- derita untuk dapat menentukan suatu tindakan yang berke- sinambungan. Sedangkan data pada RMRJ, sewajarnya juga harus terekam rinci pada RM, namun dan hasil kajian pada studi ini tidak demikian. Penyebab “ketidak-lengkapan” tersebut tidak diketahui. Salah satü kemungkinan akibat terbatasnya waktu konsultasi, karena banyaknya jumlah penderita rawat jalan yang berkonsultasi menyebabkan petugas tidak sempat lagi mencatat secara rinci, atau ada penyebab lain lagi. Hal ini masih perlu eksplorasi lebih lanjut. Sebagai sumber data sekunder, terutama

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 51

Page 53: cdk_112_fertilitas

bagi kepentingan studi epidemiologi, data diagnosis yang leng- kap diperlukan untuk mengetahui antara lain pota penyakit.

RM menyimpan data klinik penderita baik yang rawat inap maupun rawat jalan; di samping itu RM dapat pula bertindak sebagai suatu scratch pad yang antara lain berisi pendapat/ pandangan, kesan, atau permintaan (requests) pada anggota tim kesehatan lainnya untuk suatu layanan/tindakan/rujukan bagi penderita yang bersangkutan serta tanggapan atas permintaan/ pendapat/kesan tersebut. Dengan demikian RM juga berfungsi sebagai sarana komunikasi antar anggota tim kesehatan yang terlibat dalam pelayanan tersebut.

Dalam membaca atau menginterpretasikan suatu RM, ke- mungkinan ditemukan kesalahan yang antara lain dapat ber- sumber dan berbagai hal seperti tampak pada Skema 1(3).

Skema 1. Sumber kesalahan pada Rekam Medik(3)

Salah informasi dapat terjadi misalnya akibat ketidaktahu- an penderita, atau si penderita tidak ingat lagi riwayat penyakit yang melatarbelakangi keluhan yang dialami, sehingga anamnesis menjadi kurang tepat. “Salah interpretasi” terhadap temuan gejala klinik dapat terjadi karena petugas belum ber- pengalaman (misalnya pada waktu pengukuran tekanan darah). Pada kejadian “salah rekam”/salah mencatat lebih mungkin di- sebabkan kecerobohan dan ketidaktelitian pencatat. Demikian juga, kesalahan lain dapat disebabkan oleh faktor manusia (hu- man error) ataupun metoda (laboratorik), misalnya identitas spesimen tertukar, analisis laboratorium keliru, tidak akurat dan sebagainya, sehingga data pada RM dapat menjadi tidak sesuai, terutama data yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis yang benar dan menentukan tindakan selanjutnya. Sebagai sumber informasi, mutu rekam medik itupun menjadi kurang.

Informasi dalam RM mengenai tindakan ataupun terapi apa yang diberikan kepada penderita dapat dimanfaatkan juga bagi petugas asuransi kesehatan atau badan penanggung biaya lainnya untuk keperluan klaim dan auditing.

Untuk mengetahui gambaran preskripsi obat, informasi nama obat yang diberikan dapat terungkap dan RM, namun regimen terapi tidak dapat terungkap dan RMRJ karena seba- gian besar RMRJ tidak merekam parameter untuk menentukan regimen terapi (aturan pakai, jangka waktu/lama pemberian, jumlah diberikan). Tidak demikian halnya dengan RMRI; data

regimen terapi dapat lebih terungkap jika memanfaatkan sumber data tersebut. Pada RMRI ‘92 regimen tercatat lengkap 100%, namun jumlah obat yang tercatat “sebagai diberikan kepada penderita’ tidak cocok dengan jumlah obat sesuai regimen yang terekam. Informasi regimen terapi yang lengkap diperlukan untuk kuantifikasi obat yang sudah dimanfaatkan, dihitung sebagai DDD (defined daily dose) yang merupakan ukuran konsumsi obat. Bagi kepentingan manajemen rumahsakit, data DDD ini dapat juga menjadi pedoman konsumsi obat jika di- kaitkan dengan indeks okupansi tempat tidur di RSU ber- sangkutan Pedoman tersebut dapat dimanfaatkan oleh para pengambil-keputusan antara lain sebagai pertimbangan dalam perencanaan pengadaan obat. Dan hasil kajian ini, data regimen dosis RMRI ‘92 tampaknya belum dapat dimanfaatkan untuk menghitung DDD. Evaluasi terhadap pola preskripsi dapat dilakukan pada rumahsakit yang telah memiliki Standar Terapi dan Formularium Rumahsakit. Kemungkinan terjadinya preskripsi obat berlebihan (overprescribed) yang dikaitkan dengan pola penyakit penderita dirawat, dapat ditelusuri dengan mengkaji sumber data RMRI; seberapa jauh telah terjadi pe- nyimpangan dan standar tersebut, dan apa sebab terjadi penyimpangan. Bagi rumahsakit yang sebelumnya tidak/belum memiliki Standar Terapi dan Formulanum RS, informasi ini dapat pula digunakan sebagai data dasar untuk evaluasi setelah rumahsakit yang bersangkutan mengembangkan Standar Terapi dan Formularium RS. KESIMPULAN

RM dapat menjadi sumber data sekunder yang memadai apabila data yang terekam cukup lengkap, informatif, jelas dan akurat. Data RM dan hasil studi in terutama data RMRI dapat digunakan antara lain: • untuk studi epidemiologi, antana lain mengungkapkan pola penyakit, pola preskripsi, monitoring efek samping obat. • data penggunaan obat di rumahsakit dapat digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan penggunaan obat yang lebih rasional dan efisien, sesuai dengan pola penyakit dan standar terapi/formularium RS bersangkutan. • data regimen terapi yang lengkap dan cocok pada RMRI bila dikaitkan dengan indeks okupansi tempat tidur, dapat digunakan untuk menghitung DDD (defined daily dose) obat, yaitu suatu ukuran konsumsi obat di rumahsakit bersangkutan. RM dan eksplorasi ini belum memadai untuk penghitungan DDD dan perencanaan pengadaan obat. • data tindakãn/terapi yang diberikan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengajuan klaim perusahaan asuransi/instansi penanggung biaya lain.

Dari hasil studi ini, kelemahan/hambatan utama yang di- temukan di lapangan antara lain adalah: • kesulitan dalam melakukan penelusuran dan retrieval RM, karena RM yang dimaksud kadang-kadang tidak lagi tersimpan di ruang ansip RM. Terbatasnya sanana/ruang tempat penyim- panan RM di banyak RS, mengakibatkan jangka waktu pe- nyimpanan RM dibatasi umumnya untuk 3-5 tahun terakhir. • data pada RM seringkali tidak dapat terungkap karena tidak

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 52

Page 54: cdk_112_fertilitas

terekam, atau terekam kurang jelas, sehingga menyulitkan pada waktu transkrip data. • belum ada keseragaman dalam cara pengisian RM.

KEPUSTAKAAN

1. Nani Sukasediati dkk. Pola penggunaan obat kardiovaskuler di beberapa

rumahsakit pemerintah tipe B dan C. Laporan Penelitian 1988/1989, PusLitBang Farmasi, BPPK-DepKes.

2. Nani Sukasediati dkk. Pengembangan tatalaksana Obat Generik Berlogo (0GB) guna peningkatan pemanfaatannya di 2 RSU tipe B dan C. Laporan Penelitian 1994/1995, PusLitBang Farmasi BPPK-DepKes.

3. Wyatt JC. Clinical data systems, part 1: data and medical records. Lancet 1994; 344: 1543-6.

4. Dukes MNG. Drug utilization studies, method and uses. WHO Reg PubI Eur Series 45, 1993.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 53

Page 55: cdk_112_fertilitas

ULASAN

Program Pertemuan dan Penyuluhan Keluarga Klien dalam

Konteks Asuhan Keperawatan di RSJP Bogor

Rivai

Perawat Jiwa Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor

A

Dalam asuhan keperawatan klien

untuk ikut berpartisipasi dalam prosesecara aktif sangat menunjang keberhas

Kehadiran keluarga dalam kontgangguan jiwa klien, dan cara perawmandiri.

Penyuluhan keluarga dirasakan sasangat antusias untuk ikut serta dalam Sakit Jiwa Pusat Bogor belakangan ini.

PENDAHULUAN

Keluarga hams aktif berperan serta karena merupakan syarakat paling kecil yang dipergunakan sebagai tempat lindung dan tempat mencurahkan segala kesenangan maukesedihan serta tempat pemecahan masalah dan anggkeluarga itu sendiri.

Keterlibatan keluarga dalam membantu penyembuhannyakit, baik fisik maupun mental atau makin seringnya komkasi antar klien dengan keluarga akan menambah kepercaydan meningkatkan harga din klien, sehingga klien akan nyadari penyakitnya dan dapat berusaha melepaskan diri ketidak peduliannya terhadap gangguan jiwa, sehingga mbekerjasama dengan keluarga untuk mengatasi gangguan jklien.

Di saat keluarga menengok klien di rumah sakit dapalakukan penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan jiwa cara-cara perawatannya serta penanganan secara optimal dalingkungan keluarga kelak apabila klien telah kembali di rum

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 54

BSTRAK

dengan gangguan jiwa, keluarga sangat pentings penyembuhan, untuk ini keterlibatan keluargailan asuhan keperawatan.

eks Penyuluhan Keluarga tentang gejala-gejalaatannya selama di rumah dapat ditangani secara

ngat positif oleh keluarga karena pihak keluargasetiap pertemuan Penyuluhan Keluarga di Rumah

ma- ber- pun ota

pe- uni-aan me- dari

au iwa

t di dan lam ah.

LATAR BELAKANG MASALAH Klien dengan gangguan jiwa yang dirawat di rumah-rumah

sakit jiwa baik swasta maupun pemerintah 75% membutuhkan masa perawatan yang cukup lama; biasanya terdini dari klien dengan gangguan jiwa kronis (menahun), yang menjadi beban tetap bagi Rumah Sakit Jiwa (Direktorat Kesehatan Jiwa 1990). Rumah Sakit Jiwa sering mengalami kesulitan memulangkan klien ke pihak keluarga, sebab setiap kali hanya dalam waktu beberapa hari akan kambuh kembali; selain itu keluarga pasien sering menolak menerima kembali dengan berbagai macam alasan serta kurangnya pengertian terhadap penanganan dan pe- rawatan klien mantan ganggu jiwa ini.

Upaya petugas kesehatan dalam memecahkan masalah ini melalui metode penyuluhan keluarga; diharapkan agar keluarga berpartisipasi dalam menangani dan merawat klien. Program Penyuluhan Keluarga dilakukan sejak awal masuk ruang pe- rawatan baik secara individuil maupun secara kelompok atau dengan kunjungan rumah berupa diskusi atau komunikasi antara

Page 56: cdk_112_fertilitas

keluarga dengan perawat. PENGERTIAN

Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan me- lalui ikatan perkawinan, adopsi atau kelahiran yang bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, mental dan sosial serta emosional dan tiap anggota keluarga. (Duval, 1976).

Keluarga merupakan suatu sistem tempat individu anggota keluarga berinteraksi di dalam keluarga (teori sistem). Perilaku dan sikap anggota keluarga dibentuk oleh hubungannya dengan anggota keluarga yang lain. Setiap perubahan pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain.

Terdapat dua fungsi dasar keluarga yaitu guna memenuhi kebutuhan fisik dan kesejahteraan psikososial.

Kesejahteraan fisik meliputi terpenuhinya kebutuhan ma- kanan, pakaian, rasa aman dan kesehatan jasmani, sedang ke- sejahteraan psikososial adalah bila keluarga mampu menjadi struktur atau kerangka dasar pertumbuhan psikososial dan/atau keluarga yang berhasil menjalani pertumbuhan psikososial de- ngan baik.

Keluarga berfungsi sehat atau baik apabila berhasil meme- nuhi kedua fungsi dasar keluarga ini. Keluarga yang berfungsi sehat, juga harus mampu melaksanakan tugas kesehatan keluarga, yaitu antara lain: 1) Mengenal masalah kesehatan. 2) Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat. 3) Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit. 4) Mempertahankan suasana lingkungan rumah yang sehat. 5) Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. PROGRAM PENYULUHAN KELUARGA KLIEN GANG- GUAN JIWA DI RUMAH SAKIT JIWA PUSAT BOGOR

Pada dekade tahun tujuh puluha program Penyuluhan Ke- luarga Klien dengan gangguan jiwa di RSJP Bogor dilaksanakan atas prakarsa team KJM (Kesehatan Jiwa Masyarakat) RSJP Bogor dan dilakukan di ruang-ruang perawatan dengan team Penyuluh Kesehatan yang terdiri dari psikiater, psikolog, dokter-dokter, staf perawatan (Kepala Perawatan Laki-laki dan Perem- puan beserta staf), perawat-perawat ruangan serta pekerja sosial (social worker).

Namun dengan adanya perubahan struktur organisasi dan dengan adanya Unit Pelaksana Fungrional (UPF), pelaksanaan Program Penyuluhan Kesehatan Jiwa pada Keluarga Klien di-prakarsai dan dilaksanakan oleh ruangan Rawat inap Unit Pe- laksana Fungsional dengan sepengetahuan UPF KJM, dilaksana- kan secara berkala oleh ruang rawat inap baik secara gabungan beberapa ruang maupun hanya ruang itu sendiri.

UPF yang menggunakan Rawat inap adalah : UPF Anak dan Remaja, UPF Dewasa dan Lanjut Usia, UPF Mental Organik dan UPF Rehabilitasi, seluruhnya berjumlah 17 ruang rawat inap laki-laki dan wanita, berkapasitas ± 600 tempat tidur. A) Pertemuan dan Penyuluhan Keluarga

Keterlibatan keluarga tidak saja melalui diskusi-diskusi

dengan perawat tetapi juga dengan mengikuti program pertemuan keluarga (multiple family meeting). Pertemuan dan penyuluhan keluarga merupakan satu rangkaian pertemuan beberapa (empat atau lima) keluarga atau lebih, secara intensif setiap minggu dengan tim kesehatan selama 60 s/d 90 menit setiap kali pertemuan (Goldberg, 1980).

Pertemuan dan penyuluhan keluarga merupakan gabungan terapi keluarga dan terapi kelompok dengan diskusi dan meng- ungkapkan permasalahannya masing-masing sehingga keluarga-keluarga ini dapat segera merasa “terlibat”, dengan mengkaji keluarga sendiri serta bisa belajar pengalaman keluarga lain dalam memecahkan masalah.

Tujuan penyuluhan keluarga adalah untuk pendidikan ke- sehatan keluarga secara serentak tentang proses gangguan jiwa dan perawatannya, meningkatkan kemampuan dan keterampilan keluarga dalam perawatan klien di rumah; tujuan lain adalah agar sesama keluarga klien bisa bertukar pengalaman dalam menghadapi klien gangguan jiwa di lingkungan keluarganya.

Pengetahuan dan keterampilan (bahan/penyuluhan) yang disajikan oleh perawat adalah: 1) Pengetahuan tentang proses gangguan jiwa, tanda-tanda dan gejala-gejala kambuh secara dini. 2) Perawatan sehani-hari dan jenis kegiatan di rumah. 3) Pengetahuan tentang pemberian obat dan efek samping. 4) Pengetahuan tentang tindakan yang hams dilakukan pada saat kritis, cara berkomunikasi, pola pertahanan keluarga yang konstruktif, waktu kontrol dan tempat pelayanan yang bisa di- hubungi atau tempat berobat.

Psiko-edukasi dilakukan secara terstruktur artinya sudah terorganisasi dengan baik, mulai dan kurikulum, tujuan yang harus dicapai, metode, waktu pelaksanaan dan tim kesehatan yang terlibat. Susunan materi yang disajikan dan yang sederhana hingga yang kompleks, pemberian materi secara jelas, tahap demi tahap dan sistematis agar keluanga mudah mengikuti dan memahami materi kesehatan jiwa dengan baik.

Untuk mencegah kejenuhan dalam pelaksanaan penyuluhan keluarga digunakan metode yang bervariasi, antara lain ceramah, diskusi kelompok antar sesama keluarga, atau antar tim dengan keluarga dalam kelompok kecil, bermain peran atau mengadakan simulasi.

Dalam pelaksanaan pertemuan keluarga yang perlu diatur adalah: frekuensi pertemuan, jarak antar pertemuan dan waktu pelaksanaan pertemuan.

Frekuensi pertemuan disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai, jarak antara pertemuan satu dengan pertemuan berikut-nya sebaiknya tidak terlalu lama, sehingga keluarga masih dapat mengingat topik pertemuan yang lalu dan dapat menghubungkan dengan topik yang sedang diikuti pada pertemuan yang baru, dan waktu pelaksanaan tidak terlalu lama berkisar antara 60 s/d 90 menit sehingga tidak terlalu jenuh. B) Keterampilan yang Diperlukan oleh Perawat

Perawat agan dapat bekerja sama dengan keluarga klien harus mempunyai : 1) Wawasan yang tinggi tentang kesehatan jiwa. 2) Kesadaran diri.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 55

Page 57: cdk_112_fertilitas

KESIMPULAN 3) Empati. 4) Keterampilan komunikasi terapeutik. Perawatan klien dengan gangguanjiwa di rumah sakit jiwa

memerlukan waktu yang lama, terutama klien dengan gangguan jiwa kronis (menahun), disebabkan kurang terlibatnya keluarga untuk ikut mengetahui dan memahami penyebab dan proses gangguan jiwa serta cara perawatannya sehari-hari; sehingga keluarga tidak siap dan tidak dapat beradaptasi dengan klien lagi.

5) Pengetahuan tentang teon keluarga. Wawasan yang tinggi adalah menguasai perkembangan

ilmu pengetahuan tentang kesehatan jiwa khususnya dan kese- hatan jasmani secara umum, sehingga dapat memadukan kedua limo dan menerapkan kepada klien dan keluarga serta lingkung-an masyarakatnya.

Kesadaran din adalah dasar pertimbangan untuk mengerti perilaku orang lain. Seseorang harus mampu mengidentifikasi pikiran sendiri, perasaan dan nilai-nilai yang dianutnya sebelum mengerti perasaan dan penlaku orang lain. Perawat harus bisa menyadari dinamika keluarga sendiri, peran dan nilai keluarga- nya sehingga tidak bingung membandingkan atau mencampur- kannya ketika berhadapan dengan keluarga lain.

Oleh karena itu perawat-perawat Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor beberapa tahun belakangan ini berusaha melibatkan keluarga-keluarga klien yang dirawat, dengan menggunakan cara atau metode Pertemuan dan Penyuluhan Keluarga yang dilaksanakan sejak klien masuk RS, selama dirawat dan setelah pulang (after-care) dalam lingkungan keluarga.

Program Pertemuan dan Penyuluhan Keluarga di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor dilaksanakan secara berkala dan berkesi- nambungan baik secara formal maupun secara non formal.

Empati adalah perasaan ikut dalam situasi yang dirasakan oleh keluarga; misalnya salah satu keluarga merasa sangat sulit menghadapi tingkah laku klien yang kurang wajar, perasaan ke- luarga di saat itu dapat dirasakan oleh seorang perawat sehingga dapat membantu memecahkan masalah dengan sepenuhnya.

Dalam proses pelaksanaan diperlukan pakar-pakar ilmu penyakit jiwa yang terkait, namun dalam era globalisasi saat ini para perawat telah dibekali ilmu-ilmu baik yang didapat sewaktu di bangku sekolah maupun penataran-penataran selama bertugas sebagai perawat; untuk itu perawat bisa dan dapat memprakarsai penyuluhan keluarga klien baik yang di rawa di rumah sakit jiwa maupun di rumah setelah klien pulang.

Ketrampilan komunikasi terapeutik sangat penting dikuasai seorang perawat yang bekerja dengan keluarga. Perawat harus bisa menjadi panutan dalam berkomunikasi dengan cara bicara yang jelas, terbuka, langsung, jujur dan sesuai dengan situasi.

Ketrampilan lain yang harus dimiliki oleh perawat adalah kolaborasi (kerjasama dengan tim kesehatan lain) untuk menca- pai tujuan; perawat berusaha melakukan asuhan keperawatan dengan memanfaatkan perkembangan disiplin ilmu lain.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk semua pihak yang terkait dalam tulisan ini; semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi generasi penerus untuk mencapai masyarakat yang sehat baik jasmaniah maupun mental dan sosial (bio-psiko-sosial). Perkembangan pola pertahanan (coping) perawat juga penting

untuk menjadi kekuatan perawat dalam kerjasama dengan keluarga. Perawat harus memiliki istirahat yang cukup, hobi yang memadai, kemampuan untuk relaksasi dan mendapat du- kungan dan teman-teman atau dan keluarganya agar memiliki coping yang kuat dan konstruktif.

KEPUSTAKAAN

1. Bailon SG, Maglaya AS. Family Health Nursing, Quezon City, 1978. Kemampuan yang dibutuhkan perawat dalam melaksanakan

pertemuan dan penyuluhan keluarga adalah kemampuan meng- koordinir suatu kegiatan, mulai dan persiapan sampai dengan evaluasi, kemainpuan berbicara di depan umum, membuat la- poran dan membuat dokumentasi hasil kegiatan.

2. Beck CM et al. Mentalhealth-Psychiatric Nursing, St. Louis, CV Mosby Co. 1984.

3. Goldberg,/Goldberg. Family therapy, Pacific Grove, Brooks/Cole Publ.Com., 1980

4. Stuart, Sundeen. Principles and practice of psychiatric nursing. St. Louis, CV Mosby Comp., 1991.

Pengetahuan tentang teori keluarga penting dikuasai oleh perawat, perawat harus mengetahui proses pertumbuhan dan perkembangan dan anggota keluarga dengan segala sebab akibat dan suatu gangguan baik fisik maupun mental.

5. Wilson, Kneisl. Psychiatric Nursing, Massachusetts, Addison Wesley Publ. Comp., 1983.

6. ––––Hasil PenilaianDisabilitas PasienMental dan Sikap Keluarga terhadap penerimaan Pasien Mental dasi Rumah Sakit Jiwa, Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Medik, Departemen Kesehatan RI 1990.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 56

Our mothers give our spirit heat, our fathers light (Jean Paul)

Page 58: cdk_112_fertilitas

TEKNIK

Penentuan Faktor Kalibrasi Berkas Pesawat Terapi Cs-137 dengan

Metoda Interpolasi

Susetyo Trijoko PSPKR BATAN, Pasar Jumat, Jakarta

AFasilitas Kalibrasi Tingkat Nasio

sebutan Laboratorium Dosimetri Stan dengan sistim dosimeter NPL untuk pesawat terapi sinar-X dan Co-60. Sis berkala di Laboratorium Dosimetri Sta Laboratory (ETL) PSDL-Jepang, temp kalibrasi paparan (N terhadap dosime sampai berkas Co-60, tetapi tanpa b faktor kalibrasi berkas Cs-137, diperperhitungkan faktor koreksi atenuasi rapersamaan yang bisa dipergunakan udari berbagai jenis bilik pengionan radi

PENDAHULUAN

Sejak tahun 1984 Fasilitas Kalibrasi Tingkat Nasio(FKTN), PSPKR BATAN, telah menjadi anggota jaringan Laratorium Dosimetri Standar Sekunder (SSDL) di bawah kdinasi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA)(1).. Sebanggota SSDL yang sekaligus sebagai acuan nasional unpengukuran dosis radiasi, FKTN telah dilengkapi dengan sisdosimeter NPL Secondary Standard Therapy Level yang dijkan alat ukur radiasi standar nasional berikut dengan pesasinar gamma Co-60 dan pesawat sinar-X MG-420 tingkat terSistim dosimeter NPL milik FKTN saat ini telah dikalibrasElectrotechnical Laboratory (ETL), Jepang, selaku LaboratorDosimetri Standar Primer (PSDL).

Menurut ketentuan yang ber1aku alat ukur radiasi stannasional hams dikalibrasi terhadap alat ukur radiasi stanprimer di PSDL sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) tahAlat ukur radiasi standar lokal maupun alat ukur radiasi yang digunakan untuk mengukur keluaran (output) pesa

BSTRAK nal (FKTN) BATAN yang juga dikenal dengandar Sekunder (SSDL) Jakarta, telah dilengkapistandar sekunder tingkat terapi berikut dengantim dosimeter standar tersebut dikalibrasi secarandar Primer (PSDL). Selama ini Electrotechnicalat dosimeter NPL dikalibrasi, memberikan faktorter NPL dalam rentang energi foton dan 50 kVerkas Cs-137. Dalam upaya untuk mendapatkangunakan metoda interpolasi linier dengan mem-diasi oleh dinding dan sungkup detektor. Beberapantuk menghitung faktor kalibrasi berkas Cs-137oterapi disajikan dalam makalah ini.

nal bo-

oor- agai tuk tim adi- wat api. i di ium

dar dar un. lain wat

radioterapi di rumah sakit harus dikalibrasi terhadap alat ukur standar nasional sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.

Laboratorium Dosimetri Standar Primer, ETL-Jepang, mem- berikan faktor kalibrasi paparan (N hanya untuk berkas foton sinar-X dan 50 kV sampai dengan 250 kV (energi efektif 25.2 keV -125 keV) dan berkas sinar gamma Co-60 (energi rata-rata 1250 keV). ETL-Jepang tidak memberikan faktor kalibrasi paparan untuk berkas radiasi yang terletak di antara energi 125 keV dan 1250 keV seperti sinar gamma Cs-137 (energi 662 keV) dan Ir-192 (energi rata-rata 397 keV) Dengan demikian dalam melaksanakan kalibrasi alat ukur standar lokal dan alat ukur radiasi milik ruinah sakit, FKTN juga hanya bisa memberikan faktor kalibrasi untuk berkas foton seperti yang diberikan oleh ETL-Jepang. Padahal sampai saat ini di Indonesia tercatat 7 (tujuh) rumah sakit menggunakan pesawat terapi Cs- 137(3) dan mereka mengukur keluarannya dengan menggunakan alat ukur radiasi yang dikalibrasi di FKTN, PSPKR BATAN. Untuk itu maka perlu dicari upaya untuk mendapatkan faktor kalibrasi

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 57

Page 59: cdk_112_fertilitas

ukuran dengan saat kalibrasi. Nilai paparan (X) di sini menyata- kan besarnya paparan di titik pengukuran (Gambar 1), tanpa adanya detektor.

Setiap sistim dosimeter (detektor berikut etektrometernya) memiliki nilai faktor kalibrasi tertentu. Nilai faktor kalibrasi paparan (N) yang diberikan oleh ETL-Jepang ditunjukkan pada Tabel 1. Nilai N berkas sinar gamma Co-60 berlaku untuk kon- disi penyinaran detektor dengan menggunakan sungkup (build- up cap), sedangkan untuk energi radiasi sinar-X kurang dari 250 kV kondisi penyinaran detektor dilakukan tanpa sungkup. Sung- kup ini diperlukan guna mendapatkan kondisi kesetimbangan berkas Cs- 137. Salah satu cara untuk mendapatkan faktor kalibrasi berkas sinar gamma Cs-137 adalah dengan metoda interpolasi yang akan diuraikan dalam tulisan ini. KALIBRASI PAPARAN

Hubungan antara bacaan dosimeter (R) dengan nilai paparan (X) di udara secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut,

X = R x Nx (1)

Nx adalah faktor kalibrasi paparan yang bergantung pada energi berkas radiasi dan R adalah bacaan dosimeter yang telah di- koreksi terhadap perbedaan suhu dan tekanan udara saat peng- partikel bermuatan (charged particle equilibrium) bagi elektron sekunder yang berasal dari proses hamburan Compton sinar gamma Co-60.

Tabel 1. Nilai faktor kalibrasi paparan (N) dan sistim dosimeter NPL (NE 2560 #054 & NE2561 #203) milik FKTN, PSPKR BATAN(4)

Tegangan Tabung (kV)

HVL (mm)

Energi Efektif (keV)

Nx(R/Skala)

50 60 75 100 125 150 175 200 225 250

Co-60

1.44 Al 2.27 Al 3.89A1 0.28 Cu 0.54 Cu 0.90 Cu 1.26 Cu 1.68 Cu 2.10 Cu 2.55 Cu

-

25.2 29.9 37.3 49.0 62.5 76.0 88.0 100 113 125 1250

1.036 1.026 1.027 1.030 1.032 1.032 1.030 1.031 1.030 1.032 1.057

INTERPOLASI FAKTOR KALIBRASI

Tanggapan detektor bilik pengionan terapi terhadap berkas foton berenergi dari 100 kV (49 keY) sampai dengan Co-60

(1250 keV) adalah linier dan hampir konstan(5). Namun dalam hal ini, interpolasi linier untuk mendapatkan faktor kalibrasi paparan berkas Cs- 137, (Nx)cs dan nilai-nilai faktor kalibrasi paparan sinar-X 250 kV, (Nx)sin-x, dan faktor kalibrasi paparan Co-60, (Nx)co, tidak mungkin dilakukan secara langsung karena kondisi kalibrasi berkas sinar-X berbeda dengan kondisi kalibrasi berkas Co-60. Saat kalibrasi berkas sinar-X,detektor tidak meng- gunakan sungkup, sedangkan saat kalibrasi berkas Co-60, detek- tor harus menggunakan sungkup.

Interpolasi linier di antara dua titik bisa dilakukan, asalkan kondisi kalibrasinya sama. Untuk mendapatkan kondisi yang sama,maka semua penyinarannya harus dilakukan dengan meng-gunakan sungkup. Dengan demikian faktor atenuasi radiasi oleh dinding detektor dan sungkup hams diperhitungkan dalam pe-rumusan interpolasi.

Apabila tanpa memperhatikan faktor atenuasi oleh dinding detektor dan sungkup, nilai faktor kalibrasi paparan (Nx)cs yang bergantung pada energi foton dapat dihitung secara langsung dengan menggunakan perumusan berikut(6),

Dengan memperhitungkan faktor atenuasi, persamaan interpolasi linier di atas akan men jadi,

)

(Aw)cs, (Aw)sin-x dan (Aw)co adalah faktor koreksi atuasi berkas Cs-137, sinar-X 250 kV dan Co-60 oleh dinding detektor dan sungkup. Ecs, Esin-x dan Eco

berturut-turut menyatakan energi berkas foton Cs-137,sinar-X 250kV dan Co-60.

Nilai faktor koreksi atenuasi (Aw), selain bergantung pada tebal dinding detektor dan sungkup juga bergantung pada energi foton. Koreksi atenuasi radiasi dapat diperoleh dari hasil perkali- an antara tebal dinding detektor berikut sungkup dengan nilai koefisien serapan-energi massanya (µen/ſ). Dani sini maka pe- rumusan untuk mendapatkan nilai Aw adalah sebagai berikut,

td dan ts adalah tebal dinding detektor den tebal sungkup (dalam gsedangkan (µen/ſ)d dan (µen/ſ)s koefisien serapan-energi massa didetektor dan sungkup (dalam cm2/g)

Nilai (µen/ſ) untuk bahan grafit dan bahan-bahan ekivjaringan yang biasa digunakan sebagai bahan dinding detdan sungkup ditunjukkan dalam Tabel 2.

Beberapa detektor bilik pengionan yang saat ini biasgunakan dalam dosimetri radioterapi berikut spesifikasinya djukkan dalam Tabel 3. Dengan menggunakan persamaan (4)data yang tertulis dalam Tabel 2 dan Tabel 3, nilai Aw ubeberapa detektor bilik pengionan dapat dihitung dan hasilhitungannya ditunjukkan dalam Tabel 4.

Dengan menggunakan nilai Esin-x = 125 keV, Ecs = 662 Eco = 1250 keV, dan nilai-nilai Aw dari Tabel 4, maka penupersamaan (3) dapat disederhanakan. Dalam upaya membpara pemakai detektor bilik pengionan tingkat terapi di ru

(

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 58

4)

e

(3

(2)

/cm2), nding

alen ktor

a di-itun- dan ntuk per-

keV, lisan antu mah

Page 60: cdk_112_fertilitas

Tabel 2. Koefisien serapan energi massa(7)

Koefisien serapan-energi massa (cm2/g) Energi Foton Bahan Dinding

Grafit Bahan Sungkup

Ekivalen Jaringan~ 125 key Cs-137 (662 key) Co-60 (1250 keV)

0.0230 0.0293 0.0267

0.0265 0.0326 0.0297

* Bahan ekivalen jaringan meliputi: PMMA, delrin, A-150, polystyrene, lucite dan air

tingkat terapi. Persamaan dalam Tabel 5 dapat digunakan untuk menghitung nilai (Nx)cs, asalkan alat ukur radiasi yang diper- gunakan telah mendapat faktor kalibrasi paparan (Nx) dari FKTN, PSPKR BATAN. Metoda interpolasi dengan memperhatikan koreksi atenuasi ini pada prinsipnya bisa dipergunakan untuk menentukan faktor kalibrasi paparan sinar gamma pada umumnya yang terletak antara 125 keV dan 1250 keV.

Tabel 3. Beberapa detektor bilik penglonan tingkat terapi(8)

Dimensi Dinding Sungkup No. Jenis Panjang

(mm) Diameter

(mm) Bahan Ketebalan(g/cm2) Bahan Ketebalan

(g/cm2)

1 NPL NE 2561, 9.2 7.4 Grafit 0.090 Delrin 0.600 0.325 cc

2 Farmer NE 2571 24.0 6.3 Gmfit 0.065 Delrin 0.551 0.6 cc

3 Farmer NE 2581 24.0 6.3 A-150 0.041 Polys- 0.584 0.6 cc tyrene

4 PTW-23333 21.9 6.1 PMMA 0.059 PMMA 0.356 0.6 cc

5 Victoren 30-351 23.0 6.1 PMMA 0.050 PMMA 0.356 0.6 cc

Tabel 4. Nilai Aw dan berbagai jenis detektor bilik pengionan tingkat terapi

Nilai faktor atenuasi (A) Energifoton

NE 2561/NPL NE 2571 NE 2581 PTW-23333 Victoren 30-351

125 keV Cs-137 (662 keV) Co-60 (1250 keV)

0.9820 0.9778 0.9798

0.9839 0.9801 0.9819

0.9834 0.9796 0.9814

0.9840 0.9803 0.9821

0.9889 0.9863 0.9875

sakit, telah dituliskan beberapa persamaan sederhana untuk menghitung nilai faktor kalibrasi paparan berkas Cs- 137 (Nx)cs. Tabel 5 memperlihatkan beberapa persamaan untuk menghitung nilai (Nx)cs dan metoda interpolasi.

Tabel 5. Persamaan untuk menghitung (Nx)cs dari berbagai jenis detektor bilik pengionan

Bilik pengionan Persamaan

NE 2561/NPL NE 2571 NE 2581 PTW 2333 Victoren 30-351

(Nx)cs(Nx)cs

(Nx)cs(Nx)cs(Nx)cs

0.5250 (Nx)sin-x + 0.47830.5214 (Nx)sin-x + 0.47520.5247 (Nx)sin-x + 0.47820.5246 (Nx)sin-x + 0.47820.5241 (Nx)sin-x + 0.4779

(Nx)co(Nx)co

(Nx)co(Nx)co(Nx)co

Sebagai contoh dari Tabel 1, detektor NE 256l/NPL mempunyai nilai

(Nx)sin-x = 1.032 dan (Nx)co = 1.057. Dihitung dengan menggunakan persamaan yang terdapat dalam Tabel 5, didapatkan mlai (Nx)cs = 1.047.

KESIMPULAN Telah dijelaskan cara menentukan faktor kalibrasi paparan

berkas Cs-137, (Nx)cs, untuk beberapa detektor bilik pengionan

KEPUSTAKAAN 1. International Atomic Energy Agency (IAEA). Secondary Standard

Dosimetry Laboratories: Development and Trends. Vienna, 1985. 2. Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Peraturan tentang Kalibrasi Alat

Ukur Radiasi dan Keluaran Sumber Radiasi, Standardisasi Radionuklida dan Fasilitas Kalibrasi, Jakarta, 1992.

3. Moendi Poernomo. Aspek Perundang-undangan Penggunaan Radiasi. Makalah Seminar dan Diskusi Panel Efek Biologi & Protcksi Radiasi, Jakarta, 10-li September 1993.

4. Electrotechnical Laboratory. Certificate for Secondary Standard Therapy Level X-ray Exposure Meter. Japan, 1993.

5. Khan FM. The Physics of Radiation Therapy, Williams & Walking, Balti- more, USA: 1984.

6. Goetsch SJ, Attix FH, Pearson DW, Thomadsen BR,\. Calibration of lr-192 high-dose-rate afterloading systems. Med Phys 1991; 18(3).

7. Johns HE. The Physics of Radiology, Second Ed., Charles C Thomas PubI, Illinois, USA: 1964.

8. International Atomic Energy Agency (IAEA), Absorbed Dose Determina- tion in Photon and Electron Beams: An International Code of Practice. Vienna: Techn Rep Ser No, 277, 1987.

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 59

Page 61: cdk_112_fertilitas

ULASAN

Pengambilan Keputusan dan Pemilihan Sumber Pengobatan

Sudibyo Supardi Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN

Menurut masyarakat awam, penyakit dapat disebabkan oleh gejala alam (angin, panas matahari, hujan, makanan tidak bersih) ataupun supranatural (roh, kekuatan gaib, hukuman Tuhan). Penyakit yang disebabkan oleh gejala alam dapat disembuhkan dengan pengobatan medis atau pengobatan tradisional, sedang- kan yang disebabkan oleh supranatural hanya dapat disembuh- kan oleh pengobat tradisional/dukun(1). Praktek pengobatan di Indonesia mengenal dua sistem pengobatan, yaitu pengobatan medis dan pengobatan tradisional. Pengobatan medis sering menggunakan obat, dilakukan oleh tenaga yang mendapat pen- didikan formal kesehatan. Pengobatan tradisional umumnya mengacu pada tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat atau masyarakat lain, yang bukan dari Barat(2).

Orang yang merasakan gangguan, mungkin akan meng- anggap dirinya sakit. Orang sakit Lalu mengambil keputusan akan menjadi pasien atau mengobati sendiri. Bila menjadi pa- sien, perlu mengambil keputusan akan patuh mengikuti peng- obatan atau tidak. Kemudian pasien menjalani proses menjadi orang sehat, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi kualitas pelayanan ke- sehatan, obat yang tepat, dan kualitas interaksi pasien-pengobat. Faktor internal meliputi pengetahuan, keyakinan dan perasaan terhadap sakit dan obat serta proses pengambilan keputusan berobat dan perilaku sehat. Obat yang benar meliputi kete- patan diagnosis, ketepatan terapi, produk yang baik, ketepatan dispensing dan penggunaan yang benar(3). PENGAMBILAN KEPUTUSAN BEROBAT

Studi pengambilan keputusan berobat biasanya mempunyai tiga pertanyaan pokok : (a) alternatif apa yang dilihat anggota masyarakat agar mampu menyelesaikan masalahnya, (b) kriteria apa yang dipakai untuk memilih salah satu dari beberapa alter-

natif yang ada, (c) bagaimana proses pengambilan keputusan untuk memilih alternatif tersebut(4).

Alternatif sumber pengobatan yang tersedia menurut Young, adalah : pengobatan sendiri, pengobat tradisional, paramedis, dokter, dan rumah sakit. Dalam pengobatan penyakit, seseorang dapat memilih satu sampai lima sumber pengobatan mencakup tiga sektor yang hubungan satu dengan lainnya saling tumpang tindih, yaitu : pengobatan rumah tangga/pengobatan sendiri, pengobatan tradisional, dan pengobatan profesional Menurut Colson, sumber pengobatan medis meliputi pelayanan kesehat- an pemerintah, pengobatan lokal, bidan, dokter praktek swasta, vendor (paramedis keliling yang dilengkapi obat) dan peng- obatan sendiri(6).

Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber pengobatan menurut Young, adalah keparahan sakit, pengetahuan tentang pengalaman sakit dan pengobatannya, keyakinan efektivitas pengobatan dan obat, serta biaya dan jarak yang terjangkau. Dari keempat prinsip tersebut, keparahan sakit menduduki tempat yang dominan(4). Menurut Kalangie, kriteria yang dipakai ada- lah : keparahan sakit yang dibedakan antara sakit ringan, sedang dan berat, pengetahuan sakit dan pengobatannya, pengetahuan dan nasehat keluarga, biaya untuk pengobatan dan biaya lainnya, kemudahan, misalnya jarak, hubungan dengan pengobat, kepri- badian pengobat, dan lain-lain(7). Gangguan yang dirasakan dan derajat kerusakan yang ditimbulkan berhubungan bermakna dengan pemilihan sumber medis. Faktor kecukupan biaya dan ketercapaian jarak cukup penting, tetapi tidak berhubungan langsung dengan pemilihan medis. Tampaknya hipotesis akulturasi berhubungan dengan pemilihan sumber medis di ne- gara berkembang(6).

Proses pengambilan keputusan dimulai dengan penerimaan informasi, memproses berbagai informasi dengan kemungkinan dampaknya, kemudian mengambil keputusan dari berbagai

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 60

Page 62: cdk_112_fertilitas

kemungkinan, dan melaksanakannya. Bias dalam pengambilan keputusan dapat terjadi karena: basil pengobatan tidak pasti, efek samping obat yang mungkin terjadi, biaya dan waktu yang hilang dalam pengobatan. Orang sakit tidak selalu mengambil keputusan secara logis atau obyektif, menurut Hogarth, antara lain akibat dari : pemilihan obat cenderung karena ikian yang gencar, lebih meyakini informasi kongkrit daripada yang abstrak, menganggap dua insiden yang nampak berdekatan da- lam ruang dan waktu sebagai berhubungan, meyakini sesuatu akan terjadi karena kita menginginkan terjadi, situasi dalam pengambilan yang tidak didasarkan pengetahuan dan kebijakan(3). Proses pengambilan keputusan dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosiologis yang berinteraksi secara tidak logis. Keputusan yang diambil orang sakit penting bagi pengobat untuk menilai hasil terapi dan kemungkinan hasil yang diharap- kan.

Orang sakit membandingkan dan mencocokkan gangguan yang dirasakan dengan sakit di masa lalu untuk menjawab per- tanyaan bagaimana dan mengapa ia sakit. Minimal empat gam- baran yang meliputi : suatu identitas yang berisi pola gangguan dan label sakit, merasakan penyebab, harapan terhadap keganas- an atau akibat sakit, harapan terhadap lama sakit (akin, siklik, kronik), dan lainnya. PEMILIHAN SUMBER PENGOBATAN

Tindakan pada saat sakit di Indonesia antara lain : 36,8% tidak berobat, 24,3% ke puskesmas, 3% ke pengobat tradisional, dan 13,9% pengobatan sendiri(8). Menurut Kalangie, tindakan pertama yang dilakukan masyarakat di Serpong-Jawa Barat: bila sakit ringan memilih pengobatan sendiri, sakit sedang memilih pengobatan tradisional, dan sakit berat memilih pengobatan medis(7). Menurut Young, tindakan pengobatan pertama sebagai berikut(4) :

Keparahan Pengetahuan aakit & obat Keyakhian Keterjangkauan

biaya Tindakan

pengobatan Ringan ye – – sendiri Ringan tidak tradisional – dukun Ringan tidak modem – paramedis Sc g ya tr adisional – sendiri Sedang tidak tradisional – dukun Sedang – modern – pnramedis Beret – tradisional – dukun Berat – modem tidak paramedis Beret – modem ya dokter '

Sedangkan menurut Kasniyah, tindakan pengobatan sakit pada anak balita di masyarakat pedesaan Jawa menunjukkan bahwa mayoritas penduduk pada tingkat keparahan ringan me- milih pengobatan sendiri, pada tingkat keparahan sedang memi-lih pengobatan medis, sedangkan pada tingkat keparahan berat memilih pengobatan tradisional(9). KESIMPULAN

Dari uraian sebelumnya, diambil kesimpulan berikut : (a) Pengambilan keputusan berobat terdiri dari tiga tahap, yaitu melihat alternatif sumber pengobatan yang mampu me- nyelesaikan masalahnya, menentukan kriteria untuk memilih alternatif, kemudian melakukan proses pengambilan keputusan. (b) Keputusan yang diambil dipengaruhi oleh faktorpsiko-sosial yang dapat berinteraksi secara tidak logis. (c) Tindakan pertama yang banyak dilakukan oleh orang sakit adalah pengobatan sendiri.

KEPUSTAKAAN 1. Sudarti dkk. Persepsi masyarakat tentang sehat sakit dan posyandu. Pusat

Penelitian Kesehatan Lembaga Penehtian Universitas Indonesia, Depok, 1988; 11-2.

2. Martono. Peningkatan dan Pemerataan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Melalui Usaha Terpadu Pengobatan Tradisional dan Kedokteran. PKMD Seminar Ilmiah Kesehatan Masyarakat dan Kongres ke II IAKMI, Surabaya 11-12 Desember 1978; 1-2.

3. Dolinsky D. Psychosocial aspects of the illness experience, in: Pharmacy practice - Social behavioral aspects, Third ed. Baltimore: Williams & Wil-kins. 1989; 127-141.

4. Young JC. A model of illness treatment decisions in a Tarascan town. American Uthnologist. 1980 (Feb); 7(1): 106-31.

5. Kalangie NS. Kerangka konseptual sistem perawatan kesehatan. Seminar peranan universiras dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjang sistcm Kesehatan Nasional. Jakarta, 13-16 Pebruari 1984; 4-9.

6. Colson AC. The difftrcntial use of medical resources in developing coun- tries. J Health Soc Behavior, 1971 (12 Sept.); 226-36.

7. Kalangie NS. The hierarchy of resort to medical care among the Serpong villagers in West Java. Seminar peranan universitas dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjang Sistem Kesehatan Na- sional. Jakarta 13-16 Pebruari 1984; 43-8.

8. Ratna Budiarso et al. Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Peneli- tian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, Jakarta, 1986; 60-3.

9. Naniek Kasniyah. Pengambilan keputusan dalain pemilihan sistem peng- obatan, khususnya penanggulangan penyakit anak-anak (balita) pada ma- syarakat pedesaan Jawa. Tesis bidang antropologi kesehatan, UI, Jakarta 1983; 90.

One who is waiting to help does not wait till he is asked

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 61

Page 63: cdk_112_fertilitas

ABSTRAK ASMA AKIBAT MAINAN LEGO

Dua dokter Hong Kong melaporkan satu kasus asma pada anak laki-laki 5 tahun yang ternyata disebabkan oleh inhalasi potongan mainan LEGO ter- buat dari plastik.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan ronkhi bilateral; pengobatan dengan beta-agonis dan kortikosteroid berhasil menghilangkan gejala,meskipun ronkhi-nya menetap. Pemeriksaan radiologik, CT scan, fluoroskopi, barium semuanya tidak menunjukkan kelainan; diagnosis ditentukan melalui scan paru mengguna-kan technetium – 99 m.

Lancet 1996; 334: 406 hk

PENGOBATAN ALTERNATIF Pengobatan alternatif sering diguna-

kan oleh masyarakat. Suatu survai telah dilakukan di Australia Selatan, melibat- kan 3004 orang berusia 15 tahun ke atas yang diwawancarai pada tahun 1993 mengenai penggunaan berbagai cara pengobatan alternatif tersebut.

Di antara yang berhasil diwawan-carai (3004), 48,5% pernah mengguna- kan sedikitnya satu cara pengobatan alternatif, yaitu ginseng, obat tradisio- nal, aromaterapi, homeopati dan supple- men mineral dan/atau vitamin tanpa resep/anjuran dokter. 18,9% mengguna- kan lebih dari satu cara; di antara peng- guna tersebut, wanita lebih banyak dari-pada pria (p ≤ 0,0 1) dengan ciri wanita perimenopausal, relatif lebih berpen- didikan, lebih banyak minum alkohol, dan lebih banyak yang bekerja dengan berat badan normal.

Sejumlah 20,3% telah mengunjungi sedikitnya satu pengobat tradisional, 15% di antaranya ke chiropractor. Para pengunjung ini cenderung lebih muda, tinggal di pedalaman dan kelebihan berat badan.

Mereka mengeluarkan biaya sekitar 621 juta dollar Australia untuk obat dan 309 juta dollar Australia untuk konsul-

tasi dengan para pengobat alternatif, se- dangkan biaya untuk obat-obat farmasi pada periode yang saina adalah sebesar 360 juta dollar.

Ternyata, meskipun manfaat terapeu- tik cara-cara/obat tersebut masih belum dapat dipastikan, dan bahkan ada beber-apa jenis yang potensial berbahaya, masyarakat lebih menyukai cara pen- gobatan alternatif.

Lance: 1996; 347: 569–73 hk

RISIKO CHORIONIC VILLUS SAMPLING

Data WHO CVS Registry selama dua

tahun (Mei 1992– Mci 1994) tidak me- nunjukkan peningkatan -cacad anggota tubuh di kalangan bayi yang ibunya menjalani prosedur chorionic villus sampling (CVS) di saat hamil.

Dari 138996 kehamilan yang men- jalani prosedur tersebut, dilahirkan 77 bayi cacad anggota tubuh; kelainan anggota gerak atas 64,6%,anggota gerak bawah 12,5% dan cacad keduanya se- besar 20,8%. Defek transversal sebesar 40,8% dan defek longitudinal sebesar 59,2%, tidak berbeda dibandingkan dengan populasi normal yang masing- masing kejadiannya sebesar 42,7% dan 57,3%.

Lancet 1996; 347: 489–94 hk

RELAPS PADA EPILEPSI

Peneliti di AS melaporkan bahwa dan 65 anak dengan cerebral palsy dan epilepsi yang menghentikan pengobat- an antiepilepsinya setelah 2 tahun bebas kejang, 41,5% relaps setelah rata-rata 1,11 tahun.

Anak dengan hemipanesis spastik 62% mengalami relaps, dibandingkan dengan hanya 37% di kalangan cerebral palsy lainnya.

Pediatrics 1996; 97: 192-7 hk

OBAT ANTIHIPERLIPIDEMI Studi di Australia menunjukkan

bahwa tingkat putus berobat pengguna obat antihiperlipidemi cukup tinggi; selama 12 bulan, mereka mengamati 610 pasien yang menggunakan obat ter- sebut dari 138 apotik.54% menggunakan simvastatin, 31% pravastatin dan 15% gemfibrozil.

Ternyata setelah l2 bulan, 60% pasien berhenti berobat; putus berobat tersebut mencapai 57% di kalangan pengguna simvastatin, 56% di kalangan pravasta- tin dan 78% di kalangan gemfibrozil; 50% menghentikan pengobatan dalam 3 bulan pertama, 25% dalam 1 bulan per- tama.

Penyebab penghentian tersebut an- tara lain respons klinis yang buruk(32%), pasien tidak meyakini manfaatnya (32%), efek samping (7%) dan biaya pengobatan (2%).

Inpharma 1996; 1028:5 brw

TERAPI NEURALGIA TRIGEMI-NUS

Di Pittsburgh, AS selama tahun 1972–199 1, 1185 pasien neuralgia trigeminus telah menjalani operasi dekompresi mikrovaskular; 1155 di antaranya diikuti selama lebih dari 1 tahun dengan median follow-up selama 6,2 tahun.

Selama masa itu, 30% mengalami rekurensi dan 11% menjalani operasi ulangan; 4% kambuh kembali tetapi tidak memerlukan pengobatan.

Faktor yang memperbesar kemung-kinan rekurensi ialah: wanita, telah menderita lebih dari 8 tahun, adanya kompresi vena di trigeminal root entry zone dan masih adanya nyeri setelah operasi.

Komplikasi operasi berupa 2 kema-tian (0,2%), 1 infark batang otak (0,1%) dan l6 pasien mengalami tuli ipsilateral.

N. Engi. J. Med. 1996; 324: 1077-83 brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 62

Page 64: cdk_112_fertilitas

ABSTRAK MORTALITAS PASIEN PARKIN SONISME

Suatu studi atas 467 penduduk East Boston, Mass. AS, yang berusia 65 tahun ke atas dilakukan untuk mengetahui prevalensi parkinsonisme. Mereka di-periksa secara neurologik untuk men-cari tanda-tanda bradikinesi, gangguan gait, rigiditas dan tremor; diagnosis ditegakkan bila terdapat sedikitnya dua tanda di atas. Mereka tidak membeda-kan (dugaan) penyebab gejala tersebut.

Ternyata 159 orang mempunyai ge-jala parkinsonisme, 301 tidak ada dan 7 lainnya tidak dapat digolongkan; ber-dasarkan usia, prevalensinya sebesar 14,9% untuk usia 65–74 tahun, 29,5% untuk 75–84 tahun dan 52,4% untuk usia 85 tahun ke atas.

Selama 9,2 tahun masa penelitian, 124 orang dengan parkinson meninggal dunia (78%), sedangkan di kalangan yang bebas gejala,44% (146) meninggal dunia; suatu peningkatan risiko sebesar 2,0 (95%CI: 1,6–2,6). Peningkatan risiko ini dikaitkan dengan gangguan gait.

N. Engl. J. Med. 1996; 334: 71–6

brw MALARIA AK1BAT JARUM SUN-TIK

Dari Inggris dilaporkan satu kasus malaria yang diderita oleh seorang perawat yang diduga ditularkan me-lalui luka akibat jarum suntik yang tidak steril.

Perawat tersebut telah meresusitasi seorang anak laki-laki dari Ghana yang menderita malaria falciparum; selama resusitasi, dia terluka secara tidak sengaja oleh jarum yang tidak steril. Seminggu kemudian, dia men-derita demam dan darahnya positif mengandung P1. falciparum. Peng-obatan dengan Fansidar@ dan kina berhasil mengatasi penyakitnya.

Lancet 1995; 346: 1361

hk

RISIKO KONTRASEPSI ORAL (1) Telah lama diduga bahwa pengguna-

an kontrasepsi oral berkaitan dengan efek samping kardiovaskular. WHO mengadakan studi atas 1143 wanita ber- usia 20–44 tahun dibandingkan dengan 2998 wanita kontrol yang berasal dari 21 pusat di Afrika, Asia, Eropa dan Ainenika Latin.

Ternyata penggunaan kontrasepsi oral berkaitan dengan peningkatan ri-siko kejadian tromboemboli vena (trom-bosis vena dalam atau emboli paru), baik di Eropa (odds ratio 4,15; 95%CI: 3,09–5,57) maupun di negara lain (odds ratio 3,25; 95%CI: 2,59–4,08); risiko tromboemboli vena sedikit lebih tinggi daripada risiko emboli paru.

Peningkatan risiko mulai terlihat se-telah 4 bulan penggunaan, tidak dipe-ngaruhi oleh lamanya penggunaan, dan kembali normal setelah 3 bulan peng-hentian penggunaan kontrasepsi oral. Peningkatan risiko ini tidak tergantung pada usia, niwayat hipertensi ataupun merokok, tetapi dipengaruhi oleh pe-ningkatan body mass index.

Odds ratio tersebut lebih tinggi di kalangan pengguna progestogen gene-rasi ke tiga (desogestrel/gestodene) di-bandingkan dengan pengguna generasi pertama (noretindron) atau generasi ke dua (norgestrel); pengguna estrogen dosis kecil (<50 µg) juga mempunyai risiko yang lebih kecil.

Lancet 1995; 346: 1575–82

hk RISIKO KONTRASEPSI ORAL (2)

UK General Practice Research Data-base digunakan untuk menilai risiko kardiovaskuler di kalangan pengguna kontrasepsi oral. Dari data yang berasal dari 470 praktek dokter,terdapat 15 kasus kematian kardiovaskuler di antara 303470 wanita pengguna kontrasepsi oral, perkiraan angka kejadian ialah

8/184536(4,3 per 100000) woman-years di kalangan pengguna kontrasepsi oral kombinasi mengandung levonorgestrel, 2/135567(1,5 per 100000) woman-years di kalangan pengguna desogestrel dan 5/105201 (4,8per l00000) woman-years di kalangan pengguna gestodene. Se-dangkan relative risk untuk gestodene adalah 1,4 (95%CI: 0,5–4,5) dan untuk desogestrel adalah 0,4 (95%CI: 0,1– 2,1) bila dibandingkan dengan levonor-gestrel.

Dari studi ke dua yang berasal dari 370 praktek dokter, ditemukan 80 kasus trombosis vena non fatal dan 238130 wanita; risiko trombosis berkisar antara 16,1 per 100000 di kalangan pengguna levonorgestrel, 29,3 per 100000 di ka-langan desogestrel dan 28,1 per 100000 di kalangan gestodene.

Perhitungan statistik menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral kombinasi generasi baru yang me-ngandung estrogen dosis kecil dari desogestrel/gestodene meningkatkan risiko sebesar 16 per 100000 woman- years bila dibandingkan dengan peng-gunaan levonorgestrel.

Lance; 1995; 346: 1589–63 hk

FUROSEMID UNTUK ANTIKON-VULSAN

Percobaan di AS menunjukkan bahwa furosemid juga mempunyai aktivitas antikonvulsan; secara in vitro zat tersebut terbukti menghambat spon-taneous synchronized bursting activi-ties yang diinduksi oleh beberapa zat pada otak tikus;secara in vivo furosemid dapat mencegah induksi kejang oleh usam kainat pada tikus.

Para peneliti menduga efek ini ber-kaitan dengan efek diuretiknya yang mengurangi volume sel glia dan me-nambah volume ruang ekstrasel.

Lancet 1995; 270: 99–102 brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 63

Page 65: cdk_112_fertilitas

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran

Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

1. Fasa ovulasi pada siklus ovarium sesuai dengan : a) Folikular b) Proliferasi c) Menstruasi d) Luteal e) Sekretori 2. Pil pasca senggama harus digunakan dalam beberapa jam

setelah senggama : a) 6 jam b) 24 jam c) 48 jam d) 72jam e) 1 minggu 3. Kanker yang dapat dikurangi risikonya melalui peng-

gunaan kontrasepsi oral : a) Kanker endometrium b) Kanker payudara c) Kanker serviks d) Kanker hati e) Kanker paru 4. Risiko kardiovaskuler pil kontrasepsi dikaitkan dengan

adanya: a) Estrogen dosis rendah b) Estrogen dosis tinggi c) Progestin dosis rendah d) Progestin dosis tinggi e) Pil kombinasi 5. Tanda ganas tumor ovarium adalah sebagai berikut,

kecuali: a) Konsistensi kistik b) Adanya nekrosis c) Perlengketan d) Adanya asites

e) Tanpa kecuali 6. Usia saat massa tulang mencapai maksimum ialah sekitar : a) l8 tahun b) 25 tahun c) 35 tahun d) 50 tahun e) 70 tahun 7. Hormon yang dapat digunakan untuk mencegah

osteoporosis : a) Estrogen b) Progesteron c) Testosteron d) Glukagon e) Semua bisa 8. Hipofibrinogenemi merupakan komplikasi : a) Abortus inkomplit b) Abortus komplit c) Missed abortion d) Plasenta previa e) Solusio plasenta 9. Abortus ialah penghentian kehamilan sebelum : a) l2 minggu b) 20 minggu c) 24 minggu d) 36 minggu e) 40 minggu 10. Perdarahan paling hebat dijumpai pada : a) Abortus imminens b) Abortus insipien c) Abortus inkoipplet d) AboiThs komplet e) Missed abortion

Jawaban : 1.E 2.D 3.A 4.B 5.A 6.C 7.A 8.C 9.B 10.C

Cermin Dunia Kedokteran No. 112, 1996 64